Loading
2

0

0

Genre : Lain-lain
Penulis : Nurfiatun
Bab : 30
Dibuat : 06 Januari 2022
Pembaca : 4
Nama : Nurfiatun
Buku : 1

Tentang Kita

Sinopsis

Ini tentang kami yang sama-sama terluka. Sepasang luka yang berharap bisa bahagia bersama. Namun, di pertengahan harap mereka sama-sama terjebak di ruang gelap dan terikat rantai. Akankah mereka bisa keluar dari ruangan tersebut? Akankah mereka mendapatkan kebahagiaan yang sebenarnya?
Tags :
#sarapankatakmobatch41 #kelompok12 #Fos Stylo

Prolog

1 0

                             TENTANG KITA

                              By Nurfatun

Prolog

Ini tentang kami yang sama-sama terluka.

“Tuhan, jika saya tidak diizinkan bahagia karena keluarga. Maka izinkanlah saya bahagia karena dia.” gumam Lara seraya tersenyum tipis.

“Kami sama-sama ingin bahagia, izinkan kami merajut rasa bersama.” harap Askar.

Mereka mempunyai luka, mereka terjebak di ruang gelap dan terikat rantai, mereka ingin bahagia bersama. Akankah semesta memberi izin?

“Kamu harusnya bisa seperti Nina, dia bisa diandalkan. Ini kamu malah jadi anak nggak bisa banggain orang tua.” maki Fadli, ayah Lara.

“Kamu harus nurut sama ayah, maaf ya, Nak, ibu nggak bisa bantu kamu saat dimarahin ayah.” ucap Suci terisak, ibu Lara.

Byurr

“Hahaha, rasain! Lain kali jangan nantangin gue!” ledek Nina diiringi tawanya. Begitulah Nina, bermuka dua.

“Ra, lo jangan sedih lagi. Gue bakal tetap jadi sahabat lo apapun yang terjadi.” ucap Mega meyakinkan.

“Lara, lo mau jadi pacar gue?” itu Askar.

                                                                     

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Part 1

0 0

 

 

 

 

 

 

 

                                     Part 1

 

 

Dingin begitu menyergap. Sunyi ini mendera. Gelap menyertai damainya malam ini. Rintik hujan membasahi wajahnya. Angin menerpa rambut panjang yang ia gerai. Gelara Anindia, ia sedang menikmati suasana malam ini. Baginya, saat malam adalah waktu yang tepat untuk menenangkan diri. Malam adalah temannya. Lara menatap ke depan kosong, ia lelah dipaksa sempurna. Ia lelah selalu dibandingkan dengan orang lain. Ia lelah dengan hidupnya. Tak jarang, ia ingin bunuh diri. Namun, ada satu alasan ia masih ingin bertahan hidup dan dia adalah Bagaskara Putra Langit.

“Tuhan, saya lelah dipaksa menjadi sempurna.”

“Tuhan, setiap orang diciptakan berbeda bukan? Lalu kenapa saya juga dipaksa untuk bisa seperti dia? Sakit tuhan, kepada siapa saya mengeluh? Hiks... hiks.”

“Lara!” sang empu menoleh. Dan..

Grepp!

Askar langsung mendekap tubuh rapuh Lara. Askar akhirnya menemukan Lara. Dia sangat khawatir saat ia datang ke rumah gadisnya tetapi tidak ada. Askar memang bisa semudah itu masuk ke rumah Lara. Orang tua Lara tidak peduli. Mengingat kerapuhan gadisnya membuat hati Askar berdenyut sakit.

“Kenapa, Lar?” tanya Askar masih dengan mendekap tubuh Lara.

“Sakit, Kar. Kalau gini terus sebenarnya apa gunanya gue hidup?” jawab Lara tenang menatap ke depan kosong.

“Syutt, jangan ngomong gitu lagi. Lo hidup buat gue aja. Disini gue masih butuh lo. Gue mohon bertahan demi gue.” Askar semakin memperkuat dekapannya.

Lama diam, tak ada jawaban. Lara pun terlihat lebih tenang.

“Pulang, yuk! Disini dingin, nanti lo sakit.” Ajak Askar. Tubuh Lara juga semakin menggigil.

Lara hanya mengangguk. Askar berdiri lalu membantu Lara berdiri.

Part 1 ( Bagian 2 )

0 0

“Naik, Lar.” Lara menaiki motor.

Saat diperjalanan tak disangka gerimis yang tadinya kecil menjadi hujan deras. Askar memilih berhenti di halte seraya menunggu hujan reda.

“Kita berhenti dulu, ya.” Lara mengangguk.

Mereka turun, lalu berjalan ke tempat duduk halte tersebut. Semakin kesini, hujan semakin deras lebih lagi ada petir. Askar tahu bahwa Lara takut dengan suara itu. Tanpa pikir panjang, Askar memeluk tubuh gadisnya.

Lara menoleh, “Gue takut, Kar.” lirih Lara.

“Jangan takut, ada gue. Gue bakal tetap di sisi lo, apapun yang terjadi.” Tenang Askar.

Flashback onn

“Jadi anak nggak guna! Ayah pengin kamu kayak Nina, nggak lebih! Apa itu sulit?”

“Lihat Nina! Dia selalu juara di kelasnya, dia sering ikut lomba, dia pintar, Lar! Coba kamu seperti Nina, ayah pasti sangat senang.”

“Andai anak saya adalah Nina, bukan kamu.”

Deg! Rasanya.... sakit.

“Lara udah berusaha, Yah. Tapi Lara memang nggak bisa.” lirih Lara kecil. Badannya gemetar ketakutan. Percayalah, saat ini Lara ingin berteriak mengatakan bahwa Nina itu curang, tapi itu percuma.

“Usaha apa kamu, hah?” lelah Fadli akhirnya ia menarik Lara secara paksa ke suatu tempat.

“Aku mau dibawa kemana, Yah?” Lara bingung.

Ternyata Lara dibawa ke gudang lama. Perlu diketahui, di rumah Lara mempunyai dua gudang. Gudang lama sudah tak terpakai, jadilah sekarang memakai gudang yang baru. Tak bisa dibayangkan betapa kotornya gudang lama tersebut.

Terlihat hujan mulai mengguyur Bumi.

“Mungkin dengan kamu kurung di sini, bisa membuat kamu mikir.”

Tidak, tidak. Lara takut gelap. “M-maksudnya, Yah?”

“Renungi apa yang harus kamu lakukan!” Fadli tak menjawab pertanyaan Lara. Lalu Fadli keluar dari gudang kemudian mengunci pintunya. Lara menggeleng membuat air matanya lolos menetes. Ia sangat takut gelap, sungguh. Ia berjalan menuju pintu, lalu menggedor pintu.

“Ayah, maafin Lara! Buka pintunya, Yah. Lara mohon!”

“Lara takut gelap, Yah. Lara mohon bukain pintunya.”

Jdarr! Hujan lama kelamaan diiringi petir.

Jdarr!

“Ayah! Lara takut. Keluarin Lara, Ayah!” teriak Lara menggedor pintu.

Sekian lama berteriak namun tak ada sahutan, disisi lain hujan dan petir semakin bersemangat. Mampu membuat Lara takut, sangat. Lara berbalik, tubuhnya merosot.

“Lara takut. Hiks... tolongin Lara” racau Lara kecil.

Jdarr!

“Lara takut hiks”

Lara memeluk lututnya. Semakin kesini juga terasa sangat dingin.

“Kenapa Lara harus seperti Nina?”

Flashback off.

 

Part 1( Bagian 3 )

1 0

Hujan masih deras. Askar menyesal tak membawa mobil. Saking terburunya, Askar malah membawa motor. Andai ia membawa mobil, hujan bukan menjadi penghalang pulang. Sial!

“Kar, bahkan langit pun ikut nangis saat gue terluka.”

“Semenyedihkan itu gue.” Ucap Lara.

Askar diam. Memang kenyataannya seperti itu, kejadian ini sering. Saat Lara terluka maka langit selalu menangis diiringi raungan.

“Gue harap langit seperti ini terus saat gue terluka. Nggak tahu kenapa, gue ngerasa punya teman bersedih.”

“Kar, gue boleh minta tolong?”

Askar menoleh, lalu tersenyum. “boleh, Lar. Apapun buat lo.”

“Tolong jadi Askar yang seperti ini, jangan berubah.”

“Tolong tetap jadi bahu, payung, penopang gue.”

“Tetap disisi gue.”

“Apa itu bisa, Kar?”

“Gue janji, Lar.” Jawab Askar.

Setengah jam kemudian, hujan mulai reda. Sekarang pukul 23.30. Mereka melanjutkan perjalanan pulang. Askar menoleh saat Lara berjalan menuju tepi jalan. Ternyata ia menengadahkan tangannya untuk merasakan dinginnya air hujan tersebut. Askar tersenyum.

“Yuk pulang.” Lara mengangguk.

“Kar, kita bisa nggak ya bersama sampai pernikahan?” tanya Lara, ia tertawa kecil betapa konyol pertanyaan yang ia berikan.

“Bisa. Gue yakin kita bakal bahagia bareng.” Jawab askar antusias.

“Kenapa lo seyakin itu?”

“Nggak tahu juga. Tapi hati gue bilang kalau kita bakal bahagia bareng.” Askar terkekeh.

Lara mencubit pinggang Askar, lalu tertawa “Iyain deh, semoga keinginan lo tercapai.”

“Awww, sakit Lar. Nggak usah pakai nyubit dong.” Askar mengerucutkan bibirnya di balik helm.

“Gitu doang masa sakit. Katanya laki, hahaha.” Sungguh ini tak lucu bagi Askar, tetapi kenapa Lara tertawa keras seperti ini. Tapi biarlah yang penting Lara sedikit melupakan masalahnya.

Askar ikut tertawa, melihat Lara dari spion “Lar, kenapa gue bisa cinta sama lo sih? Padahal lo nggak cantik.” Oke tenang. Ini hanya bercanda dan hal seperti ini sering terjadi diantara mereka. Namun, tanpa diketahui Askar ternyata Lara sedang kedatangan matahari, ehh bulan maksudnya.

“Jadi lo nyesel pacaran sama gue gitu? Lo juga ngatain gue jelek?” Lara bersedekap dada menghadap ke samping.

Wait, Askar bingung. Menit selanjutnya Askar paham. Dan bodohnya Askar tak ingat bahwa sekarang adalah akhir bulan, yang berarti Lara sedang pms. Tapi bukan hal sulit bagi Askar untuk membujuk, ia handal hahaha.

“Di depan kayaknya ada boba.”Askar tersenyum jahil.

“Malem-malem gini minum boba pasti enak.”

Lara menggelengkan kepala cepat. Ia tak boleh terbujuk. Akh Askar menyebalkan.

“Lo nggak mau, Lar?”

 

Part 1 ( Bagian 4 )

0 0

“Apaan! Gue marah ya sama lo.” Upss! Keceplosan.

Askar tertawa, ada gitu orang marah yang mengaku. “Oh marah. Berarti boba nya nggak nih?”

Lara membayangkan betapa enaknya minum boba. Ah tidak! Ayolah Lara, jangan mau luluh sama si Askar.

“Y-ya nggak tahu!”

“Serius nggak tahu? Bilang aja mau nggak usah pake malu gitu, biasanya kan lo itu...”

Lara memotong ucapan Askar cepat. “Malu maluin, gitu?”

“Kok bener? Hahaha.” Dahlah, Lara ingin mencabik mulut Askar yang tertawa itu.

“Serah lo serahh!”

“Baperran amat mba.”

“Bodo amat!”

“Udah udah, tadi cuma bercanda. Lo pms ya?” tanya Askar.

“Udah tahu pakai nanya.”

“Terus mau lo apa?”

“Nggak tahu!” Jawab Lara ketus.

Tak sangka, sudah dekat saja dari rumah Lara.

“Udah sampai. Besok sekolah gue jemput.”

“Hm.”

“Langsung tidur udah malem.”

“Iya.”

“Lar, gue mau ngomong.” Ucap Askar serius.

Lara terbawa penasaran “Ngomong apa?”

“Kok lo anu sih.”

Lara mengerutkan keningnya, ada apa dengan dirinya?

“Gue kenapa?”

“Bentar, lo turun dulu. Ini udah sampai rumah lo gue kasih tahu.”

Lara mendengus, lalu turun. “Gue kenapa?”

“Lo kok anu...”

“Anu apaan?”

“Lo cantik banget sumpah!” Askar langsung menancapkan gas motornya.

Apa yang terjadi pada Lara? Jangan tanyakan lagi, ia semakin kesal, sungguh.

“Awas aja besok, santen kara!” teriak Lara. Detik selanjutnya ia tertawa juga, hahahaha.

Lara berjalan masuk ke rumahnya. Ia masih tertawa kecil, tapi detik selanjutnya setelah membuka pintu ia mendapat tamparan, siapa lagi kalau bukan Fadli pelakunya. Lara yang belum siap jadi terjatuh ke lantai. Sudut bibirnya mengeluarkan darah.

“Darimana saja jam segini baru pulang?” tanya Fadli sinis, di belakang ada Suci yang menatap Lara teduh.

Lara diam, ia tak berani menjawab.

“Ditanya itu jawab!”

“Ada urusan bentar, yah.” Jawab Lara, menunduk.

“Urusan sama laki-laki berandalan itu?” Lara mengangguk.

“Lar, coba kamu sadar diri. Kamu nurutin kemauan saya saja belum tercapai, sekarang malah pacaran sama bocah berandalan itu? Mikir Lar, harusnya kamu belajar biar bisa seperti Nina, dia penurut, pintar.” Ujar Fadli tenang. Ia sudah tahu hukuman apa yang akan diberikan kepada Lara.

Lara muak selalu dibandingkan seperti ini. Haruskah ia melawan ayahnya?

 

 

“Lara mau ke kamar dulu.” Lara berjalan tergesa ke kamarnya. Seraya menunduk ia mengelap darah di sudut bibirnya, ini perih. Akan tetapi, tak sebanding dengan perih di hatinya. Terkadang ia berpikir, kenapa ia sulit untuk memerhatikan materi entah itu saat sedang dijelaskan atau belajar mandiri. Ia tak ingin seperti ini, siapapun pasti ingin bisa berpikir cepat seperti kebanyakan orang. Akh! Memikirkan ini saja kepalanya berdenyut.

Lara membuka pintu kamarnya. Tapi tiba-tiba...

Srett

Lara terkejut. Menoleh ke belakang, “Kamu pikir bisa semudah itu lolos dari saya?” sinis Fadli. Lara menundukkan kepalanya.

“Maaf, yah. Tapi Lara capek. Lara mau tidur.”

“Enak saja langsung tidur! Kamu belum mendapatkan hukuman bukan?” Fadli bersedekap dada.

“Buat kali ini Lara mohon yah.” Masih dengan menunduk, Lara menyatukan telapak tangannya.

Fadli tersenyum sinis. Lalu menarik rambut Lara, “Dengan seenaknya kamu memohon setelah pergi keluar sama bocah berandalan itu. Nggak semudah itu, Lar.”

Lara meringis kala kepalanya berdenyut karena ditarik oleh ayahnya. “Sakit yah.”

“Saya tidak peduli! Kamu saya kerasin saja masih seperti ini apalagi kalau saya lembutin. Makin ngelunjak yang ada.”

