Loading
13

0

4

Genre : Romance
Penulis : Rindiantika
Bab : 16
Pembaca : 4
Nama : Rindiantika
Buku : 3

Dingding kaca

Sinopsis

Rania nama gadis sederhana yang mengagumi seorang pria yang sempurna Tampa ada cela. Perang batin yang bergejolak si gadis ini memendam cintanya dalam diam, di tambah lagi harus di hadapkan dengan pria Badung namun pandai meluluhkan hati si gadis ini. Hubungan mereka pun terjalin, namun takdir berkata lain. Karna kehilapan, si pria Badung ini terpaksa harus beristrikan orang lain. Apa yang terjadi dengan si gadis ini, setelah mengetahui orang yang di cintainya malah menikahi orang lain? Akankah dia menerima kembali pria Badung itu atau kembali bermimpi mendapati cinta pertamanya yang sempurna? Yu simak ceritanya untuk mengetahui kisah haru yang seutuhnya!!
Tags :
#kmoindonesia #sarkat

Melangkah Pergi

2 2

Prolog

Rania Rahmawati seorang gadis muslim sederhana dan berhijab, Berkulit putih dan bertubuh empal, Ia mengalami beberapa Pase asmara yang begitu rumit. Mencintai seorang pria namun karena jarak dan perbedaan seratus sosial mengharuskan Rania sadar diri akan mimpinya. Begitu telah hadir seorang yang bisa melupakan akan cinta pertamanya, Rania malah semakin terjebak dengan cinta yang salah dan tidak mudah baginya, begitu pun pria tersebut juga sangat mencintai dan menginginkan Rania. Namun hal tersebut tidaklah mungkin, karena telah terbentang Dinding kaca diantara keduanya.

 

Bab 1

       Melangkah Pergi

Pagi yang cerah, udara nan segar serta pemandangan mata yang hijau nan elok. Berjejer pepohonan d atas perbukitan yang tinggi, di bawah putihnya awan yang di naungi langit biru. Ku menikmati pemandangan di balik jendela bis kota yang melaju dari arah Tasikmalaya menuju kota Bandung.

Terbesit perasaan senang campur sedih di sertakan kekhawatiran dan pengharapan tinggi yang sulit di ungkapkan.

Ketika sedang asyiknya menikmati suasana di luar jendela bis, “Rania kenapa, apa yang kamu pikirkan?” tanya bapak yang tengah menemani perjalananku.

“Ah.. enggak pak Rania hanya takjub dengan pemandangan di luar sana, begitu indah dan sejuk,” jawabku sedikit menyembunyikan perasaan yang sebenarnya.

Rasa sedih dan haru karena harus melangkah pergi dari rumah dan berpisah dengan keluarga dan teman-teman, serta teman Sekolah seusai lulus SLTA. Bukan cuman itu saja ada juga kekasih pujaan, yang selama ini Ku menjalani kasih cinta dalam diam yang sampai kini belum bisa aku ungkapkan.

Ricki Arya Dinata itu namanya Entahlah, apa dia juga mempunyai perasaan yang sama sepertiku atau malah sebaliknya. Yang jelas aku tak mau mengumbar egoku hanya karna sesuatu hal yang berlawanan, untuk menjadi temannya saja sudah Alhamdulillah. Apalagi orang tuaku menekankan untuk tidak pacaran dulu selagi masih sekolah. Sebagaimana ajaran agama Islam ‘tidak ada yang namanya pacaran, yang ada hanya ta’aruf terus menikah.’

“wah.. itu sangat tidak mungkinkan kita masih sekolah,” pikirku.

Selain itu juga sebenarnya agak minder, secara dia mempunyai tampang yang rupawan, tinggi badannya sterek, berprestasi pula. Di tambah lagi dia anak orang kaya, Sehingga tidak sedikit para wanita yang mendambakannya. Jauh di banding diriku yang pas-pasan ya, semuanya serba pas-pasan.

Tapi bersyukurlah dengan adanya perasaan ini bisa jadi pemacuku untuk terus semangat belajar sehingga prestasiku jadi unggul dan mendapatkan nilai yang terbaik dan menjadikan pacuan supaya terus lebih semangat mencapai cita-cita.

Dari samping kiri bapak menepuk pundak menghentikan Lamunanku.

“Subhanallaah nak indah betul,” seru bapak yang pandangannya tertuju ke arah jendela mengikuti pandanganku menikmati pemandangan di balik jendela bis kota.

Tujuan perjalananku ini menuju ke rumahnya om Parhan, kerabat mamah di Bandung. Ke mungkinkan aku akan tinggal di sana dan bekerja di tempatnya om Parhan. Tidak terasa empat jam telah berlalu di perjalanan, kini aku dan bapak telah tiba di depan rumahnya Om Parhan.

Tok.. tok.. tok..

“Assalamualaikum... Assalamualaikum,”

kami mengucapkan salam dan mengetuk pintu rumah Om Parhan

Melihat jam di tangan waktu menunjukan pukul 08.30.

“walaikumsalam.. siapa ya?” jawaban dari dalam rumah suara seorang wanita, pasti itu Tante Titi istrinya om Parhan.

“Ceklek..”

pintu depan rumah di buka ternyata benar tanteu Titi.

“walaikumsalam... Rania mas jali ayo masuk-masuk ,” seru Tante Titi mempersilakan kami masuk dengan posisi tangan merangkul pundakku kemudian langsung menarik tubuhku ke dalam rumah. Ekspresinya sedikit terkejut begitu melihat kami berdua, dan di ikuti dengan bapak yang masuk ke dalam rumah mengikuti langkah tanteu Titi.

“Mas Jali silakan duduk, sebentar ya saya bikinin minuman, sekalian mau beritahu mas Parhan,” seru tanteu Titi dengan ramahnya.

Tak lama kemudian om Parhan keluar dari ruang tengah, bersama tanteu titi yang menenteng baki minuman dan camilannya. Mereka menyambut kedatangan kami dengan baik terutama om Parhan, karena sudah sedari kecil aku dan om Parhan memang sudah dekat, tapi semenjak Om Parhan menikah Om dan tanteu Titi langsung pindah ke Bandung.

Waktu sudah menunjukan pukul 12.30 cukup lama kami berbincang-bincang kesana kesini, dari masalah keluarga hingga urusan bisnis pun telah kami bahas, hingga akhirnya bapak mengutarakan niatnya datang ke rumah Om Parhan. Walau sebelumnya Om Parhan dan tanteu Titi sudah mengetahui dan pernah di bahas sebelumnya di rumahku di Tasikmalaya. Tepatnya satu minggu yang lalu.

Sebelum aku memutuskan kesini om Parhan dan keluarga telah menghabiskan liburan akhir tahunnya di Tasikmalaya kampung halamannya. Begitu mengetahui aku sudah lulus sekolah om Parhan memintaku untuk ikut tinggal serta mengelola perusahaannya di Bandung.

“Rania kan sudah beres sekolah, ayo ikut om ke Bandung ya!” kata om Parhan mengajak Rania.

“Tidak om, Rania mau kerja ikut bareng teman di Jakarta,” jawabku menolak ajakan dari om Parhan.

“kerja kemana dan kerja apa? Hari gini cari kerja susah,, kalau mau kerja di om saja ya!” seru om Parhan dengan nada ketus dan kekeh.

“Sudah ko,, di Mall kelapa gading Jakarta pusat, hari Senin depan juga IngsaAlloh sudah bisa mulai kerja, berangkatnya Minggu besok.” Jelas ku dengan kekeh dan menolak ajakannya.

Tampa di sadari dari kejauhan bapak memperhatikan dan mendengar percakapan aku dengan Om Parhan. Tak lama kemudian dengan sigapnya bapak memotong perbincangan kami.

“Iya, Parhan Rania kekeh banget mau berangkat ke Jakarta, mas khawatir, di sana mas gak punya saudara atau kenalan, juga tak kebayang nantinya kehidupan disana,” Seru pak jali yang sangat menghawatirkan putrinya.

“Mas jali benar,, bagaimana kalau Rania ikut aku ke Bandung, mas setuju ngga?” Tanya Om Parhan pada bapak.

“Ran,, masalah pekerjaan disana banyak tinggal Rania pilih mau kerja apa? Dan kedepannya, bila om punya rezeki kamu akan om masukan ke perguruan tinggi gimana Ran??” Bujuk om Parhan dengan sedikit merayu.

“iya bapak setuju,, mending kamu ikut om mu dari pada ikut-ikut temanmu yang gak jelas,” kata bapak mendukung ajakan om Parhan.

“tapi pak,,” Rania menyangkal dengan muka memelas.

“pokonya, kalau kamu mau pergi, perginya ikut om Parhan, kalau tidak ya tidak usah pergi sekalian!” Tegas bapak dengan nada tinggi sambil mengangkat tubuhnya berdiri.

Menyaksikan ekspresi bapak yang begitu serius dan tegas, sehinggaku tidak kuasa untuk berkata tidak.

 “oke pak okey, Rania ikut Om Parhan tapi gak sekarang, kasih dulu Rania waktu.” Jawab Rania yang terpaksa dengan pipi yang di kembungkan dan memajukan kedua bibirnya.

“Alhamdulillah.. bapak lega mendengarnya, jadi bapak bisa tenang bila kamu bareng om mu.” Ujar bapak tersenyum meskipun tau putrinya sangat tidak suka dan kelihatan terpaksa.

***

“Saatnya mas pamit,” seru bapak berpamitan pada Om Parhan dan tanteku Titi.

Selesai melaksanakan sholat duhur langsung bapak merapihkan pakaian dan memasukan tangannya ke dalam jaket hitam miliknya.

“Kenapa buru-buru mas? Ini kan masih siang, Atau mas menginap saja besok pagi pulangnya!” Seru Om Parhan menahan kepulangan bapak.

“Terima kasih Parhan, lain kali saja menginapnya, mas kan punya amanah yang tidak bisa mas tinggalkan, jadi harus pulang sekarang sebelum ke sorean.” Penjelasan bapak pada Om Parhan dan Tante Titi. Om Parhan pun menganggukkan kepala dan mengerti bagaimana profesi Kaka iparnya.

Tentang amanah yang di maksud, Pak jali bapakku adalah seorang Imam Masjid dan di percaya mengajarkan ilmu agama pada Masyarakat kampung mau pun di luar kampungnya.

Pak jali bapak ku seorang Ustadz Yang namanya cukup Terpandang di kampung. Untuk itu beliau cukup tegas mendidik anak-anaknya. Dan di wajibkan memakai hijab bagi anak perempuan termasuk aku yang sudah terbiasa berhijab sejak kecil.

“Rania bapak pulang ya, jaga dirimu baik-baik dan nurut sama Om dan tanteu mu!” pamit bapak.

“baik pak, tenang saja Rania akan nurut sama Om dan tanteu. Bapak hati-hati di jalan ya! Rania pasti bakal kangen bapak dan ibu,” kata ku yang mulai tak bisa menahan bendungan air di kelopak Mata sambil memeluk tangan kanan bapak.

Tot..tot..Tak lama kemudian suara klakson kendaraan roda empat yang terparkir di depan rumah sudah siap. Ternyata Om Parhan telah mengutus anak buahnya untuk mengantarkan bapak sampai terminal bus yang menuju Kota Tasikmalaya.

 

 

 

user

27 February 2023 05:59 Masriah Keren, suka sekali

user

07 March 2023 11:13 iyan seru, benar2 penasaran

Sungguh Terharu

1 0

Matahari yang terik mulai terbenam, suasana langit pun berubah menjadi merah keemasan. Awan hitam kini mulai menggantikan posisi awan yang tadinya putih bersih seputih salju. Seketika bumi pun menjadi gelap, lalu tak lama kemudian terdengar samar-samar suara adzan magrib berkumandang. Aku langsung bergegas mengambil air wudhu dan melaksakan sholat magrib di sebidang kamar yang sudah di siapkan oleh Tante Titi.

Tok... Tok...tok... Ketukan pintu kamar terdengar pelan.

”Rania, boleh tanteu masuk?” Sahutan tanteu Titi minta izin masuk kamar. Aku yang masih menengadahkan kedua tangan, seraya lagi berdoa usai melaksanakan Sholat Magrib langsung menghampiri pintu kamar dan mempersilahkan Tante Titi masuk.

“Ya, boleh dong Tante ayo masuk, ini kan rumah tanteu massa gak boleh “ jawab Rania dengan menyimpulkan senyumannya yg manis.

“ Iya,, takutnya kan tanteu ganggu kamu,” seru tanteu Titi memastikan.

“Nggalah, masa mengganggu.” Jawabku

“Bagaimana dengan kamarnya betah?” Tanya tanteu Titi sambil memandangi seluruh penjuru ruangan kamar tempat Rania.

“ Betah banget,, ini lebih luas dan nyaman di banding dari kamarku yang di Tasik.” Jawabku mengikuti pandangan tanteu Titi yang melihat seluruh penjuru ruang kamar.

Ruangan kamar yang berukuran 4x4 ukuran yang luas bagiku, secara rumah Om Parhan memang besar berlantai dua dan terdiri dari sepuluh kamar tidur. Sedangkan penghuninya hanya lima orang termasuk aku, om Parhan, tanteu Titi dan kedua anak laki-lakinya yang masih kecil-kecil.

“Ran, kata mas Parhan besok pagi siap ya! Kamu akan langsung di ajak ke kantornya, barusan mas Parhan keluar ada urusan jadi tanteu di suruh menyampaikannya padamu.” ucap tanteu Titi menyampaikan amanat Om Parhan.

“Siap tanteu, aku juga sudah tidak sabar pengen bekerja.” Jawabku dengan penuh semangat.

Tanteu Titi tersenyum simpul serta meletakan telapak tangannya di kepalaku dan mengelus rambut panjang dengan mengatakan. “Sekarang Rania istirahat ya, kasihan anak-anak kelamaan tanteu tinggal!”

“ Siap tanteu ku yang cantik, “ jawabku tersenyum dan sambil menggoda tanteu Titi.

“Ran, kalau ada apa-apa bilang saja ya, jangan sungkan kami ini kan sama seperti orang tua kamu dan sekarang Rania tanteu anggap sebagai anak sulung di rumah,” seru tanteu Titi.

“Terima kasih tanteu.. “ jawabku yang langsung sontak memeluk tanteu Titi karna begitu terharu mendengarnya sampai menitikkan air mata.

Tidak lama kemudian tanteu Titi pun keluar dari ruangan kamarku, di tinggalnya aku sendiri termenung kembali. Aku bersyukur sekali karna Om Parhan dan tanteu Titi sangat baik dan perhatian, mereka pun sudah menganggap aku sebagai anaknya sendiri, tapi kenapa hati ini belum bisa ikhlas untuk tinggal disini.

“Ya Alloh.. per mudahkanlah langkahku ini, datanglah sesuatu agar bisa menerima semua ketentuan-Mu Amiin,” do’a ku dalam hati dengan tangan yang menengadah lalu ku usapkan kedua telapak tangan di wajahku.

Gret... Greeet... Greeet...

Getaran ponsel terdengar yang sedari tadi siang aku letakan di dalam tas rangsel kecilku. Langsung saja aku meraih tas rangsel kecil itu lalu ku buka layar ponsel Androidku, ternya ada lima panggilan masuk dan satu notivikasi pesan wattsap dari temanku Hani.

“Hey.. apa benar lu pergi ke Bandung? Nyokap lu yang bilang, tadi siang Gue datang ke rumah lu,” isi pesan wattsap dari Hani.

Langsungku balas pesan wattsap nya, tapi selagi mengetik ke duluan bunyi ponsel panggilan masuk.

“Hey.. Han, ah kamu tidak sabaran bangeut baru saja lagi d ketik balasan udah langsung telpon,” jawabku mengangkat panggilan telpon dari Hani.

“ Iya lu sih lemot banget,, kenapa lu pergi, lu patah hati ya karna berpisah dari Ricki,” seru Hani terang-terangan meledekku.

Hani teman sekaligus sahabat dekatku, kami sudah lama berteman mungkin sedari orok. Kemana-mana sering bareng jadi dia sudah memahami betul bagaimana sikap dan tingkahku termasuk isi hatiku, Tampa aku harus bercerita padanya.

“Ah, enggak gitu juga jangan mengarang ya!” Jawabku menyangkal prasangka Hani. Memang ada betulnya juga, tapi aku tidak ada keberanian untuk meng iya kannya.

“Lah suka pura-pura udah gak aneh, ya udah lu baik-baik di sana, semoga lu bisa move on dan ketemu jodoh disana he..he.. “ kata Hani sambil tertawa candaannya.

“Amiiin yarobbalalamiin” jawabku menanggapi candaan Hani.

“ Ran , geu sedih tau hengeeee.. ngga ada elu,” seru Hanni yang merengek.

“Sabar...sabar.. nanti juga aku pulang ko Ketang saja, meskipun jauh tapi kita masih bisa kan bercanda-canda lewat chat,” jawabku menenangkan Hani.

“Oh iya belut he..he.. kalau begitu sudah dulu nanti gue telpon lagi sekarang lu pasti cape mau istirahatkan” kata Hani yang sudah mulai tenang dan tersenyum.

“Okey, pengertian banget sahabatku ini ya udah Assalamualaikum.” Ku Tutup telponnya dan langsung saja aku merebahkan seluruh tubuhku yang sedari tadi memang sudah lelah.

 

Ketika Matahari belum beranjak dari peraduannya, Aku sudah terlebih dahulu beranjak dari tidur malamku. Aku membuka mata, kulihat langit-langit di atap kamar tidak seperti apa yang biasa aku lihat, kali ini berbeda kelihatannya lebih luas. Lalu ku tengok ke arah kanan dan kiri.

“ hahh, ini Bandung di rumah Om Parhan!” ucapku yang sudah mulai tersadarkan diri.Langsung saja ku angkat badanku dari atas kasur empuk itu, dan berjalan menuju kamar mandi mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat malam.

Matahari pagi sudah tampak berseri, ku mulai kegiatan pagi hari ini di tempat baru dengan merapihkan kamar tidur dan merapihkan diri untuk bersiap-siap berangkat ke kantornya om Parhan.

Kali ini pasti akan bertemu orang-orang baru, jadi aku harus kelihatan pres. Meskipun suasana hatinya lagi mendung, tapi harus bisa menutupi semua kesedihanku. Untuk kelihatan tampil pres Aku pilih baju berwarna tosca dan warna hijab yang senada dengan bajunya Dan bawahannya jeans warna putih yang senada dengan sepatu cat ku

“Kak, Rania di tunggu di ruang makan untuk sarapan!” Seru Dimas anak sulungnya Om Parhan dari arah pintu kamarku.

“ Oke de, Kaka segera turun ya,” Jawabku. Aku pun langsung menghampiri mereka untuk sarapan bareng.

Tot... Tot... Suara klacsond mobil terdengar dari arah luar, Tak lama kemudian pun Om Parhan beranjak dari tempat duduknya.

“ Yuk,, Ran kita berangkat!” Ajak Om Parhan.

“ Iya om,” jawabku dengan mengikutinya. Kami pun berangkat dengan mobil Kijang Inova warna putih dan supir yang sama dengan yang nganterin bapak kemarin.

“Masuk Ran!” Om Parhan mempersilahkan masuk ke mobil Sabil membukakan pintu mobil nya untuk ku.

“Terima kasih Om,” jawabku dengan menyimpulkan senyuman. Posisi dudukku di jok kursi paling belakang, dan Om Parhan duduk di depan sejajar dengan sopirnya, sambil berbincang- bincang. Mereka nampak akrab sekali tidak ada batasan Antara supir dan majikan, mungkin karena Om Parhan orangnya baik jadi tidak pernah membeda- bedakan orang apa pun pangkatnya.

Entahlah, apa yang mereka bicarakan Aku kurang paham, yang jelas hati dan pikiranku kali ini masih tidak karuan. Aku lebih menikmati perjalanannya dengan terarah ke samping kiri menyaksikan pemandangan jalanan kota Bandung dengan hirup pikuk orang-orang dan kendaraan yang berlalu lalang lewat jendela kaca mobil.

“Hemmm.. hemmm”

Terdengar sopir itu menggerakkan suaranya, perhatianku pun otomatis teralih padanya dan tampak dari kaca spion atas mobil dia seperti memperhatikanku.

“Ah, memang benar dia memperhatikanku,” gundam hatiku, tapi aku pura-pura tak tau saja.

