Rianti
Sinopsis
Tags :
#perjuangan #insecure #mimpi #indah #bahagia
#Olimpiade Menulis
#Menulis di Bukulaku
#KMO Club
Rianti menghembuskan napas perlahan, dadanya terasa sesak. Sebisa mungkin dia menahan air matanya agar tidak turun. Ibu baru saja memberi kabar, bahwa Ayah harus segera di-opname karena penyakit gulanya kambuh. Ibu bilang agar Rianti tidak usah khawatir, Ibu hanya memberi kabar dan meminta doa. Namun Rianti tahu pasti keadaan keluarganya. Ibu pasti menjual lagi perhiasannya untuk biaya rumah sakit. Dada Rianti semakin sesak ketika pikirannya membawa kepada kenyataan bahwa orangtuanya semakin tua tetapi Rianti belum bisa melakukan apapun untuk membalas jasa mereka.
“Hai, melamun aja! Sudah mau magrib pamali anak gadis ngelamun nanti kesambet!” tegur Hana. Rianti meringis sambil mengusap sudut matanya yang basah.
“Sudah salat, Han?” tanya Rianti, tangannya dengan cekatan melipat pakaian yang akan masuk daftar diskon akhir tahun di atas keranjang.
“Aku sedang nggak salat. Kamu mau salat?” Rianti mengangguk menjawab pertanyaan Hana. “Sok, atuh, sini, biar aku yang nerusin. Kamu salat dulu.” Hana menarik tumpukan pakaian yang sedang dilipat Rianti. Rianti mengangguk kemudian beranjak menuju musala butik yang terletak di taman belakang.
Rianti bekerja di sebuah butik milik sahabat bibinya. Bi Anah mengenalkannya pada Tante Irish, pemilik butik, lalu memberikan pekerjaan paruh waktu pada Rianti. Rianti adalah mahasiswi keguruan semester tiga di salah satu universitas negeri terbaik di Indonesia. Menjadi guru adalah cita-citanya dari kecil. Rianti kecil sering membayangkan dirinya berdiri di depan kelas lalu menerangkan dengan wajah berbinar seperti Ibu Melati, guru favoritnya.
Rianti mengucap salam pada akhir salat, kemudian tangannya menengadah. Bibir mungilnya melantunkan zikir dan salawat. Saat melantunkan doa, tanpa bisa dibendung air mata Rianti mengalir deras. Diucapkannya segala doa kesembuhan dan keselamatan untuk Ayah dan Ibu. Rianti memohon kepada-Nya agar diberikan kesempatan untuk membahagiakan kedua orang tuanya.
Setelah berhasil menenangkan diri, Rianti bersiap untuk kembali bekerja. Biasanya setelah magrib butik lebih ramai pengunjung. Irish's Boutique memiliki jam operasional dari pukul sepuluh pagi sampai pukul sembilan malam. Rianti bekerja seminggu tiga kali, dari pukul dua siang sampai waktu operasional berakhir. Pembawaan Rianti yang ramah disukai oleh para pelanggan. Rianti sangat sabar melayani konsumen Irish's Boutique yang kebanyakan dari kalangan sosialita, yang seringkali banyak maunya.
Saat Rianti memasuki butik, terlihat Hana yang sedang menunduk, di depannya ada wanita paruh baya yang sedang memarahinya.
“Kamu itu udah lama kerja di sini, kok, masih belum paham juga selera saya?! Mana mungkin baju seperti ini saya pake!” omel Tante Maura, salah satu pelanggan setia butik. Biasanya Rianti yang melayaninya.
“Maaf, Tante Maura. Ada yang bisa saya bantu?” sapa Rianti ramah. Tante Maura membalikkan badan, menghadap ke arah Rianti.
Senyum terkembang dari bibirnya yang dipoles dengan lipstik berwarna merah cabai. “Rianti, kamu ke mana, sih? Tante cari-cari dari tadi. Temen kamu ini dia nggak paham selera Tante. Masa Tante dipilihkan pakaian seperti itu?” Tante Maura menunjuk sebuah dress berkerah sabrina berwarna biru. Sebenarnya tak ada yang salah pada dress mewah itu, tetapi memang tidak cocok jika dipakai oleh Tante Maura yang memiliki bahu besar.
Rianti tersenyum, kemudian mengangguk pada Hana, Hana segera menjauh dari hadapan Tante Maura. Saat melewati tubuh Rianti, Hana berbisik, “Syukurlah kamu cepet dateng.”
“Rianti, bantu tante, dong. Sabtu besok tante ada acara arisan keluarga, acaranya santai gitu. Tapi tante nggak mau terlalu casual, sedikit formal, it's okay,” jelas Tante Maura.
“Tapi nggak mau terlalu formal juga,” tambah Tante Maura. Rianti tersenyum mendengar permintaan Tante Maura. Dari sudut matanya, Rianti melihat Hana memutar bola matanya saat mendengar detail pakaian yang diinginkan Tante Maura. Rianti mengarahkan Tante Maura ke sudut kanan butik. Kemudian Rianti mengambil sebuah blazer hitam berbahan silk yang berhiaskan dua bordiran bunga pada bagian kanan atas dan bagian kiri bawah blazer. Tante Maura mengeryitkan dahi saat menerima blazer pilihan Rianti.
Rianti mengabaikan raut wajah Tante Maura yang terlihat kurang cocok dengan pilihannya. Rianti mengambil celana semi cutbray berwarna putih dengan aksen line hitam di bagian sisinya.
“Padukan dengan ini, Tante. Ditambah sepatu bot kulit, penampilan Tante akan terlihat elegan. Formal namun tetap casual,” ucap Rianti dengan senyum di bibir.
Tante Maura berdecak kagum pada pilihan Rianti.
“Kamu memang berbakat menjadi fashion stylist.” Tante Maura menepuk bahu Rianti, Rianti hanya membalasnya dengan senyuman. Kemudian kedua tangannya mengarahkan Tante Maura ke kamar ganti untuk mencoba.
Hana mendekat ketika tubuh Tante Maura menghilang di balik pintu kamar ganti.
“Sumpah, aku mah angkat tangan sama dia. Hebat kamu, Nti.”
Rianti terkekeh pelan mendengar ucapan rekan kerjanya itu. Bagi Rianti, konsekuensi bekerja sebagai pramuniaga ya memang harus sabar. Terutama saat melayani pelanggan yang sedikit cerewet dan banyak maunya. Untung saja pelanggan setia Irish's Boutique sangat royal memberi tips jika mereka puas dengan pelayanannya. Rianti akan membaginya dengan Hana setiap mendapatkan tips. Meski awalnya Hana menolak, Rianti tetap memaksa membagi tambahan rezeki yang didapatkannya.
“Rianti!” seru Tante Maura dari kamar ganti. Rianti bergegas mendekat.
“Bagaimana, Tan, suka nggak?”
Tante Maura memutar badan dengan wajah berbinar.
“Perfect! Tante suka banget. Ini buat bagian dalamnya pakai kaos putih polos aja ya? Biar nggak terlalu panas dan rame. Gimana menurut kamu?”
Rianti mengangguk, “Iya, Tan. Tante ada ‘kan kaos putih polosnya?”
“Ada. Tapi tante belum punya sepatu bot. Coba di sini ada, tante nggak usah pindah toko. Kamu bilang, dong, sama Irish. Tambahin koleksi sepatu sama tas juga. Biar nggak ribet cari di tempat lain.”
Rianti mengangguk lagi, dia ikut membantu Tante Maura melepas pakaian yang ia coba.
Tak lama kemudian, proses pembayaran telah dilakukan. Rianti mengantar Tante Maura sampai pintu depan butik. Tante Maura menyelipkan beberapa lembar uang pada jemari Rianti.
“Tante selalu puas kalo sama kamu. Andai tante punya anak cowok, udah tante jadikan kamu mantu. Biar bisa belanja bareng.” Tante Maura mengedipkan matanya.
“Anak tante nggak mungkin mau sama saya. Saya ini cuma pelayan,” balas Rianti dengan santun.
“Ah, memangnya kamu pikir tante nggak tahu, kalo kamu ini mahasiswi. Calon guru. Jangan merendahkan diri seperti ini, tante nggak suka. Nanti kapan-kapan kita ngopi bareng ya, di luar jadwal kerja kamu,” ucap Tante Maura, tangannya menoel hidung Rianti. Rianti terkekeh kecil, kepalanya mengangguk singkat.
“Tante pamit, makasih, Rianti.”
Rianti menghela napas lega karena berhasil membuat pelanggannya puas. Pelan-pelan dia membuka jemarinya yang menggenggam uang tips Tante Maura. Matanya membesar, lima lembar uang pecahan seratus ribu. Ini terlalu besar untuk sebuah tips. Rianti bergegas keluar mengejar Tante Maura. Sayangnya mobil Tante Maura sudah tidak ada di parkiran butik.
“Kenapa, Nti?” tanya Hana.
“Tante Maura kasih tips gede banget.” Rianti menunjukan lembaran uang itu pada Hana.
“Alhamdulillah, rezeki kamu itu,” jawab Hana.
“Bagi dua ya, Han.” Hana langsung mengibas tangannya.
“Nggak, itu rezeki kamu. Tadi kamu abis dapet telepon dari ibu 'kan? Ayah kamu sakit, butuh biaya besar. Mungkin ini rezeki yang Allah kasih buat kamu. Ambil semua, karena ini hasil usaha kamu.”
“Tapi, Han –“
“Stt!” Hana memotong ucapan Rianti. “Lain kali aja kamu kasih akunya.”
Mata Rianti berkaca-kaca, tanpa banyak kata Rianti memeluk Hana.
“Udah jangan nangis. Yuk, kerja lagi. Ibu Dewan masih milih buat rapat. Untung aja dia dateng pas Tante Maura selesai. Jadi mereka nggak rebutan kamu.”
“Kan ada kamu, Han.”
“Aku nyerah, mending pegang kasir aja,” jawab Hana. Rianti menggelengkan kepala mendengar ucapan Hana. Mereka saling melengkapi, Hana tidak cukup sabar menghadapi pelanggan sedangkan Rianti enggan memegang keuangan. Karena itulah mereka menjadi cocok dan dekat.














#Olimpiade Menulis
#Menulis di Bukulaku
#KMO Club
Matahari di ufuk timur mulai meninggi. Rianti masih sibuk dengan sapu dan alat pel. Di bahunya tersampir selembar kain lap bermotif kotak-kotak. Peluhnya membasahi wajah. Ini adalah kegiatannya setiap pagi. Setelah salat Subuh dan mengaji, Rianti langsung membersihkan kamar kontrakannya. Seakan tak pernah memberi kesempatan pada debu untuk singgah. Banyak yang bilang dia terlalu resik, tetapi bagi Rianti bersih itu wajib.
Setelah memastikan semua sudut kamar kontrakannya bersih, Rianti bergegas membersihkan diri. Hari ini dia akan mengirim sedikit uang pada Ibu untuk membantu biaya pengobatan Ayah. Semalam Rianti menghitung uang yang didapatkannya dari tips pelanggan cukup besar, karena bulan ini butik sangat ramai. Uang tips dari Tante Maura masih Rianti pisahkan. Rianti tidak bisa memakainya sebelum bertanya dulu pada Tante Maura, karena nominalnya terlalu besar.
“Assalamu’alaikum, Rianti. Kamu ada di dalam?” teriak Bu Darmi, pemilik kontrakan.
“Wa’alaikum salam, iya, sebentar,” jawab Rianti sembari merapikan pakaiannya. Rianti bertanya dalam hati, ada apa Bu Darmi pagi-pagi seperti ini mengetuk pintu kamarnya.
“Iya, ada apa ya, Bu?” tanya Rianti.
“Maaf Rianti, ibu pagi-pagi ke sini. Ibu mau menagih uang kontrakan,” ujar Bu Darmi. Rianti mengerjapkan matanya, apa dia tidak salah dengar? Ini masih pertengahan bulan, kenapa uang sewa kontrakan sudah ditagih?
“Maaf, Rianti. Anak ibu mau wisuda, ibu kepepet jadi menagih lebih awal. Nggak papa ya? Nggak cuma kamu, kok, yang ibu tagih. Semuanya juga sama, ibu tagih. Soalnya ibu butuh uang banget ini. Ya kalo kamu keberatan, kamu bisa pindah akhir bulan ini. Soalnya ada orang baru yang berani bayar lima bulan di muka,” jelas Bu Darmi panjang lebar tanpa memberi kesempatan Rianti menyanggah. Bu Darmi memasang wajah angkuh.
Rianti menghela napas kalah, bibirnya tersenyum tipis. Sedangkan raut wajah Bu Darmi menyiratkan kemenangan. Dengan sedikit kesal Rianti mengambil uang dari dompetnya. Uang yang akan dikirim untuk ibu. Mau bagaimana lagi, Rianti tidak mungkin pindah dari sini. Selain Rianti sudah betah, kontrakannya ini cukup murah dan strategis. Lokasinya di tengah-tengah antara kampus dan butik.
“Ini, Bu. Maaf, Bu, besok-besok jangan seperti ini. Saya keberatan kalau setiap bulan ditagih lebih cepat dari jadwal. Bingung ngatur uangnya,” keluh Rianti.
Bu Darmi berdecak kesal, “Iya, kamu tenang aja. Ini kan darurat, ibu butuh uang banget. Lagian juga biasanya kalian yang suka telat setor, giliran saya tagih lebih cepet malah ngomel-ngomel!”
“Iya, maaf, Bu.” Rianti menunduk, tanpa banyak bicara.
Bu Darmi menghentakkan kakinya dengan kesal, lalu mengetuk pintu kontrakan sebelah dengan kencang. Rianti menutup pintu kamarnya. Hatinya kesal mendengar ucapan Bu Darmi tadi, mengomel seolah-olah dirinya sering terlambat membayar uang sewa.
“Ya Allah, semoga ada jalan keluar. Aku mau bantu ibu sama ayah,” ucapnya dengan mata terpejam.
Rianti mengambil tasnya bersiap ke kampus. Hari ini Rianti mengubah jadwal, jika tadinya ia akan ke Bank dulu baru menuju kampus. Sekarang dia memutuskan untuk langsung menuju kampus, dan akan sarapan di sana.
Rianti menuju salah satu warung tenda yang berjejer di samping kampus yang menjual nasi kuning. Setelah memesan seporsi nasi kuning dan segelas es teh manis, Rianti duduk di kursi paling pinggir. Belum lama Rianti mendaratkan badannya, seseorang duduk di sampingnya.
“Hai, aku duduk di sini nggak papa 'kan?” Tamara, teman sekelasnya, duduk dengan segelas es kopi di tangan. Rianti hanya menjawab dengan anggukan.
“Kamu ngekost di mana?” tanya Tamara, tangan lentiknya mengaduk es kopi dengan sedotan.
“Di gang cempaka, kontrakan Bu Darmi,” jawab Rianti singkat, entah apakah Tamara tahu letak gang cempaka atau tidak. Tamara hanya mengangguk dengan tetap mengaduk minumannya dengan sedotan. Tak ada yang mengeluarkan suara sampai akhirnya pesanan Rianti datang.
“Kamu nggak pesen makan?” tanya Rianti melihat Tamara yang hanya duduk sambil sesekali menyedot minumannya.
“Nggak, aku udah sarapan di rumah. Aku lagi nunggu Abang, tadi dompet aku ketinggalan. Jadi aku minta dia anterin ke sini. Untung handphone nggak ketinggalan, dan untungnya lagi ada uang nyelip di kantong. Jadi aku nggak ngenes-ngenes banget.” Tamara terkekeh menjelaskan situasinya. Rianti tersenyum, garis senyum Tamara mengingatkannya pada Tante Maura. Keduanya punya banyak kesamaan.
“Kapan-kapan aku main ke tempat kamu boleh, nggak?” Rianti tersedak makanan mendengar pertanyaan Tamara. Tamara menyodorkan gelas es teh manis.
“Kamu mau main ke tempat aku?” tanya Rianti tak percaya. Tamara mengangguk antusias.
“Mau ngapain?” tanya Rianti heran.
“Mau ngapain? Emangnya nggak boleh ya aku main?” Tamara menampilkan wajah kesal. Rianti menggeleng, mengibaskan tangannya.
“Bukan seperti itu, cuma ....” Rianti tidak meneruskan kalimatnya. Bagi Rianti, dirinya dan Tamara itu bagai bumi dan langit. Rianti anak perantauan yang berjuang keras agar bisa bertahan hidup di kota besar ini. Sedangkan Tamara, anak dari kalangan high class. Jika mereka jalan berdua, semua orang pasti bisa melihat perbedaan yang mencolok diantara keduanya. Bahkan mungkin Rianti akan dikira sebagai asisten pribadi Tamara.
“Kamu nggak mandang aku serendah itu, kan?” tanya Tamara tajam.
“Maksudnya?” Rianti gugup setengah mati melihat Tamara yang kesal.
“Kamu nggak nilai aku dari status ekonomi keluarga 'kan? Please, deh, jangan melihat aku setinggi itu.” Tamara tak menyembunyikan kekesalannya.
“Maaf, aku nggak bermaksud kayak gitu,” cicit Rianti. Rianti menghentikan gerakan tangannya, dia sungguh-sungguh merasa bersalah telah berpikiran seperti itu. Rianti tak punya banyak teman, bahkan tak ada satu orang pun yang menjadi teman dekatnya di kampus ini. Dia bukan anti sosial namun Rianti merasa rendah diri bergaul dengan mereka. Kampusnya memang bukan kampus mewah dengan bayaran tinggi, tetapi tetap saja kampusnya ini salah satu universitas negeri terbaik di Indonesia. Tidak semua orang bisa menjadi mahasiswa di sini, jika tidak pintar sudah dipastikan dia punya banyak koneksi di rektorat. Yang artinya, harusnya punya banyak uang. Sudah bukan rahasia lagi, bukan?
Sedangkan Rianti hanya salah satu yang beruntung dapat diterima di kampus ini. Rianti tidak pintar, juga tidak bodoh, kemampuannya standar saja. Wajah dan penampilannya pun sangat sederhana. Dia sama sekali tidak menonjol di tengah ribuan mahasiswa kampus ini.
“Jadi, boleh nggak aku main ke tempat kamu?” tanya Tamara sekali lagi.
“Boleh, kapan pun kamu mau main, silahkan. Asal kasih kabar dulu, takutnya aku sedang kerja,” jawab Rianti.
“Bener??” Mata Tamara membesar, binar bahagia terpancar. Rianti mengangguk.
“Yeay, makasih ya.” Tamara memeluk Rianti tanpa aba-aba. Rianti membalasnya dengan canggung.
Tamara melepas pelukan karena dering ponselnya, kemudian mengeluarkan ponsel dari saku celana.
“Abang udah di parkiran?” ucapnya pada seseorang di seberang sana. “Oke, tunggu di sana, aku ambil aja. Abang nggak usah ke sini. Iya ... bentar dong, aku langsung jalan, nih.” Tamara melambaikan tangan pada Rianti. Rianti membalas lambaian tangan Tamara, kemudian meneruskan sarapannya saat Tamara sudah tidak terlihat.
Rianti menengok penunjuk waktu yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Jadwal kelasnya akan segera dimulai, Rianti mempercepat makannya. Dengan sedikit terburu-buru Rianti membayar sarapannya, kemudian ponselnya bergetar tanda apa pesan masuk.
Dahi Rianti mengerut ketika membaca pesan yang diterimanya.
Ini nomor aku, simpen ya ??
-Tamara-
Seuntas senyum terbit di bibir mungil Rianti. Meski hatinya bertanya dari mana Tamara mendapatkan nomor ponselnya, Rianti senang akhirnya dia memiliki seorang teman.





#Olimpiade Menulis
#Menulis di Bukulaku
#KMO Club
Rianti menghela napas perlahan. Dirinya sedikit kecewa ketika melihat Tamara acuh seperti tidak mengenalinya saat di kelas tadi. Seharusnya Rianti tidak berharap banyak. Tamara hanya butuh teman saat inimenunggu Abangnya datang. Bukan benar-benar ingin berteman dengannya.
Rianti memandang ruangan kelas yang sudah kosong. Semua temannya langsung berhamburan keluar begitu kelas berakhir. Tentu saja dengan berbagai celetukan, candaan atau ajakan makan siang bersama di cafetaria. Sayangnya tak ada satu pun yang mengajaknya bercengkerama. Andai Rianti tidak ingat bagaimana susahnya Ayah dan Ibu membiayai mungkin Rianti tidak akan melanjutkan kuliahnya ini. Tak peduli bagaimana Rianti dulu belajar mati-matian agar bisa lulus SBMPTN. Rianti lelah dan kesepian.
Hana adalah satu-satunya teman yang dia punya. Gadis Sunda itu sangat baik dan perhatian. Hana sudah seperti kakak kandungnya. Di tempatnya bekerja ada enam pramuniaga yang dibagi menjadi dua shift. Rianti selalu satu shift dengan Hana, Hana yang mengatur agar mereka tetap satu shift. Rianti sangat beruntung, Hana bisa memahaminya yang tidak pandai bergaul. Hana mengalah mengambil jadwal kerja mengikuti jadwal kuliah Rianti.
Masih ada waktu satu jam sebelum masuk jadwal kuliah berikutnya. Rianti memilih menuju cafetaria dulu sebelum salat Duhur. Cafetaria sangat ramai, hampir tidak ada meja kosong di sana.
“Rianti!” sapa Tamara tangannya melambai meminta Rianti mendekat. Tamara dikelilingi tiga temannya, Susan, Audi dan Marsha. Rianti mengenal mereka sebatas teman sekelas. Tidak pernah terlibat pembicaraan personal, hanya sebatas tugas kuliah saja.
Rianti mendekat, belum sampai kakinya di meja mereka, telinganya lebih dulu mendengar suara Audi.
“Ngapain, sih, elo panggil dia? Nanti nggak nyambung lagi diajak ngobrolnya,” gerutu Audi yang disetujui Marsha dan Susan dengan anggukan.
Tamara terlihat kikuk dan serba salah. Rianti tetap melanjutkan langkahnya.
“Hai, Ra, kalian lagi makan siang ya?” sapa Rianti ramah pada Tamara.
Tamara tersenyum lebar, “Iya, sini gabung sama kita.”
Rianti memandang ketiga teman Tamara, ketiganya terlihat acuh seolah Tamara menyapa benda tak kasat mata.
“Aku cuma mau beli roti aja, terus mau salat. Lain kali ya, Ra, makasih tawarannya,” tolak Rianti dengan halus. Kemudian Rianti membalikkan badannya menuju gerai roti yang berlogo bunga tulip. Sayup-sayup telinganya mendengar perkataan yang kurang baik, entah siapa yang mengucapkannya.
“Cih! Sok iya banget dia nolak ajakan elo, Tam! Belagu banget, tuh, anak!”
Rianti menghela napas perlahan, dia harus bisa menguasai diri. Jangan sampai menangis, lagi pula ini bukan pertama kalinya Rianti makan siang sendirian di kampus.
Setelah membayar roti yang dibelinya, lagi-lagi Rianti mendengar suara sumbang mengenai dirinya. Kali ini dari geng Haryo teman sekelasnya.
“Liat, tuh, ada Rianti. Manis ya dia?” celetuk Bayu.
“Manis, sih, tapi gue belum pernah denger suaranya. Dia nggak bisu ‘kan?” jawab Haryo. Arman dan Tedi terbahak mendengar perkataan Haryo. Rianti mempercepat langkahnya menuju musala, wajahnya lebih banyak menunduk. Lebih baik dia segera pergi dari sana, sebelum mendengar perkataan yang lebih menyakitkan lagi.
$$$$
Selesai salat Magrib, Rianti membuka mushaf Al-Qur’an. Bibirnya begitu fasih melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an. Wajah Rianti terlihat segar dibalut mukena berwarna pink pucat.
Saat terdengar suara azan Isya, Rianti menghentikan kegiatan mengajinya. Kemudian bersiap untuk mendirikan salat isya. Rianti khusu' bermunajat pada Rabb-nya.
Lima belas kemudian, Rianti telah duduk di karpet memangku sepiring nasi rames yang dibelinya saat pulang kuliah sore tadi.
Meskipun lauknya hanya mie goreng, seiris telur dadar dan sambal, Rianti begitu menikmatinya. Suasana kamar terasa tenang, hanya ada suara sendok dan piring beradu. Sesekali terdengar suara decapan dari bibir Rianti yang menikmati makanannya.
Setelah makanan di piring telah tandas, Rianti mencuci perlengkapan makannya, kemudian ia mengambil ponselnya yang sedang diisi daya.
Tangannya menekan tombol angka, mengetik nomor Ibu.
“Assalamu’alaikum, Ibu. Apa kabar? Bagaimana kabar Ayah, Bu?” tanya Rianti begitu panggilan teleponnya telah tersambung.
“Wa'alaikum salam, Nak. Alhamdulillah, kabar ibu baik. Ayah juga sudah membaik, besok sudah boleh pulang.”
“Bener, Bu, Ayah sudah sembuh? Ibu nggak nutupin dari Rianti 'kan?” cecarnya pada Ibu.
“Nggak, Rianti sayang. Ayah sudah sehat, ini Ayah ada di samping ibu. Kamu mau ngobrol sama Ayah?”
“Iya, Bu,” jawab Rianti cepat. Terdengar suara gemerisik dari sana, mungkin Ibu sedang mengoper ponsel pada Ayah.
“Assalamu’alaikum, Rianti anak ayah,” sapa Ayah dengan suara parau.
“Wa'alaikum salam, Ayah. Ayah beneran sudah sembuh?” Rianti menahan tangis saat mendengar suara Ayahnya.
“Iya, Nak. Ayah cuma kecapekan aja. Kemarin itu ayah lupa minum obat kemudian salah makan. Karena capek ditambah lapar, Ayah makan nasi melebihi porsi. Jadi gula darah ayah kambuh. Maaf, ya, Nak. Ayah sudah bikin kamu khawatir,” jelas Ayah, suaranya parau tetapi tak menutupi nada bahagia yang terdengar begitu jelas. Rianti tak bisa membendung lagi tangisnya. Entah mengapa, malam ini Rianti begitu merasa lelah dan kalah. Mendengar suara Ayah membuatnya Rianti ingin pulang. Mengadu pada Ayah bahwa dirinya sangat lelah. Rianti ingin dipeluk Ayah, pahlawannya.
Perkataan teman-temannya tadi siang sangat mempengaruhi suasana hati Rianti. Setengah hari tadi Rianti jalani dengan setengah hati. Materi perkuliahan hanya numpang lewat, masuk dari telinga kanan lalu keluar lagi dari telinga kiri. Tidak ada satu pun yang masuk ke dalam otaknya.
“Rianti, kenapa kamu nangis?” tanya Ayah cemas. Rianti tak menjawab, dia masih sibuk berusaha menghentikan tangisnya. Suara gemerisik terdengar di seberang sana, kini suara Ibu yang terdengar.
“Rianti ... kamu baik-baik saja, kan, Nak? Rianti?” tanya Ibu tak kalah panik.
“Aku baik-baik saja, Bu. Aku cuma kangen kalian. Maaf, aku nggak bisa pulang. Apa aku pulang saja ya, Bu? Biar bisa bantu Ibu rawat Ayah?” jawab Rianti di tengah isaknya.
“Nggak usah, Nak. Kamu nggak usah pulang. Yang penting kamu doakan Ayah, biar bisa sehat lagi. Kamu kuliah yang bener, belajar yang rajin. Jaga kesehatan dan pergaulan. Jangan lupa salat dan mengaji,” pesan Ibu dengan lembut. Rianti mengangguk, lupa bahwa Ibu tidak bisa melihatnya.
“Jangan sampai kuliahmu terganggu. Ayah sama Ibu berharap kamu bisa lulus dan jadi guru seperti cita-citamu itu. Ayah sama Ibu bangga sama kamu, Nak.”
Tangis Rianti kembali pecah mendengar ucapan Ibu. Baru saja Rianti ingin menyerah dan pulang hanya karena hal kecil. Harusnya Rianti menguatkan tekad. Bukankah dalam setiap doanya Rianti ingin diberi kesempatan untuk membahagiakan kedua orangtuanya? Lalu mengapa dia ingin menyerah? Rianti memaki dirinya sendiri.
“Rianti, anak Ayah?” suara Ayah kembali terdengar.
“Iya, Yah. Maafin aku ya, sudah bikin Ayah sama Ibu khawatir. Aku ... aku kangen kalian. Rianti kangen dipeluk Ayah, kangen makan masakan Ibu.” Rianti membekap mulutnya, tak ingin suara tangisnya kembali didengar oleh kedua orangtuanya.
“Sabar, ya, Nak. Nanti liburan semester kamu bisa pulang. Nanti Ayah suruh Ibu masak cumi asam manis kesukaan kamu,” hibur Ayah.
“Iya. Ayah cepet sembuh, ya, jangan makan sembarangan. Jangan bandel, nurut sama Ibu,” omel Rianti.
“Iya ya, kamu sama cerewetnya sama Ibu,” gerutu Ayah dari seberang sana. Rianti terkekeh mendengar suara Ayah yang merajuk.
“Ya sudah, nanti disambung lagi ngobrolnya. Kamu harus istirahat, jangan kecapekan. Ayah tutup ya teleponnya. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam. Selamat istirahat Ayah Ibu. Rianti sayang kalian.”
Rianti memandang layar ponselnya yang berubah menjadi hitam. Dalam benaknya Rianti bertekad tidak akan menyerah. Dia harus berhasil meraih cita-cita dan membuat kedua orangtuanya bangga.





