Loading
4

0

1

Genre : Inspirasi
Penulis : Askara
Bab : 10
Pembaca : 0
Nama : Annisa Nursholihah
Buku : 1

My Graduation

Sinopsis

Aru merupakan seorang anak yang memiliki mimpi dapat menuntut ilmu di pondok pesantren. Awalnya ia berfikir ketika sampai di pondok ia bakal mendapat banyak teman, namun kenyataannya tidak demikian. Berbagai suka duka ia alami selama di pondok. Mulai dari kehilangan teman hingga konflik dengan para senior. Namun pada akhirnya ia berhasil lulus dan melanjutkan ke SMA yang diinginkannya.
Tags :
#sekolah#teenagers#sliceoflife#inspiration#ayomondok#pondokpesantren

Permulaan

0 0

 “Ayo anak-anak, waktu selesai, silakan letakkan kertas jawaban kalian di pojok kiri meja dan kertas soal di pojok kanan meja!”

            Satu per satu murid mulai meninggalkan kelas. Hari ini merupakan hari terakhir Ujian Nasional. Wajah yang mereka tampakkan bermacam-macam, ada yang berseri-seri karena akhirnya penderitaan selesai, ada yang bermuram durja karena ada yang tidak bisa menjawab lima soal, dan lain sebagainya. Ekspresi-ekspresi yang hanya bisa dikeluarkan oleh anak SD yang sedang menempuh ujian.

            Lalu, bagaimana dengan aku? Wajahku biasa-biasa saja, tak masam gara-gara tidak bisa mengerjakan ujian ataupun berseri-seri gara-gara ujian sudah selesai. Hanya saja dalam hati aku bersyukur, akhirnya perjuanganku selama enam tahun sekolah terbayarkan. Satu bulan lagi pengumuman kelulusan, aku berharap hasilnya tidak jauh dari ekspektasiku.

            “Ru... Aru... Aaaruuu...!” Aku menoleh ke belakang, tampaknya seperti ada yang memanggilku. Kulihat sekeliling, dan ternyata benar samar-samar terlihat di belakangku seorang anak perempuan tergopoh-gopoh pergi ke arahku. Rambutnya hitam, ikal dan panjang, dikucir seperti ekor kuda. Poninya yang agak ikal mempermanis wajahnya yang bulat. “Aduh... Jalanmu cepet banget sih...” serunya sambil terengah-engah, dua detik kemudian dia menggandeng tanganku. “Kalau jalan itu pelan-pelan aja. Nikmati perjalanan pulang,” serunya lagi. “Eh Novi, sebentar lagi kan pengumuman kelelusan... kamu udah ada rencana mau lanjut sekolah ke mana?” tanyaku kemudian. “Ehmm... aku sih pengen sekolah di SMP 1 Kota, tapi nggak tahu juga ya, kan manusia bisa berubah-ubah, hehe,” jawabnya sambil tersenyum kecil. “Kalau kamu mau lanjut ke mana? Pasti mondok kan?” serunya sambil tersenyum jahil ke arahku. Kuanggukkan kepalaku, ku iyakan jawabannya.

***

Senin, 20 Juni 2014

            Riuh rendah suara terdengar di salah satu kelas di sebuah SD yang berjarak sekitar dua puluh lima kilo meter dari pusat kota. Suara kemeresek sound sistem kelas terdengar, itu pertanda bahwa akan ada pengumuman yang akan disampaikan.

            “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi anak-anak, hari ini adalah hari yang mungkin hari yang paling kalian tunggu, yaitu pengumuman kelulusan. Bapak berharap kalian menjadi lulusan yang bertakwa serta berguna bagi nusa dan bangsa. Bagi yang lulus, namanya akan dibacakan disertai dengan perolehan nilai, sedangkan yang tidak lulus nama tidak akan dibacakan.”