Kejadian ini terus berlanjut. Fadli tak akan puas jika tak menciptakan karya baru, tak tahukah Fadli bahwa ini tindak kekerasan? Yang nanti kapan saja bisa dilaporkan kepada polisi. Lara hanya bisa pasrah atas apa yang akan Fadli lakukan. Melawan ia tak bisa, ibunya? Ia hanya menunduk sembari membuntuti Fadli ke mana ia membawa Lara.

 

 

                     

 

 

 

Part 2

0 0

 

                            Part 2

“Ma, Askar berangkat sekolah dulu.” Ucapnya sambil mencium tangan sang mama.

“Iya, Nak. Hati-hati.” Balas Nessa mama Askar lalu tersenyum.

Askar mengangguk. Lalu berjalan santai keluar rumah, lalu menaiki motornya dan menjalankan ke arah rumah Lara. Tak sampai dua puluh menit, Askar telah sampai.

Askar mengklakson untuk memberi kode, tak lama Lara keluar dengan memakai masker. Askar mengerutkan keningnya, kenapa Lara menggunakan masker?

Setelah Lara sampai, Askar bertanya, “Kenapa pakai masker?”

Lara menatap manik Askar sejenak, mencari ketenangan. Setelah tenang, Lara menghembuskan napasnya. “Biasa, hehe.” Lara terkekeh alhasil membuat pipinya merasakan sakit kembali.

“Lo buat salah apa sampai kena pukul lagi?” tanya Askar lalu menarik kepala Lara pelan, membuka masker, detik selanjutnya betapa terkejutnya ia. Pipi lara bukan hanya bekas tamparan, melainkan ada juga bekas terkena benda tajam. Askar langsung memeluk Lara. Percayalah, Askar merasa gagal menjaga Lara, Askar merasa telah menjadi lelaki bodoh dan tak berguna. Hati Askar merasakan desiran aneh, seperti... sakit.

Lara yang mengingat kejadian semalam, tak mungkin dia mengatakan alasan Fadli menyiksanya. Ia menghiraukan pertanyaan Askar, yang ia butuhkan sekarang hanyalah tempat yang nyaman. Dan inilah sekarang, berada di dekapan Askar sangatlah nyaman. Lara merasa aman dan tenang.

“Udah nggak apa-apa, udah biasa juga kan. Yang penting peluk gue terus kalau gue lagi terluka ya, Kar. Buat sekarang gue cuma butuh lo di samping gue.” Ucap Lara memejamkan matanya menikmati kenyamanan ini.

“Maafin gue, Lar. G-gue nggak guna banget jadi pacar lo.” Ujar Askar meneteskan air mata. Askar paling lemah jika melihat kerapuhan Mama dan gadisnya. Dadanya sangat sesak, sakit, sungguh.

“Syutt. Nggak usah ngomong gitu. Cukup tetep ada buat gue itu udah cukup.” Lara berusaha sekuat mungkin menahan tangisnya. Ia tak boleh menangis di sini. Ia tak ingin membuat Askar sedih.

Lara mengambil napas lalu mengeluarkan perlahan. Ia tersenyum, “Udah yuk berangkat.”

Askar mengangguk. Lalu melepaskan pelukannya.

30 menit kemudian....

Lara turun dari motor, lalu membenarkan maskernya.

“Gue duluan ya, Kar.”

“Gue anterin. Tunggu bentar.” Askar memarkirkan motornya.

“Soalnya gue mau ke toilet dulu.”

“Ya nggak apa-apa. Gue tetep anterin lo.”

Menghela napas, “Terserah lo.”

Mereka berjalan ke toilet. Saat Lara akan masuk ke toilet, ponsel Askar berbunyi.

“Bentar gue angkat dulu.” Lara mengangguk.

Askar mengerutkan keningnya. “Kenapa mendadak gini?”

“.......”

“Hm.”

“.....”

“Iya iya gue ke sana sekarang.” Jawab Askar malas.

“Ada apa, Kar?”

“Maaf ya Lar. Gue ada rapat OSIS mendadak. Nggak apa-apa kan gue tinggal?”

“Oh, nggak apa-apa. Santai aja.” Balas Lara santai.

“Beneran?”

“Iya bener, udah sana gih udah ditunggu tuh.”

“Kalau ada apa-apa chat gue ya.”

“Oke siap!” antusias Lara seraya bersikap hormat.

Saat menuju ruang rapat, di koridor Askar menabrak seseorang. Dan sialnya dia perempuan, dengan terpaksa ia mengulurkan tangannya.

“Maaf. Tadi gue buru-buru.” Ujar Askar mengulurkan tangannya.

Orang tersebut mengeluh, “Makannya jalan tuh pake mata, jangan cuma buat pajangan!” celetuk orang itu masih menunduk seraya menepuk tangannya yang kotor.

Askar mendengus, “Sorry.” Ucap Askar acuh lalu berjalan begitu saja. Tadi dia mau menolong, tapi cewek tersebut malah ngoceh, lalu buat apa dia peduli?

Seseorang tersebut mendongak, mendengus. “Harusnya lo bantuin gue berdiri!”

Tak ada respon.

Orang tersebut berdiri lalu mengejar Askar. “Woi! Berhenti dulu.”

Askar masih berjalan, tetapi kali ini lebih santai.

“Gue bilang berhenti ya berhenti!” teriak cewek itu. Dan.. hap! Ia berhasil mencekal lengan Askar.

Askar berbalik. Cewek tersebut terkejut, tampan sekali. Batinnya. Mata cewek tak ingin berpaling maupun berkedip. Seketika ia menjadi canggung.

“Apa?” tanya Askar santai menarik sebelah alisnya.

Masih belum berkedip, seperti melamun. “Lo kenapa?” tanya Askar lagi melambaikan tangan di depan wajah cewek tersebut.

“E-ehh, kenapa?” gagapnya lalu mengedipkan mata dan menggelengkan kepalanya.

Askar terkekeh, dan membuat orang itu semakin gugup.

“Gue tanya, lo kenapa?”

Cewek itu teringat akan tujuannya. “Lo harus tanggung jawab karena udah buat gue jatuh tadi.”

“Oh itu. Terus mau lo apa?”

“Gue mau tahu nama lo!”

 

 

 

 

 

 

Part 3

0 0

Lara memasuki kelas. Setibanya di bangku, ia langsung dihujam banyak pertanyaan oleh Mega. Lara hanya menggelengkan kepalanya, kenapa ia bisa berteman dengan Mega yang super cerewet ini? Tetapi, ia juga bersyukur. Tak akan ada teman seperti Mega. Menurutnya.

“Lar, lo kenapa pakai masker?”

“Terus kemana Askar? Jahat banget nggak anterin lo, awas aja nanti ketemu gue marahin abis-abisan.” Omel Mega seraya berkacak pinggang di tempat duduknya.

“Gue nggak ke-“

Belum selesai Lara menjawab, Mega menyerobot lagi. “Oh atau jangan-jangan sama bokap lo lagi, ya?”

“Kok bisa sih Lar?”

“Lo ngelakuin apa sampai kena lagi?”

“Jawab napa Lar, diem mulu daritadi.” Mega mengerucutkan bibirnya.

Lara memutar matanya, “Gimana gue mau ngomong. Lo aja nyerocos mulu daritadi.”

Mega menggaruk kepalanya yang tak gatal, “Bener juga ya. Hehehe.”

“Eh terus jawab pertanyaan gue tadi, cepet!” antusias Mega.

Beberapa menit Lara diam, seraya menengok kanan kiri. Lalu, ia membuka maskernya perlahan. Lara meringis, “Lo pasti udah paham setelah lihat ini.” Lirih Lara.

Mega tak terkejut, karena hal ini sudah biasa ia lihat dari seorang Gelara Anindia. Mega merasa sedih, teman yang sering bersamanya selalu menerima luka yang seharusnya tak ia terima. Remaja seusia kami sedang merasa labil-labilnya apalagi dalam menghadapi kondisi yang sulit diterima, seperti kekerasan yang berkelanjutan. Hal ini dapat merusak mental orang tersebut, namun apalah daya, hal seperti masih sering terjadi.

“Lo ngelakuin apa sampai kena lagi?” tanya Mega seraya mengusap bahu Lara.

Lara tersenyum, “Biasa Meg, karena kekurangan gue yang harus dipaksa sempurna dan dibandingin lagi sama Nina.”

“Andai Ayah percaya kalau Nina nggak seperti yang Ayah gue kira, nggak adil banget.”

“Maaf Lar, gue nggak bisa bantu apa-apa. Gue cuma bisa jadi orang yang mau denger apapun keluh kesah lo.” Lirih Mega.

Lara menghadap Mega, tersenyum. “Makasih Meg.”

“Sama-sama. Ohya, Askar tahu ini?”

Lara teringat kalau ini juga karena semalam ia bersama Askar. Tapi tak mungkin Lara memberitahu soal itu.

“Tahu kok dia. Dah ah jangan bahas yang sedih mulu.”

“Yeeee gue juga nggak mau bahas sedih. Tapi lo nya yang buat topik sedih gini.” Ujar Mega terkekeh.

“Eh, btw nanti ke UKS bentar ya buat obatin luka lo.”

“Males, Meg. Palingan bentar juga sembuh.” Jawab Lara menghembuskan napasnya.

“Nggak ada males-males. Pokoknya harus, nggak ada acara nolak, titik!” final Mega. Lara hanya pasrah. Biarlah, Mega kalau sudah ngomong ‘titik’ itu berarti sudah tak mau diganggu gugat.

“Hmm.” Sahut Lara malas.

Kringg ... Kringg!

 

Part 4

0 0

Bel pulang berbunyi beberapa menit yang lalu. Askar berjalan santai menuju parkiran seraya menunggu Lara. Lara tadi sempat bilang untuk menunggu di parkiran saja. Askar menurut. Perlu diketahui, Askar di sekolah ini tak mempunyai teman yang dekat seperti Lara dan Mega. Meskipun Askar OSIS, tetapi begitulah Askar. Ia termasuk remaja yang tak terlalu mementingkan teman, sahabat, bestie atau apa itu. Baginya, teman yang benar-benar teman, bahkan sahabat yang memang benar menerima apa adanya itu tak ada. Askar tak percaya dengan adanya teman sejati, teman setia. Yang ia yakini, suatu saat mereka juga akan pergi meninggalkan dan hanyalah tersisa diri sendiri.

“Askar!”

Sang empu menoleh ...

Askar mengerutkan keningnya, “Kenapa lo manggil gue?”

Nina terkekeh, “Nggak ada apa-apa. Cuma manggil doang kebetulan lihat lo tadi, hehe.” Nina menampilkan deretan giginya.

Flashback on

“Gue mau tahu nama lo!”

Askar terkekeh melihat kegugupan cewek di depannya. Ia mengulurkan tangannya.

“Gue Bagaskara Putra Langit.”

Cewek tersebut membalas uluran tangan Askar. “Kenalin gue Nina Yosani Elmeira, panggil aja Nina.”

Askar mengangguk, lalu berlalu.

Flashback off

Askar menganggukkan kepalanya, “Oh oke, gue duluan.”

Nina mengerucutkan bibirnya. “Lo mau ninggalin gue lagi, huh?”

Seraya berjalan santai, Askar menjawab. “Emang gue nyuruh lo ngikutin gue?”

Nina mengikuti Askar, masih dengan bibirnya yang ditekuk.

“Ya nggak, tapi lo jadi cowok peka dong!”

“Buat apa gue lakuin hal itu? Ada keuntungan buat gue?” tanya Askar yang membuat Nina tak bisa menjawab.

“Tau ahh, capek ngomong sama orang kayak lo.” Nina berjalan dengan menghentakkan kakinya serta misuh-misuh. Askar mengedikkan bahunya.

Sampai di parkiran, Askar menaiki motornya. Tapi tak menyalakan mesinnya. Ia menunggu Lara.

Askar mengambil ponsel di sakunya. Ia akan bermain game sebentar sambil menunggu Lara.

Beberapa menit kemudian ...

“Askar”

Askar menoleh, lalu tersenyum. “Udah selesai urusannya?”

“Udah, gue kelamaan ya?” tanya Lara tak enak.

“Nggak kok santai aja. Biasanya lo juga emang apa-apa lama, hahaha.” Askar tertawa.

“Tadinya mau minta maaf, tapi nggak jadi. Lo nya ngeselin.” Ucap Lara memutar matanya malas.

“Lupain hal itu. Yuk pulang, atau mau mampir dulu?”

“Langsung pulang aja. Gue mesti belajar buat ulangan besok.”

Askar menghela napasnya. Ia tahu kalau Lara susah memahami materi, tapi Lara tetap berusaha belajar keras supaya Ayah Lara bisa sedikit melihat usahanya.

“Oke siap nyonya Lara.”

Lara menaiki motor, lalu Askar menyalakan mesinnya. Mereka meninggalkan sekolah.

Tanpa diketahui, ada orang yang mengintip mereka di balik tembok.

 

 

Part 5

0 0

Terkadang, sakit yang benar-benar menyayat bukan karena omongan orang lain. Ya, memang orang lain juga pengaruh. Tetapi, lebih pengaruh lagi jika omongan orang tua. Orang yang kita sayang, yang kita anggap sebagai pembimbing bahkan rumah. Semua anak pasti menginginkan keluarga yang harmonis, orang tua yang menyayangi dan bisa membimbing ke jalan yang benar. Namun, tak semua orang tua seperti itu, tak semua anak mendapatkan hal itu.

“Nanti malam kosong nggak?” tanya Askar kepada Lara. Ia berniat ingin mengajak Lara ke suatu tempat. Ia tahu Lara membutuhkan healing, ia pikir dengan mengajak Lara pergi akan sedikit meringankan beban pikiran Lara. Meski tak bisa membantu, setidaknya mengurangi. Askar ingin membantu Lara, tetapi memang ini sungguh sulit bagi Askar yang masih berstatus pelajar.

“Nggak tau juga sih, mau ngajak kemana?”

“Hmm, suatu tempat. Nanti kalau kosong chat gue ya.” Jawab Askar.

Lara berpikir, ia ingin pergi bersama Askar. Ia butuh waktu untuk meringankan beban pikirannya. Entah sejak kapan, mereka jadi jarang pergi bersama.

Tetapi, mengingat Ayahnya yang selalu memaksa Lara belajar dan belajar membuat ia takut. Takut, jika Fadli tahu nanti ia akan mendapatkan seperti biasanya lagi. Meskipun hal seperti ini sering dilakukan Fadli, Lara masih tetap takut.

“Iya siap!”

“Jaga diri baik-baik, gue pulang dulu. Kalau ada apa-apa telepon gue.” Ujar Askar lembut seraya mengelus rambut Lara yang panjang.

“Iya-iya. Lo hati-hati di jalan ya.” Lara tersenyum. Askar tersenyum balik, tak ada senyum yang mampu mengalahkan senyum Lara kecuali Mamanya, hehe.

Setelah berbincang, Askar pulang.

Lara masuk ke dalam rumah. Setelah masuk, ia menengok-nengok adakah orang tuanya atau tidak. Untungnya tidak. Lara menghela napas lega.

Lara berjalan menuju kamarnya. Ia merebahkan tubuhnya sebentar. Seling beberapa menit, ia bangkit. Ia akan membersihkan rumah dulu, baru belajar. Mulai dari menyapu, mengepel, lalu memasak.

2 jam kemudian...

“Akhirnya selesai juga.” Lara tersenyum seraya mengelap keringat di dagu beserta keningnya.