#OlimpiadeMenulis
#NulisdiBukulaku
#KMOClub
Hana menatap lekat wajah Rianti, kedua alisnya terkerut. “Kamu habis nangis, Nti?”
Rianti mengerjapkan mata, kemudian menggeleng. Hana masih menatap wajah sahabat yang telah dianggapnya adik itu.
“Jangan bohong, mata kamu bengkak gitu. Kenapa? Sini cerita.” Hana menarik tangan Rianti membawanya ke pojok ruangan.
“Han, ih, kita kan harus kerja!” Rianti menarik tangannya, wajahnya ditekuk. Hana menghela napas panjang. Hana paham betul jika sikap Rianti mendadak menyebalkan seperti ini, artinya dia sedang dalam fase pms.
“Ya, sudah, istirahat nanti kamu harus cerita! Jangan kabur, awas aja kalo kabur, ku aing digegel siah!” ancam Hana dengan bahasa Sunda, yang artinya Hana akan menggigit Rianti jika dia menghindar. Rianti hanya mengangkat bahunya, tanpa bicara Rianti kembali merapikan dress yang akan dipajang.
Tangan Rianti bekerja memasang dress pada boneka menakin tetapi pikirannya melayang pada kejadian tadi pagi. Setelah salat Subuh, Ibu menelponnya. Dengan suara berbisik, agar Ayah tidak mendengar, Ibu meminta maaf karena belum bisa mengirimnya uang bulanan. Toko kelontong Ayah tutup selama Ayah sakit, tidak ada pemasukan, uang tabungan pun terpakai untuk biaya pengobatan Ayah. Namun Ibu berjanji akan mengusahakan secepat mungkin mengirimnya uang bulanan. Rianti hanya bisa mengiyakan dan menenangkan Ibu agar tidak perlu khawatir. Rianti meyakinkan bahwa gajinya di butik cukup untuk biaya sehari-hari. Rianti tidak bohong, gajinya di butik cukup untuk makan sehari-harinya, tentu saja dengan makanan yang sederhana.
Uang bulanan dari orangtuanya biasanya Rianti pakai untuk sewa kontrakan dan kuliah, seperti biaya fotokopi atau iuran kerja kelompok. Untung saja bulan ini uang tips yang Rianti dapatkan cukup besar sehingga bisa membayar uang sewa saat Bu Darmi menagih kemarin.
“Stt ... Nti! Ih, kamu ngalamun wae, eta aya Tante Dira, pelanggan kamu. Cepet, bisi kondenya keburu melayang kalo telat dilayani,” omel Hana dengan suara berbisik. Hana menunjuk ke arah wanita paruh baya bersanggul. Rianti mengangguk singkat, kemudian menarik napas panjang. Dia harus melupakan sejenak beban pikirannya dan fokus dengan pekerjaannya.
$$$
Di waktu istirahat, Hana mendesak Rianti untuk bercerita. Hana penasaran apa penyebab bengkaknya mata Rianti, meski Hana bisa menebak tapi rasanya lebih enak jika dia mengetahui secara pasti tanpa menebak-nebak.
“Buruan cerita, sambil makan aja,” desak Hana. Rianti berdecak kesal.
“Keselek, dong, makan sambil ngomong.” Rianti menyendok ketoprak ke dalam mulutnya. Hana mendengus kasar, tangannya menarik piring ketoprak milik Hana.
“Ish! Kenapa, sih, kamu? Jangan bikin kesel, siniin aku mau makan! Aku belum salat, kalo telat masuk kena omel Mbak Ami, loh!” Rianti menarik lagi piring ketopraknya. Hana bersidekap, mulutnya cemberut, kesal karena Rianti berusaha menghindarinya. Padahal Hana sudah sangat penasaran.
“Pulang kerja aku cerita. Sekarang, please, biarkan aku fokus dulu buat kerja. Oke?” Hana mengangguk singkat, pasrah karena harus memendam rasa penasarannya sampai waktu pulang nanti.
Jam istirahat mereka hanya setengah jam, untuk salat dan makan. Biasanya Rianti hanya salat Magrib, tetapi sekarang perutnya sangat lapar. Untung saja warung Mang Karyo sedang kosong, jadi pesanan mereka cepat dilayani tanpa mengantri.
“Buruan, Han!”
“Aku masih belum salat, santai aja, ngapain buru-buru.”
“Oh iya, aku lupa. Aku duluan ya, mau ke musala dulu. Kamu jangan kelamaan, Han. Kasihan si Aldo, dia sendirian jagain butik.” Rianti dengan cepat membayar makanannya lalu berlari menuju butik. Hana hanya menggelengkan kepala melihat tingkah Rianti.
“Mbak Rianti itu sebenernya cantik ya, Mbak. Tapi sayang, jarang senyum,” ucap Mang Karyo.
“Hah? Jarang senyum? Apanya yang jarang senyum, Mang? Rianti itu kesayangan pelanggan. Dia ramah terus sabar,” jelas Hana.
“Masa, sih, Mbak?” sahut lelaki yang duduk di sampingnya, yang baru saja menerima piring pesanan ketopraknya.
“Tuh, kan, Mas Wisnu juga bilang gitu,” lanjut Mang Karyo.
“Tunggu, tunggu, kenapa kita jadi ngomongin temen aku, sih? Jangan-jangan kalian sering ghibahin Rianti ya?” Hana memasang wajah sewot.
Lelaki di samping Hana terkekeh, “Bukan ngomongin, sih, cuma penasaran aja. Dia kan wajahnya manis gitu, kok, jarang senyum. Setiap disapa, paling cuma ngangguk doang. Ditanya ini-itu malah langsung kabur.”
Mang Karyo tertawa terbahak. Sedangkan lelaki yang bernama Wisnu itu melanjutkan makannya.
“Lah, iyo, aku inget banget waktu Mas Wisnu sama Mas Jeri nyapa Mbak Rianti tempo hari. Hahahaha, Mas Jeri dibuat keki. Senyum manisnya yang katanya bikin klepek-klepek cewek-cewek ndak mempan!”
Hana terlihat bingung, sebenarnya yang mereka bahas itu siapa? Rianti yang mana? Rianti sahabatnya atau ada Rianti yang lain?
“Tunggu, kalian bahas siapa, sih?”
“Siapa lagi, ya teman kamu itu lah! Salam ya buat Rianti, dari saya, Wisnu.” Wisnu bangkit dari duduknya, piringnya telah kosong. Cepat juga makannya, pikir Hana. Tangan Wisnu terjulur menunggu balasan Hana.
“Hana,” jawab Hana, tangannya menjabat tangan Wisnu. Wisnu tersenyum tipis.
“Oke, Hana, saya duluan. Jangan lupa, titip salam buat Rianti.”
Wisnu meninggalkan warung Mang Karyo setelah memberikan selembar uang berwarna biru tanpa menunggu kembaliannya.
“Mang ...” panggil Hana, “dia itu siapa?”
“Loh, bukannya tadi Mbak Hana sudah kenalan?” tanya Mang Karyo dengan wajah polos.
“Maksudku bukan namanya, Mang!” sewot Hana.
“Ooh ... dia itu karyawan kantor depan itu, loh, Mbak. Dia sama temennya yang namanya Mas Jeri, sering makan di sini, sering ketemu sama Mbak Rianti. Tapi ya begitu, Mbak Rianti diem aja kalo disapa. Makanya aku, kok, ndak percaya waktu Mbaknya bilang kalo Mbak Rianti itu orang yang murah senyum.”
Hana mengerutkan keningnya. Ada yang aneh, kenapa seolah ada dua Rianti? Masa iya Rianti sahabatnya yang ramah dan disukai para pelanggan itu, jarang tersenyum?
“Itu yang dimaksud Rianti temen aku 'kan, Mang?” tanya Rianti penasaran.
“Sopo meneh, Mbak! Rianti yang jadi inceran mas-mas ganteng itu ya Rianti temen sampean itu!” jawab Mang Karyo kesal. Hana meringis, otaknya masih belum bisa mencerna informasi dari Mang Karyo.
“Mang ....” panggil Hana lagi.
“Apa lagi, Mbak?”
“Kok, mereka sering ketemu Rianti sedangkan aku nggak pernah ketemu mereka? Baru kali ini aku ketemu.”
Mang Karyo melempar lapnya ke atas meja dengan sedikit keras. Hana memberengut, wajahnya terlihat kesal.
“Mbaknya jangan marah, harusnya aku loh ini yang marah,” sahut Mang Karyo.
“Ya aku teh penasaran, Mang,” jawab Hana dengan logat Sunda.
“Mbak Rianti ngekost di gang cempaka itu 'kan?” Hana mengangguk menjawab pertanyaan Mang Karyo.
“Nah ... Mbak Rianti suka bungkus ketoprak buat makan siang kalo pulang kuliah. Seringnya itu pas dengan waktu makan siangnya mas-mas itu.” Bibir Hana membentuk huruf o saat mendengar penjelasan Mang Karyo.
“Inget ndak waktu aku tanya nama kalian?” tanya Mang Karyo yang dijawab anggukan oleh Hana.
“Itu karena aku disuruh sama mereka, Mbak.” Mang Karyo cengengesan, “mereka penasaran sama gadis manis yang jarang senyum itu. Kata mereka namanya Mbak Rianti semanis wajahnya. Gitu, Mbak.”
“Memangnya Rianti nggak pernah senyum, Mang? Sejudes itu apa?” tanya Hana.
“Ndak judes, tapi ya jarang senyum. Aku nih, denger suara dia kalo lagi sama Mbak Hana aja. Setiap pesen ketoprak cuma bilang, satu bungkus. Terus cuma ngangguk sama nggeleng aja.”
“Masa, sih?!” Hana tak percaya ucapan Mang Karyo.
“Dia karyawan kesayangan pelanggan?! Masa, sih?!” balas Mang Karyo mengikuti gaya bicara Hana.
Hana terbahak keras, tangannya reflek memukul bahu Mang Karyo yang cuma bisa meringis.
Ponsel Hana bergetar, Hana langsung panik ketika melihat nama Mbak Ami di layar ponselnya.
“Haduh pasti kenal omel, nih! Mang, aku harus balik ke butik. Ini uangnya, makasih ya, Mang. Nanti kita ngegosip lagi!”



#OlimpiadeMenulis
#NulisDiBukulaku
#KMOClub
Hana menunggu Rianti di depan pintu, sahabatnya itu sedang berbincang dengan Mbak Ami, manajer butik. Menurut Hana, Rianti salah pilih jurusan. Seharusnya Rianti mengambil jurusan fashion bukan keguruan. Rianti pandai memadupadankan pakaian yang akan dibeli oleh pelanggan. Padahal Rianti sendiri bukan orang yang fashionable. Mungkin itu bakat terpendamnya, yang baru muncul saat Rianti bekerja di Irish's Boutique.
“Lama banget!” omel Hana saat Rianti keluar dari ruangan kaca yang telah gelap itu. Di belakang Rianti ada Mbak Ami yang tersenyum masam pada Hana. Mbak Ami tadi marah besar, karena Hana terlambat hampir setengah jam membuat Aldo dan Rianti kewalahan melayani pelanggan.
“Saya duluan ya,” pamit Mbak Ami pada Rianti. Hana cemberut karena dirinya masih diacuhkan. Mbak Ami adalah tangan kanan Tante Irish di butik. Tante Irish lebih sering menghabiskan waktu di workshopnya.
“Dasar nenek lampir, marah terus kerjaannya!” Hana mengumpat saat mobil Mbak Ami meninggalkan pelataran butik.
“Hush! Nggak boleh gitu. Yuk, kita pulang.” Tangan Hana menahan lengan Rianti.
“Apa?” tanya Rianti.
Hana berdecak, “Kamu punya utang penjelasan ya sama aku. Katanya mau cerita pas pulang kerja, kok sekarang mau kabur lagi?” sewot Hana.
“Ya udah, kamu mampir dulu ke kontrakan aku.”
“Nah, gitu, dong. Kita beli martabak dulu, ya, buat temen ngobrol.” Rianti baru saja akan membuka mulut, Hana sudah memotongnya.
“Aku traktir, oke? Jangan nolak!” Hana menarik paksa tangan Rianti. Rianti mengikuti langkah Hana dengan pasrah.
Hana membeli dua gelas es boba sembari menunggu pesanan martabaknya dibuat. Satu gelas diberikan pada Rianti.
“Makasih, Han,” ucap Rianti.
“Sama-sama. Eh, kamu kenal sama cowok yang tadi di warung Mang Karyo, nggak?”
“Cowok? Memangnya tadi ada cowok ya? Bukannya tadi cuma ada kita berdua?”
Hana menggeram kesal, Rianti benar-benar tidak peka.
“Ada, pas kamu bayar tadi, ada cowok masuk. Kamu nggak liat?” tanya Hana. Rianti menggeleng tanpa melihat ke arah Hana, sibuk dengan menyedot boba dengan sedotan besarnya.
“Ck! Padahal ganteng, loh, dia itu. Kamu beneran nggak kenal sama dia?” cecar Hana.
“Aku liat dia aja nggak, apalagi kenal. Emang kenapa, sih, kamu naksir dia? Tanya aja sama Mang Karyo, barangkali dia kenal,” ucap Rianti polos. Hana berdecak kesal, hari ini Rianti sahabatnya benar-benar membuatnya kesal.
“Bukan itu maksudku ....“
“Ini, Mbak, martabak coklat keju dan martabak telor spesial.” Tukang martabak menyodorkan dua keresek berisi martabak.
Hana mengambilnya dan mengucapkan terima kasih, kemudian dia mengajak Rianti untuk segera pulang.
Jarak antar butik dan kontrakan Rianti cukup dekat. Hanya sekitar satu kilometer saja. Bagi Rianti jarak itu sangat dekat jika dibandingkan dengan jarak sekolahnya dulu. Dia harus berjalan sejauh tiga kilometer menuju sekolah. Namun Rianti senang melakukannya. Karena dia akan berangkat dan pulang bersama teman-temannya. Senda gurau mengiringi langkah mereka. Saling bercerita tentang mimpi-mimpi mereka.
Yuni, sahabat Rianti yang rumahnya hanya berjarak lima langkah, bercita-cita ingin menjadi perias pengantin. Tika, anak Pak Kades, bercita-cita ingin menjadi camat. Lela, teman sebangku Rianti, ingin menikah muda dan menjadi ibu rumah tangga. Saat ini dia sudah menikah dan sedang hamil anak pertama.
Saat Lela melontarkan impiannya, teman-temannya termasuk Rianti menertawakan. Bagi mereka cukup disayangkan jika cita-cita Lela sesederhana itu, karena Lela adalah murid berprestasi. Namun apa mau dikata, Lela memang sudah memiliki tunangan. Dia sudah dijodohkan oleh Abahnya dengan salah satu anak kerabat mereka yang bernama Fauzi sejak kelas sepuluh SMA.
Tanpa terasa Rianti dan Hana telah sampai di kontrakan. Rianti mempersembahkan Hana masuk dengan gaya seperti pelayan kerajaan. Hana menyentil dahi Rianti yang dibalas dengan tarikan pada rambut Hana. Mereka berdua saling mencibir, tak lama keduanya tertawa terbahak.
Rianti meletakkan dua buah piring untuk alas martabak telur dan manis.
“Aku udah chat A Jaka, kasih tahu kalo aku nginep di sini malem ini. Nggak papa 'kan?” Hana mengambil sepotong martabak manis bertabur keju parut. A Jaka adalah kakak lelaki Hana, telah menikah dan memiliki dua orang anak. Di kota ini, Hana tinggal di rumah kakaknya itu.
“Nggak papa, besok nggak ada jadwal kuliah. Kita bisa berangkat kerja bareng,” jawab Rianti, di tangannya ada sepotong martabak telur yang telah dicocol pada saus sambal.
“Pagi aku pulang dulu, masa aku nggak ganti baju,” ucap Hana dengan mulut penuh makanan.
“Oh, oke kalo begitu.”
“Ayo cerita!” tagih Hana. Rianti mengunyah sedikit lebih cepat, menghabiskan martabak dalam mulutnya. Rianti tidak terbiasa bicara dengan mulut penuh makanan.
“Tadi pagi, ibu telepon aku. Terus ....”
Mengalirlah semua cerita dari bibir Rianti. Tentang kondisi kesehatan Ayah yang belakangan ini sering menurun, menyebabkan toko kelontong miliknya sering tutup. Membuat keuangan keluarga terganggu. Tabungan dan perhiasan Ibu perlahan telah habis. Rianti merasa bersalah karena tidak bisa membantu mereka.
Rianti pun menceritakan tentang teman-teman kampusnya. Perlakuan mereka yang membuat Rianti ingin menyerah.
Hana pendengar yang baik, dia tidak memotong pembicaraan. Hana membiarkan Rianti mengeluarkan semua isi hatinya. Jika diminta, baru dia akan memberikan pendapat dan yang terpenting, Hana bukan tipe orang bermulut ember. Karena itulah Rianti sangat nyaman bercerita pada Hana.
“Haryo bilang gini, katanya dia nggak pernah denger aku ngomong. Dia nyangka aku ini bisu. Kesal 'kan?” Rianti meremas lap tangan di pangkuannya.
Pikiran Hana melayang pada kejadian Magrib tadi di warung Mang Karyo. Mereka, Mang Karyo dan Wisnu, juga berpendapat yang sama dengan teman Rianti yang bernama Haryo itu. Menganggap Rianti itu bisu, karena jarang berbicara. Apakah Rianti memiliki dua kepribadian?
“Kenapa, Han?” tanya Rianti.
“Emm ... tadi Mang Karyo juga bilang kayak gitu,” jawab Hana ragu-ragu, dia takut Rianti tersinggung.
“Bilang apa? Nyangka aku bisu juga?” Mata Rianti membesar saat melihat Hana mengangguk singkat sambil menggaruk pelipisnya.
“Kok, bisa? Padahal kalo aku pesen ketoprak, aku ngomong. Masa disangka bisu? Ih, awas aja ya Mang Karyo! Aku blokir jadi tukang ketoprak favorit!” Tangan Rianti makin kencang meremas kain lap.
Hana meringis. “Cewek hobi ngomel seperti ini yang mereka sangka bisu?” sindirnya. Rianti mendelik tajam ke arah Hana.
Hana terbahak kencang melihat Rianti kesal. Rianti melempar kain lap ke wajah Hana.
“Jorok! Kotor!” teriak Hana.
“Kamu jangan ngeledek gitu, dong, Han,” rajuk Rianti.
“Siapa yang ngeledekin kamu! Aku teh cuma heran, kenapa mereka nyangka kamu itu bisu? Memangnya kamu nggak pernah ngobrol sama mereka?”
Dengan mulut cemberut, Rianti menjawab pertanyaan Hana.
“Kalo pesan ketoprak aku ngomong, kok. Mang, dibungkus ya satu. Gitu!” sungut Rianti.
Tawa Hana kembali pecah. “Kalo itu Mang Karyo juga cerita. Tadi dia bilang, heran sama kamu yang jarang senyum.”
Rianti hanya diam tak membalas atau menampik perkataan Hana.
“Kalo sama temen-temen di kampus, kamu juga jarang ngobrol?” tanya Hana lagi. Rianti menggeleng, kepalanya menunduk.
“Ckk, pantes!”
Rianti mendongak kembali menatap Hana. “Maksud kamu apa?”
“Ya pantes kamu disangka bisu, ya kamu nggak pernah ngobrol sama mereka!” omel Hana.
“Kamu kalo sama pelanggan butik, ramaaah banget. Sabar, bisa kasih saran ini-itu sama mereka. Kok, di luar sana kamu disangka bisu? Jarang senyum kayak orang anti sosial gitu. Aneh aku, mah !” Hana mencomot lagi martabak yang diletakkan di atas meja.
“Kalo di butik, kan, aku kerja. Udah tugas aku harus kayak gitu. Harus ramah, sopan, sabar melayani pembeli, kalo nggak gi---“
“Apa bedanya sama temenmu di kampus?” potong Hana. Rianti diam, dia menggaruk tengkuknya, mengangkat wajahnya menatap langit-langit kamar. Rianti bimbang apakah harus bercerita pada Hana atau tidak. Hana masih menunggu sahabatnya berbicara.
“Apa bedanya teman kampusmu dengan pelanggan butik? Kamu nggak punya kelainan orientasi seksual 'kan?” Mata Hana memincing, tatapannya tajam. Sedangkan Rianti membuka mulutnya, terkaget mendengar perkataan Hana.
“Maksud kamu?” cicitnya.
“Aku liat, kamu hanya ramah sama perempuan. Kamu bukan itu 'kan?” Hana menyilangkan tangannya di depan dada.
“Astaghfirullah! Hana! Kamu keterlaluan nuduh aku kayak gitu!” Emosi Rianti terpancing.
“Terus, apa kamu punya kepribadian ganda?” cecar Hana.
Rianti menatap sahabatnya dengan tatapan tak percaya. Kenapa bisa pemikiran aneh seperti itu muncul di otak Hana? Rianti bangkit dari duduknya. Dia menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Dia butuh menenangkan diri. Rianti berdiam diri dalam kamar mandi. Menimbang apakah ini saatnya Rianti menceritakan masa lalunya pada Hana. Apakah pandangan Hana terhadap dirinya akan berubah?
“Rianti! Kamu marah ya sama aku? Maaf ....” Hana berteriak sambil menggedor pintu kamar mandi. Rianti memukul dadanya, wajah Ayah dan Ibu yang menangis terbayang lagi.
“Rianti!” teriakan Hana semakin kencang. Rianti kembali membasuh wajahnya sebelum membuka pintu kamar mandi. Mungkin inilah saatnya dia menceritakan masa lalu pada Hana.


#OlimpiadeMenulis
#NulisDiBukulaku
#KMOClub
Rianti membuka pintu kamar mandi, Hana berdiri persis di depan pintu dengan wajah khawatir. Bibirnya melengkung ke bawah dan matanya sedikit berair.
“Maaf, Nti. Maaf aku udah keterlaluan,” ucap Hana lirih.
Rianti tersenyum, dipeluknya sahabat rasa saudara itu. Tangisan Hana pecah di pelukan Rianti.
“Eh, kok, malah kamu yang nangis?” Rianti membelai punggung Hana. “Han, udah, dong. Kalo kamu kayak gini, gimana aku mau curhat?”
Hana menjauhkan tubuh, tangannya sibuk mengelap airmatanya. Tanpa banyak bicara, Hana menarik Rianti untuk duduk di karpet. Rianti duduk bersila, Hana duduk di hadapannya sambil menatap sendu, kedua tangannya diletakkan pada bahu Rianti.
“Ayo, cerita. Cepetan!” desak Hana. Rianti berdecak, cepat sekali perubahan emosi Hana.
Setelah menarik napas panjang, Rianti mulai bercerita. Rianti memutuskan untuk tidak menceritakan masa lalunya.
“Aku nggak pede bergaul sama temen-temenku di kampus, Han. Itu yang bikin aku jarang ngobrol sama mereka.” Rianti membukanya dengan sebuah kalimat pernyataan. Hana diam mendengarkan dengan dahi terkerut. Wajahnya makin terlihat menggemaskan. Hana, sahabat Rianti ini mempunyai wajah yang imut. Siapa sangka jika dia berusia empat tahun di atas Rianti. Seharusnya Rianti memanggil Hana dengan panggilan mbak atau teteh. Namun Hana melarangnya. Dia bilang, perawakannya lebih pantas menjadi adik Rianti daripada kakak Rianti. Hana memang semungil itu. Jika berdiri berjejer, tinggi Hana hanya sebatas dagu Rianti.
“Apa yang bikin kamu nggak pede?” tanya Hana sembari memiringkan wajah menatap Rianti.
“Ya ... aku 'kan anak kampung, Han. Penampilanku biasa-biasa aja, kemampuan akademisku juga biasa aja malah cenderung pas-pasan. Sedangkan mereka ... anak kota yang stylish abis.”
Hana mendesah pelan, bahunya merosot, wajahnya terlihat kesal. Mata Hana menatap nyalang ke arah Rianti, sedangkan orang yang ditatapnya memasang wajah datar.
“Kenapa?” tanya Rianti.
“Kenapa kamu bilang?! Hadeeeh!” Hana menggeram kesal.
“Iya, kenapa? Aku nggak paham. Kok, kamu malah sewot gitu, sih!” Rianti menepuk lututnya, menegakan kaki, tapi tangan Hana menarik kaos yang dipakainya.
“Duduk!” perintah Hana. Raut wajah Hana menjadi serius. Rianti kembali duduk bersila di depan Hana sambil berdecak kencang.
“Apa yang bikin kamu nggak pede? Karena kamu anak kampung, gitu?” cecar Hana. Rianti mengangguk singkat, kedua tangannya dilipat di depan dada. Sebenarnya Rianti sedang tidak dalam mood yang baik saat ini.
“Ck! Kamu pikir yang kuliah di sana itu semuanya anak kota? Kamu sendiri yang bilang kalo kampus kamu itu salah satu Universitas Negeri terbaik! Sudah pasti banyak anak perantauan kayak kamu!”
“Bukan itu aj ---“
“Diem!” Hana memotong perkataan Rianti. Hana berdiri, kedua tangannya di pinggang, "denger ya, semua ketakutan kamu itu cuma ada di otak, di dalam pikiranmu sendiri. Kamu bilang mereka nggak mau berteman sama kamu, padahal apa? Kamu yang jaga jarak sama mereka. Buktinya Tamara nggak ragu ngajakin kamu makan siang bareng 'kan?”
“Iya, tapi temen-temennya sinis gitu ....” Mulut Rianti memberengut, matanya mengerjap kemudian terpejam. Rianti sedikit kesal karena Hana tidak membelanya.
“Mereka begitu, karena kamu selalu menjauh. Kamu minder sama mereka, tapi bisa jadi penilaian mereka terhadap kamu berbeda.” Hana menggaruk lubang hidung minimalisnya, sungguh tidak anggun sahabatnya ini, pikir Rianti.
“Maksudnya?”
“Kamu menjauh karena minder, tapi bisa jadi mereka menganggap kamu menjauh karena merasa lebih hebat dari mereka. Kamu pernah cerita, setiap tugas kelompok kamu lebih seneng mengerjakan sendiri, mereka tinggal bayar dan bantu saat presentasi aja. Inget nggak?” Rianti mengangguk, Hana menjentikkan jarinya.
“Nah,itu dia! Jangan salahkan mereka. Mulai besok, coba kamu membuka diri. Sesekali ikut nimbrung makan siang bareng. Nggak harus dengan geng populer macem gengnya Tamara. Yang penting kamu belajar berbaur. Sesekali senyum buat menyapa mereka, jangan pelit.” Hana tersenyum hangat, memberi motivasi pada Rianti. Rianti hanya diam, entah apa yang ada dalam pikirannya.
Hana mendesah pelan, dalam lubuk hatinya, Hana iri pada Rianti. Rianti punya banyak kelebihan yang tidak Hana miliki. Rianti berwajah manis, apalagi saat dia tersenyum, lesung pipinya membuat orang yang melihatnya langsung terpesona. Rianti punya bentuk badan yang proporsional, berbeda dengan dirinya yang memiliki tubuh mungil. Tentu saja yang paling membuat Hana iri adalah Rianti punya kesempatan untuk melanjutkan pendidikan, sedangkan dirinya tidak. Orang tua Hana adalah orang tua yang berpikiran kolot. Menurut mereka, perempuan tidak perlu sekolah tinggi. Yang penting bisa mengurus rumah, pandai memasak, dan bisa menyenangkan suami. Selepas SMA Hana dicecar untuk segera menikah, untung saja A Jaka, kakak lelaki satu-satunya, mendukung Hana. Dibawanya Hana ke kota, agar Hana tidak dinikahkan di usia muda. Hana bekerja di Irish's Boutique menggantikan kakak iparnya, istri A Jaka. Bagi Hana, tak apa dia tidak bisa melanjutkan pendidikan, asalkan tidak dipaksa menikah muda. Apalagi dengan lelaki yang tidak dia cintai.
“Rianti ...,” Hana menyentuh pundak Rianti yang sedari tadi hanya diam. “Kamu mikirin apa? Udah, deh, hilangkan pikiran negatif kamu itu. Kamu harus membuka diri, kamu harus menikmati masa muda kamu dengan memperluas wawasan dan pergaulan. Tapi nanti kamu jangan lupain aku ya, kalo udah banyak temen.” Hana menepuk pelan pipi Hana.
Rianti mengulas senyum tipis, Hana benar. Dia harus bisa membuka diri dan menutup masa lalunya.
$ $ $
Rianti melangkah pasti menuju ruangan kelasnya. Rianti berharap, pagi ini adalah awal yang baik untuk memulai langkah barunya. Ceramah panjang Hana dua hari yang lalu membuka pikirannya. Tidak seharusnya Rianti menyia-nyiakan masa muda dengan banyak berpikir negatif.
Tekad kuat yang dipupuknya tiba-tiba melemah saat kakinya melangkah ke dalam ruangan kelas. Ruangan kelas yang ramai tiba-tiba hening, semua mata memandang ke arahnya. Rianti berdeham pelan, menetralkan detak jantungnya. Rianti menuju kursi paling depan, tempat favoritnya. Setelah Rianti duduk, barulah terdengar kembali suara teman-temannya. Suara Audi yang melengking menceritakan tentang drama Korea, tawa Tedi yang menggelegar dan suara temannya yang lain. Rianti menolehkan kepalanya ke belakang, untuk melihat tingkah laku teman sekelasnya. Sesuatu yang tidak pernah dia lakukan. Selama ini Rianti hanya duduk diam tanpa peduli dengan apa yang dilakukan teman sekelasnya.
Tamara dan Bayu yang pertama kali menyadari, keduanya tersenyum. Tamara melambaikan tangannya. Sedangkan Bayu hanya mengangguk singkat. Rianti membalas sapaan mereka dengan tersenyum, hatinya menghangat. Hana benar, mereka sebenarnya baik.
“Rianti, sini, gabung sama kita. Mumpung Pak Jamal belum masuk. Sini!” Tamara melambaikan tangannya. Audi, Marsya dan Susan saling memandang. Beberapa temannya yang lain terinterupsi oleh sapaan Tamara pada Rianti. Mungkin mereka merasa heran dan penasaran dengan interaksi keduanya. Rianti mengangguk singkat, dengan memberanikan diri, Rianti melangkah mendekati kursi Tamara.
“Hai,” sapa Rianti dengan suara bergetar. Tangannya berkeringat dingin, rasanya seperti mengikuti uji nyali.
“Sini, duduk sini samping aku.” Tamara menarik kursi kosong di sampingnya. Rianti pun duduk di kursi tersebut.
“Kita lagi bahas drakor, kamu suka nonton nggak?” tanya Tamara ramah. Rianti mengangguk singkat. Rianti tidak bohong, dia cukup sering menonton drama dari negeri ginseng itu. Hana lah yang menularkan virus drakor pada Rianti.
“Oh iya?” tanya Audi antusias. Sepertinya di antara mereka berempat, Audi lah yang paling menggemari drama Korea.
“Iya, tapi nggak sampe yang fanatik gitu. Aku cuma nonton yang lagi rame aja,” jawab Rianti.
“Sama kita juga gitu, nggak kayak Audi. Semua ditonton, sampe hapal semua nama pemerannya,” sahut Susan. Marsha mengangguk setuju.
“Menurut gue, muka mereka itu sama semua. Nggak ada bedanya, mungkin karena mereka satu dokter bedah plastik, kali ya!” sahut Susan lagi, yang langsung dibalas pelototan dari Audi. Tamara tertawa lebar melihat interaksi kedua temannya itu.
“Sembarang! Nggak semua pemain drakor oplas ya!” jawab Audi tidak terima.
“Kamu suka sama siapa?” tanya Tamara. “Aku suka Hyun Bin, ahjuhsi sih dia, tapi machonya nggak ada tandingan,” lanjutnya.
“Kalo gue Lee Min Ho, dong,” seru Marsha. Audi berdecih mendengar jawaban Marsha. Marsha menjulurkan lidahnya.
“Kalo elo suka siapa?” tanya Susan.
“Emm ... aku suka L-infinite,” jawab Rianti ragu.
“Oh selera elo yang imut-imut gitu ya,” sahut Audi.
“Emang dia itu yang maen di mana?” tanya Susan dan Marsha hampir bersamaan.
“Itu yang jadi kucing ganteng di Welcome sama yang jadi malaikat di Angel's Last Mission,” jawab Audi.
“Selera dia yang imut-imut gitu ternyata. Kasian si Bayu, jauh dari kriteria.” Audi terkikik. Marsha dan Susan ikut terkekeh.
“Hah? Kok, Bayu?” tanya Rianti bingung.
Tamara mengibas tangannya agar Rianti mengabaikan perkataan teman-temannya.Rianti hanya bisa tersenyum kaku. Dalam hatinya, Rianti berharap tidak ada drama percintaan pada episode hidupnya di kampus ini.
-----------
Bersambung





#OlimpiadeMenulis
#NulisDiBukulaku
#KMOClub
Hari-hari Rianti di kampus kini tak sesuram dulu. Tamara dan teman-temannya sering mengajaknya makan bersama di cafetaria. Mereka bertukar cerita, membahas tentang drakor atau gosip panas para artis. Pikiran buruk Rianti tidak terbukti. Mereka sama sekali tidak mempermasalahkan tentang kondisi dirinya. Ketika Rianti menolak ajakan mereka untuk hang out karena harus bekerja, mereka paham dan tak memaksanya. Hana benar, semua hal yang ditakutinya itu hanya ada dalam pikirannya.
Hana ikut berbahagia melihat raut wajah Rianti yang berseri-seri saat menceritakan teman-temannya itu. Rianti ingin mengenalkan Hana pada teman-teman kampusnya, terutama pada Tamara.
“Rianti,” sapa Tante Maura. Rianti yang sedang menyusun gaun dengan posisi membelakangi pintu masuk, tersentak kaget. Tante Maura terkekeh geli.
“Maaf bikin kamu kaget.” Tante Maura mengibaskan kipasnya.
“Ah, nggak apa-apa, Tan. Maaf, saya nggak lihat Tante masuk. Ada yang bisa saya bantu, Tan?” tanya Rianti. Dia memberi kode pada Aldo agar menggantikan posisinya menyusun gaun.
“Biasa aja, Rianti, Tante bosen di rumah. Butuh cuci mata jadi ke sini, deh. Barangkali ada yang cocok.” Tante Maura mengintari deretan blouse yang tergantung.
“Tante mau lihat koleksi terbaru kami?” tawar Rianti, Tante Maura menggeleng. Dia berjalan pelan, melihat jejeran blouse. Menariknya dari rak gantung jika ada yang membuatnya tertarik. Kemudian menaruhnya kembali pada rak Terus seperti itu. Sepertinya deretan blouse belum ada yang menarik di mata Tante Maura. Tante Maura kini menuju deretan celana. Rianti dengan sabar melayani Tante Maura. Aldo dan Hana berdiri dekat meja kasir, keduanya memandang prihatin ke arah Rianti. Rianti sendiri terlihat santai dan tetap melayani Tante Maura dengan bibir tersenyum.
“Rianti, apa kamu punya pacar?” tanya Tante Maura tiba-tiba. Pandangan Tante Maura tetap terfokus pada celana berpotongan lurus yang dipegangnya. Rianti hanya menjawab dengan gelengan kepala.
“Beneran nggak punya pacar?” tanya Tante Maura lagi, kali ini netra Tante Maura menatap tepat pada bola mata Rianti. Rianti berkedip beberapa kali sebelum akhirnya mengangguk singkat.
“Kenapa nggak punya pacar? Belum ada yang sreg atau kamu yang terlalu banyak pilih? Kalo nggak ada yang naksir, itu nggak mungkin.” Tante Maura kembali melihat ke arah jejeran celana yang tergantung di depannya. Rianti hanya bisa tersenyum canggung. Entah kenapa, beberapa hari terakhir, orang-orang di sekelilingnya sering membicarakan tentang pasangan. Bukan membahas tentang pasangan tepatnya, tetapi mereka sering menjodohkannya dengan beberapa lelaki.
Di kampus, Audi sering menyebut nama Bayu, yang konon katanya menaruh hati pada Rianti. Di butik, Hana sering menyebut nama Wisnu, yang bahkan wajahnya saja Rianti tidak tahu. Sekarang, tiba-tiba saja Tante Maura menanyakan apakah Rianti sudah punya pacar atau belum. Jangan-jangan Tante Maura akan menjodohkannya dengan salah satu sopirnya. Rianti bergidik tanpa sadar menggeleng cepat, mengusir pikirannya yang melantur.
“Tante punya keponakan, dia lumayan ganteng. Kerjaan dia udah mapan. Dia sedang mencari istri. Kira-kira kamu mau nggak sama dia?” Tante Maura menatap Rianti penuh harap.
“Hah? Aa ... apa?” sahut Rianti tak siap. Tante Maura menggeleng, lalu terkekeh melihat wajah Rianti yang memerah.
“Udah lupain aja. Tante lupa, kamu masih semester tiga, masih terlalu muda.” Tante Maura tersenyum, kemudian kembali pada deretan celana. Entah sudah berapa lama Rianti mendampingi Tante Maura tanpa ada satu item pun yang dipilihnya.
“Oh, iya, Tan. Saya baru inget, kemarin Tante kasih uang itu buat apa? Karena nominalnya besar sekali,” tanya Rianti dengan suara pelan dan sopan.
“Itu buat kamu, apresiasi buat kamu yang sabar menghadapi pelanggan bawel seperti Tante ini.” Tante Maura memutar tubuhnya, berhadapan dengan Rianti yang masih menatapnya dengan wajah polos.
“Duh, kamu ini bener-bener lugu ya. Ck! Pantas aja ponakan Tante nggak sabar pengen kenalan sama kamu.” Tawa Tante Maura pecah. Tangannya mengibaskan kipas, kemudian meninggalkan Rianti yang masih diam terpaku.
Rianti mendesah pelan, kemudian kembali mengikuti Tante Maura yang kini berada di depan deretan blazer. Tante Maura masih bersikap sama, sibuk melihat dan memilih tanpa ada satu pun yang dibelinya.
“Aduh, Tante capek, nih. Kamu pilihin aja, deh. Tante pengen kasih keponakan Tante seusia kamu, dia mau ulang tahun. Tolong pilihkan ya ... Tante percaya sama selera kamu. Tante duduk di sini, capek.” Tante Maura duduk di sofa berwarna kuning yang terletak di sisi kanan meja kasir.
Sempat terkejut beberapa detik, akhirnya Rianti mengangguk. Dia menanyakan detail tentang keponakan Tante Maura yang akan ulang tahun itu, berapa tinggi badannya, gemuk atau kurus, selera fashionnya seperti apa, karena Rianti takut salah pilih. Untungnya Tante Maura mau menjawab pertanyaannya, meski dia tetap duduk santai di sofa butik.
Setelah lebih dari satu jam, akhirnya Tante Maura menyelesaikan transaksi pembayaran. Lagi-lagi Tante Maura menyelipkan beberapa lembar uang. Sambil berbisik Tante Maura berkata, ”Tante berharap kamu benar-benar bisa menjadi istri keponakan Tante.”
Rianti hanya bisa meringis, yang diakhiri dengan senyum tipis.
Setelah Tante Maura pergi, Rianti melihat tiga lembar uang pecahan seratus ribu. Rianti membaginya pada Hana dan Aldo, keduanya berjingkrak kegirangan.
“Alhamdulillah ... akhirnya hari ini makan enak,” teriak Aldo sambil mengibas uang pemberian Tante Maura. Hana menarik kuping Aldo.
“Aduh, sakit, elo sadis banget!” Aldo menepis tangan Hana.
“Jangan berisik! Kamu nggak takut dimarahi nenek lampir?!” Hana menunjuk ke arah ruangan Mbak Ami dengan dagunya. Aldo menutup mulutnya dengan telapak tangan.
“Gue lupa,” ucap pemuda Betawi itu cengengesan, “Rianti emang the best kalo ngadepin pelanggan,” puji Aldo.
“Iya, tapi minus kalo menghadapi cowok, terlalu kaku,” cibir Hana. Rianti berdecak kesal, Hana selalu saja membahas tentang itu. Dia tidak tahu saja bagaimana Rianti harus berjuang keras agar bisa berinteraksi dengan lelaki. Sebuah potongan masa lalu yang ingin Rianti lupakan, itulah penyebabnya.
Rianti membuka mata, dilihatnya wajah Ayah dan Ibu yang sembab. Kenapa mereka menangis? Apa yang telah terjadi? Rianti mengerang, kepalanya terasa berat dan tubuh linu seperti telah melakukan pekerjaan berat. Apa yang terjadi pada dirinya?
“Rianti anak ayah, kamu sudah sadar?” tanya Ayah, matanya berkaca-kaca. Di samping Ayah, Ibu menangis tersedu. Rianti ingin mengusap air mata Ibu, tapi kenapa tangannya terasa lemas? Rianti haus, tenggorokannya kering. Rianti ingin meminta tolong pada Ibu mengambilkannya air minum, tapi kenapa suaranya tidak bisa keluar?
Rianti kembali mengerang. Samar-samar Rianti teringat sesuatu. Rianti ingat dirinya baru saja menghadiri acara perpisahan sekolah. Lalu ...
Tubuh Rianti ambruk, Hana menjerit histeris. Aldo dengan sigap menyanggah tubuh Rianti dengan kedua tangannya.
“Angkat, Do! Bawa Rianti ke ruang istirahat!” teriak Hana. Aldo menggeleng, dia terlihat panik.
“Cepet, Do! Mbak, Mbak Ami, tolong! Do, cepet, kamu kenapa malah diem!” Hana semakin histeris. Mbak Ami tergopoh-gopoh keluar dari ruangannya.
“Ya Tuhan, Rianti kenapa?” tanya Mbak Ami tak kalah panik.
“Nggak tau, Mbak, tiba-tiba pingsan. Maaf, gue pernah kecelakaan, tangan gue nggak bisa angkat yang berat-berat,” ucap Aldo pada akhirnya. Mbak Ami bergegas keluar butik meminta pertolongan.
Hana menggeser posisi Aldo, diletakkan kepala Rianti pada pahanya. Aldo mengusap wajahnya, terlihat bersalah karena tidak bisa membantu.
“Tolong bantu angkat dia ke ruangan saya, Mas.” Mbak Ami datang dengan seseorang di belakangnya.
“Wisnu?” gumam Hana.
----
bersambung