            Satu per satu nama dibacakan, semua tampak khidmat mendengarkan sambil diiringi do’a dalam hati mereka, ‘semoga lolos di tahun ini.’ Hingga akhirnya namaku pun disebutkan, “Arunika Dersik Candranawa, dengan total nilai UAN 28,40 dinyatakan LULUS,” haru dan senang membuncah di dadaku, akhirnya perjuanganku mempersiapkan UAN selama enam bulan tidak dia-sia. Dan Akhirnya jalanku untuk masuk

Permulaan

0 0

Angin berhembus lembut ketika aku mulai memasuki pelataran pondok. Terlihat halaman yang sangat luas, halaman tersebut dibagi menjadi dua. Halaman pertama terletak di depan gedung yang tinggi menjulang kira-kira tiga lantai tingginya. Halaman tersebut digunakan para santri untuk bermain futsal atau sepak bola di sore hari. Sedangkan halaman yang kedua terletak di depan masjid yang digunakan untuk para santri bermain basket. Gedung yang tinggi tadi berwarna cream di bagian dalam dan luar gedung. Dapat kulihat lorong lantai dua bangunan tersebut penuh dengan ornamen kaligrafi —yang belakangan aku ketahui ketika sudah satu bulan mondok bahwa ornamen itu bertuliskan mahfudlot (kata mutiara). Aku beserta keluargaku segera masuk ke dalam gedung tersebut.

            Suasana tampak sepi, tidak ada satupun santri yang berlalu lalang. Mungkin karena libur panjang jadi semua santri pulang dan di pondok hanya ada para ustad dan ustadzah, begitu pikirku. Tiba-tiba seorang lelaki dengan umur kurang lebih tiga puluh tahun menemui kami. “Silakan duduk, Pak, Bu!” seru laki-laki itu. Kami pun duduk. Bapak dan ibuku mengurus perihal pendaftaranku, sedangkan aku hanya duduk sambil melihat-lihat banner yang tertempel di dinding ruangan itu. Di banner itu terdapat kata-kata bijak dari berbagai tokoh dunia salah satunya adalah kata bijak dari John F. Kennedy ‘Usaha dan Keberanian Tidak Cukup tanpa Tujuan dan Arah Perencanaan’.

            Akhirnya proses pendaftaran selesai. Aku dan keluargaku pun kembali ke rumah, tapi entah kenapa perasaanku tidak enak saat itu, rasanya aku ingin mengatakan kepada orang tua ku untuk membatalkan pendaftaran. Aku tepis perasaanku, mungkin saja itu perasaan takut yang tiba-tiba karena akan jauh dari orang tua. Saat di perjalanan pulang ibu menanyakan kepadaku apakah aku sudah siap mondok dan apakah aku yakin untuk mondok di situ. Hatiku campur aduk ketika menjawabnya, antara ingin membatalkan atau tidak. Entah tidak seperti biasanya. Biasanya aku selalu yakin terhadap yang aku pilih, tapi entah mengapa aku seperti ragu-ragu. “Inggih buk, mondok di situ aja,” jawabku agak ragu.

Permulaan

0 0

Jarum jam telah menunjukkan angka enam dengan jarum pendek menunjuk angka satu. Segera kuselesaikan makanku lalu ku cuci piringku. Setelah itu, aku menuju bapak yang sudah siap sedari tadi dengan motor grand tua miliknya. Aku berpamitan kepada ibu, kedua adikku, dan juga mbahku.Kulihat raut wajah mbahku yang agak sendu engiringi keberangkatanku. Yah, memang beliaulah yang kurang setuju bila aku pergi momok. Beliau bilang aku terlalu kecil untuk mondok, seharusnya aku di pondokkan setelah SMP, begitu menurut beliau.

Pun to mbah, ndak usah sedih, lek njenengan sedih nanti Aru jadi kepikiran, kalau Aru kepikiran, ndak jenak di pondok, kalau di pondok ndak jenak, ndak bisa konsentrasi belajar,” hiburku agar mbah tidak terlalu khawatir. Akhirnya mbah mau melepas aku berangkat ke pondok walau agak sedikit kecewa.

