Loading
12

0

13

Genre : Religi
Penulis : Almayna
Bab : 10
Dibuat : 01 April 2022
Pembaca : 12
Nama : Almayna
Buku : 2

Insya Allah, Halal

Sinopsis

Bagaimana jika kamu tiba-tiba menyukai seorang laki-laki tampan yang menjadi takmir di masjid kampus? Itulah yang dialami Aleena, mahasiswi cantik, cerdas namun bar-bar, manja dan Solehah. Aleena mulai menyukai takmir yang bernama Khaled ketika pertama kali mendengar suaranya ketika azan dan menjadi imam sholat. Tanpa sengaja, kekaguman itu perlahan membuat perubahan dalam hidupnya. Mampukah Aleena mendapat ruang di hati Khaled, bahkan Khaled sendiri merasa risih dengan keberadaannya? Bisakah Aleena tetap berjuang setelah mengetahui lebih dalam sosok Khaled?
Tags :
#OLIMPIADEMENULISRAMADHAN #NULISDIBUKULAKU #cintadalamdiam #lovestory #Ramadhanberkah #pasanganhalal #kekasihidaman

Bagian 1: Berawal dari Paksaan

2 0

“Ma, jangan sekarang ya, aku belum siap. Please…” rengeknya untuk kesekian kali, dengan tetap mempertahankan tangkupan tangannya.

 

“Kalau bukan sekarang, kapan bisanya Nak?”

 

“Habis lebaran deh, janji.” Aleen mengangkat jari telunjuk dan tengahnya bersamaan. “Lagian ini terlalu panjang, Ma, kayak emak-emak komplek. Alin cepat gerah kalau pakai ginian.”

 

Kunna menghela napasnya, mencoba bersabar menghadapi putri sulungnya yang satu ini. Sikap Aleena yang kadang kekanak-kanakan dan keras kepala, membuat dirinya harus berusaha lebih keras untuk membujuk anak gadisnya agar memakai hijab. Terlebih, ini adalah kali pertama Aleena mencoba memakai kain yang akan menutupi rambut panjangnya yang biasa tergerai bebas. Sebagai seorang ibu, Kunna sadar akan kewajibannya sebagai orang tua untuk mengajarkan hal yang baik, bahkan kalau perlu memaksa Aleen untuk mengenakan hijab.

 

“Alin pasti bisa, kok. Toh juga, putri Mama kan udah semester tiga, masak nggak mau pakai jilbab sih? Malu dong sama anaknya Tante Nana, kecil-kecil udah dibiasain pakai jilbab.”

 

Aleena mendengkus kesal, bukannya tidak mau menuruti ucapan mamanya, hanya saja dia tidak ingin ditertawakan teman sekelasnya ketika memakai jilbab yang panjangnya melebihi pundaknya. Bagaimana kalau dia dikatakan ibu-ibu pengajian?

 

“Mau yah? Sayang lho, Mama udah capek-capek keliling toko buat cari pakaian syar’i kayak gini.” Kunna kembali merayu, berharap hati Aleena akan luluh dan menuruti perkataannya.

 

“Kenapa sih, Mama tiba-tiba nyuruh Alin pakai ginian? Biasanya juga, Mama nggak pernah complain sama penampilan Alin.”

 

“Ini karena Adit ceramahin Mama kemarin malam.”

 

"Bocah itu?" tanya Aleena tidak percaya.

 

“Iya, Kak. Kata guru ngaji Adit, seorang wanita wajib menutup auratnya kalau sudah baligh,” beo seorang bocah yang sudah berdiri di ambang pintu. “Dalam Al-Qur’an surah Al-Ahzab ayat 59, Allah berfirman yang artinya “Wahai Nabi! Perintahkanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, ‘hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang,” isi kandungan dari ayat ini adalah, setiap wanita muslimah baik yang sudah baik agamanya maupun belum, diwajibkan untuk menutup auratnya dengan jilbab syar’i dengan tujuan untuk menjaga kehormatan dan terhindar dari godaan laki-laki.” Adit menjelaskan panjang lebar, membuat Aleena yang mendengarnya melongo tidak percaya. Bagaimana mungkin bocah laki-laki yang baru duduk di bangku kelas enam SD itu begitu paham dengan agama, yang dirinya saja tidak tahu?

 

“Tuh! Denger kata adek kamu. Adit aja paham, masa kamu yang perempuan nggak paham?”

 

Aleena tidak menggubris perkataan mamanya. Mulutnya masih menganga, menatap Dito yang cengar-cengir di ambang pintu. “Kok kamu bisa tahu sedetail itu si?”

 

“Aditya gitu lho! Pinternya dari lahir,” ucap Adit memukul dadanya bangga.

 

“Kasih tau dong, siapa yang ngajarin?”

 

“Ustadnya Adit, lah.”

 

“Spill nama dong, Dit!” pinta Aleena hendak berjalan ke arah adeknya.

 

“Nggak boleh kepo!” balas Dito malah berlari keluar, tanpa memedulikan teriakan dari Aleena.

 

***

 

Dua jam sudah berlalu, langit semakin menampakkan kilaunya, mentari pun kian meninggi, namun seorang gadis yang sudah siap dengan tas dan perlengkapan lainnya belum juga beranjak dari tempatnya berdiri. Kedua tangan mungilnya masih saja memilin ujung jilbab berwarna krimer dengan panjang hampir menutupi seluruh tubuh bagian atas.

 

"Alin, berapa jam lagi kamu dandan?" Suara Kunna berhasil menghentikan lamunannya. "Syena sama Arjun udah nungguin tuh, di depan."

 

Mendengar dua nama itu, Aleena lantas meraih handphone dan bergegas keluar, meski dengan wajah yang masih ditekuk. Karena melamun terlalu lama, Aleena merelakan waktu sarapannya agar kedua orang di depan sana tidak menunggunya semakin lama. Aleena sudah bisa meramal ucapan apa yang akan kedua sahabatnya lontarkan jika dia keluar rumah.

 

"Widih, bidadari baru keluar dari khayalan nih," ledek Arjun yang baru membuka helmnya. Aleena tahu jika lutut laki-laki itu sudah keram karena menunggunya.

 

"Khayangan, Kak," imbuh Adit yang berjalan di belakang Aleena. "Kak Arjun pasti kesel ya, karena kelamaan nunggu Kak Alin?"

 

Laki-laki dengan wajah blesteran itu turun dari motornya, berjalan ke arah kakak beradik itu dengan senyum merekah di bibirnya. "Kesel sih iya, tapi mau gimana lagi, Dit. Terlanjur sayang," balas Arjun membuat alis Aleena terangkat sebelah.

 

"Kata guru ngaji Adit, nggak boleh pacaran sebelum nikah. Dosa Kak Arjun, nanti Allah marah."

 

Arjun hanya tertawa kecil mendengar nasehat Adit barusan. Ia lantas mengacak rambut ikal Adit dengan gemas, lalu berjongkok untuk mensejajarkan tubuhnya. "Bilangin ya sama guru ngajinya Adit, kalau sayang itu nggak selamanya tentang pacaran. Kak Arjun sayang sama Kak Alin sebagai sahabat, sama seperti rasa sayang Adit ke Kak Alin."

 

Anak yang memakai seragam merah putih itu mengangguk dan tersenyum lebar. Ia tidak melanjutkan ceramahnya karena sang Papa sudah menunggunya di depan gerbang. Setelah berpamitan, Adit segera masuk mobil sembari menunggu papanya yang masih berbicara dengan mamanya. Sedangkan Arjun dan Aleena, keduanya masih memandang mobil hitam yang sudah menjauh. 

 

"Kita kapan?" tanya Arjun.

 

"Kapan apa?"

 

"Membentuk keluarga yang harmonis kayak gitu?"

 

"Hah?"

 

Arjun kembali tertawa melihat ekspresi Aleena. Wajahnya yang polos selalu berhasil membuat Arjun bahagia. "Maksud gue, kita kapan berangkatnya? Ntar telat," ulang Arjun dan mendapat anggukan dari Aleena.

 

"Syena mana?" tanya Aleena ketika tidak mendapati satu sahabatnya di sana.

 

"Tuh anak nyuruh berangkat duluan. Motornya masih di bengkel," jawab Arjun yang menyerahkan helm kepada Aleena. "Yuk ah. Gue ada kelas Pak Yulian pagi ini."

 

Aleena mengangguk cepat. Keduanya pun berpamitan pada Kunna sebelum pergi. Di tengah perjalanan, mereka hanya diam. Tidak seperti biasanya. Merasa ada yang berbeda dari gadis di belakangnya, Arjun mencoba untuk menanyakannya.

 

"Lo kenapa Lin? Ada masalah?"

 

"Jun, gue cocok nggak pakai baju ginian?" Aleena malah bertanya balik.

 

Di balik helmnya, Arjun mengangguk. Kini ia paham mengapa gadis itu diam sejak tadi. Ia juga baru melihat ada yang berbeda dari penampilan Aleena. 

 

"Jun? Kok diem sih?"

 

"Iya, cocok. Lo kan perempuan, jadi nggak masalah pakai baju gituan."

 

"Gitu ya?"

 

"Iya."

 

"Nggak keliatan kuno, kan?"

 

"Ngga."

 

"Serius?"

 

"Hm." Arjun menghela napasnya panjang. Berbicara dengan Aleena membuat tenaganya terkuras cepat. Namun, jika tidak dijawab, gadis itu tidak akan berhenti bertanya. 

 

***

 

"Masya Allah, sahabat gue sekarang udah hijrah," puji Syena yang sudah menunggu kedatangan mereka di gerbang kampus. Setelah turun dari motor Arjun, Aleena segera menghampiri sahabatnya, dan Arjun juga segera pergi ke ruangannya. "Tapi kok, mukanya kusut amat sih?"

 

"Gue nggak suka pakai ginian, Sye," keluh Aleena memanyunkan bibirnya.

 

"Lha, kenapa? Cantik kok."

 

"Panas, gerah, kayak emak-emak. Gue buka aja ya."

 

Syena dengan gerakan kilat memegang tangan Aleena yang akan membuka jilbabnya. Sebagai seorang sahabat, dia juga punya tanggung jawab untuk menuntun Aleena ke jalan yang baik. Selain itu, Kunna juga sempat meminta bantuannya untuk menjaga Aleena agar tidak membuka jilbab.

 

"Jangan dong, Lin! Udah cantik gini masa mau dibuka sih?"

 

"Aku mau ganti, Sye."

 

"No no no. Tante Kunna udah nyuruh gue buat mantau lo 24 jam."

 

"Segitunya Mama sama gue."

 

"Ini demi kebaikan lo juga, Lin. Bentar lagi kan, Ramadhan, jadi nggak ada salahnya buat perbaiki diri menjadi lebih baik," nasehat Syena. "Udah, jangan dipikirkan. Nanti juga terbiasa kok."

 

"Caranya?"

 

"Temukan alasan untuk mempertahankan hijrah lo ini."

 

Aleena mendengkus. "Gue nggak hijrah, Sye. Ini paksaan tau gak."

 

"Gue yakin, dibalik paksaan ini, Allah sudah nyiapin sesuatu yang istimewa buat lo. Jadi, untuk sekarang, jalanin aja. Oke?"

 

Aleena memutar bola matanya malas. Ia adalah tipikal manusia yang tidak bisa dipaksa dan susah diatur. Namun, bagaimanapun ia tidak akan pernah mengecewakan orang-orang yang ia anggap spesial dalam hidupnya, ia harus belajar.

 

"Oke, gue bakal bantuin lo cari alasan agar bisa menerima keadaan ini."

 

"Gimana?"

 

"Nanti ikut gue ke pengajian di masjid kampus. Gue jamin, lo bakal dapat alasan kenapa harus mempertahankan semua ini."

 

 

Bagian 2 : Pengagum Baru

2 0

Bismillah

Happy Reading ????

...

"Rasulullah Saw., Pernah bersabda : "Sesungguhnya di dalam surga terdapat satu pintu yang dinamakan pintu ‘al-Rayan’ yang hanya dimasuki oleh orang-orang yang berpuasa. Ditanyakan (oleh pintu tersebut): ‘Di manakah orang-orang yang berpuasa?’ Maka mereka pun masuk dari pintu tersebut. Setelah semua orang yang berpuasa memasukinya, pintu itu pun ditutup dan tak akan ada lagi yang masuk melaluinya." Hadis Riwayat Muslim, dari Sahl Ibn Sa’d." Laki-laki berkoko putih itu menjeda kalimatnya.

 

"Apakah diantara saudara-saudara sekalian, ada yang ingin dipanggil khusus oleh Allah dengan panggilan yang begitu indah? Dari tempat yang khusus diciptakan untuk orang-orang yang berpuasa?"

 

Para hadirin baik dari kalangan ikhwan maupun akhwat dari balik tirai kompak mengatakan kata 'pengen'. Jawaban itu berhasil membuat lesung pipinya terlihat. Ia kemudian siap melanjutkan kalimatnya.

"Alhamdulillah. Jika kita ingin menjadi hamba yang dipanggil langsung oleh Allah diakhirat nanti, maka kita harus memantapkan diri agar bisa masuk kriteria tersebut."

 

"Bagaimana caranya, Tadz?" Salah satu jamaah ikhwan mengangkat tangannya.

 

Laki-laki yang dipanggil ustadz itu tersenyum, "pertanyaan yang bagus. Bagaimana caranya? Yaitu dengan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya di bulan Ramadhan yang sebentar lagi akan bertamu di kehidupan kita. Sebuah bulan istimewa yang sudah Allah siapkan khusus untuk orang-orang yang beriman. Bulan yang didalamnya Al-Qur'an diturunkan, bulan yang didalamnya terdapat sebuah malam yang begitu luar biasa, sebuah malam yang jika kita melakukan ibadah di dalamnya, ibadah tersebut lebih baik dari seribu bulan. Kemudian, pertanyaan selanjutnya, apa yang sudah kita persiapkan untuk menyambut tamu istimewa itu?"