#OlimpiadeMenulis
#NulisDiBukulaku
#KMOClub
Rianti masih terbaring di kasur, dia tidak melakukan rutinitasnya di pagi hari. Rianti menatap langit-langit kamar, bayangan itu datang lagi. Padahal sudah satu tahun berlalu, tapi rasa pedihnya masih melekat. Tubuh Rianti menggigil, sekuat tenaga Rianti menetralkan tubuhnya dengan kalimat sugesti.
“Aku hebat! Aku sempurna! Aku baik-baik saja!” Rianti terus mengulang kalimat itu ditambah dengan istighfar, perlahan ia bisa menormalkan tubuhnya.
Rianti bangkit dari kasur, kakinya melangkah menuju meja belajar. Mengusap laptop pemberian Bi Anah. Jemari lentiknya menekan tombol power. Kemudian dengan lincah jemarinya menari di atas keyboard.
Kata demi kata tersusun menjadi kalimat. Kemudian terciptalah paragraf berisi curahan hati. Sejak kejadian itu, Rianti lebih banyak memendam semuanya sendiri. Kegundahan, ketakutan, harapan dan impian, disimpannya sendiri.
Tidak pada Hana, tidak juga pada Ayah Ibunya.
Pada Hana, Rianti masih belum bisa percaya sepenuhnya. Mungkin Hana tidak akan menceritakan pada orang lain, tetapi akankah Hana akan tetap menjadi sahabatnya setelah mengetahui semuanya? Lagi pula Rianti masih trauma dikhianati oleh sahabatnya sendiri.
Pada Ayah dan Ibu, Rianti enggan menambah beban pikiran mereka.
Karena itulah Rianti meluapkan semuanya pada tulisan. Hanya rangkaian huruf yang dipercayainya. Itu pun Rianti tulis menjadi sebuah cerita, bukan seperti isi buku diary. Rianti khawatir jika ada orang yang membaca, maka rahasianya akan terbongkar.
Rianti meregangkan otot punggung, lalu melirik penunjuk waktu. Tak terasa sudah satu jam Rianti menulis. Hatinya menjadi sedikit lebih ringan setelah menuliskan semua isi hatinya. Beranjak dari kursi, Rianti mengambil handuk bersiap untuk mandi.
$$$
“Rianti!” Tamara menepuk bahu, lalu menggandeng tangan Rianti. Menyamakan langkah menuju gerbang kampus.
“Hai, Ra, udah sarapan?” tanya Rianti. Tamara mengangguk.
“Kamu mau sarapan? Mau sarapan apa, nasi kuning lagi?” Tamara menunjuk ke arah warung tenda di samping kampus.
“Di cafetaria aja, males balik lagi.” Gerbang kampus tinggal beberapa langkah, jika sarapan nasi kuning Rianti harus berbalik arah.
“Aku temenin ya.” Tamara memamerkan gigi putihnya, Rianti mengangguk singkat.
Keduanya menuju cafetaria, Tamara bercerita bahwa pagi ini pertama kalinya dia memakai transportasi umum.
“Ternyata naik metromini seru juga. Selama ini aku pikir bakalan horor seperti yang orang-orang bilang.” Tamara menarik kursi di meja pojok cafetaria. Rianti telah memesan lontong sayur, teh tawar hangat dan hot capuccino untuk Tamara.
“Orang tua kamu nggak marah?” tanya Rianti. Tamara menggeleng, matanya masih berbinar.
“Mereka nggak tau aku ke kampus naik metromini. Mereka sangka aku naik taksi,” jawab Tamara.
“Tumben, biasanya diantar sama Abang.”
Rianti mengucapkan terima kasih pada pelayan yang mengantar pesanannya.
“Abang lagi di luar kota. Jadi nggak ada yang nganter aku.” Tamara menyeruput capuccinonya dengan anggun. Rianti mengangguk-angguk, tangannya mengaduk lontong sayur yang telah dituangi dua sendok sambal.
“Rianti, boleh nggak aku maen ke kontrakan kamu?” tanya Tamara.
“Boleh.” Rianti hampir tersedak karena menjawab pertanyaan Tamara dengan mulut penuh. Tamara meringis meminta maaf karena bertanya saat Rianti sedang mengunyah.
“Woy, tumben kalian udah ada di cafetaria pagi-pagi kayak gini.” Haryo duduk di samping Tamara. Tamara mencebikan bibir, raut wajahnya terlihat kesal.
“Biasa aja, dong, mukanya, Tam.” Haryo menompang dagu, menatap ke arah Tamara.
“Aku colok , nih, ya matanya!” Tamara mengangkat kedua jarinya, melakukan gerakan seperti akan menusuk mata Haryo. Haryo terbahak berhasil membuat Tamara kesal.
“Makin cantik kalo marah-marah gitu,” goda Haryo. Tamara mendengus kasar. Rianti memperlambat makannya, dia merasa canggung makan di hadapan orang yang tidak terlalu dekat dengannya. Apalagi jika orang itu berjenis kelamin laki-laki.
“Kok, makannya nggak dihabisin?” tanya Haryo, Rianti hanya menggeleng.
“Gue ke sana dulu, deh, sampe ketemu di kelas ya,” pamit Haryo sambil mengacak rambut Tamara. Sepertinya Haryo menyadari bahwa Rianti tidak nyaman dengan keberadaannya. Rianti menghela napas perlahan, lalu kembali melanjutkan sarapan setelah Haryo meninggalkan meja mereka. Tamara mengamati dalam diam.
“Selesai kuliah, aku maen ya ...” Tamara membuka percakapan setelah beberapa menit mereka saling diam.
“Boleh, hari ini aku nggak ada jadwal kerja,” sahut Rianti sambil menumpuk sendok dan garpu pada piringnya yang telah kosong.
“Kalo aku ajak Audi sama Marsha boleh, nggak?” tanya Tamara lagi.
“Boleh, tapi jangan kaget ya kontrakanku sempit.” Rianti meneguk perlahan teh tawarnya.
“Sip! Eh, ini kok anak dua itu belum pada dateng ya?” Tamara melihat jam rantai yang melingkar di pergelangan tangan.
“Iya juga, ya, sebentar lagi masuk. Apa kita tunggu di kelas aja?” Rianti memberi saran. Tangannya melambai memanggil mas-mas pelayan cafetaria. Tamara tidak menyahut, dia sibuk dengan ponselnya.
“Mereka bolos katanya. Nih, mereka ngechat aku, titip absen sekalian.” Tamara menyodorkan ponselnya. Rianti hanya melihat sekilas, tangannya sibuk menyimpan uang kembalian.
“Yuk, ke kelas sekarang.” Tamara lebih dulu bangkit dari duduknya. Rianti mengikuti beberapa langkah di belakang Tamara.
“Sini, jangan jalan di belakang aku.” Tamara menarik tangan Rianti.
Kelas mereka berada di lantai dua. Rianti mengajak Tamara untuk menaiki tangga daripada mengantri lama di depan pintu lift dan mereka akan terlambat masuk kelas. Dengan ragu Tamara mengiyakan ajakan Rianti.
“Ra, kenapa kamu bicara pake aku-kamu? Nggak kayak temen-temen yang lain pake elo-gue?” tanya Rianti. Tamara tersenyum, wajahnya memerah dan sedikit berkeringat. Tamara tidak terbiasa berolahraga, menaiki tangga menuju lantai dua cukup menguras energinya. Jika bersama Audi dan Marsha mungkin mereka lebih memilih telat masuk kelas daripada harus berkeringat seperti ini.
“Nggak biasa, lagian Mamih bakal marah. Nggak tau, deh, katanya kurang sopan,” jawab Tamara, napasnya tersengal. Lututnya lemas, untung saja mereka telah sampai di lantai dua. Tamara merasa payah sekali, padahal hanya lantai dua tapi rasanya dia telah menaiki tangga sampai lantai sepuluh.
“Oh, gitu.” Rianti menjulurkan sebotol air putih pada Tamara. Tamara langsung membuka tutup botol, kemudian meminumnya dengan rakus. Tetesan air membahasi bibirnya, Tamara mengusap dengan punggung tangan.
“Maaf, ya, Ra, udah bikin kamu keringetan kayak gini.” Tamara melambaikan tangannya, menepis rasa bersalah Rianti.
“Nggak papa, sesekali aku memang harus banyak gerak kayak gini, biar nggak gampang sakit.” Rianti tersenyum simpul.
“By the way, aku suka kamu panggil aku dengan 'Ra' bukan 'Tam',” ucap Tamara sambil tersenyum, "persis Abang kalo manggil aku.”
Rianti tersenyum lebar menunjukkan lesung pipinya, “Aku pikir kamu nggak akan suka.”
“Suka banget, apalagi kalo ---“ Ucapan Tamara terpotong, dia terkejut saat melihat Rianti terdorong jatuh oleh seseorang di depannya.
“Eh! Hati-hati, dong!” Tamara membantu Rianti yang jatuh terjengkang.
Perempuan berambut panjang dan bermata sipit itu tersenyum sinis, dengan gerakan dibuat-buat dia menutup mulutnya dengan telapak tangan.
“Ups, sorry, sakitkah Rianti anak ayah?” tanyanya dengan sudut bibir terangkat mencibir.
Rianti hanya diam dan menunduk, jantungnya berdetak cepat. Badannya terasa kaku, tak bisa digerakkan. Tamara melesak maju, melepas tangannya dari bahu Rianti.
“Kalo minta maaf yang tulus, dong!” Tamara menunjuk wajah gadis itu penuh emosi.
“Cih! Nggak usah pake drama. Aku cuma mau bilang, hati-hati sama dia,” bisik gadis itu pada Tamara, kemudian melenggang santai meninggalkan Tamara yang terheran. Sedangkan Rianti masih terpaku di tempatnya.
Bruk!
“Rianti!!!” teriakan Tamara menggelar membuat orang-orang di sekelilingnya mendekat dan membantu mengangkat Rianti yang hilang kesadaran.
bersambung
???? Jangan lupa dan komen????


Sedari tadi ponsel Rianti berdering, tetapi sang pemilik masih bergelung di dalam selimut. Sejak kemarin siang Rianti tidak melakukan apa-apa, hanya menangis dan menangis saja. Untungnya dia sedang mendapatkan periode bulanannya. Dering telepon berhenti, diganti dengan gedoran pintu.
“Rianti!! Buka!! Kalo nggak dibuka juga, aku dobrak!” teriak Hana. Terdengar juga suara Tamara yang memanggil namanya, meski tidak sekencang teriakan Hana. Rianti makin merapatkan selimutnya.
“Kamu pikir kita main-main?! Aku serius bakal dobrak ini pintu! Riantiii!!!” teriakan Hana dan gedoran di pintu semakin kencang.
Rianti mengambil ponselnya, memencet nomor Hana. Tanpa menunggu lama, Hana menjawab panggilannya.
“Hallo! Buka pintunya, Nti!” jawab Hana dengan berteriak. Rianti menjauhkan ponsel dari telinganya.
“Han ... please, kasih aku waktu. Aku pengen sendiri dulu,” jawab Rianti dengan suara serak.
“Aku nggak tau apa yang sedang kamu hadapi, tapi kamu nggak sendirian, Rianti. Ada aku, ada Tamara, jangan kayak gini. Jangan bikin kita khawatir!” omel Hana.
“Please, kasih aku waktu. Aku janji bakal baik-baik aja.” Rianti mengusap air matanya. Tak ada jawaban dari Hana.
“Oke, besok pagi kita ke sini lagi. Awas aja kalo kamu masih sembunyi kayak gini! Aku dobrak beneran ini pintu!”
“Iya, udah dulu ya.” Rianti langsung mematikan ponselnya tanpa persetujuan Hana.
Rianti menekan perutnya yang terasa perih. Ternyata dia belum berubah menjadi sakti, Rianti masih merasakan rasa lapar. Hampir 24 jam Rianti tidak mengisi perutnya, ia hanya minum air putih saja. Rianti masih menimbang, apakah dia harus keluar untuk membeli makanan atau bertahan menahan lapar?
Tok ... Tok ... Tok ...
“Delivery fried chicken atas nama Rianti,” suara dari balik pintu. Bukan suara Hana maupun suara Tamara. Rianti menurunkan kakinya dari ranjang. Dengan sedikit sempoyongan, Rianti berjalan menuju pintu.
“Atas nama Mbak Rianti?” Seorang lelaki berjaket denim berdiri di depan pintu kamar, di tangannya ada kantong plastik berwarna putih dengan logo huruf M.
“Saya nggak pesen makanan, Mas,” jawab Rianti. Lelaki itu diam, memperhatikan wajah Rianti. Rianti merasa risih dan mulai ketakutan, dia langsung menutup pintu kamar.
“Tunggu! Ini pesanan dari Mbak Tamara.” Lelaki itu menahan pintu dengan tangannya. Rianti kembali membuka pintu. Dilihatnya wajah lelaki berjaket denim itu, wajahnya tampak familiar.
“Ini mohon diterima, pesanan dari Mbak Tamara untuk Mbak Rianti,” ucap lelaki itu sambil mengulurkan kantong plastik. Jemari tangannya memerah akibat tergencet pintu.
Rianti menerima kantong plastik itu, dan setelah mengucapkan terima kasih Rianti langsung menutup pintu.
Rianti harus mengucapkan banyak terima kasih pada Tamara nanti, karena sudah mengirimnya makanan. Tidak tanggung-tanggung banyaknya makanan yang diberi Tamara, bisa untuk makan besok pagi. Rianti makan dengan sangat lahap.
Setelah perutnya kenyang, Rianti menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Sejak kemarin dia tidak mandi, hanya mengganti pembalut saja. Selesai mandi, Rianti menghadap ke arah cermin. Terlihat wajahnya yang pucat dengan hidung memerah dan mata bengkak. Pantas saja tadi kurir makanan menatapnya seperti itu, wajahnya memang terlihat menyeramkan. Rianti mendesah pelan, untungnya dia tidak mengenal kurir itu. Jadi Rianti tidak akan bertemu lagi dan merasa malu.
Rianti duduk di kursi, matanya memandang foto berfigura di atas meja belajar. Gambar dirinya saat masih berseragam putih abu-abu. Wajahnya terlihat bahagia karena waktu itu Rianti baru saja menerima surat kelulusan. Seminggu sebelum kejadian itu.
Setiap teringat kejadian waktu itu, kepala Rianti mendadak sakit. Terkadang tidak tertahan sampai akhirnya Rianti hilang kesadaran. Padahal Rianti berharap hilang ingatan saja, agar dia tidak lagi teringat kejadian waktu itu. Kalau hanya hilang kesadaran, saat kesadarannya kembali Rianti akan teringat lagi.
Sepekan ini sudah dua kali Rianti pingsan. Pertama di butik dan yang kedua di kampus.
Saat pertama kali pingsan, Rianti tersadar dalam pelukan Hana. Wajah Hana sembab, persis wajah kedua orangtuanya waktu itu.
Kedua kalinya, Rianti terbangun di ruang kesehatan kampus. Di sampingnya Tamara duduk dengan wajah pucat. Lalu tak lama Hana datang dengan wajah khawatir. Kedua sahabatnya terlihat panik, khawatir dan ketakutan. Terutama Hana. Karena Rianti telah pingsan dua kali dalam seminggu. Semua itu terjadi karena rasa trauma itu datang lagi.
Sebenarnya orangtua Rianti telah membawanya berobat untuk mengurangi rasa trauma. Rianti didiagnosa hanya trauma ringan, hanya beberapa kali konsultasi Rianti dianggap telah membaik. Terapi yang harus dilakukan Rianti adalah menuliskan hal-hal positif yang diterimanya setiap hari. Itu bertujuan agar Rianti banyak bersyukur karena begitu banyak nikmat Allah yang diterimanya. Terapi itu berhasil, Rianti cepat pulih dan akhirnya Ayah Ibu mengijinkan Rianti kuliah di luar kota.
Sayangnya, beberapa hari belakangan pemicu trauma itu datang lagi. Terutama saat Rianti bertemu dengan gadis berambut panjang dan bermata sipit itu.
“Jangan sok polos!”
“Kamu menuduh orang lain padahal kamu pelaku sebenarnya!”
“Aku tahu siapa kamu sebenarnya!”
“Kamu sudah tidak utuh! Kamu rusak! Nggak akan ada lelaki yang menerima kamu!"
“Harusnya kamu mati!”
Suara-suara itu kembali terdengar. Rianti mengerang kesakitan, tangannya mencengkeram kepala. Dadanya sesak, pasokan oksigen tersendat, akhirnya Rianti pingsan untuk ketiga kalinya dalam sepekan ini.
$$$
Pukul empat pagi, Rianti terbangun. Netranya memindai ruangan yang gelap gulita, Rianti bahkan belum menyalakan lampu. Kepalanya masih terasa berat, tetapi Rianti memaksakan diri untuk bangun. Dia harus bangkit, menata hidup dan membahagiakan kedua orangtuanya.
Pagi ini Rianti kembali melakukan rutinitas hariannya. Kamarnya kembali bersih dan rapi. Rianti menyeduh segelas teh hangat untuk menemaninya menulis pagi ini.
Tok ... Tok ... Tok ...
“Assalamu’alaikum,” sapa Hana sambil membuka pintu kamar. Rianti sengaja tak menguncinya setelah menyapu teras tadi.
“Wa’alaikumussalam,” jawab Rianti, menekan tombol sleep pada laptop. Di belakang Hana, ada Aldo dan Tamara.
“Hai, Rianti, gimana udah enakan belum?” Tamara memeluk Rianti. Aldo mendekat ingin ikut memeluk juga, tetapi telinganya ditarik Hana.
“Aw, sakit, ogeb!” Aldo memukul tangan Hana yang menarik telinganya.
“Jangan ambil kesempatan dalam kesempitan!” omel Hana. Rianti meringis melihat telinga Aldo yang memerah, pasti sakit sekali. Namun Rianti tetap merasa berterima kasih pada Hana, telah mencegah Aldo memeluknya.
“Kamu udah sarapan?” tanya Tamara, Rianti menggeleng. Sebenarnya masih ada ayam crispy pemberian Tamara semalam, tinggal dihangatkan sebentar dalam wajan, pasti rasanya masih enak. Namun Rianti malas makan, mungkin nanti saat perutnya mulai terasa perih barulah dia akan makan.
“Kita bawa bubur ayam, nih, kita makan bareng. Sengaja kita bungkus, biar kamu ikut sarapan.” Hana mengeluarkan empat kotak stereofom dari kresek yang dibawanya.
Tamara bangkit dari duduk, mengambil empat buah sendok.
“Ayo, makan! Awas aja kalo nggak habis, aku laporin ke Ayah Ibu!” ancam Hana. Rianti mencebik, tapi tangannya tetap menarik satu kotak streofom. Asap bubur masih mengepul, aroma sungguh lezat membuat Rianti tanpa ragu menghabiskan bubur ayam itu tanpa waktu lama.
Ketiga temannya saling pandang, lalu tersenyum puas karena berhasil membuat Rianti sarapan dengan lahap.
“Eh, sampe lupa, kalian mau minum apa?” Rianti membereskan bekas makannya, ketiga temannya masih menikmati sarapan.
“Nggak usah repot, air putih aja,” jawab Aldo. Rianti mengangguk, lalu beranjak menuju dapur kecil di samping kamar mandi. Rianti kembali dengan satu botol kaca berisi teh manis dan empat gelas plastik.
“Maaf, aku adanya gelas plastik. Nggak apa, kan, Ra?” tanya Rianti pada Tamara yang baru saja menghabiskan sarapannya. Bukan tanpa alasan Rianti bertanya pada Tamara, karena dia khawatir teman barunya itu merasa tidak nyaman.
“Nggak apa, santai aja.” Tamara menerima gelas dari Rianti.
“Alhamdulillah, nikmat banget, dah! Bubur ayam sama teh manis anget,” seru Aldo. Hana mengangkat jempolnya, tanda setuju dengan pendapat Aldo.
Tamara mengeluarkan ponselnya dari dalam tas, dahinya mengerut. Tamara melirik ke arah Hana, Hana mengangkat kedua alisnya, Tamara menggeleng cepat. Tamara tampak gelisah, sesekali dia menggigit bibirnya.
“Elo kenapa? Gelisah banget keliatannya. Ada masalah?” tanya Aldo. Rianti menengok ke arah Tamara yang duduk di sampingnya.
“Ada apa, Ra? Ada masalah?” tanya Rianti. Tamara tak menjawab, hanya mengulurkan ponselnya. Rianti menerima ponsel Tamara dengan wajah bingung.
Mata Rianti membelalak dengan mulut terbuka saat melihat gambar yang ada di ponsel Tamara.
“I ... ni ...” Rianti gemetar, suaranya terputus.
“Aku tau itu bukan kamu, itu cuma fitnah,” hibur Tamara sembari memeluk Rianti. Rianti melepas pelukan Tamara dengan kasar, bangkit dari duduknya kemudian menutup tubuh dengan selimut. Tamara, Hana dan Aldo hanya diam menatap heran.
“Sebaiknya kalian pulang!” usir Rianti dari balik selimut. “Pulang! Aku mau sendiri!”
_bersambung_



#OlimpiadeMenulis
#NulisDiBukulaku
#KMOClub
Ketiga teman Rianti saling pandang ketika mendengar teriakan Rianti yang mengusir mereka. Hana lebih dulu keluar dari kamar kontrakan Rianti. Aldo dan Tamara mengikuti dari belakang.
“Do, kamu bisa pulang duluan. Aku ada perlu dulu sama Tamara. Nggak apa 'kan?” pinta Hana dengan sopan. Aldo mengangguk singkat.
“Elo jangan sampe telat. Gue kagak mau diomelin Mbak Ami.”
Hana mengangguk, “Iya, aku nggak akan telat. Tenang aja ... aku cuma mau mastiin Rianti baik-baik aja.”
Setelah Aldo pergi, Hana meminta ponsel Tamara, ingin melihat apa penyebab Rianti seperti itu. Dengan rasa bersalah, Tamara menunjukkan foto yang ada di ponselnya.
“Ini? Nggak mungkin Rianti 'kan?” tanya Hana tak percaya. Dalam hati Hana berharap itu bukan Rianti, tetapi wajah itu jelas sekali mirip wajah Rianti.
“Aku nggak tau.” Tamara menggeleng, “Aku sendiri belum tau siapa pengirimnya, terus tujuan dia apa ngirim foto itu ke aku? Ini fitnah yang keji kalo ternyata bukan Rianti yang ada difoto itu.”
Keduanya terdiam, tenggelam dengan pikirannya masing-masing.
Brak! Suara benda berjatuhan terdengar dari dalam kamar kontrakan Rianti. Hana dan Tamara bergegas masuk, untung saja pintu kamar tidak dikunci.
Di dalam kamar Rianti duduk bersila di kasur, rambutnya berantakan. Matanya merah dan basah. Beberapa benda seperti bantal dan sapu kasur tergeletak di lantai.
“Rianti!” Hana mendekat dengan cepat. Dipeluknya Rianti yang bersimbah air mata. Tamara berdiri di dekat pintu, bingung harus melakukan apa.
“Han, aku mau mati aja! Aku mau mati aja! Aku udah rusak, Han!” Rianti histeris dalam pelukan Hana. Hana mengeratkan pelukannya, bibirnya berbisik meminta Rianti untuk tenang dan beristighfar.
Tamara duduk di samping Hana, tangannya mengusap kepala Rianti. Perlahan Rianti mulai tenang, tangisannya hanya berupa isakan. Tamara mengambil segelas air putih agar Rianti lebih tenang.
Rianti meminum air putih yang diberikan Tamara. Tatapan mata Rianti kosong.
“Rianti? Hei! Jangan ngelamun! Kamu jangan bikin aku takut!” Hana melambaikan tangan di depan wajah Rianti. Rianti menatap kedua sahabatnya bergantian.
Dengan bibir bergetar Rianti berkata, “Sebaiknya kalian pulang. Kalian nggak usah kenal aku lagi. Aku nggak pantas jadi teman kalian. Terutama kamu, Ra.” Rianti menatap sendu wajah Tamara, teman pertamanya di kampus.
Tamara menatap Rianti sambil menggeleng.
“Nggak, kenapa kita nggak bisa berteman? Apa karena foto itu? Kamu pikir aku percaya sama orang nggak dikenal yang tiba-tiba kirim foto aneh itu?!” Tamara tidak bisa menahan emosinya. Dia kesal karena Rianti menyuruhnya pergi dan memintanya untuk tidak kenal lagi. Keterlaluan, pikir Tamara.
“Gimana kalo seandainya perempuan itu aku, Ra?” tanya Rianti sendu. Hana berdecak mendengar pertanyaan Rianti. Diusapnya pipi Rianti yang basah.
“Kamu nggak usah ngomong macem-macem. Tamara bener, kamu pikir kita percaya sama orang iseng yang ngefitnah kamu itu?” Hana menangkup wajah Rianti dengan kedua tangannya.
Rianti melepas sentuhan tangan Hana dengan sedikit kasar.
“Kalo benar itu aku, gimana?! Aku tanya itu sama kalian! Kalo benar itu aku gimana?” Rianti kembali menangis. Hana berusaha memeluk Rianti lagi, tetapi Rianti menepisnya.
“Tolong jawab ....” ucap Rianti lirih.
Hana dan Tamara saling pandang, saling meyakinkan diri bahwa Rianti hanya terkejut dan tertekan..
“Rianti, nggak mungkin ka---“
“Gimana kalo itu beneran aku?” tanya Rianti lagi, memotong ucapan Hana.
Hana dan Tamara kembali saling pandang.
“Kalo itu aku gimana?”
“Kalo itu kamu, kamu pasti punya alasan kenapa bisa seperti itu?” Tamara menatap lekat-lekat wajah Rianti. “Dan aku, percaya kamu bukan perempuan seperti itu,” ucap Tamara tegas.
“Aku juga. Apapun alasan kamu, baik maupun buruk, itu hanyalah masa lalu. Yang aku tahu, selama aku kenal kamu, kamu adalah gadis baik-baik.” Hana merapikan rambut Rianti yang berantakan. Rianti hanya menangis dalam diam.
“Aku bukan perempuan baik-baik. Kalo foto itu tersebar di kampus, nama kamu ikut tercemar, Ra.” Rianti masih meyakinkan Tamara untuk menjauhinya.
“Kamu kenapa, sih? Kenapa kamu melarang Tamara untuk menjadi teman kamu?” Hana heran dengan sikap Rianti.
Cukup lama Rianti diam tak menjawab pertanyaan Hana.
“Aku malu, minder, merasa nggak pantas jadi teman Tamara. Aku bukan perempuan baik-baik.” Rianti menunduk, mengusap ingus yang menetes menemani air mata.
“Aku cuma anak kampung, kemampuan akademisku biasa aja, penampilanku kampungan, ditambah lagi ... aku bukan perempuan baik-baik. Mendingan kamu nggak usah kenal aku lagi. Jangan sampai nama kamu terbawa buruk,” jelas Rianti. Hana dan Tamara mendesah bersamaan. Keduanya terlihat kesal mendengar ucapan Rianti. Sungguh kekanakan.
“Kamu 'kan anak orang kaya, nggak pantes ber---”
“STOP!!” seru Tamara. “Aku nggak mau denger lagi omongan ngawur kamu.”
Rianti masih menunduk, seakan ada sesuatu yang menarik di lantai kamarnya. Rianti menghindari tatapan kedua sahabatnya.
“Nggak ada yang salah sama kamu, Rianti. Memangnya kenapa kalo kamu anak kampung, ada yang salah jadi anak kampung? Orangtuaku juga anak kampung. Setiap lebaran aku mudik pulang kampung ke rumah Mbah,” ujar Tamara dengan napas berburu. “Kemampuan akademis kamu biasa aja? Kamu pikir aku dan teman-temanku itu mahasiswi teladan? Kami malah lebih bobrok dibanding kamu,” lanjut Tamara.
“Aku kan udah bilang, semua pikiran buruk itu hanya ada di otak kamu,” sahut Hana.
“Iya! Kamu terlalu over thinking !” balas Tamara.
“Hilangin, deh, itu pikiran negatif kamu. Kamu sendiri yang rugi.” Hana menepuk pelan puncak kepala Rianti yang masih menunduk.
“Betul, jangan nethink terus. Kamu itu hebat, jadi ngapain kamu merasa minder?” ujar Tamara.
“Kalian nggak tau rasanya jadi aku,” ucap Rianti lirih. Rianti mengangkat wajahnya, menatap wajah Hana dan Tamara bergantian. Mata Rianti masih merah, basah dan bengkak. Entah sudah berapa banyak air mata yang dia keluarkan dari kemarin.
“Terima kasih kalian masih mau jadi temen aku. Kalian begitu baik dan perhatian. Makasih juga ya, Ra, kiriman makanannya kemarin sore.” Rianti mengucapkan dengan tulus.Tamara terlihat bingung, tetapi dia memilih untuk diam. Ingin tahu apa yang akan Rianti utarakan.
“Kalian teman yang baik, tapi aku bukan orang yang pantas untuk jadi teman kalian,” sambung Rianti.
Hana menggeram kesal.
“Kamu dari tadi muter-muter aja, sebenarnya maumu itu apa?! Kamu mau kita menjauh? Oke? Tapi tolong jelasin semuanya! Kenapa kamu merasa nggak pantas jadi teman kami?!” omel Hana.
“Jangan pakai alasan karena kamu anak kampung dan lainnya yang nggak masuk akal itu!” sahut Tamara tak kalah kesal.
Rianti terdiam lagi. Matanya menerawang jauh, menceritakan masa lalu itu artinya mengorek luka lama. Namun Rianti harus lakukan itu.
“Aku akan cerita, tolong jangan dipotong. Jika tiba-tiba aku pingsan, kalian jangan panik. Itu reaksi tubuhku yang melawan trauma. Seharusnya aku sudah bisa mengendalikan diri, tapi ya mungkin aku harus terapi lagi.” Rianti menunduk lagi, menarik napas panjang perlahan.
“Ini bermula dari pengumuman kelulusan SMA ....”
_bersambung_