“Mandi dulu kali ya, baru belajar.” Ucapnya kepada diri sendiri, lalu berjalan ke kamar untuk mengambil handuk.

 

 

 

 

Part 6

0 0

 

Fadli dan Suci telah selesai urusannya, sekarang mereka sudah di halaman rumah.

Fadli membuka pintu, ditemani Suci di belakang.

cklekk

Fadli berjalan ke kamar Lara, ia mendapat kabar dari guru kalau besok akan ada ulangan harian di kelas Lara. Fadli memang meminta tolong kepada wali kelas Lara untuk memberi kabar perihal kegiatan dan nilai yang didapatkan Lara. Ia tak akan membiarkan Lara kalah dari Nina, Nina adalah anak dari teman Fadli. Entah karena ada apa sehingga Fadli sangat ambisius seperti ini.

Fadli membuka pintu kamar Lara, “Lara.”

Terlihat Lara sedang belajar di meja belajarnya. Fadli tersenyum tipis, “Bagus, belajar terus sampai bisa ngalahin Nina. Besok ada ulangan kan? Kamu harus bisa kalahin Nina.” Ucap Fadli.

Lara tersenyum miris, ia berpikir, tak adakah celah sedikit saja Fadli memberi ia semangat untuk mencapai keinginannya, bukan mencapai keinginan Ayahnya yaitu mengalahkan Nina. Lagipula, untuk apa bersaing dengan Nina, sedangkan di kelasnya juga banyak siswa yang lebih pintar dari Nina. Tapi, kenapa Ayahnya sangat berambisi hanya kepada Nina?

“Iya, Yah.”

“Lanjutkan belajarnya, awas saja besok kalau saya tahu kamu masih dibawah Nina.” Tandas Fadli tak terbantahkan. Setelah itu Fadli berjalan keluar kamar.

Setelah kepergian Ayahnya, Lara menghela napasnya lalu menyandarkan kepalanya ke penyangga kursi.

“Huft, sakit banget nih kepala gue. Mikir dikit aja udah gini, apa kabar gue yang harus bisa dapat nilai di atas Nina.”

“Gue heran, kenapa Ayah se ambisi ini. Emang gunanya buat Ayah apa coba?”

“Argh, tau dah. Kenapa gue mesti jadi anaknya dia sih.”

Terus saja Lara bermonolog sendiri.

Lara ingat, dia harus memberi kabar kepada Askar. Ia sudah memikirkannya perihal ini tadi, ia akan tetap belajar demi mendapat nilai yang memuaskan besok. Teruntuk Askar, masih ada lain waktu lagi, pikirnya.

Lara berjalan ke arah nakas lalu mengambil handphone nya. Lara menelepon Askar. Tak butuh waktu lama Askar telah mengangkat teleponnya.

“Iya gimana, Lar?” tanya Askar di seberang telepon.

“Malam ini gue nggak bisa, gue kayaknya mau fokus belajar aja. Siapa tahu besok gue bisa dapat nilai yang lebih bagus lagi. Maaf ya, Kar. Besok deh gue janji kita pergi bareng, gimana?”

Hening. Tak ada jawaban. Lara takut Askar kecewa.

“Kar, lo marah sama gue?” tanya Lara hati-hati.

Terdengar helaan napas, “Gue nggak marah sama lo. Gue marah sama bokap lo yang seenaknya maksa lo ngelakuin hal yang nyakitin lo sendiri.”

Lara tersenyum, “Nggak papa, Kar. Udah biasa juga.”

“Lo pasti selalu jawab kayak gitu. Gue tahu lo sakit, Lar. Gue tahu.”

Lara tak ingin berlarut, “Ohya, Mama lagi apa? Nitip salam buat Mama ya, maaf juga sekarang jarang main.”

Diseberang sana, Askar tahu kalau Lara hanya mengalihkan pembicaraan.

“Mama udah di kamar. Nggak papa Lar, Mama paham kok kalau lo lagi sibuk.”

“Syukur deh. Kar, teleponnya gue tutup ya? Mau lanjut belajar soalnya, hehe.”

“Iya oke Lar, kalau ada apa-apa telepon gue langsung ya.”

“Oke siap!”

 

 

Part 7

0 0

 

“Gue harus bisa!” Lara menyemangati diri sendiri. Setelah mata pelajaran bahasa Indonesia selanjutnya adalah matematika, yang akan diadakan ulangan. Lara sedikit was-was takut nilainya tak memuaskan, namun ia berusaha percaya kepada dirinya sendiri. Ia yakin kalau ia bisa mendapat nilai di atas Nina, semalam ia telah belajar keras, motivasinya.

“Lo kenapa, Lar? Kelihatannya gugup banget.” Heran Mega.

Lara terhenyak, “Nggak papa, Meg. Cuma mau siapin buat ulangan bentar lagi.”

Mega mengangguk paham, “Oh itu, gue paham. Gue yakin lo bisa dapat nilai bagus.”

“Makasih, Meg.” Lara tersenyum.

“Sama-sama.”

“Ohya, tadi lo berangkat bareng Askar?” Tanya Mega

Lara menjawab, “Iya, seperti biasa. Kenapa?”

“Ya nggak papa sih.”

Bel masuk berbunyi.

“Yuk bisa yuk!” lirih Lara menyemangati dirinya sendiri.

Di belakang agak jauh dari tempat duduk Lara, Nina tersenyum smirk. Ia sudah tahu kalau Lara ternyata pacar Askar. Memang, hubungan mereka tak banyak diketahui orang.

“Nggak akan bisa, Lar.”

_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_--_--_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_--_-_-

“Huft, gue nggak yakin sama nilai ulangan.” Keluh Lara. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi kantin.

Mega berjalan ke arah meja yang diduduki Lara, “Kenapa lo berpikir gitu?”

“Tadi banyak yang gue lupa rumusnya. Padahal udah gue pahami semuanya, muak gue.”

“Soal nilai pikirin nanti. Sekarang lo makan dulu.” Suruh Mega seraya menaruh mie ayam dan jus mangga ke depan Lara, lalu ia duduk di samping Lara.

“Makasih, Meg.” Ucap Lara sambil mengaduk mie ayamnya.

Terlihat Askar berjalan menuju ke tempat Lara dan Mega.

Askar duduk di depan Lara. Ia mengambil jus milik Lara.

“Gimana tadi, Lar?

“Bisa kok, hehe.” Jawab Lara lalu tertawa ringan.

Askar mengangguk, “Kalau lo gimana, Meg?”

Mega yang belum siap terhenyak, “G-gue bisa kok bisa.”

Tanpa diketahui siapapun, Mega berusaha menahan gugupnya di depan Askar.

“Hasil nilai dibagi kapan?” tanya Askar.

“Nanti pulang sekolah.” Jawab Mega cepat, mendahului Lara yang akan menjawab.

“Oh. Lar, nanti pulangnya nunggu bentar ya. Gue ada urusan OSIS bentar.”

“Iya nggak papa Kar.” Lara tersenyum.

_-_-_-_-_-_-_--_-_-_-_-_-_-_-__-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_--_-_-_-_-_-_-_-_-

Lara terlihat khawatir. Mega nampak biasa saja.

“Oke, silahkan ambil kertas ulangan kalian masing-masing.”

Lara menunggu sekiranya tak banyak siswa yang mengambil. Setelah berapa menit menunggu, Lara berjalan mengambil kertas ulangannya.

Bagaikan tertimpa batu. Lara sangat takut, dugaannya benar. Nilainya tak memuaskan seperti yang ia bayangkan. Kenapa seperti ini? Apakah ia kurang keras belajar? Arghh, Lara takut pulang.

Mega segera merebut kertas dari tangan Lara. Setelahnya, Mega tak menyangka dengan apa yang dilihat. Ini tak seperti biasanya.

“Dapat 79. Gimana Lar?” Mega tahu apa yang Lara takutkan. Lara takut pulang.

“Gue nggak tahu, Meg.”

“Kenapa bisa nilai lo malah turun. Dapat 85 aja lo dimarahin, gimana kabar Sekarang.” Mega merasa sesak kala mengingat bekas luka ciptaan Ayah Lara yang lalu.

“Gue cuma bisa nerima apapun yang Ayah kasih ke gue.” Lirih Lara.

“Lar!” panggil seseorang.

Lara menoleh ke arah suara. Detik selanjutnya Lara tersenyum, ia sangat butuh Askar sekarang untuk menjadi keluh kesah ketakutannya.

“Kar, nil....”

“Maaf ya, Lar. Hari ini gue nggak bisa anterin lo pulang.” Mohon Askar tak enak.

Lara heran, kenapa tak bisa?

“Kenapa?”

“Pokoknya nggak bisa. Nanti gue kasih tahu. Ohya, satu lagi kalau lo udah sampai rumah chat gue ya. Sekali lagi minta maaf.”

Belum sempat menjawab Askar sudah berlari entah kemana, mungkin tempat rapat OSIS.

“Udah nggak papa, Lar. Yuk pulang.” Tenang Mega menepuk bahu Lara.

“Duluan aja, Meg. Gue mau ke toilet dulu.”

“Oke gue duluan ya. Bye!”

“Bye!”

Lara berjalan pelan menuju toilet. Setelah di toilet, Lara merosotkan tubuhnya.

Ia pikir, Askar akan menjadi bahu saat Lara terpuruk. Pada nyatanya, seperti ini. Tapi, Lara harus tetap berpikir positif. Askar itu seksi di OSIS, jadi wajar kalau Askar harus ikut rapat OSIS tak seperti anggota OSIS.

“Oke, lo bisa sendiri Lar. Seberapa butuhnya lo, Askar tetap punya dunia dan urusannya sendiri. Lo nggak boleh egois. Huft, gue bisa sendiri.” Lara meyakinkan dirinya sendiri. Mengambil napas dan membuangnya perlahan.

Lara keluar dari toilet, lalu menuju gerbang untuk menunggu angkutan umum.

 

Part 8

0 0

 

Lara telah sampai di depan pintu rumahnya. Ia menggosokkan tangannya, berusaha menenangkan dirinya. Menghela napas berkali-kali, ia harus menghadapi apa yang memang harus ia dapat.

Flashback on

“Seperti biasa, Nina mendapatkan nilai tertinggi di kelas ini.” Ucap guru itu.

“Ibu harap, yang masih remedial ditingkatkan lagi belajarnya. Dan bagi yang sudah mendapatkan nilai bagus, pertahankan.”

Flashback off

“Gue takut.” Lirih Lara. Lalu Lara membuka pintu, baru saja masuk ia sudah mendapatkan sambutan yang menyakitkan.

Plak!

“Lihat! Lihat! Nina unggul lagi dari kamu!”

“Saya heran kenapa kamu jadi anak nggak bisa seperti anak orang lain yang bisa banggain orang tuanya. Saya terkadang iri melihat orang lain yang mempunyai anak pintar, bisa diandalkan dan pastinya nggak memalukan.” Fadli masih berkata dengan tenang seraya bersedekap dada.

“Maafin Lara, Yah. Lara udah berusaha belajar keras, tapi memang Lara mendapatkan nilai sedikit.” Lirih Lara takut.

“Ngelakuin hal seperti ini terus lalu meminta maaf terus. Begitu saja terus, Lar.”

“Maaf, Yah.” Lara menyatukan telapak tangannya.

“Saya malu punya anak sepertimu! Lebih baik saya tidak mempunyai anak daripada punya tetapi seperti ini. Saya ingin punya anak seperti orang lain!” teriak Fadli seraya menoyor kepala Lara.

Bagaikan tertusuk pisau, ini sungguh menyakitkan. Ini berarti Lara tak diharapkan untuk ada?

Lara menatap ke bawah dengan tatapan kosong. Toyoran dari Ayahnya memang sakit, tapi lebih sakit lagi mendapatkan kenyataan bahwa ia tak diharapkan berada di dunia ini. Lalu apa gunanya ia hidup?

“Kamu dengar saya berbicara tidak?” teriak Fadli dengan emosinya masih dengan menoyor kepala Lara, bahkan sekarang ia sedang berjalan menuju kamarnya, seperti biasa untuk mengambil sabuk.

“Mas mau ngapain?” tanya Suci.

“Kamu diam saja!”

“Aku mohon jangan seperti ini, mas. Kasihan Lara, dia anak kita.” Ucap Suci dengan berjalan mengikuti Fadli.

“Sebenarnya aku nggak sudi punya anak seperti dia. Anak nggak guna! Cuma naikin nilai aja tidak bisa.” Kata Fadli datar.

“Tapi nggak dengan cara seperti ini, mas. Aku mohon mas.” Suci menghentikan langkah Fadli.

“Aku nggak peduli. Anak ini harus diberi pelajaran biar ngerti.”

“Tapi..”

Belum selesai Suci berbicara, Fadli menyerobot “Minggir kamu. Kamu lebih baik ke kamar saja. Ini urusan aku sama anak itu.”

Suci pasrah. Ia juga tak bisa melawan suaminya. Adakah ibu seperti dia?

Sesampainya, Fadli langsung mencambuk pinggang Lara menggunakan sabuknya.

Ctarr

“Hiks, maafin Lara, Yah. Lara mohon.” Lara menahan rasa sakit yang ia terima.

“Nggak akan saya maafkan. Ini supaya kamu ngerti, hal seperti ini sudah sering saya lakukan tapi kamu masih tetap sama nggak mikir mau berubah sama sekali.”

“Ayah..”

Ctarr

“Diam!”

Entah sudah keberapa kalinya suara itu terdengar.

“Sebagai hukumannya kamu nggak saya kasih makan sampai besok malam.” Tandas Fadli tak terbantahkan.

 Lara menahan air matanya supaya tidak menetes sekarang.

Lara sudah pasrah, tubuhnya sudah sakit seperti remuk. Ia tak peduli lagi perihal makan lagipula hal itu sudah biasa ia dapat, yang ia butuhkan adalah ketenangan.

“Nggak apa-apa kalau itu hukumannya, udah biasa juga. Lara ke kamar dulu, Yah.” Lirih Lara pelan lalu berjalan ke kamarnya.

Sesampainya, tubuh Lara merosot di balik pintu. Perlahan namun pasti, air mata yang ia tahan sejak tadi keluar juga. Ia tak terisak, hanya mata yang terus saja mengeluarkan air mata disertai tatapan kosong. Percayalah, menangis yang paling terluka adalah ketika seseorang menangis dalam keadaan diam, itu berarti ia sudah tak tahu bagaimana ekspresi apa yang harus ia keluarkan. Semuanya terasa datar, menyakitkan.

“Sakit Tuhan.”

“Sampai kapan luka ini terus saya dapatkan?”

“Katanya, engkau tak akan memberi sesuatu sulit diluar batas hambamu. Saya mendapatkan sesuatu yang sakit terus menerus itu berarti masih dalam batas saya? Engkau salah Tuhan, buktinya saya tidak kuat.”

Beberapa saat termenung, Lara mengambil ponsel di sakunya. Ia menelepon Askar.

“Udah sampai, Lar?”

Hening. Lara tak menjawab.

“Lar?”

“Gue butuh lo.”

Diseberang sana, Askar mulai khawatir dengan keadaan Lara. Ia yakin bahwa Lara sedang tidak baik-baik saja entah hati maupun fisiknya.

“Oke gue kesana sekarang.”