“Assalamu’alaikum, mbah, buk, Aru berangkat,” ucapku sambil mencium kedua punggung tangan mereka.

“Wa’alaikumussalam. Hati-hati, kalau di pondok bapak ibu guru dawuh didengarkan dan sama teman yang rukun,” ucap ibuku memberi pesan.

Inggih buk,” jawabku mengiyakan beliau. Suara mesin motor terdengar. Satu menit kemudian aku dan bapakku sudah melenggang pergi meninggalkan rumah.

Semilir angin menyibak kerudungku, udara pagi ini begitu dingin, untungnya aku memakai sweter yang tebal. Suasana di jalan belum terlalu ramai kendaraan yang melintas. Aku menikmati perjalanan sambil membayangkan betapa ramai suasana setelah sampai di pondok nanti. Setengah jam telah berlalu, akhirnya aku dan bapakku sampai di depan gerbang pondok. Terpampang tulisan ‘Selamat datang peserta didik baru tahun ajaran 2014/2015’ di depan gerbang dan gedung utama. Ketika kami menuju depan gedung utama atau gedung penerimaan terlihat para santri yang berlalu lalang, dari santriwan (santri laki-laki) hingga santriwati (santri perempuan), semuanya sibuk untuk menyambut para santri baru. Mereka yang berlalu lalang memakai seragam biru putih dengan garis putih pada atasannya, mereka adalah para santri dari tahun kemarin dan menjadi panitia penerimaan santri baru tahun ini. Sedangkan untuk santri baru memakai baju bebas asal sopan dan untuk putri atau santriwati memakai baju tertutup berjilbab.

Permulaan

0 0

Tiba-tiba seorang anak perempuan mendekatiku, namanya Fara. Ia, berasal dari kabupaten yang sama denganku, akan tetapi beda desa dan beda kecamatan. Dia datang bersama ayah dan neneknya. Fara merupakan santri laju –tidak mukim atau hanya sekolah tidak tidur, makan, atau beraktivitas di pondok. Setengah jam kemudian datang lagi seorang anak perempuan, ia bernama Fitri. Fitri juga berasal dari kecamatan dan desa yang berbeda denganku, akan tetapi kecamatan tinggal Fitri dekat dengan kecamatanku. Alhamdulillahnya Fitri mukim sepertiku, jadi aku merasa tenang karena ada yang sudah aku kenal dan mukim di sini. Jarum jam sudah menunjukkan angka delapan, tapi anehnya sudah tidak ada lagi yang datang. Hanya ada aku, Fara, Fitri, dan empat anak laki-laki lain yang aku belum kenal nama mereka. Kami bertujuh berbaris rapi di depan gedung penerimaan. Setelah mendengarkan sambutan, kami bertiga dipandu menuju asrama. Sebelum pergi ke asrama aku berpamitan dulu pada bapak, setelah itu beliau pulang. Para orang tua lain  yang mengantarkan murid sudah juga pulang meninggalkan pondok. Karena kami –aku, Fara, dan Fitri– hanya bertiga, kami dijadikan satu kamar. Sesampainya di kamar, para senior memberitahu kami mengenai beberapa aturan yang ada di pondok ini. selain itu, kami juga diajarkan mengenai bagaimana melipat baju atau merapikan almari –walaupun kami semua sudah tahu caranya– serta hal-hal yang berkaitan dengan haid. Setelah semua ramah tamah serta pemberitahuan peraturan tersampaikan, mereka para senior pulang ke kamar mereka. Kamarku terletak di sebelah kiri kamar para senior kelas delapan. Untuk gedung asrama ini, kami tinggal satu gedung dengan santri kelas delapan, sedangkan santri kelas sembilan berada di gedung belakang gedung kami. Kanan dan kiri kamarku adalah kamar kosong, sedangkan depan setiap kamar ada satu kamar kecil untuk pengasuh.