“Bang siapa tuh, yang duduk di kursi belakang kita? Ko enggak di kenalin sih!” Dia berkata ke Om Parhan dengan lirikan matanya yang masih mengarah padaku lewat kaca spion Atas mobil.

“Oh, iya ini tuh Rania, ponakan Om yang dari Tasikmalaya,” jawab Om Parhan ke sopir itu dengan memutarkan badannya menengokku yang posisi duduk di belakangnya.

“Ran, bersuara dong!” Seru lagi Om Parhan kepadaku. AKu hanya menundukan kepala tanpa menjawab seruan Om Parhan dan menyimpulkan senyumanku. Om Parhan tersenyum dan menggelengkan kepalanya, begitu dia tau Sopirnya itu mengarahkan pandangannya ke arahku terus.

“ Rama, Ayo-ayo yang fokus nyetirnya!” Tegur Om Parhan ke sopir itu.

“Iya Bang iya, Tenang saja kan sudah mahir.” Jawab sopir itu dengan sedikit tertawa kagetnya.

“He..he.. lucu, oh jadi namanya Rama.” ucapku bicara dalam hati.

 

 

Bab 3 percaya Diri dan Sombong

2 1

Bab 3

Percaya diri dan sombong

Tibalah kami di kantornya Om Parhan. Cv Jaya Abadi Sebuah perusahaan Furnitur lumayan besar di kota Bandung. Ruang kantornya biasa tidak terlalu besar, tapi di belakang terdapat Pabrik tempat produksi mebel-mebel yang sangat luas.

“ Nah, ini kantor Om, yu masuk!” Kata Om Parhan sambil mendorong pintu supaya terbuka.

“ Terus nanti Rania ngerjain apa?” Tanya ku yang tak sabar untuk mulai bergelut aktifitas.

“ Emm, yuk kita ke belakang ada kerjaan yang cocok untuk kamu!” Seru Om Parhan.

Aku pun terus mengikuti langkah Om Parhan yang berjalan menuju Pabrik produksi.

“ Wah, besar sekali Om pabriknya, Rania gak sangka kalau Om bisa sehebat ini,” seruanku yang takjub melihat apa yang sedang ku jumpai.

Aku jadi asyik melihat hasil produksi yang sudah terpajang Sebuah Furnitur rumah yang mewah-mewah. Om Parhan masih sibuk celingak-celinguk mencari seseorang, mungkin anak buah.

“Ram.. Ram.. kesini,” teriak Om Parhan memanggil salah satu karyawannya.

Tak lama pun Orang yang tadi Om panggil-panggil langsung menghampiri kita.

“Ada Apa bang?” Tanya pegawai yang tadi Om panggil-panggil. Perhatianku pun teralihkan yang sedari tadi terpesona dengan keindahan sebuah Furnitur- furnitur rumah tangga.

“Ko dia, dia kan orang yang tadi menyetir mobil?” aku bertanya dalam hati

“Ram, sekarang pekerjaanmu akan di gantikan Rania!” Perintah Om Parhan pada Supit itu.

“Eh, tapi bukannya dia itu supir, tapi ko?” Aku yang masih belum agak paham.

Tring.. tring... Bunyi nada dering sebuah ponsel. Terdengar di saku celana milik Om Parhan. Sontak Om Parhan langsung meraih ponselnya untuk menjawab telepon dan sedikit menjauh dari kami.

Aku belum terbiasa dengan situasi disini, teras membingungkan dan tak tau apa yang harus ku kerjakan, Apalagi untuk berinteraksi dengan orang baru rasanya canggung bangeut.

“Rania ya?” Tanya supir itu memecahkan suasana.

“Iya, “ jawabku simpel dan terdiam lagi, lalu aku alihkan lagi perhatianku ke hal yang lain.

Dia nampak mengerutkan ke dua alisnya sambil mengarahkan pandangannya terus ke arahku seperti ada yang aneh di diriku. Jujur ini sangat tidak nyaman berada di situasi seperti ini.

Tak lama kemudian Om Parhan pun datang setelah selesai dari menjawab panggilan telponnya tadi. Tapi ternyata malah untuk pamit lagi karena ada urusan yang harus di selesaikan di tempat yang lain.

“Rama, mana kunci mobilnya? Saya harus pergi ke showroom ada urusan!” Kata Om Parhan tegas meminta kunci mobilnya.

“Nih bang, “ jawab Rama langsung melempar kunci mobilnya ke arah Om Parhan, dengan sigap Om Parhan menangkap kunci dengan tepat di tangannya.

“Oh iya, kamu ajarin Rania dulu apa tugasnya, dan Ingat yang serius kerjanya!” Seru Om Parhan pada supir itu dengan serius dan tegas sambil menepuk-nepuk pundaknya, kemudian Om Pun pergi.

“Ran, maaf Om pergi dulu ya, nanti Rama yang ngajarin kamu, tapi kalau ada apa-apa yang terasa janggal hubungi saja Om okey!” Pamit Om Parhan padaku dengan halus.

“ Iya Om tenang saja!” Jawabku menenangkannya.

Om Parhan pun pergi dengan mobilnya dan meninggalkan pertanyaan bagiku, Om Parhan baik dan bisa lembut berbicara padaku, tapi pada karyawannya agak galak, tegas oktaf bicaranya jadi lebih tinggi, tadi di mobil dalam perjalanan sama supir ini akrab banget, nah sekarang beda. Kenapa ya apa pernah berbuat kesalahan? Kepalaku ku banyak sekali pertanyaan.

“Ngaah” aku menghela napas dan menggelengkan kepala untuk membuyarkan semua pertanyaan-pertanyaan yang seperti teka-teki ini.

“Hei,, anak pesantren ko nyasar kesini?” Kata supir itu dengan tersenyum sinis.

Kedengarannya sangat tidak nyaman tanpaku menjawab pertanyaannya aku hanya memberikannya senyuman.

“Tugas saya apa?” Ku bertanya mengenai pekerjaan.

“Oh, iya ini tugas kamu tinggal baca ya!” Jawab dia dengan memberikan sebuah kertas lembaran berupa panplate dan buku yang dari tadi dia pegang.

Segera ku raih buku yang dia sodorkah dan langsung membacanya. Di kepala selebaran kertas ter tera tulisan “Staf Gudang” di bawahnya tertera poin-poin tugas dari seorang Staf Gudang.

“Kalau ada yang tidak jelas tinggal bertanya ya, asal jangan bertanya masalah agama aja he..he.. “ serunya dengan tertawa seperti menyudutkan ku.

Lagi-lagi ku hanya tersenyum menanggapinya. Mungkin, karena aku mengenakan hijab makanya dia berkata seperti itu. Di pikiranku sebenarnya menyimpan pertanyaan siapa dia ini? Dengan sikapnya yang membuat hatiku jengkel

“Maaf ya, saya kira kamu ini supir pribadinya Om Parhan,” Kataku dengan tersenyum dan sedikit merendahkannya.

“Wah, enak saja massa supir pribadi keren kaya gini,” jawabannya Sambil mengangkat kerah baju dengan kedua tangannya terasa percaya diri banget.

Seketika ku menggelengkan kepala saat mendengar celotehannya yang menganggap dirinya keren membuat aku tak tahan lagi ingin menghindarinya.

Untuk itu aku fokuskan saja mempelajari buku dan selembar kertas tadi yang di berikan tanpa memedulikannya Tugas di mana aku harus mencatat semua unit yang telah selesai di produksi terus di masukan ke gudang, serta mencatat lagi unit barang yang telah keluar dari gudang.

Waktu jam istirahat pun telah tiba tepatnya jam 12.00 Om Parhan sudah kembali di kantornya. Dan beliau langsung mengajak ku beristirahat dan makam siang di kantin sebelah kantornya.

“Ran, gimana pekerjaannya kamu sudah paham?” Tanya Om Parhan

“Sudah Om Rania sudah paham,” jawabku pada Om Parhan.

“Oh, iya laki-laki yang tadi menyetir dan bantu kamu itu Rama namanya, masih saudara om dari tanteu Titi tapi saudara jauh.” Kata Om Parhan, tanpa aku bertanya Om Parhan menjelaskannya seolah-olah beliau tau apa yang aku tanyakan.

“ Oh, iya sekarang Rania tau, tapi Om galak banget kalau di sini!” Seru ku pada Om Parhan dengan sedikit senyuman teguran.

“Ha..ha..ha.. iya dia memang harus di gituin karna orangnya memang bengal,makanya Om sekarang ini lagi mengetes dia supaya bisa benar-benar berubah menjadi lebih baik.”

“ Oh, gitu mudah-mudahan saja maksud Om bisa berhasil, Amiin!” Seruanku yang sedikit ringan karena pertanyaan yang dari tadi melayang di pikiranku sudah terjawab.

Satu Minggu pun telah berlalu, aku menjalani kehidupan di kota Bandung ini. Setiap harinya beraktivitas ke pabrik berangkat dari jam delapan pagi dan pulang jam tiga sore. Waktu berjalan amat lambat bagiku meski Raga terpaut disini tapi jiwaku masih belum lepas dari bayangan orang yang aku kagumi.

Hari ini hari libur week end suasana rumah tampak sepi. Om Parhan dan tanteu Titi serta kedua anaknya Tengah pergi ke pusat kota untuk berbelanja beberapa keperluan. Aku pun di ajaknya, tapi aku lebih memilih diam di rumah untuk menikmati kesendirian dan hanya di temani ponselku.

“Oh iya udah lama juga aku enggak cek grup sekolah,” gundamku, lalu ku buka sebuah aplikasi berwarna hijau bergambar gagang ponsel, banyak sekali Pesan masuk yang belum terbaca pesan grup-grup, termasuk japri dari teman-teman, Ku klik dan ku baca satu persatu tapi tak ada yang menarik, sesuatu informasi yang aku butuhkah pun tak ada di situ semuanya berisi celotehan-celotehan teman satu sama lain. Lalu ku tutup dan beralih ke Aplikasi lain, ku klik lagi sebuah Aplikasi berwarna biru bergambar inisial huruf f ku buka dan ku secroll ke bawah terlihat beberapa status pun bermunculan. Tetap saja itu belum bisa membuat aku jadi lebih tenang dan happy.

Lalu Aku pun teringat pepatah salah guru ngaji “jika suasana hati gundah dan tidak tenang obatnya adalah Al- Quran!” Tak lama kemudian aku meraih Al-Quran kecil di dalam tas rangsel kecilku yang selalu ku bawa Tiap aku pergi. Kemudian ku buka dan ku lantunkan ayat demi ayat di dalam Al-Quran tersebut ternyata benar ke ajaibannya hati dan Jiwaku jadi lebih tenang.

Ketika aku sedang asyik membaca dan melantunkan Ayat-ayat Al-Quran, tiba-tiba terdengar teriakan dari arah depan tepatnya ruang keluarga.

“Pantas.. pantas.. tolong panas!!!”

Sontak ku berlari dan menghampiri sumber suara tersebut. Dan ternyata,

“hahhh”

“Panas..panas..tolong panaas!!!

Sontak aku berlari dan menghampiri sumber suara tersebut. Dan ternyata,

“Hahhh”

Setalah aku tiba di ruang tengah tempat sumber suara yang minta tolong kepanasan tadi, ku lihat sosok Rama terduduk di kursi sopa.

“Ram, kamu kenapa? Hey..kamu baik-baik saja kan?” Tanya diriku yang amat sangat panik mendengar jeritannya Rama.

“Ha..ha.. aku kepanasan mendengar suara kamu ngaji,” Jawab Rama dengan raut muka girang berhasil mengerjai ku.

“Dasar kurang kerjaan bangeut, eh sebenarnya kamu ini manusia apa setan?” Tanyaku yang sangat kesal dengan perilaku Rama, ku kembungkan pipi dan palingkan muka dari dia yang begitu menyebalkan.

“Ya manusialah, massa setan ganteng begini!” Seru Rama tersenyum yang mulai menunjukan sifat percaya dirinya lagi.

“Ha.. ha... Iya ganteng bangeuut menurut para kaum mu, yaitu kaum setan,” jawab aku sambil tertawa lepas menanggapi sifat percaya dirinya Rama.

“Hus,, enak saja,” kata Rama dengan sedikit nggas dan mulai naik pitam dengar perkataanku.

“Oww ngambek ya? Eh, jangan ngambek kan tadi kamu yang merasa kepanasan mendengar aku melantunkan ayat Al-Quran berarti..?” Penjelasan ku mengajukan pertanyaan, dan membalikan perkataan Rama, untuk meredakan emosinya.

“Iya, pintar juga kamu!” Jawab Rama dengan sedikit tersenyum malu.

Aku menggelengkan kepala dengan menyimpulkan senyuman, lalu ku balik lagi ke kamar meninggalkan Rama di ruang tengah Tampa menanggapinya lagi. Dengan membawa pertanyaan tapi ku tidak langsung di katakan hanya bertanya dalam hati saja.

“hemmm, sejak kapan ya dia disini? Terus ada keperluan apa? Ah, biarlah!” Gundam ku, sambil beres-beres dan berusaha tak peduli.

Tot..tot...Tidak lama kemudian Suara klakson mobil berbunyi, itu berarti Om Parhan dan keluarga sudah kembali dari belanja-belanja segala keperluannya. Rama yang masih terduduk d kursi ruang tengah langsung menyambut Om Parhan dan keluarga. Mungkin iya, Rama sedari tadi berada disini sedang menunggu Om Parhan karna ada keperluan.

“wah, yang sudah pergi shoping enggak ajak-ajak nih! Padahal dari pagi nganggur lho..” tegur Rama menyambut mereka yang baru tiba dengan, keresek belanjaannya yang penuh.

“Ha..h ngajak elo mah bangkrut kita, kan elu banyak mau nya,” seru tanteu Titi dengan nada bercanda.

“Ah.. ci Kaka memang pelit” jawab Rama dengan tampang kecewa.

“Rama, sudah dari tadi menunggu?” Tanya Om Parhan, yang mungkin sudah tau maksud kedatangan Rama.

“Iya bang, saya disini hampir 2 jam menunggu Abang.” Jawab Rama seperti menunjukan nada kesal.

Om Parhan dan Rama duduk di ruang depan berdiskusi dan membahas masalah yang di sampaikan. Melihat tanteu Titi yang mulai bergelut di dapur, Aku pun segera menghampirinya untuk membantu menyiapkan beberapa makanan. Setelah makanan siap, langsungku sajikan pada Om Parhan dan Rama yang tengah asyik berdiskusi.

Dari hasil tangkapan ku, karena meski kita beda ruangan, tapi suara Om Parhan terdengar jelas, jadi bisa terdengar Rama dan Om Parhan lagi membahas masalah pertunangan. Rencananya tepat besok malam Rama akan mengadakan acara pertunangannya.

“Oh, jadi pria songong itu mau tunangan, ha...ha.. pantesan saja dia begitu percaya diri bangeut padahal mukanya pas-pasan.” Gundamku dengan menyimpulkan beberapa senyuman.

Tampa kusadari ternyata Rama memperhatikanku. Sambil mencicipi beberapa makanan yang ku sajikan, kelihatan dari ruangan depan sejajar karna kursinya menghadap ke arahku.

“Wah, ini gorengan asin bangeut siapa yang bikin bang?” Cerca Rama dengan terus melirik ke arahku.

“massa iya,” jawab Om Parhan.

Om Parhan pun ikut mencicipi makanan gorengan yang aku sajikan. Dengan usilnya Om Parhan malah ikut-ikutan sependapat dengan Rama.

“benarkan bang?”

Seru Rama, mengedipkan matanya pada Om Parhan dengan memberi kode untuk ngerjain aku.

“Hahh..ha.. iya benar asin banget, kayanya ada yang pengen nikah juga nih!” ucapan Om Parhan sambil tertawa kecil ikut-ikutan menggodaku dan mengarahkan pandangannya ke arah ku.

“Ah, enggak biasa aja perasaanku mah ini udah pas ko,” tegas aku menyangkalnya.

“Coba deh tanteu, cicipi ini!”

Seruku menyuruh tanteu Titi ikut mencicipi makanan tersebut. Sambil berharap Tanteu membelaku dan tak ikut-ikutan mereka.

“Pleas, tanteu bela aku!” gundamku di dalam hati.

“mana sini tanteu coba,” jawab tanteu Titi langsung mengambil gorengan yang aku sodorkan.

“Emm, dasar pada eror, sudah Rania jangan pedulikan mereka!” Seru tanteu Titi membelaku.

Perasaanku sedikit lega dengan tanteu berpihak padaku. Tapi heran juga pada Rama kenapa dengan orang ini selalu mencerca ku tiap bertemu. Mungkin, dia saking bencinya sama aku jadi bersikap kaya gitu.

“ Apa salahku ya? Apa mungkin karena aku berpenampilan beda dengan kebanyakan wanita lain yang tampil cantik dan seksi, sedangkan aku berhijab kaya gini, ah massa bodoh dengan pandangan orang lain jelek, yang penting di hadapan Alloh SWT di pandang baik. “ Gundamku meyakinkan diri sendiri dan berusaha tidak terpengaruh Orang lain.

Di pagi hari yang indah tampak berseri-seri. Seperti biasa ku mulai aktifitas paginya dengan membersihkan diri dan berangkat mencari secerca rezeki yang sudah menanti.

Pagi ini aku berpapasan lagi dengan manusia paling usil yang pernah aku kenal Rama, itu namanya setiap hari kami memang harus berangkat bareng menuju pabrik. Tapi kali ini tidak di barengi sama Om Parhan karena ada urusan pekerjaan yang harus di selesaikan di keluar kota.

“Hemmm, yang sudah bertunangan beda banget, mukanya tambah clink aja!” Seruku menggoda Rama yang lagi mengemudi.

“Apaan sih,” jawab Rama dengan tersenyum.

“Mana, jadi penasaran wanita yang mau bertunangan sama orang songong seperti kamu!” Cercaku pada Rama yang mulai bertingkah manis tapi aku dorong lagi menyudutkan nya.

“Ha.. ha.. yang jelas orangnya cantik pake banget, makanya aku mau sama dia,” berkata Rama dengan rasa bangga.

“Ya, tapi yakin enggak hatinya juga cantik, percuma ya rupanya cantik tapi hatinya tidak bergerigi!” Seruku pada Rama untuk menyurutkan rasa bangganya.

“Apa maksudmu?” tanya Rama padaku dengan mata mulai terbelalak menoleh ke arah ku.

 “Oh, tidak aku hanya bercanda, biasa aja ya matanya!” Jawabku yang agak panik sedikit dan memundurkan posisi dudukku dan ku redamkan dengan senyuman. Seketika Rama jadi terdiam dan merenung setelah perkataan yang ku lemparkan padanya, seperti ada yang di pikirannya.

Melihat ekspresinya seperti itu ada rasa bersalah yang menggelayut di hatiku, Apa aku sudah keterlaluan dengan perkataanku? Tapi perasaan biasa saja, apa mungkin dianya yang ada masalah? Beberapa pertanyaan terus meraung di pikiranku dan mulai penasaran dengan apa yang terjadi dengan Rama.

“serius banget nyetirnya, maaf ya jika ada perkataanku yang menyinggung kamu!” Seru ku memecahkan keheningan dan meminta maaf pada Rama.

“Engga ada yang salah ko, memang benar apa kamu bilang,” jawab Rama masih dengan muka seriusnya.

Baru kali melihat ekspresi Rama yang begitu serius. Orang yang kelihatannya cengengesan tapi kali ini ku dapati mukanya seperti penuh dengan beban.

 

bersambung....

 

 

 

 

user

07 March 2023 11:15 iyan rania oh rania.. kereeen????

Bab 4 Benci Jadi Rindu

2 0

Bab 4

      Benci Jadi Rindu

Suasana perjalanan pun kembali membeku. Ada rasa kasihan begitu melihat raut muka Rama yang pandangannya kosong seperti ada sesuatu masalah.

Kami pun telah tiba di pabrik. Rama langsung turun dan langsung meraih pintu mobil dan membukakannya untuk ku.

“Silahkan turun Ran!” Seru Rama begitu sopan.

“Iya terima kasih,” jawabku menganggukkan kepala dan segera turun dari mobil dengan menciutkan ke dua alis merasa aneh.

Sikap Rama yang tiba-tiba menjadi sangat ramah dan sedikit diam membuat aku menjadi semakin penasaran ada apa dengannya. Dan lebih anehnya, Rama minta izin untuk tidak masuk kerja memilih kembali balik lagi setelah mengantarkan aku.