Bab 11
#OlimpiadeMenulis
#NulisDiBukulaku
#KMOClub
Hari kelulusan sekolah ...
“Yeeeaay, akhirnya kita lulus!” teriak seorang gadis manis berlesung pipi. Wajahnya berseri-seri, badannya bergoyang kegirangan, tak peduli dia ada di halaman sekolah yang ramai. Beberapa siswa melirik ke arahnya dengan tatapan aneh.
“Alhamdulillah, gitu! Bukan malah jejingkrakan kayak gini!” tegur gadis berjilbab lebar.
“Iya, maaf, Ustadzah,” jawab gadis manis itu setengah meledek.
“Dikasih tau malah ngeledek!”
“Iya-iya, calon umminya anak-anak Bang Fauzi,” jawab gadis manis berlesung pipi. Gadis berjilbab melotot, dibalas juluran lidah oleh gadis manis berlesung pipi.
“Udah, kalian kalo ketemu pasti aja kayak gini,” lerai gadis berambut panjang dan bermata sipit yang baru saja bergabung.
“Tikaa!!!” teriak gadis manis berlesung pipi.
“Rianti! Ya ampun, jadi perempuan, kok, nggak ada manis-manisnya, sih!” omel gadis berjilbab lebar.
“Lela bawel!” Rianti, gadis manis berlesung pipi, cemberut.
“Udah jangan bertengkar terus. Jadi 'kan kita kumpul di rumah aku?” tanya Tika. Rianti mengangguk antusias.
“Yuni mana? Kok, belum nongol?” tanya Lela. Rianti dan Tika mengedarkan pandangan, mencari salah satu sahabat mereka di tengah kerumunan.
“Nah itu dia!” tunjuk Lela. Seorang gadis berperawakan gemuk berlari kecil ke arah mereka. Wajah bulatnya berkeringat. Lela langsung menjulurkan sapu tangan ketika Yuni sampai di depan mereka.
“Lama banget, ngapain dulu?” tanya Tika. Yuni masih mengatur napas, kedua telapak tangannya menempel di lutut. Napas Yuni masih tersengal-sengal.
“Udah tau jarang olahraga, kenapa harus lari-lari?” tanya Rianti.
“Ck! Kalian bawel banget, sih! Aku masih ngos-ngosan gini malah ditanya ini itu, bukannya kasih aku minum!” omel Yuni berkecak pinggang.
“Iya, nanti aku kasih es sirup di rumah. Yuk, kita pulang sekarang,” ajak Tika pada ketiga temannya. Yuni mengangkat tangan, meminta waktu sebentar lagi, napasnya masih tersengal.
“Tikaa, nilai matematika aku lebih besar dari kamu, loh.” Rianti menggandeng tangan Tika, matanya berkedip-kedip, ”kamu punya janji sama aku, inget 'kan?”
“Iya, inget!” jawab Tika malas. Rianti bersorak mendengar jawaban Tika, Tika hanya menggeleng sambil menepuk dahi melihat tingkah laku Rianti. Lela bahkan balik badan, tak ingin melihat kelakuan Rianti yang bikin malu itu.
“Emang Tika janji apa? Kok, aku nggak tau?” tanya Yuni, mata bulatnya mengedip lucu.
“Ck! Biasalah! Apa lagi coba maunya Rianti, si belut nggak mau diem, kalo bukan kenalan sama Mas Tio?” jawab Tika. Keempatnya mulai berjalan meninggalkan area sekolah.
“Nggak ada sebutan yang lebih bagus apa selain belut nggak mau diem? Princess Elsa, kek!” Mulut Rianti mencucu lebih maju beberapa senti.
“Dih, kalo kamu secantik Princess Elsa, nggak mungkin kakak aku nggak menyadari keberadaanmu!” Tika mencibir.
Tika sedikit jengah dan kesal karena hampir setiap hari Rianti selalu menanyakan semua hal yang berhubungan dengan kakak lelakinya itu. Dari pertanyaan normal layaknya seorang gadis menaruh hati pada lelaki seperti, Mas Tio punya pacar belum? Tipe perempuan yang disukai seperti apa? Hobi Mas Tio apa? Hingga pertanyaan out of the box seperti, Mas Tio sehari berapa kali buang air besar? Dia suka nonton Spongebob nggak? Mas Tio lebih suka jengkol atau pete? Atau pertanyaan seperti ini, Mas Tio suka nggak sama Princess Elsa?
Itulah pertanyaan yang keluar dari mulut seorang Rianti, entah dari mana dia bisa berpikiran memiliki pertanyaan seperti itu? Bayangkan, selama tiga tahun Tika harus meladeni keanehan sahabatnya ini.
Rianti sebenarnya gadis yang manis, dia juga cukup pintar, hanya saja dia kelebihan energi. Sampai membuat orang-orang di sekelilingnya kerepotan. Ada saja tingkahnya yang membuat geleng kepala. Lihat saja sekarang, Rianti berjalan sambil menggandeng tangan Tika. Kakinya berayun lincah layaknya anak kecil yang sedang menari. Beberapa siswa menggodanya, tetapi Rianti tak mempedulikan. Dia hanya tertawa atau balik menggoda mereka.
Dengan wajah dan senyum manis, Rianti menjadi salah satu gadis pujaan. Rianti juga ramah pada semua orang, sampai-sampai banyak lelaki yang salah paham akibat keramahannya. Rianti memang ramah dan baik pada semua orang.
Bagi Rianti tidak ada lelaki yang mampu membuatnya terpesona selain Mas Tio. Rianti jatuh cinta pada pandangan pertama. Saat pertama kali Rianti berkunjung ke rumah Tika. Setelah hari itu, hati Rianti hanya diisi oleh Mas Tio. Rianti mencari tahu semua hal tentang Mas Tio. Tentu saja Tika menjadi pusat informasi. Tanpa mempedulikan Tika yang kesal, Rianti melontarkan banyak pertanyaan. Tak jarang pula Rianti menitipkan banyak hadiah untuk Mas Tio. Tanpa ada momen khusus, jika dirasa ada barang yang pantas diberikan pada Mas Tio, Rianti pasti akan membeli lalu akan membungkusnya dengan indah.
“Mas Tio cuti berapa hari?” tanya Rianti, tangannya memeluk erat lengan Tika.
“Seminggu, sekalian hadir di pernikahan Mbak Karsih,” jawab Tika. Lela dan Yuni berjalan di belakang, mereka sibuk membahas warung seblak yang baru saja buka di pengkolan dekat Kantor Desa.
“Em ... kira-kira Mas Tio ngenalin aku nggak, ya?” tanya Rianti, wajahnya menerawang ke atas. Kemudian dia tersenyum, wajahnya memerah.
“Kamu jangan ngelamun jorok! Aku nggak rela ya kakak aku jadi bahan fantasi kamu!” Tika mengusap wajah Rianti sedikit kasar.
“Apaan, sih! Siapa yang ngelamun jorok! Aku lagi ngebayangin Mas Tio balas senyuman aku.” Rianti tersenyum lebar, matanya masih menerawang. “Terus, dia ....”
“Udah nyampe, Tik?” tanya seseorang bersuara berat memotong ucapan Rianti. Kepala Rianti menoleh ke samping. Rupanya mereka telah sampai di rumah Tika. Mas Tio sedang berdiri di halaman dengan selang air di tangan, di sampingnya ada motor besar. Dia sedang mencuci motor.
Rianti mengucek matanya sebelum berteriak histeris.
“Aaahh!!! Ada Mas Tiooo!!”
Tika menepuk dahi, Lela menutup wajah sedangkan Yuni hanya bisa meringis malu. Mas Tio sendiri tersenyum canggung. Tanpa rasa malu Rianti menghampiri Mas Tio. Belum sampai kakinya melangkah mendekat, Tika menahan tangannya.
“Iya, Mas. Ini temen-temen aku mau kumpul di sini, sekalian ngerayain kelulusan,” jawab Tika sembari mencium punggung tangan kakaknya.
“Kamu lulus, nggak?” tanya Mas Tio.
“Lulus, dong! Tikaa!” Tika menepuk dadanya dengan bangga. Mas Tio mengacak rambut adik bungsunya.
“Hebat adik Mas!” Mas Tio memberi tanda jempol pada Tika.
Rianti melihat interaksi keduanya dengan mata berbinar. Di dalam hatinya, Rianti ingin sekali di posisi Tika yang kini sedang memeluk erat Mas Tio. Lela menepuk pelan punggung Rianti.
“Astaghfirullah!” Rianti menggeleng cepat mengusir pikiran kotornya.
“Rianti, itu Mas Tio mau kenalan sama kamu,” bisik Lela. Rianti menoleh ke arah Lela, Lela memberi isyarat dengan lirikan mata.
“Hah?” tanya Rianti, dia tidak mengerti maksud dari isyarat Lela.
“Eh, belut cacingan! Ini katanya mau kenalan sama kakak aku?” Tika menjentikkan jarinya di depan wajah Rianti.
“Mana ada belut cacingan! Jangan kasih aku sebutan yang aneh-aneh, deh! Panggil aku Princess Elsa!” omel Rianti, melipat tangannya di dada, persis anak kecil yang merajuk.
Mas Tio tidak bisa menahan tawanya melihat tingkah polos Rianti. Wajah Rianti memerah menahan malu. Dia telah bertingkah konyol di hadapan pujaan hati. Tika dan Yuni menertawakan Rianti yang salah tingkah, sedangkan Lela hanya menggelengkan kepala.
“Mas, kenalin ini Rianti. Yang suka titip salam sama kirim hadiah buat Mas,” ucap Tika setelah berhasil menghentikan tawanya.
Mas Tio berdeham lalu mengulurkan tangannya, “Hai, Rianti, akhirnya kita bisa ketemu. Makasih ya buat hadiah-hadiah yang udah kamu kasih.”
Rianti tersipu malu menyambut uluran tangan Mas Tio.
“Gimana, Mas? Rianti cantik 'kan?” tanya Tika. Mas Tio menggangguk singkat, kemudian disambut dengan ledekan Tika dan Yuni. Rianti tersenyum malu-malu.
Tanpa ada satu orangpun yang menyadari, Mas Tio memandang Rianti dengan tatapan lapar. Memindai dari ujung kepala hingga ujung kaki.
_bersambung_



Bab 12
#OlimpiadeMenulis
#NulisDiBukulaku
#KMOClub
Beberapa hari menjelang perpisahan sekolah ...
Rianti terkikik mengingat kejadian kemarin, saat dirinya berkenalan dengan Mas Tio. Menggigit gemas ujung bantal, mengingat betapa konyolnya dia di depan Mas Tio. Padahal Rianti ingin berperilaku anggun di depan Mas Tio, Rianti ingin Mas Tio tertarik padanya. Namun apalah daya, jiwa bar-barnya telah mendarahdaging. Untung saja Mas Tio tidak jijik melihat kelakuan noraknya itu.
Mas Tio adalah satu nama yang selalu ia sebut dalam doanya selama tiga tahun terakhir. Lelaki yang selalu dia bayangkan sebelum tidur. Lelaki yang berhasil membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Padahal setelah pertemuan pertama itu mereka tidak pernah bertemu lagi. Rianti hanya memantau dari akun media sosial milik Mas Tio.
Kakak lelaki Tika itu memang sudah tidak tinggal bersama kedua orangtua sejak duduk di bangku SMA. Dia melanjutkan pendidikan di salah satu SMA terbaik di kota sebelah, dan memilih indekost daripada harus bolak-balik pulang ke rumah. Sampai menyelesaikan pendidikan S1 dan bekerja di kota itu.
Drrt ... Drrt ... Drrt ...
Sebuah pesan masuk, Rianti mengambil ponselnya.
Yuni gemess:
Nti, perpisahan sekolah besok malem kamu dateng?
Me:
Dateng, dong. Emang kamu nggak akan dateng?
Yuni gemess:
Belum tahu, belum dapet ijin dari Bapak. Kenapa, sih, acaranya harus malem? Jadi susah, deh, dapet ijinnya.
Me:
Lela gimana? Dia udah dapet ijin dari Abah?
Yuni gemess:
Nggak diijinin. Lela udah pasti nggak dateng. Kamu udah dapet ijin dari Ayah?
Me:
Belum, sih, tapi aku bakal ngerayu biar dikasih ijin.
Yuni gemess:
Iya, deh, yang mau ketemuan sama Mas Tio ...
Me:
Kok, bawa-bawa nama Mas Tio?
Yuni gemess:
Kata Tika, dia bakal diantar jemput sama Mas Tio. Kamu pasti nebeng sama Tika 'kan?
Me:
Serius??? Aakh!! Aku harus dapet ijin dari Ayah. Udah dulu, ya, aku mau rayu ayah dulu. Bye!
Rianti meletakkan ponselnya di atas nakas, sambil berlari dia menuju ruang makan. Sore seperti ini, biasanya Ayah ada di ruang makan setelah menutup toko kelontongnya.
Ayah sedang menyeruput teh hijau saat Rianti tiba di ruang makan. Tanpa aba-aba Rianti langsung memeluk Ayah dari belakang.
“Astaghfirullah, Rianti! Bikin kaget! Untung ayah nggak keselek,” omel Ayah. Rianti hanya cengengesan tidak peduli Ayah sudah melotot.
“Ayah ....” panggil Rianti dengan manja. Ayah diam tidak menyahut, malah asik mengoprek ponselnya.
“Ayaaah ....” rengek Rianti. Ayah masih bergeming, Rianti melepas pelukannya lalu menarik kursi di samping Ayah. Sebagai anak tunggal, Rianti sangat dimanja oleh kedua orangtuanya. Apalagi Ayah dan Ibu mendapatkan Rianti butuh perjuangan panjang. Hampir semua keinginannya tidak tertolak, terlebih jika Rianti meminta pada Ayah. Tanpa pikir panjang biasanya Ayah langsung mengabulkan. Namun keinginannya kali ini, Rianti ragu Ayah akan mengabulkannya.
“Yah, besok malem ada acara perpisahan sekolah. Di gedung Darma Wanita, acaranya abis magrib. Rianti boleh dateng?” tanya Rianti, suaranya dibuat lembut dan pelan.
“Besok malem?” tanya Ayah sambil melirik anak gadisnya sekilas lalu kembali fokus pada ponsel. Rianti mengangguk.
“Kamu nggak ikut ke acara nikahan Mas Aryo?” tanya Ayah lagi. Rianti menggeleng lesu. Rianti merasa dilema. Mas Aryo adalah kakak sepupunya, anak dari Bude Sri kakak sulung Ayah. Rianti sangat dekat dengan Mas Aryo, tapi ini kesempatannya bertemu dengan Mas Tio. Kemarin mereka hanya berbincang sebentar karena Mas Tio harus pergi mengurus seragam keluarga untuk acara pernikahan Mbak Karsih, kakak sulung Mas Tio dan Tika.
“Ayah sama Ibu berencana nginep, loh. Berangkat besok siang, sampe sana menjelang ashar langsung ke tempat akad nikah terus nginep semalem. Besoknya, hadir di acara resepsi sebentar terus pulang,” jelas Ayah. Rianti diam, dia sendiri bingung. Hati kecilnya ingin dia ikut bersama orangtua, tapi ... ini Mas Tio! Rianti tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang jarang menghampirinya.
“Tapi, Yah ... ini acara perpisahan SMA, sekali seumur hidup. Aku bakal jarang ketemu mereka lagi,” rayu Rianti.
“Ck! Kamu pikir, Mas Aryo bakal nikah berulang kali? Ini juga bakal jadi acara pernikahan sekali dalam seumur hidup Mas Aryo.” Ayah meletakkan ponsel, kini dia menatap wajah Rianti. Dilihatnya wajah anak semata wayangnya yang telah tumbuh menjadi gadis ayu. Sudah ada beberapa temannya yang mengajaknya berbesanan. Namun Ayah menolak dengan halus, ia ingin Rianti sekolah tinggi mengejar cita-citanya.
“Tapi, Yah ....” Rianti tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Dia tahu jika tatapan Ayah sudah seperti itu, artinya tidak ada negosiasi. Rianti memilih untuk diam menunduk, tangannya memilin ujung kaos yang dipakainya.
Ayah membuang napas kasar. Rianti itu persis dirinya, baik wajah maupun sifat. Jika mempunyai keinginan maka akan berusaha keras untuk mewujudkannya. Kalau orang bilang, keras kepala.
“Memangnya kamu berani sendirian di rumah?” tanya Ayah. Rianti mendongak, menatap wajah Ayah dengan penuh harap.
“Memangnya kamu berani sendirian di rumah?” ulang Ayah. Rianti mengangguk antusias.
“Ck! Tapi ayah nggak yakin kamu berani di rumah sendirian,” ledek Ayah. Bibir Rianti memberengut, tangannya terlipat di depan dada. Ciri khasnya jika sedang merajuk. Ayah tertawa melihat tingkah laku Rianti.
“Ya udah, nanti Ayah suruh Mak Ijah temenin kamu di sini,” ucap Ayah sembari tersenyum. Rianti langsung berdiri dan berjoget sambil berteriak kegirangan.
“Ada apa ini?” tanya Ibu sambil membawa sepiring tahu walik hangat.
“Rianti dapet ijin dari Ayah, Rianti bisa dateng ke acara perpisahan sekolah, Bu!” Rianti memeluk Ibunya dengan erat. Untung saja Ibu telah meletakkan piring di atas meja, jika belum, mungkin tahu walik buatan Ibu akan tercecer di lantai.
“Kamu berani sendirian di rumah? Kalo Mas Aryo tanya gimana?” tanya Ibu, melerai pelukan Rianti kemudian duduk di kursi sebelah Ayah yang tadi diduduki oleh Rianti.
“Aku ditemenin Mak Ijah, Bu. Tentang Mas Aryo gampanglah itu. Nanti sebelum kuliah, aku main dulu ke tempat Mas Aryo.” Rianti menjawab pertanyaan Ibu dengan nada riang.
“Ya udah, hati-hati di rumah. Nanti kamu berangkat sama siapa? Lumayan jauh, loh, tempatnya.” Ibu melirik Ayah, Ayah menghendikkan bahu.
“Sama Tika, Bu. Tika diantar sama kakaknya, nanti kami juga bakal dijemput lagi sama kakaknya itu,” jawab Rianti dengan wajah berseri-seri. Belum apa-apa Rianti sudah membayangkan bagaimana bahagianya besok malam karena bisa berjumpa dengan Mas Tio lagi.
“Siapa? Karsih? Bukannya dia mau nikah?” tanya Ibu. Rianti menggeleng, belum sempat berkata suara Ayah lebih dulu menjawab.
“Sama Tio, ya?” tanya Ayah, Rianti mengangguk singkat. Sebisa mungkin Rianti mengontrol raut wajahnya, dia takut Ayah curiga.
“Tio anak kedua Pak Kades Tri?” tanya Ibu.
“Iya, yang bekerja di kota sebelah, Bu.” Ayah kembali menjawab pertanyaan Ibu.
“Ya syukurlah, Ibu bisa tenang ninggalin kamu di sini.” Ibu tersenyum, diusapnya rambut Rianti. Entah mengapa, saat menatap wajah Rianti, hati Ibu tiba-tiba menjadi resah dan khawatir.
Ah, mungkin ini pertama kalinya dia akan berpisah dengan Rianti, pikir Ibu. Ibu menenangkan hati, Rianti akan baik-baik saja.
_bersambung_





Bab 13
#OlimpiadeMenulis
#NulisDiBukulaku
#KMOClub
Hari perpisahan sekolah ....
Sebelum berangkat, Ayah dan Ibu berulang kali mengingatkan Rianti agar tidak pulang terlalu malam. Paling telat jam sepuluh harus sudah sampai di rumah. Mak Ijah pun dititipi banyak catatan, terutama untuk mengawasi Rianti. Ayah dan Ibu sangat berat meninggalkan Rianti di rumah. Ini pertama kalinya mereka berjauhan. Rianti memang bukan anak kecil lagi, tetapi tetap saja Ayah dan Ibu berat meninggalkannya sendiri, padahal Rianti tidak benar-benar sendirian. Ada Mak Ijah yang menemani.
“Ayah, udah jangan lebay gitu, dong. Ayah itu cuma pergi sehari semalem. Besok siang juga udah balik lagi. Lagi pula bentar lagi aku bakal kuliah jauh. Itung-itung latihan.” Rianti menepuk punggung Ayah yang dipeluknya. Ayah mengeratkan pelukannya.
“Apa Ayah batal pergi aja, ya?” Ayah mengulang pertanyaan yang sedari tadi dilontarkannya sembari melepas pelukan. Rianti memutar matanya.
“Terserah Ayah, deh!” ucap Rianti kesal.
“Udah, Yah, insyaa Allah Rianti nggak akan ada apa-apa di sini. Itung-itung latihan juga kan kita berjauhan sama dia.” Ibu mencoba menenangkan Ayah, meski dirinya pun merasa resah.
“Ayah sama Ibu menginap di hotel 'kan?” tanya Rianti.
“Iya, di hotel yang sama tempat resepsi dilangsungkan,” jawab Ibu.
“Nah, anggap aja ini liburan kalian. Honeymoon! Barangkali pulang dari sana aku bisa punya adek!” Rianti bertepuk tangan. Ayah tertawa, matanya berbinar menatap Ibu. Ibu hanya bisa menggelengkan kepala, melihat kelakuan suami dan anaknya.
“Ya udah, Ayah sama Ibu berangkat dulu. Hati-hati di rumah, nanti jangan pulang malem-malem. Ayah bakal pantau kamu terus.” Ayah menggerakkan jari telunjuk dan jari tengah ke arah matanya lalu ke arah mata Rianti.
“Iya, Ayah, Rianti nggak akan pulang malem.” Lagi Rianti memeluk Ayahnya.
“Kalo ada apa-apa segera telepon Ayah Ibu, ya?” Ibu menarik Rianti dari pelukan Ayah. Didekapnya putri tunggalnya dengan kasih sayang. Ibu harap dengan memeluk Rianti rasa resahnya menghilang.
Rianti mengantar Ayah dan Ibu sampai pagar. Mak Ijah berdiri di samping Rianti, melambai pada Ayah dan Ibu yang telah menaiki mobil. Ayah membunyikan klakson sebelum mobilnya meninggalkan halaman rumah.
Selepas Ayah dan Ibunya pergi, Rianti bergegas menuju kamarnya. Dia sibuk memilih pakaian yang akan ia kenakan nanti malam. Setelah membongkar hampir seluruh isi lemarinya, Rianti memutuskan akan memakai kemeja over size berwarna hitam dipadukan dengan celana jeans berpotongan lurus. Simpel saja, Rianti tidak ingin merepotkan dirinya dengan mengenakan pakaian yang tidak membuatnya nyaman.
Tika mengirim pesan, mengingatkan agar ba'da Magrib Rianti harus sudah siap. Dia akan menjemput tepat setelah salat Magrib.
Lela dan Yuni tidak mendapatkan ijin dari kedua orangtua mereka, karena acaranya diadakan di malam hari. Ini pertama kalinya acara perpisahan sekolah diadakan di malam hari, entah apa yang menjadi pertimbangan. Rianti tak ingin pusing memikirkannya, yang terpenting baginya adalah dia harus tampil mempesona di hadapan Mas Tio nanti malam.
$$$
Selesai salat Magrib, Rianti segera merapikan penampilannya. Memoles sedikit make-up pada wajahnya yang ayu. Tidak berlebihan tetapi mampu membuatnya terlihat berbeda. Terbukti kini Mas Top menatapnya tak berkedip, Rianti tersenyum malu-malu. Apalagi saat Mas Tio membukakan pintu mobil untuk Rianti.
Mas Tio mengendarai mobil dengan tenang, di sampingnya Tika duduk dengan manis. Rianti duduk di bangku belakang, memperhatikan interaksi adik beradik itu.
“Acaranya selesai sampai jam berapa?” tanya Mas Tio, matanya melirik ke arah spion tengah. Dilihatnya Rianti yang tampak menawan malam ini.
“Sampe jam sebelasan, Mas. Tapi kayaknya kita nggak sampe selesai, deh. Iya 'kan, Nti?” Tika menoleh ke belakang.
“Iya, aku nggak boleh pulang malem. Bisa-bisa digorok sama Ayah, hehehe ....” Rianti tertawa lepas.
Mas Tio terkekeh mendengar suara tawa Rianti, dan itu berhasil membuat Rianti makin tersipu. Mas Tio lagi-lagi menatap Rianti dari pantulan spion tengah. Cantik. Satu kata yang terbesit di pikiran Mas Tio saat melihat Rianti.
“Mas jemput kita jam setengah sembilan aja, jangan kemaleman,” ucap Tika. Mas Tio melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
“Sekarang hampir jam tujuh malem, berarti kalian cuma satu setengah jam di sana?” tanya Mas Tio. Tika mengangguk.
“Mas capek di jalan, dong. Kalo Mas gabung aja sama kalian boleh, nggak?”
Tika menatap kakaknya dengan heran, kemudian menoleh ke arah Rianti. Menanyakan pendapat Rianti melalui tatapan mata. Rianti mengangguk.
“Oke, deh. Tapi jangan deket-deket aku! Aku mau tebar pesona!” pesan Tika memberi syarat pada kakaknya. Mas Tio terkekeh.
“Emang kamu mau tebar pesona sama siapa? Bulan depan juga udah berangkat kuliah, bakal ninggalin kota ini. Telat!” ledek Mas Tio.
“Ada, deh! Dia bakal kuliah di kota yang sama, tapi beda kampus, sih.”
“Ah, aku tahu! Roni 'kan?” sahut Rianti dari jok belakang. Tika menempelkan telunjuk di depan bibirnya, meminta Rianti tutup mulut.
“Oke, deh, Mas nurut aja. Dari pada nggak boleh masuk, cuma dijadiin sopir, iya nggak, Rianti?” tanya Mas Tio sembari melirik Rianti dari spion tengah. Rianti mengangguk singkat.
“Kamu nggak pantes malu-malu kayak gitu! Biasanya juga bikin malu,” ledek Tika.
“Apaan, sih, Tik! Bikin imej aku jelek aja,” sungut Rianti. Tika terbahak, kemudian mengatakan sesuatu yang membuat Rianti merona.
“Nanti Mas Tio jangan jauh-jauh dari Rianti. Kalo perlu digandeng, biar nggak ada cowok yang deketin dia.” Tika tersenyum lebar, dia senang bisa membuat kakak dan sahabatnya menjadi dekat. Dada Rianti berdegup kencang mendengar ucapan Tika.
“Emang nanti nggak ada yang marah kalo Mas deket-deket kamu?” tanya Mas Tio pada Rianti.
“Nggak ada! Rianti itu cuma mau sama Mas Tio!” jawab Tika dengan cepat sebelum Rianti menjawab pertanyaan Mas Tio.
“Ya ampun, Tika, jangan bikin aku malu ....” Rianti menutup wajahnya. Mas Tio tersenyum tipis melihat tingkah Rianti.
Mobil mereka memasuki area parkir Gedung Wanita. Mas Tio memarkir mobil di bawah pohon beringin besar yang dihias lampu gantung warna-warni. Suasana angker yang biasanya melekat pada pohon beringin berganti menjadi suasana meriah dan hangat. Meski tetap temaram, tetapi suasana hangat begitu terasa. Ditambah dengan alunan lagu yang terdengar dari dalam gedung.
Lagi-lagi Mas Tio memperlakukan Rianti layaknya seorang putri dan membuat Tika cemburu. Mas Tio membukakan pintu mobil untuk Rianti, tetapi adiknya malah diacuhkan.
“Duh, belum jadian aja kakakku udah jadi bucin,” gerutu Tika. Dia melangkah lebih dulu memasuki gedung, meninggalkan Rianti dan Mas Tio. Rianti langsung salah tingkah setelah ditinggal Tika. Ini kali pertamanya berduaan dengan Mas Tio. Mas Tio berdeham, tanpa meminta izin dia menggandeng tangan Rianti.
Per sekian detik Rianti hanya diam. Matanya menatap telapak tangannya yang digenggam oleh Mas Tio. Rasanya hangat, meski tak sehangat genggaman tangan Ayah.
“Astaghfirullah!” Rianti melepas genggaman tangan Mas Tio.
“Kenapa dilepas?” tanya Mas Tio keheranan.
“Maaf, Mas, bukan muhrim. Kita jalan sampingan aja, tangan aku nggak usah digandeng,” ucap Rianti pelan, ada rasa tak enak hati melihat wajah Mas Tio yang kecewa.
Mas Tio mengangguk singkat, kemudian mempersilahkan Rianti berjalan lebih dulu.
Dalam keremangan malam, Mas Tio tersenyum sinis menatap tubuh Rianti yang makin menjauh.


Bab 14
#olimpiademenulis
#nulisdibukulaku
#kmoclub
Malam pesta perpisahan sekolah ....
Selama acara berlangsung, Mas Tio tidak pernah jauh dari Rianti. Selalu berdiri di samping Rianti. Jika ada yang bertanya siapa dia, Mas Tio akan mengaku sebagai teman dekat Rianti. Yang tentu saja membuat hati Rianti berbunga-bunga. Rasanya seperti mimpi, lelaki yang selalu diimpikannya kini berada di samping Rianti. Meski tidak ada sentuhan fisik, tetapi semua orang bisa melihat betapa Mas Tio memperlakukan Rianti dengan istimewa.
Pukul sembilan malam, mereka sepakat untuk pulang. Setengah jam lebih lama dari rencana awal. Rianti dan Tika memeluk erat beberapa teman perempuan mereka sebagai salam perpisahan. Doa dan harapan agar mereka bisa berkumpul kembali terucap dari mulut anak-anak berusia remaja itu. Mas Tio ijin untuk keluar lebih dulu ingin membeli minuman dingin di minimarket seberang gedung.
“Ciee ... gimana tadi sama Rian? Sukses nggak dapet nomor kontaknya?” tanya Rianti setengah meledek pada Tika.
“Harusnya aku yang tanya. Gimana rasanya dikawal sama Mas Tio? Aku jadi adeknya aja nggak pernah diperlakukan kayak gitu, loh!” Tika mencebikan bibirnya. Rianti terkikik melihat sahabatnya kesal seperti itu. Keduanya menunggu di samping mobil, Mas Tio belum kembali dari minimarket.
“Aku nggak nyangka kita bakal satu kampus, bosen banget nggak, sih, ketemu kamu lagi?” tanya Tika sambil tersenyum sinis meledek Rianti.
“Ck! Kamu pikir aku nggak bosen apa?” balas Rianti.
“Kamu nggak bakalan bosen! Mas Tio pasti bakalan sering nengokin aku, itu artinya bakal sering ketemu kamu. Kamu pasti seneng. Iya kan?” Tika menoel hidung Rianti, Rianti menepis tangan Tika. Wajahnya tersipu malu.
“Ada apa, nih, nama Mas disebut-sebut?” Mas Tio datang dengan membawa kantong berisi minuman dingin di tangan. Dia memberi sebotol minuman kopi untuk Tika, dan sebotol minuman teh untuk Rianti. Kemudian ketiganya masuk ke dalam mobil, bersiap untuk pulang.
Tika berdecak kesulitan membuka tutup botol, dan semakin kesal ketika melihat Rianti tanpa kesusahan membuka tutup botol minuman dan langsung meminumnya.
“Kok, kamu gampang banget bukanya? Mas tolong bukain.” Tika menyodorkan botol minumannya pada Mas Tio yang baru saja menyalahkan mesin mobil.
“Punyaku udah dibuka,” jawab Rianti. Dahi Tika mengerut heran mendengar jawaban Rianti.
“Tadi sama Mas udah dibuka, biar Rianti nggak kesusahan,” jawab Mas Tio sembari menjulurkan botol minuman pada Tika.
“Curang! Punya aku kenapa nggak dibukain!” omel Tika. Mas Tio terkekeh pelan, menepuk puncak kepala Tika. Di jok belakang Rianti tersipu bahagia diperlakukan istimewa oleh Mas Tio.
Keadaan lalu lintas cukup lenggang malam ini, tetapi Mas Tio menjalankan mobilnya dengan kecepatan rendah. Hal itu membuat Tika kembali mengomel.
“Mas, jalannya cepetan dikit. Aku kebelet.”
“Kamu berisik banget sih, ngomel terus dari tadi!” keluh Mas Tio.
“Anterin aku dulu, setelah itu Mas anter Rianti. Aku udah nggak kuat nahan,” pinta Tika, duduknya mulai gelisah karena menahan dorongan dari kantung kemihnya.
“Emang rencana Mas gitu, anterin kamu duluan,” jawab Mas Tio santai. Matanya melirik ke arah spion tengah. Rianti duduk manis dengan mata terpejam.
“Iya, asal jangan dibawa maen dulu Riantinya. Udah malem,” sahut Tika. Mas Tio hanya tersenyum simpul.
Mas Tio menaikan kecepatan mobilnya. Tak sampai lima belas menit mereka sampai di halaman rumah Tika. Tanpa pamit pada Rianti, Tika langsung terbirit keluar dari mobil. Mas Tio tidak langsung menjalankan mobilnya. Dia menoleh ke belakang, menepuk lutut Rianti.
“Rianti? Kamu ngantuk?” tanya Mas Tio.
“Ah, iya, Mas, lumayan agak ngantuk. Masih kuat melek, kok,” jawab Rianti, berusaha membuka kelopak matanya.
“Di rumah ada siapa?” tanya Mas Tio, masih belum menjalankan mobilnya.
“Ada Mak Ijah, tapi aku bawa kunci sendiri.” Rianti mengeluarkan kunci rumah dari tas selempangnya. Tanpa sadar memberikan kunci itu pada Mas Tio. Tak lama kemudian mata Rianti kembali terpejam. Mas Tio tersenyum miring.
Mas Tio menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang, hanya beberapa menit sudah sampai di halaman rumah Rianti yang tampak sepi. Kembali Mas Tio mencoba membangunkan Rianti dengan menepuk lututnya.
“Rianti ... udah sampe, nih. Ayo bangun.” Rianti tak menjawab. Mas Tio membuka pintu samping Rianti. Menepuk pelan pipi Rianti, Rianti membuka matanya perlahan. Sedikit terkejut karena wajah Mas Tio berjarak sangat dekat dari wajahnya.
“Udah sampe, Mas?” tanya Rianti. Mas Tio mengangguk singkat setelah menjauhkan wajahnya.
“Kamu bisa jalan sendiri?” tanya Mas Tio.
“Iya, dong, aku kan cuma ngantuk bukan mabuk.” Rianti keluar dari mobil, tetapi kakinya terasa lemas. Hampir saja Rianti terjatuh jika Mas Tio tidak menopang tubuhnya.
“Maaf, Mas, jadi ngerepotin. Mataku ngantuk berat sampe lemes gini,” ucap Rianti lirih.
“Aku bantu ya, maaf aku harus pegang bahu kamu.” Mas Tio memapah Rianti. Tanpa mengetuk pintu, Mas Tio langsung membuka pintu dengan kunci yang tadi diberikan Rianti. Rianti hampir tak bisa membuka matanya. Dia masih bisa mendengar suara itu artinya dia belum terlelap tetapi kelopak matanya sangat sulit dibuka. Seperti ada lem yang merekat.
“Kamar kamu di mana?” bisik Mas Tio di telinga Rianti. Bulu kuduk Rianti meremang. Namun dia tidak punya tenaga untuk menjauh.
“Rianti, kamar kamu di mana?”
“Di sana, pintu warna putih,” tunjuk Rianti pada sebuah pintu bercat putih. Senyum Mas Tio tersungging.
Dengan sedikit terburu-buru Mas Tio memapah Rianti menuju kamarnya. Membuka pintu lalu menyalakan skalar lampu. Rianti ditidurkan pada kasur berlapis sprei berwarna biru langit. Mas Tio menepuk pipi Rianti beberapa kali, memastikan kondisi Rianti. Rianti tidak merespon, sepertinya kini dia benar-benar terlelap dalam tidur.
Sementara itu di ujung kota, di sebuah jalan provinsi, sebuah mobil melaju dengan kecepatan sedang. Sang pengendara beberapa kali membunyikan klakson ketika ada pengendara lain yang menghalangi jalannya. Ingin rasanya dia menekan pedal gas lebih dalam, tetapi bidadari di sampingnya terus memintanya agar berhati-hati.
“Ayah, pelan ya. Insya Allah Rianti baik-baik aja.” Ibu mengeratkan pegangannya pada sabuk pengaman yang melingkar di tubuhnya.
“Kenapa Mak Ijah tiba-tiba berhalangan? Padahal udah Ayah wanti-wanti agar jangan biarkan Rianti sendirian di rumah!” gerutu Ayah. Tangannya menekan klakson dengan kencang ketika ada sepasang kekasih berboncengan motor yang menghalangi laju mobilnya.
“Ya namanya juga urusan mendadak. Tiba-tiba aja anaknya dateng, orangtua mana yang nggak seneng. Pengen ketemu sama anak,” jelas Ibu. Ayah cemberut mendengar ucapan Ibu yang seolah-olah membela Mak Ijah.
“Rianti masih belum dihubungi, Bu?” tanya Ayah.
“Belum, tapi Ibu berhasil hubungi Tika. Katanya Rianti sedang diantar sama kakaknya.”
Mendengar penjelasan dari Ibu, hati Ayah semakin cemas. Kenapa Rianti diantar oleh seorang pria dan dibiarkan berduaan? Sedangkan keadaan rumah sedang kosong. Ingin rasanya dia memaki pada Tika. Kenapa dia tidak ikut mengantar Rianti pulang? Sejak Mak Ijah memberi kabar bahwa dia tidak bisa menemani Rianti malam ini, Ayah langsung panik. Setelah meminta maaf pada kakak sulungnya, Ayah langsung izin untuk pamit pulang lebih cepat. Untung saja acara akad nikah telah dilakukan, setidaknya Ayah masih bisa mendampingi kakak sulungnya melepas putra bungsunya ke jenjang pernikahan.
Ayah bisa bernapas sedikit lega ketika pintu pagar rumahnya mulai terlihat. Namun, ketika melihat sebuah mobil terparkir di sana, hatinya kembali resah. Setelah menarik rem tangan tanpa mematikan mesin mobil, Ayah segera melesat masuk ke dalam rumah. Pintu depan tidak terkunci. Ruang tamu dalam keadaan sepi, tidak ada satu orang pun di sana. Kegelisahannya semakin bertambah. Di mana Rianti dan lelaki itu?
Ayah melangkah menuju kamar Rianti, kakinya sedikit bergetar. Dalam hati dia terus berdoa, semoga anak gadisnya tidak ada di sana. Saat pintu kamar terbuka, bola matanya membesar.
“Brengsek!!”
_bersambung_