Lara mematikan sambungan telepon sepihak. Ia menekuk lututnya, lalu menundukkan kepalanya seraya ditutup kedua tangannya. Dalam diam, Lara masih meneteskan air mata tanpa isakan.

 

Part 9

0 0

 

“Lar,” panggil seseorang dari jendela.

Lara mendengar, namun ia sudah tak tahu harus berbuat apa. Masih dengan posisi yang sama yaitu memeluk lututnya serta menunduk, Lara sudah tak menangis lagi. Ia masih merasa kosong.

Ternyata Askar yang memanggil. Lama tak ada sahutan, ia membuka jendela lalu masuk mendekati Lara. Di depan Lara, Askar berjongkok.

Askar menatap lekat raga Lara yang masih di posisi sama. Ada desiran sesak di dada Askar. Ia tak bisa berbuat apa-apa dikala orang yang dicintainya terluka, terluka di depannya. Sakit, sangat.

Perlahan namun pasti, Askar memegang bahu Lara. Sang empu mengangkat kepalanya. Yang Askar lihat sekarang bukan Lara. Mata mereka saling bertemu, sama-sama mencari ketenangan. Beberapa menit selanjutnya, Askar langsung memeluk Lara erat.

Lara tak terisak sama sekali. Ia hanya kembali meneteskan air mata.

“Lar.” Panggil Askar lirih.

“Gue siap jadi apapun yang lo mau.”

“Nggak papa semuanya jahat sama lo. Lo masih punya gue, jangan takut atau sedih lagi,” bisik Askar menahan tangisnya.

Tak ada respon, Askar hanya merasakan pelukan Lara semakin erat serta bahunya basah.

“Gue obatin lukanya dulu, ya. Habis ini lo tidur.” Askar memapah Lara ke tempat tidur, lalu ia berjalan mengambil kotak P3K.

Askar mulai mengobati dari bagian lengan, ia meringis kala melihat mengobatinya. Kenapa Lara mendapatkan hidup seperti ini? Percayalah, Askar ingin menghentikan kebiasaan Fadli, namun ia masih belum cukup.

“Gue yakin lo kuat, Lar. Kalau lo jatuh, gue siap pegang tangan lo,” ucapnya masih dengan mengobati luka.

“Gue nggak tahu harus ngapain, Kar.” Jawab Lara pelan.

“Nggak papa. Sekarang lo tidur ya, besok gue ajak lo ke suatu tempat,” ujar Askar mengusap rambut panjang Lara.

Lara hanya mengangguk, lalu menutup matanya.

Askar tersenyum tipis, ia menoleh mencari benda tajam di sekitar. Ia khawatir Lara akan melakukan hal yang tak diinginkan. Setelah menemukan, ia membawa benda tersebut keluar seraya ia sendiri juga harus pulang.

Askar menaiki motornya, sekali lagi ia menatap jendela kamar Lara.

“Gue emang nggak bisa hentiin ini, tapi gue berusaha buat jadi bahu lo.”

“Gue yakin lo bisa hadapin ini semua, lo cewek kuat yang pernah gue temuin setelah Mama. Makasih udah bertahan dengan hidup lo yang menyakitkan.”

Part 10

0 0

 

Pukul dua dini hari Lara terbangun. Ia lapar. Ia berjalan menuju setidaknya untuk mengganjal perutnya, meskipun hanya dengan air putih, tak masalah kan? Pikirnya.

Setelah dari dapur, Lara kembali tidur namun ia tak bisa memejamkan matanya seolah olah ada yang mendorong dirinya untuk tidak tidur.

“Gue kenapa lagi ini sih?”

“Tidur, Lar tidur.” Lara memejamkan matanya.

Iya. Lara memang memejamkan mata, tetapi otaknya simpang siur banyak yang dibahas, hal itu menjadikan Lara hanya memejamkan mata tetapi tidak tidur.

07.30

Tampak Lara menengok-nengok apakah ada Ayah dan ibunya. Setelah merasa tepat, ia berjalan pelan menuju pintu. Untungnya ia bisa keluar dengan aman tanpa diketahui siapapun. Kenapa Lara melakukan ini? Jika ia izin kepada orang tuanya, pastinya tidak akan mendapatkan izin apalagi kemarin ia mendapatkan nilai yang tak sesuai harapan Fadli selebihnya karena Askar.

“Huh, aman,” hela Lara lega.

Lara berjalan santai beberapa meter, Askar menunggu di sana. Terlihat Askar duduk di jok motornya.

“Hai.” Lara melambaikan tangannya.

Askar tersenyum, “Hai, apa kabar?”

Lara terkekeh, “Hmm, baik ... Mungkin.”

Askar tahu Lara masih merasakan ... Seperti semalam, namun tak separah semalam. Hanya sedikit, tetapi ia tutup dengan senyum. Akhh, Askar jadi semakin cinta. Betapa istimewanya Lara karena berbeda dari orang lain.

“Berangkat sekarang?”

“iya.” Lara mengangguk lalu menaiki motor Askar.

Menghabiskan waktu 50 menit, mereka telah sampai.

Lara mengerutkan keningnya, “Kita kesini?”

“Iya, lo butuh healing buat tenangin diri lo.”

Pantai. Iya, Askar membawa Lara ke pantai. Lara tersenyum lebar, ia senang, sangat.

“Makasihh,” teriak Lara memeluk Askar.

Askar tersenyum tipis, apapun yang bisa membuat Lara senang, ia berusaha melakukannya.

“Sama-sama, sayang.” Askar membalas pelukan Lara.

“Yuk main pasir!”

“Haha iya iya ayuk.” Lara menarik tangan Askar. Nampak Lara sangat semangat

Lara bermain pasir selama beberapa jam, Askar hanya menemani. Askar sampai geleng kepala kala Lara bermain seperti anak kecil.

Pukul 11 siang, Lara mulai merasa bosan. Muncul ide di benaknya.

“Kar, beli es krim yuk!” ajak Lara antusias.

Askar mengangguk seraya tersenyum. Mereka berjalan mencari tukang es krim.

Setelah menemukannya, mereka memesan es krim.

“Kar, makasih buat semuanya,” ujar Lara tersenyum seraya memakan es krimnya.

“Nggak usah makasih, gue yang makasih.” Askar memegang tangan Lara lalu mengajaknya duduk di bebatuan pinggir pantai.

Masih dengan memakan es krim, Lara bertanya. “Kenapa gitu?”

“Makasih lo udah ada di hidup gue. Hadirnya lo berarti banget buat gue. Gue harap lo bertahan sama gue sampai napas terakhir.” Ucap Askar memandang lurus ke depan, seperti memandang masa depannya. Siapa saja boleh kan berharap terhadap masa depannya?

Lara memandang ke depan, tepat pada air pantai.

Lara menunjuk ombak pantai, “Kita melihat pantai yang luas, tenang. Berharap kita bisa seperti pantai, tapi inget juga ada ombak yang bisa datang kapan saja. Harapan kita bisa aja hancur karena ombak yang menghantam,” ucap Lara pelan dengan tersenyum.

Hening. Mereka berpikir akan masa depan Lara dan Askar nantinya. Tak ada yang tahu akan seperti apa ke depannya. Tapi jika berharap juga tak ada larangan, bukan?

Mereka mempunyai harapan terhadap hubungan mereka. Semoga saja semesta mengizinkan.

Part 11

0 0

 

“Ayah, ibu, Lara berangkat sekolah,” pamitnya seraya berjalan keluar rumah. Ia tahu, sangat bahwa hari ini masih masa hukumannya yaitu tidak makan. Maka dari itu, setelah keluar kamar ia langsung berjalan keluar, bukan ke meja makan. Padahal dirinya lapar, tapi, ya sudahlah.

“Hmm,” gumam Ayah entah menjawab atau tidak.

Suci tersenyum,”Iya nak, hati-hati. Belajar yang rajin.” Berjalan mendekati Lara lalu mengulurkan tangannya seolah meminta di cium tangannya. Lara melakukan.

“Iya, Bu.”

Menunggu kedatangan Askar, ia membaca sedikit materi. Siapa tahu itu membuatnya pintar, pikirnya.

Selang enam menit, Askar datang.

“Naik.”

Lara naik. Setelahnya mereka pergi ke sekolah. Membutuhkan setengah jam untuk sampai.

Tak ada perbincangan selama di perjalanan. Lara turun, melepaskan helmnya.

“Belajar yang bener, jangan males, ya,” ujar Askar.

Lara yang tadinya sedang mengambil topi di tas, menoleh, “Iya-iya. Gue ke kelas dulu.” Ucapnya seraya berjalan. Askar mengangguk, lalu turun dari motornya.

Lara memasuki kelasnya. Semuanya masih baik-baik saja. Ia menaruh tas dibangkunya. Setelahnya ia berjalan ke lapangan. Mega sedang di toilet, sehingga ia ke lapangan dahulu.

Posisi baris Lara berada di tengah yang belakangnya ada Nina. Lara risih, karena tatapan Nina yang seperti sinis, menurutnya.

Ia mencoba biasa saja, sampai pada penutupan upacara. Saat berjalan menuju kelas, ia mampir ke toilet dulu.

Saat Lara akan masuk toilet, ternyata di samping ada Nina. Ia masih dengan tatapannya, Lara merasa ada yang tidak beres.

Selang beberapa menit, Lara keluar. Terlihat Nina masih di sana. Saat Lara sedang berjalan keluar toilet perempuan, Nina mencekal tangannya.

“Tunggu.”

Lara menoleh,”Apa?”

“Lo pacarnya Askar?”

Lara mengerutkan keningnya, kenapa dia bertanya itu?

“Iya, kenapa?”

“Lo yakin sama Askar?” Lara semakin bingung, sebenarnya apa inti yang Nina ucapkan.

Melihat kebingungan Lara, Nina menghela napas, “Selain bodoh di pelajaran, lo juga bodoh dalam artiin apa maksud gue, ya.” Nina menggelengkan kepalanya dengan tangannya yang bersedekap dada.

“Maksud lo apa, Nin?”

“Gini ya gue jelasin. Lo yakin sama Askar? Secara Askar itu pintar, sedangkan lo itu bodoh.” Rendahnya.

Lara paham sekarang, “Terus hubungannya sama lo apa?”

“Nggak ada. Tapi gue kasih saran mending lo putusin Askar aja. Harusnya lo nyadar diri dong, udah bodoh belagu lagi,” ujarnya meremehkan.

“Yang jalanin hubungan ini kan gue sama Askar, kenapa lo yang ikut campur? Oh, lo suka ya sama Askar?” tanya Lara santai seraya menyenderkan punggungnya di tembok toilet.

“Kalau gue suka dia kenapa? Masalah?” tanya Nina menantang.

“Masalah banget, Nin. Lo suka sama cowok yang jelas-jelas udah punya orang lain.”

Nina tertawa, detik selanjutnya ia menjambak rambut Lara dengan brutal. Lara yang tak begitu siap sedikit oleng. Dalam diam Lara tahu bahwa ada sesuatu yang Nina pendam entah apa tetapi sepertinya ia sedang mengeluarkan sedikit yang ia pendam. Seperti ... Luka. Entahlah.

Meskipun begitu, Lara tak mau kalah. Ia menjambak rambut Nina pula. Terjadilah adegan saling menjambak. Hingga akhirnya muncullah ide di benak Nina.

Tiba-tiba Nina seolah-olah jatuh, percayalah itu hanya drama yang dibuat Nina. Terlihat Nina memegang kepalanya, Lara jengah dengan drama yang dimainkan Nina. Mulai!

“Aw,” pekik Nina.

Saat itu juga, lewatlah siswi yang tak sengaja melihat mereka. Setelah itu, ia melaporkan kepada guru BK. Sudah ia duga, rencana Nina seperti ini. Dan yeah ... Lancar sekali bukan.

Siswi yang tadi lapor, membantu Nina berdiri dan menuju UKS.

Saat Nina akan pergi, ia berbisik. “Ini baru awal, selanjutnya akan ada permainan yang lebih seru dan menyenangkan, tinggal tunggu tanggal mainnya,” bisik Nina sinis.

Lara diam, ia mengabaikannya. Ini hanya omong kosong.

Terdengar suara bapak berusia tiga puluhan meneriaki nama Lara.

“Lara!”

“Ikut ke ruangan bapak sekarang!”

Part 12

0 0

 

“Kar!” sang empu menoleh. Saat istirahat ia memakai waktunya untuk meminjam buku matematika yang ingin ia ajarkan pada Lara.

“Lara berantem sama Nina. Katanya Nina terluka gara-gara Lara,” ujar orang tersebut ngos-ngosan dengan membungkuk tangan memegang paha seraya mengatur napas.

Askar mengerutkan keningnya, “Dimana?”

“Toilet. Tapi sekarang katanya sih Lara di ruang BK kalau Nina dibawa UKS,” jelas orang tersebut.

Askar mengangguk, “Makasih.”Askar bergegas pergi dengan membawa buku di tangannya.

Askar melangkah lebar menuju ruang BK. Bersamaan dengan sampainya Askar, pintu terbuka menampilkan sosok Lara.

“Lo percaya kan sama gue? Gue nggak mungkin lakuin itu,” ucap Lara lirih dengan tatapan berharap.

Askar diam lalu menghela napasnya. Ia pun bingung harus percaya yang mana.

“Hukumannya apa?”

“Kata Bu Lintang, sesuai apa yang Nina mau,” jawab Lara masih dengan tatapan berharapnya. Ia berharap Askar mempercayainya.

“Kita ke UKS sekarang.” Ajak Askar memegang tangan Lara lalu menariknya pelan.

Lara mengerutkan keningnya, untuk apa ke sana? Ia tak bersalah sama sekali. Yang memulai perkelahian ini juga Nina. Bahkan perihal Nina jatuh, itu bukan salahnya. Tetapi, salah Nina sendiri bahkan itu seperti sengaja jatuh.

“Gue nggak salah, Kar. Dia jatuh karena sengaja bukan karena gue. Gue lihat jelas kalau dia tadi sengaja. Lo harus percaya sama gue,” sela Lara. Ia berhenti kala Askar menariknya pelan.

Askar menoleh menghadap Lara, menghela napas.”Lo harus minta maaf sama Nina terus lakuin apa yang dia mau,” ujar Askar.

Lara menggeleng cepat, “Gue nggak salah, gue nggak mau. Meskipun Bu Lintang suruh gue minta maaf tetap nggak mau. Orang gue nggak salah kok,” sungut Lara, ia tak menyangka kalau Askar tak percaya padanya. Lalu apa hubungan mereka berjalan sudah enam bulan ini ia tak mengenal Lara? Ia tak habis pikir. Lara kecewa.

Askar bukannya tak percaya, ia percaya meski hanya sedikit. Entah kenapa ia merasa bahwa Lara memang bersalah. Selain itu, ia juga berpikir nasib Lara di rumah nanti. Ayahnya pasti marah besar, mungkin dengan meminta maaf itu bisa meringankan sedikit.

“Minta maaf sama Nina, lo mau dimarahin Ayah lagi?”

Lara terdiam lalu menunduk. Ia lupa akan kemarahan Ayahnya nanti, pasti ia bukan hanya tak diberi makan, bahkan mungkin dia harus tidur di gudang selama beberapa hari.

Melihat respon Lara yang diam, Askar menarik tangan Lara pelan menuju UKS.

Sesampainya di UKS, nampak Nina yang sedang berbicara dengan orang lain. Mungkin temannya.