“Rania, hari ini aku minta ijin dulu untuk tidak masuk ya!” Pinta Rama

“Iya, terus kalau Om Parhan tanya, aku harus bilang apa?” Jawabku dan bertanya balik ke Rama.

“Nah, itu masalahnya tolong kamu handel jangan sampai tau ya, please!” merengek Rama dengan menyatukan kedua tangannya memohon padaku.

“Oke, tenang saja,” Jawa ku meyakinkan Rama.

“Ship gitu dong, ini baru friend!” Tegas Rama tersenyum lega dan langsung tancap gas mengemudikan laju mobilnya.

Sungguh Hari yang melelahkan bagiku, tidak seperti biasanya kali ini kegiatan pabrik sangat padat. Biasanya ada Rama yang membatu, karena tidak masuk jadi begitu kewalahan. Setelah ku tiba di kamar langsung saja ku bantingkan tubuh ini di ke atas kasur yang empuk dan ku rebahkan seluruh tubuh untuk beristirahat sejenak sebelum pergi mandi.

Tring.. tring..tring ..

Bunyi suara Panggilan telepon masuk. Langsung saja ku raih phonsel yang biasa aku taruh di tas rangsel kecil. Terlihat di layar panggilan masuk dari Hani sahabatku.

“Hallo Hani,, apakabar? Duh aku kangen banget sama kamu!” Seruku begitu Aku angkat pangilan telepon dari Hani.

“Kabar baiklah,, sebaliknya bagaimana kabar elu?” Jawab Hani, lalu bertanya balik.

“Alhamdulillah aku baik-baik saja, tapi kali ini cape banget. Hngeee,, ternyata kerja tuh nggak enak, mendingan belajar saja dech!” rengek manja ku ke Hani menceritakan kondisiku yang kelelahan .

“Hahh yang sabar ya, hidup itu ujian Sayang, ini gue kasih kabar baik untuk elu pasti segala cape dan lelah elu jadi hilang,” bilang Hani meredamkan rengekanku.

“Kabar apa Han?” Jawabku sontak langsung mengangkat tubuh yang terebah dari atas kasur empuk tadi.

“ Si Ricki Cowok idaman elu, itu ternyata berada di Bandung juga. Dia kuliah di Universitas Indonesia. Nah, tempat tinggalnya gue gak tau tapi gue tau nomor baru handphone nya,” penjelasan Hani.

“Yang benar Han, kamu jangan bercanda ah” tegasku meyakinkan penjelasan Hani.

“Benar ah elu mah, masa gak percaya sama gue nanti gue chat ya nomor handphone nya, coba Saja telpon dan tanya langsung!” Seru Hani menegaskan kabar yang di ceritakan nya.

“Oke, “ jawabku simpel.

Antara senang dan sedih mendengar kabar yang di sampaikan oleh Hani. Senangnya karena aku telah mengetahui keberadaan dan kabarnya Ricki dan sedihnya mengenai pesananku yang makin menggebu-gebu, Tapi untuk menggapainya berasa tak mungkin. Pikirku setelah keluar sekolah dan berpisah tidak bertemu lagi perasaan itu akan menghilang dengan sendirinya tapi ternyata tidak.

Aku terdiam di bangku taman depan rumah sambil menyaksikan pemandangan malam yang di penuhi bintang-bintang, disitu aku berharap ada bintang yang jatuh terus ku minta permohonan agar Cintaku bisa tercapai seperti di dongeng-dongeng.

“He..he...” aku tersenyum sendiri dengan pemikiran liarku yang konyol.

“Ran, kamu tak boleh seperti ini terus kamu harus berusaha terus mengabaikan rasa kasih itu dan mencoba berfokus pada kehidupanmu yang sekarang!” gundamku yang berbicara pada diri sendiri.

“Dwaaar!!”

Sontak begitu kagetnya ada seseorang yang mengagetkanku dari arah belakang!

Siapkah dia yang membangunkan Rania dari lamunannya?

“Astagfirullah.. Rama,” teriakku kaget lalu ku buang muka dengan mengepalkan tangan yang hampir ku layangkan ke tubuh Rama tapi tak sampai.

“Ha..ha.. Lagi melamun apa hayo??” Tanya Rama dengan tertawa melihat expresi mukaku yang jutek dan berusaha menghindari kepalan tanganku yang ingin meninjunya.

“Hampir saja aku jantungan, kalau ya kamu mau tanggung jawab?” Tanyaku dengan kesalnya.

“tentu saja tanggung jawab dong,, meski harus ke pelaminan pun aku mau!” Jawab Rama menanggapi ku dengan candaannya.

“Ah, dasar kelihatan playboy nya nih!” Tegasku

“Bukan playboy tapi pemberani he..he.. “ sangkal Rama dengan kekeh.

“Yah, terserah kamu deh,” jawabku menggelengkan kepala seolah sudah tak ada kata lagi untuk membenarkan perkataanku.

Sejak saat itu aku dan Rama sudah tak lagi canggung, kami makin terbiasa melemparkan sindiran-sindiran atau pun celaan, kami menanggapinya biasa Senda gurau. Canda dan tawa pun sering terjadi diantara kami.

Bukan cuman itu kami pun menjadi sangat akrab. Sehingga mengenalnya lebih jauh tentang dia. Sifat dan kebiasaan-kebiasaannya sungguh tak menyangka dia pria Badung yang kelakuannya begitu menyimpang, menurut pengakuannya. dia sudah tak ragu-ragu lagi untuk menceritakan pengaruh dari pergaulan yang bebas, Rama senang mabuk-mabukan main judi, sering berbuat onar. Sehingga masyarakat pun sudah tak aneh dengan perilakunya yang suka bikin keributan. Apalagi dalam hal asmara dia sering gonta ganti pasangan hanya untuk memuaskan nafsunya semata.

Memang manusia makhluk yang sangat lemah kalau tidak di dasari dengan pengetahuan agama Dan ke iman serta ketakwaannya.

Seperti halnya Rama, dia bisa menyimpang dari sifatnya yang negatif, karena dia kurang paham. Untuk itu dengan aku menjadi temannya aku bisa lebih mengingatkan dia dan menunjukan jalan yang sebenarnya. Tapi bukan berarti aku sebagai manusia juga selalu benar dan sempurna. Hanya saja kita sebagai sesama saudara seiman di wajibkan untuk mengingatkan satu sama lain. Juga sebagai bekal pembelajaran diri sendiri supaya lebih baik lagi.

“Ya begitulah aku, terkadang aku juga merasa cape dan lelah dengan anggapan orang-orang yang selalu mencelaku, sebenarnya ingin sekali berubah menjadi lebih baik, tapi apa aku bisa?” Penjelasan Rama, dan bertanya.

“Tentu saja bisa kenapa tidak,” tegasku.

“Ah tapi selalu gagal, ada saja godaannya, kadang mereka sendiri yang selalu memancing lagi emosiku!” Seru Rama dengan alasan.

“ Oke, sekarang mah tak usah pedulikan orang lain jika mau benar-benar berubah. Mulailah dari diri sendiri dan tegaskan niatnya,” jawabku menjelaskannya berusaha meneguhkan hati Rama.

“Apaan sih, kurang ngerti,” cerca Rama yang belum paham dan mulai mengabaikan perkataanku.

“Yah.. begini nih berarti mau tobatnya bohong dong” seru ku memojokan Rama.

“Ih... Serius, kamu nya saja yang bicaranya kepanjangan dan berbelit-belit,” kata Rama dengan tersenyum dan meledak ku.

“ya sudah, pikirkan lagi perkataanku dan cerna baik-baik. Percuma Menjelaskan panjang lebar juga kalau orang yang di ajak bicaranya tak serius, selalu cengengesan” jawabku.

Dengan kehadiran Rama aku jadi mulai merasa menikmati suasana yang cerah dan bisa melupakan tentang masalah hati yang selalu merindukan sosok Ricki Yang selama ini mengganggu hati dan pikiranku, sehingga sedikit menghambat segala aktivitas karena merasa sepi dan tidak ada teman.

Selain bertemu di pabrik tempat kerja, akhir-akhir ini Rama juga sering main ke rumah Om Parhan. Sekalinya Rama tidak muncul, telah timbul rasa tak nyaman dan rasa kesepian serta rasa sangat merindukannya.

“Ah, kenapa ada rasa kehilangan kalau dia tidak ada? Kenapa timbul rasa rindu di hati ini? “ gundamku merasakan kegalauan karena Rama sudah beberapa hari tidak masuk kerja serta tidak ada main ke rumah.

Rama telah di kabarkan sakit, makanya dia tidak masuk kerja dan tidak ada main lagi ke rumah. Rasa gelisahku pun makin menjadi-jadi.

 Aku berjalan keluar rumah, ingin merasakan udara pagi yang bebas. Aku berjalan terus sampai jauh dari rumah Om Parhan dan tiba di suatu tempat, tapi tempatnya tidak asing. Ku lihat di ujung jalan ada sebuah rumah, di rumah tersebut banyak sekali orang-orang dan sepertinya aku sangat mengenal dengan Orang-orang itu.

Karena rasa penasaran Aku terus berjalan mendekati rumah tersebut.

“Tanteu Titi, Om Parhan,” Panggilku pada mereka.

“Rania, Ran hngeee,,” jawab tanteu Titi dengan menangis tersedu begitu aku memanggilnya.

“Tante kenapa, mengapa menangis?” Tanyaku lagi ke tanteu Titi.

Tampa menjawabnya lagi pertanyaanku tangisan tanteu malah semakin menjadi-jadi, dan hanya menyebut sebuah Nama.

“Rama,,” lirihan tanteu Titi.

“Kenapa dengan Rama tanteu?” Tanyaku kaget dan mulai khawatir.

Di dalam rumah terdengar suara lantunan ayat Al-Qur’an dan ada juga teriakan-teriakan di barengi dengan Isak tangis penyesalan. Aku pun memaksa masuk di tengah himpitan orang-orang tersebut.

Setelah aku berhasil melewati himpitan itu, kudapati seseorang yang terlentang di baluti dengan kain kapan putih. Begitu ku lihat wajah orang itu ternyata, Rama.

“ Hahh.. Rama.. Rama!” Teriak ku.

Langsung saja ku tersadar dan terbangun dari tidur malam ku dengan suasa suhu panas, dan kulihat waktu menunjukan jam 12.30

“Astagfirullah haladzin ini mimpi, ya ini mimpi tapi nampak seperti nyata sekali. Alloh kenapa aku mimpi seperti itu?” ucapku yang masih merasa was-was setelah terbangun.

Langsung saja aku beranjak dari tempat tidur dan mengambil air wudhu untuk melaksanakan sholat malam.

“ Ya Allah mudah-mudahan ini sekedar mimpi dan bunga tidur saja, lindungilah dia dan apabila masih terasa sakit pulihkan dia dari sakitnya.” Do ’aku setelah usai melaksanakan sholat malam.

Tot...tot.. tot...

Suara klacson mobil di depan rumah, begitu ku mendengar suara klacson tersebut perasanku sontak merasa senang dan lega karena kenal betul suara khas klacsond yang di pijitnya Tampa ku melihatnya langsung. Segera ku menoleh lewat jendela kamar untuk memastikan benar keberadaannya.

“Alhamdulillah Rama, berarti dia sudah pulih dari sakitnya,” gundamku mengucap syukur begitu melihat Rama yang tengah duduk di depan mengemudikan setir mobil.

Dengan kembalinya Rama bekerja dan beraktifitas maka semangatku pun kembali. Ya, aku merasakan kenyamanan bila ada di dekatnya dan timbul rasa lain dari pada yang lain seperti perasaanku yang ku alami terhadap Ricki, kini ku rasakan kembali kepada Rama.

 

“ya Alloh kenapa harus dia orangnya, apa mungkin? karena dia sudah memiliki kekasih bahkan sudah Bertunangan!” pikirku merasa pesimis dan harus menepis semua perasaan yang telah melanda hati.

Lagi-lagi aku harus terjebak dengan perasaan cinta dan sayang pada orang yang salah, bahkan ini lebih salah dan lebih berat dari pada yang awal. Aku harus bisa menepis perasaan ini tidak bisa aku membiarkannya berlanjut.

Rama orang biasa, menurut pandangan orang-orang dia di pandang negatif apa lagi yang lebih patalnya dia sudah bertunangan jadi sangat tidak mungkin.

 

Bersambung....

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab 5 Menyimpan Rasa yang Sama

1 0

 

Di tengah teriknya matahari Aku bermimpi, ibaratnya perasaan seperti itu yang di alami sungguh seperti mimpi di siang bolong. Berusaha menepis harapan-harapan yang tak pasti, sebisa mungkin aku harus bisa mengakhirinya.

Ada apa dengan diri ini dulu bagaikan pungguk merindukan rembulan. Dan kini seperti mimpi disiang bolong ketika terbangun menjadi musnah dan menghilang.

“Hmmm.. hmmm.. “

Terdengar suara Rama geramkan Vita suaranya. Lalu duduk di samping kanan kursi panjang yang sama aku duduki.

“ Ku perhatikan dari tadi kamu melamun terus ada sih?” Tanya Rama dengan pandangan yang terfokus padaku.

“ Oh, dari tadi kapan? Duduk di sini nya juga barusan,” jawabku pada Rama menyangkal tudingannya.

“Emang iya, tapi dari tadi juga pas lagi kerja sudah kelihatan banget tuh mukanya, muka galau!” Seru Rama berusaha membaca perasanku.

“ Ha..ha.. sok tau nih,” jawabku yang langsung berdiri dan berusaha menghindari tebakan Rama.

“Eh, mau kemana? Duduk lagilah!” Tanya Rama sambil menarik tangan dan menyuruhku duduk kembali.

Aku tak mau berlama-lama disini, Rama sudah Menangkap expresiku dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang membuatku tak sanggup untuk menjawabnya.

“ Aduuh tolong lepasin tangannya dong!” Seruku sambil tersenyum agar Rama tidak tersinggung.

“Oh, maaf bukan muhrim ya he..he..” jawab Rama yang cengengesan.

“ Tuh tau,” tegasku dengan jantung sedikit berdebar tapi berusaha menunjukan expresi yang biasa. Dan ku kembali duduk di tempat semula yang bersampingan dengan Rama.

“Aku tau kamu punya masalah, makanya kamu cerita dong sama aku, siapa tau aku bisa bantu, atau mungkin setelah kamu bercerita beban hidup dan pikiranmu bisa berkurang gitu!” Bilang Rama berusaha menelisik permasalahanku.

Jujur aku sangat senang dengan perhatian Rama. Tapi tidak mungkin juga bila harus jujur apa yang sebenarnya terjadi. Masalah ini tentangnya bisa gawat kalau dia tau aku menyimpan rasa, pasti malu banget.

“Ah.. tidak-tidak Rama pasti menertawakan ku, dan makin enak mencercaku, dan bukan cuman itu kalau dia bilang sama Om Parhan gimana?” Gundam ku di dalam hati dengan menggeleng-gelengkan kepala.

“Hai, kenapa ?” Tanya Rama menepis lamunanku dengan menepukkan tangannya di hijabku.

“Tidak apa-apa, aku keingetan tanteu Titi menyuruhku mampir ke toko swalayan untuk membeli beberapa keperluan di dapur,” jawabku memberi alasan, dan memang benar di suruh tanteu untuk membeli beberapa keperluan masak tapi tidak juga harus terburu-buru karena ini buat stok besoknya lagi.

“Oh gitu, yuk aku temani sekalian mau tau kalau ibu-ibu lagi belanja kaya gimana, pasti bakal banyak tawar menawar harga, pasti seru itu!” Ajak Rama ingin menemani dan ikut belanja.

“Ayo, jangan resek ya!” Seru ku menyetujui ajakan Rama.

Kami pun berangkat bersama, Bersyukur perasaan ku cukup lega dan senang bisa di barenginya namun tak sampai berharap lebih. Mungkin ini kesempatan bisa bersama-sama kalau nanti dia sudah menikah mungkin kesempatan itu tidak bisa lagi.

Kami pun sudah tiba di Rumah dengan membawa barang belanjaan yang tanteu Titi suruh. Rama yang masih penasaran dengan jawaban atas pertanyaannya tadi, dia sudah mulai bertanya kembali padaku.

“Hei, ayo kamu masih punya hutang padaku!” Seru Rama.

“Hutang apa?” Tanya ku kembali.

“Hutang cerita permasalahan mu, pokonya aku tunggu dan siap untuk mendengarkan!” Tegas Rama yang terduduk santai dan bersiap-siap mendengarkan ceritaku.

“Dasar kepo, baiklah saya akan cerita,” jawabku yang masih berpikir dan kebingungan mau cerita apa.

“Nah gitu,” senyum Rama sambil terbaring di sopa dengan tangan yang menyangga ke kepalanya serta matanya fokus memandangiku.

“Deug,”

Tiba-tiba saja jantungku berdeyut kencang begitu ku temui pandangan Rama yang tertuju padaku.

“Astagfirullah, Ran kamu harus tenang jangan seperti ini!” Aku yang berbicara dalam hati berusaha menepis perasaan gugup karena Rama memandangku.

“Hai, biasa dong lihatnya serius amat, santai ya biar ku gak gugup!” ucapku pada Rama dengan Santai.

“Ha ..ha.. iya-iya,” jawabnya sambil menertawakan ku.

Sepertinya Rama sengaja membuatku jadi salah tingkah seperti ini. Dengan sikapnya yang seperti di sengaja terus saja dengan lihainya memainkan pandangan matanya.

“Aku ingin pulang ke Tasik karena kangen sama ibu dan bapak,” curhatku ke Rama.

“Yakin cuman itu,” tanya Rama terus menelisik ku.

“Terus harus apa lagi, emang cuman itu?” Tanya balik, aku berusaha meyakinkannya namun gagal.

Rama yang masih terdiam dalam senyum seolah tau isi cerita dalam kepala ku yang belum semuanya di keluarkan.

“Ini si Rama benar-benar ya mau memancingku, oke kalau begitu terpaksa akan ku ceritakan semua tentang si Ricki.” Aku berbicara di dalam hati yang ke pikiran tentang Ricki.

“ memang, aku kangen seseorang namanya Ricki, dia teman satu kelasku dulu. Tapi kami harus berpisah karna dia mau lanjut kuliah sedang kan aku harus bekerja disini. Nah gitu ceritanya!” Penjelasan cerita ku pada Rama.

“Oh, begitu “ jawab Rama mengangguk-angguk kepalanya, dan terdiam terpaku.

“Iya gimana sudah puas?” Tanyaku balik ke Rama.

“Nah, begitu dong enak bukan kalau sudah bercerita, punya nomor handphone nya gak?” Jawab Rama, terus bertanya nomor telpon.

“ Nomor siapa?” Tanyaku balik.

“ Ya nomor cowok kamulah, kalau ada coba hubungi nomornya, tanya kabarnya terus bilang padanya. Kangen gitu!” Seru Rama mengusulkan untuk menelepon Ricki.

“ Nomornya, oh iya ada kemarin temanku pernah ngasih,” jawabku teringat Hani pernah kirim chat nomornya Ricki.

Langsung ku raih ponselku untuk mencari menu notifikasi hasil chat aku dengan Hani, begitu ketemu langsung aku panggil ke menu panggilan dan ternyata tersambung. Selama ini aku tak pernah mencoba mengecek nomor tersebut apalagi berusaha menghubunginya, karena memang tak ada keberanian untuk menghubunginya, dan memang sengaja juga ingin bisa melupakannya.

“Iya sok hubungi lagi sampai di angkatnya!” seru Rama menyuruk ku terus menghubunginya.

 Truuut... Truuut... Truuut...

Suara panggilan yang belum tersambung, tak lama kemudian pun terdengar suara Ricki menjawab telponnya.

“Hallo, dengan siapa ya?” Suara Ricki menjawab panggilan telpon ku.

“Iya halo, apakah benar ini dengan Ricki?” Tanya ku balik di telpon.

“ Iya benar ini dengan siapa?” Jawab Ricki terus bertanya kembali.

Mendengar suara Ricki membuatku tersenyum dan terdiam sesaat dan terasa canggung lagi untuk berkata-kata. Hati ku terasa bergejolak Namun ku berusaha untuk bersikap biasa tanpa ada expresi yang berlebihan.

“ Ricki, maaf ya ganggu ini Rania masih ingatkah? Aku dapat nomor ini dari Hani” kataku dengan rasa canggung.