Bab 15
#OlimpiadeMenulis
#NulisDiBukulaku
#KMOClub
Cerita masih bergulir di malam naas itu ...
Ayah menarik tubuh lelaki yang sedang 'bermain' dengan tubuh Rianti. Darahnya mendidih melihat anaknya diperlukan tidak senonoh seperti itu. Pukulan demi pukulan dia berikan pada putra Pak Kades itu. Ibu datang tergopoh-gopoh, menahan Ayah agar tidak lepas kendali. Teriakan dan suara tangis ibu menarik perhatian tetangga sekitar. Pak RT yang tinggal persis di sebelah rumah, adalah orang yang pertama kali datang. Disusul oleh beberapa tetangga yang sedang siskamling, memenuhi kamar Rianti. Untung saja Ibu sempat menyelimuti tubuh Rianti. Kemejanya telah terlepas, tubuh bagian atasnya nyaris polos saat Ayah datang tadi.
Ibu menangis memeluk Rianti yang masih tertidur. Rianti sama sekali tidak bergerak, terpejam seperti pingsan.
Mas Tio digiring ke rumah Pak RT, ayah Yuni, sedangkan Ayah ditenangkan oleh Ustadz Zaky yang kebetulan sedang piket siskamling bersama warga.
Mas Tio duduk menunduk dengan wajah lebam, di depannya Pak RT menatapnya tak percaya. Siapa sangka putra Pak Kades yang selalu dibanggakan warga berbuat asusila.
“Mas.” Pak RT menarik napas panjang, beliau ikut terguncang melihat kejadian tadi, ini pertama kalinya di kampung mereka. ”Bisa dijelaskan apa yang sedang kamu lakukan di sana?”
Mas Tio diam malah makin menundukkan wajahnya.
“Kenapa Pak RT masih tanya seperti itu?! Sudah jelas dia akan merusak anak gadis saya!” Ayah berteriak sambil memukul kepala Mas Tio.
“Istighfar Pak Rozak, sabar. Jangan terbawa emosi,” nasehat Ustadz Zaky.
“Bagaimana saya bisa tenang, Tadz. Rianti anak saya satu-satunya, saya jaga dia sepenuh hati. Bajingan itu malah ingin merusaknya!” teriak Ayah yang tidak bisa lagi mengendalikan air matanya. Ustadz Zaky tidak berkata, hanya diam sambil menepuk punggung Ayah agar tetap tenang. Beberapa warga yang ada di situ mulai berbisik. Mereka semua tak menyangka kelakuan putra Pak Kades seburuk ini.
“Ada apa ini?” Pak Kades datang didampingi oleh istrinya. Salah seorang warga memanggilnya.
“Kenapa muka kamu bonyok begini, Yo?” tanya istri Pak Kades, dia langsung duduk di samping Mas Tio lalu memeriksa kondisi wajah anaknya yang lebam.
“Maaf, Pak Kades, tadi putra bapak terpergok sedang melecehkan putri Pak Rozak,” jawab Pak RT.
“Itu tidak mungkin! Anak saya lelaki terhormat, saya didik dia untuk menghormati perempuan,” sahut istri Pak Kades dengan berapi-api.
“Saya sendiri yang memergokinya, Bu! Saya lihat dengan kepala saya sendiri, dia sedang ....” Ayah mengusap air matanya, “dia sedang menciumi anak saya.”
“Di mana kejadiannya?” tanya Pak Kades, ada kemarahan dalam suaranya.
“Di rumah saya, di kamar tidur anak saya,” jawab Ayah. Pak Kades menatap Ayah Rozak tanpa suara, dia sendiri cukup kaget dan terkejut dengan keadaan ini.
“Bagaimana ceritanya mereka bisa berduaan di sana?” tanya Pak Kades lagi setelah terdiam beberapa saat. Kali ini ada sedikit kesan merendahkan dalam nada bicaranya.
Belum sempat Ayah menjawab, Mas Tio yang sedari tadi diam akhirnya buka suara.
“Rianti yang mengajak saya ke kamarnya, Pak. Kami melakukannya atas dasar suka sama suka,” ucap Mas Tio, alisnya terangkat satu saat menatap wajah Pak Kades. Diakhiri dengan senyum sinis yang dibalas Pak Kades dengan anggukan. Kemudian Mas Tio menunduk lagi.
“Jangan sembarangan bicara! Anak saya gadis baik-baik!” Ayah bangkit dari duduknya. Begitu pun istri Pak Kades.
“Anak saya juga lelaki baik-baik, Pak! Lagi pula kalau anak Pak Rozak tidak membukakan pintu, bagaimana bisa anak saya masuk ke rumah bapak apalagi sampai ke dalam kamar?!”
Bisik-bisik semakin kencang. Yang awalnya mereka menyalakan putra Pak Kades, kini mereka mulai menyudutkan Rianti.
“Sampai saat ini anak saya masih tertidur pulas, kata mantri desa sepertinya dia diberi obat tidur,” ucap Ibu yang tiba-tiba datang dengan dipapah oleh istri Pak RT.
“Orang yang terakhir bersama anak saya adalah anak Pak Kades, sudah pasti dia pelakunya yang telah memberikan obat tidur pada anak saya!” Ada getar emosi dalam suara Ibu yang lantang.
“Jangan mengada-ada, mana buktinya kalau anak saya melakukan hal seperti itu!” balas Bu Kades tak kalah lantang.
“Setahu saya, mereka pergi bertiga dengan Tika anak bungsu kami. Tika akan menjadi saksinya, ibu jangan menuduh tanpa bukti.” Pak Kades menarik kacamatanya yang melorot. Matanya tajam menatap mantri desa yang turut hadir di sana.
“Apanya yang menuduh tanpa bukti, Pak Kades. Saya melihat sendiri bagaimana perlakuan putra bapak terhadap anak saya!” Tangan Ayah Rozak terkepal, tubuhnya menegang, dia berusaha sekuat mungkin agar tidak memaki pemimpin di desanya itu.
“Iya, saya tahu. Sebagai orangtua dari Tio, saya mengucapkan permintaan maaf atas kelakuan anak saya. Tapi ...” Pak Kades menatap tajam Ayah Rozak, “jika ternyata mereka melakukannya suka sama suka, kita tutup kasus ini. Tidak ada tuntutan, kecuali jika Pak Rozak ingin berbesanan dengan saya, saya siap.”
Ayah Rozak mendengus kasar, tak peduli jika dianggap tidak sopan. Dia sungguh merasa muak. Sudah jelas bahwa Rianti hampir diperkosa dengan cara diberikan obat tidur, tetapi kenapa sekarang seolah itu dilakukan atas suka sama suka.
“Bapak, Ibu, ada apa aku dipanggil ke sini?” tanya Tika. Mata Tika membesar melihat wajah kakak lelakinya.
“Tika, saya mau tanya, kenapa kamu tidak ikut mengantar Rianti pulang?” tanya Ayah Rozak.
“Aku kebelet ingin buang air kecil, Paman, jadi aku dianter lebih dulu. Memangnya kenapa?” tanya Tika.
“Kakakmu hampir saja melecehkan Rianti!” Tika menutup mulutnya dengan telapak tangan, dia menggeleng cepat.
“Itu belum terbukti Pak Rozak!” kilah Pak Kades.
“Itu nggak mungkin! Mas Tio bukan orang seperti itu!” Tika berteriak histeris. Dia menatap wajah kakaknya, dilihatnya sang kakak yang menunduk seolah lelah telah dituduh macam-macam.
“Kami melakukannya suka sama suka,” jawab Mas Tio lirih. Dengan tatapan sendu Mas Tio menatap Tika.
“Kamu saksinya, Tika. Bagaimana kelakuan Rianti mendekati Mas selama ini. Dia menyerahkan dirinya pada Mas, menggoda sampai menarik Mas ke dalam kamarnya,” ucap Mas Tio.
“Brengsek!” teriak Ayah Rozak geram. Ibu hanya bisa menangis di samping Ayah.
“Iya, Paman, aku nggak bohomg. Rianti memang menyukai Mas Tio sejak kelas sepuluh. Rianti tergila-gila pada Mas Tio,” jelas Tika. Bisik-bisik pun makin terdengar kencang. Kini mereka terang-terangan menyebut Rianti anak gadis yang centil. Ayah dan Ibu menggeleng, menolak tuduhan mereka. Rianti, anak mereka lah yang menjadi korban. Kenapa mereka malah berkata buruk tentang Rianti?
“Iya, Rianti memang mengejar Mas Tio. Tapi Rianti tidak mungkin melakukan hal serendah itu! Bersentuhan dengan lelaki yang bukan mahramnya saja dia nggak mau!” bantah Lela yang diiyakan oleh Yuni. Tika melotot pada kedua sahabatnya itu.
“Pak Mantri tolong dijelaskan secara medis, apa penyebab Rianti masih juga belum bangun dari tidurnya? Secara normal, Rianti tidak mungkin hanya diam dan tetap tertidur setelah keributan malam ini.” Lela berdiri tegak menantang Pak Kades dan keluarganya. Tidak peduli jika dia akan kehilangan Tika sebagai sahabatnya. Baginya kebenaran harus diungkap.
Mantri desa terlihat gugup, beberapa kali dia megusap dahinya lalu melirik ke arah Pak Kades yang menatapnya penuh ancaman.
“Em ... sepertinya Rianti terlalu lelah sampai tidur pulas.” Sontak perkataan mantri desa membuat orangtua dan kedua sahabat Rianti berang. Berbanding terbalik dengan reaksi keluarga Pak Kades yang tersenyum sinis.
“Jangan memberikan saksi palsu, Pak Mantri,” ucap Ustadz Zaki mengingatkan. Dia tersenyum tulus pada mantri muda yang baru menjabat itu. Mantri makin terlihat gugup dan salah tingkah. Namun sebelum mantri desa mengubah kesaksiannya, Pak Kades telah memutuskan agar kasus ini ditutup. Dia hanya memberi pertangungjawaban dalam bentuk pernikahan antara Mas Tio dan Rianti.
Tanpa mempedulikan makian dari Ayah Rozak dan Ibu, keempat orang tersebut meninggalkan rumah Pak RT.
_bersambung_





Bab 16
#OlimpiadeMenulis
#NulisDiBukulaku
#KMOClub
Keesokan hari setelah malam naas itu ....
Semalam adalah malam yang berat bagi orangtua Rianti. Keduanya duduk di samping Rianti yang masih terlelap yang entah kapan akan terjaga. Ibu menggenggam tangan Rianti lalu menciuminya, sedangkan Ayah mengelus rambut hitam Rianti dengan lembut. Mereka telah membawa Rianti ke rumah sakit umum daerah agar divisum dan diperiksa. Hasilnya sama dengan dugaan awal mantri desa sebelum ditekan oleh Pak Kades. Yaitu Rianti dalam pengaruh obat tidur dosis tinggi. Entah dari mana lelaki bejat itu mendapatkan obat tersebut.
Mata Ayah dan Ibu bengkak dan memerah, tanda mereka terus menangis dan tidak tidur semalaman. Pak RT dan Ustadz Zaki sempat menemani mereka di rumah sakit sampai dini hari tadi, tetapi Ayah memaksa mereka untuk pulang dan beristirahat di rumah.
Sudah pukul tujuh pagi, Rianti belum juga terjaga. Dokter bilang, obat tidur yang diberikan pada Rianti berefek hampir sama seperti obat bius. Ayah semakin marah dan geram mendengar penjelasan dokter. Ayah bertekad akan menuntut keadilan untuk Rianti. Rianti itu korban, dia harus mendapatkan keadilan. Pak Kades memang akan bertanggungjawab dengan menikahkan Rianti dengan putranya yang amoral itu, tetapi bukan itu yang diinginkan Ayah. Ayah ingin nama Rianti kembali baik. Rianti dilecehkan sepihak bukan tindakan suka sama suka. Dia ingin pelaku dihukum agar tidak ada korban lain.
Rianti mengerang, matanya terbuka dengan perlahan. Ayah dan Ibu menatap haru. Rianti sedikit kebingungan melihat orangtuanya menangis, mulutnya terbuka namun hanya erangan yang keluar dari mulutnya.
“Rianti anak ayah, kamu sudah sadar?” tanya Ayah, matanya berkaca-kaca. Di samping Ayah, Ibu menangis tersedu. Rianti ingin mengusap air mata Ibu, tapi kenapa tangannya terasa lemas? Rianti haus, tenggorokannya kering. Rianti ingin meminta tolong pada Ibu mengambilkannya air minum, tapi kenapa suaranya tidak bisa keluar?
Rianti kembali mengerang. Samar-samar Rianti teringat sesuatu. Rianti ingat dirinya baru saja menghadiri acara perpisahan sekolah. Lalu ... kenapa sekarang ia ada di sini? Rianti melihat sekelilingnya, ruang bercat putih ini bukan kamarnya. Aku di rumah sakit? Tanya Rianti dalam hati.
“Rianti, kamu mau minum?” tanya Ibu yang dijawab anggukan oleh Rianti. Ayah segera membantu Rianti duduk. Dengan menyandar pada bahu tegap Ayah, Rianti meminum air putih yang diberikan Ibu.
“Bu, kenapa aku ada di sini?” Akhirnya Rianti dapat mengeluarkan suara dari mulutnya.
“Kamu nggak inget apa yang kamu alami?” tanya Ayah dengan hati-hati. Rianti tidak langsung menjawab pertanyaan Ayah, matanya menerawang.
“Aku pergi ke acara perpisahan sekolah terus ... kok, Ayah sama Ibu ada di sini? Harusnya kalian lagi honeymoon?” tanya Rianti dengan wajah jenaka menggoda Ayahnya. Namun bukannya tertawa atau sewot, Ayah malah menatapnya dalam-dalam dengan mata berkaca-kaca.
“Ayah ...” Rianti melirik ke arah Ibu yang juga ikut menangis, “Ibu, kalian kenapa? Kenapa kalian nangis? Hiks ....” Rianti ikut menangis meski tak tahu apa penyebabnya.
Kedua orangtuanya memeluk erat, tangis Rianti makin kencang. Hatinya resah, entah kenapa dia merasa sedih meski tidak bisa mengingat apa yang terjadi pada dirinya.
Ayah lebih dulu melepas pelukan mereka. Dihapusnya airmata yang membasahi pipi Rianti.
“Ayah boleh tanya?” Rianti mengangguk.
“Semalam kamu pulang diantar siapa?”
Rianti mengerutkan dahi mendengar pertanyaan Ayah, tetapi dia berusaha mengingat dengan siapa dia pulang semalam.
“Tika sama Mas Tio. Memangnya kenapa, Yah? Mereka nggak kecelakaan 'kan? Ini nggak kayak di sinetron 'kan, yang tiba-tiba aja aku hilang ingatan?!” tanya Rianti heboh. Ayah dan Ibu tersenyum, setidaknya Rianti masih ceria seperti biasanya. Semoga hari-hari Rianti ke depan tidak merubah kepribadiannya yang periang ini.
“Nggak, Nak. Coba kamu inget-inget lagi. Kamu pulang diantar siapa?” tanya Ayah sekali lagi.
“Ah, iya, aku diantar Mas Tio karena Tika kebelet jadi minta diantar duluan,” jawab Rianti mantap dengan wajah sedikit tersipu. Ayah dan Ibu meringis melihat anak gadis mereka tersipu malu. Andai Rianti tahu apa yang telah dilakukan oleh lelaki yang disukainya itu, apakah wajah tersipu bahagia itu akan bertahan?
“Lalu apa lagi yang kamu ingat?” tanya Ayah. Rianti terdiam sejenak lalu menggeleng.
“Aku nggak inget, Yah. Soalnya aku tiba-tiba ngantuuuk banget. Badan sampe lemes. Ah, iya! Mas Tio bantu aku turun dari mobil,” jawab Rianti antusias. Matanya berbinar bahagia menceritakan kejadian semalam yang membuatnya melayang karena perhatian Mas Tio. Namun saat melihat wajah kedua orangtuanya yang sendu, Rianti merubah raut wajahnya.
“Aku nggak ngapa-ngapain, kok, Yah. Beneran! Kalo nggak percaya, tanya aja sama Mak Ijah.” Rianti mengangkat tangan kanannya dan membentuk simbol victory dengan telunjuk dan jari tengahnya.
Tanpa kata Ibu memeluk Rianti, isakan Ibu terdengar jelas di telinga Rianti.
“Ibu ... sebenernya ini ada apa?” Rianti merasa heran dengan sikap kedua orangtuanya. Pasti sesuatu telah terjadi semalam dan ia tidak mengingatnya.
“Semalam Mak Ijah nggak ada di rumah, Nak. Kamu sendirian di sana. Dan lelaki itu memanfaatkan kesempatan untuk mengerjai kamu,” jawab Ayah.
“Maksud Ayah?” tanya Rianti heran.
“Andai Ayah tidak segera datang, kamu pasti sudah tidak utuh lagi sekarang. Ayah datang tepat waktu, alhamdulilah Allah masih melindungi putri Ayah ini.” Ayah menepuk puncak kepala Rianti dengan senyum yang dipaksakan.
“Ayah, aku nggak ngerti. Maksudnya gimana?”
Dokter dan perawat datang menginterupsi percakapan mereka. Rianti terpaksa harus menelan rasa penasarannya. Pembicaraan mereka berhenti sampai sore hari saat Rianti diperbolehkan pulang oleh dokter.
Suasana di dalam mobil hening. Rianti yang biasanya cerewet dan tidak mau diam, memilih untuk menyandarkan kepalanya pada senderan jok. Matanya terpejam tetapi pikirannya melayang pada kejadian semalam. Ada potongan ingatan yang terlintas. Namun Rianti ragu, apakah itu nyata atau hanya bunga tidur? Yang Rianti sangat ingat adalah semalam dia benar-benar diserang rasa kantuk yang tidak biasa.
Ayah menghentikan mobil persis di depan toko kelontongnya yang terletak di samping rumah. Toko hari ini tutup. Pada pintu toko yang berjenis rolling door, ada tulisan besar berwarna merah.
‘Gadis kotor, lebih baik kamu pergi dari kampung kami!’
Ayah bergegas turun, lalu mendatangi beberapa wanita yang berkerumun di depan tokonya.
“Ini siapa yang tulis?” tunjuk Ayah pada pintu tokonya. Mereka semua menggeleng kemudian mereka melenggang pergi. Ketika Ibu menyapa, mereka membuang muka. Rianti yang melihat itu merasa heran. Kenapa para tetangganya bersikap dingin seperti itu?
“Dari pada penasaran, aku turun aja, deh!” Rianti membuka pintu mobil, menghampiri kedua orangtuanya yang sedang saling pandang dengan raut wajah sendu.
“Ayah, Ibu, ada apa? Kok, mereka sinis begitu?” tanya Rianti. Ayah menggeleng dengan senyum kaku. Ibu hanya mengelus lengan Rianti, lalu mengajaknya masuk ke rumah.
“Rianti!” panggil Yuni dari pagar rumahnya. Rianti membalas dengan lambaian. Dengan sedikit berlari Yuni menghampiri Rianti. Ayah dan Ibu memilih untuk masuk lebih dulu, meninggalkan Rianti bicara dengan Yuni.
“Kamu udah pulang? Masih pusing? Kamu baik-baik aja 'kan? Ada yang sakit?” Yuni membordir Rianti dengan banyak pertanyaan. Kecemasan terlihat jelas dari wajah Yuni.
“Ish! Satu-satu, dong, nanyanya. Bingung, nih, aku jawab yang mana dulu?” jawab Rianti sambil mengomel. Yuni tersenyum lega melihat sahabatnya terlihat baik-baik saja. Bahkan masih cerewet seperti biasa. Yuni langsung memeluk Rianti, mengucapkan rasa syukur di telinga Rianti.
“Yuni! Jangan deket-deket sama dia! Nanti kamu ketularan liar!” Tiba-tiba seorang tetangga mereka datang sambil menarik Yuni menjauh dari Rianti.
“Maksud Bibi apa?” tanya Rianti bingung.
“Jangan sok polos! Kamu menuduh orang lain padahal kamu pelaku sebenarnya!” bentak wanita yang biasa dipanggil Bi Ida oleh kedua gadis itu.
“Bi!” hardik Yuni. Namun Bi Ida tetap melayangkan cercaan pada Rianti yang masih terlihat bingung.
“Aku tahu siapa kamu sebenarnya!” teriak Bi Ida. Rianti menggeleng, dia sama sekali tidak mengerti mengapa dia dimaki seperti ini. Yuni menarik Rianti agar berdiri di belakangnya. Lalu tiba-tiba saja beberapa ibu-ibu tukang gosip di lingkungan mereka mendekat.
“Kamu sudah tidak utuh! Kamu rusak! Nggak akan ada lelaki yang menerima kamu!
“Harusnya kamu mati!”
“Iya, nuduh dilecehkan padahal kamunya juga doyan!”
Makian dan hinaan datang bertubi-tubi, Rianti menggeleng sambil menutup telinganya. Rianti berteriak histeris, Yuni mencoba menenangkan. Namun Rianti semakin histeris. Ayah dan Ibu berlari dari dalam rumah, begitupun orangtua Yuni. Sekelompok ibu-ibu itu langsung membubarkan diri saat Pak RT, ayah Yuni, mendekat.
“Ayah, Ibu, aku takut,” ucap Rianti sebelum dia hilang kesadaran.
_bersambung_


Bab 17
#OlimpiadeMenulis
#NulisDiBukulaku
#KMOClub
Akhir dari kisah masa lalu ....
Rianti masih tertidur saat Ibu datang membawa sepiring sarapan. Semalam Rianti banyak menangis, setelah tersadar dari pingsannya. Dia memaksa Ayah dan Ibu untuk menceritakan apa yang terjadi pada malam itu. Rianti bingung dan kaget ketika tiba-tiba saja mereka memaki dan menghinanya. Setelah mendengar penjelasan Ayah dan Ibu, Rianti berteriak histeris. Dia menggosok tubuh bagian atasnya dengan kasar. Rianti merasa jijik pada tubuhnya sendiri. Ibu memeluknya erat, menenangkan Rianti yang terus berteriak. Ayah membisikkan kata-kata penyemangat. Butuh waktu cukup lama untuk menghentikan tangis Rianti, jiwanya terguncang.
“Rianti, bangun, Sayang. Sarapan dulu. Ini Ibu buatkan nasi goreng kesukaanmu.” Ibu menggoyang tubuh Rianti. Rianti melenguh sembari mengucek matanya.
“Sudah pagi, Bu?” tanya Rianti, dia duduk dengan mata yang kembali terpejam.
“Ayo, cuci muka dulu, lalu sarapan. Kamu ini dari tadi susah dibangunin sampe nggak salat Subuh!” omel Ibu. Rianti membuka matanya, lalu menatap wajah Ibu.
“Bu, maafin aku, aku sudah bikin Ayah sama Ibu malu.” Mata Rianti kembali berkaca-kaca.
“Sudah jangan nangis lagi. Mata kamu sudah bengkak begini. Ayo cepat cuci muka.” Ibu menarik tangan Rianti. Dengan malas-malasan Rianti bangun, berjalan menuju kamar mandi.
Setelah cuci muka dan menggosok gigi, Rianti menghabiskan sarapan dengan lahap. Ibu tersenyum, diusapnya rambut panjang Rianti.
“Langsung mandi ya, setelah itu kita ke rumah Pak RT,” ucap Ibu sambil membereskan bekas sarapan Rianti.
“Ada acara apa?” tanya Rianti. Ibu menghela napas perlahan, ditatapnya wajah Rianti. Hatinya teriris, melihat anaknya dilecehkan tetapi digunjing seolah dia pelakunya. Ayah dan Ibu akan meminta bantuan Pak RT untuk menindaklanjuti kejadian kemarin.
“Ibu sama Ayah, ingin minta bantuan Pak RT untuk menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Karena Pak RT adalah saksi pada malam itu. Yang orang-orang bilang tentang kamu itu salah. Kamu adalah korban.”
“Tapi aku takut, Bu. Aku di rumah aja.” Bibir Rianti melengkung ke bawah, menahan tangis.
“Ada Ayah juga Ibu. Kamu jangan takut. Ayo, sekarang kamu mandi.” Ibu mendorong tubuh Rianti ke dalam kamar mandi.
&&&
Pertemuan yang diharapkan akan membuat situasi menjadi kondusif, justru malah membuat Rianti semakin terpuruk. Awalnya pertemuan itu hanya dihadiri oleh Pak RT, Ustadz Zaki, dan Bi Ida, perwakilan dari sekelompok ibu yang kemarin mencaci Rianti. Orangtua Rianti menjelaskan peristiwa yang sesungguhnya dengan saksi Pak RT dan Ustadz Zaki. Namun siapa sangka, tiba-tiba datang Pak Kades dan keluarga beserta pengacara sebagai kuasa hukum dari Mas Tio.
Kronologis kejadian yang dijelaskan Pak RT dan Ustadz Zaki sebagai saksi mata, dibantah keras oleh pihak Pak Kades. Mas Tio bersikeras bahwa ia melakukannya atas ijin Rianti. Bahkan dia menambahkan bahwa Rianti lah yang merayunya. Pernyataan Mas Tio didukung oleh Tika. Tika membeberkan chat percakapannya dengan Rianti yang berisi keinginan Rianti mendekati Mas Tio. Jika dilihat dari isi chat itu, siapapun akan menerima pembelaan Mas Tio. Rianti sendiri mengakui, dia pernah berkata seperti itu. Rianti akan melakukan apapun untuk menarik perhatian Mas Tio, tetapi tidak dengan menyerahkan kehormatannya.
Dengan berderai air mata Rianti bersumpah bahwa dirinya tidak serendah itu. Dia bahkan tidak ingat dengan jelas apa yang terjadi, karena tertidur pulas. Rianti jelaskan bahwa dia tiba-tiba mengantuk setelah meminum minuman yang diberikan oleh Mas Tio. Tika membantahnya, Tika katakan bahwa Mas Tio membelinya dari minimarket. Padahal Tika tahu bahwa saat meminum minuman itu, kondisi segel botol telah terbuka.
“Saya akan menuntut keadilan untuk putri saya!” tegas Ayah. Pak Kades tersenyum miring.
“Pak Rozak yakin?” tanyanya dengan senyum mengejek.
“Tentu! Saya akan membuktikan bahwa anak saya tidak bersalah! Dia adalah korban!”
“Korban? Pak Rozak jangan tutup mata seperti itu, dong. Sudah jelas, kok, kalau anak bapak mengejar putra Pak Kades,” sahut Bu Ida, si tukang gosip.
“Kalau nggak tahu kejadian yang sebenarnya lebih baik diam!” hardik Ayah Rozak.
“Pak Rozak, apa tidak sebaiknya kita bicarakan masalah ini secara kekeluargaan?” saran sang pengacara.
“Iya, sudah kita nikahkan saja mereka. Nggak usah ribut dan bikin gempar,” celetuk istri Pak Kades.
“Nggak! Saya mau semua orang tahu, bahwa anak saya adalah korban! Kejadian kemarin itu bukan atas dasar suka sama suka! Kenapa kalian memutarbalikkan fakta! Kalian telah merusak nama baik anak saya!” ucap Ayah Rozak berapi-api.
“Pak Rozak pikir nama baik anak saya tidak rusak? Bahkan nama baik saya pun ikut tercemar!” Emosi Pak Kades mulai terpancing.
“Itu semua karena ulah anak Bapak!” Ayah menunjuk Mas Tio dengan geram.
“Sudah lah, Pak Rozak. Nggak usah banyak drama, tinggal dinikahin aja mereka berdua itu. Memangnya Pak Rozak nggak mau besanan sama Pak Kades? Lihat, itu putranya juga tampan. Harusnya Pak Rozak merasa beruntung,” oceh Bi Ida yang sarat dengan hinaan pada Ayah Rozak.
“Terima lamaran kami, lalu mereka menikah dan lupakan semuanya. Cuma itu yang bisa kami lakukan sebagai bentuk tanggung jawab,” ucap pengacara keluarga dengan tegas.
“Kalau kami menolak?” tantang Ayah Rozak. Pak Kades tersenyum sinis. Tatapannya mengarah pada Rianti yang duduk merapat pada Ibu.
“Jika itu keputusan Pak Rozak, kami bisa apa. Selama kasus ini tidak diperpanjang, semua akan baik-baik saja. Tapi ...” Pak Kades berjalan mendekati Rianti yang makin merapatkan tubuhnya pada Ibu, “ jika ingin melanjutkan kasus ini, jangan salahkan saya kalau nanti bukan saja nama baik Rianti yang akan rusak. Masa depannya juga akan suram.”
Suasana hening untuk beberapa saat, sampai akhirnya Ayah Rozak memahami apa maksud dari perkataan Pak Kades.
“Pak Kades mengancam kami?” tanya Ayah Rozak geram. Pak RT dan Ustadz Zaki saling pandang. Keduanya menggelengkan kepala, tidak menyangka ternyata Pak Kades bisa bersikap seburuk ini.
“Saya tidak mengancam, hanya mengingatkan. Memangnya Pak Rozak pikir, siapa yang paling mendapat kerugian jika kasus ini dilanjutkan? Siapa? Coba Pak Rozak pikir.” Pak Kades kembali duduk di kursi. Punggungnya disandarkan dengan santai.
“Siapa, Pak Rozak? Tentu saja Rianti. Rianti akan dikenal sebagai korban pelecehan, namanya akan rusak karena dianggap sudah tidak perawan lagi. Meski saya tahu Tio belum melakukan sejauh itu. Tapi mulut orang lain siapa yang bisa menahan? Gosip buruk akan menyebar luas.”
Ayah memijat pangkal hidungnya setelah mendengar perkataan Pak Kades.
“Jika sudah seperti itu, mana ada lelaki yang akan mau dengan Rianti. Karena dia sudah dianggap rusak!” lanjut Pak Kades tanpa mempedulikan Rianti yang mulai menangis lagi sambil menutup telinganya.
Pak Kades berdiri diikuti oleh semua orang yang ada di ruangan itu, kecuali Ayah Rozak, Ibu dan Rianti.
“Pikirkan itu baik-baik, Pak Rozak. Posisi Pak Rozak sangat tidak beruntung. Maju kena mundur kena,” ucap Pak Kades yang diakhiri dengan kekehan.
“Tidaak!! Aku nggak bersalah, aku nggak melakukan apapun! Bu, aku masih utuh 'kan? Aku belum rusak kan, Bu?! Jawab, Bu, jawab!” teriak Rianti sembari mengguncang tubuh Ibu meminta jawaban. Ibu tak berkata apa pun, hanya memeluk erat Rianti, air matanya mengalir deras. Sedangkan Ayah hanya terduduk diam dengan wajah frustasi.
Rombongan Pak Kades pergi tanpa basa-basi, Pak RT dan Ustadz Zaki tetap di tempat untuk menguatkan Pak Rozak.
Setelah hari itu semuanya tidak lagi sama. Tidak ada lagi Rianti yang periang dan selalu ceria. Tidak ada lagi toko kelontong Ayah yang ramai. Satu per satu tetangga mereka menjauh, seolah mereka adalah virus mematikan. Padahal Rianti adalah korban. Semua orang menutup mata akan kebenaran itu.
Omong kosong jika ada yang bilang bahwa perempuan itu selalu benar. Faktanya, perempuan selalu dianggap salah. Jika ada suami selingkuh, siapa yang akan disalahkan? Tentu perempuan! Sebagai istri dianggap tidak becus melayani suami.
Jika rumahtangga belum memiliki keturunan, siapa yang dianggap mandul? Lagi-lagi perempuan, karena tidak bisa melahirkan anak untuk melanjutkan garis keturunan.
Begitupun pada kasus-kasus pelecehan terhadap perempuan, seringkali perempuan yang disalahkan. Dianggap menggoda dengan tubuhnya hingga membangkitkan syahwat mahluk berjakun itu. Seperti kasus yang dialami Rianti. Korban dibully sedangkan pelaku dilepas bebas.
_bersambung_

