MENITI RINDU
Sinopsis
Tags :
#cinta #keluarga
Sarapan Kata
KMO Indonesia
KMO Batch 37
Katulistiwa
Jumlah Kata 506
Day 1
1. Hujan di Awal September
Rintik hujan di Awal September. Bulirnya jatuh saling bergandengan menempa perut bumi. Angin berembus kencang membawa serpihan debu uang berarak dan perlahan menepi. Dingin mulai memeluk hari dan saling mencumbu di antara denting suara hujan yang kian deras.
Tetes demi tetes embun menyelimuti sore yang kian dingin. Ah, terlihat senja yang malu dari balik kaca, sembunyikan diri di balik awan.
Warna jingga kemerahannya menyimpan segala kerinduan. Senja menepi menjemput gemintang berkelip di angkasa. Sayup binatang malam bernyanyi bersahutan, mengiringi malam yang kini dipeluk mesra dingin. Gigil hati ini, mencari temote di mana akan kembali.
Sekilas bayang seraut wajah menari di antara rintik hujan. Wajah yang selalu menemani di setiap embusan napas. Wajah yang penuh semangat dan cinta.
Mengingat tentang cinta. Satu nama yang kini selalu menempati satu sudut paling dalam. Tidak pernah tergantikan, sepanjang waktu ini.
Langit kelabu tak mampu menyembunyikan lara yang tersembunyi. Gelapnya malam, juga tidak membawanya terlelap dalam lorong waktu. Gemintang hanya sesaat hadir, tetapi itu sudah cukup membuat rasa membuncah tinggi.
Rindu yang begitu dalam menarik setiap urat rasa. Ribuan kilometer terpisah di antara rindu dan renjana. Tak akan pernah lelah melangkah di tepian waktu.
Hujan pertama di awal September, sewindu yang lalu. Waktu gugurnya seluruh rasa dan lara. Menggetarkan setiap sisi hati, dan membawa sebagian hatinya dalam sebuah keabadian.
"Mam, are you okay?" tanya Salwa. Dia mendekap dan mengusap lelehan air mata ini.
"Iya, sayang. Mama hanya sedang ingat Papa."
"Hmm ... Me too, Mam."
Kami saling berpelukan, menumpahkan segala rasa rindu pada seseorang yang kami panggil Papa. Pria yang memberikan kami apa itu bahagia, dan apa itu saling melindungi.
"Wow, kalian saling berpelukan tanpa aku?" ucap Safira sambil melangkah dan memeluk kami berdua.
"Love you, Mam."
"Sayang kalian, matahari Mama."
"Iuww ... Mama lebay." Kami saling tertawa, melupakan sejenak segala kenangan hujan pertama di awal September.
Malam kian larut. Gemintang membentang di antara gelapnya malam. Angin sepoi-sepoi mendorong awan berarak semakin menjauh.
Luruh.
"Aku larut dalam kubang gelisah. Sayang, engkau kini telah abadi."
"Pagi, Mam," sapa Salwa. Lalu dikecupnya pipi Mama.
"Pagi, sayang."
"Ma, bukan depan jadi kita ke Bali? 'Kan Kak Erick sama Kak Angel mau ngerayain ultah Bryan."
"Ah, iya.Mama hampir lupa. Jadi dong, kamu rindu kan sama Kak Erick?"
"Enggak. Aku rindunya sama Bryan, keponakan paling lucu. Lagi aku heran, deh, Ma. Jauh-jauh dari Belanda ke Bali, cuma buat ngerayain ulang tahun Bryan saja."
"Hush, Kakakmu itu juga rindu kamu dan Papa."
" Kenapa, Ma. Papa harus dipanggil secepat ini," ucap Salwa terisak.
"Semua sudah digariskan Allah, sayang. Mungkin itu yang terbaik untuk Papa, dengan begitu Papa tidak merasakan sakit lagi."
"Kangen Papa," ucap sendu Salwa.
"Sewindu jarak yang harus dilalui. Meniti di antara tajamnya kerikil, dan badai yang menerpa tanpa kamu. Bayanganmu masih setia berdiri di pelupuk mata. Rasa yang kau tinggalkan tak pernah sirna. Belum ada yang mampu menggantikanmu, karena memang aku menutup hati untuk selain engkau," batinku lirih.
Sarapan Kata
KMO Indonesia
KMO batch 37
Kelompok Katulistiwa
Jumlah Kata 666
Day 2
"Sewindu jarak yang harus dilalui. Meniti di antara tajamnya kerikil, dan badai yang menerpa tanpa kamu. Bayanganmu masih setia berdiri di pelupuk mata. Rasa yang kau tinggalkan tak pernah sirna. Belum ada yang mampu menggantikanmu, karena memang aku menutup hati untuk selain Engkau," batinku lirih.
Sadrah akan ketentuan Allah, atas segala rasa yang membuncah, hati yang terbelah, rindu yang tak lekang oleh waktu. Tetapi, aku bisa apa, semua telah digariskan-Nya.
"Ma, gosong!" teriak Safira dari pintu dapur.
Aku bergegas mematikan kompor, dan membuka semua pintu dan jendela supaya asap tidak memenuhi dapur.
"Mama, ngelamun lagi, deh," ucap Safira.
"It's oke, Mam," ucap Salwa.
"Kita sarapan di alun-alun aja, yuk?" anakku kemudian.
"Otewe!" seru Salwa.