“Oh ya,, Rania gemoy jelas ingat dong gimana kabarnya?” Tegas Ricki menjawab keterangan ku.

Antusias Ricki mendapat telepon dari ku sangat baik dan hangat. Secara kami dulu di sekolah memang teman yang sangat dekat, saking dekatnya jadi menimbulkan rasa nyaman dan tanpa sadar aku terjebak pada perasaan cinta yang mendalam. Prosesnya tidak jauh berbeda dengan awal mula terciptanya perasaan cinta terhadap Rama yang saat ini terjadi dari rasa benci menjadi rasa rindu.

 

Pov: Rama

Aku Rama, Sejak aku mengenal wanita yang namanya Rania ada rasa ketertarikan dan rasa penasaran pada gadis ini. Wanita yang sangat jarang aku temui pada umumnya.

Wanita berhijab dan Alim, aku berusaha mendekatinya namun semakin penasaran. Sikapnya yang dingin cuek Juga pandai, ya aku semakin tertarik padanya.

Ingin Rasanya aku dekati lebih dari itu, mengingat aku sudah punya kekasih dan telah bertunangan. Tapi semua itu tidak menyulutkanku, malah seperti aku tertantang untuk mendapatkan Rania, dan aku rela melepaskan apa yang ku punya apa yang telah aku capai. Aku hanya sekedar tunangan, bisa saja dengan mudah ku urungkan ikatannya. Yang menjadi masalah atau penghalang aku dan Rania dia seorang wanita muslim taat agama sedangkan aku adalah pria Badung yang berengsek, suka mabuk, judi, pergaulanku bebas dan hampir-hampir saja hidupku terperosok ke jurang kenistaan. Beruntung aku mempunyai saudara seperti bang Parhan yang baik dan peduli ke padaku sehingga mau dengan Sudi menolong dan berhasil menyelamatkanku dari jeruji besi.

Aku di kasih pekerjaan dan langsung di angkat staf karyawan di perusahaan nya sehingga mendapatkan pasilitas yang memadai serta aku bisa bertemu dan kenal dengan Rania.

Sejak awal bertemu terbesit rasa aneh pada gadis ini, dan aku menganggapnya bakal bersifat panatik dengan dalil-dalil yang dia ketahui dan mungkin akan manganggapku pria yang tak pantas untuk di anggapnya teman, Karena saking brengseknya kelakuan ku dulu. Tapi ternyata anggapanku salah, Rania tidak seperti awal aku menilainya. Dia gadis yang welcome, baik dan sangat merangkul ku. Dengan sikapnya yang bisa mengerti posisi seseorang Tampa ada sikap memaksa atau merendahkan orang lain untuk berubah. Sehingga dia mampu membuat aku yang berengsek ini jadi tersadar sendiri Tampa ada yang seseorang yang mengekang.

Pelan-pelan aku tersadar bahwa memang hidup perlu sekali dengan pegangan dan pencerahan yaitu agama dan agama yang baik dan membawa selamat yaitu agama Islam. Selama ini aku lama tidak mengenal dengan ajarannya. Terakhir pernah belajar sewaktu duduk di sekolah dasar itu pun hanya sepintas, padahal identitas KTP ku Islam tapi aku tidak pernah melaksanakan ajaran-ajaran nya apalagi melaksanakan kewajibannya. Seperti Rukun Islam yang ada lima itu.

Sejak aku tertarik dengan Rania aku bertekad untuk belajar agama dan menjalani kehidupan yang lebih baik. Semua itu awal pendorongnya karena aku benar-benar menyimpan rasa pada gadis ini.

Harapan yang sangat besar, tapi apa mungkin dia bisa menerimaku dengan riwayat hidupku yang sebelumnya semerawut dan brengsek ini. Apalagi dia sudah mengetahui bagaimana sikapku terhadap wanita-wanita yang pernah aku dekati dan bodohnya aku kenapa bisa aku menceritakan semuanya itu, kenapa tidak aku bungkamkan saja

“dasar bodoh,” rasa penyesalan ku yang bisa ku utarakan cukup di hati. Tapi selama masih ada kesempatan aku tak akan menyerah siapa tau ke ajaibannya cinta itu terjadi ke padaku.

 

Bersambung...

 

 

Bab 6 Momen Pas Katakan Cinta

1 0

 

Seperti biasa sehabis magriban aku bersiap-siap pergi ke rumah Bang Parhan menemui Rania untuk lebih dalam lagi belajar ilmu agama, dan di samping itu Ingin lebih dekat lagi supaya Rania lebih peka dengan perasaanku.

Begitu semangat dan antusiasnya malam ini hal-hal yang tak biasa pun aku lakukan seperti berpakaian kameja yang rapih dan sedikit menempelkan wangi-wangian di badan agar supaya terkesan di hadapan Rania. Walau ku tahu dia orangnya begitu cuek.

Tapi setibanya di rumah Bang Parhan, sungguh kecewa dan menyakitkan karena orang yang ingin ditujunya tidak ada di tempat.

“Ran,, Rania ayo keluar dari kamar, sudah dong jangan ngelamunin apa yang tak pasti mending sini yang pasti-pasti saja!” Teriakku memanggil dengan terduduk menyenderkan badan santai di kursi sopa dengan harapan Rania segera keluar dari kamarnya dan duduk bareng denganku.

“hai lagi ngomong sama siapa dengan teriak-teriak begitu,” tegur tanteu Titi keheranan melihatku

“Rania kak siapa lagi?” Jawabku santai.

“Apa Rania, ha...ha... Rania orangnya gak ada,” jawab kak Titi dengan terbahak-bahak menertawakan ku.

“Yang benar saja kak?” Tanya ku balik.

“benar, dari pulang kerja dia langsung pulang ke Tasik, kamu gak tau gitu?” Penjelasan kak Titi dengan ekspresinya yang masih tertawa-tawa seperti melihat pertunjukan yang lucu.

Begitu ku dengar kabar Rania yang tak ada di rumah langsung saja kembali pulang dengan lemas dan membawa kekecewaan yang sangat-sangat dalam.

“Ran, ko tega sih pergi begitu aja Tampa pamit dan Tampa kabari aku apa aku ini memang tak begitu pentingnya bagi mu?” Gundamku dihati sambil menyusuri jalan pulang ke rumah Tampa mau menoleh kesana kemari.

Pov: Rania

Tahun baru Masehi pun tiba kami seluruh karyawan pabrik mendapatkan liburan panjang kurang lebih selama satu Minggu kami libur, jadi waktunya akan ku pergunakan untuk pulang ke rumahku di Tasikmalaya. Karena sudah kangen banget sama ibu dan bapak serta adik dan teman-teman di kampung halaman.

“Assalamualaikum Om,” ucapan salam ku pada Om Parhan yang tengah duduk di bangku taman depan rumah sambil menikmati seteguk demi seteguk secangkir kopi.

“Walaikumsalam, Rapih banget mau kemana ponakan Om yang Cantik ini,” jawab Om Parhan yang terpesona melihat penampilanku yang rapih dan mungkin tidak biasa karena ku telah mengenakan jaket blazer dengan menenteng tas rangsel yang penuh.

“Rania pamit mau pulang ke Tasik dulu ya Om!,” seru ku berpamitan dengan Om Parhan.

“Oke nak, hati-hati sampaikan salam Om sama Ayah ibumu ya!” Seru Om Parhan menitip amat salam untuk ibu dan bapak!

“iya Siap Om, nanti Rania sampaikan!” Tegasku dengan meraih dan mencium punggung tangan Om Parhan.

Tiga jam berlalu ku habiskan waktu di perjalanan. Aku tiba di rumah tepat pukul 18.0 0 Ini lebih cepat dari yang biasanya karena jalanannya lancar belum terlalu macet.

Setiba di rumah langsung saja aku bercengkrama melepaskan rasa kangen pada ibu dan bapak serta keluarga.

 

Dua hari berlalu aku berada di rumahku di Tasik, saat kami sedang asyik berkumpul di ruang keluarga dengan menyaksikan siaran televisi.

Tok..tok..tok..

Terdengar suara ketukan pintu dari arah depan rumah, sontak adik ku yang pertama membukakannya. Betapa tak menyangka nya ternyata yang datang berkunjung adalah Om Parhan dan keluarga.

Tujuan mereka untuk pergi liburan tahun baru ke pantai Pangandaran, sekalian mampir dulu ke keluarga untuk bersilaturahmi. Tidak terkecuali aku pun di ajaknya sekalian pergi berlibur ke Pantai Pangandaran. Jarak dari Tasikmalaya ke Pantai Pangandaran sudah mendekati hanya butuh dua jam perjalanan untuk sampai di lokasi pantai.

Setibanya di lokasi pas pagi hari. Aku Yang duduk di paling depan kursi jok mobil langsung bergegas turun, rasanya tidak sabar ingin menikmati suasana pantai yang indah dengan deburan ombak yang menggelegar.

Begitu takjubnya dengan lukisan alam yang terpancar sinar matahari yang masih tampak separuh badan, langit yang masih kuning ke emas sedikit demi sedikit memudar terang. Segera Ku berlari di atas hamparan pasir putih yang terbentang di sepanjang pantai. Begitu indah terasa damai di hati rasanya segala beban pun memudar. Ku terpejam sejenak dengan merentangkan kedua tangan lalu ku hirup udara bebas yang masih asri segar nan asri.

Hemmm... Hemmm...

Ketika sedang asyiknya aku menikmati suasana pantai, tiba-tiba terdengar suara orang yang menggeram. Ku terhentak sejenak.

“ Sepertinya aku kenal dengan suaranya, tapi ah tidak mungkin dia,” gundamku dengan keadaan mata terpejam. Segera ku balikan badan untuk memastikan siapa di belakangku yang menggerakkan suaranya.

“Sombong sekali ya, mentang-mentang ini di kampung halamannya!” Tegur Rama dengan sinis dan tersenyum melontarkan sindiran padaku.

“Rama,”

Kata yang tercengang kaget seolah mimpi karena orang yang di gundahkan ada di hadapanku.

“Hei kenapa kaget ya? Biasa saja kali tidak senang apa melihatku disini?” Tanya Rama yang heran melihat expresi ku.

“Iya kaget banget, ko bisa ya orang ini ada disini!” Jawabku sedikit membenarkan sangkaan Rama, tapi aku menunjukan expresi yang senang seperti apa yang ku rasa. Tak lama pun kami pun duduk di atas hamparan pasir dengan menikmati pemandangan alamnya.

 

Pov: Rama

“ Akhirnya aku bisa berdua lagi bersama Kamu Ran” gundamku dengan memandangi Rania dengan bebas Tampa ada lagi keraguan dan sepertinya ini adalah momen yang pas bagiku untuk mengatakan cinta pada Rania dengan di saksikan Pantai dan deburan ombaknya sehingga terasa romantis.

Pov: Rania

“kenapa Rama memandang ku seperti itu? Jangan-jangan, ah tidak jangan ke ge’eran kamu Ran!” Gundam ku dalam hati dengan berusaha bersikap tenang walau hati gelisah, dengan memalingkan muka mengarahkan pandanganku ke sembarang tempat untuk menghindari pandangan Rama yang membuat jantungku tampak berdetak semakin kencang.

“ Rania,,” panggil Rama tersenyum dan kemudian kembali diam seolah dia mau katakan sesuatu tapi dia nampak nya masih ragu.

“ Iya ada apa Ram?” Jawabku dan bertanya balik ke Rama dengan rasa penasaran.

“Emm.. emm... Oh iya, cowok yang kamu ceritakan itu bagaimana kabarnya, apa hubunganmu dengannya masih berlanjut?” Rama bertanya pertanyaan yang sebenarnya aku hindari karena hubungan antara aku dan Ricki memang akrab Tapi untuk statusnya tidak ada yang pasti. Diantara kami terbentang Dinding kaca berupa seratus sosial yang tinggi.

“ Oh, hubungan ku dan Ricki, entahlah jangan tanya lagi ya! Memang aku cinta sama dia tapi cukup ku curahkan saja cintaku dalam do’a saja,” jawabku dengan sedikit berkecil hati dan menundukan pandangan ku ke bawah .

Bersambung..

 

 

 

Bab 7 Dilema Cinta

1 0

              Bab 7

                   Dilema Cinta

“oh, hubunganku dan Ricki ya, gak Taulah. Memang aku cinta sama dia, tapi cukup ku curahkan saja cintaku dalam setiap doa!” Jawabku yang menciut dan menundukan pandanganku ke bawah.

“ Beruntung banget ya orang yang namanya Ricki itu, bisa di cintai dan di kangenin kamu Ran!” Ucap Rama dengan terus memandangiku.

“Hahh,” Expresi ku terkaget begitu mendengar ucapan Rama.

“Mau dong jadi Ricki yang di cintai kamu,” ucap lagi Rama dengan tersenyum sifu dan terus memandangiku.

“Rama, kamu juga kan gitu, selalu di cintai dan di kangenin pacar sekaligus tunangan mu, makanya kalian segera tunangan,” jawabku berusaha menenangkan hati yang bergetar karena sudah mulai menangkap maksud Rama berkata seperti itu, namun belum pasti juga, mungkin itu hanya perasaan aku saja.

“ Ngga gitu juga, aku hanya ingin di kangenin kamu!” Tegasnya Rama yang semakin terus memandangiku.

“Maksudnya?” Aku bertanya kaget dan berpura-pura tidak mengerti.

“Ran, Aaku,,” ucap Rama terbata-bata.

Aku pun yang terdiam memandang balik Rama untuk menunggu kalimat lengkap yang akan diucapkan.

Dret .. dreet.. dreeet...

Tiba-tiba saja ponsel Androidku yang ku sailenkan bergetar dan terlihat di layar ponsel ada panggilan Om Parhan masuk. Lalu segera ku angkat ponselnya.

“Hallo Om,” jawab telepon dari Om Parhan.

“ Rania kamu dimana, bareng Rama kan? Cepat kesini, kami di gazebo dekat pepohonan yang rindang, kita makan dulu bareng-bareng!” Seru Om Parhan menyuruh kami segera berkumpul untuk makan bareng.

“ Iya siap Om!” Ucapku kembali.

Langsung ku tutup panggilan ponsel dan berfokus lagi untuk mendengarkan Rama kembali.

“Emm Ran, kita ke sana yuk,” ajak Rama sambil bangkit berdiri dari posisi duduknya dan langsung mengulurkan tangannya ke hadapanku.

Rasanya enggan untuk bangkit, Tapi begitu melihat uluran tangan yang di berikan Rama rasa enggan pun terasa ringan.

“yuk..” ucapku balik menyetujui ajakan Rama, dengan agak terdiam sejenak melihat uluran tangan Rama yang sudah berada di hadapan ku.

“Ayo!” Tegasnya makin lembut lagi dengan badan yang agak membungkuk dan tangan yang masih mengulur di hadapanku.

Dengan sedikit malu-malu ku menganggukkan kepala dan langsung meraih uluran tangan Rama untuk bangkit dari tempat dudukku dan sesekali menoleh ke arahnya, memastikan perlakuan Rama.

Setelah posisi kami berdiri segera ku lepaskan kembali untaian tangan yang ada di genggaman Rama.

“ Terima kasih Ram,” ucapku berterima kasih pada Rama.

“ Iya tapi kenapa di lepas? Tanya Rama.

Aku yang hanya menunduk Tampa memberikan jawaban pertanyaan Rama.

“ Rama mau bicara apa ya, mangkinkah dia? Ah tidak mungkin, tapi? Bisik ku dalam hati yang gelisah dan semakin penasaran sambil berjalan beriringan dengan Rama menuju gazebo tempat mereka berkumpul.

“Rania,” panggil Rama di tengah perjalanan dan berhenti sejenak.

“Iya Ram, “ ucapku ku ikut terhenti dan menoleh Rama yang berada di belakang, dan Rama berjalan menuju aku dengan menyejajarkan posisi berdiri kita.

“ Mungkin engga kalau di antara kita ada hubungan?” Ucap Rama bertanya namun tak begitu jelas.

“Hubungan apa Rama”? Ucapku bertanya balik ke Rama.

“ Hubungan spesial antara kita, jadi bukan hanya sekedar teman,” tegas Rama dengan memandangku.

“Enggak tau yah,” jawabku pura2 kaget dan gugup. segera ku palingkan muka dan melanjutkan perjalanan.

“ Oh iya lupakan saja pertanyaannya!” Ucap Rama tersenyum, segera menyusul ku berjalan dengan terus memandangku.

Aku makin menundukan kepala dan bertanya-tanya. “ Apa maksud Rama bertanya seperti itu?, mangkinkah dia mempunyai perasaan yang sama denganku, kalau iya, bagaimana mungkin dia kan sudah bertunangan. “Ahh semakin tidak mengerti,” beberapa pertanyaan dan prasangka-prasangka yang belum pasti terus saja memenuhi pikiranku.

Detak jantungku semakin naik turun sebisa mungkin ku berusaha menepis semua rasa yang bergejolak di hati. Aku mencoba ikut berbaur dengan Om Parhan dan tanteu Titi, serta keluarga yang lain untuk ikut menikmati makanan see put has pantai Pangandaran.

Emm memang lezat sekali ikan bakar dan cumi-cumi panggang yang di taburi dengan bumbu cobek pedas ke manis-manisan, sangat cocok sekali dengan lidahku di tambah lagi perut yang kosong yang sedari tadi minta di isi.

Tampaknya Rama juga Menik mati santapan makanan see put tersebut. Kami berdua pun berbaur menikmati semua makanan dan bersikap biasa seperti tak ada apa-apa di hadapan mereka.

Suasana pantai di kala siang pun sungguh menyenangkan, ku hanya menyaksikan orang-orang berenang, tidak hanya anak-anak orang dewasa pun ikut menyatukan tubuhnya dengan air laut menikmati deburan ombak.

Weng.. weng.. weng....

Suara gauran motor trail yang di kemudikan seseorang lengkap dengan costumnya tampak semakin keras dan mendekat. Tiba- tiba saja si kemudi itu berhenti pas di hadapanku.

“ Ran, ayo naik,” teriak orang yang mengemudikan motor trail tersebut.

Aku yang sedang asyik memandang langit dan lautan yang terdapat beberapa orang berenang pun langsung tertuju pada seruan orang yang mengendarai motor trail tersebut, dan terdiam sejenak tidak langsung merespon karena dia memakai costum lengkap dengan helm yang menutupi seluruh wajahnya, tentu aku sedikit kesulitan mengenalnya. Tak lama pun dia pun membuka helm yang menutupi seluruh wajahnya itu.

“Rama, wah ternyata kamu di kira siapa,” ucapku kaget dan terpesona melihat sosok Rama yang mengendarai motor trail tersebut, benar-benar tidak di kira.

“Iya ayo naik!” Serunya lagi sambil mengayunkan tangan nya menegaskan ku untuk segera ikut bersamanya.

Tampa berpikir Panjang aku langsung menaiki motor trail yang di kendarai Rama dan ikut bersamanya. Kami menyusuri sepanjang pantai lalu berkeliling di beberapa tempat destinasi wisata dan berhenti di suatu tempat kawasan pasir putih, karena tertarik dengan pemandangan sebuah kapal pesiar di bibir pantai milik beberapa para nelayan yang gagal melaut.

Kami turun dari kendaraan motor trail tersebut bersama-sama menyaksikan pesona alam yang mengagumkan. Dengan posisi terduduk di atas hamparan pasir putih yang bersih, berniat melanjutkan perbincangan tadi yang sempat terputus.

“Rania,” panggil Rama padaku.

“ iya Ram, ada apa?” Jawabku dan bertanya balik.

“indah ya, tau gak kenapa?” Ucap Rama dan bertanya.

“ ya,, Karena ada matahari yang mendukung cuacanya yang cerah,” jawabku singkat.

“bukan itu,” ucap Rama kembali.

“ terus apa?” bertanyaku balik.

“tepatnya karna ada kamu, kamulah sang mentari itu!” ucap Rama lembut dengan memandangiku.

“Maksudnya?” ku bertanya kembali.

“Kau mentari di hatiku, hari ini indah karna ada kamu bersamaku dan di hatiku, aku sangat nyaman bersamamu, aku sayang sekali sama kamu, aku ingin kamu yang mendampingiku,” ucapan Rama yang berbicara menghadap lautan dan seolah dia bicara pada alam.