Bab 18
#OlimpiadeMenulis
#NulisDiBukulaku
#KMOClub
Hana dan Tamara memeluk Rianti, tangis Rianti semakin kuat dalam pelukan sahabat. Ada rasa lega saat menceritakan masa lalunya. Rasanya seperti terlepas dari beban berat yang ditanggung sendirian. Terbukti Rianti sama sekali tidak pingsan selama menceritakan kisah kelamnya.
“Kamu hebat, Nti. Kamu keren. Kamu nggak rusak.” Hana menangkup wajah Rianti dengan kedua telapak tangannya, di sampingnya Tamara mengangguk setuju. Rianti makin tergugu dalam tangisnya. Ini seperti oase di tengah gurun yang tandus. Setelah kehilangan satu sahabatnya, kini Rianti mendapatkan gantinya. Bukannya hanya satu tetapi Allah kirimkan dua orang sahabat untuknya.
“Aku inget, waktu itu samar-samar aku melihat kilatan cahaya. Selama ini aku pikir itu bagian dari mimpi, ternyata bukan. Itu cahaya lampu kamera, buktinya sekarang ada foto aku yang dikirim oleh Tika.”
“Brengsek banget tuh cewek! Pengen aku bijek terus dijadiin perkedel!” Hana mengepalkan tangannya geram.
“Nggak punya hati, dia lupa atau pura-pura lupa kalo waktu itu botol minuman kamu udah kebuka?!” sahut Tamara tak kalah geram.
Rianti tersenyum tipis, ia pun tak habis pikir kenapa Tika tega menutupi kejadian yang sebenarnya. Terkadang Rianti masih menyalahkan dirinya sendiri. Harusnya dia tidak terlalu bersemangat mengejar lelaki biadab itu. Lebih baik sembunyikan rasa tertariknya, tidak perlu diungkapkan secara terang-terangan. Andai waktu itu Rianti bisa menahan diri, mungkin dia masih bisa menguatkan pembelaan.
Tentu yang paling disesali Rianti adalah kehadirannya di acara perpisahan itu. Andai dia lebih memilih ikut dengan kedua orangtuanya, kejadian itu tidak akan terjadi. Kehidupan keluarganya akan baik-baik saja.
Sejak hari itu, Rianti tidak berani keluar rumah. Jiwanya terguncang, sampai harus berkonsultasi pada psikiater. Untungnya trauma Rianti belum begitu parah. Ayah bertindak cepat, dibawanya Rianti keluar dari kampung. Menjauh dari orang-orang yang membuat Rianti terluka. Bahkan Rianti tidak mau tinggal di rumahnya lagi. Setiap liburan tiba, Rianti memilih pulang ke rumah uwak atau kakak sepupunya.
Kehidupan keluarganya pun terimbas. Toko Ayah sepi pelanggan, hanya beberapa saja yang masih setia berbelanja di sana. Seperti keluarga Pak RT, keluarga Lela dan keluarga Ustadz Zaki. Kesehatan Ayah pun ikut terganggu. Ayah sering jatuh sakit. Tanpa Rianti tahu, Ayah sering menangis dan menyalahkan dirinya. Sebagai seorang Ayah, dia merasa gagal karena tidak bisa melindungi Rianti. Putrinya itu tidak mendapatkan keadilan. Rianti mendapatkan sanksi sosial yang seharusnya ditujukan pada pelaku. Lelah rasanya Ayah meyakini semua orang bahwa Rianti adalah korban.
Hampir saja Ayah patah semangat. Melihat putri kesayangannya tersakiti, usahanya diambang kebangkrutan, dikucilkan oleh tetangga, tubuhnya semakin ringkih, rasanya sangat berat. Untung saja Pak RT dan Ustadz Zaki selalu menyemangatinya. Ustadz Zaki mengatakan bahwa Allah tidak pernah tertidur, suatu saat nanti kebenaran akan terungkap. Itulah yang diyakini Ayah hingga akhirnya dia mampu bertahan. Ayah harus menjual mobil untuk biaya kuliah Rianti dan sedikit tabungan jika perlu biaya berobat ketika penyakitnya kambuh, karena penghasilan dari toko sudah tidak bisa diharapkan lagi.
Awalnya Ayah berat melepas Rianti merantau untuk menuntut ilmu. Namun psikiater yang mendampingi Rianti mengatakan bahwa ini adalah langkah yang baik agar Rianti bangkit. Menjalani hidup di tempat yang baru, berkenalan dengan orang-orang yang baru, yang tidak mengetahui masa lalu Rianti, diharapkan bisa menumbuhkan semangat Rianti melanjutkan hidup. Tentu saja tetap dalam pengawasannya.
Ayah menitipkan Rianti pada Bi Anah yang pernah tinggal di kota. Memintanya mencarikan tempat kost yang layak dan aman untuk Rianti. Bi Anah merekomendasikan kontrakan Bu Darmi, karena Bu Darmi terkenal tegas melindungi anak kostnya. Bi Anah pula yang memberikan Rianti pekerjaan paruh waktu untuk memperluas pergaulan Rianti.
Tanpa Rianti tahu, orangtua dan keluarganya meminta seseorang untuk mengawasi dan menjaganya.
“Sekarang apa yang harus aku lakukan?” tanya Rianti pada kedua sahabatnya.
“Bangkit dan jangan menyerah!” jawab Hana tegas.
“Betul. Satu lagi yang harus kamu lakukan, jangan merasa bersalah atau takut. Itu bukan kesalahan kamu. Justru menurutku kamu harus berani untuk speak up! Jika keadilan belum berpihak sama kamu, seenggaknya jangan biarkan orang lain mengalami hal yang sama.” Tamara menggenggam erat tangan Rianti.
“Bagaimana caranya? Aku takut jika foto itu tersebar. Mau taro di mana mukaku?” lirih Rianti.
“Ya taro di depan lah! Kecuali kamu punya dua muka, satunya bisa kamu taro di belakang!” sembur Hana. Tawa Tamara tergelak mendengar ucapan Hana.
“Han, aku serius! Kamu nggak tahu, sih, rasanya jadi aku,” sungut Rianti. Hana berdecak kesal.
“Kamu tinggal diam dan acuhkan aja. Kalo sampe terdengar oleh pihak kampus dan kamu dipanggil. Kamu ceritakan semuanya. Toh bukti-buktinya masih kamu simpan 'kan?” jelas Tamara. Hana menjentikkan jarinya.
“Mungkin ini cara Allah menolong kamu. Tika terjebak oleh permainannya sendiri. Maksud hati ingin mempermalukan kamu, tapi malah membuat kasus ini muncul lagi. Kakaknya bisa diadili.” Hana menambahkan pendapat Tamara dengan semangat.
“Yups, setidaknya mereka tahu kalau kamu itu korban, bukan pelaku asusila,” tambah Tamara. Rianti hanya diam tak merespon pendapat kedua sahabatnya.
Bagi Rianti, kejadian itu lebih baik dikubur dalam-dalam. Dia ingin hidup tenang, tak ingin terusik lagi oleh kenangan pahit itu.
Jika Rianti harus bicara seperti yang Tamara sarankan, itu artinya sama dengan mengorek luka lama. Namun Rianti paham, sampai kapanpun masa lalu itu akan selalu mengikutinya.
“Udah jangan terlalu banyak berpikir. Yang penting, kamu jalani hidup kamu dengan penuh semangat dan optimis. Kalau si Tika tikus itu bikin ulah, kita hadapi bersama-sama,” ucap Hana sambil tersenyum tulus. Tamara mengangkat kedua jempolnya. Rianti mengangguk singkat, rasa percaya dirinya sedikit demi sedikit bangkit lagi.
Tamara menyentuh laptop Rianti yang sedari tadi menarik perhatiannya. Laptop itu masih on dengan mode sleep. Dia bertanya-tanya, apakah ada tugas kuliah yang dia lupakan?
“Kamu lagi ngetik apa?” tanya Tamara. Rianti melirik ke arah laptopnya, kemudian menunjukkan tulisannya pada Tamara.
“Ini salah satu caraku terapi menyembuhkan trauma. Menulis.” Rianti dengan malu-malu menggeser laptopnya.
“Boleh aku baca?” tanya Tamara, Rianti mengangguk antusias.
“Geser dikit, Tam. Aku mau baca juga.” Hana ikut penasaran.
“Ini kisah kam,” ucap Tamara setelah membaca beberapa menit. Rianti mengangguk. Tamara menatap Rianti dengan mata berkaca-kaca, lalu tiba-tiba saja dia memeluk Rianti.
“Kamu harus bangkit, Nti. Kamu terlalu berharga untuk hidup terpuruk. Jangan takut?” ucap Tamara dalam tangisnya. Hati Rianti terenyuh mendengar ucapan Tamara. Dibelainya punggung sahabatnya itu. Hana ikut menangis lalu memeluk keduanya.
“Baru baca sedikit aja ceritanya udah bikin sedih, kamu bagus banget nulisnya. Yang baca serasa ikut mengalami,” ucap Hana.
Tamara melepas pelukan mereka, mengusap air matanya dengan punggung tangan.
“Hana bener, kamu berbakat. Kamu nggak berniat jadi penulis?”
“Hah? Penulis?” tanya Rianti. Tamara mengangguk mantap.
“Iya betul. Kamu pernah bilang pengen bantu keuangan orangtua 'kan?” pancing Hana. Rianti masih terlihat bingung.
“Penulis duitnya banyak, loh! Apalagi kalo kamu nulis di platform menulis online,” sahut Tamara.
“Cetak buku sampe best seller juga lumayan duitnya,” tambah Hana.
“Tapi ... .”
“Kebiasaan, deh! Kamu suka pesimis duluan,” gerutu Hana. Tamara terkikik melihat wajah Rianti yang bingung dan wajah Hana yang cemberut.
“Coba aja dulu. Siapa tahu, proses healing kamu malah mendatangkan uang. Bahkan kalau ada orang yang merasa terbantu dengan kisah yang kamu tulis, kamu dapet pahala juga. Seru banget 'kan?” jelas Tamara meyakinkan. Rianti mengangguk pelan. Meski dia belum begitu paham, Rianti menerima saran kedua sahabatnya.
_bersambung_

Bab 19
#OlimpiadeMenulis
#NulisDiBukulaku
#KMOClub
Memanfaatkan wifi kampus, Rianti membuka laptopnya, duduk di bangku luar dekat pohon akasia. Rianti mulai mencari informasi tentang cara-cara menulis di platform menulis. Dia terkejut saat melihat betapa besarnya pendapatan yang diterima oleh para penulis itu. Rianti pun mengunggah satu platform menulis, membuat akun di sana. Berjejer novel karya penulis yang terpajang di beranda. Rianti mencari novel karya penulis yang berpenghasilan paling besar bulan ini. Rianti terhanyut dalam alur cerita yang dibacanya, sebuah karya yang luar biasa. Pantas jika banyak orang yang rela mengeluarkan uang untuk membacanya. Rianti berdecak lesu, kepalanya ditempelkan pada meja.
“Hah! Bisakah aku menulis sekeren ini? Apa tulisanku nanti ada yang baca? Pengetahuanku tentang kepenulisan juga minim ....” keluh Rianti tanpa menyadari Tamara yang telah duduk di sampingnya.
“Kebiasaan, deh. Suka insecure duluan,” ucap Tamara yang membuat Rianti kaget setengah mati.
“Astgfirullah! Tamara, ih, kamu ngagetin! Kamu jangan keseringan maen sama Hana, deh, nanti ketularan nyebelinnya!” omel Rianti. Tamara terkekeh geli.
“Lagian kamu belum dicoba udah jiper duluan. Coba aja dulu, bismillah.” Tamara meletakan laptopnya di atas meja.
“Audi sama Marsha mana?” tanya Rianti mengubah topik pembicaraan, dia sedang malas berdebat. Tamara menunjuk ke arah booth yang menjual ayam geprek.
“Mereka lagi pesen ayam geprek, aku juga udah pesenin buat kamu. Kamu pasti belum makan.” Rianti meringis, perutnya memang sudah sangat lapar. Gara-gara asik membaca, dia lupa untuk memesan makanan.
“Nanti uangnya aku ganti,” ucap Rianti. Tamara menggeleng sambil melambaikan tangan.
“Nggak usah, aku traktir. Sekalian mereka juga aku traktir, mumpung ada rezeki dari Abang,” jawab Tamara.
“Ih, kamu jangan keseringan traktir aku. Kemarin waktu aku sakit kamu kirim aku makanan banyak banget.”
Tamara mengerutkan dahi, “Siapa? Aku nggak ngerasa kirim makanan ke kamu.”
“Loh, tapi kata mas-masnya, itu dari Mbak Tamara. Gitu, kok, makanya aku terima.”
Tamara diam sambil berpikir, lalu tersenyum jahil.
“Mungkin itu dari fans kamu kali,” goda Tamara.
“Nggak mungkin! Mana ada yang ngefans sama aku,” bantah Rianti.
“Ck! Kamu nggak tahu aja!” Tamara memeletkan lidahnya.
Tak lama Audi dan Marsha datang membawa dua nampan makanan. Empat porsi paket ayam geprek dan empat gelas es jeruk.
“Makan-makan ....” Audi meletakkan makanan yang dibawanya.
“Harusnya kita itu ditraktir di resto all you can eat, bukan di kafetaria kampus!” gerutu Marsha. Audi langsung menarik rambut Marsha.
“Nggak bersyukur banget sih, Lo!” omel Audi.
“Udah, jangan bertengkar di depan makanan, pamali. Nih hand sanitizernya, siapa yang belum cuci tangan?” Tamara menyodorkan botol bening. Bergantian mereka membersihkan tangan dengan hand sanitizer.
“Rianti, si Tika anak ekonomi bisnis itu temen elo?” tanya Marsha. Tubuh Rianti menegang, nafsu makannya tiba-tiba hilang. Audi melotot pada Marsha, lalu melirik Tamara, Tamara berdeham.
“Makan dulu, ah. Jangan sambil ngobrol,” ucap Tamara tegas. Rianti melanjutkan makannya dengan malas. Nafsu makannya hilang, jika tidak karena perutnya yang perih dan bukan Tamara yang mentraktirnya, mungkin Rianti akan membiarkan makanannya tetap utuh.
“Habisin, Nti, jangan sampe sakit lagi.” Tamara tersenyum tulus. Rianti mengangguk singkat.
Mereka berempat makan dengan tenang, tak ada celotehan dan keributan yang dibuat oleh Marsha dan Audi. Setelah semua makanan mereka habis, Tamara membuka obrolan.
“Tadi kamu tanya apa, Sha?” tanya Tamara pada Marsha. Marsha melirik ke arah Audi, Audi mengangkat bahunya. Marsha tersenyum kikuk, memainkan kedua ibu jarinya.
“Tanya aja, nggak papa, kok.” Tamara ingin sahabat-sahabatnya terbuka, lebih baik langsung bertanya daripada membicarakan di belakang. Tamara tahu jika foto Rianti mulai tersebar. Tika sengaja menyebarkan foto itu pada mereka yang dianggapnya dekat dengan Rianti. Sepertinya Tika tidak ingin Rianti memiliki teman dekat.
“Ada yang kirim foto elo, Nti. Katanya dia temen lo di kampung, namanya Tika anak ekonomi bisnis,” tanya Marsha ragu-ragu.
“Mantan sahabat,” jawab Tamara dengan cepat.
“Mana ada mantan sahabat!” celetuk Audi.
“Ada, kok. Itu buktinya si Tika. Dia mantan sahabatnya Rianti,” jelas Tamara.
“Kok, elo yang jawab, sih, Tam?” protes Audi pada Tamara, “emangnya lo ada masalah apa sampe putus persahabatan sama Tika?” lanjut Audi bertanya pada Rianti.
“Kalian dikirimin foto aku juga sama dia?” tanya Rianti, matanya mulai berkaca-kaca. Tamara menggenggam tangan Rianti.
“Jadi itu beneran foto elo??” tanya Audi tanpa menyembunyikan keterkejutannya. Rianti mengangguk pelan, lalu memilih menunduk menyembunyikan air matanya yang mulai turun.
“Tadinya gue nggak yakin kalo itu elo, soalnya wajah elo kayak orang yang tidur nyenyak, bukan seperti orang mabuk. Sedangkan si Tika bilang, itu foto elo waktu mabuk dan merayu kakaknya,” jelas Marsha.
“Aku cerita ke mereka, boleh?” tanya Tamara meminta izin. Rianti mengangkat wajahnya, menatap Tamara. Tamara mengangguk singkat, meyakinkan Rianti.
“Emang lo tahu, Tam?” tanya Audi.
“Iya, Tamara tahu, sekarang biar dia yang jelasin ke kalian. Aku mendadak lemas.” Rianti menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Wajahnya mendongak dan matanya terpejam.
“Lo jangan pingsan lagi!” Audi mengguncang tubuh Rianti.
“Nggak, tenang aja.” Rianti tersenyum pada Audi, kemudian kembali ke posisi semula.
Tamara menceritakan semuanya pada Marsha dan Audi. Keduanya marah dan geram. Audi bahkan sampai menggebrak meja.
“Gila! Kalau gue jadi Ayah lo, tetep maju. Nggak akan mundur. Toh tetep aja nama lo udah tercemar,” ucap Audi penuh emosi.
“Pertimbangan Ayahnya Rianti itu melihat kondisi psikis Rianti, Di. Kalian tahu sendiri 'kan, kemarin Rianti sampe pingsan hanya karena berpapasan dengan Tika. Siapa yang nggak kaget? Jadi korban malah dimaki-maki,” jelas Tamara. Audi berdecak kesal.
“Langkah elo selanjutnya apa, Nti?” tanya Marsha. Rianti menggeleng lemah. Rianti memang tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Melapor pada Ayah, hanya akan membuat kondisi kesehatan Ayah makin menurun.
“Hadapin! Lo harus hadapin apapun itu. Jangan takut, kita-kita bakal bantu “ Audi menggenggam tangan Rianti, memberi dukungan.
“Setuju, kamu jangan berpikir terlalu jauh. Fokus aja dulu sama diri kamu. Fokus belajar nulis, siapa tahu kamu jadi penulis terkenal. Buku kamu best seller terus dibikin film. Duh, kok, jadi aku yang antusias ya ....” Tamara terkikik sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan.
“Elo suka nulis?” tanya Audi dan Marsha bersamaan. Rianti hanya mengangguk singkat. Lagi-lagi Tamara yang menjadi juru bicaranya.
“Iya, awalnya buat terapi. Eh hasilnya malah bagus banget. Tapi dia masih belum pede. Biasalah Rianti yang selalu merasa insecure,” ledek Tamara. Audi mencibir.
“Apa, sih, yang bikin lo insecure? Dulu lo juga nggak mau berteman sama kita karena insecure. Kenapa, sih?” tanya Marsha.
“Kalo karena lo anak kampung, itu basi. Di sini juga banyak, kok, yang berasal dari daerah. Atau karena masa lalu elo? Udah lupain, kita-kita juga nggak suci-suci banget. Jadi, lo nggak boleh insecure lagi! Paham?” ceramah Audi. Tamara tersenyum lebar mendengar perkataan Audi. Rianti memang harus terus dipupuk rasa percaya dirinya. Padahal jika dilihat berdasarkan cerita Rianti, dulu dia adalah gadis periang. Namun sekarang yang dikenal Tamara adalah Rianti yang pendiam dan tertutup.
“Udah mulai belum nulisnya?” tanya Marsha. Rianti menggeleng.
“Ck! Ya mulai, dong! Udah bikin akun belum? Kalau udah, buruan posting di sana. Nanti gue bantu promosi, biar banyak yang baca.” Audi menepuk kedua bahu Rianti.
“Tapi tulisan aku .....”
“Mulai lagi, deh! Kalo kata Tamara tulisan elo bagus, ya berarti beneran bagus. Semangat, dong, calon penulis hebat!” Audi bertepuk tangan menyemangati Rianti.
Rianti tersenyum haru. Siapa sangka di kota ini dia mendapatkan sahabat-sahabat yang penuh perhatian dan selalu mendukungnya. Jika saja dia tidak memberanikan diri untuk merantau, mungkin saat ini Rianti masih terpuruk. Meski dia sedikit terlambat membuka diri, setidaknya Rianti merasa bahagia dengan kehadiran para sahabatnya ini.
_bersambung_


Bab 20
#OlimpiadeMenulis
#NulisDiBukulaku
#KMOClub
Hana sedang merapikan meja kasir saat Tante Irish datang. Pemilik Irish's Boutique itu terkadang tiba-tiba datang meninjau.
“Tante Irish, apa kabar?” tanya Hana basa-basi pada bosnya itu. Tante Irish tersenyum lebar memamerkan giginya yang putih.
“Alhamdulillah, baik. Kamu apa kabar, Han?” Tante Irish menepuk bahu Hana.
“Alhamdulillah, baik, Tan,” jawab Hana sambil menyelipkan anak rambut ke samping daun telinga.
“Shift hari ini kamu sama siapa? Masih sama Rianti dan Aldo?” Tante Irish mengedarkan pandangannya ke penjuru butik.
“Kebetulan hari ini Rianti off. Dia ada jadwal kuliah,” jawab Hana. Tante Irish menganggukkan kepalanya.
“Rianti masih sering pingsan?” tanya Tante Irish yang kini duduk di sofa samping meja kasir.
“Cuma dua kali itu, Tan.”
“Tolong awasi dia, ya, Han. Anah bilang, kondisi ayah Rianti ngedrop lagi. Tapi sengaja mereka nggak kasih kabar, biar Rianti nggak panik.”
“Jadi Ayah Ozak sakit lagi?” tanya Hana sedikit terkejut.
“Iya, kemarin katanya anak Pak Kades yang perempuan sempet menyebarkan foto Rianti di grup SMA. Kebetulan banyak teman sekolah Rianti yang sekampung. Jadi ya, berita itu naik lagi ke permukaan,” jelas Tante Irish.
“Tika tikus itu nyebarin foto Rianti?!” tanya Hana geram. Sadar telah meninggikan suaranya di hadapan bos, Hana meringis lalu menakup kedua tangannya di depan dada. Tawa Tante Irish pecah saat melihat wajah Hana yang pucat.
“Hahaha ... santai aja, nggak usah panik begitu.” Tante Irish menghentikan tawanya,”jadi kamu udah tahu masa lalu Rianti?”
Hana mengangguk singkat, “Rahasia Rianti aman, tenang aja, Tan.”
“Kasihan anak itu. Tante salut Rianti masih bisa bertahan. Keputusan Kang Rozak tepat, beliau langsung memindahkan Rianti. Sayangnya beliau sendiri tidak mau keluar dari kampung itu. Padahal Anah bilang, kakak sulungnya siap membantu Kang Rozak cari tempat baru,” jelas Tante Irish.
“Tante dekat banget, ya, sama keluarga Rianti?” tanya Hana penasaran.
Tante Irish tersenyum tipis, “Iya, kami cukup dekat. Tante punya hutang jasa sama mereka. Merekalah yang membantu Tante di masa-masa sulit, saat orangtua tante pergi untuk selamanya. Waktu itu Tante masih remaja, adik lelaki Tante juga masih kecil banget. Ah, udah, jangan bahas masa lalu. Nanti sedih lagi. Pokoknya, Tante minta sama kamu buat awasin Rianti. Dan satu lagi, jangan sampe dia tahu kalau Tante bilang seperti ini ke kamu. Tentang kondisi ayahnya juga tolong rahasiakan,” pesan Tante Irish. Hana mengangguk, jarinya membentuk huruf o.
“Tante mau ketemu Amy dulu. Kerja yang baik, ya, jangan sering-sering bikin Amy marah,” ujar Tante Irish seraya bangkit dari duduknya. Hana meringis, menahan dongkol pada atasannya yang melapor kelakuannya pada Tante Irish.
Hana menatap Tante Irish yang melangkah menuju ruangan Mbak Ami. Bosnya itu sebenarnya terlalu muda dipanggil tante olehnya, karena usianya masih di awal tiga puluhan. Dulu Hana memanggil Tante Irish dengan panggilan Bu Irish, tapi sejak Rianti bergabung di Irish's Boutique dan memanggilnya Tante Irish, Hana jadi ikut memanggil dengan panggilan tante.
Hana melanjutkan lagi pekerjaannya. Hari ini dia ditemani Aldo dan Murni. Kedua rekan kerjanya itu sedang membereskan gaun-gaun yang akan diperagakan pada fashion's weeks pekan depan. Butik masih sepi pengunjung karena masih pagi. Tiba-tiba gawai Hana bergetar. Ada sebuah pesan masuk, sambil melirik ke ruangan Mbak Ami, Hana membuka pesan itu. Matanya membesar, foto Rianti yang pernah dilihatnya di ponsel Tamara, kini ada di ponselnya. Hana tidak mengenal nomor pengirimnya.
“Sialan! Ini pasti si Tika tikus! Mau apa, sih, dia? Kenal juga nggak sama aku! Dia tahu nomor aku dari siapa ya?” Hana geram karena harus menahan kekesalannya. Dia ingin memberitahu Tamara apa yang dia dapatkan, sayangnya saat ini waktunya Hana bekerja.
Tante Irish keluar dari ruangan Mbak Ami dengan tergesa, ponselnya menempel di telinga.
“Iya, kamu tenang dulu, nanti Mbak ke sana. Jangan panik, nanti Mbak suruh Abang juga buat nemuin kamu.” Tante Tante Irish melewati Hana, dia hanya mengangguk singkat sebagai ucapan pamit. Hana pun membalas dengan anggukan.
Tante Irish mengendarai mobilnya dengan pelan, sebisa mungkin mencoba untuk tetap tenang setelah dihubungi oleh adik sepupunya yang menangis. Saat lampu lalulintas berwarna merah, Tante Irish menekan tombol dua yang menghubungkannya pada nomor ponsel adik lelakinya.
“Hallo, Nu, kamu di mana? Oh, kamu udah di jalan. Di mana? Oke, berarti Mbak sampai lebih dulu. Iya, kamu hati-hati di jalan. Iya, semoga Rara baik-baik aja. Mbak tutup dulu teleponnya.”
Tante Irish kembali menginjak pedal gas setelah lampu lalulintas berwarna hijau. Mobilnya diarahkan menuju sebuah rumah sakit di tengah kota. Untung saja bukan jam masuk atau pulang kerja, jadi dia bisa sampai dengan waktu singkat.
Setelah mendapat kartu pengunjung, Tante Irish segera menuju ruang rawat inap tempat adik sepupunya berada.
Tante Irish membuka pintu berwarna putih, dia melihat adik sepupunya duduk menangis sambil memeluk seorang gadis yang terbaring di ranjang.
“Ra?” panggilnya. Bukan sepupunya yang pertama kali menyadari kedatangan Tante Irish, tapi seorang gadis ayu yang wajahnya sembab karena menangis.
“Tante Irish, kok, Tante ada di sini?” tanya Rianti heran. Tante Irish melangkah mendekat, Tamara bangkit dari kursi lalu berhambur memeluk kakak sepupunya.
“Mbak, Susan, Mbak ....” Tamara berkata dengan terbata, “dia mencoba bunuh diri. Dia hamil, Mbak. Susan hamil ....” tangis Tamara kembali pecah. Tante Irish menepuk pelan punggung Tamara.
“Tenang dulu, Ra. Jangan nangis terus,” ucap Tante Irish dengan terus menepuk punggung Tamara. Audi mempersilahkan Tante duduk di sofa. Audi, Marsha juga Rianti berdiri di samping ranjang Susan.
Setelah Tamara mulai tenang, Tante Irish membuka percakapan.
“Bisa diceritain gimana awal mulanya?” tanya Tante Irish, matanya menatap teman-teman Tamara satu per satu.
“Susan udah hampir sepuluh hari nggak masuk kuliah, Mbak. Setiap kita hubungi katanya lagi nggak enak badan. Setiap mau kita tengok, dia selalu ngelak. Tadi pagi, pembantunya telepon Tamara, katanya dari kemarin Susan nggak keluar kamar. Kita langsung ke sana, di tengah jalan pembantunya telepon, kalo Susan mencoba bunuh diri.” Audi menunduk, Marsha memeluk Audi.
“Mbak, Papih Mamihnya Susan nggak bisa dihubungi, aku bingung,” ucap Tamara lirih. “Aku nggak berani telepon Mamih setelah tahu kata dokter Susan hamil enam minggu.”
Tante Irish menghela napas kasar. Tidak menyangka kalau sahabat sepupunya itu terperosok dalam pergaulan bebas.
“Kalian kenal sama pacarnya?” tanya Tante Irish. Keempat gadis itu kompak menggeleng.
“Assalamu’alaikum.” Seseorang masuk ke dalam ruang rawat inap.
“Wa’alaikumussalam,” jawab mereka serempak.
“Abaaang ....” Tamara menghambur memeluk lelaki yang baru saja datang itu.
“Stt, jangan nangis, semua bakal baik-baik aja.”
“Susan, Bang, pacarnya jahat, hiks ....” Tamara menangis mengadu.
“Iya, Abang udah minta Jery melacak cowok itu. Kamu tenang aja, ya.” Lelaki itu mengedarkan pandangannya, matanya membesar saat melihat Rianti ada di sana. Rianti pun terlihat kaget saat tatapan mereka bertemu.
“Dia abangnya Tamara?” bisik Rianti pada Marsha yang berdiri di sampingnya.
“Iya, abang sepupunya. Adik Mbak Irish,” jawab Marsha dengan berbisik. Rianti tidak bisa menutupi rasa terkejutnya.
“Rianti, kamu pasti bingung ya?” tanya Tante Irish. Rianti mengangguk, dia menggaruk tengkuknya.
“Tamara itu adik sepupu Tante.”
“Kok, Mbak dipanggil tante, sih, sama Rianti? Kamu gimana, sih, Nti. Mbak Tamara belum pantes dipanggil tante, masih muda dia itu,” ujar Audi. Rianti tersenyum kikuk.
“Temen Mbak itu bibinya Rianti. Jadi dia membiasakan panggil Mbak dengan sebutan tante seperti memanggil bibinya.”
“Untung nggak dipanggil bibi juga,” celetuk lelaki yang masih memeluk Tamara.
“Hahaha, iya, makanya aku nggak protes waktu dipanggil tante. Dari pada Rianti manggil aku, bibi, iya 'kan?” seloroh Tante Irish. Rianti makin salah tingkah.
“Nti, dia bukan yang kirim makanan ke kamu?” tanya Tamara. Rianti mengangguk, wajahnya memerah. Semua orang tertawa kecuali Rianti dan tentu saja Susan yang masih dalam pengaruh obat. Wisnu tersenyum kaku, sedikit salah tingkah.
“Ini, loh, yang aku bilang fans berat kamu. Abang sepupuku.” Tamara menepuk lengan atas abangnya.
“Kamu sering ketemu dia 'kan?” tanya Tante Irish. “Namanya Alex Wisnutama, lebih seneng dipanggil Wisnu daripada Alex,” lanjut Tante Irish.
“Ooh jadi dia yang namanya Mas Wisnu?” celetuk Rianti dengan spontan.
“Ciee ... udah manggil mas aja, nih,” ledek Audi. Wajah Rianti makin memerah.
“Udah, jangan digodain terus. Kasian,” bela Wisnu. Tamara, Audi dan Marsha kompak mencibir Wisnu. Wisnu tersenyum lebar, menampilkan lesung pipinya. Rianti kembali terkejut melihat Wisnu juga memiliki lesung pipi seperti dirinya.
Wisnu mengalihkan perhatiannya ke ponsel yang sedari tadi berdering. Wajah Wisnu memerah saat membuka pesan di ponselnya.
“Brengsek!” ucap Wisnu geram.
“Ada apa, Nu?” tanya Tante Irish. Wisnu tak menjawab pertanyaan kakaknya, dia malah menyodorkan ponselnya pada Rianti.
“Kamu pasti kenal dia 'kan? Dia lelaki yang menghamili Susan, lelaki yang sama yang telah melecehkan kamu.”
Mata Rianti melotot melihat foto Mas Tio di layar ponsel Wisnu. Tamara merebut ponsel Wisnu.
“Ini orangnya?! Brengsek, dasar penjahat kelamin! Abang harus bikin perhitungan sama dia!” ucap Tamara geram.
“Pasti!” ucap Wisnu tegas.
_bersambung_