 

Salah satu pemuda mengangkat tangan, "Apa perlu ada persiapan, Tadz?"

 

"Sekarang saya tanya. Jika ada presiden yang akan berkunjung ke rumah saudara Minggu depan, apa yang akan saudara lakukan?" tanyanya balik, tanpa menghilangkan senyum penuh kedamaian. "Tentu, saudara akan sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk menjamu tamu saudara bukan? Mulai dari membersihkan rumah, membuat beraneka ragam makanan yang terbaik, dan segala hal lainnya. Benar?"

 

"Benar, Tadz," jawab pemuda tadi.

 

"Dengan sesama manusia saja, persiapan kita sudah sedemikian rupa. Lalu bagaimana dengan Ramadhan? Yang sudah Allah siapkan segala keutamaan di dalamnya, bulan yang Allah lipat gandakan pahala untuk setiap ibadah yang dilakukan hamba-nya."

 

Para hadirin menyimak dengan khusyuk. Tatapan mereka sama-sama terfokus pada satu objek, dimana seorang laki-laki dengan tinggi badan 190 cm berdiri tegap di atas mimbar. Wajahnya yang berseri mampu menghipnotis semua mata yang memandangnya. Senyum khas yang selalu berhasil membuat rasa tenang dan damai di hati.

 

"Khaled, lima menit lagi ya," bisik seseorang yang duduk di sampingnya. Laki-laki itu mengangguk paham dengan memberikan kode melalui tangannya.

 

"Baiklah saudara sekalian, berhubung waktu kita terbatas, untuk pembahasan tentang persiapan Ramadhan Insya Allah kita akan bahas besok. Mungkin hanya itu kajian kita sore ini, semoga dapat diambil manfaatnya. Jika ada kesalahan itu dari saya sendiri, dan jika ada kebaikan itu datangnya dari Allah SWT. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh."

 

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuh," jawab semuanya kompak. Suaranya menggema ke seluruh ruangan di masjid mahasiswa itu.

 

Waktu kian berputar, satu persatu insan yang menyempatkan diri untuk mendengar kajian rutinan itu beranjak meninggalkan masjid. Sampai menyisakan beberapa orang yang memang terbiasa menghabiskan waktu sepanjang hari di sana. 

 

"Kajian tadi luar biasa Tadz, jamaahnya setiap hari semakin bertambah," puji laki-laki yang baru datang dari pintu utama. 

 

"Alhamdulillah, itu karena usaha kalian semua juga, masjidnya semakin rame," balas laki-laki yang sedang menggelar sajadah. 

 

"Subhanallah, vibesnya Ustad Maulana Khaled Hanafi memang beda. Tawadhu-nya benar-benar luar biasa. Rekomendasi imam idaman nih," beo yang lain.

 

Sosok yang dipuji sejak tadi hanya menggeleng. Telinganya sudah bosan mendengar pujian dari teman-teman takmirnya. Bagi Khaled sendiri, berbagi ilmu merupakan sebuah kewajiban bagi mereka yang memiliki pengetahuan akan hal itu. Selama ini, Khaled berusaha untuk memberikan dan membagikan ilmu yang terbaik yang ia miliki, bukan semata-mata untuk mendapat pujian. 

 

"Daripada kalian berbicara yang tidak menghasilkan pahala, lebih baik bantu Mahdi menyalakan lampu, sebentar lagi sholat akan dilaksanakan," titah Khaled dan langsung mendapat persetujuan dari kedua temannya. Salah satu dari keduanya sudah beranjak, satu lainnya berjalan ke arah Khaled yang masih menggelar sajadah.

 

"Kenapa Dri?" tanya Khaled bingung melihat ekspresi Andri.

 

"Sepertinya, pengagum Ente nambah lagi, Tadz." Kening Khaled bergelombang, menandakan bahwa ia belum paham. "Tadi, ada mahasiswi yang nanyain nama Ente. Kayaknya dia ada rencana buat ngedeketin Ente, siap-siap ya," bisik Andri membuat Khaled geleng-geleng. Setelah mengatakan itu, Andri menaik-turunkan alisnya kemudian berlalu pergi.

 

"Kita lihat, apakah dia bisa melewati uji coba dari seorang Khaled," sanggah Mahdi yang tiba-tiba menepuk pundak Khaled. Rupanya, dia mendengar pembicaraan Andri dengan Khaled tadi. Di lain sisi, Mahdi juga penasaran dengan mahasiswi yang diceritakan Andri tadi.

 

***

 

Di waktu yang sama, seorang gadis tengah sibuk menggaruk rambutnya yang tertutup hijab. Sejak tadi ia hanya berpikir untuk segera pulang, membuka kain tebal nan panjang yang menutupi seluruh kepalanya. Setengah jam duduk di masjid tidak membuat kepalanya dingin.

 

Jika sebagian besar orang datang ke majelis pengajian untuk menenangkan hati dan mendamaikan perasaan, berbeda dengan Aleena. Mendengar kajian sore belum bisa membuat hatinya tenang. Tujuannya untuk mencari alasan agar bisa istiqomah berhijab belum ia temukan. Bahkan, di sepanjang kajian gadis itu hanya mengeluh dan menghela napas berat.

 

Akan tetapi, hatinya perlahan menjadi sejuk setelah mendengar suara adzan yang dikumandangkan dari tempatnya mendengar kajian tadi. Kalau saja, waktu Magrib masih lama, mungkin dia akan kembali ke masjid kampus dan mencari tahu pemilik suara itu. Namun, Syena dan Arjun sudah menunggunya di parkiran. Mamanya pun sudah menelpon berkali-kali.

 

"Eh, Mas!" Aleena memanggil seorang laki-laki yang kebetulan lewat di depannya. 

 

"Iya, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?" 

 

"Itu, yang adzan tadi siapa ya?" tanya Aleena to the point.

 

Laki-laki yang tidak lain adalah Andri tersenyum setelah mendengar pertanyaan itu. Bukan karena apa-apa, hanya saja pertanyaan seperti itu seringkali ia dapati dari akhwat yang baru pulang dari kajian yang diisi oleh Khaled. Makanya, Andri tidak heran jika ada yang menanyakan hal yang sama.

 

"Itu yang adzan takmir masjid kampus ini, Mbak. Namanya ustadz Khaled, beliau yang mengisi kajian sore tadi."

 

Aleena membulatkan mulutnya membentuk huruf O, diakhiri anggukan kepala dan senyuman. "Orangnya ganteng nggak?" tanya Aleena tanpa pikir panjang. Kepolosannya benar-benar membuat orang geleg kepala.

 

"Jangankan ganteng, beliau itu idaman mahasiswi di sini, Mbak. Pokoknya paket komplit dah," jelas Andri menampilkan deretan giginya. Dia sangat hobi mempromosikan sahabat takmirnya itu kepada mahasiswi-mahasiswi yang penasaran dengan sosok Khaled. 

 

Aleena memelankan anggukan kepalanya. "Mbak mau masukin daftar list ya?" tebak Andri, membuat Aleena yang polos tertawa kecil. "Nggak apa-apa, Mbak. Penasaran dulu nggak masalah."

 

"Terima kasih, informasinya Mas."

 

"Sama-sama, Mbak. Kalau mau tanya-tanya, boleh japri saya, ya. Saya buka jasa percomblangan, hehe," ucap Andri cengengesan.

 

Lagi-lagi, Aleena membalasnya dengan senyuman. Setelah mengucap salam, Andri pamit pergi. Begitupun Aleena yang sudah mendapat rentetan bunyi klakson dari motor Arjun. 

 

"Kayaknya hobi lo itu ngaret ya, Lin. Lama bener dah," protes Arjun seperti biasa. Dengan tetap mempertahankan senyum, gadis yang dimarahi itu hanya menampilkan wajah tanpa dosa.

 

"Nggak apa-apa ya, Sye, penasaran dulu," ujar Aleena tiba-tiba. Membuat kedua sahabatnya bingung.

 

"Tu anak kenapa?" senggol Arjun.

 

"Obatnya habis, kayaknya."

 

***

 

Bersambung ????

 

Bagian 3 : Pertama Kali Bertemu

1 0

Kerlap kerlip lampu warga sekitar mulai terlihat di sepanjang jalan. Gaungan azan dan pujian kepada Sang Pencipta mulai terdengar, mengalun indah di telinganya. Senyum yang sejak tadi mengembang belum juga pudar di tengah sinar langit yang mulai gelap.

 

"Duh, kok lupa ya," ucapnya tiba-tiba, membuat teman yang fokus mengendarai sepeda motor di depannya menoleh sebentar.

 

"Kenapa?" tanya Syena.

 

"Gue lupa minta nomor hapenya mas-mas tadi, Sye," balas Aleena dengan raut wajah serius.

 

"Lo naksir sama mas-mas masjid?"

 

"Bukan mas masjidnya, Sye, tapi yang azan tadi. Suaranya adem banget. Rasanya lagi makan ice cream rasa stroberi."

 

"Jangan mudah suka sama seseorang, Leen. Nanti kalau tidak sesuai dengan ekspektasi, malah kecewa, kayak sebelumnya."

 

Aleena mengembuskan napasnya, bersamaan dengan desiran angin malam yang terasa dingin. "Insya Allah, kali ini nggak akan lagi. Karena gue yakin, dia itu orang baik-baik."

 

Syena hanya mengangguk singkat di balik helmnya. "Terserah lo aja, deh. Gue doain yang terbaik buat lo."

 

Aleena tersenyum mendengar kalimat sahabatnya. Ia lantas memukul pelan pundak Syena sambil tertawa kecil. Meski postur tubuh Aleena kecil, tapi pukulannya selalu berhasil membuat orang lain meringis. Sama halnya dengan Syena saat ini.

 

"Kenapa dipukul?"

 

"Lagian lo, sih, lucu."

 

"Hah?"

 

"Yang bilang gue suka sama tu cowok siapa? Gue kan cuma bilang penasaran aja, Syena."

 

"Iya, iya. Apa-apa deh, pusing gue," timpal Syena menutup mulutnya rapat-rapat. Ia tidak ingin terlibat pembicaraan yang tidak akan ada habisnya. Baginya, lebih baik berbicara dengan kerbau dari pada dengan sahabatnya itu. Enggaklah! Syena kan sahabat terbaiknya Aleena.

 

"Syen, besok ajak gue ke masjid lagi ya. Tapi kali ini cepetan dikit, biar bisa ikut jama'ah," pesan Aleena sembari melepas helmnya. Mereka sudah sampai di depan rumah Aleena.

 

"Hellow! Aleena Sadna Ramadhani yang cantik dan baik hati—"

 

"Dan rajin menabung," serobot Aleena memotong ucapan sahabatnya.

 

"Gue ngajak lo satu jam sebelum acara Leen, dan kita tiba di masjid lima menit sebelum kajian selesai, itu gara-gara siapa?"

 

"Salah siapa dong?" tanya Aleena polos.

 

"Elo lah, ngaretnya kebangetan."

 

Aleena tersenyum lebar sampai matanya hanya terlihat seperti lengkungan tipis. Kalau sudah memasang ekspresi seperti itu, tandanya dia mengakui kengaretannya. Dasar Aleena.

 

"Ya maaf, kan gue masih makan. Masa iya, gue makan sambil jalan? Ntar kena ceramah Adit lagi."

 

"Oke, besok lo harus stand by depan kelas setengah jam sebelum gue datang."

 

"Kalau nggak?"

 

"Terpaksa gue tinggal, biar lo nggak bisa liat tu cowok masjid."

 

"Ih, kok gitu sih. Jangan dong, pokoknya Syena harus nunggu sampai gue keluar," balasnya tak mau kalah. Sungguh, kalau Syena punya jurus teleportasi dia ingin menghilang saat ini juga. "Oke, diamnya seorang wanita menandakan iya. Jadi, lo harus nunggu gue besok."

 

Syena melongo mendengar ucapan Aleena barusan. "Eh, gue belum ngomong ya—"

 

"Daahh Syena. See you tomorrow, lov you," teriak Aleena yang sudah masuk ke rumahnya. Sedangkan Syena hanya bisa pasrah dengan perlakuan sahabatnya.

 

***

 

"Lho, Mama dari mana? Kok rapi banget? Itu apa? Mama keluar kok nggak ngajak sih?" Aleena yang baru keluar dari kamarnya langsung menyerbu Kunna dengan pertanyaan. 

 

Seperti biasa, wanita kepala tiga itu tidak segera merespon ucapan putrinya. Kunna lebih memilih berjalan ke dapur dan meletakkan dua plastik besar dari tangannya. Aleena memanyunkan bibirnya, meski begitu dia tetap berjalan menyusul mamanya, membantu sang mama mengeluarkan isi dari plastik tadi.

 

"Mama habis beli keperluan selama bulan Ramadhan." Akhirnya Kunna mengeluarkan suaranya dengan tatapan yang masih fokus pada parcel yang berisi kurma, sirup, gula, dan aneka makanan lainnya.

 

"Emang kita puasa kapan sih, Ma?"

 

"Insya Allah, lusa."

 

Aleena mengangguk pelan. "Mungkin persiapan yang dimaksud ustadnya itu yang ini," gumamnya sambil mengamati buah dari Arab itu.

 

"Ustad siapa?"

 

"Tadi, ada kajian di masjid kampus, terus bahas persiapan untuk menyambut Ramadhan."

 

Kunna tersenyum sekaligus bangga. Dia bersyukur Aleena bisa berubah selangkah lebih baik. "Mama bahagia banget, dengerin kamu ikut kajian. Tapi, persiapan yang dimaksud ustadnya bukan itu, Sayang."