“Maaf, aku lancang berbicara seperti itu, tapi itulah perasaanku yang sebenarnya,” ucap lagi Rama dan berbalik badan menghadap ke arahku menegaskan lagi seluruh perasaannya.

Jantungku terasa terbang melayang-layang seolah aku berada di atas awan mendengar ucapan Rama yang selama ini aku harapkan tapi sempat aku tepis karena terasa tidak mungkin karena dia sudah mempunyai calon pendamping.

Ini seperti mimpi tapi memang ini kenyataan.

“Hahhh,,” ku tarik napas dalam-dalam ku coba menyetabilkan perasaan yang sempat melayang.

“Tidak salahkah kamu Rama? Kamu kan sudah mau nikah sama orang lain,” ucap ku bertanya balik manegaskan apa yang terjadi.

“mengapa bisa berucap seperti itu?” ucapku lagi bertanya dan menegaskan.

“aku sadar ada wanita lain yang lebih baik buatku, yaitu kamu.” Ucap Rama santai dan membaringkan tubuh terlentang dengan kedua tangan di lipat untuk menyangga kepalanya. Posisiku berada di sebelah kiri Rama yang masih membisu, dengan duduk tepat di bawah pohon tembakau yang menjalar ke arah pantai.

Tidak ada seorang pun, di sana hanya kami berdua dengan di saksikan pohon-pohon tembakau yang rindang dan panorama alam pesisir pantai sejauh mata memandang sebagai saksi antara kami berdua.

“Bagaimana dengan perasaanmu Rania?” Tanya Rama, “Aku hanya ingin tau bagaimana perasaanmu ke padaku? Jawab yang jujur!” Ucap lagi Rama mengubah posisi tubuhnya dan berulang kali bertanya, serta menyuruh jujur tentang perasaanku.

Aku yang masih terdiam membisu Tampa suara, masih bingung untuk berkata-kata. Hati ini dilema antara jujur katakan cinta atau sebaliknya. Sedangkan untuk jujur pun aku masih ragu dengan apa yang terjadi, apakah benar Rama mencintaiku sedangkan dia sudah mempunyai calon pendamping. Apa alasannya hingga dia bisa tertarik padaku dan berpaling dari kekasihnya.

Dia yang lebih cantik bermake up modis serta pandai bergaul. Jauh dari ku yang berhijab dan canggung bila bergaul.

“Ran, ayo bicara yang jujur!” seru lagi Rama mendesakku berbicara jujur

“Aku sadar, aku ini memang bukan orang yang tidak baik, dulu memang berengsek suka mabuk, judi, jauh sekali dari sosok pria idaman mu itu, jadi tak mungkin kamu menaruh rasa padaku yang seperti ini, ya kan?” Ucap Rama mencela dirinya dan merendah dengan tertunduk pandangannya ke bawah sambil duduk bersila.

“Bukan seperti itu Rama, aku tidak melihat orang dari masa lalunya, memang iya sedikit jadi ukuran. Tapi jujur perasaan tidak bisa di bohongi!” Jawabku menyangkal pendapat Rama.

Kemudian ku terdiam lagi, karena merasa canggung dan sepertinya ada rasa malu-malu entah pada siapa. Rama pun langsung mengarahkan pandangannya tertuju padaku, nampak seperti tak sabar menunggu jawaban yang akan aku berikan.

“ Berarti, Ah takut salah, ayolah bicara jangan bikin aku penasaran begini!” ucap Rama terus kekeh memintaku untuk jujur.

“Ram iya, aku sama seperti mu. Merasakan kasih sayang dan kenyamanan berada di dekatmu, entah mengapa bila kamu tak ada aku merasakan ada yang hilang entah itu mengapa?” Ucapku mengungkapkan perasaan yang sebenarnya.

“aku pun ragu, apa ini yang di sebut cinta?” ucap ku bertanya-tanya.

Nampak expresi Rama yang sedari tadi menegang kini menjadi tersenyum lega dan aku pun mengikutinya tersenyum dengan rasa malu-malu dan ku tandukan kepala dengan sesekali bertemu pandangan dengannya.

“Ran, berarti kita sama-sama saling mencintai, itu yang terjadi. Kamu mau kan,...” Ucap Rama dengan semangat dan expresi senyumannya, tapi sebelum dia melanjutkan kalimat lengkapnya aku segera memotong ucapannya terlebih dahulu.

“ Tunggu-tunggu!” Ucapku mencegah Rama melanjutkan kalimat perkataannya.

“ada apa?” Bertanya Rama.

Rama seperti agak panik, dan Tampa ku menjawab Rama telah mengerti apa maksudku.

“Rania, aku mencintaimu apa kamu mau menjadi kekasihku?” ucap Rama dengan lembut dan pelan dia bertanya dan memintaku untuk jadi kekasihnya.

“ Tidak Rama, kamu masih punya ikatan pertunangan dengan orang lain. Kamu gak boleh seperti itu!” Seruku tegas sama Rama, dengan rasa dilema ingin bersama menjalin cinta tapi situasi yang membuatku tak bisa menerima.

“mengapa Rania, apa yang salah dengan perasaanku? Aku mencintaimu dan ingin menikah hanya denganmu, apa kamu bersedia?” Tanya Rama mendesak ku.

“Tidak ada yang salah dengan perasaan, namun ingat kamu sudah punya ikatan dengan orang lain, kamu tak boleh menyakiti dia,” ucapku memberi penjelasan ke pada Rama.

“Iya benar, tapi aku akan bereskan hubungan dengan dia dan aku mohon kamu terima aku, kita jalani hubungan kita!” Jawab Rama memberi solusi untuk masalahnya.

bersambung...

 

 

 

 

 

 

Bab 8 Menjadi Orang Ketiga

1 0

 

 

 

Bab 8

       Menjadi orang ketiga

“Ngga Ram, jangan kau putuskan pertunangan mu!” Ucapku tidak menyetujui rencana Rama untuk memutuskan pertunangannya.

“ Tekad ku sudah bulat, apalagi setelah mengetahui kita mempunyai perasaan yang sama dan saling mencintai, maka tidak ada salahnya kita menjalani hubungan ini, dan akan ku batalkan pertunangan ku dengan Mira!” Tegas Rama yang sudah bulat mengambil keputusan.

Dengan tekadnya Rama mengambil keputusan akan membatalkan pertunangannya, membuatku semakin bersalah. Mungkin kalau orang lain akan merasa bahagia karena pria yang di cintai telah memilihnya dan berpaling dari yang lain. Tapi bagiku tidak, justru malah sebaliknya saya telah merasa menjadi orang ketiga dari hubungan mereka, Ya aku harus mengalah.

“Rama, ini sebenarnya ujian bagi kita. Pertunangan kamu di uji dengan hadirnya aku, dan aku di uji harus mengikhlaskan mu dan aku ikhlas, maka dari itu lanjutkan saja ikatan pertunangan mu sampai kalian menikah. Jangan lagi hiraukan aku!” Seru aku memberi penjelasan dan pengertian tentang masalah ini.

“Bagaimana dengan perasanmu dan perasaanku? hubunganku dan Mira dari awal setelah kami melangsungkan acara pertunangan memang sudah bermasalah.” Ucap Rama berusaha tenang merendahkan nada bicaranya.

“masalah bagaimana?” Bertanya ku pada Rama.

“Ingat nggak ketika kamu bilang, ‘percuma cantik wajahnya tapi hatinya tidak cantik’?” Ucap Rama bertanya lagi padaku.

“Iya, terus disitu sikap mu terus berubah setelah aku bilang seperti itu, memangnya ada apa?” Aku bertanya balik ke Rama.

“Sehari setelah kami bertunangan, aku main ke rumah Mira tanpa kasih kabar terlebih dahulu. Ternyata disitu sudah ada seorang cowok, raut mukanya sangat marah dan kecewa serta tidak terima mendengar berita tentang pertunangan kami. Terus cowok tersebut menghadangku dan terjadilah pertengkaran antara kami, sialnya dia tidak sendiri kemudian datang dua orang temannya, dan aku di keroyok terus kalah sampai tubuhku babak belur.”

“ Jadi, kamu tuh sakit karena habis di keroyok mereka?” Tanyaku balik dengan expresi kaget.

“pantas aku mimpi Rama meninggal, untung saja hanya mimpi.” Bisikku dalam hati.

“Ya..” jawab Rama dengan menganggukkan kepalanya.

“ Oh,, pantesan, ya begitulah resiko punya pacar cantik!” Seruku sambil tertawa kecil, dengan nada gurau ledeki Rama.

“hah, repot juga”, ucap Rama dengan rasa dongkol.

“ awalnya aku Ingin menjalin cinta dengan Mira, tapi dia tolak aku mentah-mentah, karena dulu aku hanya pelayan kafe dengan gajih pas-pasan. Selalu di ledeki dia karena gaji seorang pelayan kafe tak cukup untuk memenuhi kebutuhannya, karena memang dia banyak menuntut . Merasa tidak terima dengan semua itu dan berusaha mencari uang yang banyak sehingga aku terjerumus ke lembah hitam sebagai pengedar obat-obatan yang terlarang, hampir saja aku di tangkap polisi. Untungnya ada Bang Parhan yang menolong dan melindungiku hingga aku bisa lolos dari kejaran polisi. Setelah kejadian itu bang Parhan tidak diam dia beri ku pengertian terus aku di beri kesempatan bisa kerjaan di pabriknya, hingga akhirnya aku di percaya bergabung di perusahaannya.

Setelah itu aku menunjukan perubahan kepada Mira dengan Lebih baik serta ku pamerkan mobil inventaris yang bang Parhan kasih, baru dia mau menerimaku. Setelah itu Bang Parhan dan ibu pun langsung mendesakku untuk menyegerakan kami bertunangan.” Ucap Rama menjelaskannya panjang lebar.

“ terus kalau kamu putus, nanti apa kata Bang Parhan dan ibu kamu? Pasti mereka kecewa!” Seruku dan bertanya pada Rama dengan rasa khawatir terhadap perasaan mereka.

“Ibu pasti mengertilah, terus bang Parhan juga pasti akan mendukung kita, jadi tak perlu kawatir!” Ucap Rama dengan yakin keputusannya akan dapat dukungan.

Aku yang masih belum bisa tenang dan merasa was-was dengan keadaan yang akan terjadi, pastinya semua orang bakal menganggap aku sebagai orang ke tiga di antara mereka bila iya Rama bertekad membatalkan pertunangannya.

Tampa terasa hari sudah nampak redup matahari yang terik pun kini mulai tergelincir di ufuk barat.

“Ram, pulang yuk! Kita sudah terlalu lama disini, nanti yang lain khawatir,” seruku mengajak Rama untuk kembali ke mobil dan berkumpul dengan keluarga.

“Nantilah, aku masih betah disini bersamamu,” ucap Rama yang enggan beranjak.

Jujur saja aku pun merasa nyaman, dan menikmati situasi seperti ini dimana Tampa ada seorang pun hanya kami berdua. Tapi ketika ku tersadar rasa bersalah pun ada dan akan selalu mengganjal teringat Rama bukanlah pria singgel lagi. Tampak hati ini campur aduk antara senang dan gundah meskipun Rama meyakinkan untuk memilih aku menjadi pendampingnya.Dengan rasa terpaksa kami pun harus bergegas kembali ke Rombongan keluarga dan meninggalkan tempat yang indah dengan Tampa meninggalkan kenangannya.

Malam itu juga kami langsung pulang ke Bandung termasuk aku, mengingat besok sudah harus mulai beraktivitas kembali. Di tengah perjalanan, aku yang duduk di jok kursi paling depan bersama Om Parhan yang mengemudikan setirnya.

Greet...dreeet...dreeet.. Suara getaran dari ponselku tanda ada notifikasi pesan wattsap masuk. Dan segera ku lihat ternyata pesan dari Rama.

“ Ran, terima kasih hari ini aku bahagia meskipun kau belum bisa menerimaku, besok saya akan menyempurnakan kebahagiaan ini dengan membereskan masalahku supaya kamu bisa menerimaku!” Ucap Rama dalam isi pesan wattsap nya.

“ iya sama-sama, tapi tolong pikirkan lagi dengan keputusanmu itu, jangan sampai kita bahagia di atas penderitaan orang lain,” jawabku membalas pesan wattsap yang telah Rama kirimkan.

“Praak”

Terdengar suara tumpukan buku yang sengaja Om Parhan hempaskan dengan keras.

“ Mas, ada apa, ko main lempar gitu aja?” Tanya tanteu Titi tidak mengerti dengan tingkahnya Om Parhan.

Aku yang masih berada di dalam kamar pun terhentak kaget dan sontak beranjak menghampiri, tapi tidak sampai menampakkan diri di hadapan Om dan tanteu.

“ Kurang ajar si Rama, lagi-lagi dia bikin ulah dan malu-maluin mas,” ucap Om Parhan begitu sangat marah dengan suara tinggi dan expresi yang garam serta mengepalkan ke dua tangannya.

“ Malu-maluin kenapa mas?” Tanya lagi tanteu Titi yang mulai ikut panik dengan melihat expresi nya Om Parhan.

“Barusan mas dapat telpon dari orang tuanya Mira, si Rama telah memutuskan hubungan pertunangannya dengan sebelah pihak dan mereka tidak terima,” jawab Om Paham menjelaskan masalahnya.

“ Aduh anak itu ada-ada saja!” Seru tanteu Titi dengan menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Apa sih maunya dia heh,, dulu mengotot banget sekarang sudah dapat apa yang dia mau malah begitu?” Ucap lagi Om Parhan.

“Sudah mas sabar-sabar, kita tidak tau apa yang terjadi, kita tanya dulu orangnya. Mungkin dia ada alasan mengapa dia bisa memutuskan pertunangannya.” Seru tanteu Titi berusaha menenangkan Om Parhan dan untuk bersikap bijkit.

Mendengar hal itu Aku semakin bersalah apalagi dengan menyaksikan Om Parhan yang begitu marah terhadap Rama. Tubuhku bergetar dan tak tau apa yang harus ku lakukan membayangkan bagaimana bila Om Parhan mengetahui Rama begitu karena aku. Segera ku raih ponsel Androidku dan mengetik pesan wattsap untuk Rama.

“Ram, bila kamu mau menyelesaikan masalahmu, tolong jangan dulu bawa-bawa aku ya,” isi pesan wattsap ku yang telah ku kirimkan ke Rama. Tak lama kemudian balasan muncul jawaban pesan dari Rama.

“Tenang saja Rania, jangan khawatir akan ku pastikan kamu merasa aman.”

“Rania,, Rania,” suara tanteu Titi memanggilku.

“Iya tanteu,” jawabku segera menghampiri tanteu Titi dengan rasa was-was.

“ Tolong hubungi Rama, suruh dia ke sini!” Seru tanteu Titi menyuruhku menghubungi Rama.

“ Baik tanteu,” jawabku segera mengetik pesan wattsap untuk Rama.

 

Bersanbung...

 

 

 

Bab 9 Mengalah Dengan Ikhlas

1 0

 

Segera ku raih ponsel Androidku dan mengetik pesan wattsap untuk Rama.

“Ram, bila kamu mau menyelesaikan masalahmu, tolong jangan dulu bawa-bawa aku ya,” isi pesan wattsap ku yang telah ku kirimkan ke rama.tak lama kemudian balasan muncul jawaban pesan dari Rama.

“Tenang saja Rania, jangan khawatir akan ku pastikan kamu merasa aman.”

“Rania,, Rania,” suara tanteu Titi memanggilku.

“Iya tanteu,” jawabku segera menghampiri tanteu Titi dengan rasa was-was.

“ Tolong hubungi Rama, suruh dia ke sini!” Seru tanteu Titi menyuruhku menghubungi Rama.

“ Baik tanteu,” jawabku segera mengetik pesan wattsap untuk Rama.

Tidak lama kemudian Rama pun muncul, dengan raut muka tampak berseri-seri Tampa rasa beban atau pun rasa bersalahnya. Mungkin karena dia telah usai menjalankan niatnya untuk memutuskan ikatan tali pertunangan dia dengan Mira. Berbeda dengan kami yang berada disini Om dan Tante nampak kesal dan emosi terhadap Rama atas kelakuannya. Sedangkan aku merasa gundah batin bergejolak karena rasa bersalah dengan kejadian ini. Dan yang tak habis pikirnya mengapa bisa aku mempunyai rasa pada Rama seorang pria Badung Tampa memikirkan perasaan orang lain.

“Akhirnya kau muncul juga,” ucap Om Parhan begitu melihat Rama masuk ke dalam rumah tanpa basa-basi.

“ Ada Bang?, Seperti ada hal yang gawat,” tanya Rama yang keheranan Tampa sempat ucapkan salam dan duduk di kursi.

“Apa yang sudah kau lakukan, barusan pak Jaya telpon saya dengan marah-marah dan dia bilang, kamu telah memutuskan pertunanganmu dengan Mira, apa Benar?” Tegas tanya Om Parhan dengan meletakan ke dua tangannya di pinggang.

“ Iya bang,” jawab Rama dengan datar dan Tampa rasa bersalah.

“Hahh,, apa sih mau mu? Dasar tidak tau diri kamu,” cerca Om Parhan emosinya semakin naik dan saut mukanya memerah.

Rama diam tertunduk Tampa mengeluarkan satu patah kata pun mendengar dan menyaksikan Abangnya marah dan mencaci-makinya.

“Rama kamu bikin malu saya, saya susah payah meyakini pak jaya terus mengiring kamu supaya lebih baik, tapi apa yang kamu lakukan, sama saja tidak pernah berubah, malah kamu melemparkan kotoran ke muka saya,” ucap Om Parhan semakin emosi dan terus memaki sampai hampir mau melayangkan kepalan tangan kanannya ke tubuh Rama. Kami yang menyaksikannya terkaget dan panik, sontak tanteu Titi menghampiri dan menahan tangan Om Parhan, untunh tidak sampai kena di tubuhnya Rama.

“Mas sabar mas, tolong kendalikan emosimu!” Seru tanteu Titi dengan sedikit berteriak menahan Om Parhan.

“Habisnya saya sudah terlanjur kesal menghadapi anak ini!” Ucap Om Parhan menurunkan emosinya.

“Rama, kenapa coba sekarang kamu jelaskan!” Seru tanteu Titi dengan lembut mengintrogasi Rama.

“Bang Parhan, kak Titi maaf Rama telah bikin Abang dan kakak kecewa. Tapi Rama mohon dengarkan dulu penjelasan ku!” Ucap Rama lirih meminta maaf pada Om Parhan dan tanteu Titi.

 

“ Iya, apa yang akan kamu jelaskan?” Tanya Om Parhan dengan sinis memberi kesempatan Rama untuk menjelaskannya.

“Mira telah mengecewakanku untuk sekian kalinya, terakhir aku telah dapati dia bersama pria lain, aku tidak terima dan pria Akhirnya kami bertengkar dan bersih tegang hingga akhirnya aku babak belur” ucap Rama menjelaskan pada Om dan tenteu dengan muka memelas mengharapkan pengertian mereka.

 

“setelah itu aku sadar Mira bukan yang terbaik untukku, dia bisa menerimaku karena sebuah materi, bukan menerimaku dengan apa adanya. Salah satunya lagi pengaruh dari Abang juga, aku pun berpikir bagaimana kedepannya rumah tanggaku bakal baik-baik saja dengan sifat dan maunya Mira yang matrealistis? Yang jelas bukan rasa cinta yang ku rasa kini malah jadi rasa kesal “ Ucap lagi Rama dengan alasan yang lebih detail.

 

“ Terus mau mu apa sekarang heh? Kalau bukan saudara bukan saudara saya malas ngurusin kamu orang tua mu saja tidak peduli!” Seru Om Parhan dengan terus terang sangat jengkel.

 

“Aku akan tetap menikah bang, tapi bukan sama Mira, ada wanita lain yang lebih baik dari Mira. Dari sifatnya dan kelakuannya pun jauh sekali, pokonya dia wanita yang luar biasa yang mampu membuat aku tersadar akan segalanya dan bisa menuntunku ke jalan yang lebih baik.” Ucap Rama memberi gambaran tentang seseorang yang akan menggantikan Mira.

 

“Deug,” jantungku mulai berdetak kencang kembali begitu mendengar Rama menggambarkan wanita yang mengisi hati Rama kini.