Bab 21
#OlimpiadeMenulis
#NulisDiBukulaku
#KMOClub
Rianti sedang asik meswasunting naskahnya, tiba-tiba saja Tika datang melabrak.
“Heh! Ngerasa hebat, ya, sekarang? Mentang-mentang gaul sama anak orang kaya! Mau kamu apa, sih?” Tika menarik lengan Rianti dengan kasar sampai membuat kursi yang didudukinya terguling.
“Kamu kenapa, sih, Tik??” Rianti melepaskan cekalan Tika pada lengannya.
“Aku marah sama kamu!” teriak Tika. Rianti tersenyum sinis, menatap Tika dari atas hingga bawah. Itu membuat Tika semakin emosi.
“Nggak cukup kamu dulu ngejebak kakak aku?! Hah!” Tika menunjuk wajah Rianti. Beberapa orang mulai mendekat dan berbisik. Mereka sedang berada di kafetaria kampus, tentu saja kelakuan Tika menarik perhatian banyak orang.
“Nggak puas kamu dulu ngejebak kakak aku, sek---“ Telunjuk Rianti menempel di bibir Tika.
“Siapa yang ngejebak dan siapa yang dijebak? Kamu hilang ingatan atau hilang akal?” tanya Rianti tanpa rasa takut. Senyum sinis kembali tersungging di bibir Rianti.
“Aku tanya sekali lagi, kamu hilang ingatan atau hilang akal, Tika?” Rianti melangkah maju mendekati Tika, “kamu lupa, waktu itu kamu sempat protes karena botol minumanku sudah dibukakan oleh kakakmu yang brengsek itu, sedangkan punyamu masih utuh. Kamu lupa?”
Tika melangkah mundur memberi jarak beberapa langkah dari Rianti. Wajahnya memerah menahan marah.
“Itu hanya alasan kamu! Gimana kakak aku bisa masuk ke dalam kamar kalau bukan kamu yang membukakan pintu!”
“Ya sudah pasti kakakmu yang buka pintunya, pakai kunci yang aku bawa. Aku nggak inget apa-apa waktu itu, aku sudah nyenyak gara-gara obat tidur yang dicampur dengan minumanku.”
Tika tersenyum sinis, lalu berkata dengan suara lantang, sengaja agar semua orang di sana bisa mendengar ucapannya.
“Cih! Dari dulu sampai sekarang selalu itu pembelaannya! Padahal semua orang tahu gimana tergila-gilanya kamu sama kakakku sampai rela menyerahkan diri. Dasar cewek murahan!”
Wajah Rianti memerah menahan amarah. Tak cukupkah bagi Tika menjelekkan namanya di kampung? Apa Tika juga ingin merusak namanya di kampus?
“Sekarang, kamu malah nyuruh temen kamu buat jebak kakakku lagi. Dasar kalian sama-sama cewek murahan, pantas kalian berteman baik.”
Tika tiba-tiba teriak kesakitan memegang rambutnya yang ditarik Audi dari belakang.
“Siapa yang elo bilang murahan, hah?! Jawab!” Audi masih menggenggam sejumput rambut panjang Tika.
“Lepas! Sakit, bego!” Tika berusaha melepaskan rambutnya dari tangan Audi. Posisi Audi berada di belakangnya membuat Tika tidak bisa melawan.
“Jawab dulu pertanyaan gue! Siapa yang elo maksud cewek murahan?!!” Audi makin kencang menarik rambut Tika. Tika berteriak keras. Orang-orang yang berkumpul hanya menonton tanpa ada satu pun yang menolong Tika. Rianti meringis, membayangkan sakitnya jika rambutnya ditarik sekencang itu.
“Rianti sama Susan, siapa lagi!” teriak Tika.
Audi semakin geram mendengar jawaban Tika.
“Kakak elo yang brengsek! Penjahat kelamin! Nggak usah coba-coba buat playing victim!” Audi melepaskan genggaman tangannya, lalu mendorong tubuh Tika. Tika jatuh tersungkur. Dengan marah Tika menatap Audi.
“Apa?! Nggak terima kalau gue bilang kakak kesayangan elo itu brengsek? Apa harus gue pake kata-kata yang lebih kasar?!” tantang Audi.
“Kalian jangan maen keroyokan! Satu lawan satu kalau berani!” teriak Tika. Audi terbahak mendengar ucapan Tika.
“Nggak usah mengalihkan pembicaraan, dari tadi juga kita duel satu lawan satu. Rianti dan lainnya cuma jadi penonton,” ucap Audi sembari melipat tangannya di depan dada. Tika melihat sekeliling, makin ramai orang yang merubungi mereka.
“Jadi, lo mau gue bongkar semua kelakuan busuk kakak elo di depan mereka? Seperti elo nyebarin fitnah keji tentang Rianti? Kalau elo mau, ayok! Kebetulan di tas gue ada bukti-bukti kejahatan seksual yang dilakukan kakak elo.” Hati Tika sedikit mengkerut mendengar ucapan Audi. Audi kembali menyerang dengan kata saat melihat lawannya terdiam.
“Kalau elo masih meyakini Rianti juga Susan itu ngejebak kakak elo, itu bego namanya! Kejadian Rianti jelas-jelas elo tahu, kalau Rianti meminum air dari botol yang segelnya rusak. Siapa yang kasih Rianti minum? Kakak elo!” Audi menunjuk wajah Tika.
“Sedangkan Susan, mereka pacaran dari empat bulan yang lalu. Terus elo bilang kalau Rianti yang suruh Susan buat jebak kakak elo? Helloow ... Rianti akrab sama kami juga belum lama, empat bulan yang lalu kami belum deket sama Rianti. Buka mata hati elo!” bentak Audi. Ekspresi wajah Tika semakin tak karuan, antara menahan marah dan malu.
“Baiknya elo pulang, tengok, tuh, kakak elo di balik jeruji besi! Kalau punya pembelaan, ajuin di persidangan! Bokap elo, kan, orang paling kaya di kampung, kepala desa pula, masa nggak bisa sewa pengacara?” sindir Audi. Tika semakin tak bisa berkata-kata, wajahnya pucat pasi. Maksud hati ingin mempermalukan Rianti, malah dirinya yang dibuat malu. Tika memilih untuk pergi dari pada keburukan kakaknya dibongkar Audi di depan banyak orang.
Melihat Tika yang pergi dengan langkah cepat, Audi tertawa terbahak. Orang-orang yang berkerumun satu per satu membubarkan diri. Andai tidak membawa nama baik Susan juga Rianti, rasanya Audi ingin membongkar semua kelakuan buruk kakak Tika itu. Namun jika itu dia lakukan, maka sama saja Audi membuka aib Rianti, terutama Susan. Yang kini hamil akibat ulah lelaki jahat itu.
Setelah orangtua Susan datang, mereka langsung melapor ke polisi atas tuduhan pelecehan seksual dan perbuatan tidak menyenangkan. Mas Tio memaksa Susan untuk menggugurkan kandungannya. Susan menolak, yang akhirnya membuat Mas Tio kabur lari dari tanggung jawab.
Mas Tio sempat menghilang. Dia mendadak resign dari kantor tempatnya bekerja dan keluar dari tempat kostnya. Pihak keamanan mengejar sampai ke kampung halamannya dan membuat kehebohan di sana. Penangkapan putra pak kades dengan tuduhan pelecehan seksual langsung menjadi buah bibir. Warga kampung mengaitkan dengan kasus Rianti. Mereka akhirnya menyadari bahwa selama ini mereka salah. Warga kampung berbalik, kini mereka menggunjing dan menjauhi keluarga pak kades. Itulah yang menyebabkan Tika marah pada Rianti, menganggap Riantilah yang menyusun rencana balas dendam.
“Audi, kamu keren banget. Kalau tadi nggak ada kamu, aku bakalan jadi bulan-bulanan Tika.” Rianti tersenyum lega. Audi terkekeh, ditepuknya pipi Rianti.
“Elo kudu belajar berani. Elo kudu bisa ngebela diri, jangan takut selama lo bener. Sesekali jadi orang galak itu nggak papa, kok. Bukan buat bikin orang takut, tapi buat mereka segan menyakiti elo. Paham?” Audi menatap tepat ke mata Rianti. Rianti mengangguk mantap.
“By the way, tadi gue lihat, kok, waktu lo balas perkataan Tika. Bagus itu! Jangan pernah kasih kesempatan orang lain buat mengintimidasi diri lo. Apalagi orang-orang macam si Tika itu. Latihan terus ya, Nak.” Audi tertawa seraya menepuk puncak kepala Rianti seolah Rianti itu anaknya. Rianti terkekeh geli.
“Iya, Ibu, akan ananda lakukan semua nasihat Ibu,” balas Rianti.
“Eh, naskah elo gimana? Gue udah nggak sabar buat nunggu kelanjutannya.” Audi menarik Rianti untuk duduk, karena sedari tadi mereka berbicara sambil berdiri.
“Masih swasunting sebelum aku posting di platform,” sahut Rianti.
“Jangan lama-lama,Nti. Gue udah kepo maksimal, nih! Elo emang berbakat! Semangat terus, ya, biar Bang Wisnu cepet melamar,” ledek Audi.
“Apaan, sih!” Wajah Rianti tersipu malu.
_bersambung_


Bab 22
#OlimpiadeMenulis
#NulisDiBukulaku
#KMOClub
Tamara terbahak melihat Audi dan Hana berebut mengklaim sebagai istri Song Joong- Ki. Mereka saling mengunggulkan diri sendiri. Marsha lebih asik menikmati pizza yang dipesan Tamara dari pada meladeni pertengkaran yang tidak jelas itu. Rianti mendengus kesal, dia sudah menduga kalau Hana dan Audi bertemu pasti akan ribut seperti ini. Mereka sama-sama penggemar duda dari Song Hye-Kyo itu. Keributan kedua gadis penggemar drakor itu membuat kamar Tamara menjadi lebih panas.
Mengabaikan keributan dua gadis berwatak keras itu, Rianti membuka platform menulis tempat dia memublikasikan tulisannya. Rianti terpekik saat melihat jumlah pengikutnya naik dalam waktu singkat. Jumlah orang yang berlangganan membaca tulisannya pun melonjak.
“Kenapa?” tanya Tamara yang duduk tepat di sampingnya. Hana dan Audi menghentikan perdebatan mereka, turut penasaran pada pekikan Rianti. Marsha hanya melirik sekilas lalu melanjutkan mengunyah pizza di tangannya.
“Ini jumlah pengikutku naik banyak banget. Masa udah tembus angka lima ratus orang? Ini beneran 'kan?” tanya Rianti dengan mimik tak percaya.
“Kenapa kaget? Tulisan kamu sekeren itu, kok,” sahut Tamara. Ketiga temannya mengangguk mengiyakan perkataan Tamara.
“Eh, kamu udah kunci ceritanya 'kan?” tanya Hana.
“Udah, dari awal aku udah setting kalau cerita aku ini berbayar. Bukan apa-apa, aku sedang butuh uang,” jawab Rianti lirih. Meski toko kelontong milik ayahnya kini mulai dikunjungi warga desa lagi, namun tetap saja keluarganya butuh tambahan penghasilan untuk biaya pengobatan ayah.
“Nggak apa, jangan merasa bersalah gitu. Meskipun awalnya novel ini adalah isi curahan hati, yang kamu tulis buat healing therapy, tetap aja butuh effort buat merangkai kata. Nah, uang yang kamu dapatkan nanti, itu adalah bayaran dari usaha kamu itu,” jelas Tamara.
“Iya, sih, cuma terkadang aku ngerasa bersalah. Tulisan amatir, kok, harus membeli koin segala buat membacanya.”
“Halah! Itu cuma ada di pikiran elo. Tulisan elo itu bagus, terstruktur, kata-katanya juga mudah dimengerti. Ya emang, sih, tulisan elo minim diksi yang indah, tapi pesan dari tulisan elo itu mudah dipahami. Ditambah lagi karena ini kisah nyata, rasanya itu ngena banget. Elo berhasil bikin para pembaca hanyut dalam alur ceritanya. Udah, deh, ilangin rasa insecure elo itu. Bosen gue ngingetin elo melulu!” omel Audi panjang lebar. Hana terbahak mendengar ocehan Audi.
“Rasain kamu! Sekarang temen bawelmu nambah, bukan cuma aku,” ledek Hana pada Rianti. Rianti merengut, mengiyakan dalam hati. Kini bukan hanya Hana yang kerap mengomelinya. Audi tak kalah cerewet dibandingkan Hana. Untung saja Tamara dan Marsha lebih kalem dari kedua sahabatnya itu.
“Kira-kira awal bulan nanti, kamu dapet berapa duit ya?” tanya Hana. Bulan lalu, Rianti belum mendapatkan bonus, karena delapan bab awal masih bisa dibaca gratis. Bulan ini, Rianti telah memosting dua bab. Tak terlalu banyak, tapi cukup mengobati rasa penasaran para pembaca akan kelanjutan cerita yang ditulisnya.
“Belum begitu banyak, sih, tapi lumayan lah buat jajan cilok,” sahut Rianti.
“Traktirannya jangan lupa kalau bonusnya cair,” sahut Audi.
“Elah tega amat, lo! Ketimbang cilok doang elo minta traktir Rianti!” ledek Marsha yang sedari tadi banyak diam.
“Ya kali gue minta traktir burger sama dia. Kasian, dong, abis semua entar bonus yang dikumpulin,” balas Audi.
“Jangan minta traktir sama Rianti. Sama Abang aja, pasti diturutin apalagi kalau kita ajak Rianti juga,” saran Marsha seraya memainkan alisnya, menggoda Rianti.
“Setujuu!” teriak Hana, Tamara dan Audi bersamaan. Sementara itu wajah Rianti memerah menahan malu.
Sejak hari itu, ketika bertemu di ruang rawat inap Susan, Rianti menjadi dekat dengan Mas Wisnu. Meski para sahabatnya memanggil lelaki itu dengan sebutan abang, Rianti memilih memanggil dengan panggilan mas. Jangan tanya kenapa, karena Rianti melakukannya berdasarkan kenyamanan hatinya saja.
Awalnya Mas Wisnu meminta tolong pada Rianti untuk membantunya menangkap Mas Tio. Rianti diminta untuk menceritakan tentang latar belakang keluarga Mas Tio. Apalagi saat Mas Tio menghilang. Berkat informasi dari Rianti, polisi menangkap Mas Tio di rumah bibinya, yang berada di pinggir kampung.
Mas Wisnu juga menawarkan pada Rianti, apakah kasusnya ingin kembali dibuka agar hukuman untuk Mas Tio bisa bertambah? Dengan mempertimbangkan kesehatan ayah, Rianti memilih untuk menutup kasusnya. Ya meski begitu, tetap saja beberapa kali Rianti diperiksa oleh polisi sebagai saksi. Lumayan menguras emosi dan energinya. Karena itu jadwal memosting ceritanya sedikit tersendat. Semua itu ternyata membawa hikmah, membuat para penggemar ceritanya makin penasaran.
“Ciee ... Rianti ngelamunin abang, ya?” ledek Tamara. Rianti mengibas tangannya, menepis tuduhan Tamara.
“Udah, sih, jangan nolak. Kurang apa lagi abangku itu? Ganteng iya, kerjaan oke, udah jelas dia sayang sama kamu,” rayu Tamara.
“Iya, bosen tahu, nggak, gue dengerin dia minta awasin elo di kampus!” celetuk Marsha. Tamara dan Audi mengangguk kencang.
“Maksudnya gimana, aku nggak ngerti?” tanya Hana.
“Abang itu naksir Rianti dari dulu. Riantinya aja yang terlalu fokus sama si Tio itu, sampe mengabaikan cowok lain yang jelas lebih sayang,” sungut Tamara.
“Emang Mas Wisnu ketemu aku di mana? Aku kerja di butik itu, kan, pas kuliah,” bantah Rianti.
“Gue, kok, geli ya denger Rianti manggil abang pake panggilan mas,” celetuk Audi.
“Biarin aja, dong, namanya juga panggilan sayang,” sahut Marsha meledek.
“Kalian itu ngeledek aku terus. Aku beneran tanya, loh ....” Rianti memilih diam setelahnya, lalu kembali fokus pada laptopnya. Keempat sahabatnya saling pandang saat melihat Rianti merajuk. Tamara menunjuk hidungnya saat yang Audi, Hana dan Marsha menunjuknya untuk menenangkan Rianti.
“Nti, mau aku ceritain, nggak?” tanya Tamara. Rianti mengangkat bahu, masih fokus dengan laptop.
“Ya udah, kamu fokus aja ngetik sambil dengerin aku cerita. Oke?” tawar Tamara. Rianti tak bereaksi, masih merajuk.
“Abang pertama kali ketemu kamu itu waktu kamu masih SD. Waktu itu, orangtua abang kecelakaan dan meninggal di tempat. Kebetulan keluargaku waktu itu ada di Wina. Papi masih bertugas di sana, jadi nggak bisa pulang ke Indonesia.” Tamara jeda sebentar ingin melihat reaksi Rianti. Rianti menghentikan gerakan jemarinya di atas keyboard laptop, tetap tidak melihat ke arah Tamara.
“Kata Mbak Irish, keluarga kamu yang menampung mereka. Meski orangtua mereka meninggalkan banyak harta, tetep aja mereka butuh bantuan apalagi Abang waktu itu sangat kehilangan. Di rumah kakek kamu, mereka sempat tinggal selama dua bulan. Di situlah Abang melihat kamu. Anak kecil berkepang dua yang punya senyum manis. Yang telah mencuri hatinya.” Rianti melihat ke arah Tamara dengan dahi berkerut.
“Tunggu, jadi Mas Wisnu itu Kak Alex?” tanya Rianti setelah berpikir beberapa saat. Tamara mengangguk singkat sembari tersenyum.
“Ya Allah, pantesan wajahnya familiar.” Rianti menepuk dahinya.
“Kenapa ganti nama, sih? Jadi nggak aku kenali,” gerutu Rianti. Di dalam hatinya, Rianti merutuki dirinya sendiri. Kenapa dia ingat dengan Tante Irish, tetapi melupakan adiknya? Sungguh aneh!
“Bukannya waktu itu Mbak Irish bilang kalau nama abang itu Alex Wisnutama? Elo nggak ngedengerin ya?” tanya Audi. Rianti menggeleng pelan.
“Sejak ayah kamu bilang lebih cocok dipanggil Wisnu, abang langsung mengubah nama panggilnya. Katanya harus nurut sama ayah mertua. Dari dulu sampai sekarang, gadis yang selalu disebut abang ya cuma kamu. Bucin banget, deh!” Tamara terkekeh mengingat kelakuan kakak sepupunya itu.
“Romantis, ya, mirip cerita di novel percintaan. Cintaku tumbuh sejak dia masih berseragam putih merah,” celetuk Hana yang disambut tawa oleh semua sahabatnya kecuali Rianti yang menekuk wajahnya.
“Jadi, kalau abang datang melamar kira-kira diterima, nggak?” tanya Tamara. Wajah Rianti berubah pias saat mendengar pertanyaan Tamara.
Rianti mengakui jika dia mulai memiliki rasa tertarik pada Mas Wisnu. Apalagi saat tahu bahwa Mas Wisnu itu adalah Kak Alex. Makin besar rasa tertariknya pada lelaki berlesung pipi itu.
Namun jika Mas Wisnu datang melamar, rasanya Rianti belum siap. Dia belum terpikirkan untuk menikah dalam waktu dekat. Fokusnya saat ini adalah ingin membahagiakan kedua orangtuanya. Apalagi Rianti baru saja meniti karir sebagai penulis.
“Aku jamin, kalau kamu menikah dengan abang, karirmu sebagai penulis tidak akan terganggu,” ucap Tamara seolah bisa membaca isi kepala Rianti. “Malah mungkin dia bakal bikin karir kamu makin cepat melesat,” tambah Tamara.
“Memangnya kenapa?” tanya Rianti polos.
“Ya nanti aku kasih tahu kalau kamu mau kasih kesempatan buat abang deketin kamu,” sahut Tamara, membuat Rianti kembali diam.
Hana menepuk bahu Rianti, lalu merangkulnya. Sembari tersenyum Hana berkata, “Kamu gadis hebat, Rianti. Kamu berhak bahagia, salah satunya dengan cara jatuh cinta lagi. Jangan takut.”
“Aku nggak mau pacaran, Han. Aku masih trauma dekat-dekat sama cowok,” ucap Rianti lirih.
“Kalau elo nggak mau pacaran, makanya elo terima lamarannya abang. Dia udah pasti nerima kamu apa adanya. Abang nggak kalah imut, kok, sama L-infinite. Lesung pipinya juga sama. Cuma warna kulit doang yang beda. Ya anggap aja abang itu si L dalam kearifan lokal,” ucap Audi seperti sales promotion girl menawarkan produknya.
“Udah, ah, jangan bahas itu terus. Aku belum kepikiran buat nikah,” tutup Rianti sebelum akhirnya dia kembali fokus pada laptopnya.
Keempatnya saling pandang kemudian tertawa melihat wajah Rianti yang lucu. Rianti menekuk wajahnya tanpa bisa menutupi rona tersipu. Mau tapi malu.
_bersambung_



Bab 23
#OlimpiadeMenulis
#NulisDiBukulaku
#KMOClub
Tubuh Rianti berdiri tegak, semua sendinya terasa kaku. Di hadapannya kini berdiri Pak Kades dan istrinya dengan penampilan yang kusut.
Selepas salat Asar, Rianti berencana akan membeli nasi rames di warteg untuk makan malam. Sama sekali tidak ada dalam pikirannya, pemimpin di desanya itu kini berdiri di depan pintu kontrakannya.
“Assalamu’alaikum, Rianti. Apa kabar?” tanya Pak Kades. Raut wajahnya lusuh, jauh dari kebiasaannya yang selalu tampil perlente.
“Wa'alaikumussalam,” jawab Rianti singkat. Rianti menutup pintu kontrakan, sebagai kode bahwa dia tidak mengizinkan sepasang suami istri itu masuk ke dalam kontrakannya. Sebutlah Rianti sebagai anak yang kurang ajar, tapi Rianti tak peduli. Rianti masih ingat betapa sakitnya saat dituduh menggoda putra mereka.
Pak Kades menghela napas letih ketika melihat Rianti menutup pintu di belakangnya. Itu adalah tanda bahwa Rianti menolak kehadirannya.
“Ada perlu apa datang ke sini, Pak?” tanya Rianti tanpa basa basi.
“Rianti, tolong kami, Nak.” Istri Pak Kades menggenggam erat kedua tangan Rianti dengan posisi tubuh sedikit membungkuk.
“Tolong kami, Nak,” ucapnya sekali lagi. Rianti membiarkan tangannya digenggam.
“Cuma kamu yang bisa menolong kami. Tolong kamu rayu keluarga Susan untuk menarik tuntutan mereka. Kami siap bertanggung jawab. Tio siap menikahi Susan.” Istri Pak Kades menangis, wajah sembabnya basah.
“Maaf, Bu, itu bukan wewenang saya. Saya tidak berhak ikut campur,” tolak Rianti dengan halus.
“Maksud kamu apa? Tidak bisa ikut campur? Lalu kenapa kamu kemarin menjadi saksi buat mereka?!” Istri Pak Kades meninggikan nada bicaranya. Pak Kades berusaha menenangkan istrinya.
“Kita ini satu kampung, Rianti, masa kamu nggak bisa menolong kami? Kenapa kamu lebih membela mereka?! Jangan-jangan kamu dibayar, ya? Kamu pasti butuh uang karena toko ayahmu hampir bangkrut,” tuduh istri Pak Kades.
Amarah Rianti terpancing, rasa simpati yang tadi sempat datang, hilang musnah seketika.
“Saya membela karena saya juga korban dari putra Ibu! Nggak ada hubungannya dengan kondisi keluarga saya.” Rianti mengatur napasnya yang berburu terbakar amarah, “Ibu datang untuk meminta bantuan, begitukah cara meminta tolong? Menuduh tanpa bukti!”
“Maafkan istri saya, Nak. Tolong jangan marah.” Pak Kades berusaha menengahi. Dia tak ingin tujuannya meminta bantuan Rianti gagal gara-gara istrinya.
“Nak, bisa kita bicara lebih tenang. Bapak benar-benar minta tolong,” ucap Pak Kades. Istrinya membuang muka ketika Rianti melihat ke arahnya.
“Apa yang Pak Kades mau?” Senyum terbit di bibir Pak Kades mendengar ucapan Rianti. Dia berharap Rianti masih mau membantunya.
“Tolong bujuk keluarga Susan agar mencabut perkaranya. Kami siap bertanggung jawab. Tio akan menikahi Susan. Kalau Tio dipenjarakan, kasian anak yang dikandung Susan. Apa kamu pernah memikirkan nasib anak itu nantinya jika Tio dipenjara?” Sungguh pandai Pak Kades ini bermain kata. Dia mengetuk rasa kasihan Rianti akan bayi yang dikandung Susan.
“Pak Kades bukannya punya pengacara keluarga, yang waktu itu datang ke rumah Pak RT membujuk Ayah saya agar tidak menuntut? Kenapa Pak Kades nggak pakai jasa dia lagi?”
“Pengacara bilang, peluang Tio sangat tipis. Karena pihak Susan punya bukti yang kuat. Satu-satunya cara adalah membujuk mereka untuk mencabut tuntutan. Kami sudah berusaha, tapi mereka menolaknya,” jelas Pak Kades. Dia sangat putus asa, sudah mengeluarkan banyak uang untuk membela Tio. Namun semua langkahnya gagal, keluarga Susan bukan dari kalangan biasa seperti keluarga Rianti yang bisa dia tekan.
“Kalau pengacara bapak saja tidak bisa membujuk mereka, apalagi saya.” Rianti sungguh malas melanjutkan pembicaraan yang menurutnya sia-sia ini. Rianti tahu betul perkembangan kasus Susan. Keluarga Susan menolak pertanggungjawaban dari pihak Mas Tio. Mereka menuntut Mas Tio dihukum seberat-beratnya. Apalagi setelah ditemukan bukti bahwa Susan diancam oleh Mas Tio saat melakukan itu. Mas Tio mengancam akan memutuskan Susan jika keinginannya tidak dipenuhi. Saat Susan hamil, Mas Tio malah lari dari tanggungjawab.
Tentu saja pihak keluarga Susan menolak opsi perdamaian yang diajukan keluarga Mas Tio. Lebih baik Susan menjadi single parent dari pada harus terjebak pernikahan dengan lelaki buruk akhlak itu.
“Kamu bantu rayu calon suami itu untuk menghentikan provokasinya pada keluarga Susan,” jawab Pak Kades.
“Calon suami?” tanya Rianti.
“Alex Wisnutama itu calon suami kamu 'kan? Dia sepertinya masih kesal dengan kejadian kamu dulu, makanya dia mengompori keluarga Susan. Padahal permasalahan di antara kita sudah selesai dengan damai.” Pak Kades bicara seolah kejadian waktu itu bukanlah sesuatu hal yang besar. Menganggap bahwa kelakuan putranya pada Rianti itu layaknya kenakalan yang biasa dilakukan anak-anak, seperti mencubit temannya.
“Wah, ada apa ini Pak Kades datang ke tempat calon istri saya?” Suara lelaki yang belakangan sering membuat Rianti salah tingkah, menginterupsi percakapan. Pak Kades membalikkan badan, menatap Mas Wisnu dengan tajam.
Dengan santai Mas Wisnu berdiri di samping Rianti, lalu menarik ujung lengan panjang kaos Rianti agar Rianti berdiri di belakangnya. Perlakuan sederhana tetapi membuat hati Rianti berbunga-bunga, merasa sangat dilindungi.
“Ada perlu apa Pak Kades Tri datang ke tempat ini?” tanya Mas Wisnu tegas. Pak Kades mendengus kasar.
“Saya cuma meminta tolong pada Rianti,” ucap Pak Kades. Belum sempat Mas Wisnu menjawab, Pak Kades meminta agar mereka bicara di tempat yang tenang. Dia menyarankan untuk bicara di dalam kontrakan Rianti. Tanpa menanyakan pendapat Rianti, Mas Wisnu mengajak mereka bicara di kafe di ujung gang. Rianti menghela napas lega, dia sangat keberatan jika Pak Kades dan istrinya memasuki kontrakannya.
Mereka sampai di kafe setelah berjalan beberapa menit. Mas Wisnu mempersilahkan untuk memesan makanan dan minuman terlebih dahulu. Mata istri Pak Kades berbinar saat melihat deretan nama makanan dalam daftar menu. Rianti ragu-ragu memesan makanan, dia masih sangat canggung berdekatan dengan Mas Wisnu. Ini pertama kalinya mereka bertemu tanpa didampingi Tamara. Memang saat ini mereka tidak duduk berdua, namun tetap saja Rianti tidak dapat menghilangkan rasa canggungnya. Apalagi ternyata Pak Kades menganggap Mas Wisnu adalah calon suaminya.
“Pesan yang kamu mau, jangan ragu. Kalau kamu butuh cemilan untuk dimakan di kontrakan, kamu bisa pesan untuk dibungkus. Sekarang temani saya makan untuk menghormati mereka,” ucap Mas Wisnu sedikit berbisik. Rianti mengangguk patuh.
Sambil menunggu pesanan mereka datang, Pak Kades membuka obrolan. Dia bertanya tentang pekerjaan Mas Wisnu. Mas Wisnu hanya menjawab dia bekerja di sebuah perusahaan yang terletak di depan butik tempat Rianti bekerja. Tanpa menyebutkan nama perusahaan dan jabatannya. Padahal Rianti sangat penasaran dengan pekerjaan Mas Wisnu. Bertanya langsung, Rianti mana berani. Bertanya pada sahabatnya, yang ada malah makin diledek.
“Saya mohon, Nak Wisnu, bantu kami. Tolong bantu kami membujuk keluarga Susan agar menarik tuntutan mereka.” Akhirnya Pak Kades mengatakan tujuannya setelah berbasa-basi. Mas Wisnu tersenyum tipis. Mas Wisnu meminta mereka menikmati hidangan terlebih dahulu.
“Saya harap Nak Wisnu tidak mengaitkan kasus ini dengan kejadian yang dulu. Kejadian Rianti telah berakhir dengan damai. Toh, Rianti belum diapa-apakan oleh Tio,” ucap istri Pak Kades tanpa menghiraukan perkataan Mas Wisnu agar mereka menikmati hidangan dulu. Sontak hal itu membuat nafsu makan Rianti hilang.
“Damai, ya?” Mas Wisnu meletakan sendok dengan kasar. Menompang dagunya dengan kedua telapak tangan yang tergenggam. Matanya menatap tajam ke arah istri Pak Kades. Wajah istri Pak Kades langsung berubah pucat.
“Pernahkah kalian meminta maaf pada Rianti dan keluarganya?” tanya Mas Wisnu tanpa mengalihkan tatapannya dari wajah istri Pak Kades.
“Saya yakin, sampai detik ini kalian belum pernah meminta maaf pada Rianti dan keluarganya.” Mas Wisnu mengangkat tangan saat Pak Kades ingin membantah ucapannya,” kalian pasti masih menganggap Riantilah yang menggoda Tio.”
Mas Wisnu mengalihkan pandangannya ke arah Rianti yang tertunduk. Menepuk puncak kepala Rianti singkat, lalu berkata, “Allah tidak pernah tidur. Allah buka semuanya. Sekarang terbukti siapa yang sebenarnya berkelakuan bejat.”
Rianti mengangkat wajahnya, senyum manis Mas Wisnu tertangkap oleh netranya.
“Iya, tapi kejadian itu udah lama, udah selesai. Jangan diungkit dan dikaitkan dengan kejadian ini.” Pak kades masih bersikeras dengan pemikirannya.
“Kalau begitu, jangan mengkaitkan Rianti dengan permasalahan kalian sekarang!” Mas Wisnu melambaikan tangan memanggil pelayan, meminta membungkus makanan di atas piringnya dan piring Rianti.
“Silahkan Bapak dan Ibu menikmati makanan, saya dan Rianti pamit lebih dulu. Pembicaraan kita selesai! Saya rasa hanya buang waktu pembicaraan kita ini. Satu lagi, saya sudah membayar tagihan makanannya.”
Wajah pucat pasi Pak Kades dan istrinya tidak mengurangi rasa kesalnya, Mas Wisnu meminta Rianti untuk meninggalkan tempat itu.
Mereka berjalan berdampingan menuju kembali ke kontrakan Rianti.
“Rianti,” panggil Mas Wisnu. Rianti menoleh ke samping, dengan gugup menatap Mas Wisnu.
“Aku sudah melamar kamu pada Ayah. Ayah bilang, keputusannya ada pada kamu.” Mas Wisnu mengatakan dengan suara yang tenang. Rianti kembali menatap ke depan. Sendi kakinya terasa lemas.
Apa yang ada dalam pikiran Mas Wisnu? Kenapa tiba-tiba melamarnya? Pertanyaan itu hadir dalam otak kecil Rianti.
“Aku sudah menunggumu bertahun lamanya. Menunggumu cukup umur untuk dinikahi. Jika kita menikah, aku nggak akan menghambat kuliah kamu dan karir menulismu. Aku akan mendukungmu menggapai cita-cita.” Mas Wisnu menghentikan langkahnya. Mereka berhenti di tengah gang dengan saling memandang.
“Mas ... aku itu nggak sama dengan gadis lain,” ucap Rianti sembari menundukkan kepalanya. Degup jantungnya berdetak kencang.
“Iya, kamu memang nggak sama dengan gadis lain. Karena hanya kamu yang mengisi hatiku.” Ingin rasanya Mas Wisnu menggenggam tangan Rianti untuk meyakinkannya. Namun dia harus menahan diri, belum boleh ada sentuhan sampai status mereka halal. Tepukan yang dia lakukan di puncak kepala Rianti tadi pun sangat disesalinya.
“Mas ... boleh aku pikirkan dulu? Aku ....”
“Oke, aku akan menunggu.” Mas Wisnu tersenyum menampilkan lesung pipinya.
“Ah, iya, gimana bonus menulis, udah cair ya?” tanya Mas Wisnu mengalihkan pembicaraan agar Rianti tidak terlalu canggung.
“Alhamdulillah, Mas. Serasa mimpi dapat uang dari hobi. Sama sekali nggak menyangka bonus pertama aku di atas satu juta rupiah. Aku ini, kan, pemula, tapi novel aku disukai banyak orang.” Mata Rianti berbinar bahagia menceritakan semuanya. Tanpa diminta Rianti menceritakan kebahagiaannya yang telah mengirim ibunya uang hasil menulis.
Mas Wisnu tersenyum melihat kebahagiaan terpancar dari wajah ayu Rianti. Akhirnya, gadisnya menemukan kebahagiaan, melupakan masa lalunya yang menyakitkan.
_bersambung_