 

"Terus yang mana?"

 

Sebelum menjawab pertanyaan itu, Kunna menyuruh Aleena untuk duduk. "Persiapan yang dimaksud itu adalah persiapan hati dan iman kita untuk menyambut bulan suci Ramadhan. Bagaimana agar kita bisa menata hati agar siap bertemu dengan Ramadhan, bagaimana cara kita agar mendapat pahala dan kemuliaan Ramadhan, ilmunya bagaimana, itu yang harus dipersiapkan." Aleena menyimak dengan baik setiap perkataan Kunna.

 

"Karena itu, Papa sama Mama selalu biasakan bahkan paksa Aleena untuk perbanyak puasa Sunnah di bulan Rajab dan Sya'ban, agar nanti pas puasa nggak kewalahan karena sudah terbiasa. Mama sering nyuruh Aleena untuk sholat rawatib, dan …"

 

"Termasuk memaksa Alin untuk memakai jilbab kek gini juga?" tanya Aleena.

 

"Akhirnya kamu peka," balas Kunna tersenyum. 

 

"Apa semua ini termasuk persiapan, Ma?"

 

"Iya, Nak. Semua ini termasuk persiapan. Kenapa harus bersiap-siap? Karena bulan Ramadhan adalah ajang perlombaan bagi orang-orang yang beriman, ladangnya pahala, jadi kita harus mempersiapkan segala sesuatu agar bisa mendapat keistimewaan itu," jelas Kunna panjang lebar. Dia yang notabenenya alumni pondok pesantren terbesar di Jawa mencoba untuk menanamkan akhlak yang baik kepada anak-anaknya, terutama mengajarkan Aleena tentang agama. Dan di bulan Ramadhan inilah, dia berharap bisa mewujudkan impiannya untuk merubah Aleena menjadi wanita solehah.

 

"Tapi Leena kan belum paham tentang puasa, Ma."

 

"Makanya, Mama nyuruh Syena untuk ngajak kamu ke pengajian, dan Mama juga sudah membeli beberapa buku tentang Ramadhan khusus buat Aleena."

 

Mata Aleena berbinar. Melihat pancaran dari kedua mata Kunna membuat hatinya tenang. Mamanya selalu berhasil membujuknya agar bisa berubah menjadi lebih baik, meski harus melewati tahapan yang tidak sebentar.

 

***

 

Sesuai rencana, Aleena dan Syena berhasil berangkat kajian satu jam lebih cepat dari kemarin. Dan sesuai kemauan Aleena, Syena terpaksa menunggu belasan menit di depan kelas sampai gadis itu keluar. Entah apa yang dia lakukan di dalam. Meski begitu, Syena tidak pernah jengah untuk mengajak Aleena untuk ikut kajian. Apalagi menjelang Ramadan seperti saat ini.

 

"Yes, di depan masih kosong," ujar Aleena bahagia. Dengan semangat, ia lantas mendaratkan bokongnya di shaf paling depan, menyusul Syena di belakang. Berhubung kajian akan dimulai setelah sholat Ashar, keduanya memilih untuk ikut berjamaah.

 

Waktu pun terlewat begitu saja. Baik Aleena dan semua jamaah sholat melepas mukena bersamaan, dan bersiap untuk mendengar kajian dari ustad favorit di kampus itu. 

 

"Syena, gue ke toilet dulu ya." Aleena pergi setelah mendapat anggukan dari sahabatnya. Dengan langkah buru-buru, ia hampir menabrak seseorang yang akan keluar dari kamar mandi. "Maaf Kak, saya nggak sengaja," ucap Aleena merasa bersalah karena sudah membuat tas dari wanita itu terjatuh. Bukan karena ditabrak, tapi wanita yang akan memakai cadar itu terkejut dengan kehadiran Aleena yang tiba-tiba.

 

"Tidak apa-apa. Lain kali, hati-hati ya," balasnya tersenyum ramah. Aleena hanya mengangguk, dan kembali meminta maaf sebelum akhirnya benar-benar pergi ke kamar mandi.

 

Usainya menunaikan hajat, Aleena memperbaiki hijabnya terlebih dahulu sebelum kembali ke masjid. Di tengah kesibukannya bercermin, Aleena sempat melirik ke arah wanita tadi. Manik coklatnya terus saja memantau wanita itu sampai wajahnya tertutup sampai bawah mata.

 

Punya wajah cantik kok ditutup ya? Batin Aleena. Merasa sudah selesai, gadis itu lantas beranjak pergi. Namun langkahnya terhenti ketika melihat sesuatu di atas lantai. Sebuah tasbih hijau dengan ornamen masjid yang ia ketahui adalah masjid Hagia Sophia di Turki.

 

"Apa ini punya Mba yang pakai cadar tadi, ya?" Aleena beropini sembari memungut tasbih tersebut. Setelah yakin, Aleena mempercepat langkahnya untuk mencari pemiliknya.

 

Nahas, karena baru beberapa kali ke masjid, Aleena tidak paham jalan keluar dari masjid yang begitu luas. Akibatnya, gadis bergamis biru itu berinisiatif untuk bertanya kepada seorang laki-laki yang kebetulan lewat.

 

"Mas sarungan!" panggil Aleena membuat punggung laki-laki tadi berbalik. "Mas pernah lihat ada cewek pakai cadar lewat sini?"

 

"Di sini banyak yang pakai cadar," balasnya.

 

"Cadarnya hitam, Mas."

 

"Anda bisa mencari di tempat akhwat." Laki-laki itu hendak pergi, namun Aleena kembali membuatnya menoleh.

 

"Saya tidak tahu jalannya, masjid ini luas banget," keluh Aleena. "Saya hanya ingin mengembalikan tasbih ini."

 

Laki-laki itu memandang benda yang dipegang Aleena. "Biar saya yang kembalikan, Saya tahu pemiliknya."

 

Tanpa berpikir panjang, Aleena menyerahkan benda itu dan mengucapkan terima kasih. Begitu sudah berjalan beberapa langkah, ia berbalik. "Mas namanya siapa?"

 

"Apa perlu?"

 

"Biar bisa dipertanggungjawabkan, nanti kalau Masnya nipu, Saya—"

 

"Nama Saya Khaled, Anda bisa cari saya di masjid," balas laki-laki itu to the point. 

 

"Kha?" Aleena mencoba mengingat nama itu. Beberapa detik mengingat akhirnya ia menemukan memori tentang nama itu. "Khaled?"

 

 

Bagian 4 : Tujuan Baru

1 0

Bismillah

•••

Sore itu, jumlah jamaah kajian yang mayoritas adalah mahasiswa dari kampus ternama itu semakin hari semakin bertambah. Entah karena menjelang Ramadhan atau ada alasan lain, pemandangan itu sukses membuat senyum Khaled melebar. Sebagai salah takmir di sana, ia sangat bersyukur karena masjid yang menjadi rumah Allah ramai dengan orang-orang yang ingin mendekatkan diri kepada-Nya.

 

Sejak tadi, ia hanya mengamati kondisi dari pelataran masjid. Hari ini, jadwal Sofyan yang mengisi kajian, makanya Khaled memilih berkeliling untuk melihat suasana di luar masjid. Sesekali ia mengambil sapu dan membersihkan debu yang terlihat di lantai. Selesainya membersihkan halaman masjid, ia berinisiatif untuk mengambil wudhu dan mempersiapkan diri untuk i'tikaf. Namun, teriakan seseorang membuatnya harus menyampingkan niat.

 

Ia berbalik, memandang heran ke arah gadis yang berdiri tak jauh darinya. Kerutan di keningnya semakin jelas tatkala gadis tersebut berlari ke arahnya.

 

"Mas, pernah lihat ada cewek pakai cadar, lewat sini nggak?" tanya gadis itu.

 

"Ada banyak perempuan yang pakai cadar di sini," jawab Khaled jujur. Meskipun merasa tidak nyaman berbicara dengan gadis itu, Khaled tetap menjawab setiap pertanyaannya. Ia sedikit heran dengan tingkah gadis yang tidak tahu arah menuju tempat akhwat. Awalnya, Khaled sedang menduga kalau gadis tadi sedang mencari perhatian, namun ia segera beristighfar setelah mendengar alasan gadis itu memanggilnya.

 

"Saya hanya ingin mengembalikan tasbih ini," gumamnya menunjukkan benda itu kepada Khaled. 

 

Laki-laki itu memandang tasbih itu dengan seksama. Bukannya, ini milik Fahira? Batin Khaled mencoba mengingat dimana ia pernah melihat tasbih seperti itu. Karena tidak ingin terlalu lama bersama gadis itu, Khaled memutuskan untuk mengambil benda tadi dan mengembalikan kepada pemiliknya.

 

"Biar saya yang kembalikan. Saya tahu pemiliknya," ucap Khaled. Gadis itu langsung menyerahkan tasbih itu dan Khaled pun segera beranjak setelah mendapatkan tasbih tadi. Lagi-lagi, suara gadis itu kembali terdengar.

 

"Mas namanya siapa? Biar saya bisa meminta pertanggungjawaban jika Mas tidak amanah."

 

Khaled mengembuskan napasnya, keadaan yang selalu ia hindari kini terjadi lagi, yaitu memberikan namanya kepada seorang perempuan. Namun, jika tidak maka gadis itu tidak akan pergi meninggalkannya.

 

"Saya Khaled, takmir di masjid ini. Kalau Anda tidak percaya, Anda bisa mencari saya." Khaled benar-benar pergi setelah mengucapkan kalimat tadi. Kini, tugasnya tinggal satu, sebelum ia bisa melaksanakan amalannya, yakni mengembalikan tasbih hijau itu kepada Fahira.

 

Sesudah mengambil air wudhu, laki-laki bertubuh tinggi itu kembali ke pelataran masjid, menunggu seseorang yang mungkin sudah lama tak dijumpai. Sembari menunggu, Khaled sesekali mengamati benda itu lalu tersenyum. "Ternyata, kamu masih menyimpannya, Fa," gumamnya.

 

Khaled yang sebelumnya duduk, seketika berdiri ketika melihat beberapa mahasiswi keluar menuruni tangga masjid. Ia menyipitkan mata, memastikan kalau itu Fahira atau tidak. Setelah menemukan sosok yang dicari, Khaled segera menghampirinya.

 

"Assalamu'alaikum," sapanya.

 

Wanita yang sedang bercengkrama dengan temannya menoleh. Dari tatapan matanya menyiratkan kalau dia sedikit terkejut dengan kehadiran Khaled. Begitu tatapan mereka bertemu, baik Khaled maupun Fahira langsung menundukkan kepalanya. "Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuh."

 

"Maaf mengganggu, saya hanya ingin mengembalikan tasbih ini. Ini punya kamu, kan?" Khaled menyodorkan benda tersebut.

 

"Alhamdulillah, akhirnya ketemu. Ana kira hilang. Terima kasih," balas Fahira dengan tersenyum. Meski Khaled tidak bisa melihat senyum itu, tapi ia bisa merasakan kalau wanita itu sedang bahagia.

 

"Bukan saya yang menemukannya. Saya hanya mengembalikan saja." Khaled berkata apa adanya. Setelah menceritakan yang sebenarnya, ia pamit karena urusannya telah selesai.

 

"Ciee, Fahira, disamperin ustad Khaled," goda beberapa temannya. 

 

"Iya, nih. Diam-diam Fahira sudah punya calon," celetuk yang lain.

 

"Jangan bilang kalau kalian sedang ta'aruf?"

 

"Nggak, kok. Siapa yang ta'aruf? Semua ini cuma kebetulan. Toh, kalian dengar sendiri kan, kalau mas Khaled cuma mengembalikan," elak Fahira membantah ekspektasi teman-temannya. Meski demikian, wanita bercadar itu tetap merasa bahagia karena bisa bertukar sapa lagi dengan Khaled, laki-laki itu sempat ia kagumi.

 

***

 

Di lain tempat, Syena masih menunggu seseorang yang belum juga kembali ke tempatnya. Sudah setengah jam lebih, Aleena pergi ke kamar mandi. Setelah berpikir panjang, Syena memutuskan untuk menyusul, ia khawatir kalau sahabatnya itu tidak tahu jalan. Mengingat, Aleena baru yang kedua kalinya datang ke masjid.

 

"Syena!" teriak Aleena dari belakang. Gadis itu mendekat. "Ngapain di sini? Kajiannya udah selesai?"

 

Bukannya menjawab, Syena langsung mencubit hidung Aleena sampai gadis itu meringis, padahal Syena hanya menyentuhnya. Kalau dalam bahasa Adit, dasar kak Ale lebay.

 

"Ih. Jangan suka nyubit hidung gue, Sye. Nanti tambah panjang, kayak Pinokio," protes Aleena sambil mengusap hidungnya.

 

"Habisnya, lo baliknya lama banget. Gue kira kenapa-kenapa."

 

Aleena tersenyum lebar. Dengan singkat, tangannya langsung menggandeng tangan Syena dan menyeretnya untuk kembali ke tempat semula. 

 

"Lo belum jawab pertanyaan gue, ya." Syena melirik sahabatnya yang terlihat begitu senang.

 

"Iya, juga mau cerita kok," timpal Aleena. Ia menceritakan kejadian saat di kamar mandi. Mulai dari bertemu dengan perempuan bercadar, mengembalikan tasbih yang ketinggalan, sampai pertemuannya dengan laki-laki yang membuatnya penasaran akhir-akhir ini. Aleena menceritakan semuanya dengan bersemangat.

 

"Jadi, sekarang lo udah tau orangnya yang mana?"

 

Aleena mengangguk cepat. "Dan, sesuai ekspektasi gue, dia tu bener-bener ganteng, Sye. Udah tinggi, putih, dan yang paling penting, matanya itu meneduhkan banget tau."