 

“ Yang dia maksud itu aku, ah Rama mengapa prahara cinta ini begitu rumit bagiku, memang aku cinta kamu, tapi aku tidak bisa kalau melihat di sisi lain ada yang terluka. Aku pun akan merasa malu bila semua orang mengetahui tentang aku dan Rama. Ya Allah aku harus bagaimana?” Gundaman risalah hatiku meminta petunjuk sang maha kuasa.

 

“hah, Jangan main-main kamu Rama, wanita itu siapa?” Tanya Om Parhan membentaknya.

“ Ada pokonya, kali ini saya benar-benar serius.” Jawab Rama dengan meyakinkan Om Parhan.

“ Oke, kalau iya bawa wanita itu ke hadapan Abang, Abang kepengen lihat muka dari wanita ini sekarang. Kalau iya benar Abang nggak bakalan tanggung- tanggung akan langsung Om nikahkan kalian berdua!” Ucap Om Parhan menantang dengan tegas dan memberikan kepastian.

“Siap bang, dengan senang hati akan ku bawa gadis itu ke hadapan Abang, tapi tidak sekarang, menunggu waktu yang tepat!” Jawab Rama merespon tantangan Om Parhan dengan Senang.

 

“oke Abang tunggu, dalam waktu seminggu ini, awas saja kalau kamu bohong!” Seru Om Parhan dengan nada mengancam.

“Oke,” jawab Rama memastikan.

 

Tak lama pun Rama pergi dan meninggalkan rumah Om Parhan. Seketika aku meraih ponsel berharap ada seseorang yang bisa ku ajak bicara, tapi siapa aku tak ada teman yang bisa aku keluh kesahkan. Biasanya Rama disini orang yang biasa aku ajak bicara dan berkeluh kesah, tapi tak mungkin kali ini karena masalahnya kan berhubungan dengan dia.

Mendengar Om Parhan yang marah dan memberi tantangan buat Rama, aku jadi semakin takut karena kalau iya aku belum siap untuk berumahtangga

“Ibu.. aku kangen ibu, mungkin gak ya aku cerita sama ibu?” Bisik hatiku sembari mencari kontak telpon ibu di rumah.

“Tuuut...tuuut ..tutt.. “

Suara ponselku yang menghubungkan panggilan ke ponsel ibu.

“ Hallo, Assalamualaikum nak? “ Langsung terdengar ucap ibu begitu panggilannya sudah tersambung.

“ Walaikumsalam Bu, lagi dimana?” Jawab salam ibu, dan bertanya keberadaannya.

 

“ Ya, di rumah nak, dimana lagi,” ucap ibu lagi menjawab pertanyaan ku.

 

“Ada apa nak, sepertinya ada yang kamu kawatirkan?” Tanya ibu yang sudah merasakan ke gundahanku Tampa ku bercerita.

 

“ Iya Bu , Rania kepingin pulang Bu!” Jawabku dan mengadu meminta pulang.

 

“Pasti kamu dalam berada dalam masalah ya? “ Tanya ibu kembali memastikan

 

“ Iya Bu, Rania bingung banget, Rania tak tau harus berbuat apa!” Ucap ku berkeluh kesah pada ibu.

 

“ Ran, tidak biasanya kamu seperti ini, kalau kamu mau pulang, pulang saja nanti kita selesaikan masalahmu disini!” Seru ibu yang sudah mengerti gelisah hatiku dan mendukung untuk aku pulang ke Tasikmalaya.

“Tapi Bu, Rania gak enak sama Om dan tanteu. Baru saja kemarin pulang masa udah pulang lagi!” ucapku beri alasan.

 

“ Ya udah terserah kamu, kamu baik-baik saja di sana, ingat jangan sampai kamu lupa sholat yang 5 waktu dan berdo’a sama Alloh SWT supaya di permudah segala urusan dan selalu di bimbing ke jalan yang benar!” Ucap ibu lagi mengingatkan ku untuk selalu berdo’a.

 

“ Iya Bu terima kasih, sudah mengingatkan Rania dan sekarang Rania sudah lebih tenang” ucapan terima kasihku pada ibu dan langsung mengakhiri perbincangan.

Bersambung...

 

 

 

 

Bab 10 Kesalah Pahaman

1 0

 

 

Pagi ini seperti biasa kami berangkat ke Pabrik dengan mobil yang di kendarai Rama, sudah pasti kami berpapasan bertemu dan saling bertemu pandang.

 

“ Hai cewek,” sapa Rama sedikit menggodaku dengan tersenyum yang mereka.

 

Aku pun membalasnya tersenyum dengan malu-malu Tampa menjawab sapaannya.

 

“ Ran, “ panggil lagi Rama dengan menarik sebelah tangan kiri ku.

 

“ Aku sudah menyampaikan niatku ke Mira, dan Mira sudah menerima dan kita sudah sepakat untuk memutuskan hubungan pertunangannya, jadi sekarang ini aku sudah bebas jadi pria jomblo lagi!” Ucap Rama memberitahukan statusnya kini.

 

“ Nggak Rama, urusanmu belum selesai, mungkin ya kalian berdua sudah sepakat. Tapi ini bukan hanya urusan kalian lagi, sebuah ikatan pertunangan sudah menjadi urusan dua keluarga antara orang tua mu dan orang tua Mira, jadi pastikan dahulu semua nya beres Tampa ada perselisihan!” Seru aku , memberi pengertian pada Rama akan keputusannya.

 

Tampa di sadari, perbincangan antara aku dan Rama telah di dengar oleh Toni dari balik pintu ruangan. Toni ini adalah adik kandung dari tanteu Titi yang sama bekerja di pabriknya Om Parhan.

 

“Benar-benar gosip yang heboh” ucap Toni ke mba kiki Kaka Toni yang masih saudara kandung dari tanteu Titi melalu telponnya.

 

Toni menceritakan hasil dari menguping perbincangan aku dan Rama ke mba kiki, dengan antusiasnya mba kiki menanggapi gosip antara aku dan Rama.

 

 

 

Sore-sore begitu aku pulang dari Pabrik di rumah sudah ada mba kaki yang lagi berbincang- bincang dengan tanteu Titi. Setelah mendengar semuanya dari Toni mba kiki langsung mengadukan semua hasil pengaduan toni ke tanteu Titi dengan sedikit tambah-tambahin dan di agak di rekayasa.

 

“ Eh Rania, sudah pulang ya? Pasti cape ya” sapa mba Kiki dengan senyuman.

 

“Lumayan mba,” jawabku singkat dengan tersenyum juga.

 

“Mana Rama nya, ko Ngga di anterin pulangnya?” Tanya mba Kiki sedikit mengintrogasi dan celingukan ke arah luar.

 

Ku hanya tersenyum dan terheran Tampa menjawab pertanyaan mba kiki, begitu mba Kiki bertanya seperti tadi aku mulai tak enak hati dan tak nyaman berada di antara mba Kiki dan tanteu Titi.

 

“Mba Kiki, tanteu Rania permisi ke kamar ya, mau langsung mandi soalnya udah gerah bangeut!” Ucapku pamit dengan beralasan.

 

“Oh ya Silahkan Ran, memang benar harus segera bersih-bersih nanti kalau udah datang yang ngapel jadi enak sudah wangi,” ucapan mba Kiki lagi, semakin ku tak nyaman. Tampa berlama-lama segera masuk ke dalam kamar. Tapi sebelumnya langkah ku sedikit terhenti dan penasaran, mengapa bisa mba Kiki berkata begitu, sepertinya dia telah mengetahui tentang aku dan Rama, tapi dari siap? Semakin ku penasaran. Aku kembali ke ruang depan dengan menyelinap dan mendengar perbincangan mba Kiki dan tanteu Titi.

 

“ Kak tuh kan, saudara Bang Parhan itu benar- benar dech perusak, ngak meyangka banget Kiki mah dia bisa berhubungan dengan Rama, ternyata itu jilbab hanya di jadikan kedok semata.” Ucapan mba Kiki yang terdengar sangat pahit mencercaku.

 

Sudah jelas mba Kiki telah mengetahuinya tapi dia telah salah paham. Memang aku suka sama Rama begitu juga dengan Rama, tapi kami belum ada hubungan apa lagi ada niatan merusak pertunangan Rama.

 

Rasa tak enak dan sakit yang kurasa karena penilayan yang salah tentangku, tapi harus gimana lagi, sempat terdorong untuk berbicara dan meluruskannya tapi ku pikir percuma saja, ku tunggu dulu sampai mba Kiki pergi dari rumah.

 

Begitu mba Kiki pergi dari rumah Om Parhan, langsung aku menghampiri tanteu Titi untuk meluruskan kesalahpahaman yang di buat mba Kiki.

 

“Tanteu, mba Kiki cerita apa,Tentang Rania?” Aku bertanya ke tanteu Titi yang masih termenung di ruang tengah rumah.

“ Kiki bilang kamu dan Rama. Apa benar apa yang di katakan Kiki? “ Ucap tanteu Titi dan balik bertanya padaku.

 

“Itu tidak benar tanteu. Aku tak ada hubungan apa-apa dengan Rama apalagi mau niatan merusak hubungan dengan tunangannya.” Jawabku menjelaskan ke tanteu Kiki.

 

“ Rania jujur, tanteu dan Om juga sempat ada curiga secara kalian sering berbarengan tapi tanteu tidak bilang ya tanteu pikir kalian Cuma ngobrol-ngobrol biasa saja.” Ucap lagi tanteu Titi mendesak untuk berkata jujur.

 

“ Iya Tanteu, Rama sempat menembak ku kemarin waktu di Pantai, Rania sangat kaget dan tak sangka Rama berkata seperti itu. Tapi Rania tak mau dan menolaknya. Karena Rania tau Rama sudah bertunangan.” Jawabku mengakui apa yang telah terjadi.

 

“Rama Rama, nah suka ada-ada aja itu anak!” Seru tanteu Titi menggelengkan kepalanya merasa taluk dengan kelakuan Rama.

 

“Mba Kiki telah salah paham tanteu,” Rania bingung kenapa mba Kiki bisa menyimpulkan seperti itu?” Tanyaku yang tak mengerti masalah ini sampai jadi terdengar oleh orang lain dan salah paham.

 

Keadaan ini membuatku bingung, takut sekaligus shok dan serba salah dengan refleksnya Tampa pikir panjang aku bereskan semua pakaian dan merapihkan diri langsung menghampiri tanteu Titi untuk Pamit pulang lagi ke Tasikmalaya.

 

“Tanteu pamit dulu,” ucapku sambil meminta tangan kanan tanteu untuk ku cium dan berpamitan.

 

“Ran, kamu mau kemana? “ Tanya tanteu Kiki yang kaget melihat penampilanku yang membawa rangsel yang kembung dan terheran.

 

“ Rania, mau pulang dulu tanteu, mungkin ini yang terbaik dan memang aku juga ada urusan!” Ucapku memberi alasan.

 

“Ran, maafkan tanteu kamu jangan pergi dulu kita!” Ucap tanteu melarang dan menahan ku untuk pulang.

 

Meski tanteu Titi menahan tapi aku tetep memaksa hari yang semakin sore dan sebentar lagi gelap, serta bekal uang yang pas-pasan untuk ongkos naik bis, karena untuk memesan taksi online uangku tidak cukup membayarnya. Dengan keadaan yang seperti itu tidak menyurutkan ku untuk segera sampai ke rumah di Tasik. Dan a

 

Alhamdulillahnya aku sampai di rumah dengan selamat sebelum malam semakin larut.

 

Keadaan di rumah Om Parhan tampak ramai jadi gunjingan karena aku secara pergi Tampa di ketahui Rama dan Om Parhan. Tanteu Titi pun menceritakannya pada Om Parhan tentang aku dan Rama. Sungguh terkaget begitu Om Parhan mengetahuinya, memang dugaanku benar Om Parhan responnya di sesuai yang kami harapkan sampai dia pun memaklumi kepergianku.

 

“ Rama, kamu ini yang benar saja mau nikah sama Rania ponakan saya, sadar hei kamu gak mimpikan?” Ucap Om Parhan mencaci Rama.

 

“ Tapi itulah bang yang terjadi, kenapa bang? Rania juga sama punya rasa terhadap!” Jawab Rama dengan percaya diri.

 

“Ah, nyatanya dia pergi dari sini karena menghindari kamu heh!” Ucap lagi Om Parhan yang memojokan Rama.

 

“Bang aku serius terhadap Rania, aku telah berubah lebih baik dari sipat-sipatku yang terdahulu, Rania yang mampu merubah ku hingga aku tersadar sendiri Tampa ada paksaan, makanya aku ingin sekali mempersunting Rania supaya hidupku bisa ada yang membimbingnya.” Ucap Rama memelas memohon ke pada Om Parhan.

bersambung....

 

 

 

 

Bab 11 Menerima Cinta

0 0

 

Hangatnya suasana Rumah Tasik membuatku sejenak melupakan kepenatan kehidupan di sebelumnya di Bandung. Nampak ku bisa tertawa dan bercanda bareng adik Perempuanku yang bungsu.

 

Malam pun telah larut, hanya tinggal kami berdua yang masih terjaga disini. Ibu yang sedari kemarin merasakan kegundahan ku mulai bertanya.

 

“Nak, apa yang terjadi? Yu cerita, ibu tau kamu ada masalah di sana sehingga kamu mendadak pulang lagi kesini!” Sapa ibu mulai bertanya.

 

“ Iya, tapi ini mah masalah kesal pahaman, Rania ingin menghindar supaya tidak semakin melebar masalahnya.” Jawabku menjelaskan alasannya dan lebih detail lagi memberitahu kronologi kenapa aku bisa mendadak pulang.

 

“ Semua keputusan ada di tanganmu, itu berarti kamu sudah dewasa.” Ucap ibu berusaha memantapkan langkahku.

 

“iya Bu,” jawabku

 

“ Ran kalau iya dia serius sayang sama kamu dan niat mau berubah dan bertobat, terima saja. Dan kamu Bingbing dia supaya jadi manusia yang lebih baik. IngsaAlloh pahalamu besar nak!” Seru ibu memberi pencerahan terhadapku yang benar-benar kebingungan Tampa mengatakan jelas aku memang cinta sama, tapi ibuku sudah paham terlebih dahulu.

 

“Tapi Bu, gimana kata orang-orang yang nuduh Rania negatif di kiranya benar Rania perusak?” Ucap ku bertanya solusi apa tentang tuduhan aku sebagai perusak.

 

“Iya tak usah pedulikan, yang penting niat kiatnya sudah benar.” Tegas ibu meneguhkan hatiku.

 

 

 

Tok..tok..tok..

 

Terdengar suara ketukan pintu di arah depan.

 

“Siapa Bu ?” Tanyaku ke ibu yang ibu juga tidak mengetahuinya.

 

“Ngga tau, sudah sana buka saja!” Ucap ibu menyuruhku membukakan pintu.

 

Waktu menunjukan pukul 22.00 semakin penasaran siapa yang bertamu malam-malam, memang ini sudah larut banget, adik dan bapak saja sudah pada tidur. Tinggal aku dan ibu yang belum bisa terlelap karena kami terlalu asyik berbincang-bincang.

 

“ Siap? Tunggu sebentar ya! Ucapku menjawab ketukan pintu orang yang mau bertamu.

 

Langsung saja aku bangkit dari senderanku dan berjalan menghampiri sumber suara pintu yang di ketuk.

“Rama,” ucapku terkaget begitu melihat orang yang yang bertamu malam-malam tersebut.

 

Aku yang keheranan terasa seperti mimpi lalu ku agak mencubit tangan kiri dengan tangan kananku sungguh terasa sakit.

 

“Assalamualaikum,, “ ucap salam Rama begitu pintu di buka dan menyimpulkan senyumannya.

 

“Walaikumsalam salam.. Ini benaran kamu atau hantu sih?” Jawabku balas mengucap salam dan bertanya.

 

“ Iya ini aku Rama, kamu baik-baik saja kan?” Ucap Rama dan bertanya kembali dengan mengibas tangannya di mukaku.

 

“Ko nggak di persilahkan masuk sih!” Ucap lagi Rama komplain karena kurang penyambutannya.

 

“ Bentar, takutnya ini hantu bertamu nya malam seperti ini” ucapku menjawab complainan Rama dengan tersenyum gembira.

 

“ Ibu, ibu, ini ada tamu “ teria ku memanggil ibu dari arah ruang tamu.

 

“Yu, masuk Rama” ucap ku lagi menyuruh Rama masuk rumah.

 

“siapa, tamunya Ran?” Ucap ibu bertanya.

 

“Ini Bu yang namanya Rama” jawab aku yang langsung memperkenalkan Rama ke ibu.

 

“Dan Rama ini ibuku” ucapku lagi memperkenalkan ibu ke Rama.

 

“Oh iya , kamu kesini dengan siapa nak?” Tanya ibu ke Rama

 

“ Itu Bu bersama Bang Parhan dan kak titi.” Ucap Rama menjawab pertanyaan ibu.

 

Ternyata Rama datang tidak sendiri, dia d barengi sama Om dan tanteu. Rasa kaget dan tak terduga, karena sebelumnya mereka datang Tampa memberi tahu kita terlebih dahulu.

 

Tak lama kemudian Om dan tanteu pun muncul dan sama-sama memasuki rumah. Bapak yang dari tadi sudah tertidur pulas pun terpaksa harus di bangunkan demi menghargai Om dan tanteu serta Rama yang sudah jauh bertamu dari Bandung.

 

Aku dan Rama terduduk di luar teras depan rumah, mereka memberikan kesempatan kepada kami untuk berbicara.

 

“Ran, maaf ya harus bertamunya malam-malam,!” Ucap Rama memecah ke heningan yang dari tadi aku masih terdiam yang terasa sulit untuk berkata-kata.

“Ngga apa-apa” jawabku singkat.

“Ran, kenapa kamu pergi?” Tanya Rama mulai mengintrogasi tingkah ku yang kemarin tiba- tiba pergi.

“ tidak ada apa-apa, masih kangen aja, sama ibu dan bapak,” jawabku memberi alasan.

“Ha..ha.. bukan itu, kamu kan bukan lagi anak TK yang tiba-tiba ingin ketemu orang tua hari itu juga.” Ucap Rama menyangkal alasanku.

 

“Maaf ya, aku ceroboh sehingga Toni mengetahui terlebih dahulu tentang kita, sehingga mba Kiki salah paham karena cara penyampaian Toni yang setengah-setengah. Tapi tenang saja mereka berdua sudah saya tegur dan mereka sudah menyesalinya.” Ucap Rama berusaha menjelaskan dan menenangkanku.

 

“ Tak apa-apa, memang benar ko aku yang salah, sehingga aku sadar dan tau diri makanya menurutku lebih baik aku yang pergi supaya tidak pernah ada gunjingan apa-apa, dan hubunganmu dengan Mira baik-baik saja!” ucapku merasa diri yang bersalah dan berusaha mengalah.

 

“Tapi percuma Ran, semuanya sudah terjadi, dan di antara kami sudah tidak ada apa-apa lagi, dia dan keluarganya sudah menyadari bahwa hubungan kita sudah tidak layak untuk di lanjutkan, kamu juga tau kan dulu pernah aku jelaskan.” Rama menjelaskan lagi tentang dia dan dirinya dan berusaha meyakinkan aku.

“Iya, “ jawabku simpel.

“Ran, aku datang kesini jauh-jauh bersama Bang Parhan dan kak Titi ingin meminta maaf kepada kamu atas ke tidak nyamanan yang aku buat.” Ucap Rama meminta maaf.

 

“ Minta maaf kenapa? Tak perlulah!” Seruku menyangkal perkataan Rama.

 

“ Dan bukan cuman itu saja, aku juga ingin menyampaikan sesuatu lagi sama kamu.” Ucap Rama sambil merubah posisi duduknya yang tadinya di pinggir sekarang jadi tepat di hadapanku.

“Sesuatu apa?” Jawabku penasaran apa yang akan di sampaikan Rama.

Begitu aku bertanya apa yang mau di sampaikan nya, Rama malah terdiam dan mukanya memerah seperti orang yang mau di tes ujian saja merah tegang bangeut. Dia berusaha menarik napas dan sedikit lebih tenang, kemudian pandangannya terfokus ke arahku. Begitu kuat pandangan yang di arahkan Oleh Rama kepadaku.

 

“ Ran, mataku mencarimu ketika kamu tidak ada. Hatiku sakit ketika aku tidak menemukanmu. Kamu adalah alasan untuk semua kebahagiaanku dan tampamu hidupku kacau dan membosankan. Kini hidupku indah karena kamu bersamaku, kamu membuatku bahagia dan senyummu menerangi hidupku semua kegelapan pun menghilang. Rania maukah kamu menjadi milikku selamanya?”