Bab 24
#OlimpiadeMenulis
#NulisDibukulaku
#KMOClub
Rianti meletakkan ponselnya di atas meja, kemudian mengambil foto berfigura. Dipandangnya wajah ayah dan ibu di sana. Ayah yang tersenyum lebar, ibu memeluk Rianti yang tersenyum manis. Mereka bertiga tampak bahagia. Foto itu diambil setelah pengumuman kelulusan SMA, Mang Tarjo karyawan ayah yang mengabadikan momen itu. Siapa sangka, dua hari setelah itu, hampir tidak ada tawa lagi di keluarga mereka. Kehidupan berubah seratus delapan puluh derajat.
Alhamdulillah setelah dua tahun berlalu, kini kehidupan keluarganya mulai membaik. Setelah penangkapan Mas Tio lima bulan yang lalu, dan diputuskan bersalah satu bulan kemudian, Rianti dan orangtuanya bisa bernapas lega. Keadilan telah datang, kebenaran akhirnya terungkap. Ayah dan ibu tidak lagi dikucilkan oleh warga kampung. Sebagian yang memiliki hati besar, datang menemui orangtua Rianti untuk meminta maaf. Sebagian lagi bersikap acuh seolah tidak melakukan kesalahan. Namun tak apa, yang terpenting kebenaran telah terungkap. Nama baik Rianti kembali bersih.
Baru saja Rianti menghubungi ayahnya, Rianti ingin pulang pada liburan semester dua pekan lagi. Namun ayah melarang, katanya ayah dan ibu yang ingin berlibur di kota. Sempat terjadi perdebatan. Rianti bersikeras ingin pulang, rindu rumah dan sahabat-sahabatnya di sana. Rianti ingin memeluk Yuni dan Lela yang selalu mendukungnya. Meski di sini Rianti memiliki banyak sahabat baru, Rianti tetap merindukan kedua sahabatnya di kampung. Lela telah melahirkan putra pertamanya, Rianti ingin memeluk dan menciumi keponakannya itu.
Sayangnya Ayah pun bersikeras ingin datang ke kota. Ayah bilang ingin berkenalan dan mengucapkan terima kasih pada sahabat-sahabat Rianti yang telah mendukung dan menemani Rianti. Akhirnya Rianti mengalah pada keinginan ayah. Rianti akan memanfaatkan waktu liburan itu untuk menyenangkan kedua orangtuanya.
Akan dibawanya ayah dan ibu ke tempat rekreasi dan menikmati berbagai kuliner enak di sini.
Penghasilan Rianti sebagai penulis sudah cukup besar. Rianti mengirimkan sebagian penghasilan pada ibu, lalu sebagian lagi ditabung. Rianti ingat betul bagaimana reaksi ibu saat pertama kali menerima kiriman uang darinya. Ibu sempat menolak, ibu bilang simpan saja untuk keperluan Rianti di tanah rantau. Setelah Rianti menjelaskan dari mana yang itu ia dapatkan, termasuk jumlahnya, akhirnya ibu mau menerima. Melalui panggilan video, dengan berurai air mata ibu mengucapkan terima kasih dan mengungkapkan rasa bangganya pada Rianti. Peristiwa yang tak terlupakan bagi Rianti.
Meski kini kehidupannya membaik, Rianti tetap hidup sederhana seperti biasa. Rianti pun tetap bekerja di butik Tante Irish. Keempat sahabatnya tak habis pikir, bagaimana caranya Rianti membagi waktu antara kuliah, bekerja dan menulis? Nilai-nilai Rianti di kampus terbilang cukup baik dan stabil. Rianti pun masih menjadi karyawan favorit para pelanggan butik.
Sebagai penulis, Rianti cukup produktif. Setelah menamatkan novel pertamanya bulan lalu dengan pencapaian ribuan pembaca, seminggu kemudian Rianti meluncurkan novel keduanya. Bertema percintaan, yang Rianti ambil dari kisah perjodohan Lela, sahabatnya di kampung. Rianti telah meminta ijin sebelum menuliskannya menjadi sebuah novel. Lela tidak keberatan, asal tidak memakai nama aslinya.
Tema percintaan adalah tema favorit pembaca, ditambah lagi Rianti telah memiliki pengikut yang loyal. Novel keduanya tak kalah populer dibanding dengan novel pertamanya. Meski berstatus on going, novel keduanya ini telah menarik pembaca lebih banyak dari novel pertamanya. Orangtua Rianti mengingatkan agar tetap hidup sederhana dan tidak sombong walau telah mencapai kesuksesan.
Kesederhanaan dan semangat Rianti membuat Mas Wisnu semakin terpikat. Mas Wisnu tak memaksa Rianti untuk segera menjawab lamarannya, tetapi Mas Wisnu makin gencar memberikan perhatiannya pada Rianti. Dia sering mengirimnya makanan, menjemputnya saat pulang kerja, atau sekedar mengajak jalan-jalan di mall. Tentu saja Rianti membawa rombongan yaitu keempat sahabatnya itu. Mas Wisnu sama sekali tidak keberatan. Yang penting Rianti tidak lagi canggung dan mau menerima kehadirannya.
Seperti sore ini, mereka berencana akan menonton film di bioskop. Mereka akan menonton beramai-ramai. Rencananya, Hana akan mengenalkan pacar barunya. Acara sore ini adalah pajak jadian yang ditagih dari Hana. Biasanya Mas Wisnu akan menolak dibayari, dia akan tetap mengeluarkan uang pribadi. Lebih seringnya Mas Wisnu tetap membayar miliknya, Rianti, dan Tamara.
Ponsel Rianti kembali berdering, nama Tamara terpajang di layar ponsel.
“Assalamu’alaikum, Nti,” sapa Tamara di seberang sana.
“Wa'alaikumussalam,” jawab Rianti.
“Buka pintu, please, aku ada di depan, nih.”
“Oh, kamu di depan, tunggu bentar.” Rianti bergegas membuka pintu. Tamara tersenyum sambil mengangkat keresek yang dibawanya.
“Nih, kesukaan kamu. Kebetulan tadi aku lewat warung pempek idola. Keingetan kamu, jadi aku beli, deh.” Tamara melepas sepatunya, tanpa canggung melenggang masuk. Rianti menutup pintu, lalu menuju meja kompor yang terletak di samping kamar mandi.
“Kamu mau juga, Ra?” tanya Rianti setengah berteriak.
“Iya, dong, goreng agak kering ya, Nti.” Tamara hanya menolehkan kepalanya ke arah Rianti.
“Maafkan aku, Kakak ipar. Aku nggak bersahabat dengan kompor, jadi aku tahu mateng aja,” ujar Tamara sembari terkikik. Rianti geleng-geleng kepala melihat kelakuan sahabatnya itu.
Diiringi suara percikan minyak goreng, Tamara bersenandung kecil. Rianti tahu pasti bahwa sahabatnya itu sedang jatuh cinta. Tamara sedang dekat dengan kakak tingkat di kampus. Namanya Leon, mahasiswa kedokteran tingkat akhir, yang sedang menjalani proses koas di rumah sakit. Sayangnya, Mas Wisnu belum menyetujui adik sepupunya itu berpacaran. Rianti cukup kaget saat mengetahui Tamara tidak pernah berpacaran. Dengan fisik yang sempurna, Rianti rasa sangat mudah Tamara menjerat perhatian dari lelaki. Ternyata yang membuat Tamara tidak bebas berdekatan dengan lawan jenis adalah sikap protektif Mas Wisnu. Karena itulah Tamara ingin Mas Wisnu cepat-cepat menikah agar tidak lagi sibuk mengurusinya. Lagi-lagi Rianti yang akan dirayu Tamara agar cepat menerima lamaran Mas Wisnu.
“Nti, rencananya kapan kamu terima lamaran abang? Kita udah mau semester lima, loh. Udah cukup umur kali kamu nikah ....” Tamara bangkit dari rebahannya, duduk di karpet saat Rianti membawa dua mangkok pempek.
“Kamu kali yang kebelet nikah!” cibir Rianti. Tamara berdecak sambil menusuk potongan pempek dengan garpu.
“Aku, tuh, pengen ngerasain rasanya pacaran, Nti. Abang nyebelin banget! Aku 'kan udah gede. Papi aja nggak ngelarang. Mami malah suka nyuruh aku pacaran. Tapi ya gitu, deh, setelah abang ceramah panjang lebar, mami papi nggak berkutik.” Tamara mengunyah pempeknya setelah mengungkapkan kekesalannya.
“Iya, nanti aku bilang ke Mas Wisnu buat ijinin kamu pacaran,” sahut Rianti asal.
“Emang kamu berani bilang begitu?” tanya Tamara tak yakin. Rianti menggeleng sembari terkekeh.
“Ck! Sudah kuduga! Makanya kamu buruan nikah sama abang. Kalau udah nikah gampang kamu merayu abangnya. Tinggal ancem aja nggak dapet jatah, pasti abang nurut, deh!” ucap Tamara tanpa dosa. Sedangkan Rianti tersedak mendengar ucapan Tamara.
Rianti memang belum pernah pacaran, tetapi dia tidak terlalu polos juga. Dia paham apa arti kata ‘jatah’ yang dimaksud oleh Tamara. Rianti sering mendengar curahan hati Lela tentang kehidupan rumah tangganya. Selain mendapatkan ide untuk novel barunya, Rianti pun mendapatkan pengetahuan tentang kehidupan berumah tangga.
“Ciee, kamu ngebayangin itu sama abang, ya?” goda Tamara. Rianti memukul lengan Tanara.
“Apaan, sih, jangan aneh-aneh kalau ngomong!”
“Apa? Yang aku maksud itu, kan, kamu ngebayangin nikah sama abang. Emang kamu sangka apa?” goda Tamara lagi. Rianti mati-matian menyembunyikan rasa malunya.
Ponselnya kembali berdering, kali ini nama Mas Wisnu yang terpajang di layar ponsel.
“Assalamu’alaikum, Rianti.”
“Wa’alaikumussalam, Mas,” jawab Rianti, disampingnya Tamara tak berhenti menggoda.
“Katanya ayah sama ibu mau ke kota, ya? Mas mau beli tiket kereta untuk mereka. Kamu libur mulai tanggal berapa?” tanya Mas Wisnu.
“Nggak usah, Mas, biar aku aja yang beli tiketnya.” Rianti berusaha menolak, meski dia tahu pasti tidak akan berhasil mengalahkan keteguhan Mas Wisnu. Sedikit banyak Rianti tahu bagaimana sifat lelaki yang telah melamarnya itu. Mas Wisnu memiliki prinsip bahwa uangnya adalah uang istrinya juga, sedangkan uang istri hanyalah milik istrinya. Rianti pernah bilang bahwa dia belum menjadi istrinya. Dengan penuh percaya diri Mas Wisnu berkata, “cepat atau lambat kamu akan jadi istri aku.”
“Oke, kalau kamu nggak mau kasih tahu kapan kamu libur, nanti Mas tanya Tamara aja. Assalamu’alaikum.” Mas Wisnu menutup sambungan teleponnya. Dia memilih menutup telepon dari pada harus berdebat dengan Rianti.
“Kenapa?” tanya Tamara melihat wajah Rianti yang muram.
“Mas Wisnu kayaknya marah waktu aku nggak jawab kapan libur dan melarang dia beli tiket buat ayah sama ibu.” Tamara terbahak. Tangannya mengusap punggung Rianti.
“Sabar ya, Kakak ipar. Abangku itu memang gitu, suka seenaknya sendiri. Tapi aku yakin, kok, dia lakukan itu untuk kepentingan kamu juga. Lebih baik uang kamu habiskan buat mentraktir ayah dan ibu di sini. Mas Wisnu, kan, kerja. Nggak mungkin ikut nemenin ayah sama ibu. Jadi urusan tiket, biar dia yang beresin. Adil, kan,” jelas Tamara. Rianti mengangguk setuju.
Rianti tidak sabar bertemu dengan ayah dan ibu. Ingin memeluk erat kedua malaikat tak bersayap itu. Tanpa mereka, apalah dirinya ini. Jika bukan karena doa mereka yang tak pernah putus, Rianti tak mungkin bisa melewati semua ujian dan menggapai kesuksesan.
Ayah, Ibu, Rianti kangen! Ucap Rianti dalam hati.
_bersambung_

Bab 25
#OlimpiadeMenulis
#NulisDiBukulaku
#KMOClub
Liburan telah di depan mata, Tamara, Audi juga Marsha heboh menyusun rencana liburan mereka.
“Haduuh, hawa-hawa liburan udah kenceng banget ya, gaes. Gue nggak sabar pengen berjemur di Bali,” seru Audi.
“Iya, sayang banget elo nggak ikut, Nti,” timpal Marsha.
“Mana boleh dia ikut, bisa-bisa aku digorok sama abang. Kalau maksa, nanti malah ijin aku yang dicabut,” ujar Tamara. Audi terkekeh menertawakan nasib Rianti yang memiliki calon suami protektif. Meski lamarannya belum diterima, tetap saja Mas Wisnu mengklaim Rianti sebagai calon istrinya.
“Lagian juga orangtuaku mau dateng, masa aku malah pergi ke Bali.” Secara tak langsung Rianti membela Mas Wisnu yang dinilai over protective oleh para sahabatnya.
“Iya juga, sih. Eh, ortu elo kapan dateng? Kita masih bisa ketemuan nggak?” tanya Marsha.
“Kalian pergi hari Kamis 'kan?” tanya Rianti yang dijawab dengan anggukan oleh Tamara.
“Ayah sama ibu dateng hari selasa. Sempetin ketemu ya, mereka pengen kenalan sama kalian,” ujar Rianti setengah memohon.
“Oke, gue juga pengen ketemu sama Ayah Rozak. Mirip nggak sama Ayah Ozaknya Ayu Ting-Ting,” sahut Audi yang disambut tawa oleh semuanya.
“Gantengan ayah aku lah! Ayah aku, mah, gaaanteng!” ucap Rianti menirukan gaya bicara yang sempat viral itu. Ketiga sahabatnya terbahak melihat kelakuan Rianti.
“Dasar gokil! Abang ilfil nggak lihat elo jadi begini?” tanya Marsha.
“Mana ada dia ilfil, yang ada malah makin cinta!” sahut Audi. Tamara mengecek ponselnya yang berdering. Matanya berkaca-kaca memandang layar ponselnya. Audi dan Marsha saling pandang. Rianti malah asik mencocol gorengan dengan saos sambal.
Tiba-tiba Tamara memeluk erat Rianti. Untung saja Rianti tidak tersedak.
“Rianti, selamat ya, akhirnya ....” ucap Tamara penuh haru. Rianti memandang wajah Tamara dengan heran. Begitupun Audi dan Marsha.
“Apaan, sih, Ra? Selamat apaan?” tanya Rianti bingung. Tamara menggeleng, matanya menatap Rianti dengan senyum di bibir. Tanpa menghiraukan keanehan Tamara, Rianti mengambil ponselnya dari dalam tas. Dia membuka pesan yang diterimanya dua hari lalu. Surel dari penerbit mayor yang meminang novel pertamanya. Mereka mengajukan kontrak kerja penerbitan novel. Rianti melihat ke arah Tamara.
“Ini yang kamu selametin ke aku?” tanya Rianti sambil mengulurkan ponselnya. Audi mengambil ponsel Rianti lalu membaca surel itu.
“Gila! Novel elo dipinang!” teriak Audi menarik perhatian orang yang berada di kafetaria kampus. Marsha merebut ponsel Rianti. Kemudian keduanya memeluk Rianti. Rianti tersenyum lebar menerima pelukan dari sahabatnya.
“Eh, kok, kamu tahu lebih dulu, Ra?” tanya Rianti heran. Audi berdecak kesal.
“Jelaslah dia tahu, wong abangnya itu CEO CV. Mandala Prakarsa,” celetuk Audi.
“Hah? Maksudnya Mas Wisnu itu kerja di MP? Penerbit yang mencetak buku-buku best seller itu?”tanya Rianti tak percaya.
“Bukan kerja, tapi pemilik sekaligus CEO nya,” jawab Tamara.
“Elo nggak nyadar, ya? Padahal, kan, kantor MP ada di seberang Irish’s Boutique.”
Rianti menggeleng, dia memang tahu kalau Mas Wisnu bekerja pada salah satu perusahaan yang memiliki kantor di gedung bertingkat itu. Namun Rianti sama sekali tak menyangka jika Mas Wisnu bekerja di Mandala Prakarsa. Bukan bekerja kalau kata Tamara, tetapi pemilik dari CV. Mandala Prakarsa.
“Apa aku bilang, kalau kamu nikah sama abang, karir kamu sebagai penulis bakal melesat,” ucap Tamara.
“Jangan-jangan jumlah pembaca aku yang naik dengan cepat itu juga karena campur tangan Mas Wisnu?” tanya Rianti. Audi menyentil dahi Rianti dengan kesal.
“Segimana cintanya abang ke elo, dia bakal tetep profesional. Kita dan abang, memang bantu promosiin cerita elo di medsos masing-masing. Tapi hanya sebatas itu. Selebihnya ya itu memang murni kerja keras elo! Gemeees gue kalau Rianti kayak gini lagi!” Audi menahan rasa kesalnya.
“Sabar, Bu.” Marsha mengelus punggung Audi yang kesal pada sikap rendah diri Rianti.
“Abang hanya membantu kamu sebatas itu. Yang mengajukan novel kamu ke perusahaan juga bukan abang, tapi tim editor. Mereka memang sedang mencari penulis berbakat untuk diorbitkan. Mereka mencari pada platform-platform menulis online. Ranting novel kamu, kan, bagus. Pastilah mereka tertarik,” jelas Tamara. Rianti mengangguk singkat, mengiyakan perkataan Tamara. Rianti harus menghilangkan rasa rendah dirinya.
“Balik, yuk. Sampai ketemu Selasa, ya. Gue mau ketemu Ayah Rozak. Anak ayah, mah, caaantik!” celetuk Marsha mencairkan suasana.
&&&&&
Rianti memeluk Ayah, Ibu tersenyum hangat dengan mata berkaca-kaca. Melepas pelukan Ayah, Rianti berganti memeluk Ibu.
“Aku kangen banget sama kalian,” ucap Rianti di sela tangisnya. Ibu mengusap air mata Rianti.
“Udah, jangan nangis. Malu sama Mas Wisnu.”
Rianti melirik ke arah Mas Wisnu yang berdiri di belakang Ayah. Dia sama sekali tak menyadari kalau Mas Wisnu ada di sana.
“Mas Wisnu menjemput kami, Nak. Dia khawatir kalau kami berpergian cuma berdua. Katanya, Ibu pasti bawa oleh-oleh banyak buat kamu, nanti Ayah kerepotan bawanya,” ucap Ayah seolah mengetahui pertanyaan yang muncul di pikiran Rianti. Ayah terkekeh seraya menepuk lengan atas Mas Wisnu.
“Kamu salim dulu sama Mas Wisnu.” Ibu mengangkat tangan Rianti agar menyium punggung tangan Mas Wisnu. Rianti terlihat bingung, namun dia tetap melakukan hal yang diminta ibu. Mas Wisnu tersenyum, jemari tangannya mengusap pelan puncak kepala Rianti. Ada rasa yang berbeda menghampiri Rianti. Sama seperti usapan Ayah tetapi kali ini membuat hati menjadi lebih hangat.
“Kamu ke sini naik apa, Rianti?” tanya Mas Wisnu setelah menarik tangannya dari puncak kepala Rianti.
“Naik ojol, Mas. Aku mau pesan taksol dulu.” Rianti mengeluarkan ponselnya dari saku celana.
“Nggak usah, sopir aku udah di depan. Ayo, Ayah, Ibu, aku antar sampai kontrakan Rianti,” ajak Mas Wisnu. Dia berjalan di samping Ayah yang tidak bisa menyembunyikan raut bahagianya.
Mobil berhenti di depan gang, Mas Wisnu dengan cekatan membantu Ayah membawa bungkusan oleh-oleh. Sebagian tetap disimpan dalam mobil, oleh-oleh untuk keluarga Mas Wisnu. Mas Wisnu mengantar sampai depan pintu kontrakan.
“Yah, Bu, Wisnu pamit dulu. Besok malam, Wisnu jemput lagi.” Ayah mengangguk, menepuk bahu Mas Wisnu.
“Besok memangnya mau ke mana?” tanya Rianti.
“Makan malam di rumahku,” jawab Mas Wisnu sembari tersenyum, tangannya hendak menoel pipi Rianti lalu dibatalkannya.
“Sabar, Mas,” goda ayah. Rianti menunduk malu.
“Bukannya acara makan malam itu nanti malam Jumat, ya?” tanya Ibu.
“Ah, iya, besok malam masih malam Kamis.” Mas Wisnu menepuk dahinya sendiri. Ayah dan Ibu geleng-geleng kepala melihat tingkah lelaki yang telah melamar anak gadis mereka itu.
“Wisnu pamit dulu, assalamu’alaikum.” Wisnu mencium punggung tangan ayah dan ibu bergantian. Kemudian mengusap lembut puncak kepala Rianti.
“Wa’alaikumussalam,” jawab ayah, ibu dan Rianti bersamaan.
Setelah Mas Wisnu pulang, Rianti mempersilahkan orangtuanya untuk masuk. Ayah dan ibu memandang kontrakan Rianti yang rapi, ini pertama kalinya mereka berkunjung ke sini.
“Nyaman, pantas kamu betah di sini,” ucap Ibu. Ibu duduk di atas karpet, meluruskan kakinya yang sedikit pegal karena telah duduk lama di kereta. Sedangkan Ayah memilih untuk rebahan di atas kasur.
“Iya, harga sewanya juga murah. Lokasinya di tengah antara kampus dan butik,” jelas Rianti.
“Ayah sama Ibu mau langsung istirahat?” tanya Rianti, tangannya sibuk merapikan barang-barang bawaan kedua orangtuanya.
“Istirahat sebentar, ya. Badan Ayah lumayan pegel ini.” Ayah memijit bahunya.
“Aku pijit ya, Yah. Ayah tengkurap.” Rianti beranjak mendekati Ayah lalu memijit punggung lebar Ayah yang tak sekokoh dulu. Punggung Ayah terlihat ringkih, penyakit menggerogoti tubuh tegapnya. Sekuat tenaga Rianti menahan tangisnya. Hatinya sedih melihat kondisi fisik ayah. Sudah cukup penderitaan orangtuanya, kini saatnya Rianti membahagiakan mereka. Rianti telah menyusun rencana untuk menyenangkan hati ayah dan ibu pada liburan kali ini.
“Rianti anak Ayah,” panggil ayah dengan suara terendam bantal.
“Iya, Ayah,” jawab Rianti. Ayah membalikkan tubuhnya, lalu duduk di hadapan Rianti.
“Kamu tahu 'kan, kalau Mas Wisnu telah melamarmu?” tanya Ayah. Rianti mengangguk singkat. Seketika hati Rianti menghangat saat Ayah menyebut nama Mas Wisnu.
“Kemarin dia datang untuk melamarmu untuk ketiga kalinya. Dia bilang, kamu belum menjawab lamarannya.” Ayah menarik napas dalam-dalam, “maafkan Ayah, Ayah telah menerima lamarannya, Nak. Dia pemuda yang baik, saleh, dan bertanggung jawab. Kamu nggak keberatan 'kan? Kamu nggak marah sama Ayahmu ini 'kan, Nak?”
Rianti menatap wajah Ayah yang berhias kerutan, matanya menatap penuh permohonan.
Rianti mengangguk mantap. Rianti memutuskan menerima lamaran Mas Wisnu. Lelaki yang diam-diam menjaganya. Mas Wisnu menceritakan setelah melamarnya tempo hari. Mas Wisnu melancarkan banyak modus untuk mendekatinya, sampai harus makan di warung ketoprak setiap hari. Pura-pura meminta Mang Karyo menanyakan namanya. Padahal saat itu, tanpa sepengetahuan Rianti, Mas Wisnu telah datang melamar.
“Alhamdulillah, terima kasih, Nak.” Ayah memeluk Rianti.
“Kenapa Ayah bilang makasih?” tanya Rianti.
“Karena tugas Ayah semakin ringan, Ayah tenang karena ada yang menjagamu di sini,” ucap Ibu sambil mengusap kedua pipi Rianti. Matanya berkaca-kaca, raut lega terpancar dari wajah Ibu. Begitupun wajah Ayah.
“Besok, aku mau ngenalin temen-temen aku ke Ayah sama Ibu. Mereka semua baik, selalu dukung dan semangatin aku terus,” ucap Rianti mengalihkan pembicaraan. Air matanya sudah di ujung. Rianti tak ingin menangis, saat ini adalah waktunya bersenang-senang dengan Ayah dan Ibu. Rianti berusaha mengenyahkan firasat tak enak yang tiba-tiba datang. Semoga semua baik-baik saja.
_bersambung_



Bab 26 -selesai-
#OlimpiadeMenulis
#NulisDiBukulaku
#KMOClub
Ayah terpingkal saat teringat pertemuannya kemarin dengan sahabat-sahabat Rianti. Perdebatan Hana dan Audi membuat suasana semakin ramai, karena yang lain bukannya melerai malah memprovokasi agar mereka semakin panas. Untungnya perdebatan mereka sebatas drakor bukan hal-hal yang sensitif. Ayah merasa terhibur melihat tingkah laku anak-anak muda itu. Serasa kembali muda.
Setelah kemarin puas berkeliling kota, mencicipi makanan yang tidak ada di daerahnya, lalu bertemu dan bercengkrama dengan para sahabat Rianti, hari ini Ayah dan Ibu memilih beristirahat di kontrakan Rianti. Padahal Rianti masih ingin mengajak mereka berbelanja di pusat perbelanjaan.
“Lebih baik uangnya kamu simpan. Baju-baju Ayah dan Ibu masih banyak, masih bagus-bagus,” tolak Ayah saat Rianti merayu mengajak mereka untuk pergi.
“Padahal apa yang aku lakuin ini semua untuk kalian. Untuk kebahagiaan Ayah sama Ibu.” Bibir Rianti merengut, hatinya sedikit kesal. Rianti ingin sekali orangtuanya menikmati hasil kerja kerasnya. Mendapatkan penghasilan cukup besar dari hobi, adalah hal yang tak terpikirkan olehnya. Bahkan bermimpi pun Rianti tidak berani.
“Ayah butuh istirahat, Nti. Nanti malam, kan, kita mau ketemu dengan keluarga Mas Wisnu.” Ibu membelai rambut panjang Rianti.
“Kalau ketoprak langganan kamu jauh dari sini?” tanya Ayah.
“Ayah mau ketoprak?” Ayah mengangguk.
“Iya, Wisnu suka cerita. Katanya di warung ketoprak itu dia suka mengawasi kamu dari jauh. Kamunya yang sok jual mahal, katanya,” goda Ayah.
“Mana aku tahu kalau dia itu Kak Alex. Masnya juga nggak nyapa aku duluan!” gerutu Rianti.
“Udah, ah. Kebiasaan, deh, Ayah hobi banget godain anaknya!” omel Ibu.
“Mumpung masih bisa digodain, Bu. Bentar lagi dia mau dibawa orang.” Ayah tersenyum tipis.
“Apaan, sih. Sampai kapan pun aku tetep anak Ayah.” Rianti berhambur memeluk Ayah. Ayah mengecup puncak kepala Rianti.
“Yuk, kita ke warung ketoprak. Ayah mau makan di sana.”
“Ayo! Sekalian kenalan sama Mang Karyo,” ajak Rianti.
&&&&&
Rianti mengenakan tunik pink pucat dipadu dengan celana jeans berwarna navy. Ayah dan Ibu memakai setelan batik sarimbit berwarna merah bata.
Baru saja Rianti ingin memesan taksol, panggilan Mas Wisnu masuk ke ponselnya.
“Assalamu’alaikum, Mas,” sapa Rianti.
“Wa’alaikumussalam. Rianti, nanti Pak Dul akan jemput. Dia sudah di jalan, mungkin sebentar lagi sampai. Tunggu, ya, jangan pesan taksi.” Suara Mas Wisnu memenuhi pendengaran Rianti.
“Iya, Mas,” jawab Rianti.
“Hati-hati ya, Istriku. Mas tunggu di rumah. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.” Pipi Rianti memerah mendengar kata 'istriku'. Mas Wisnu selalu berhasil membuat hati Rianti berdebar. Apa dia bilang, istriku? Masih calon, Mas! Ucap Rianti dalam hati.
Tak lama kemudian, pintu kontrakan Rianti diketuk dari luar. Ternyata Pak Dul telah sampai.
Ayah duduk di depan di samping Pak Dul, mereka asik mengobrol. Pembawaan Ayah yang ramah, membuat siapapun senang berinteraksi dengannya. Sifat itulah yang diwariskan pada Rianti. Ibu dan Rianti memilih diam menyimak obrolan dua lelaki tengah baya itu.
Mobil yang dikendarai Pak Dul berhenti di sebuah rumah berlantai dua. Kesan asri langsung terasa begitu Rianti menginjakkan kakinya di halaman. Halaman yang tidak terlalu luas, dihias dengan sangat indah. Satu pohon bunga kamboja Bali berdiri kokoh seolah memayungi pepohonan kecil di sekelilingnya.
“Wah, tamunya sudah datang,” sambut Tante Maura, Mamih Tamara. Di sampingnya berdiri Om Aksan, suami Tante Maura.
“Assalamu’alaikum,” ucap Ayah dan Ibu bersamaan. Rianti memilih diam. Rasanya canggung sekali bertemu dengan pelanggan setianya itu. Rianti sangat syok saat pertama kali mengetahui bahwa Tante Maura adalah Mamihnya Tamara. Kenapa orang-orang di sekelilingnya berhubungan dengan Mas Wisnu? Untung saja Hana bukan salah satu anggota keluarga Mas Wisnu juga.
“Wa’alaikumussalam, Mas, Mbak. Selamat datang, ayo masuk. Alex sama Irish ada di dalem.” Tante Maura mempersilahkan mereka untuk masuk. Mereka melewati ruang tamu yang bernuansa putih hitam, Tante Maura membawa mereka langsung ke ruang keluarga. Tante Irish dan suaminya bangkit dari duduk, menyambut tamu mereka.
“Mana Alex? Istrinya dateng, kok, malah ngumpet,” omel Tante Maura. Rianti meringis mendengar Tante Maura menyebutnya istri Mas Wisnu.
“Ayo, langsung makan aja. Nanti bentar lagi juga Wisnu turun. Dia lagi siap-siap.” Tante Irish menarik kursi makan untuk Ibu. Di atas meja makan berjejer berbagai macam makanan. Rianti meneguk air liur saat melihat udang bakar makanan favoritnya.
“Maaf, aku telat. Habis salat Isya dulu.” Mas Wisnu menyium punggung tangan Ayah dan Ibu bergantian. Seperti kemarin, dia mengusap puncak kepala Rianti.
“Kok, Riantinya nggak dicium, sih, Lex?” goda Tante Maura. Mas Wisnu mendelik kesal pada tantenya itu, yang disambut kekehan Tante Maura dan Tante Irish.
Makan malam berlangsung dengan tenang. Mas Wisnu melayani Rianti dengan telaten, yang lagi-lagi menuai godaan dari keluarganya. Jika wajah Rianti memerah menahan malu, wajah Mas Wisnu justru terlihat tenang. Bahkan sepertinya dia menikmati momen itu. Selesai makan malam, Rianti dan orangtuanya dibawa ke ruang keluarga yang terhubung dengan halaman belakang, yang hanya dibatasi oleh pintu geser yang terbuat dari kaca. Halaman belakang lebih luas dari halaman depan. Ada kolam renang kecil di sana. Sebuah gazebo menarik perhatian Rianti. Membayangkan jika dia menulis di sana, pasti akan menyenangkan.
“Nanti kamu bisa cari ide menulis di sana,” tunjuk Mas Wisnu ke arah gazebo. Rianti tersenyum kikuk, malu seperti terpergok mencuri.
“Nah, sekarang udah kumpul semua. Baiknya kita langsung aja, ya, Mas, Mbak?” cetus Tante Maura. Semua mengangguk setuju. Mas Wisnu yang tadi terlihat tenang, kini mulai gugup. Rianti lebih banyak diam, karena masih bingung apa tujuan keluarganya datang ke rumah Mas Wisnu.
“Rianti, seperti yang sudah Ayah ceritakan. Nak Wisnu kemarin datang, sambil menjemput Ayah ke sini, dia kembali melamarmu. Dia datang membawa Om dan Tantenya sebagai perwakilan keluarga. Wisnu melamar yang ketiga kalinya.” Ayah mengambil jeda sebelum meneruskan perkataannya.
“Rasanya tidak elok jika Ayah menolak lamaran pemuda saleh, berakhlak baik dan bertanggungjawab ini, Nak. Ayah menerima lamarannya. Nak Wisnu dan keluarganya ingin segera menikahimu. Begitu pun Ayah, Ayah ingin ada yang menjagamu saat Ayah jauh. Agar Ayah bisa tenang. Akhirnya kami sepakat saat itu juga kalian kami nikahkan.” Ayah mengusap air matanya.
“Maafkan Ayah, Nak.” Suara parau Ayah membuat siapapun yang ada di sana ikut meneteskan air mata. Tak terkecuali Rianti. Rasa kagetnya terkalahkan oleh rasa sedih melihat Ayah menangis.
“Maaf karena Ayah menikahkan kamu tanpa ijin. Ayah takut, Ayah takut tidak ada umur untuk melihatmu menikah.”
Rianti berlutut di hadapan kedua orangtuanya. Tangannya menggenggam erat tangan Ayah dan Ibu. Tangan Ayah yang dulu mengajarinya berjalan dan tangan Ibu yang selalu membelainya.
“Ayah jangan berkata seperti itu. Ayah akan baik-baik saja. Ayah dan Ibu, kalian nggak salah. Ayah nggak perlu minta maaf.” Rianti mengatur napas, Ibu membelai kepala Rianti.
“Justru aku berterima kasih karena Ayah telah menikahkan aku dengan lelaki sebaik Mas Wisnu. Dengan ridho Allah dan restu Ayah Ibu, Rianti terima pernikahan ini. Jadi Ayah jangan merasa bersalah. Rianti ... aku ... ak ....” Rianti kehabisan kata-kata, ia hanya bisa memeluk erat tubuh kedua malaikat tak bersayapnya itu.
“Terima kasih, Nak.” Ayah membelai punggung Rianti.
“Alhamdulillah,” ucap Tante Maura. Rianti melepas pelukannya, lalu mengusap air matanya sebelum membalikkan badannya menghadap keluarga Mas Wisnu.
Mas Wisnu tersenyum tipis, matanya berkaca-kaca. Rianti malu-malu melihat lelaki yang telah menjadi suaminya itu.
“Rianti, sekarang kamu sudah boleh duduk deket Alex. Sini, nempel juga sudah sah sekarang,” celetuk Tante Maura mengurai rasa haru dan sedih. Tangannya menarik Rianti agar duduk di sebelah Mas Wisnu yang berada di sofa single. Jadilah mereka duduk berdempetan. Keduanya sama-sama kikuk dan gugup.
“Ya ampun, lucu ya lihat pengantin baru yang malu-malu gini,” ujar Tante Irish, sepertinya Rianti harus mengganti nama panggilannya menjadi Mbak Irish.
“Iya, bikin gemes, ya,” sahut Tante Maura.
“Coba ada Tamara, pasti makin seru, nih, godain pengantin barunya,” tambah Tante Irish lagi. Rianti menggeleng, bersyukur dalam hati sahabatnya itu tidak ada di sini. Habis lah Rianti digodanya.
Tiba-tiba Ibu berteriak memanggil nama Ayah yang terpejam dalam posisi duduk. Ibu mengguncang tubuh Ayah, tetapi Ayah tetap diam.
Para lelaki dengan sigap memberi pertolongan pertama, meraba denyut nadi di pergelangan tangan. Detak jantungnya telah berhenti, tak ada lagi hembusan napas dari lubang hidungnya. Mas Wisnu menggeleng lemah ke arah Rianti.
“Ayaaaah!!” teriak Rianti. “Bangun, Yah! Ayah becandanya keterlaluan! Rianti nggak suka!” Rianti terus mengguncang tubuh Ayahnya. Mas Wisnu memeluk istrinya, memberikan ketenangan. Kini tugasnya lah yang melindungi dan menjaga Rianti, sebagaimana Ayah Rozak menjaganya dulu.
_selesai_
Terima kasih telah mengikuti kisah Rianti. Semoga teman-teman bisa mendapatkan pelajaran dari kisah ini.