 

"Orangnya ramah nggak?"

 

"Nah, untuk yang ini gue belum tau pasti. Kayaknya, dia itu rada introvert deh. Dingin tapi menyejukkan gitu deh pokoknya," cerita Aleena membayangkan sosok yang ditemuinya tadi.

 

Syena mengangguk paham. Ia juga berusaha membayangkan laki-laki yang diceritakan sahabatnya itu. "Tapi ya Leena, biasanya cowok cakep kek gitu banyak yang ngincer. Apalagi dia jadi ustad kampus, nggak kebayang berapa mahasiswi yang ngantri."

 

"Itu mah gue juga udah tau, Syen."

 

"Terus, rencana selanjutnya apa?"

 

Aleena mengetuk dagunya, berpose seperti orang yang sedang berpikir serius. "Mungkin gue bisa cari tau info tentang dia."

 

"Caranya?"

 

"Ya, dideketinlah."

 

Syena menggeleng cepat. Ia tidak percaya dengan ide tadi. "Yang bener Leen? Lo mau ngedeketin cowok kayak gitu?" Yang ditanya mengangguk mantap. 

 

"Memangnya kenapa? Nggak boleh?"

 

"Bukannya nggak boleh, Leen. Tapi lo yakin, bakal berhasil?"

 

"Lo ngeraguin gue?"

 

Syena menggeleng, "bukan itu maksudnya."

 

"Terus?"

 

"Gue cuma khawatir, belum sempet lo deketin, tu cowok bakal ngejauh. Atau mungkin lo bakal kecewa duluan sebelum mendapatkan informasi tentang dia."

 

Aleena menghela napasnya panjang. Dalam hati, ia membenarkan semua yang dikatakan Syena tadi. "Tapi kan gue belum coba Sye. Kita akan tahu hasilnya kalau udah memulai. Seperti kata Kang Anwar, mulai aja dulu." Aleena menyemangati diri sendiri.

 

"Gue terserah lo aja deh, Leen. Gue bakal dukung usaha lo, semoga berhasil ya."

 

"Terima kasih doanya, Syena!" pekik Aleena kegirangan.

 

"Tapi, lo harus hati-hati. Jangan sampai, kesalahan yang lalu terulang lagi. Gue nggak mau liat lo kayak dulu, Leen."

 

"Iya, Sayangku. Kali ini, gue bakal hati-hati. Pokoknya, Ramadhan kali ini gue harus berhasil dapetin tu cowok." Aleena tersenyum penuh keyakinan. Sedangkan Syena hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk sahabatnya. Syena berharap, kali ini takdir benar-benar berpihak pada Aleena.

***

Bersambung

Bagian 5 : List-nya Aleena

1 0

“Rasulullah, Saw pernah bersabda: "Wahai para pencari kebaikan, sambutlah datangnya Ramadhan, wahai para pemburu keburukan, hentikan keburukan Anda. Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba yang Allah bebaskan diri neraka dan itu Allah lakukan pada setiap malam.”

 

"Jamaah sekalian, hadis tersebut menegaskan kepada kita kaum muslimin untuk mempersiapkan versi terbaik kita untuk menyambut Ramadhan, memasukinya dengan penuh keimanan, dan meraup pahala yang sebanyak-banyaknya. Dan alhamdulillah, kita sudah memasuki awal bulan mulia tersebut beberapa menit yang lalu. Jadi, marilah kita berlomba-lomba untuk memenangkan ajang yang begitu istimewa ini, yang hadiahnya tidak tertandingi dengan apapun di dunia ini, yaitu ridho Allah SWT."

 

Pak RT yang sekaligus menjadi imam sholat Isya' tadi mengakhiri ceramahnya. Para jamaah sholat Isya' yang juga sedang menantikan hasil sidang Isbath tersenyum bahagia, merapalkan kalimat hamdalah berulang kali, sebagai ucapan syukur mereka atas kesempatan yang diberikan oleh Allah, yaitu bertemu kembali dengan bulan Ramadhan. 

 

Aleena dan keluarga besar Hasbi Harahap itu pun tak kalah melebarkan senyumnya. Entah karena apa, gadis bermukena pink polos itu merasa begitu senang dan antusias menyambut bulan suci Ramadhan. Bahkan, untuk pertama kalinya ia yang memaksa mamanya agar ke masjid lebih awal karena sangking bersemangatnya untuk melaksanakan tarawih pertama.

 

Meski dengan bekal semangat 45, Aleena tidak bisa membohongi diri kalau ia belum terbiasa sholat dengan jumlah rakaat yang begitu banyak. Ia yang biasanya hanya sholat fardhu, merasa sedikit kelelahan saat menjalani tarawih. Maka, tak jarang gadis itu beristirahat setelah mendapat dua rakaat. Walaupun demikian, Aleena tidak pernah mengeluh. 

 

"Yeay! Akhirnya selesai!" Pekik Aleena kegirangan karena ia baru saja selesai melaksanakan sunnah Witir, sholat penutup pada malam itu.

 

Kunna yang duduk di sampingnya hanya menggeleng. Untung pekikan Aleena tidak terlalu kencang, jadi dia tidak menanggung malu dengan jamaah lain karena ulah putrinya yang masih bar-bar.

 

"Eh, mau kemana?" tanya Kunna tatkala melihat putrinya melipat sajadah.

 

"Mau pulang lah, Ma. Kan sholatnya udah selesai."

 

"Doa dulu, dong, Sayang," nasehat Kunna kesekian kali. Gadis itu cengengesan. Ia lantas kembali ke tempatnya semula, menengadahkan tangan dan mengaaminkan setiap doa yang dipanjatkan dari imam sholat. Tak lupa, Aleena menyebut sebuah nama untuk mengakhiri doanya.

 

***

 

"Mama!" Aleena berteriak dari lantai atas, kebiasaan yang belum juga bisa dihilangkan. "Mau masak, ya?" Gadis itu menuruni anak tangga dengan kecepatan kilat. Bahkan, belum dua menit, Aleena sudah duduk manis di depan Kunna yang masih fokus memotong beberapa sayuran.

 

"Iya, Mama mau masak buat sahur nanti. Mau bantuin?"

 

Aleena mengangguk cepat. Ia lantas mengambil pisau dan membantu sang mama memotong bawang bombay dan beberapa sayuran. Kunna tahu kalau Aleena pandai masak, asalkan ada yang memotongkan bawang merah untuknya. Aleena tidak suka bau bawang merah, karena selalu membuatnya menangis seperti baru diputusin pacar, kata Adit.

 

"Papa sama Adit mana? Tumben televisi nganggur," cicit Aleena dibalik kesibukannya.

 

"Katanya mau beli cilok, tapi nggak tau mau beli dimana."

 

Aleena menghentikan kegiatannya setelah mendengar ucapan mamanya. "Beli cilok? Kok nggak kasih tau aku? Aleena juga mau," rengeknya seperti anak kecil. Ralat, Aleena memang masih bocil. 

 

Kunna beranjak ke dapur, mencuci sayuran dan hendak membuat bumbu. "Nanti juga dibeliin kok, sama Papa."

 

"Oh iya, Mama bener juga," pikir Aleena menyusul mamanya ke dapur. "Bantuin apa lagi, Ma?"

 

"Udah, biar Mama aja ya. Kamu tidur gih, biar cepat bangun sahur."

 

"Ini baru jam sepuluh, Ma. Biasanya kan, Aleen tidur jam satu," ceplosnya tanpa tahu konsekuensi yang harus ia hadapi. 

 

"Jadi selama ini Aleena tidur jam satu? Hm?" tanya Kunna dengan tatapan menginterogasi. 

 

"Hehe, iya, Ma." Aleena mengeluarkan wajah polosnya. Kalau sudah seperti itu, Kunna tidak bisa memarahi anak gadisnya.

 

"Ngapain aja, sampai jam segitu baru tidur, Leen?"

 

"Ada deh, nanti Mama juga tahu kok," balasnya membuat Kunna semakin bingung. "Sini, biar aku yang nungguin airnya mendidih, Ma. Mama siapin bumbu yang lain." 

 

Kunna tidak bertanya lagi. Ia beranjak mengambil bumbu dapur dan membiarkan Aleena mengerjakan apa yang diinginkannya. 

 

***

 

"Sahur! Sahur!"

 

"Sahur! Sahur!"

 

"Sahur! Sahur!"

 

"Mari kita sahur!"

 

Segerombolan anak-anak dan remaja dari beberapa RT di komplek perumahan itu terdengar memenuhi jalanan. Membangunkan setiap orang yang masih tertidur dengan alat seadanya, agar bisa melaksanakan ibadah sunnah tersebut. Ciri khas ketika bulan Ramadhan, kegiatan seperti itu sudah biasa dilaksanakan. Bahkan, tak jarang bapak-bapak ikut membangunkan sahur, baik yang ikut terjun langsung maupun lewat toa masjid.

 

Dengan keramaian yang tercipta dari pukulan panci, galon, atau benda yang lain, dilengkapi dengan teriakan anak-anak membuat lampu satu persatu rumah warga menyala, menandakan kalau sang pemilik sudah bangun.

 

"Kak Aleen! Bangun sahur!"

 

Dug Dug Dug

 

Adit memukul pintu kamar kakaknya sampai menimbulkan suara yang cukup keras. "Kak!" panggil Adit untuk kali ketujuh. Namun belum juga mendapat respon dari pemilik kamar itu.

 

"KAKAK!" Adit meninggikan suaranya, berharap teriakannya bisa menembus telinga Aleena. 

 

"KAK—" Baru akan memanggil lagi, pintu kamar itu sudah terbuka, menampilkan wajah kusut dengan rambut yang acak-acakan. 

 

"Apa sih?" 

 

"Bangun sahur, Kak. Mama Papa udah nungguin dari tadi," jelas Adit.

 

"Kakak nggak sahur, Dit."

 

"Kenapa?"

 

"Ngantuk, mau tidur lagi," timpal Aleena yang hendak menutup pintunya kembali, tapi Adit segera mencegahnya.

 

"Kak Aleen nggak tahu ya, kalau sahur itu salah satu amalan dalam bulan Ramadhan yang dianjurkan oleh Rasulullah Saw." Adit mulai mengeluarkan jurus ampuhnya. "Kata Ustad, dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Hendaklah kalian melakukan sahur, karena sesungguhnya didalam sahur ada berkahnya. Hadis riwayat Bukhari Muslim."

 

Aleena tidak bisa berkutik kalau bocah satu itu sudah berkata seperti tadi. Ia lantas memperbaiki penampilannya dan turun ke bawah, menyusul Adit yang tersenyum bangga setelah berhasil mengamalkan ilmu dari ustadnya. 

 

"Akhirnya, bangun juga putri Papa." Hasbi tersenyum memandangi Aleena yang tidak bersemangat untuk sahur. Hasbi maklum, karena ini puasa pertama Aleena. Sosok ayah itu selalu memanjakan Aleena dan Adit tanpa membedakan keduanya. Berbeda dengan Kunna. Wanita itu bersikap sedikit keras kepada Aleena. Karena kalau tidak begitu, Aleena tidak akan bisa berubah menjadi lebih baik.

 

Setengah jam memasukkan makanan itu dengan paksa ke mulutnya, Aleena akhirnya menyerah. Ia meninggalkan nasinya yang hanya tinggal sesuap, dan pamit untuk ke kamar terlebih dahulu. Kunna juga tidak melarang, karena Aleena pasti sangat lelah karena seharian kuliah, ditambah memotong waktu tidurnya untuk bangun sahur.

 

Sesampainya di kasur favoritnya, Aleena malah tidak bisa memejamkan matanya. Ia kemudian bangun dari rebahannya, berjalan ke meja belajar dan mengambil buku diary. 

 

'Target Ramadan 2022' tulis Aleena di bagian atas lembaran baru. Ia mulai menulis beberapa goals yang ingin ia capai di Ramadhan kali ini.

 

"Ikut Mama kajian, ngabuburit, belajar masak, beli novel, maraton film …" Aleena membaca hasil tulisannya. "Apa lagi ya?"

 

Merasa ada yang kurang, gadis itu memutar kursinya untuk mencari sesuatu yang kira-kira belum ia tulis. Aleena tersenyum lebar setelah menemukan ide. "The last goals in Ramadhan, mengenal Khaled lebih dekat. Kalau bisa, dapat tempat di hidupnya," gumamnya sembari menulis. Usai menulis keinginannya, ia lantas merobek kertas tadi lalu menempelkannya di dinding. "Semoga tercapai, ya Allah."

***

Bersambung 

Bagian 6 : Satu Langkah

1 0

 

Bismillah 

•••

Keheningan malam masih terasa dimana-mana, meskipun lengkingan suara dari alarm yang disetel sedemikian rupa mulai memenuhi gendang telinga. Tak tahan dengan deringan di sampingnya, Khaled bergegas bangun dan meraih benda yang masih bergetar itu. Mata bulatnya mengerjap berulang kali dan akhirnya berhenti setelah membaca jelas angka yang terpampang di layar.

 

Terlanjur bangun dan Khaled tidak akan bisa tidur lagi, ia memilih untuk beranjak ke kamar mandi. Dua menit ia habiskan untuk mencuci muka dan berjalan ke arah dapur asrama. Sebagai pengurus masjid kampus, Khaled beserta takmir lainnya sudah diberikan fasilitas yang lengkap oleh universitas. Mulai dari tempat tinggal hingga saat transportasi, semua sudah disediakan. Bahkan, Khaled berpikir kalau asrama ini melebihi hotel berbintang dua pada umumnya.

 

Di dapur, Khaled mengambil beberapa bahan mentah dari kulkas dan meletakkannya di dekat kompor. Berhubung hari ini sudah memasuki bulan Ramadhan, maka ia berinisiatif untuk memasak makanan untuk teman-temannya yang lain. Karena hanya dia yang pandai masak diantara pengurus yang lain. 