 

“Deug ”

 

Reaksi jantung begitu mendengar pernyataan Rama dan terus memintaku menjadi kekasihnya untuk yang kedua kalinya.

 

Aku yang masih terdiam menundukan kepala merasa dilema dengan keputusan apa yang harus ku berikan. Sesekali aku melihat Rama yang masih fokus memandangiku seraya menunggu jawabanku. Serasa tak berdayanya aku ketika ku membalas pandangan Rama sehingga hati ini luluh dan tidak kuasa untuk berkata tidak. Seketika hati ini tergerak menganggukkan kepada secara otomatis bibirku tersenyum.

 

“ Berarti kamu bersedia?” Ucap Rama bertanya memastikan jawabanku atas pertanyaan.

 

“ Ayo Ran, aku ingin mendengarnya!” Rama yang terkekeh ingin mendengar jawabanku Tampa isyarat.

 

“Iya Rama, saya bersedia” ucapku menyetujui permintaan Rama.

 

“hah.. Alhamdulillah akhirnya” ucap Rama yang terasa lega dengan pernyataan ku.

 

Dengan mengiyakan pertanyaan Rama berarti statusku kini menjadi pacarnya seorang Rama. Rasa bahagia pun menyapa tapi tidak selepasnya bahagia begitu ku menoleh ke belakang dengan riwayat sebelumnya Rama hampir bersanding dengan yang orang lain.

 

“Ran, terima kasih karena kamu sudah bersedia menjadi kekasihku dan akan menjadi tambatan hatiku!” Seru Rama merasa bahagia dan berterimakasih.

 

Bab 11 Jalinan Kasih Jarak Jauh

0 0

 

Sejak saat itulah kami resmi Menjalin kasih jarak jauh antara kota Tasikmalaya dan Bandung. Rasa bersalah perasaan malu tidak bisa hilang dalam diri, meskipun semua sudah clear, tapi tetap saja tidak bisa menghapusnya. Untuk itu aku memutuskan untuk tidak tinggal lagi di rumah Om Parhan dan memilih berhenti bekerja di pabriknya.

 

Dengan terpaksa kami harus menjalani hubungan jarak jauh, Rama ingin segera melamar ku dan menyegerakan menikah, tapi sayangnya aku belum siap untuk lanjut ke jenjang itu. Fokus ku masih ingin mencari pengalaman hidup dengan bekerja dan berlanjut kuliah. Rasa kecewa yang di rasakan Rama pasti ada tapi, itulah dia harus bersabar karena tekad ku tidak berubah.

 

“ Rama, tak apa-apa kan kalau aku ingin bekerja kembali dan mencari pengalaman dulu!” Seru aku berbicara melalui sambungan telpon meminta persetujuan Rama untuk mencari pekerjaan kembali.

 

“ Ya gak apa-apa tapi kalau bisa mending diam di rumah tak usah capek-capek kerja kalau cewek mah!” Jawab Rama setuju tapi menyarankan untuk berdiam di rumah.

 

“ Rama, kamu sudah seperti bapakku saja ha..ha..” ucapku menanggapi saran yang di berikan Rama.

 

“ Kenapa gitu? Apanya yang seperti bapakmu?” Tanya Rama kembali.

 

“ Itu kata-kata, udah saja kalau wanita mending diam di rumah jangan bekerja, he..he..” jawabku sambil tertawa ledeki Rama.

 

“Oh, ha..ha.. itu artinya aku juga sangat sayang sama kamu, seperti sayangnya bapakmu terhadap kamu.” Ucap Rama menyatakan sayangnya.

 

“Oh seperti itu he.. he..” ucapku lagi menanggapinya sembari bercanda.

 

“ Hey serius Rania,, pokonya Minggu depan saya akan datang lagi ke rumah untuk menemui orang tua mu.” Ucap Rama menjanjikan untuk datang.

 

“Iya serius, boleh kalau mau kesini mah aku tunggu ya!” Jawabku sedikit manja.

 

Akhir pekan pun tiba, aku telah bersiap-siap menunggu kedatangan Rama, sesuai dengan perkataannya di telpon. Tapi yang terjadi bukan Rama yang datang, malah Om Parhan dan tanteu Titi yang datang dan menemui orang tuaku. Rasa gundah menyelinap di dada karena orang yang ku sayang harap berada di sini dia tidak hadir. Kami berkumpul bersama di ruang tengah membahas tentang hubunganku dengan Rama. Jujur saja aku bisa menerima cintanya Rama karena ada dukungan dari ibu, tapi berbeda dengan bapak, beliau memang tidak pernah merespon atau pun menyetujuinya. Dengan menunjukan expresi yang datar serta tidak banyak berkomentar, beliau tau bagaimana sifatku memang kalau ada maunya aku tak bisa di ganggu apa lagi dapat dukungan dari ibu.

 

“ Ran, Om mau tanya benar-benar sama kamu!” Ucap Om Parhan dengan tegas.

 

“ Iya Om, mau tanya apa?” Jawabku bertanya balik.

 

“Apa kamu benar-benar mencintai si Rama? Om Pernah cerita sama kamu seperti apa kelakuannya terdahulu” ucap Om Parhan membeberkan bagaimana asal usul Rama dan riwayatnya terdahulu yang amat sangat negatif ke pada ayah dan ibu. Agar supaya keluargaku tau dan tidak ada yang di tutup-tutupi, sehingga kami tidak salah mengambil keputusan serta di kemudian hari tidak ada penyesalan.

 

“Kalau ibu terserah Rania saja, bila Rania sudah cocok ya ibu dukung.” Ucap ibu yang selalu mendukung setiap keputusanku.

 

“Oke mba, bagaimana dengan kamu Ran? Om tau kamu cinta sama Rama, tapi apa kamu sudah siap menanggung segala resiknya?” Ucap lagi Om Parhan menegaskan.

 

“Iya Om Rania siap menanggung segala resikonya,” jawabku dengan yakin akan keputusan yang ku ambil.

 

“okelah, kalau begitu Om sekarang hanya bisa mendoakan,” ujar Om Parhan.

 

Setelah itu mereka berpamitan pulang dengan di anterin sampai masuk dalam mobil yang terparkir di depan rumah oleh ibu. Dan sepertinya Om Parhan sengaja karena ada unek-unek lagi yang belum di sampaikan olehnya ke pada ibu.

 

“Mba, expresi bang jali berbeda bangeut, aku jadi ngerasa malu sama Bang jali, aku telah gagal untuk menjaga Rania, sehingga Rania bisa terjebak dengan cintanya kepada seorang Rama,” ucap Om Parhan menyampaikan penyesalannya.

 

“ Lah sudah, Parhan kamu jangan berpikir macam-macam, mba malah berterimakasih kamu masih perhatian sama anak mba, dan malah Rania dan Rama serahkan saja sama Alloh SWT, kalau mereka berjodoh ya mau apalagi kita mah cuman bisa mendoakan.” Ucap ibu dengan bijak menenangkan Om Parhan.

 

 

 

Di suatu pagi yang masih remang-remang cahaya seolah matahari masih malu-malu untuk menampakkan sinarnya.

 

“Assalamualaikum.. terdengar ucapan salam dari arah depan rumah, aku yang sedang bergelut di dapur membatu ibu menyiapkan sarapan untuk semua keluarga langsung bergegas menghampiri sumber suara tersebut.

 

“Walaikumsalam salam... Hai Hani,” ucapku menjawab salamnya dan terus menyapa Hani sahabatku.

 

“Ran, kamu tuh sombong banget berada di kampung tapi ngga ngasih kabar ya” ucap Hani menegurku.

 

“Iya maaf belum sempat” jawabku memohon maaf.

 

“Ini aku mau kasih info di tempatku ada lowongan kerja bagaimana kamu berminat?”

 

“ Oke aku berminat banget” jawabku Tampa berpikir panjang.

Bersambung...

 

 

Bab 13 Usaha Yang Tidak Di kehendaki

0 0

 

 

“asyik,, kalau begitu besok pagi-pagi sekali kamu langsung ikut aku ya, Kita langsung ke lokasi.” Tegas Hani.

 

“Siap pokonya aku ikut,” jawabku yang langsung antusias.

 

Di pagi hari yang masih buta, aku sudah bersiap-siap stan by di depan rumah. Sebelumnya aku pamit terlebih dahulu kepada bapak dan ibu.

 

“Ran, tidak salah ini kan hari Minggu? Kenapa gak besok saja mulai masuk kerjanya!” Ucap ibu yang terheran.

 

“ Oh iya Bu, tapi Hani mengajaknya sekarang” ucapku agak terdiam dan baru menyadarinya bahwa ini hari adalah hari Minggu.

 

“ Ya Allah, kalau Rama kesini bagaimana ya?” Gundamku dalam hati.

 

“ Lah kalau iya dia mau kesini ya pasti dia kasih kabar terlebih dahulu.” Gundamku lagi dalam hati memantapkan langkahku lagi.

 

Tampa menghiraukannya aku langsung menaiki kendaraan motor metik yang Hani kendarai, karena kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan memang tak jarang bisa cepat seperti ini.

 

Pov : Rama

 

Di malam Minggu malam yang panjang katanya orang-orang, memang benar sih bagi yang sedang kasmaran. Seperti Aku ini, yang rela menelusuri perjalanan panjang dari kota Bandung menuju kota Tasikmalaya. Dengan dua kawanku yang masih terkait kerabat yaitu Toni dan Rudy, kami melewati jalan alternatif pinggiran kota.

 

Jalan yang cukup curam dan bergelombang, dengan mengendarai kendaraan motor trail dengan laju yang cukup menantang. Tapi semuanya telah ku nikmati tidak terasa lelah mau pun capenya, sebab ada pujaan hati yang di tuju, Yaitu rumah seorang gadis pujaan hati.

 

Setibanya kami di sana, hati pun sudah tak sabar ingin berjumpa.

 

“Assalamualaikum..” ku ucapkan salam.

 

“walaikumsalam,, nak Rama” jawab ibu Rania dari dalam rumah.

 

“Iya Bu, kami kesini barengan Toni dan Rudi tiba malam cuman nginep di rumahnya Rudi Bu, kalau langsung kesini kan gak enak. ” jawabku sambil meraih punggung tangan ibu dan menciumnya.

 

“ ya, sudah ayo masuk-masuk” Ibu mempersilahkan kami semua masuk.

 

 “ Bu, Ranianya adakan?” tanyaku pada ibu.

 

“ Nak Rama, Rania nya tidak ada di rumah, barusan saja dia pergi. Memang sebelumnya nak Rama tidak memberi tahu Rania?” ucap ibu bertanya

 

“hah,, pergi, pergi kemana Bu?” Ucapku bertanya balik sama ibu dengan rasa was-was berharap ucapan ibu tidak benar.

 

“Iya nak, Rania pergi bekerja, dia mulai masuknya hari ini. Mungkin dia tidak tahu kalau hari ini Nak Rama akan kesini. ” Jawab ibu.

 

“Iya Bu, Rama memang tidak memberitahu tau Rania terlebih, niatnya sih ingin memberi kejutan pada Rania, tapi kalau Rania nya gak ada malah aku yang terkejut.” Ucapku dengan sangat kecewa.

 

Sungguh tidak di sangka semua perjalanan yang berliku dan panjang yang ku lalui semuanya sia-sia. Semua usahaku tidak di kehendakinya.

 

“Dasar bodoh kamu Rama,” lirih ku dalam hati sambil memukul-mukul jidat dengan kepalkan tanganku.

 

“Coba di telpon Rama,” ucap Toni menyuruhku menghubungi handphone Rania.

 

“Oh iya nak, di telpon saja!” ucap ibu setuju.

 

Langsung ku raih ponselku yang di taruh di saku jaket yang ku kenakan dan memanggilnya.

 

“ tatap matamu bagai busur panah,,”

 

Terdengar nada dering ponsel milik Rania yang terdengar di dalam ruangan kamar, ya itu yang berbunyi ponsel milik Rania karena ku hapal betul Rania pernah bilang suka sama lagunya karna bentuk ucapannya padaku.

 

“Hah... Ran aku berharap kamu ada!”

 

Ucapku dalam hati.

 

Tak lama ibu bangkit dari duduknya langsung menghampiri Sumber Suara ponsel milik Rania dan langsung di raih nya.

 

“Astagfirullah,, Rania Handphone kamu ketinggalan, bagaimana dong nak Rama.” Ucap ibu dengan menggelengkan kepalanya dan bertanya seolah menyesali kecerobohan anaknya.

 

“ ya sudah Bu, tak apa-apa mungkin lain waktu saja saya main lagi kesini” ucapku ingin segera pamit.

 

Sebelum kami benar-benar pamit terlihat selintas pak Jali bapaknya Rania ada di ruang tengah sedang terduduk berharap beliau menghampiriku dan bertanya tapi itu tidak dia lakukan. Beliau seperti cuek Tampa menanggapi ku.

 

“Assalamualaikum..” suara ucapan salam seseorang yang langsung masuk ke dalam rumah, orangnya mirip dengan bapaknya Rania dari rupa serta postur tubuhnya.

 

“walaikumsalam” menjawab kami semua.

 

“ Oh, yang mana pacarnya Rania mba?” tanya pria itu.

 

Langsung saya sodorkan tangan untuk mengenalkan diri dan berjabat tangan.

 

“ho.. kamu massa calon mantu Ustadz seperti ini, rambutnya berwarna dan ngtrail. Harusnya calon mantu Ustadz tuh harus Pintar ngaji berkoko dan berpeci.” Ucap pria itu dengan mencelaku.

 

Begitu pahit dan mengena hatiku, mendengar ucapannya sehingga membuatku Done muka ku memerah nampak seperti tidak ada muka aku berada disini serta tubuh yang melemas di hantam dengan kekecewaan dan cacian yang bertubi-tubi.

 

“hus,, Hadi jangan berbicara seperti itu!” Ucap ibu Rania membela.

 

Aku yang dulu gampang emosional dan naik pitam bila orang menyinggung perasaanku, tapi kini aku merasa lemas tak berdaya dan tak bisa melawannya.

 

Begitu aku pamit dan pergi dari rumahnya Rania, ku luapkan kekesalanku kepada Toni dan Rudi yang tengah menemani perjalananku.

 

Sejak kejadian itu aku merasa minder dan merasa tidak dianggap, semua nya membuat ku sakit. Pikirku jadi meragukan Rania yang mungkin tidak jauh seperti itu.

 

Dengan keadaan yang prustasi tanpa adanya Rania di dekatku dan kami pun jarang berkomunikasi karna memang dia sudah di sibukan dengan pekerjaannya. Dengan rayuan dan bujukan teman -teman di sekitar aku pun dengan gampangnya terbujuk kembali ke kebiasaanku yang dulu (mabuk-mabukan).

 

Di suatu hari aku dalam keadaan mabuk berat, terlihat seorang gadis mendekatiku. Gadis ini namanya Nadin dia anak kos yang tinggal di sebelah rumahku. Nadin mendekatiku yang tengah dalam keadaan mabuk berat, pikiran ku pun sudah di bawah sadar sepintas melihat Nadin seperti melihat Rania

 

“ ya dia Rania begitu aku yakin” ucapku karna sedang mabuk berat.

 

Bab 14 Tanpa Kata Putus

0 0

 

 

Dengan Tampa sadar aku dan Nadin telah melakukan sesuatu, akibat pengaruh dari alkohol. Dan Nadin pun menanggapinya. Begitu ku tersadar dia bukan Rania tapi Nadin anak kos itu.

 

“Maaf Nadin aku tidak sadar melakukannya” Ucapku meminta maaf.

 

“ Iya Ram, tapi kamu harus bertanggung jawab!” Jawab Nadin yang mulai menuntut.

 

“Tanggung jawab apa, aku tak sengaja melakukannya karna pengaruh alkohol.” Ucapku tidak terima tuntutan Nadin.

 

Akhirnya Kejadian itu telah di ketahui oleh orang tuaku dan terjadi salah pahaman, entah dari siap, mungkin Nadin sendiri yang bercerita. Sehingga Mereka menganggap serius hubunganku dengan Nadin.

 

Dengan Tampa sepengetahuanku orang tuaku dan orang tua Nadin telah sepakat untuk menikahkan kami. Ibu yang telah mengatur semuanya.

 

“ Tidak Bu, aku sudah mempunyai pacar sekaligus calon istri yaitu Rania,” ucapku membantah semua rencana ibu.

 

“Hai Rama kenapa kamu tidak bilang sebelum nya sama ibu heh?” Jawab ibu dan bertanya balik.

 

“Mau bilangnya kapan Bu? Ibu terlalu sibuk dengan urusan ibu sendiri jadi Rama tidak ada waktu untuk bercerita sama ibu, dan Rama pikir ibu sudah mengetahuinya.” Ucapku yang tertunduk dan kecewa karna ibuku sendiri tidak pernah peduli dan memperhatikanku.

 

“Terus bagaimana ini semua telah di sepakati oleh keluarga Nadin, mereka pun sudah bersiap-siap untuk melangsungkan pernikahan kalian Minggu depan.” Ucap ibu terlanjur siap semuanya.

 

“Kemarin ibu sangat kecewa sama kamu, tiba-tiba kamu gak jadi nikah padahal ibu sudah senang karena akan segera menimbang cucu, sekarang untuk yang kedua kalinya kamu bikin kecewa lagi ibu dan membuat malu lagi ibu dengan terus berdalih dan mengejar wanita yang tak pasti.” Ucap ibu memelas sehingga aku merasa tidak tega melihat ibu kecewa dan bermohon-mohon.

 

Pov: Rania

 

Rasa penyesalan dan bersalahku timbul ketika ku mengetahui Rama telah datang ke rumah dan berniat mau kasih kejutan tapi yang di dapat nya malah sebaliknya dia yang terkejut, karena aku yang ditujunya tidak ada di rumah. Kejadian yang tidak terkira sebelumnya karna memang Rama tidak memberi kabar terlebih dahulu. Dengan perasaan yang bersalah dan rasa menyesal aku meminta maaf. Dan Rama pun bisa memahami dan memaafkan aku. Kami menjalani hubungan komunikasi lewat telepon jarang untuk bertemu langsung

 

Karena jarak tempuh yang lumayan cukup jauh. Meski pun begitu aku bisa ambil hikmahnya jadi minim dari perbuatan dosa.

 

Kini aku telah di terima bekerja di perusahaan tekstil terbesar masih di kota Bandung tapi jauh dari kediaman rumah Om Parhan sehingga tidak memungkinkan bila aku tinggal di sana. Untuk itu aku menyewa sebuah kamat kos yang dekat dengan tempat kerja.

 

Dengan upah gajih yang lumayan besar hampir dua kali lipat dari kerjaan ku yang sebelumnya. Perjuanganku merasa tidak sia-sia Sehingga ku bisa mandiri dan bisa membantu memperingan beban kedua orang tua. Aku pun sudah benar-benar siap bila Akan meminang ku.

 

 

Akhir-akhir ini Rama, agak jarang menghubungi. Perasaan tak enak hati pun menghampiri, Tapi ku berusaha berpikir positif saja ke mungkin dianya lagi sibuk dengan pekerjaannya. Aku berusaha menghubunginya tapi ponselnya tidak aktif, dan aku mencoba menghampiri tempatnya bekerja di pabriknya Om Parhan dulu, tapi tidak ku lakukan karna rasa malu dan gengsi mengalahkan ku. Dengan memberanikan diri aku mencoba menghubungi Om Parhan lewat telepon.

 

“Assalamualaikum Om, bagaimana bakarnya?” Ucapku memberi salam pada Om Parhan begitu panggilanku tersambung.

 

“Walaikumsalam.. Rania keponakan Om yang cantik, Alhamdulillah kabar Om baik- baik saja. Kabarmu Bagaimana, kemana saja Sombong ya, tak pernah lagi main kesini!” Ucap Om Parhan menjawab salam dan memberi kabar yang baik dan balik bertanya kabar kepadaku.

 

“Alhamdulillah kabarku baik Om, maaf bukan nya Sombong tapi Rania tidak sempat untuk main ke sana karna sering pulang sore.” Ucapku meminta maaf.

 

“ Oh iya Om, maaf nih mau tanya saat ini Rama bareng sama Om ngga?” Ucapku lagi bertanya keberadaan Rama.