Berjalan menuju brankar, Askar menoleh ke Lara seraya menggenggam tangan Lara erat.

Merasakan genggaman yang erat dan nyaman, Lara mendongak menatap Askar. Ia mengangguk, Lara tersenyum.

Selanjutnya Lara menoleh ke arah dimana Nina berada. Tampak Nina tersenyum.

“Gue minta maaf.” Lara menjulurkan tangannya.

Nina membalas juluran tangan tersebut, “Gue maafin kok,” jawab Nina lalu pandangannya jatuh ke arah Askar.

“Makasih, Nin,” ucap Askar ikut menimpali.

“Sama-sama.” Nina tersenyum ke arah Askar. Lara tahu senyuman dan tatapan itu. Seperti ... suka.

“Ekhem. Bu Lintang udah bilang ke gue. Permintaan gue cuma satu,” Nina memainkan rambut panjangnya yang digerai.

“Apa?”

“Jadi babu gue selama seminggu,”

Askar dan Lara terkejut. Tak salah kah?

“Gimana?”

Lara menoleh ke arah Askar, Askar menatap Lara dengan tatapan yang tak bisa ia artikan.

Tanpa menunggu lama, Lara mengangguk setuju.

“Oke kalau itu mau lo.”

Askar berpikir, bahwa Lara meminta maaf atau tidak. Nasib Lara tetaplah sama saat di rumah.

Part 13

0 0

 

Saat ini Lara dan Askar sedang berada di pinggir jalan, tepatnya di penjual bakso. Setelah pulang sekolah, Askar mengajak Lara ke tempat ini. Tempat makan yang sering mereka kunjungi. Dengan harga terjangkau tetapi enak.

Tampak Lara yang gelisah. Askar tahu kegelisahan Lara, apa yang harus Askar lakukan?

“Lar,” panggil Askar.

Tak ada jawaban. Lara masih fokus pada pikirannya.

Askar melambaikan tangannya di depan wajah Lara. “Heii.”

Lara tersadar, “K-kenapa, Kar? Ada apa?”

Menghela napas, Askar bertanya, “Mau cerita?”

“Gue siap denger semuanya.”

Lara tersenyum lalu menggeleng pelan. “Makasih, Kar.”

“Lar.”

“Iya?”

“Gue cuma mau bilang seberapa banyak lo nyerah, lo sedih, gue mohon tetap bertahan ya. Nggak apa-apa semua orang ngecewain lo, nyakitin lo. Tapi lo harus inget ada gue yang jadi alasan lo bertahan.” Askar berucap dengan memandang ke depan teduh. Lara merasa terenyuh mendengar ucapan Askar.

Menghela napas, Lara tersenyum, “Katanya, hidup itu bukan cuma perihal sedih, luka, kepahitan. Tetapi ada bumbu senang, bahagia, damai. Gue harap Tuhan beri gue kepercayaan perihal itu.”

Askar menoleh menghadap ke samping dimana Lara berada. Ia tersenyum, lalu mengambil tangan Lara untuk digenggam.

Genggaman tangan itu ... Sangat nyaman. Lara suka ini.

“Kar, kalau takdir yang diberi Tuhan bahwa gue bukan pendamping lo nantinya, jangan lupain gue bersama kenangan yang udah pernah kita ciptain ya?”

“Jangan bilang gitu, Lar. Kita pasti bareng terus sampai tua nanti.” Tatapan Askar menampakkan kegelisahan.

“Kita nggak tahu kedepannya seperti apa, yang kita tahu kita pengin hidup bahagia. Semua orang juga pasti penginnya gitu.”

Hening.

Lara berdiri, “Yuk pulang.” ajak Lara. Askar mendongak lalu berdiri.

Berjalan ke tukang bakso, membayarnya.

_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_--_-_-_--_-_--_-_-_--_-_-_-_--_-_-_-

Plak!

Baru saja Lara masuk rumah, ia sudah mendapatkan tamparan keras dari Fadli. Ia sudah tahu apa penyebabnya, pasti karena tadi di sekolah.

“Baru saja kemarin nilai kamu jelek, sekarang sok-sokan bikin ulah. Jadi anak berguna sedikit saja, saya capek ngurusin anak kayak kamu yang bisanya cuma jadi beban,” beber Fadli.

Dengan posisi menunduk Lara menjawab, “Cerita sebenarnya nggak seperti yang Ayah tahu, percaya sama aku Yah, sekali ini saja Lara mohon.” Ia menyatukan telapak tangannya.

“Untuk apa saya percaya sama anak sepertimu! Nggak berguna!” bentak Fadli.

“Maaf, Yah.”

Fadli memijat pangkal hidungnya. Pusing yang ia rasakan, ada masalah di kerjaannya ditambah lagi Lara. Ingin cepat istirahat, Fadli berucap, “Sebagai hukumannya kamu nggak boleh makan sampai besok dan tidur di gudang lama,” tandas Fadli lalu berjalan ke kamar.

Lara tak membantah, ia tersenyum.

“Gue kuat. Ya! Gue kuat,” monolognya pada diri sendiri.

“Senyum.” Lara tersenyum lebar.

Part 14

0 0

 

Lara berjalan ke arah kamarnya. Sesampainya ia merebahkan diri ke kasur. Menghela napas, ia diam seraya memandang langit-langit kamar.

Entah sudah yang ke berapa menit Lara diam.

Ia berdiri lalu mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi. Saat akan masuk, ponselnya berbunyi. Lara berbalik dan mengecek.

 Itu pesan dari Nina, pesannya berisi, ‘Mulai Besok oke, jangan sampai lupa.’

Lara hanya membaca pesan, tak berniat membalas. Lalu berjalan lagi menuju kamar mandi.

Selang beberapa menit, Lara keluar. Bersamaan dengan itu, Fadli memanggilnya.

“Lara!”

“Iya, Yah.” Ia berjalan membuka pintu kamar.

“Kenapa masih disini? Bukannya saya sudah menyuruhmu tidur di gudang lama, hah?” gas Fadli. Tadinya ia ingin ke dapur, melihat gudang masih kosong dan itu berarti Lara masih di kamarnya. Ia marah.

Lara mengangguk, “Iya, nanti aku pindah ke sana kok.”

Fadli memegang tangan Lara lalu menariknya secara paksa. Lara terkejut, ia yang tak siap hampir saja tersandung kakinya sendiri.

“Karena kamu sudah melanggar, kamu saya kunci di sini! Jangan harap nanti dapat makan.” Fadli berkata seraya menunjuk Lara. Lalu ia berjalan ke luar dan terdengar suara pintu yang terkunci.

Lara tersenyum, “Nggak apa-apa. Udah biasa, lo cuma perlu terbiasa.”

“Jalan setiap orang berbeda, dan inilah jalan hidup gue. Yang katanya keluarga adalah rumah, nyatanya itu neraka bagi gue.”

“Yuk semangat yuk!” ucapnya pada diri sendiri.

_-_-_-_-_-_-_-_-

Pukul enam lebih empat puluh lima menit. Lara khawatir, Fadli belum membuka pintu gudang. Hari ini ia mesti berangkat sekolah. Fadli memang ... Akh!

“Gue harus gimana?”

Lara melihat ada jendela di gudang ini, muncul ide ia keluar melewati itu. Tak peduli nanti Fadli akan marah, yang terpenting ia bisa sekolah.

Hap!

“Huh, aman.” Kini Lara sudah di luar rumah. Dengan berlari, ia menuju kamarnya lalu bergegas mandi dan bersiap.

Setelah selesai, kini ia mendapatkan notifikasi dari ponselnya pukul lima.

Morning, Lar.

Lo baik-baik aja kan? Sorry semalam ngk chat, ada acara keluarga sampai malem.

04.43

Lara, gue nggak bisa jemput lo. Gue berangkat bareng Mama, soalnya sekalian Mama ada urusan. Alhasil gue berangkat pake mobil. Maaf yaa. Pulang nanti kita bareng.

06.28

Lara membalas chat.

Oke nggak papa, gue berangkat sendiri aja. Thanks udah kasih kabar yaa. Hehehe

07.23

Setelahnya, ia berjalan tergesa-gesa keluar rumah. Ia benar-benar sudah terlambat tapi tak apa, yang penting ia berangkat sekolah. Meskipun nilainya nggak bagus, setidaknya ia jarang Alpha atau izin.

Butuh setengah jam Lara sampai, dengan ngos-ngosan ia berlari ke kelasnya. Saat berada di pintu, nampak Ibu guru mata pelajaran kimia sedang menjelaskan materi.

Lara mengatur napasnya. “Yuk bisa!”

Ia mengetuk pintu, guru itu menoleh lalu bertanya. “Kenapa terlambat?”

“Ada urusan sebentar tadi Bu, maaf saya terlambat,” ucapnya menunduk.

“Kalau ada acara, seharusnya kamu bilang ke temanmu untuk kasih tahu kepada Ibu. Sekarang kamu taruh tasmu, lalu ke lapangan dan kamu berdiri di sana dengan posisi hormat dan menghadap tiang bendera, paham?”

Lara mengangguk paham, lalu berjalan menaruh tas.

Berjalan ke luar, “Permisi, Bu. Maaf telat,” kata Lara tersenyum ramah.

Setelah di lapangan, ia menyemangati dirinya.

“Nggak apa-apa. Lo kuat, yuk jalani hukuman dengan senang hati.” Lara terkekeh.

Selanjutnya ia memposisikan diri menghadap tiang dan hormat.

Part 14 (2)

0 0

09.00

Entah sudah berapa jam Lara berdiri di lapangan. Bel istirahat berbunyi, ia menghela napasnya lega. Dia belum sarapan tadi pagi, lapar sekali perutnya. Ia berjalan ke sisi lapangan untuk duduk santai dahulu.

“Lar.” Merasa terpanggil, Lara menoleh dan terdapat Askar di sampingnya.

“Iya,” jawabnya seraya tersenyum.

“Kenapa bisa kena hukum?”

Menghela napas, “Gue boleh pinjem bahu lo?” Askar mengangguk mempersilahkan.

Perlahan Lara menopang kepalanya ke bahu Askar dan mulai bercerita apa yang terjadi semalam hingga ia bisa terlambat dan dihukum seperti tadi.

Mendengarnya, Askar marah. Fadli memang keterlaluan.

Tangan Askar naik mengelus rambut Lara. “Apa yang harus gue lakuin ke Ayah lo?”

Masih di bahu Askar, lara menoleh cepat, “Nggak usah lakuin apapun, cukup lo jadi kayak gini itu udah lebih dari cukup,” ucap Lara tersenyum.

Menghela napas, Askar berkata, “Oke fine kalau emang itu mau lo.” Dalam hati, Askar berkata akan melakukan sesuatu yang tidak ia beritahu siapapun pastinya.

“Ke kantin yuk, laper kan?” Lara mengangguk.

Mereka berjalan ke kantin.

Saat tengah memakan, ponsel Askar berbunyi menandakan ada yang menelepon.

“Bentar gue angkat dulu.” Lara mengangguk.

Selang beberapa menit, Askar datang dengan tampang tergesa-gesa.

Lara menaikkan sebelah alisnya heran, hingga akhirnya Askar berucap.

“Gue harus ke ruang OSIS, nggak apa-apa gue tinggal?” tanya Askar dengan tatapan tak enak.

Menit selanjutnya Lara mengangguk paham. “Iya nggak apa-apa. Yang penting ini makanannya dihabisin dulu.” Putus Lara.

Askar mengangguk lalu duduk kembali dan mulai memakan kembali.

Lara dan Askar telah menghabiskan makanan mereka masing-masing.

“Gue duluan ya, Lar. Maaf nggak bisa anterin sampai kelas,” ujarnya tak enak, lagi.

Lara tersenyum lalu mengangguk, “Santai aja, Kar. Udah sana gih, ditungguin tuh.”

Askar mendirikan jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk seperti angka dua lalu meletakkan di bibirnya, selanjutnya ia menempelkan ke pipi Lara. Dasar Askar! Lara sempat blank tadi.

“Askar,” ucapnya lirih.

Lalu Lara berjalan ke kelas untuk mengikuti pelajaran selanjutnya. Sesampainya di kelas, nampak Mega sedang cekcok dengan Nina. Lara tergesa melerai mereka. Ia heran, kenapa siswa di kelasnya malah hanya menonton tanpa ada niatan melerai.

“Apaan lo?” teriak Nina.

“Lo yang apaan! Tadi gue lihat lo lagi bilang ke temen sekelas buat kerjain Lara. Otak lo dimana sih? Percuma pintar tapi hatinya busuk!” teriak Mega dengan napas memburu.

Lara menarik Mega pelan, “Udah biarin aja, kalau diladenin nanti dia kesenengan.”

“Tapi gue nggak terima lo mau digituin, Lar.”

“Nggak apa-apa. Nggak penting semua orang benci gue, yang penting orang-orang yang gue sayang nggak benci sama gue,” ujar Lara tersenyum seraya memandang dengan tangan memegang tangan Mega.

Tampak Mega mengangguk dan mulai tenang.

“Tenang aja, Lar. Seberapa banyak orang benci sama lo, gue nggak akan benci sama lo apapun yang terjadi.”

“Halah, omong kosong!” cerca Nina.

“Setiap kehadiran orang itu cuma bersiklus. Hadir, dekat lalu pergi,” imbuhnya.

Setelah itu Nina berjalan keluar meninggalkan banyak pertanyaan di benak Lara dan Mega.

Part 15

0 0

 

“Lar!”

Lara menoleh, ia sekarang sedang membawa makanan Nina di kantin. Ini baru hari pertama ia menjadi babu Nina, menyebalkan.

“Iya,” Lara menjawab malas.

“Abis taruh makanan ini ke meja, beliin gue tisu.” perintah Nina.

“Iya oke.” Lara menaruh ke meja lalu bergegas ke koperasi sekolah untuk membeli tisu. Di koridor tak sengaja ia bertemu Askar yang sedang berbicara dengan salah satu siswa. Tampak serius sekali mereka berbicara sampai Askar tak mengetahui Lara sedang berjalan di arah berlawanan yang tak jauh darinya. Hingga akhirnya Askar menoleh ke depan dan melihat Lara sedang berjalan di sana.

“Mau kemana, Lar?” tanya Askar berhenti kala sudah bertemu.

“Ke koperasi buat beli tisu,” ucapnya seraya melirik jam tangannya.

“Gue duluan ya, Kar. Takut keburu bel masuk bunyi.” Lara berjalan dengan langkah lebarnya.

Askar hanya mengangguk. Ia tahu siapa yang menyuruh Lara, siapa lagi kalau bukan Nina, mengingat perjanjian mereka hari lalu.

_-_-_-_-_

“Lama banget sih lo” decak Nina.

“Jaraknya nggak deket asal lo tahu,” jawab Lara malas lalu meminum air mineral kemasan.

“Pulang nanti lo anterin gue pulang, bisa bawa mobil kan?”

Lara mengangguk, “Bisa.”

_-_-_-_-

“Kar, hari ini gue nggak bisa pulang bareng lo,” ujar Lara di depan Askar. Kini mereka sedang berjalan menuju parkiran, Askar menjemput Lara dari depan kelas.

“Kenapa?”

“Nina suruh anterin dia balik.” Lara menghela napasnya.

“Oke. Gue nggak bisa apa-apa. Yang penting kalau ada apa-apa telepon gue ya.” Askar menarik bahu Lara lalu mengelusnya masih dengan berjalan.