 

Dari beragam jenis sayuran yang masih tersedia, Khaled mengambil beberapa buah wortel, buncis, kentang, dan bahan lainnya untuk membuat sup. Dingin-dingin seperti ini, apalagi di hari pertama sahur, makanan berkuah sangat cocok untuk menambah selera.

 

Karena keterampilannya dalam mengolah bahan masakan, tidak sulit untuk laki-laki yang sudah terbiasa masak seperti Khaled, menghidangkan menu sahur dengan cepat. Selain memiliki wajah rupawan, kecerdasan yang mumpuni dan akhlak yang tinggi, kepandaiannya dalam membuat masakan menjadi daya tarik tersendiri dari sosok Khaled. Kalau kata teman-temannya, paket komplit. Namun, dibalik semua kesempurnaan itu, tidak banyak yang tahu kalau salah satu kekurangan dari laki-laki itu adalah sulit untuk mencintai. 

 

Baik Andri, Mahdi, Rahman, dan jajaran pengurus lainnya sudah berusaha mencari cara agar laki-laki itu bisa sedikit membuka hati untuk sekedar menyukai seorang gadis. Semua sahabatnya khawatir kalau Khaled akan terus membujang seumur hidup, padahal menikah adalah perintah dari Nabi Muhammad sendiri untuk umatnya. Bahkan dalam sebuah hadits, Rasulullah Saw sendiri tidak mengakui umatnya yang tidak mengikuti Sunnahnya, dan Khaled lebih paham tentang hal itu. Akan tetapi, sampai sekarang belum ada sosok yang mampu mengetuk hatinya.

 

"Mas lagi masak pagi-pagi buta?" tanya seseorang yang sudah berdiri di belakangnya. Khaled menoleh dan mendapati Rahman yang baru bangun, terlihat dari matanya yang merah. Dari sekian pengurus masjid, hanya Rahman dan Bayu yang memanggilnya dengan panggilan 'mas' sedangkan lainnya lebih suka memanggilnya ustad.

 

"Buat sahur, Man." Khaled menjawab sembari mengaduk sup yang sudah hampir matang. "Tolong bangunin yang lainnya, ya. Biar tahajjudnya nggak terlambat nanti."

 

Rahman mengangguk cepat. Mahasiswa yang baru semester tiga itu segera pergi, membangunkan yang lainnya untuk sahur.

 

"Bang Andri, bangun Bang! Sahur!"

 

"Kang Bayu, sahur Kang!"

 

"Di, sahur Di!" 

 

Rahman beranjak dari kamar yang satu ke kamar yang lain. Karena asrama khusus takmir itu hanya terdapat lima kamar, tiga ditempati oleh pengurus, satu untuk tamu dan satu lainnya sebagai ruangan diskusi. Setelah berhasil membangunkan semuanya, Rahman pun bergegas kembali ke dapur untuk membantu Khaled. Namun, begitu sampai pintu, semua makanan malah sudah tersaji dengan sempurna.

 

"Masya Allah, Mas Khaled nyiapin semuanya po? Baru aja mau bantuin," tutur Bayu yang datang lebih awal.

 

Khaled yang mendengar itu hanya tersenyum. "Sudah, cepat makan. Takutnya keburu imsak," suruh Khaled kepada teman-temannya. Mereka pun lekas menyantap makanan yang sudah disiapkan itu dengan lahap. Mereka yang sudah selesai langsung mencuci piring masing-masing dan beranjak ke masjid untuk tahajjud berjamaah.

 

***

 

"Ndri, hari ini sibuk nggak?"

 

Andri yang sebelumnya fokus dengan layar handphone, langsung menoleh ketika Khaled memanggilnya. Ia pun melepas earphone yang menempel di telinga, dan berjalan ke tempat Khaled. "Alhamdulillah hari ini kuliahnya libur, Mas. Memangnya kenapa?"

 

"Minta tolong, temenin beli kurma, parsel dan kebutuhan lainnya. Tadi Bayu nawarin, tapi dia harus pergi rapat di TPA."

 

"Bisa, Mas. Mau pergi sekarang?"

 

Khaled mengangguk. Dua laki-laki itu langsung keluar setelah mengunci pintu asrama. Khaled menunggu di depan gerbang, sedangkan Andri pergi mengambil motornya. 

 

***

 

Di tempat yang berbeda, seorang gadis masih terpejam di balik selimutnya yang tebal. Hangat matahari yang memenuhi kamarnya tak mampu menembus seluruh tubuh yang tertutup rapat. Kelopak matanya baru terbuka setelah benda pipih di bawah bantal bergetar.

 

Dengan rasa kantuk yang masih menghinggap di kelopak mata, Aleena memaksakan diri untuk bangun. Tangannya segera membuka notif yang baru masuk. Ia memicingkan mata yang agar bisa membaca pesan di grup dengan jelas.

 

TRIPLEK

Anda, Arjuntampan, dan 1 lainnya.

 

Syenaaa

Semangat puasa pertama gess!

 

Arjuntampan

Males

 

Syenaaa

Nggak nanya, wlek.

 

Arjuntampan

Bocah satu mana nih?

 

Syenaaa

Ibadah tidur

Wkwkw

Aleeee! Bangun woi, Subuh.

 

Arjuntampan

Off

 

Anda

Paan (emot males)

 

Syenaaa

Noh, baru nongol

 

Anda

Baru bangun, tadi sahur nggak tidur

 

Arjuntampan

Libur gini, jalan yuk

 

Syenaaa

Puasa Jun 

Nanti haus

Males ah

 

Anda

Se7

Gue juga mau temenin Mama belanja

 

Aleena mematikan datanya setelah teringat sesuatu. Ia lupa kalau harus menemani sang Mama. Gadis dengan piyama abu itu segera meraih handuk dan berlari ke kamar mandi. Aleena harus turun sebelum telinganya jadi korban teriakan Adit.

 

Tak butuh waktu lama untuk Aleena bersiap-siap. Ia yang mewarisi kecantikan mamanya tak perlu banyak hal untuk berdandan dan mempercantik tampilan. Karena, tanpa make-up sekalipun, ia akan selalu terlihat cantik alami.

 

"Leen? Sudah siap belum?" tanya Kunna dari depan pintu.

 

"Iya, Ma." Aleena menyambar tas hitam kecilnya dan bergegas keluar.

 

***

 

"Sirup udah, susu udah, kurma udah," gumam Aleena menghitung semua belanjaan yang ada di troli. "Mama mau beli apalagi?"

 

Kunna yang juga sedang memeriksa list belanjaan nampak berpikir. "Kayaknya, udah semua deh."

 

Aleena mengangguk. Ia pun mendorong troli yang penuh dengan barang belanjaan menuju kasir. Setelah Kunna membayar semuanya, Aleena pamit duluan untuk mengambil mobil. Karena belanjaannya yang terlalu banyak, tangan Kunna tak tahan memegang lima plastik besar di kedua tangannya. Akibatnya, beberapa barang belanjaan terjatuh ke lantai.

 

"Astagfirullah." Kunna berusaha memungut barang yang terjatuh agar tidak terinjak orang lain. Namun, karena yang terjatuh lumayan banyak, ia mengalami sedikit kesusahan.

 

"Ibu tidak apa-apa?" Suara seseorang membuatnya mendongak. Kunna mendapati seorang pemuda yang langsung duduk untuk membantunya.

 

"Terima kasih, Nak," ucap Kunna.

 

"Sama-sama, Bu."

 

"Mama?! Mama kenapa? Kok bisa jatuh?" pekik Aleena yang berlari ke arah mereka. Gadis itu langsung memeriksa seluruh badan sang mama untuk memastikan dia baik-baik saja. "Mama nggak apa-apa kan? Ada yang sakit nggak?"

 

Melihat tingkah putrinya yang berlebihan, membuat Kunna menggeleng. Tapi siapa yang tahu, sikap Aleena seperti itu berhasil membuat seseorang yang berdiri di depan mereka tersenyum tipis.

 

"Mama nggak apa-apa, Sayang. Tadi itu, plastiknya jatuh karena jari Mama penuh, dan barang-barangnya berserakan. Tapi untungnya, Nak kasep ini bantuin Mama."

 

"Nak kasep? Siapa?" tanya Aleena.

 

"Tuh." Kunna menunjuk ke arah laki-laki yang masih berdiri di depan mereka.

 

Aleena membulatkan matanya ketika melihat sosok yang dimaksud mamanya. "Lho, Mas ini kan?" Aleena mencoba mengingat. "Mas sarungan, kan?"

 

"Nama saya Khaled." Laki-laki itu membenarkan kalimat Aleena tadi.

 

"Kalian sudah saling kenal?"

 

"Tidak, Bu."

 

"Iya, Ma."

 

Aleena dan Khaled serempak menjawab, namun dengan jawaban yang berbeda. Hal itu membuat Kunna tersenyum.

 

"Kalau begitu, saya pamit Bu."

 

"Ah, iya Nak Khaled. Terima kasih banyak ya, sudah menolong Ibu."

 

"Sama-sama, Bu. Assalamu'alaikum." Khaled meninggalkan dua perempuan itu setelah salamnya dijawab. Melihat punggung Khaled yang hampir menjauh, sesuatu tiba-tiba muncul di pikirannya.

 

"Ma, tunggu sebentar, ya." Aleena beranjak mengikuti Khaled dengan membawa sesuatu di tangannya. "Mas! Mas Khaled! Tunggu dulu!" teriak Aleena dengan langkah yang dipercepat.

 

Pemilik nama pun menghentikan langkahnya. "Kamu panggil saya?" Aleena yang sudah berada di samping laki-laki itu mengangguk. "Ada apa?"

 

Tanpa menjawab terlebih dahulu, Aleena menyodorkan sekotak kurma kepada Khaled. "Ini, buat Mas. Sebagai ucapan terima kasih sudah menolong Mama saya."

 

"Titip salam ke mamanya, tidak usah berterima kasih. Saya ikhlas," balas Khaled mencoba menolak.

 

"Nggak apa-apa, ambil aja. Ini halal kok."

 

"Bukan begitu, tapi–" Belum selesai dengan kalimatnya, Aleena dengan sigap meletakkan kurma itu ke dalam plastik yang dibawa Khaled.

 

"Rasulullah menganjurkan kita agar berbuka dengan yang manis-manis," kata Aleena tersenyum lebar, sebelum akhirnya pergi begitu saja.

 

Khaled menatap raga Aleena yang sudah menghilang dengan lengkungan indah di sudut bibirnya. "Terima kasih," gumamnya dan juga pergi meninggalkan tempat itu.

 

Aleena yang sudah kembali ke tempat mamanya, langsung mengambil alih untuk membawa barang belanjaan dan berjalan ke mobil.

 

"Tadi habis darimana?" tanya Kunna.

 

"Oh iya, lupa. Mama dapat salam dari calon mantu, katanya dia ikhlas bantuin Mama," ujar Aleena begitu saja. 

 

"Calon mantu? Siapa?" Kunna jadi bingung sendiri.

 

Menyadari sesuatu, Aleena lantas menutup mulutnya yang suka asal bicara tanpa berpikir panjang. "Maksudnya, Mas Khaled, Ma."

 

Lain kali, mulutnya dipakein penyaring, Leen. Batin Aleena. 

 

Kunna yang melihat itu langsung tersenyum. "Putri Mama sudah dewasa, ya." Aleena hanya menanggapi dengan senyuman juga.

 

Satu langkah berhasil. Lanjut ke langkah berikutnya.

***

Bersambung

Bagian 7 : Kesempatan

1 0

Bismillah

•••

Sepanjang perjalanan, Aleena hanya tersenyum membayangkan wajah Khaled ketika dirinya memasukkan kurma itu ke dalam plastik milik laki-laki itu. "Semoga dia suka." Aleena bermonolog sendiri.

 

Kunna yang sempat mendengar gumaman itu menoleh. Keningnya mengerut ketika mendapati putrinya yang tengah senyum-senyum sendiri. "Kamu ngomong apa tadi, Leen?"

 

Aleena yang fokus mengemudi beralih melihat mamanya sebentar. "Eh, anu. Nggak apa-apa, Ma," balasnya meyakinkan.

 

"Oh, begitu." Kunna mengangguk singkat. "Ketemu sama Nak Khaled di mana? Kelihatannya, kamu kenal banget sama dia."

 

"Jadi gini, Ma." Aleena menceritakan semua kejadian waktu dirinya ikut kajian bersama Syena. Mulai dari mendengar suara Khaled untuk pertama kali, bertemu dengan wanita bercadar, sampai bertemu langsung dengan Khaled ketika akan mengembalikan tasbih kepada pemiliknya.

 

Kunna yang mendengar cerita putrinya tertawa kecil. "Kok bisa-bisanya kamu nggak tahu jalan, Nak?" heran Kunna saat tahu kalau Aleena tersesat di area masjid kampus.

 

"Aleena kan baru pertama ke masjid, Ma. Lagian, kalau waktu itu Aleena tau jalan, nggak jadi dong ketemu sama Khalednya."

 

"Jadi ceritanya, sekarang udah suka nih, sama Nak Khaled?" terka Kunna mengangkat sebelah alisnya.

 

"Suka, Ma. Suka banget. Eh–" Aleena segera menutup mulutnya rapat-rapat. Kini, pipi putihnya sudah berubah menjadi kemerah-merahan. Bicara tentang Khaled membuatnya jadi salting sendiri.

 

"Tingkah kamu ini, buat Mama keinget pas pertama kali ketemu sama Papa." 

 

"Kok bisa, Ma?"