            Hari sudah hampir siang, hari ini kami tidak ada kegiatan, hanya menunggu waktu berbuka tiba. Ketika tengah asyik mengobrol, tiba-tiba berbunyi suara bel yang sangat keras. Kami bertiga berjingkat sangking kagetnya. Selang sepuluh menit, azan pun berkumandang. Kami segera mengambil wudhu dan pergi ke masjid. Ketika sampai di tangga kami melihat para senior kelas delapan turun dengan memakai mukena dan sajadah yang disampirkan di bahu atau tangan mereka. Kami bertiga pun segera memakai mukena mengikuti apa yang para senior lakukan. Kami pun berangkat bersama dengan para senior menuju masjid. Sesampai di masjid ternyata sudah ada beberapa orang yang datang. Kami segera membentangkan sajadah dan duduk dengan tenang mendengarkan pujian. Kemudian iqamah dikumandangkan pertanda sholat akan dimulai.

Permulaan

0 0

Malam sunyi. Semua penghuni asrama Ar-Rahmah telah terlelap dalam balutan selimut mereka. Hanya ada suara jangkrik dan desir angin malam. Dingin, itulah yang aku rasakan. Mungkin karena selimutku yang tipis ditambah ranjang yang terbuat dari besi serta ukuran kasur yang hanya dua Ichi. Mataku masih terbelalak. Padahal ini sudah waktunya tidur. Di pondok pesantren ini terdapat peraturan wajib tidur ketika jam sudah menunjukkan pukul sepuluh. Tepatnya setelah dirasah atau pelajaran malam. Kucoba lagi untuk memejamkan mata. Satu detik, dua detik, sepuluh detik, hingga waktu terus bergulir dan menunjukkan pukul sebelas malam. Entah mengapa aku tidak bisa tidur. Padahal aku termasuk orang yang mudah tidur dimana saja selain itu, aku otomatis akan mengantuk jika jam sudah menunjukkan pukul sembilan. Akhirnya ku putuskan untuk mengambil wudhu. Kulangkahkan kakiku menuju kamar mandi. Kamar dan kamar mandi di pondok pesantren ini berada dalam satu ruangan dengan keran air wudhu yang terletak di samping kamar mandi. Setelah selesai wudhu aku berjalan menuju almariku untuk mengambil mukena dan sajadah. Kutunaikan sholat malam hingga selesai. Ketika berdo’a, entah mengapa air mataku terus bercucuran ketika mengucap “Allahummaghfirlii dzunuubii waliwaalidayya warhamhumaa kamaa rabbayaanii shaghiiraa”. Semakin lama ku panjatkan doa, peluhku semakin deras bercucuran. Padahal ini masih hari pertamaku masuk ke pondok pesantren. Selesai memanjatkan do’a kulipat kembali mukena dan sajadahku. Ku pandangi satu persatu temanku, lelap sekali mereka tidur. Kembali ku baringkan tubuhku. Ku lafalkan do’a sebelum tidur agar terhindar dari mimpi buruk serta selalu dalam lindungan Allah. Akhirnya aku tertidur lelap.