 

“ Tidak Ran, memang nya kenapa? Masih tanya-tanya anak berengsek itu?” Jawab Om dengan nada kesal.

 

“ Ngga ada apa-apa, cuman Rania penasaran saja kenapa telponnya selalu tak aktif,” ucapku memberi alasan.

 

“Ran memangnya kamu tidak tau?” Om Parhan bertanya.

 

“ Apa Om?” Bertanya ku balik. Om Parhan cukup lama untuk menjawab pertanyaan ku.

 

“Halo.. Om, masih yambung kan? Hallo,” ucapku memastikan sambungan telpon.

 

“Iya,, iya masih, Rania sekarang Rama kan sudah menikah, memang kamu nggak tau?” Jawab Om Parhan bertanya balik.

 

“ Menikah, Rama menikah dengan siapa Om?” Jawabku yang tidak mengetahuinya.

 

“Nggak Tualah, cewek mana yang dia nikahi Om juga tidak hadir dalam pernikahannya dan Om sudah tidak peduli lagi sama anak berengsek itu.” Ucap Om Parhan dengan nada kesal dan tidak peduli.

 

“Oh, iya Om syukur dech kalau Rama memang sudah nikah, ya sudah Om dan keluarga baik-baik ya!” Ucapku yang terheran-heran dan mengakhiri panggilan telponnya.

 

 

 

“Braak... ”

 

Sontak Jantung ku terasa terjatuh dari atas langit- langit begitu ku mendengar Om Parhan berkata apa yang sebenarnya terjadi. Bagaikan petir di siang hari, ibaratkan layang-layang putus dari benangnya, tubuh ini tiba-tiba terkapar ke lantai. Begitu pun air mata tumpah membasahi pipi, rasa tak sanggup untuk menahan bendungan kelopak mataku yang kecil ini.

 

Dengan berusaha berpikir positif dan menyangkal serta menepis semua informasi yang di dapat dari Om Parhan berharap semuanya itu bohong, tapi apalah daya Om Parhan juga tak mungkin berkata dusta dengan apa yang telah terjadi. Pantas saja dia begitu sulit untuk di hubungi.

 

Mengapa bisa Rama berbuat seperti itu, apa yang salah dari diriku sehingga dia begitu tega mengkhianati aku. Mana kata-kata manis yang sering ia lontarkan setiap kali kita berbicara, mana?

 

“ya sudahlah Ran, Mungkin ini yang terbaik dia telah menunjukan dirinya sebagai orang yang tak pantas untuk kau cintai” Ucapku pada diri sendiri berusaha menghibur dengan berdiri menghadap cermin.

 

Bersambung....

 

 

 

 

 

 

 

 

Mengiklankan Cinta Hati

0 0

 

 

Tring... Tring..

 

Bunyi panggilan suara masuk dari ponselku, terlihat di layar nomor Tampa nama yang tengah memanggil.

 

“iya halo, siapa” jawabku menerima pangilan masuk.

 

“Hallo Ran apakabar?” ucap Orang yang menghubungiku. Dan sepertinya suaranya tak asing dan aku sangat mengenalinya.

 

“ ya baik, Siapa ya” jawabku bertanya balik dan pura-pura tidak mengenalinya.

 

“Ran ini aku Rama, aku pakai no baru yang kemarin nomornya ke blokir,” ucap Rama berdalih memberi alasan.

 

“Oh gitu, “ jawabku simpel.

 

“Rama sudah ya, aku sudah mengetahuinya tak perlu kau berdusta lagi dan menghubungi ku lagi sejak kau menikah dengan orang lain secara otomatis kita sudah tidak ada lagi hubungan.” Jawabku lagi menyudahi semuanya.

 

“ tidak Ran, aku mencintaimu dan tak akan melepaskan mu sampai kapan pun.” Ucap Rama tidak menerima keputusanku.

 

Rama menjelaskan alasan mengapa dia bisa menikah dengan orang lain, tapi bagaimana pun alasannya aku tetep ingin mengakhiri hubunganku dengan Rama. Dengan rasa ikhlas aku akan melepaskan cinta yang pergi.

 

“ Ran, pokonya aku akan segera ceraikan Nadin dan menikah denganmu.” Ucap Rama memberi harapan.

 

“tidak Rama tidak, cukup kamu bersikap seperti ini aku dan kamu memang tidak berjodoh. Kita sudah berakhir dari awal juga kamu sudah milik orang lain dan sekarang pun kamu milik orang lain.” Ucapku menegaskan.

 

“Ran, sampai kapan pun aku tak akan melepaskan mu, kamu Masih kekasihku dan selamanya akan menjadi milikku, pokonya aku tidak akan ridho jika kamu bersama cowok yang lain. ” Ucap Rama begitu kekeh.

 

“Terserah kamu, bagiku Ridho mu tidak penting yang penting Ridho orang tua, percuma kita ngomong panjang lebar pokonya detik ini juga saya akhiri semuanya.” Ucap ku lagi lebih tegas dan menutup sambungan telponnya.

 

Aku meyakini rencana Alloh memang yang terbaik dari pada keinginan hambanya, untuk itu aku berusaha ikhlas untuk tidak berjodoh dengan Rama.

 

Sore itu aku tiba di rumahku di Tasik, berniat pulang mencari sebuah ketenangan dan berharap mengrilexkan hati yang terlanjur lelah. Suasana di rumah tampak ramai ada kebetulan saudara-saudaraku sedang berkumpul dan berbincang-bincang.

 

“Nah ini calon pengantinnya sudah datang!” Ucap bi Siti menyapaku yang tengah membuat adonan kue.

 

“calon pengantin? Ah bukan bi masih lama ko,” ucapku menyangkal ucapan Bu Siti.

 

“Ah si neng mah bisa aja, ayo neng istirahat dulu pasti cape ya, abis menempuh perjalanan yang jauh!” Seru bi Siti menyuruhku beristirahat.

 

“Iya bi terima kasih” ucapku berterimakasih pada Bi Siti dengan hati yang penasaran dengan suasana rumah yang tampak ramai. Di tiap sudut rumah pun terdapat banyak berbagai macam stok makanan.

 

“ibu ini banyak sekali stok makannya, Memang bakal ada acara apa si Bu?” tanyaku kepada ibu.

 

“ini kan buat persiapan sayang, biar nanti pas dekat waktunya kita tidak kewalahan. Ibu dan bapak sejak dari bukan kemarin sudah ancang-ancang.” Jawab ibu yang tengah merapihkan peralatan dapur.

 

Aku jadi semakin penasaran saja dengan gelagat ibu yang sangat semangat.

 

“Ran ibu senang banget, diam-diam bapakmu sudah setuju dan mau menerima Rama sebagai mantunya. Tuh buktinya sedikit-sedikit beliau ngumpulin bahan dengan alasan untuk acara nikahnya kamu!” ucap ibu lagi dengan tersenyum dan menaruh tangannya di kepalaku.

 

“praang”

 

Perasaanku seperti di sambar dengan samurai panjang dan di cabik-cabik, begitu mendengar ucapan ibu. Ini melebihi sakit nya ketika pertama kali mendengar Rama yang tengah menikah dari Om Parhan. Tubuhku sesaat terdiam terpaku tanpa sadar aku kehilangan kesadaran(pingsan).

 

 ***

 

“Ran, hei sadar nak,” terdengar suara ibu yang sangat khawatir dan berusaha membangunkan ku dengan menaruhkan sedikit minyak angin di pangkal hidung.

 

Aku pun tersadar dengan melihat beberapa orang yang tadi membantu ibu di dapur memenuhi kamar tidurku.

 

“ Rania nggak apa-apa ko ibu, Rania hanya kecapean saja,” ucapku memberi dalih dan berusaha tampak baik-baik saja. Karena aku tidak mau menampakkan kekecewaan dan kesedihan yang ku alami. Mereka sudah jauh-jauh hari mempersiapkan pernikahan ku dengan Rama, tapi kenyataannya mereka tidak tau bahwa hubunganku dan Rama Telah berakhir. Suasana yang menegangkan yang terjadi akibat aku Terpingsan, kini kembali kondusif seperti semula. Tinggal ibu seorang yang tengah menemaniku di kamar, mungkin ini saatnya aku berkata yang sebenarnya kepada ibu.

 

“ibu sebelumnya Rania mau minta maaf, sebenarnya hubungan aku dan Rama telah berakhir, kami tidak akan melangsungkan pernikahan!” ucapku pada ibu dengan berusaha memberi kesan biasa.

 

“ Apa, kenapa begitu?” tanya ibu yang terkejut.

 

“Sekarang Rama sudah menikah dengan wanita lain bu,” ucapku berusaha tegar.

 

“ hahh... Yang benar saja, kan om kamu bilang Rama akan,,” ucap ibu sedikit shok dan terkejut dan aku langsung memotong kalimat ibu untuk meredakan emosinya.

 

“sudah- sudah Bu, intinya kita tidak berjodoh dan ini yang terbaik buat aku menurut pandangan Alloh.” Ucapku menenangkan ibu lagi.

 

Sungguh begitu sakit, lebih sakit dari sebelumnya melihat seorang ibu yang kecewa dan menanggung malu atas ulahku sebagai anaknya.

 

Dengan kejadian yang tengah ku alami ibu dan ayah berusaha mau mengobati luka hatiku dengan menjodohkan ku dengan anak seorang Kiayi teman bapak. Sayangnya aku tidak mau dan enggan untuk di jodohkan lalu memilih untuk pergi kembali merantau dan pokus dalam pekerjaan.

 

Beberapa Teman yang mengetahui kisah ku pun tak kalah peduli nya, mereka sering mengenalkan beberapa sanak saudara maupun temannya untuk di kenalkan dan di jodoh-jodohkan padaku. Tapi usaha mereka tidak ada yang membuat hatiku tersentuh malah sebaliknya aku jadi semakin muak dan cape.

 

Akhirnya aku pun mencoba menjalin hubungan dengan beberapa pria hanya untuk gelar statusku Tampa ada rasa. Rasa trauma yang ku alami masih selalu menghantui, apa yang dulu Rama lakukan padaku kini ku lakukan lagi pada pria-pria lain dengan meninggalkannya Tampa alasan.

 

Suatu ketika Rudi main ketempat kosku dengan temanya, Rudi ini sepupuku dari mamah, masih sama keponakan Om Parhan. Jadi dia merasa punya alasan main ke tempatku dengan memperkenalkan temannya tersebut dan berusaha menjodohkan kami. Dengan semangatnya dia meyakinkan ku supaya aku menerima dan mau untuk berhubungan dengan temannya.

 

“ Ran, ayolah terima saja si Andi ini, dia baik uang nya banyak jadi mau apa-apa tinggal minta!” Seru Rudi dengan terus membujukku.

 

“Apa sih maksa bangeut,” ucap ku tidak menggubris permitaan Rudy.

 

Karna merasa gagal dia membawa si Andi, Rudy membawa kembali temannya yang berbeda orang untuk di kenalkan kembali kepadaku. Apa yang di lakukan Rudi ternyata telah di ketahui oleh Rama. Dan Rama langsung memberi tahunya kepadaku dengan menunjukan bukti-buktinya.

 

“Ran, maaf mengganggu” ucap Rama ke padaku melalui panggilan suaranya.

 

“ Iya ada apa?” jawabku begitu kaget Rama menghubungiku kembali, tidak di pungkiri memang masih bayak tersisa perasaan cinta terhadap Rama sehingga begitu dia menghubungi ku kembali ada rasa senang tapi juga rasa sakit hati yang mendalam.

 

“ apa Rudi selalu main ke kosanmu dengan membawa temanya ?” ucap Rama yang bertanya.

 

“ Iya memangnya kenapa? “ tanyaku balik.

 

“ Tolong kamu jangan percaya sama Rudy, dia hanya memanfaatkan mu demi kepentingannya,” ucap Rama memperingatiku.

 

“Maksudmu apa?” tanya ku lagi.

 

“ iya Rudy, menerima sogokan supaya mereka bisa berkenalan denganmu dan kamu di jadikan bahan taruhannya siapa yang berhasil mendapatkan kamu Rudy akan mendapatkan imbalan berupa uang, dan yang paling parahnya lagi mereka semua pria-pria yang sudah beristri, aku sudah tegur Rudy tapi dia malah meledekku kembali dan akhirnya kami bertengkar,” ucap Rama menjelaskan semunya secara detail dan menunjukan bukti-buktinya berupa data dan foto.

 

Setelah ku konfirmasi ke kantornya Om Parhan dan mengecek semua data ternyata benar apa yang di katakan Rama.

 

“Ram, terima kasih kamu telah memberi tahuku, Rudy memang keterlaluan. Tega-teganya dia menjadikanku bahan taruhannya hanya untuk kepentingannya sendiri.” Ucapku yang semakin marah terhadap Rudi.

 

Sengaja aku datangi tempatnya Rudy di rumah Om Parhan, Kebetulan banget Om Parhan dan keluarga tidak ada di rumah jadi aku bisa tegur dia habis-habisan.

 

“Rudi apa maksudmu?” Tanyaku ke pada Rudy dengan marah dan menunjukan bukti-bukti kelakuannya.

 

“Ran, ampun, ampun” terik Rudy yang memohon ampunanku.

 

“tega ya kamu sama saudara sendiri seperti itu, benar-benar keterlaluan. Oke kau yang memaksaku untuk berbuat seperti ini, kau mau ini bukan?” ucap bertanya dengan menyodorkan sejumlah uang.

 

“Ran, nggak aku cuman, cuman”

 

“lah sudah terima saja, tapi awas jangan sekali-kali kau ajak teman-temanmu yang berengsek itu ke tempat ku.” Ucapku dengan tegas.

 

“terkecuali Rama, baru aku mau!” Ucapku pelan dengan tangan yang meremas kerah baju Rudy, kemudian aku menghempaskan nya dan segera pergi dari tempat Rudy.

 

Bersambung...

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab 16 Menjalin Cinta

0 0

 

 

 

 

Menjalin Cinta Yang Salah

 

Keras nya kehidupan kota yang ku jalani dengan keras nya suatu cobaan yang menimpaku, berupa pengihanatan-pengihanatan yang bertubi-tubi membuat ku menjadi terpaksa untuk berbuat meyimpang dari sedikit aturan.

 

Sejak saat itu hubunganku dan Rama membaik Jadi sering berkomunikasi dan memang tidak di pungkiri antara kami memang masih ada rasa yang tertinggal meskipun tau Rama sudah beristri.

 

“Ran, jujur sampai saat ini aku belum bisa melepaskan mu, aku masih sayang sama kamu, aku mau kau menerima ku kembali,” ucap Rama untuk kesekian kalinya dia memintaku kembali

 

Aku yang terdiam di balkon atas tempat kosanku sambil menatapi bintang yang menghiasi langit yang gelap. Merenungkan kembali semua yang terjadi, hingga aku pernah marah murka terhadapnya dan berusaha melupakannya, itu semua sudah ku lakukan rasa cinta sakit dan kesal pun terjadi dalam diri ini, Solah mereka merongrong terus hati dan pikiran ini.

 

“hey, Rama kenapa kau tidak bosan- bosannya menintaku untuk kembali heh?” ucapku dengan nada sedikit tinggi dan menekan menjawab permintaan Rama dengan bertanya kembali.

 

Rama langsung terdiam, Tampa menjawab dan dia mulai kelihatan putus asa Dengan menundukan wajahnya, serta sedikit-sedikit melangkah kan kakinya untuk segera pergi.

 

“Peluk aku Ram, Peluk aku!” ucapku yang reflex mengikuti kata hati dengan lirih mengeluarkan air mata.

 

Sontak Rama begitu terkejut dengan ucapanku dan Tampa berpikir panjang dia menghampiri dan memelukku dari arah belakang, aku pun merespon pelukan Rama yang tak lama kemudian berbalik badan dan saling merasakan Satu sama lain. Semua rasa yang selama ini tertahan bisa tercurahkah di malam itu, di malam itu aku setuju untuk kembali ke Rama.

 

Hubungan yang terlarang itu pun terjadi, entah apa yang mendorong ku untuk bisa berbuat seperti itu yang menyalahi aturan. Rasa tidak tenang dan bersalah pun tentunya terus menghantuiku, tapi demi Tercapainya tujuan aku harus melakukannya.

 

“kamu gak boleh seperti ini terus,” ucap ku dalam hati pada diriku sendiri.

 

Apa kata mereka yang menyayangi ku bila mereka mengetahui perilaku seorang Rania, aku harus segera bertindak Sebelum semuanya terlanjur mendalam, tapi apa aku sanggup bila harus berpisah selamanya dengan Rama, jujur kemarin pun hatiku terasa hampa Tampa ada nya dia. Tapi di sisi lain juga ada wanita yang telah ku sakiti. Bagaimana bila posisiku bila ada di diri dia pasti sakit, sakitnya mungkin melebihi aku yang kemari di tinggal Rama apalagi ini sebagai seorang istri yang telah terikat janji suci melibatkan Alloh SWT. Segera ku raih ponsel dan menelpon Rama.

 

“ halo, assalamualaikum sayang.. kenapa Kangen ya?” ucap Rama menjawab teleponku.

 

“Ngga Rama, justru aku mau bilang,” ucap ku menjawab pertanyaan Rama.

 

“Bilang apa neh, jadi tak sabar!”

 

“ aku mau kita akhiri hubungan ini!” ucap ku memutuskan hubungan.

 

“ apa Ran? Aku gak salah dengar kan tunggu aku ya, tunggu awas jangan kemana-mana dulu!” ucap Rama yang begitu panik dan langsung mengakhiri sambungan teleponnya.

 

Selang satu jam kemudian Rama telah sampai di hadapan kosanku.

 

“ Ran, sayang aku ada di sini sekarang tenang saja aku akan terus bersamamu sekarang,” ucap Rama begitu sampai di kosanku.

 

“nggak Ram, keputusan ku sudah bulat aku ingin mengakhiri hubungan ini!” ucapku dengan tegas.

 

“Kenapa Ran? Apa yang salah dari diriku?” Rama bertanya.

 

“gak ada apa-apa itu sudah jadi keputusanku, aku ingin mengakhiri hubungan ini baik-baik jadi tolong kamu terima saja ya!”

“Tidak Ran, aku tidak akan sanggup tolong tarik lagi ucapanmu ku mohon sayang!” ucap Rama memohon dengan menyatukan kedua telapak tangannya.

“Ram, bila kamu cinta dan sayang sama aku, aku mohon kamu terima dan jangan tanya kenapa lagi!” ucapku lagi dengan menitikkan air mata memohon balik pada Rama.

 

“ Ya , aku sayang kamu tapi,”

 

“Sudahlah diantara kita tidak bisa bersatu kamu Tahukan, di rumahmu ada istrimu yang sedang menunggu jadi ku mohon” ucapku lagi sambil memohon!

 

“Ran, kamu tau gak dari rumah aku mengendarai mobil Tampa ada rasa takut bertabrakan dengan ngebutnya, tak peduli dengan kendaraan hampir tiga kali aku mau menabrak kendaraan di depanku tapi itu tidak aku pedulikan yang penting aku bisa segera sampai kesini, bersamamu!” ucap Rama dengan tersedu-sedu.

 

“ baiklah bila itu ke inginanmu, ingat Ran aku menyetujuinya karna aku sangat sayang sama kamu, aku pergi Ran!” ucap Rama dengan lirih.

 

Sesaat langkah nya terhenti dan ku menolehnya kembali, kami pun saling memandang dan Rama pun kembali menghampiriku.

 

“Ran, ada permintaan sekali lagi dan untuk yang terakhir kalinya!” ucap Rama meminta sesuatu.

 

“Apa?” tanya ku pada Rama

 

“ aku Inging mengecup kening mu” permintaan Rama.

Dengan rasa canggung aku pun mengabulkan permintaannya menganggukkan kepala dengan menahan rasa tangis. Ketika bibir Rama sampai di pucuk kepalaku sontak terucap dari bibirku.

 

“Selamat tinggal Rama”

 

TAMAT

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Mungkin saja kamu suka

ceritadsl
By Your Side
Dela Revita Sar...
MAMA MINI
Putri Ayu Agust...
SUCI
Mput Kyud
Cinta Senior Galak
Siti Afifatur R...
Temaram
Aulia Du'atusho...
Misteri Bola Bisbol

Home

Baca Yuk

Tulis

Beli Yuk

Profil