“Iya siap bos!” mereka terkekeh.

Ada getaran dari ponsel Lara. Ia mengecek setelahnya nampak ia berdecak.

“Kenapa?”

“Gue harus buru-buru. Nina udah rewel banget. Gue duluan ya.” Lara langsung berlari tanpa menunggu persetujuan Askar. Ia hanya geleng kepala.

“Lama banget lo!”

“Sorry,” ucap Lara ngos-ngosan.

“Buruan masuk!” Lara mengangguk lalu masuk.

Hening diantara keduanya. Nina yang sedang bermain ponsel dan Lara fokus menyetir.

“Ke bioskop dulu, bentar lagi film kesukaan gue tayang,” celetuk Nina tiba-tiba.

“Hah? Katanya tadi pulang, kenapa sekarang malah mampir ke bioskop?” Lara bertanya lalu nampak ia melenguh. Ia masih harus membersihkan rumah dan belajar. Kalau tidak ia akan dimarahi Ayahnya.

“Terserah gue dong! Lo tinggal nurut aja kenapa sih.” Nina masih dengan bermain ponselnya.

Lara menghela napasnya, mengangguk. “Oke.”

“Nah gitu dong. Baru babu penurut.” Nina terkekeh.

 

 

 

Part 16

0 0

 

Pukul 20.07

Lara dan Nina baru saja sampai di rumah Nina. Menyebalkan sekali harus mengantarkan Nina dahulu. Jam segini mana ada angkutan umum, Lara harus memesan ojek online yang pastinya mahal. Huft.

“Besok berangkat ke sini dulu,”

“Oke babu?” tambah Nina.

“Gue pulang dulu,” ucapnya seraya berjalan ke luar gerbang rumah Nina.

“Pokoknya besok lo harus ke sini dulu!” teriak Nina.

Lara berbalik lalu mengacungkan jempolnya, setelahnya ia berjalan ke luar.

“Gue harus pesan ojol dong,” gumamnya seraya menengok kanan kiri. Lalu ia membuka handphonenya, pas saat itu Askar menelepon. Sebelum mengangkat, nampak beberapa chat dan panggilan dari Askar.

“Halo.” Serobot Askar langsung begitu telepon terangkat.

“Iya, halo.”

“Lo dimana, Lar?” nampak Askar tergesa-gesa saat bertanya.

“Di depan rumah Nina.”

“Kenapa masih disitu jam segini?”

“Panjang ceritanya. Gue nggak tahu pulang pakai apa,” ujar Lara dengan menengok kanan kiri.

“Share lokasi. Gue kesana sekarang.”

“Maaf ya ngerepotin.”

“Jangan bilang gitu. Share sekarang yaa.” Askar mematikan telepon sepihak.

Lara menghela napasnya, lalu mulai membagikan lokasinya. Setelah itu Lara duduk di pinggiran jalan. Lelah sekali menuruti Nina, padahal ini baru satu hari bagaimana kalau seminggu? Mantap ya.

Dalam diam Lara memikirkan nasibnya di rumah nanti. Ia takut untuk menghadapi waktu di rumah nanti.

Lima belas menit kemudian, Askar telah sampai dengan mobilnya. Ia keluar menemui Lara. Lalu melepaskan jaketnya dan ditaruhnya ke tubuh Lara.

“Lo udah makan?” tanya Askar.

Lara hanya menggeleng lemah. Askar menghela napasnya lalu menarik Lara pelan untuk masuk ke dalam mobil. Untungnya Askar tadi mampir dulu membeli makanan. Dugaannya benar kalau Lara belum makan.

“Karena sekarang udah malam, makannya nanti di rumah aja ya?”

Lara mengangguk lalu tersenyum. Detik selanjutnya Lara memeluk lengan Askar.

“Makasih, Kar. Gue beruntung banget dapat lo.” Lara memejamkan matanya.

Tangan Askar naik mengelus rambut Lar, tersenyum, “Nggak usah makasih. Ini udah jadi hal yang harus gue lakuin. Anggap aja gue sebagai rumah lo. Apapun yang terjadi, gue selalu ada buat lo.”

Part 17

0 0

 

“Gue pulang dulu, ya. Kalau ada apa-apa telepon gue langsung,” ujar Askar kepada Lara. Sekarang mereka telah sampai di rumah Lara. Malam semakin larut, Askar tak ingin berlama-lama. Disisi lain, Lara sedang menahan takut. Ia takut hukuman apa yang akan diberikan Fadli. Askar tahu apa yang dirasakan Lara, namun entah yang ke berapa kali, Askar tak bisa membantu.

“Iya. Lo hati-hati di jalan.” Askar mengangguk.

“Besok sekolah gue jemput ya.” Askar berucap sambil mengenakan helmnya. Lara yang masih dengan memerhatikan Askar.

Lara menggeleng, “Besok gue masih harus jalanin keinginan Nina.”

“Gue anterin lo ke rumah Nina habis itu kita berangkat bareng,” Askar memberi usul. Lara menganggukkan kepalanya pelan.

“Oke. Kalau gitu gue masuk dulu, ya,” ucapnya lalu mulai melangkah masuk.

Tanpa menjawab Askar menjalankan motornya. Askar memang sedikit dingin, cuek. Ia lebih suka tindakan daripada omongan.

Lara membuka pintu rumahnya. Ketika langkah pertama, Fadli sedang duduk di sofa. Lara yakin malam ini tak akan baik-baik saja. Bahkan untuk seminggu ini, mengingat perintah Nina yang harusnya Lara turuti.

“Bagus! Jam segini baru pulang.”

“Pintar aja belum, gayamu sudah se langit.”

“Habis darimana saja baru pulang, hah?”

Fadli bertanya dengan nada intimidasi seraya tangan dilipatkan ke depan dada. Lara menatap ke depan, dimana Ayahnya berada dengan tatapan takut, gelisah menjadi satu.

“Maaf, Yah. Lara habis ada urusan tadi.” Lara berucap dengan menatap Ayahnya.

Fadli tertawa keras dan lepas, “Oh ... urusan sama cowok itu lagi?”

Lara menggelengkan kepalanya cepat, “Bukan, Yah. Lara jawab jujur kalau ini bukan alasan karena Askar.”

“Halah, anak seperti kamu nggak seharusnya bisa dipercaya,” remeh Fadli dengan sinis.

“Lara udah besar. Lara nggak seharusnya dibatasin mau apa dan berteman dengan siapapun yang terpenting masih positif,” sela Lara.

Fadli mengangguk, “Iya, kamu sudah besar ya. Tapi otak kamu masih anak kecil. Buat memahami pelajaran aja susah kayak anak SD. Kalau kamu sudah bisa membuktikan nilaimu bagus, itu salah satu kamu berhasil udah jadi remaja lain. Seperti Nina misalnya, ia pintar. Sedangkan kamu .

. nilai saja masih memalukan,” tandas Fadli.

Lara mengangguk paham, kini rasa sakit yang ia pendam benar-benar ingin keluar.

“Kenapa aku punya Ayah yang sering membandingkan anaknya dengan anak orang lain?”

“Asal Ayah tahu, Lara capek. Lara capek nahan sakit selama ini. Ayah harusnya tahu kalau setiap anak mempunyai kekurangan dan kelebihan masing-masing. Lalu kenapa Ayahku seolah selalu ingin menjadikan anaknya sempurna tanpa memikirkan Lara.” Lara menggebu-gebu.

“Katanya Ayah itu cinta pertama putrinya. Tapi disini, Ayah adalah luka pertama putrinya.”

“Kalau memang Lara dipaksa kayak gini terus, kapan Lara bisa menikmati hidup dengan bakat yang Lara punya?”

“Ayah adalah Ayah pemberi luka terhebat,” Lara tertawa keras namun matanya menyorotkan kesedihan dan luka dalam. Percayalah, ia muak dengan ini. Ada kalanya sesuatu yang telah dipendam lama dan tertutup oleh tawa dan senyum, suatu saat akan keluar tatkala hati sudah tak mampu menampung sesuatu tersebut.

Part 18

0 0

 

“Lar!” Lara menoleh kala Mega memanggilnya. Lara baru saja sampai sekolah, saat ia baru di koridor Mega memanggilnya. Ia berjalan menuju dimana Mega berada.

“Temenin gue ke toilet dulu terus ke perpustakaan, ya.”

Lara mengangguk, “Yok.”

Saat mereka berada di pintu perpustakaan, tanpa terduga berpapasan dengan Nina. Ah iya, Lara melupakan satu hal yaitu dia masih harus menjalani hukumannya, huft.

“Lo nggak lupa kan?” tanya Nina sinis. Bukan bertanya sebenarnya, lebih tepatnya menyindir.

“Gue inget. Terus mau lo apa?”

Mega yang tak tahu apa-apa mengerutkan keningnya bingung. Ia tahu perihal Nina yang bertengkar dengan Lara, tapi ia tak tahu apa yang mereka bicarakan.

“Nanti istirahat ke rooftop sekolah.” Nina berjalan meninggalkan mereka berdua.

“Kalian ngomongin apaan sih?” tanya Mega.

Seraya berjalan, Lara menjawab, “Tahu kan pas gue bertengkar sama Nina?” Mega mengangguk.

“Karena itu, guru BK nyerahin hukumannya ke Nina. Dan Nina minta gue jadi babunya seminggu.”

Mega mengangguk lagi. “Terus lo mau aja gitu disuruh dia?”

Lara mengedikkan bahunya, “Mau nggak mau.”

“Bokap lo tahu ini?”

“Tahu ... dan lo pasti paham selanjutnya kan,” balas Lara terkekeh pelan.

Mega mengangguk, setelahnya ia mencari buku yang ia butuhkan. Lara membuka ponselnya seraya menunggu Mega. Ia mendapatkan pesan dari Askar. Dengan segera ia membuka pesan tersebut.

Askar

Kenapa berangkat duluan?

Lo nggak apa-apa kan?

Tadi Lara memang berangkat awal supaya tidak bertemu Askar. Alasannya simpel, karena adegan semalam dengan Ayahnya membuat ia ingin menenangkan diri. Lalu apa hubungannya dengan Askar? Adakah?

Me

Jadwal piket, Kar.

Sorry nggak kasih tahu

Lara mematikan ponselnya, lalu nampak Mega berjalan kearahnya.

“Udah selesai. Ke kelas yok.”

“Iya,” balas Lara lalu mereka berjalan ke kelas.

_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_

“Apa yang mau lo omongin sama gue?” tanya Lara to the point setelah sampai di rooftop.

“Santai dong, jangan keburu-buru,” ujar Nina terkekeh dengan tangan bersedekap.

Lara menghela napasnya, lalu duduk di bangku yang memang sudah disediakan siswa untuk duduk di rooftop. Nina masih diam. Hingga akhirnya, Lara mendapatkan pesan dari Askar.

Askar

Lo dimana?

Gue cek kelas nggak ada. Tanya Mega dia juga nggak

tahu lo dimana.

Me

Bentar lagi gue ke kelas. Tunggu

Lara berdiri, “Lo lama. Daripada gue nggak jelas disini, mending gue pergi.” Lara berjalan hendak keluar dari pintu kecil yang menjadi penghubung tangga dan rooftop.

Lara berbalik,”Kalau lo butuh sesuatu, chat gue aja.” Lara kembali melanjutkan langkahnya.

“GUE BUTUH ASKAR!” teriak Nina.

Lara sedikit mendengar, tapi ia hiraukan. Yang ia pikirkan adalah tak mau membuat Askar menunggu lama.

 

 

 

 

Part 19

0 0

 

Kini Lara dan Askar berada di belakang sekolah. Suasana yang sepi membuat siapa saja merasa tenang saat di sana. Mereka berdua diam, tak ada yang memulai pembicaraan.

Lara sedikit gelisah kala mengingat teriakan Nina di akhir tadi. Ia ingin bersikap biasa saja bahkan bodo amat. Tapi nyatanya, hati tak bisa berbohong kalau Lara merasa takut, takut ucapan Nina akan terjadi.

Askar menatap langit yang sangat terik siang ini. Ia merasa ... akhir-akhir ini hubungannya dengan Lara semakin renggang saja. Entah karena apa, ia sendiri pun tak tahu.

Askar menoleh ke samping di mana Lara duduk. Ia melamun.

Askar mengayunkan tangannya tepat di depan wajah Lara. Masih tak ada respon.

“Lar,” panggilnya seraya menepuk bahu Lara pelan.

Lara terkejut, lalu menoleh, “Hm?”

“Mau cerita?”

“Nggak, Kar. Mungkin lo mau cerita?” tanya Lara balik.

Menghela napas, Askar menjawab, “Entah kenapa gue ngerasa hubungan kita makin renggang aja, ya,” ucap Askar diiringi kekehan di akhir ucapannya.

Lara mengerutkan keningnya, “Kenapa bisa lo ngerasa kayak gitu?” sebenarnya Lara juga merasakan itu.

“Nggak tahu juga. Kita pasti bisa bertahan kan? Lo nggak bosen atau berniat ninggalin gue kan?” tanya Askar beruntun. Nampak guratan sedih di muka Askar.

Lara tersenyum lembut, “Nggak akan. Mungkin lo yang bakal ninggalin gue, hm?”

Askar menggeleng cepat, “Itu nggak mungkin gue lakuin, Lar. Gue sayang sama lo. Lo cinta gue setelah bunda.” Askar menatap Lara intens.

"Gue harap gitu, Kar. Tapi di sisi lain, gue takut lo ingkar.” Batin Lara.

Lara mengangguk, lalu memegang tangan Askar untuk mengajaknya berdiri. Sebentar lagi bel masuk akan berbunyi.

“Balik kelas yuk,”ajak Lara dan Askar mengangguk setuju.

_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_--__-_-_-_-_-_-_-_

Lara masuk ke dalam kelas, tepat saat di pintu ia berpapasan dengan Nina yang hendak keluar.

“Lo denger teriakan terakhir gue, kan?” bisiknya tepat di telinga Lara.

Lara berhenti. Ia dengar tapi disini ia akan berpura-pura tak tahu. Lara menaikkan sebelah alisnya sebagai tanda pura-puranya.

Nina berdecak, “Selain bodoh, lo juga budek ya.”

“Itu lo tahu,” balas Lara mengedikkan bahunya. Lalu kembali berjalan.

“Lo masih jadi babu gue,” kata Nina sedikit keras.

Lara mengangguk masih dengan berjalan ke arah kursinya. Nina masih menunggu respon Lara selanjutnya. Setelah Lara nyaman dengan posisi duduknya, “Terus?”

“Nanti pulang kayak biasa.” Nina berjalan keluar. Menyebalkan sekali ternyata Nina hanya berkata itu saja, Lara hanya bisa memutar matanya malas.

 

 

Part 20

0 0

 

Tepat di rooftop sekolah, nampak seorang gadis sedang menikmati semilir angin yang menerpa wajah serta rambutnya. Ia berdiri di tepian rooftop seraya memandang langit yang mendung, mungkin sebentar lagi akan hujan. Karena merasa kacau, ia datang kemari. Tak lupa ia juga sudah memberi tahu seseorang bahwa dia disini.

“Nin,” panggil seseorang yang baru saja sampai dengan ngos-ngosan.

“Bentar lagi hujan, ini juga udah waktunya pulang. Kenapa lo masih di sini?” tambah orang itu.