            Teng... teng... teng... suara jaros berdentang kencang. Lalu disusul bunyi bel. Nyaring sekali terdengar hingga kami terbangun mendadak dengan jantung berdetak agak kencang. Kemudian kami mendengar ketukan pintu. Fara membukanya. Muncul seorang wanita cantik, Ustadzah Anna namanya. Beliau mengatakan kepada kami untuk segera bersiap mengambil wudhu. Kami segera beranjak dari ranjang menuju tempat wudhu. Kurang dari tiga menit kami selesai wudhu, karena hanya ada kami bertiga di kamar ini dengan jumlah keran air sebanyak empat buah. Setelah bersiap kami berjalan bersama Ustadzah Anna menuju masjid. Jarak kamarku ke masjid cukup dekat, mungkin sekitar seratus meter jauhnya. Dingin sekali udara subuh ini. Samar-samar terlihat kabut yang agak tebal. Aku baru pertama kalinya melihat kabut. Menurutku ini pengalaman menyenangkan setiap berangkat sholat subuh. Mata mengantuk, ditambah udara dingin, serta menembus kabut. Jam masjid menunjukkan pukul empat pagi. Para senior —Kami biasa memanggil ukhti—  mulai membaca surat-surat pendek pada pengeras suara. Merdu sekali mereka membacanya. Dari apa yang kami dengar kemarin saat para senior atau ukhti kemarin adalah kita wajib segera berangkat menuju masjid bila jaros atau bel telah berbunyi. Setiap sebelum subuh dan sebelum ashar, para santriwati mengaji di masjid. Kita tidak boleh terlambat masuk masjid. Tanda keterlambatan biasanya ditandai dengan suara para pengurus yang berhitung setelah azan dikumandangkan.

Permulaan

0 0

Tak terasa sudah lima hari aku ada di sini. Dua hari lagi libur panjang hari raya tiba, aku dapat bertemu kembali dengan keluargaku. Sudah lima hari juga tidak ada satu pun tambahan teman yang datang ke pondok ini. Selama satu minggu berpuasa di sini aku bersama teman-teman banyak mempelajari ilmu baru, seperti belajar memandikan jenazah, mengkafani jenazah, mensholatkan jenazah, dan belajar mengenai tata cara haji dan umroh. Aku ingat jelas dua hari yang lalu, menurutku waktu berjalan sangat lambat seakan stuck di satu hari saja. Saat mendekati waktu pulang ternyata waktu berjalan cepat. Mungkin, ini karena sudah tiga hari ini aku dan teman-teman mengikuti beberapa kegiatan yang hampir full hingga sore hari. Malam hari aku dan teman-temanku kosong, tidak ada satu pun kegiatan. Terkadang aku merasa kesepian ketika tidak ada kegiatan.

“Eh.. Fitri, Aru, tadi malam jam tiga kalian ngerasa aneh nggak pas ke kamar mandi?”

“Aneh gimana?” jawabku.

“Itu.. aku ngerasa kaya ada anak perempuan di pojokan kamar mandi..,” jelas Fara.

“Kamu juga ngerasa gitu? Aku kerasa pas kemarin malam sih, pas kebelet mau ke kamar mandi. Kaya ada anak perempuan terus kepalanya kaya berdarah kan?” cerita Fitri yang merasakan hal yang sama.

“Masa sih? Aku selama seminggu di sini nggak ngerasa apapun tuh?!” jawabku. Memang, selama satu Minggu ini aku selalu terbangun pada jam tiga, padahal aku ketika di rumah hanya bisa bangun bila dibangunkan oleh ibu. Yah.. daripada melamun atau mencoba lagi tidur, aku biasanya ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu lalu sholat tahajud. Tapi anehnya, aku di sini tidak takut sama sekali untuk ke kamar mandi. Padahal jika di rumah untuk ke kamar mandi saja harus ditemani ibu. Mungkin karena letak kamar mandi di pondok berada dalam kamar, jadi aku tidak takut ke kamar mandi sendiri, atau mungkin karena terpaksa tidak ingin membangunkan teman-teman dari mimpi indah mereka.

“Mungkin cuma khayalan kalian aja, biasanya kalau kita berpikir ada hantu, pasti bayangan itu muncul,” jelasku agar mereka tidak takut.

Nggak lho Ru! Kemarin aku pernah cerita sama ukhti Rey, katanya memang benar ada! Kalian tahu kan di samping kamar kita ada kamar kosong, aku pernah denger kalau suatu bangunan atau ruangan tidak dihuni selama empat puluh hari bakal ada makhluk halus yang jadi penunggunya,” cerita Fitri sambil bergidik.

“Tuh kan.. benar, Aru sih nggak percaya!” seru Fara.