 

Kunna mengambil napas panjang, kemudian mengeluarkannya pelan. "Dulu, Mama dan Papa juga ketemu secara kebetulan ketika Mama ikut salah satu UKM di kampus. waktu itu, Papa kamu jadi ketuanya. Dari situlah, Mama mulai kagum karena kepintarannya dalam memimpin organisasi. Bahkan, yang jatuh cinta duluan itu Mama. Padahal waktu itu, Papa kamu cuek banget."

 

Aleena menyimak dengan seksama. Tanpa terasa, jalanan yang mereka lewati sudah mendekati arah rumah mereka. "Terus, apa yang Mama lakuin setelah itu?" tanya Aleena seraya membantu Kunna membawa barang belanjaan ke dalam rumah.

 

"Ya, Mama terus nekat deketin Papa."

 

"Hah?"

 

"Eits. Bukan deketin secara fisik ya. Deketin dalam arti, Mama terus sebut nama Papa setiap kali sholat. Mama print foto Papa dan nempelin di meja belajar. Setiap kali mau belajar, Mama sholawatin. Dan akhirnya, Allah memberikan jawaban atas doa Mama selama ini, gitu." Kunna menyelesaikan ceritanya begitu mereka sampai di dapur.

 

"Oooo, jadi gitu resepnya," gumam Aleena mengangguk pelan. 

 

"Iya, Sayang."

 

"Jadi, Mama kagumi secara diam-diam sambil didoain ya? Apa ngga sakit, Ma nyimpen semua itu dalam diam?"

 

"Nak, kamu pernah dengar kalimat ini nggak? Berani mencintai harus siap terluka." Aleena mengiyakan. Kata-kata itu sering ia jumpai di story temannya. "Itulah hukum cinta. Ketika kamu memutuskan untuk mencintai seseorang, maka secara tidak langsung kamu juga sudah siap untuk menerima semua konsekuensinya. Entah itu luka, bahagia, kecewa, dan semuanya. Namun, ketika kamu libatkan Allah dalam setiap rasa itu, semuanya akan menjadi indah, Sayang." Kunna mengelus rambut Aleena yang tertutup hijab.

 

"Tidak ada salahnya jatuh cinta. Mama juga nggak ngelarang Aleena buat cinta sama seseorang, tapi Aleena harus ingat. Cinta itu akan berakhir, tergantung dari cara kita mendapatkannya. Kalau kita mendapatkannya dengan cara yang baik, cara yang diridhai Allah, maka hasilnya pun akan indah. Karena kita melibatkan Sang Pemilik cinta itu sendiri. Begitu juga sebaliknya. Sampai sini, Aleena paham kan?"

 

Gadis itu mengangguk bersemangat. Entah kenapa, untaian kata dari sang mama menimbulkan getaran di hatinya. Aleena merasa, ia mempunyai kekuatan baru untuk menjalankan misinya. "Terima kasih, Ma."

 

***

 

Siang ini tidak lagi seperti hari-hari sebelumnya. Hembusan angin yang masuk ke ruang utama tempat penghuni kampus yang muslim itu pun berbeda. Terik yang terasa tidak sepanas kemarin. Itulah hawa yang selalu Khaled rindukan ketika Ramadhan di Indonesia. Berbuka bersama sahabat dan jamaah, berbagi makanan kepada yang berpuasa, tadarus Al-Qur'an sampai menjelang pagi, dan hal istimewa lainnya, membuat Khaled belum berniat pulang. 

 

Kini, laki-laki yang masih memakai sarung dan kaos lengan pendek warna abu tua itu tengah memandang megahnya bangunan yang ada di depan mata. Otaknya kembali mengenang saat-saat pertama berada di tempat ini, bertemu dengan orang-orang baik, dan semua hal yang masih terekam jelas di memori.

 

"Lamunin apa, Tadz?" tanya Andri yang tiba-tiba muncul. Meskipun tidak berniat untuk mengejutkan, tapi tepukan tangan yang singkat itu sukses membuat Khaled terperanjat. 

 

"Astagfirullah," lirih Khaled mengusap dada, pertanda kalau ia sedang menghilangkan keterkejutannya. "Kebiasaan."

 

"Tadi Ane udah ucap salam, tapi nggak ada jawaban. Eh, ternyata lagi ngelamun," ujar Andri mencari pembelaan.

 

"Tadabbur, Ndri." Khaled meralat kesimpulan Andri barusan.

 

"Oh iya, Tadz. Untuk proposal kegiatan Ramadhan kemarin, sudah disetujui oleh pihak kampus. Donasi dan fasilitas lainnya pun sudah aman. Jadi, kita tinggal menjalankan kegiatannya."

 

Khaled yang mendengar itu tersenyum. "Alhamdulillah."

 

"Tapi, Tadz, ada masalah di panitianya."

 

"Kenapa?"

 

Andri memperbaiki posisinya agar lebih nyaman. "Tadi Zulfa ngasih tahu, kalau panitia Ramadhan kekurangan anggota. Nah, untuk melaksanakan kegiatan yang begitu banyak, kayaknya agak susah. Piye iki?"

 

"Mungkin dari ketua panitia, bisa merekrut anggota baru. Seperti mengadakan oprec untuk tahun ini."

 

"Jadi, antum harus segera melakukan pembukaan pendaftaran bagi mahasiswa yang ingin ikut kegiatan Ramadan, Tadz. Antum, kan, ketua panitianya."

 

Khaled menepuk jidatnya, lupa kalau dirinya sendiri yang menjadi ketua panitia. "Astagfirullah, lupa, Ndri. Kalau gitu, tolong buatin formulir pendaftarannya ya. Sistemnya online saja, biar nggak susah. Jadi, besok tinggal wawancara."

 

"Siap, komandan!" Andri bergegas mengambil laptopnya dan melaksanakan apa yang diperintahkan Khaled tadi.

 

***

 

Allahu Akbar

 

Allahu Akbar

 

"Alhamdulillah. Allhumma Kaka shumtu, wabika aamantu, wa'ala rizqiqa aftortu, birahmatika ya arhamar Rahimin." 

 

Gema azan Magrib terdengar sudah. Menandakan waktu berbuka puasa telah tiba. Waktu seperti ini merupakan momen yang paling ditunggu oleh Aleena. Bahkan, sejak Ashar tadi ia sudah duduk manis di meja makan sembari memilah buah dan makanan untuk dirinya. Sedangkan Adit yang usianya jauh di bawah Aleena, terlihat sibuk dengan juz Amma miliknya. Tentu saja, tingkahnya itu membuat Kunna dan Hasbi geleng-geleng kepala. 

 

Ketika momen berbuka sudah selesai, Aleena segera membantu Kunna mencuci piring dan bersiap untuk sholat berjamaah. Tepat pukul tujuh lebih sepuluh, keluarga kecil itu sama-sama melangkah ke masjid untuk menunaikan ibadah sholat tarawih.

 

"Aleee!" panggil Syena yang sudah berdiri di depan pintu masuk. Ia sengaja menunggu sahabatnya di sana. Pemilik nama pun mempercepat langkah dan langsung mengambil shaf paling depan.

 

"Aleen, lo udah baca chat gue nggak?"

 

Aleena menggeleng,"aku belum sempat buka hp tadi. Emangnya kenapa?"

 

"Itu lho, Lembaga Dakwah Kampus lagi buka pendaftaran untuk jadi anggota panitia Ramadhan. Lo mau ikut nggak?"

 

"Buat apa?"

 

"Ya, buat ngisi Ramadhan. Daripada jalan-jalan nggak jelas kan, lebih baik ikut jadi panitia. Bisa bantu-bantu nyiapin menu buka, denger kajian, pasti seru deh."

 

Aleena berpikir sebentar. Membayangkan bagaimana kegiatan itu membuat Aleena ingin menolak. Ia memikirkan lelahnya harus ikut kegiatan seperti itu saat Ramadan. "Kayaknya, nggak dulu deh. Pasti capek banget, selain itu–"

 

"Ish. Jangan pikirin capeknya, Aleen, tapi pikirin pahalanya. And, for you information, lo tau gak siapa ketuanya?"

 

"Siapa emang?"

 

"Khaled."

 

Kelopak mata Aleena berbinar seketika. "Oke, kalau gitu gue ikut. Waktu pendaftarannya sampai kapan?"

 

"Malam ini, jam sembilan."

 

"What?! Kok singkat banget sih?"

 

"Emang sistemnya terbatas, Leen. Makanya kudu gercep. Sat set gitu."

 

Ya Allah, bantuin daftar yaa. Please.

 

***

 

Bersambung

 

 

 

Bagian 8 : Kisah Arjun

1 0

Bismillah


°°°


Sejak mengetahui tentang pendaftaran itu, Aleena menjadi bersemangat melakukan ibadah tarawih. Sangking semangatnya, sampai-sampai ia ingin mengerjakan dua puluh rakaat sekaligus karena takut tidak bisa ikut mendaftar.


"Alhamdulillah, selesai juga," ujar Aleena menghela napas lega. Dari tadi ia menunggu rakaat terakhir dari sholat witir selesai. Karena sudah mendahului imam berdoa, gadis bermukena biru muda itu segera pamit kepada mamanya untuk pulang terlebih dahulu. 


Ditemani Syena, Aleena berani pulang di saat keluarganya masih di masjid. Setibanya di kamar, ia langsung meraih handphonenya dan mencari informasi yang dimaksud Syena. 


"Gimana? Linknya masih bisa nggak?" tanya Syena yang baru tiba. 


Karena terlalu fokus dengan layar ponsel, Aleena hanya menjawab pertanyaan sahabatnya dengan anggukan singkat. Helaan napas panjang keluar dari bibir tipisnya. "Yes. Berhasil Sye," ujarnya tersenyum lebar. 


"Alhamdulilah."


"Gue ke kamar mandi dulu, ya." Gadis itu lantas melepas mukena yang masih melekat di badannya dan berlalu. Detik ketiga puluh, ia sudah kembali dengan wajah yang basah.


"Leen, hape lo bunyi dari tadi. Ada yang nelpon mungkin," beri tahu Syena menunjuk ke benda yang dimaksud.


Tanpa berkata apa-apa, Aleena meraih handphone dan kembali meletakkannya di tempat semula. Hal itu membuat kening Syena mengerut. Melihat kebingungan di wajah sahabatnya, Aleena mengembuskan napas dan kembali mengambil benda yang ia letakkan tadi. 


"Qur'an time," eja Syena membaca tulisan yang terpampang di layar. Gadis blesteran Jawa-Sunda-Mesir itu pun mengangguk paham. "Masya Allah. Hijrahnya Aleena lengkap juga ternyata."


Aleena hanya cengengesan. Sebenarnya, ia melakukan kebiasaan baru itu karena suruhan orang tuanya yang mengancam kalau Aleena tidak rajin beribadah di bulan Ramadhan, maka ia tidak akan diizinkan untuk kuliah bersama Syena ke dua benua.


"Gue ngaji bentar ya, abis itu gue anterin pulang," beo Aleena yang berjalan ke rak buku, mengambil mushafnya yang tersusun rapi di sana.


"Nggak usah Leen, gue bisa pulang sendirian. Lagian, gue kan cuma nemenin lo."


"Syena Azehra, gue nggak nerima penolakan, oke?"


Melihat tingkah Aleena yang keras kepala, mau tidak mau akhirnya Syena menyetujuinya. Sembari menunggu sahabatnya selesai mengaji, ia memilih membaca beberapa novel koleksi Aleena. Meskipun sudah sering ke tempat ini, Syena masih saja dibuat kagum dengan koleksinya buku Aleena yang begitu lengkap. Gadis 18 tahun itu memang sangat suka mengoleksi buku, apalagi novel yang berbau romance, tapi entah kenapa Syena juga heran, kisah Aleena tidak pernah seindah novel yang dibacanya.


"Ya udah, yuk pergi!" ajak Aleena yang sudah siap dengan kaos lengan panjang warna krem, celana kulot hitam serta tak lupa balutan jilbab pashmina warna senada dengan bajunya.


"Eh, kalian mau kemana?" Kunna yang sudah pulang setengah jam yang lalu tiba-tiba muncul di samping mereka. 


Aleena segera meraih tangan Kunna lalu menciumnya. "Aleena mau nganterin Syena pulang dulu, Ma."


"Pamit dulu, ya, Tante. Udah malam, nanti dicariin Abah."


Kunna hanya mengangguk pelan. Sebenarnya, ia ingin agar Syena lebih lama di sini agar Aleena bisa menemani putrinya belajar ilmu agama. Karena kalau Aleena sendiri yang belajar, ia sangat mudah bosan dan akhirnya tertidur.


"Kalian hati-hati, ya."


Baik Syena ataupun Aleena mengangguk mantap. Setelah mengambil helm dan motor Scoopy kesayangannya, Alena langsung tancap gas menuju rumah Syena yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kompleks perumahannya.


***


"Thanks ya, udah nganterin," tutur Syena di depan gerbang rumahnya. Tanpa membuka helm, Aleena segera mengacungkan jempol sebagai jawaban.


Begitu Syena masuk rumah, Aleena kembali mengendarai motornya. Ia harus sampai rumah sebelum pukul sepuluh. Namun ternyata, keinginan gadis cantik itu tidak berjalan mulus. Di tengah perjalanan, motornya tiba-tiba mati.


"Yaelah. Malah abis lagi nih bensin," gerutu Aleena memandang tangki bensin yang sudah kosong. "Terus gue baliknya gimana?"


Karena kehabisan akal, Aleena terpaksa mendorong motornya seraya mencari pom bensin terdekat. Selain beban motornya yang tidak ringan, jarak yang ditempuh gadis itu juga membuat keningnya penuh dengan keringat. "Yuk bisa yuk. Dikit lagi." Aleena menyemangati diri sendiri.