“Diem deh lo, nggak usah banyak tanya. Tinggal nurut aja apa kata gue,” jawab Nina malas.

Lara, iya yang memanggil tadi adalah Lara. Ia berjalan mendekat ke mana Nina berada. Meskipun Nina sering semena-mena bahkan membully nya, ia tak takut. Hanya ada rasa kecewa, marah ... sedikit.

“Hm.”

“Lo nyuruh gue ke sini buat ngapain?” tanya Lara sedikit malas.

Nina diam, justru dia menutup matanya dengan menikmati angin mendung ini. Sejujurnya, perasaannya sedang kacau, ia lelah. Tapi, ya sudahlah.

Lama diam, Lara merasa jengah lalu menoleh ke samping. Ia melihat Nina intens, Lara sedikit bisa melihat kerapuhan gadis itu.

“Setiap orang pasti ingin hidupnya tenang tanpa banyak beban. Namun, itu mustahil. Karena pada dasarnya, manusia hidup untuk merasakan segala rasa yang berharap bisa mengambil sisi positif dari rasa yang manusia tersebut alami.”

“Sebanyak apapun luka, kesedihan, tangis, kisah menyakitkan hadir. Jangan terlalu merasa bahwa dirinya orang paling terluka. Coba ingat momen dimana ada kebahagiaan, tawa, senyum di sana. Pasti akan meredakan sedikit rasa emosi sedih yang sedang dirasa.” Lara berkata dengan memandang langit. Entahlah kenapa ia bisa berkata sepanjang itu, semuanya terasa mengalir begitu saja.

Nina tersenyum masih dengan mata yang tertutup. Ia tahu arah pembicaraan Lara. Ternyata, Lara bisa melihat kondisi seseorang hanya dari sikap. Batinnya.

“Semesta nggak adil ya.” Nina terkekeh renyah.

Lara menoleh, lalu menepuk bahu Nina pelan.

“Orang jahat sekali pun mempunyai luka, meskipun tak terlalu nampak. Ia hanya pandai menyembunyikan luka.”

“Semua orang butuh pendengar, bukan cuma jadi pendengar,” ujar Lara tersenyum tipis.

Nina menoleh, ada sedikit sesak menyeruak di dadanya. Tapi ia tak boleh rapuh dihadapan Lara. Nina berdecak sebagai topengnya.

Dengan cepat Nina menghempaskan tangan Lara yang di bahunya. “Ck, drama banget lo!”

“Gue nggak paham apa yang lo bilang,” Nina memalingkan wajahnya.

“Kalau butuh teman buat dengerin keluh kesah lo, gue siap jadi pendengar.” Lara terkekeh pelan.

“Gue nggak butuh itu. Dahlah, gue mau pulang.” Nina berjalan keluar rooftop.

Lara menggelengkan kepalanya, “Lo emang penipu yang kurang handal. Tapi gue suka cara lo nutupin semuanya, meski itu nyakitin orang lain,” gumam Lara seraya terkekeh.

Lara berjalan menyusul Nina, Askar sudah pulang duluan. Itu karena Lara yang memaksa, sebenarnya Askar menolak mentah-mentah. Tapi setelah lama berdebat, akhirnya Askar mengalah juga.

Part 21

0 0

 

“Anakmu memang tak ada gunanya untuk bisa kau banggakan,” ujar orang itu sinis. Yang disindir hanya diam dengan perasaan emosi yang meletup tetapi ia tahan.

_-_-_-_-_-_-_-_-_

Disore hari ini, Askar menghabiskan waktunya di rumah. Sekarang ia sedang berada di balkon kamarnya. Ia berdiri di tepian pembatas balkon. Askar menatap langit yang abu-abu itu, mungkin sebentar lagi akan hujan. Pikirannya berkelana kacau, tentang apa? Hubungannya dengan Lara semakin renggang saja. Entah karena apa, tapi ia merasa ada yang berbeda dari tahun lalu.

“Gue takut ada apa-apa sama hubungan ini.”

“G-gue udah terlanjur cinta sama Lara. Bahkan gue ngerasa dia cinta kedua gue setelah Bunda.”

“Makasih, Lar. Adanya perkenalan yang ternyata hingga sekarang kayak gini lo udah ajarin gue banyak hal. Termasuk tetap tersenyum dan bertahan di lingkup keluarga yang sangat hancur. Meski keluarga gue nggak sejahat itu, tapi makasih, Lar. Makasih,” Askar berbicara pada dirinya sendiri.

Setelahnya ia diam seraya menikmati hembusan angin sore ini yang mendung. Perlahan namun pasti, langit yang tadinya mendung menurunkan rintik hujan. Ia masuk ke kamarnya lalu mendudukkan diri di tempat tidurnya. Askar menunduk dengan tangan bertumpu pada paha untuk menutupi wajahnya. Sekarang entah kenapa, pikirannya tak tenang memikirkan Lara. Sedang apa ia sekarang?

Ia berdiri mengambil ponselnya yang ada di nakas. Baru ingin menelepon Lara, pintu terbuka dan nampaklah Bunda yang tersenyum. Bunda berjalan menghampiri Askar masih dengan senyum tipis.

“Ada apa, Bun?” tanya Askar diiringi tangannya yang ke bawah menandakan ia menunda untuk menelepon Lara.

“Nggak apa-apa. Bunda cuma pengin cerita bareng Aga. Sekarang udah jarang, ya,” ujarnya pelan masih dengan senyum. Bunda memang memanggil Askar dengan Aga.

Askar tersenyum kikuk, ia merasa tak enak pada Bundanya. Melihat Bunda yang perlahan duduk di pinggiran ranjang. Askar menaruh ponselnya lalu berjalan menghampiri Bunda.

“Aga boleh tiduran pakai paha Bunda?” tanya Askar penuh binar.

“Tentu boleh, Nak. Ternyata anak Bunda masih sama manjanya kayak dulu, ya.” Bunda terkekeh geli. Anaknya sudah besar, tetapi kebiasaan manjanya masih melekat seperti anak kecil.

Askar cengengesan lalu bergegas menidurkan dirinya dengan posisi paha Bunda sebagai bantal. Sungguh posisi seperti ini sangat nyaman.

Bunda mengelus rambut Askar penuh sayang. Selang beberapa waktu, Bunda berkata, “Ada cerita apa hari ini?”

Askar menghela napasnya, “Aga bingung, Bun.” Askar berbicara dengan tangan yang ia mainkan.

“Aga bingung kenapa?”

“Nggak tahu kenapa, hubungan Aga sama Lara makin renggang. Semakin kesini, Aga juga ngerasa gagal jagain Lara.”

Bunda mengerutkan keningnya, “Kenapa Aga kepikiran kayak gitu?”

“Bunda tahu kan perihal kelakuan Ayahnya Lara?” Bunda mengangguk mengiyakan.

“Semakin kesini, perlakuan Ayah Lara makin keras. Aga merasa gagal, Bun. Aga pengin bisa bantuin Lara, tapi Aga paham ini bukan saatnya. Tapi kalau nunggu waktu yang tepat, Aga takut Lara udah nggak bisa bertahan dengan yang ia alami. Aga nggak tahu harus apa, Bun.” Askar berkata dengan mata menatap langit kamarnya.

Bunda tersenyum, “Gini Nak, setiap manusia diberi masalah, kesedihan, kebahagiaan, luka sesuai takaran yang Allah pertimbangkan. Dengan adanya pertimbangan yang nantinya Allah setujukan, itu berarti Allah yakin kalau hamba-Nya mampu menjalani apa yang ia beri.”

“Itu berarti, Lara diberi semua ini memang sudah takaran yang Allah berikan buat Lara dengan yakin kalau Lara bisa menjalani semua ini. Tetapi balik lagi ke sikap manusia dalam menanggapi situasi dan kondisi yang ada. Ada kan tuh yang langsung ngerasa dunia nggak adil, nggak terima tapi ada juga yang menyambutnya dengan senyum bahagia, menerima semuanya dengan lapang dada.”

Askar sedari tadi menatap Bundanya serius.

“Perihal apa yang Lara kasih atas tanggapan yang diberi Allah, Bunda nggak tahu. Tapi Bunda yakin kalau Lara adalah gadis yang kuat.”

“Pesan Bunda, buat dia bahagia dengan cara Aga sendiri. Buat dia semangat kala perasaan Lara tidak baik-baik saja. Berusahalah membuat Lara tetap bertahan, tetap tersenyum. Tak apa tidak bisa menghentikan ini semua, Allah masih ingin lihat seberapa kuatnya Lara menghadapi ini. Tugas Aga cukup membantu dia kuat, membantu dia berpikir positif tentang kejadian yang Lara alami.”

“Sampai sini Aga paham apa yang Bunda katakan?”

Askar tersenyum penuh haru lalu mengangguk.

Bunda tersenyum tipis, “Dan ... Aga juga jangan merasa bersalah kalau Aga terlambat bahkan nggak sempat buat ada saat Lara butuh Aga. Mungkin Allah juga ingin Lara bangkit, tersenyum tanpa bantuan orang lain.”

“Pokoknya Aga nggak boleh salahin diri sendiri. Janji sama Bunda buat jangan salahin diri Aga sendiri?” Bunda tersenyum seraya menggoyangkan jari kelingkingnya.

Askar tersenyum, ia menaikkan jari kelingkingnya. “Aga janji, Bun.”

“Nah gitu baru anak Bunda.” Bunda mencubit pelan pipi Askar menggunakan tangan yang satunya.

Askar tertawa. Perasaannya tenang sekarang tak seperti tadi yang berkecamuk. Memang ya, Bunda tak ada duanya kalau memberi nasihat. Askar bersyukur mempunyai Bunda.

“Makasih Bun. Aga sayang Bunda banyak-banyak.” Askar memeluk Bundanya masih dengan posisi yang sama.

“Sama-sama, Nak. Jadi Aga-nya Bunda yang kuat ya.” Askar mengangguk mantap.

Sore hari itu, Askar mendapatkan kehangatan dan ketenangan dari Bunda. Tapi tidak dengan Lara, di waktu yang sama namun tempat berbeda, ia mendapatkan luka dari Ayahnya.

 

Part 22

0 0

 

Di sebuah kamar, ada seorang gadis yang tengah memandang dirinya melalui kaca besar. Penampilannya sangat kacau. Beberapa menit yang lalu, ia kembali mendapatkan luka dari seorang Ayah dan lebih parahnya Ibunya tak berniat sama sekali membantunya. Ia adalah Lara.

Lara tersenyum, meskipun diri dan perasaannya sekarang kacau ia harus tetap tersenyum. Dengan tersenyum mampu membuat dirinya kuat menghadapi ini semua. Dalam situasi seperti ini, ia ingin sendiri. Perihal Askar, bukannya ia tak menganggap ketersediaan cowok itu, ia hanya ingin mencoba menenangkan dirinya sendiri dengan caranya sendiri. Bukan dengan berbagi kepada orang lain.

“Gue nggak apa-apa. Ini hanya hari yang buruk, bukan hidup yang buruk.”

“Jangan lupa tetap tersenyum, Lar.” Ia menampilkan senyum manisnya.

“Tak apa hari ini sakit, esok pasti sembuh dan berubah seiring berjalannya waktu.” Lara mengusap air mata yang tiba-tiba saja keluar dari persembunyiannya.

Lara menarik napas dalam-dalam, lalu tersenyum, “I’m fine,” ucap Lara seraya tersenyum.

Lama memandang dirinya yang tersenyum, ia berjalan menuju balkon kamarnya. Sesampainya, Lara berdiri di tepian balkon. Lama terdiam memandang ke depan, ia mendongak menatap langit yang masih terdengar gemericik air, beberapa jam yang lalu memang hujan. Dan Lara sampai di rumah dengan kondisi basah karena kehujanan. Sebelum pulang, ia harus menemani Nina lalu baru mengantarkannya pulang oleh karena itulah, ia pulang sedikit larut yang pada akhirnya ia mendapatkan marah dari Ayahnya, lagi.

Angin malam ini sangat dingin, namun juga menenangkan.

Lara menutup matanya, menghirup napas dan menikmati sensasi ini. Rasanya begitu tenang. Meskipun pikiran dan hatinya tidak tenang.

Masih dengan menutup mata, Lara berucap,”Makasih atas cara yang engkau pakai untuk membuat Lara kuat, Tuhan.”

“Maafkan Lara yang dulu memberontak tak menerima kenyataan ini.”

“Tapi tenang, sekarang seiring berjalannya waktu Lara perlahan paham ini semua.”

“Makasih Tuhan.” Lara tersenyum masih dengan mata tertutup.

Terdengar bunyi telepon di ponselnya. Ia berjalan menuju nakas dan mengambil ponselnya, dan tertera nama Askar disitu. Segera ia memencet ikon berwarna hijau.

“Lar.” Panggil Askar di seberang telepon.

“Iya?”

“Lo baik-baik aja kan?”

“Iya gue baik,” ujar Lara tersenyum.

“Besok gue jemput ya.”

“Nggak usah, besok gue harus ke rumah Nina dulu.”

Terdengar helaan napas di sana, “Oh iya gue lupa. Yaudah jaga diri baik-baik ya. Kalau lo butuh sesuatu telepon gue langsung.”

Lara terkekeh, “Iya siap pak bos!”

Askar terkekeh pula, “Udah. Sekarang tidur gih, udah malem.”

“Iya iya. Gue tutup teleponnya ya.”

“Bentar!”

Lara mengerutkan keningnya, “Apa?”

“Good night. Love you, hihi.” Askar langsung mematikan sambungan telepon sepihak.

Lara terkekeh, ada-ada saja kelakuan cowok itu. Hal seperti ini sudah sering Askar lakukan namun cowok itu masih tetap gugup saja. Bukannya makin handal tapi malah masih gugup saja.

Lara menggelengkan kepalanya. “Ada-ada aja.”

“Makasih juga, Kar.” Lara tersenyum dengan mata memandang ke depan.

Part 23

0 0

 

Pagi ini Nina sudah siap dengan seragamnya. Ia melihat dirinya dari cermin, lalu tersenyum. Ini memang sudah jadi rutinitasnya sejak satu tahun yang lalu.

“Pagi, jangan lupa senyum.” Nina menyunggingkan senyumnya.

Prang!

Nina terlonjak kaget, suara apa itu?

“Kenapa jam segini baru pulang, Mas?!” teriak Mama Nina di ruang tamu. Ia masih di kamar tetapi ia sudah paham di mana pertengkaran itu terjadi.

“Saya habis kerja, pusing, capek. Harusnya kamu buatkan saya minum, bukan malah teriak-teriak nggak jelas,” balas Ayahnya tak kalah kencang.

“Mana ada kerja sampai jam segini, kamu pasti ada apa-apa sama karyawan itu kan? Ngaku aja Mas,” teriak lagi Mama Nina dengan napas memburu menahan emosi.

“Kamu jangan pandang saya negatif ya! Saya kerja untuk Nina, untuk kamu. Coba sedikit saja kamu ngertiin saya, saya capek.” Ayahnya berkata dengan nada gusarnya.

Di sisi lain, Nina mendengar ini pertengkaran ini. Mendengarnya saja ia sudah sesak apalagi melihat, ia tak mampu. Hal seperti ini sering terjadi, bahkan setiap hari jika tak ada pertengkaran itu mustahil. Jika boleh berharap, Nina tak ingin dilahirkan kalau memang nasibnya akan di lingkup keluarga seperti ini. Melelahkan sekali, ia.hanya ingin ketenangan dalam keluarga, tapi kenapa seperti sulit sekali?