“Yah.. gagal deh aku ngehibur mereka,” ujarku dalam hati.

Permulaan

0 0

“Aru, nanti tolong bilang ke teman-temanmu selesai isya’ pakai baju bebas rapi bawa alat tulis plus buku, kita kumpul di aula ya!”

“Na’am ukhty, nanti Aru sampaikan ke teman-teman. Sukron ukhty Calu informasinya.” Segera aku naik ke atas, kembali ke kamar, lalu segera ke kamar mandi untuk mencuci baju bersama yang lainnya seraya menyampaikan pesan dari ukhti Calu.

“Teman-teman, aku tadi dapat pesan dari ukhty Calu, nanti selesai isya’ kita disuruh pakai baju bebas rapi bawa alat tulis plus buku, kita kumpul di aula.”

“Ohh okay, memang nanti acaranya apa?” tanya Fara padaku.

“Ehmm.. kurang tahu aku, tadi ukhty Calu pesan gitu. Nanti malam kita pasti tahu kok!” jawabku pada Fara. Tak terasa sudah hampir zuhur, aku, Fara, dan Fitri segera menyelesaikan mencuci baju yang kurang satu tahap lagi selesai. Untungnya, cucian kami tidak terlalu banyak. Setelah itu kami bertiga segera menjemur pakaian ke atas agar ketika jaros berbunyi kami sudah selesai menjemur pakaian.

“Fitri, Minggu nanti kamu siapa yang jemput?” tanya Fara pada Fitri.

“Tanteku, kalau kamu sendiri Fara, siapa yang bakal jemput?” tanya Fitri balik.

“Aku belum tahu, ayahku mungkin, soalnya kalau nenek juga nggak mungkin. Kalau kamu Aru, siapa yang bakal jemput?” tanya Fara padaku.

“Bapakku yang bakal jemput, soalnya ibuku belum berani naik motor sendiri ke kota,” jawabku pada Fara.

Satu persatu wali murid berdatangan menjemput anak-anak mereka. Ada yang dijemput ayahnya, ada yang dijemput kakaknya, ibunya, bahkan ada yang sekeluarga ikut menjemput anaknya pulang. Jam telah menunjukkan pukul sepuluh akan tetapi hanya Fara yang sudah dijemput. Aku dan Fitri menunggu di tangga, tak lama kemudian Fitri dijemput oleh tantenya, bapakku belum tampak sama sekali.

“Aru, kamu belum sms kah? Apa bareng aku aja pulangnya, kan kita satu arah,” tawar Fitri kepadaku.

“Nggak usah Fitri, ngerepotin tantemu nanti, lagi pula barangku sama barangmu kan banyak,” jawabku.

“Yaudah, aku temenin kamu aja deh, kasihan kamu di sini sendiri. Aku tunggu sampai bapak kamu datang,” kata Fitri sambil tersenyum.

“Makasih Fitri, maaf ngerepotin kamu sama tantemu,” jawabku kepada Fitri. Satu jam kemudian bapak datang, lalu Fitri dan tantenya pun pulang.

Permulaan

0 0

“Bapak kok dangu  jemputnya,” seruku dengan suara hampir terisak. Entah kenapa sejak di pondok aku jadi tambah cengeng. Aku takut kalau aku nggak dijemput, takut di sini sendiri.

“Bapak masuk malam, jadi baru pulang jam delapan. Tadi istirahat bentar, terus tahu-tahu sudah jam sepuluh, bapak langsung ke sini,” ujar Bapakku menjelaskan. Akhirnya kami pun pergi meninggalkan pondok. selama perjalanan aku membayangkan bagaimana di rumah, pasti ibuk, adek, dan mbah sedang menungguku.

“Lho, pak, kok jalannya beda? Bukankah seharusnya tadi belok ke kanan?” seruku kaget.

“Kita mampir rumah sakit dulu, mbah masuk rumah sakit,” jelas bapak.