Beralih dari Aleena, di ujung jalan ada sepasang mata yang memandangnya dari tadi. Karena sudah memastikan dengan jelas, sosok yang memakai jaket hitam itu lantas menghidupkan motor ninjanya dan berniat menghampiri gadis itu sedang menyeret motornya.


"Aleena?" sapa sosok itu, membuat Aleena terperanjat.


"Arjun. Lo ngapain di sini?" Aleena bertanya balik.


Sebelum menjawab, Arjun terlebih dahulu turun dari motornya. "Gue habis jalan-jalan. Beliin Nana cimol."


"Ooo."


"Motornya kenapa?"


"Bensinnya habis, jadi gue mau cari pom bensin tapi belum nemu. Malah gue udah capek banget lagi," keluh Aleena mengusap peluh di sekitar wajahnya. 


"Nih, minum dulu." Arjun menyodorkan sebotol minuman yang langsung disambut senang oleh Aleena. Merasa kasihan, Arjun mengambil alih untuk mendorong motor Aleena. Sebelum itu, dia menelpon seseorang untuk mengambil motor miliknya.


"Eh. Motor gue mau dibawa kemana?" teriak Aleena yang terkejut karena Arjun tiba-tiba mendorong motornya, berjalan mendahului dirinya.


"Gue mau bantu nyari pom bensin, biar lo cepet pulang, terus tidur."


Aleena tersipu dengan sikap Arjun. "Ciee, perhatian banget sih," cicitnya berusaha mensejajarkan langkah.


"Biar gue nggak telat lagi, gara-gara nunggu putri tidur yang kesiangan mulu," balas Arjun. Ekspresi Aleena berubah seketika. Bibirnya yang tipis sudah mengerucut, membuat wajahnya terlihat menggemaskan.


"Baru aja disanjung, eh udah dijatuhin. Jahat lo."


Arjun hanya menimpali dengan kekehan kecil. Aleena tidak berbicara lagi setelah mereka sampai di pom bensin. 


"Bawa uang nggak?" tanya Arjun pada gadis di sampingnya. Yang ditanya langsung menggeleng, tanpa melupakan wajah tanpa dosa. Arjun yang sudah hapal tingkah laku Aleena menggeleng cepat. Laki-laki itu mengambil beberapa lembar uang dan menyerahkannya kepada bapak pemilik pom bensin tersebut. Aleena memang hobi menyusahkan Arjun.


"Ayo, naik! Gue anter pulang."


"Serius?" Arjun mengangguk singkat. "Baik banget sih. Kalau gini kan, gue jadi–"


"Lima jam lagi sahur lho, Aleen," peringat Arjun agar Aleena cepat naik dan tidak banyak bicara lagi. 


Sepanjang perjalanan, keduanya hanya diam. Arjun yang fokus mengendarai motor dan Aleena yang sibuk menikmati pemandangan di malam Ramadhan. Senyum gadis itu kian mengembang, merasakan hawa Ramadhan yang begitu menenangkan. Bahkan, Aleena merasa kalau Ramadhan tahun ini sangat istimewa karena dirinya sedang dalam usaha memperjuangkan seseorang. Sosok yang berhasil membuatnya penasaran dan ingin terus mengenal lebih dalam.


"Jun?"


"Hm."


"Lo pernah suka sama seseorang nggak?"


"Sering, emangnya kenapa?"


"Dasar buaya," cemooh Aleena menepuk pundak Arjun. "Gue nanya serius, Arjuna."


"Gue juga jawabnya serius."


"Benar-benar suka sampai ingin memperjuangkan, pernah nggak?"


Arjun terdiam sebentar, kemudian tersenyum tipis. "Pernah. Saking kerasnya gue berjuang, malah kecewa yang gue dapetin."


Aleena mengernyitkan keningnya. "Kok bisa? Bukannya, usaha itu tidak akan mengkhianati hasil?"


"Iya, tapi lo juga harus ingat. Hasil juga bisa mengkhianati usaha, tergantung dari cara lo memandang usaha itu. Dan mirisnya lagi, waktu itu gue terlalu berharap sampai gue tenggelam dalam harapan yang gue buat sendiri."


Aleena menyimak dengan seksama. Angin sepoi-sepoi yang melewati wajahnya, semakin menambah kekhusukannya mendengar ucapan Arjun.


"Kenapa tiba-tiba nanya gituan? Lo lagi suka sama seseorang?"


"Suka sih, belum. Cuma masih proses," balas Aleena dengan suara kecil.


"Siapa?"


"Nanti deh, gue kasih tau kalau udah beneran berhasil. Doain gue, ya."


Arjun tidak bersuara lagi. Ia lebih memilih diam dan melihat wajah bahagia Aleena lewat kaca spion. Arjun ikut tersenyum karenanya. Senyum itu menghilang setelah mereka sampai di depan rumah Aleena.


"Terima kasih banyak ya, udah bantuin dorong motor sampai nganterin pulang."


"No problem."


"Terus, lo pulangnya gimana?"


"Gampang. Nggak usah mikirin gue," ungkap Arjun bangga.


"Idih. Siapa yang mikirin lo, sih?"


"Mendingan lo masuk, terus bocan. Biar Adit nggak susah bangunin lo."


"Iya, iya. Bawel banget sih." Meskipun menggerutu, Aleena tetap mengikuti perintah Arjun. Gadis itu menutup gerbang setelah mengucap ucapan selamat malam kepada laki-laki yang masih berdiri di depan gerbangnya. Arjun hanya tersenyum dan melambaikan tangan. Tingkah keduanya berhasil menyita perhatian seseorang di balik jendela yang terbuka lebar.


Aku bahagia, akhirnya kamu bisa move on, Ar. Gumamnya dibalik wajah yang tertutup kain. 



Bagian 9 : Degup

1 0

Bismillah


Rintik hujan kembali mengguyur bumi setelah hampir seminggu planet tempat manusia berpijak Ini terasa membakar sangking panasnya. Tidak seperti hari kemarin, mungkin pagi ini akan terasa lebih sejuk dan hangat. 


Bulir-bulir air yang hanya berbentuk garis kecil itu rupanya tidak mampu menghilangkan tekad Khaled untuk membersihkan area masjid. Usai sholat Subuh tadi, ia langsung mengganti baju dan kembali ke masjid. Berbeda dengan Andri dan kawan lain yang memilih tidur dan akan beraktifitas sekitar jam tujuhan.


"Bang Khaled!" Teriakan itu mengalihkan pandangannya. Senyum tipis seketika membingkai di wajahnya tampannya. "Assalamu'alaikum, Bang."


Khaled melepas sapu yang sejak tadi ia pegang sebelum menerima uluran tangan dari laki-laki yang baru tiba di depannya. "Wa'alaikumussalam. Tumben pagi-pagi ke sini, Wan. Ada tugas?" 


Laki-laki yang dipanggil Ridwan itu menggeleng. "Saya ke sini, mau ketemu sama Abang. Kangen banget soalnya," balas Ridwan membuat senyum Khaled kian melebar.


"Kamu ini bisa saja." Khaled dan Ridwan tertawa bersama. "Gimana kondisi Ummah?"


Ridwan mengikuti Khaled yang sudah duduk di emperan masjid. "Alhamdulilah, Bang. Ummah sudah membaik, makanya bisa ke sini. Tapi ya gitu, harus tetap kontrol secara rutin." 


Khaled mengangguk paham. "Syukurlah, kalau begitu. Masih tinggal di rumah Oma?" 


"Untuk sementara waktu, Bang," balas Ridwan. "Oh iya, Abang kapan main ke rumah lagi? Udah lama nggak ke sana. Terakhir, saat kak Zulfa mau balik ke Brunei."


Khaled tersenyum mengingat momen itu. "Insya Allah, kalau ada waktu, Abang datang jenguk Ummah."


"Nggak sekalian bawa mahar lagi, Bang?" tanya Khaled menaik turunkan kedua alisnya. Laki-laki hanya merespon dengan tawa kecil. "Teman-teman Abang yang lain pada kemana?"


"Sedang menjalankan ibadah tidur, Wan."


"Abang nggak?"


"Ini, kan. Membersihkan masjid juga ibadah to?"


Ridwan tertawa kecil, mengiyakan perkataan Khaled tadi. "Oh iya, kata kak Zulfa hari ini ada kegiatan ya Bang?"


"Iya, pendaftaran untuk panitia Ramadhan."


"Aku boleh bantu-bantu bersihin masjid nggak, Bang?"


"Boleh, dong." Setelah mengatakan itu, Ridwan segera mengambil sapu lidi dan menyapu halaman depan. Setelah semuanya bersih, kedua laki-laki itu beralih membersihkan bagian dalam masjid, serta menyiapkan tempat untuk kegiatan wawancara nanti.


Tepat pukul sembilan pagi, seluruh area masjid sudah bersih sempurna. Tempat untuk kegiatan hari ini juga sudah siap. Khaled yang belum membersihkan diri pun pamit karena sisa persiapannya ditangani oleh temannya yang lain.


***


Karena tidak tahu harus melakukan apa, Ridwan iseng membuka dokumen-dokumen yang berisi nama-nama pendaftar untuk menjadi panitia Ramadhan tahun ini. Meskipun dia tidak berkuliah di universitas yang sama dengan kakaknya, tapi kedekatan Ridwan dengan takmir dan jajarannya melebihi mahasiswa yang berkuliah di tempat ini.


Bahkan tak jarang, laki-laki berkulit kuning langsat itu menghabiskan waktunya bersama Khaled di masjid. Sesekali, Khaled juga menyuruhnya untuk mengisi kajian sore, dan Ridwan dengan senang hati menyanggupinya.


"Iwan? Kamu disini?" Kedatangan seseorang mengalihkan kegiatannya. Ia langsung tersenyum begitu melihat gadis bercadar yang sudah berdiri di sampingnya. 


"Eh. Kak Zulfa." Ridwan menutup dokumen tadi dan menyuruh kakaknya duduk. "Iya, Kak. Di rumah suntuk, makanya main ke masjid aja."


Zulfa mengangguk paham. Sejak pagi, adek satu-satunya itu sudah menghilang dari rumah tanpa memberi tahu mau kemana, dan ternyata ngongol di sini. Tentu ia sebagai kakak bolak-balik mencarinya.


"Nih. Handphone kamu, tadi Ummah nyariin. Kebiasaan suka ngilang tanpa izin ke Oma," omel Zulfa menyodorkan android hitam ke arah Ridwan. 


"Terima kasih, kakakku cantik."


Tak sempat mengobrol lama dengan saudaranya, Zulfa dipanggil sesama panitia pelaksana agar mempersiapkan kegiatan yang sebentar lagi akan dimulai. Padahal, sebenarnya Ridwan ingin mengatakan sesuatu yang ia temukan dalam dokumen tadi.


Di tempat lain, dua gadis bergamis berbeda sedang kebingungan di tempat parkir. Satu sisi, ada yang ingin langsung pergi ke tempat kegiatan. Sisi yang lain, ada yang harus menyusul karena ada kelas pagi.


"Yakin nggak langsung ke tempatnya, Sye?"


Syena mengangguk cepat. "Lo duluan aja. Gue mau kuliah dulu."


"Tapi nanti kalau terlambat gimana?"


"Gue udah izin sama ketuanya."


Aleena menghela napasnya panjang. Sebenarnya ia tidak ingin pergi sendirian, tapi dia juga tidak bisa bertanggung jawab jika Syena absen gara-gara dirinya. Setelah memutuskan, Syena segera pamit untuk ke fakultas, sedangkan Aleena langsung pergi ke tempat kegiatan.


Tidak mau kejadian lalu terulang, Aleena memberanikan diri untuk bertanya. Beruntung, yang lewat di depannya adalah seorang perempuan. Begitu akan menyapa, mulutnya malah terkatup tatkala melihat manik itu.


"Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" Perempuan itu yang malah menyapanya dahulu.


Ini, kan, cewek yang di kamar mandi itu. Batin Aleena memastikan. 


"Mbak?"


"Eh, iya. Anu." Aleena jadi grogi sendiri. "Kakak tau nggak, tempat pendaftaran panitia Ramadhan masjid ini?"


Wanita itu tersenyum. Meski memakai cadar, tapi Aleena bisa melihat indahnya senyum itu lewat lengkungan mata wanita tadi. "Ikut Saya, yuk! Kebetulan Saya juga sekretarisnya."


Aleena tersenyum. Ia lantas mengikuti wanita itu ke tempat yang sudah disediakan. Mulutnya menganga ketika melihat banyaknya orang yang sudah duduk di sana. 


"Wan, tolong ambilkan bangku satu, ya," titah wanita yang tidak lain adalah Zulfa. Laki-laki yang diperintah pun segera beranjak mengambil tempat duduk untuk Aleena dan peserta yang lain. "Kamu tunggu di sini ya, Saya mau ke atas dulu."


"Eh, btw nama Kakak siapa?"


"Panggil Zulfa saja." Setelah mengucap hal demikian, Zulfa pergi meninggalkan Aleena.


"Ini, Kak. Silahkan duduk," ucap Ridwan mempersilahkan.


"Terima kasih," balas Aleena tersenyum. 


Subhanallah, sungguh indah ciptaan-Mu ya Allah. Tanpa Aleena sadar, lengkungan indah yang terukir di bibirnya berhasil menimbulkan getaran di hati Ridwan. Laki-laki itu segera mengucap istighfar setelah lumayan lama menatap Aleena. Ia lantas membalikkan punggung dan berlalu, khawatir kalau matanya akan kembali menatap ciptaan Allah yang begitu indah.


Setelah kepergian laki-laki tadi, Aleena menyibukkan diri dengan ponsel miliknya. Membalas beberapa pesan dari Arjun dan mengatakan kalau dia sedang di kampus. Laki-laki yang satu itu selalu saja mengkhawatirkan keberadaannya.