Nina menghela napasnya, lalu mengambil ranselnya. Berjalan keluar kamar, saat pintu terbuka tepat vas bunga jatuh ke hadapannya.

Nina menoleh ke bawah, lama menunduk lalu ia mendongak dengan tatapan sulit diartikan. Perlahan ia berjalan santai keluar rumah. Sedangkan orang tuanya menatap kepergiannya dengan diam, setelahnya terdengar mereka kembali bertengkar.

“Lihat! Anakmu sudah besar, Mas. Aku mohon ubah perilakumu itu. Demi Nina Mas.” Mama Nina mulai menangis.

“Perilaku apa yang kamu maksud? Saya nggak seperti itu, sudah saya bilang itu entah berapa kali.”

“Sekarang terserah apa maumu, apa anggapanku. Itu tidak penting!” Ayah Nina berjalan ke kamar dengan langkah besarnya.

Saat Nina sudah di luar rumah. Nampak Lara sudah berdiri di dekat gerbang. Sepertinya Lara mendengar pertengkaran ini. Ia merasa malu, ia iri kepada Lara.

“Udah lama?” tanya Nina memastikan.

Lara mengangguk,”Iya. Mana kunci mobilnya?” Nina menyerahkan kunci mobilnya.

Selang beberapa menit, mobil sudah pergi dari area rumah Nina.

Sebenarnya Lara mendengar pertengkaran tadi di rumah Nina. Tak ia sangka ternyata hidup Nina tak se-enak yang ia kira. Pasti sakit menyaksikan pertengkaran orang tua.

Lara menoleh ke samping di mana Nina berada. Terlihat tatapan Nina yang tak bersemangat, ia menghela napas.

“Lo butuh temen buat denger semua lelah lo?” tanya Lara hati-hati.

Lama tak ada jawaban. Terdengar helaan napas Nina. Masih dengan menatap ke depan, Nina menjawab. “Tadi lo denger?” Lara mengangguk.

Nina terkekeh, “Sekarang lo udah tahu seberapa lemahnya gue. Yang lo lihat pasti hidup gue enak kan? Nilai gue yang selalu unggul dan lain lagi.”

Lara memang berpikir bahwa Nina selalu dibanggakan karena kepintaran dan prestasi yang Nina raih.

“Tapi gue nggak sebahagia itu. Emang awalnya gue ngira kalau nilai dan prestasi gue banyak, bokap nyokap bakal lihat posisi gue, bukan egois mentingin urusannya sendiri. Tapi nyatanya? Itu sama sekali nggak berpengaruh.”

“Cuma Ayah yang memamerkan gue di depan temannya. Di luar ia seperti bangga punya anak kek gue, tapi aslinya ia biasa aja.” Nina terkekeh renyah.

Lara diam, ini sangat diluar dugaannya.

“Setiap orang punya masalah dan luka masing-masing yang berbeda. Tapi tujuannya sama, entah untuk memberi luka atau memberikan pelajaran agar orang itu lebih kuat.”

“Makasih, Nin. Gue belajar banyak hal hari ini, salah satunya adalah bahwa cover mampu menipu aslinya.” Lara berkata masih dengan menyetir mobil.

Nina hanya diam. Kejadian tadi sungguh membuat moodnya rusak.

 

Part 24

0 0

 

Tampak ada perkelahian antara dua orang lelaki di lapangan basket sekolah. Keduanya sama-sama egois, ingin menang sendiri. Ia adalah Fadli-Ayah Lara dan Johan-Ayah Nina. Mereka memang dikenal siswa yang saling bermusuhan, entah karena apa penyebabnya. Bisa dibilang, mereka siswa famous pada masanya.

Bugh!

Bugh!

Bugh!

Fadli berhasil menumbangkan Johan. Ia menampilkan smirknya, memang setiap mereka berkelahi pasti Fadli selalu menjadi pemenang. Sementara Johan meludah ke samping. Bibirnya sedikit sobek bagian sudut kiri.

Banyak yang menyaksikan perkelahian ini tanpa ada seorangpun yang berniat menghentikan. Johan berdiri, tatapannya tajam penuh emosi.

“Kenapa lo ambil semua milik gue!” Johan mencengkeram kerah seragam Fadli.

“Lo udah ambil kebahagiaan gue, dan sekarang lo mau ambil dia juga hah?”

Fadli terkekeh, “Kalau iya emang kenapa?”

Johan semakin marah, dengan gerakan cepat tangan kanannya meninju perut Fadli. Fadli yang tak siap pun tersungkur.

Cowok itu berdiri, kemudian berjalan mendekat ke arah Johan.

“Semua milik lo harus beralih jadi milik gue,” bisik Fadli lalu berjalan meninggalkan Johan.

Emosi Johan semakin meletup-letup. Dengan gerakan cepat ia berlari mencari seseorang.

Selang beberapa menit, ia telah sampai di kelas seseorang. Ia menerobos masuk, lalu menemukan seseorang yang ia cari.

“Kenapa buru-buru gitu?” tanya orang itu.

Tanpa basa-basi, Johan menarik tangan orang itu pelan. Ia mengajaknya ke rooftop sekolah. Setelah sampai orang itu masih bertanya-tanya sebenarnya apa yang terjadi.

Johan berjalan ke pinggiran rooftop. Ia diam seraya memandang langit yang cerah sekarang. Orang itu berjalan menyusul Johan, nampak ia sedang tidak baik-baik saja.

“Kamu kenapa?” tanya orang itu pelan.

Johan menoleh, lalu menghela napasnya, “Janji jangan tinggalin gue apapun yang terjadi.”

Orang itu mengerutkan keningnya tak paham, kenapa tiba-tiba pacarnya mengatakan seperti ini?

“Kamu kena...”

“Gue takut kehilangan lo!” Ucap Johan lantang.

Orang itu tersenyum, sejujurnya ia juga takut kehilangan Johan. Bayangkan saja, mereka sudah menjalani hubungan ini sekitar dua tahun. Mengingat momen pertemuan pertama dan saat Johan menyatakan perasaannya membuat orang itu terkekeh.

Johan yang mendengar kekehan Suci pun menoleh, iya orang itu adalah Suci Adelina.

“Kenapa lo malah ketawa? Lo nggak percaya sama omongan gue?”

Suci menggeleng, “Bukan itu. Aku keinget masa pertemuan pertama kita sama pas kamu ngajak aku pacaran. Jadi pengin ketawa kenceng, haha.” Suci tertawa keras sampai perutnya merasa pegal.

Johan yang melihat itu tersenyum, tak pernah dalam pikirannya terlintas akan punya hubungan spesial dengan Suci karena memang pertemuan pertama yang mereka alami tak baik. Mereka bertemu karena sama-sama terlambat pada saat hari MOS. Yang akhirnya mereka dihukum bersama dan bukannya saling membantu tetapi saling bertengkar kata.

Johan mengangkat tangannya mengusap rambut Suci pelan. “Janji jangan tinggalin gue ya?”

Suci menghentikan tawanya lalu mengangguk. “Aku nggak akan tinggalin kamu kok.”

“Eh tapi kenapa tiba-tiba kamu bilang kayak gitu? Biasanya juga nggak gini.” Suci mengerucutkan bibirnya.

Dengan gemas Johan menoel bibir Suci. “Emang nggak boleh?” Johan tertawa kecil.

Suci semakin gemas saja kala seperti ini, “Gemes banget pacar siapa sih ini?” Johan mencubit-cubit pipi Suci.

Suci mendelik, dengan cepat ia menepis tangan Johan. “Sakit tau!”

Johan menatap Suci serius. “Yang tadi gue omongin serius, gue nggak bohong.”

“Iya iya tahu.” Suci tersenyum tipis.

“Aku sayang kamu. Makasih ya udah terima aku apa adanya.” Suci memeluk pinggang Johan dari samping.

Johan tersenyum lalu tangannya naik untuk membalas pelukan itu.

“Gue juga sayang sama lo. Janji tetep sama gue apapun yang terjadi.”

Suci mengangguk lalu mendongak, detik selanjutnya ia baru sadar kalau sudut bibir dan pipi Johan seperti baru saja kena pukul. Dengan cepat ia menghentikan pelukannya.

“Bibir sama pipi kamu kenapa? Baku hantam sama siapa lagi sih, udah dibilangin jangan berantem mulu. Kamu mah nggak pernah nurutin apa kata aku.” Suci menarik tangan Johan.

Tak ada pergerakan, Johan bertanya, “Mau kemana?”

“Ke UKS lah, kita obatin luka kamu takut nanti infeksi.”

Johan menggeleng, “Nggak usah. Gue cuma butuh lo bareng sama gue sekarang.”

“Tapi luka kamu gimana?”

“Gue kan laki, kayak gini doang mah kecil.” Johan tertawa sedangkan Suci menghela napas pasrah.

“Kita bolos pelajaran ya?”

“Loh kenapa?” tanya Suci bingung.

“Pokoknya hari ini gue pengin full sama lo tanpa gangguan apapun.” Ucap Johan menatap Suci serius.

Suci mengangguk. Lalu mereka duduk di lantai rooftop dengan posisi Johan tidur menggunakan paha Suci sebagai bantal.

Mereka menghabiskan waktu hari ini hanya berdua. Entah kenapa Johan merasa ada yang mengganjal. Jujur, ia khawatir memikirkan apa yang dibilang Fadli tadi.

Tanpa mereka ketahui, ada seseorang yang melihat kejadian tadi.

“Gue pastiin bentar lagi dia jadi milik gue,” ucapnya sinis lalu berjalan meninggalkan pintu rooftop.

Part 25

0 0

 

Hiks ... Hiks

Isak Suci di seberang telepon. Johan yang tak tahu penyebab Suci menangis mengerutkan keningnya bingung.

“Lo kenapa nangis?”

“Hiks, a-aku hiks hiks.”

“Iya, lo kenapa?”

“Tarik napas, tenangin dulu diri lo,” ujar Johan memberi nasihat. Terdengar helaan napas yang mulai teratur di seberang sana. Johan tersenyum, Suci itu cewek penurut.

“Sekarang bilang ke gue, apa yang terjadi?”

“Tadi aku diajak Ayah, katanya mau diajak makan malam. Tapi pas sampai sana ternyata aku dibohongi. Aku dijodohin ... Hiks,”

Johan melotot, terkejut. Ia sudah tahu kalau memang sedari awal orang tua Suci tidak suka hubungannya dengan Suci.

“Sama siapa? Dimana? Gue ke sana sekarang juga.” Ucapnya seraya mengambil jaket kulitnya lalu berjalan ke luar kamar.

“Aku nggak tahu sama siapa, orangnya belum sampai. Di cafe deket kantor Ayah, aku takut.” Terdengar nada putus asa dari Suci.

Tepat sampai di motor, Johan berkata, “Gue ke sana sekarang juga. Lo nggak usah takut, ini nggak akan terjadi.” Ucapnya tegas. Dalam lubuk hatinya ada secercah rasa takut. Mengingat kejadian kemarin....

Johan mematikan sambungan telepon secara sepihak lalu menyalakan motor dan melaju kencang. Yang dipikirannya sekarang hanyalah ingin menghentikan perjodohan itu.

Setelah beberapa menit melewati jalan yang ramai, akhirnya ia telah sampai di cafe. Ia bergegas turun dan mencari di mana Suci berada. Dan...

Sial!

Nampak Suci sedang duduk dengan kepala menunduk dan di seberang meja ada Fadli dengan senyum kemenangannya.

Johan menggeleng lalu berlari menuju di mana mereka berbincang. Saat sampai, Johan langsung menggebrak meja tanpa sopan santun. Ia sudah terlanjur marah, emosi. Apalagi kala melihat wajah Fadli yang begitu, akh dahlah.

“Apa apaan ini?” teriak Johan menatap satu persatu orang di sana.

Mereka terkejut, lalu Ayah Suci berdiri dengan ekspresi yang sulit diartikan.

“Untuk apa kamu ke sini? Dimana sopan santun mu?” tegur lelaki tua itu tenang.

“Kenapa om lakuin ini? Suci berhak memilih pasangan hidupnya sendiri. Bukan dengan cara perjodohan seperti ini.”

Suci mendongak lalu berjalan di mana Johan berada. Hal itu membuat Fadli murka, ia mengepalkan tangannya, giginya bergemelutuk. Ia merasa bahwa kehadirannya di sini tak dianggap.

“Om, Saya tidak mau tahu. Suci harus menerima perjodohan ini.” Tandas Fadli masih dengan emosi yang ia tahan.

Ayah Suci mengangguk. “Kamu hanya tahu cinta saja. Sebaiknya kamu pergi dari sini jangan ganggu acara keluarga saya!” lantang Ayah Suci dengan tangan menunjuk ke arah pintu Cafe.

“Tidak akan Om. Kecuali jika Om membatalkan perjodohan ini.” Jawab Johan.

Suci hanya menunduk seraya memegang lengan kiri Johan. Ia takut kepada Ayahnya tapi di sisi lain ia juga tak ingin perjodohan ini terjadi.

Orang sekitar hanya melihat dengan ekspresi bingung, apalagi orang tua dari pihak Fadli yang tak tahu apa-apa. Akhirnya nereka hanya menyaksikan.

Lelaki tua itu mengangguk, “Suci, apa yang kamu pilih?”

Suci mendongak lalu melihat Johan yang ternyata tengah menatapnya juga dengan tatapan memohon. Ia bingung harus apa.

“Suci mau dijodohkan dengan Fadli, Yah,” jawab Suci menatap ke depan lurus.

Johan melotot, kenapa Suci seperti ini? Berarti kebersamaan mereka selama ini, hubungan mereka selama ini, dan banyak lagi Suci anggap apa?

Ia tak terima. “Lo pilih dia daripada gue?” tanya Johan tak percaya.

Suci mengangguk.”Sekarang kamu pergi dari sini. Aku mau melanjutkan perjodohan ini.” Ucap Suci menundukkan kepalanya enggan menatap Johan.

Johan menggeleng lalu tangannya naik mengangkat wajah Suci. “Bilang sekali lagi sambil tatap mata gue.”

Suci menggeleng masih dengan menunduk. “Aku bilang pergi ya pergi!” teriak Suci.

Deg!

Rasanya sulit didefinisikan. Bagaikan sebuah pisau menusuk ulu hatinya. Napas Johan tak beraturan dan ada rasa marah tetapi sakit juga. Entah, Johan merasa sedang berada di mimpi, bukan kejadian nyata.

“Oke fine! Gue pergi sekarang, makasih buat semuanya.” Johan berjalan keluar Cafe.

Tanpa Johan tahu, ternyata Fadli mengirimkan pesan kepada Suci jikalau ia menolak perjodohan ini maka nyawa Johan akan menjadi taruhannya. Dengan berat hati bercampur banyak rasa yang sulit didefinisikan, Suci terpaksa menerima perjodohan ini. Ia menduga pasti Johan akan membencinya

 

Mungkin saja kamu suka

Han Achmad
Adeleine's Crown
Wina Elfayyadh
Andini Bukan Andina
rusmiati_25
Our love story
Desbinta Fitria
Geraldan Bintang
Ai Komariah
Serba-serbi Ramadan

Home

Baca Yuk

Tulis

Beli Yuk

Profil