Mbahku memang sering sakit, sudah tiga tahun terakhir ini beliau olak-balik dari rumah sakit. Dokter bilang mbah sakit infeksi saluran kencing, darah tinggi, dan gastritis (asam lambung), atau kasarnya orang bilang ‘penyakit orang tua’. Yah, jaman sekarang penyakit itu bermacam-macam. Semakin ilmu pengetahuan berkembang, semakin berkembang pula varian penyakit yang ada.

“Mbah di rumah sakit sama siapa pak?” tanyaku memecah keheningan.

“Sama bulik, tadi malam pulang, gantian bapak kerja soalnya,” jawab bapakku menjelaskan.

Tak terasa kami telah sampai di perkiran rumah sakit. Aku dan bapak kemudian naik ke lantai tiga menuju ruang mawar. Untungnya tidak ada petugas yang berjaga, jadi aku bisa masuk untuk melihat keadaan mbah. Tubuh kurus dan kulit pucat sedang duduk dengan seorang wanita muda memakai baju putih. Tertancap selang infus pada pergelangan tangannya. Rupanya mbah sedang melakukan cek kesehatan rutin oleh seorang perawat setiap delapan jam sekali. Aku dan bapak segera kembali keluar, bapak takut kalau aku ketahuan masuk. Sebenarnya aku belum diizinkan masuk karena aku masih berumur sebelas tahun, padahal tertulis aturan bahwa usia minimal anak yang boleh menjenguk adalah berusia dua belas tahun. Aku akhirnya menunggu di beranda depan lorong. Beranda ini dipenuhi dengan para pengunjung juga orang yang berjaga menemani pasien. Aku menunggu selama kurang lebih satu jam, kemudian aku pulang.

Permulaan

2 0

Allahu akbar.. Allahu akbar.. Allahu akbar

Takbir telah berkumandang, pertanda bahwa bulan Ramadhan telah usai berganti dengan bulan kemenangan, bulan Syawal atau Idul Fitri. Idul Fitri kali ini aku tidak bisa berkumpul dengan mbah, bapak, bulik, dan paklik. Biasanya satu hari sebelum Idul Fitri kami disibukkan dengan kegiatan bersih-bersih. Setiap anggota rumah diberi tugas masing-masing. Aku biasanya diberikan tugas untuk menyapu dan mengepel, adikku paling besar bertugas mencuci wadah atau kotak jajanan, dan adikku paling kecil bertugas membersihkan kaca jendela. Ibu dan mbah sibuk di dapur untuk menyiapkan maleman –selamatan untuk merayakan Idul Fitri tiba– karena mbah undak ada di rumah, sibuk pun kesulitan dalam menyiapkan maleman. Akhirnya aku pun diberi tugas dobel yaitu membantu ibu memasak, menyapu, dan mengepel.

Hal paling aku sukai ketika idul fitri dengan mbah adalah beliau selalu menyembunyikan jajanan lebaran ketika puasa dan akan dikeluarkan ketika takbir pertama berkumandang. Kami diperbolehkan mengambil jajanan maksimal tiga jenis dengan intensitas yang sedikit. Mbah bukannya pelit pada kami, akan tetapi beliau jagani agar jajanan yang disuguhkan kepada tamu besok ada. Selain itu, ketika kita selesai berkeliling biasanya mbah membantu kami menghitung gaji kami berkeliling. Cara yang beliau pakai pun lucu. Mbah akan memanggil kami satu per satu kemudian mengapit uang kami pada kaki beliau atau tangan beliau –vibes orang pasar– kemudian menjilatkan jarinya pada lidah untuk memudahkan menghitung setumpuk uang. Terkadang adikku memilih menghitung sendiri akibat ulah mbah yang seperti itu. Ketika mbah sakit, tidak ada lagi pertunjukan menghitung gaji ala mbah.