Arjuntampan

Tunggu di sana.

Gue nyusul


Aleena memutar bola matanya malas. "Ini pasti kerjaan Papa," gumam Aleena memasukkan benda itu ke dalam tasnya. Kini, tatapannya beralih pada jam tangan yang melingkar indah di tangannya.


"Ini kapan mulainya? Malah gue ada kelas lagi. Semoga nggak molor." Aleena berbicara sendiri. Belum sampai dua menit setelah mengatakan hal tadi, Zulfa memanggilnya untuk mengikuti wawancara. Dengan gerakan kilat, gadis itu sudah berjalan bersama Zulfa menuju tempat yang dimaksud. Keduanya berhenti di depan ruangan dengan pintu yang terbuka lebar.


"Silahkan masuk," titah seseorang. Sebelum masuk, Aleena terlebih dahulu menoleh ke arah Zulfa. Wanita cantik itu mengangguk, memberi kode agar Aleena masuk.


"Syaquen Aleena Ramadhani," panggil orang yang duduk di depannya. 


"Iya, Saya," balas Aleena bersemangat sebelum akhirnya, rasa semangat itu berubah menjadi keterkejutan. Gadis dengan khimar coklat panjang itu terperangah melihat wajah yang sejak tadi tertutup kertas. "Khaled?"


Mendengar namanya disebut, Khaled mengernyitkan dahinya. "Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"


Aleena mengangguk pelan, tanpa bersuara sepatah kata pun. Khaled mencoba mengingat dimana ia pernah melihat gadis itu. Ia pun tertawa kecil setelah menemukan memori tentang Aleena.


"Kenapa?" tanya Aleena merasa aneh dengan sikap Khaled yang tiba-tiba tertawa kecil.


"Kamu, yang ngasih kurma dengan paksa itu, kan?" Khaled menebak.


"Gue paksa karena lo nggak mau nerima." Aleena bergumam.


"Maaf? Kamu bilang apa tadi?"


Menyadari kesalahannya, Aleena segera menutup mulutnya. "Eh itu, maksud saya, saya memaksa karena Mas nggak mau nerima pemberian Saya."


"Iya, maaf. Bukannya tidak mau menerima, tapi saya benar-benar ikhlas. Terima kasih, ya," ujar Khaled tersenyum.


Aleena yang melihat senyuman itu membeku. Jantungnya berdetak tidak karuan. Tidak. Ia tidak bisa terus-terusan berada di dekat Khaled, apalagi dengan ekspresi seperti itu. Bisa-bisa, jantungnya bisa meledak karena pesona Khaled.


"Oke, kita mulai saja ya, wawancaranya," instruksi Khaled. Suaranya terdengar begitu lembut di telinga Aleena.


Please, jangan senyum kayak gitu. Gue bisa pingsan entar. Aleena membatin.


"Kamu sudah siap, Aleena?"


"Saya siap, menjadi pendamping hidup Mas," ucap Aleena di luar kesadarannya.


***


Bagian 10 : Berbuka Puasa

1 0

Bismillah


"Maaf?" Khaled mencari penjelasan atas kalimat Aleena tadi. 


Gadis itu memukul mulutnya setelah menyadari ucapan yang tidak seharusnya dikeluarkan. "M-maksud saya, bukan gitu."


"Maksudnya bagaimana?" tanya Khaled menaikkan kedua alisnya, membuat Aleena semakin salah tingkah.


"Maksudnya, saya siap untuk mengikuti wawancaranya." Aleena meyakinkan.


"Saya kira, kamu serius dengan ucapan kamu tadi," balas Khaled tersenyum melihat wajah Aleena yang terlihat lucu.


"Diseriusin juga gak papa kok," gumam Aleena.


"Apa kamu mengatakan sesuatu?"


Tidak ingin membuat diri malu untuk kedua kalinya, Aleena menggeleng cepat. Dalam hati ia berjanji untuk lebih menyaring setiap kata yang akan keluar dari mulut kecilnya. Sudah cukup ia terlihat lugu di depan laki-laki yang dikaguminya.


"Oke. Kalau gitu, kita mulai ya wawancaranya," ulang Khaled yang sudah fokus dengan dokumen dan pertanyaan yang hendak ditujukan kepada Aleena.


Waktu pun berlalu. Sudah puluhan menit, Aleena berada di ruangan itu. Bukan hanya berdua dengan Khaled, tapi berempat. Sebelum memulai sesi wawancara tadi, Khaled sempat menyuruh beberapa anggota LDK untuk ikut mendampingi Aleena.


Dua diantara mereka sesekali berdecak kagum dengan cara Aleena menanggapi setiap pertanyaan yang dilontarkan kepadanya. Untuk masalah visi misi, Aleena sudah mahir dan ia pun sudah mempersiapkan jawaban jauh-jauh hari. Maka tidak sulit baginya untuk menjawab pertanyaan Khaled.


"Alhamdulilah. Sesi wawancara sudah selesai. Terima kasih ya, sudah bersedia meluangkan waktu untuk mengikuti kegiatan ini," ujar Khaled diakhir sesi. 


Aleena tersenyum lebar. "Terima kasih kembali, Mas."


Apa sih yang nggak buat lo, Led. Batin Aleena. Setelah itu, ia dipersilahkan untuk keluar seraya menunggu instruksi berikutnya.


***


Di lain tempat, seorang laki-laki dengan kemeja hitam dan almamater kampus tengah berjalan dengan terburu-buru. Wajah Jawanya yang tampan tidak terlihat tenang. Laki-laki itu beberapa kali menelpon sebuah nomor namun belum juga diangkat sampai sekarang, padahal ia harus mengambil beberapa jurnal yang dia titip pada pemilik nomor itu.


"Ni bocah kemana sih?" gerutu Arjun kembali menekan nomor yang sama. Setelah sekian lama, akhirnya Arjun mencari nomor lain.


"Sye, lo tau nggak Aleena dimana?"


"Bukannya dia masih di masjid kampus, ya," jawab seseorang di seberang sana. "Kenapa Jun?"


"Gue nitipin jurnal di sana."


"Oh gitu. Ya udah, langsung temuin ke masjid aja. Gue juga otw ke sana."


Arjun mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Dengan langkah cepat, ia bergegas meninggalkan area kampus menuju masjid yang letaknya lumayan jauh dari fakultasnya. 


"Gue tunggu Syena aja deh, malu mau masuk sendirian. Malah ceweknya banyak banget lagi," monolognya memilih berdiri di depan pintu utama sembari menunggu Syena. "Atau gue nanya dulu."


Arjun mengedarkan pandangannya ke sekeliling, berharap bisa menemukan sosok Aleena diantara kerumunan wanita di sana. Karena hampir menyerah, Arjun akhirnya memutuskan untuk bertanya kepada seseorang yang kebetulan lewat. 


"Permisi. Gue mau nanya dong," sapa Arjun berhasil menghentikan langkah seseorang. "Lo kenal Ale–" Arjun tidak melanjutkan kalimatnya setelah melihat wajah yang baru saja ia panggil. Laki-laki itu terdiam sebentar, begitu juga dengan wanita yang berdiri tepat di depannya. Keduanya seakan membeku dan membisu, saling menata hati yang mungkin saat ini sudah runtuh kembali.


"Ar," panggil wanita itu terdengar berat. "Apa kabar?"


Arjun masih membisu di tempatnya. Bola matanya masih menatap tajam netra coklat milik wanita tadi. Jika ia berpura-pura tidak mengenal, maka ia sudah membohongi diri sendiri. Namun, jika ia menyapa, luka di hatinya akan terbuka kembali.


"Maaf, gue salah panggil," ucap Arjun yang terakhir kali sebelum pergi meninggalkan wanita itu.


"Maafin aku, Ar. Maaf," lirih wanita itu. Bulir-bulir air mulai mengalir dari mata bulatnya, siap membasahi wajah yang tertutup cadar.


"Kak Zulfa!" Suara panggilan itu membuatnya terpaksa mengusap habis sisa air di pelupuk mata. Ia lantas berbalik dan berjalan menemui gadis yang memanggilnya.


"Udah selesai, wawancaranya?"


Aleena mengangguk bersemangat. "Setelah ini, kegiatannya apa Kak?" 


Zulfa menjelaskan semua agenda hari ini dengan lengkap. Setelah mendengar semuanya, Aleena berpamitan karena harus mengikuti perkuliahan. Ia dan Syena akan kembali ke masjid sesuai jadwal. 


Kamu adalah gadis yang beruntung. Semoga Arjun selalu bahagia sama kamu, ya. Bisik Zulfa memandangi raga Aleena yang semakin menjauh.


***


"Duh. Mampus gue. Si Arjun pasti ngamuk-ngamuk nih, jurnalnya ketinggalan di tas gue," keluh Aleena setelah memeriksa notifikasi di handphonenya. Gadis itu mencoba menghubungi nomor Arjun, tapi tidak tersambung. "Giliran di telpon aja, malah ngilang."


Tidak ingin membuat dirinya merasa bersalah, Aleena memutuskan untuk mencari Arjun dan mengembalikan jurnal miliknya. Dengan gerutuan sepanjang jalan tol, Aleena berhasil tiba di fakultas laki-laki itu. 


"Arjun. Nih punya lo gue bali–" Aleena memotong kalimatnya saat Arjun melewatinya begitu saja. Gadis itu tercengang dengan sikap Arjun yang tidak biasa, apalagi dengan raut wajah seperti tadi. 


"Arjun!" panggil Aleena, tapi sepertinya laki-laki itu tidak mendengar. "Tu orang kenapa dah?" Kini, Aleena benar-benar merasa bersalah karena sudah membuat sahabatnya marah. Sebenarnya, Aleena ingin mengejar Arjun yang sudah menjauh, tapi tidak bisa. Ia harus segera masuk kelas karena perkuliahan akan dimulai sebentar lagi.


***


Satu persatu nama yang tertulis di kertas putih itu berhasil dilingkari, pertanda kalau salah satu kegiatan hari ini sudah selesai. Dari sekian banyak nama-nama yang terpajang, tatapan Khaled hanya terfokus pada tulisan yang paling atas. Entah apa yang membuat laki-laki itu tidak melingkari satu nama tersebut. Tingkah gadis itu masih berputar di kepalanya. 


"Astagfirullah. Nggak boleh, Lid," peringatnya pada diri sendiri. Karena tidak ingin bermain dengan khayalannya lagi, laki-laki dengan koko putih itu beranjak dari tempatnya, meninggalkan ruangan yang sudah sepi sejak tadi.


Kumandang adzan yang tengah bergema membuat langkah Khaled kian dipercepat. Kalau Dzuhur tadi ia ketinggalan takbiratul ihram, maka Ashar ini ia juga tidak mau ketinggalan. Berhubung masih ada waktu, Khaled menyempatkan diri untuk mandi dan mengganti baju dan segera kembali ke masjid untuk berjamaah sekaligus mengisi kajian sore.


"Wan, takjil untuk jamaah dan peserta sudah siap?"


Ridwan yang kebetulan baru selesai membantu Zulfa menyiapkan takjil mengangguk cepat seraya mengacungkan jempol. "Konsumsi aman, Bang."


Khaled tersenyum dan mengucap syukur. Sebagai ketua panitia, dialah yang paling bahagia ketika acara yang dilaksanakan hari ini berjalan lancar. Kegiatan demi kegiatan pun sudah dilalui, dan kini tinggal menuju acara terakhir yaitu berbuka bersama. Semua sarana dan prasarana sudah disiapkan, baik dari segi tempat, konsumsi, dan sebagainya.


"Mas, untuk tempat ikhwan sama akhwat dipisah?" tanya Ridwan


"Iya, tempatnya tetap sama tapi nanti dikasih pembatas aja."


Ridwan, Andri dan yang lainnya segera melaksanakan perintah Khaled. Meskipun sebenarnya Khaled tidak berniat untuk menyuruh mereka, tapi karena mereka tidak punya kerjaan makanya bersikap seperti itu. 


Setelah mengisi kajian sore, seluruh jamaah dan peserta tengah menanti waktu berbuka puasa. Tidak seperti biasanya, Aleena yang biasanya selalu lemas menjelang berbuka kini terlihat sangat bersemangat. 


"Lo senyum-senyum mulu dari tadi, heran gue. Jangan-jangan lo kesurupan ya?" bisik Syena yang sejak tadi memperhatikan sikap Aleena yang terbilang cukup aneh. 


"Kalau gue kesurupan, semoga yang ruqyah itu mas Khaled." Aleena mengkhayal. 


"Ngadi-ngadi." Syena bergidik ngeri setelah mendengar penuturan sahabatnya.


"Sye, lo tau nggak kalau Rasulullah itu menyuruh kita untuk berbuka dengan kurma atau sesuatu yang manis."


Syena mengiyakan, "terus?"


"Nah, gue akhirnya bisa melakukan Sunnah beliau. Tapi kayaknya, yang ini kelebihan manis deh."


"Ga paham gue."


"Tuh." Aleena menunjuk ke arah depan. "Lihat mas Khaled senyum kek gitu, manisnya melebihi kurma dan pohon-pohonnya."


Gurauan Aleena sukses membuat Syena tertawa. Namun, tawanya terhenti ketika melihat seseorang yang duduk di samping Khaled. Sebenarnya tidak ada yang aneh, hanya saja orang itu sejak tadi menatap ke arah mereka dengan tersenyum. Bukan mereka, tatapan itu hanya tertuju pada sahabatnya.


Mungkin saja kamu suka

Ernisa
OVER LIE
Cintana Dinda A...
Eighteen Birthday
Puellashy
Fai & Am
Hanafi Anshory
PROSES KEMATIAN
Wiwik Pratiwi
Yang Terdalam

Home

Baca Yuk

Tulis

Beli Yuk

Profil