Sekarang mbah ndak ada di rumah, kami pun terpaksa close house sehingga tidak ada tamu yang berkunjung. Ketika mbah masih sehat, rumah kami selalu ramai hingga hari kelima. Hal tersebut dikarenakan mbah terkenal supel dan ramah ketika di pasar sehingga banyak orang kenal dan mudah akrab dengan mbah. Selain itu biasanya paklik, bulik, serta sepupuku pulang, namun kali ini mereka tidak bisa pulang karena paklik dan bulik tidak harus menjaga mbah di rumah sakit. Akhirnya aku, ibu, serta kedua adikku tidak dapat berkeliling bersama bapak, paklik, dan bulik. Kami pun akhirnya ikut gerombolan tetangga sebelah karena ibuk ndak bisa berpamitan ketika pulang.

Permulaan

0 0

Tidak terasa aku sudah di rumah hampir satu bulan. Selama itulah mbah belum pulang dari rumah sakit. Masa aku kembali ke pondok mbah belum datang, begitu pikirku. Tiba-tiba ibu memanggil.

“Mbak, tolong bersihkan kamar mbah! nanti sore mbah pulang,” seru ibuku dari dapur.

“Inngih buk,” jawabku

Aku segera berlari ke dapur untuk mengiakan perintah ibu sembari mengambil sapu.

“Buk, adek teng pundi?” tanyaku pada ibu.

“Nggak tahu ibuk, paling mereka lagi gambar. Tolong panggil kedua adikmu suruh bantu ibu nyuci piring sama nyapu halaman. Nanti dalam rumah jangan lupa disapu ya!”

Nggeh buk.” Aku segera pergi menuju kamar kedua adikku. Sesampainya di sana aku mendengar adikku berbicara sesuatu, seperti naskah cerita, akan tetapi yang kudengar bukan percakapan antara dua orang akan tetapi percakapn satu orang. Aku buka pintu perlahan, ternyata mereka sedang menggambar dan berbicara sendiri seolah-olah tokoh yang mereka gambar itu nyata, singkatnya mereka ingin mempraktikkan tokoh kartun yang ada di televisi.

“Dek, dipanggil ibuk, buruan ke dapur!”

“Aku tok apa sama mas?” tanya adikku bungsu.

“Ya dua-duanya,” jawabku.

Ngapain mbak?” tanyanya lagi.

Wes to ke sana o, nanti rak ya tahu!” jawabku geram.

Akhirnya mereka berdua turun dari ranjang kemudian berlari menuju dapur. Aku pun segera menuntaskan pekerjaan yang belum sempat aku mulai, yaitu menyapu dan mengepel seluruh rumah. Tak terasa telah satu jam aku menghabiskan waktu untuk membersihkan rumah. Padahal rumah kami kecil, tapi lelah rasanya membersihkan seluruh rumah. Mungkin karena tubuhku yang kecil ini sehingga membersihkan rumah yang kecil serasa membersihkan rumah yang besar nan luas. Ketika aku selesai membersihkan rumah, adik-adikku pun selesai juga menyelesaikan tugas-tugas mereka. Kami kemudian duduk bersama melihat kartun untuk mengusir penat kami. Ketika melihat televisi semilir angin terasa hingga membuatku mengantuk, tiba-tiba saja aku sudah terlelap.

Mbak Aru, bangun, kalau mau tidur di kamar sana, jangan di sini!” seru adik sulungku.

“Ehmm.. nggak mau, enak di sini,” ujarku dengan mata yang masih tertutup.

“Iya, mbak, sana tidur di kamar, nanti ada tamu tahu rasa!” ujar adik bungsuku. Aku tidak bergeming, tetap kulanjutkan tidur nyenyakku.

Mungkin saja kamu suka

Ratnawati Kidin...
Pergi Tak Kembali
Titim Matun Nas...
Aisara: Berpendar Rasa di Gua
Pluviophile
White Moon
Annisa Putri Ze...
Hallo Gema
Zaimah Bahreisy
Berburu Lailatul Qadar

Home

Baca Yuk

Tulis

Beli Yuk

Profil