Itulah kami, meskipun kini bertiga tanpa bersama Papa. Aku dan anak-anak tetap harus kompak dan saling menyayangi. Seperti pesan terakhir Papa, "Sayangi anak-anak kita, buat mereka selalu bahagia."
Tidak terasa air mata ini kembali meleleh. Aku harus kuat di depan anak-anak, walaupun rapuh saat sendiri. Seperti pesan terakhir Papa, membahagiakan anak-anak adalah tugas orang tua, hingga mereka ada yang menjaga kelak.
Kami bertiga meniti sepeda, menyusuri jalanan setapak di Karanganyar. Menikmati sisa embun yang masih setia memeluk pagi, dan bercumbu dengan cahaya mentari yang hangat. Bahagia memang sesederhana ini. Tidak perlu kita tunjukkan kepada orang lain, cukup kita yang merasakan. Itu sudah cukup.
Waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Matahari mulai beranjak membawa embun pagi untuk pergi. Alun-alun Karanganyar mulai terisi pengunjung yang ingin menikmati pagi dengan keluarga mereka. Ah, ingatan tentang Papa kembali menari-nari di setiap sendi rasa ini. Rasa cinta dan rindu melebur jadi satu.
"Kita mau pulang, atau masih mau di sini?" tanya Safira.
"Bentar lagi, deh, Kak. Mumpung di sini, kita nikmati waktu kenapa?" jawab Salwa.
"Gimana, Ma?"
"Ayuklah, jarang kita bertiga jalan ke alun-alun."
Pagi yang cerah sepoi angin berembus membelai jilbab kami. Suara kendaraan yang lebur dengan tawa riang anak-anak saling bersahutan. Ramai para penjaja makanan pagi saling berjajar. Dulu, kami menikmatinya berempat. Akan tetapi, kini hanya bertiga.
Bahagia, itu yang kurasakan. Anak-anak tumbuh dengan baik, hingga kini mereka mulai beranjak dewasa. Bahagia, ketika mereka bahagia, dan menyelesaikan pendidikan dengan baik. Hati ini membuncah, melihat keberhasilan mereka. Anak-anak Papa, mereka sepertimu, cerdas, tegas, dan berpegang teguh pada prinsip hidup.
??????
Senja semakin sepi, hanya binatang malam yang mulai bernyanyi saling bersahutan. Gemintang di langit masih tampak sendu berselimut awan. Hawa dingin mulai menyerang. Kepala ini sungguh berat, dan sulit untuk diajak kerja sama.
Aku menghidupkan gawai setelah baterai terisi penuh.
"Maaf ya, teman-teman. Sepertinya aku harus izin, nih. Migrenku kambuh," tulisku di grup sekolah.
"Syafakillah, Oma. Get well soon," jawab Fitri.
"Terima kasih."
"Sama-sama, Oma."
Bahagia, itu yang aku rasakan ketika mengobrol bersama teman-teman di sekolah. Oma, adalah panggilan sayang dari mereka untukku. Bukanlah suatu hinaan, karena dipanggil dengan sebutan Oma. Sweet banget bagiku.
Tak sabar menunggu beberapa nb hari untuk kembali ke sekolah. BerjunBe saudara dan juga anak-anak tersayang. Entah, di usia memasuki lima puluh ini, aku lebih sering terserang migren.
Merebahkan badan sejenak untuk mengurangi rasa sakit migren yang kurasakan. Tubuh ini membutuhkan istirahat juga rupanya. Aku harus kuat untuk anak-anak. Itu adalah pesan Papa sebelum dia pergi.
Hujan kembali menjatuhkan tangisnya. Dingin mulai menyelimuti malam, dan wangi aroma tanah tercium hingga ke dalam rumah.
Tanah, semua orang pada akhirnya akan kembali menjadi tanah. Lalu ruh-ruh akan kembali pada pemilik-Nya. Tidak akan ada yang bisa menghindar, hanya tinggal menunggu saatnya tiba.
"Mam, minum teh dulu biar badan hangat." Salwa meletakkan segelas teh di atas meja.
"Terima kasih, Sweetheart."
"Masama, Mam."
Salwa memakaikan jaket ke tubuh ini sebelum dia kembali ke kamarnya. Menikmati segelas teh panas saat ini, sungguh membantu di kala hawa dingin seperti ini. Hujan di awal September ini, membuatku larut dalam seribu kenangan. Satu persatu memori silih berganti saling berputar layaknya film di bioskop.
Aku ingat beberapa hari lalu tentang pertanyaan Fitri. Hal ini membuatku terus tersenyum, saat membuka kenangan awal bertemu Papa. Sungguh momen yang tidak akan terlupakan.
Sarapan Kata
KMO Indonesia
KMO batch 37
Kelompok Katulistiwa
Jumlah Kata 320
Day 3
Aku ingat beberapa hari lalu tentang pertanyaan Fitri. Tentang bagaimana awal aku bertemu Papa, hingga akhirnya bisa sampai menikah. Hal ini membuatku terus tersenyum, saat membuka kenangan awal bertemu Papa. Sungguh momen yang tidak akan terlupakan. Sedikit bumbu lucu, dan singkat.
Sebuah pertemuan yang tidak terduga, tetapi nyata adanya, hingga wkhiakhi kami berjodoh. Bukan tidak ada rintangan untuk kami bersatu, aku dan Papa. Namun, sungguh aku menikmati prosesnya itu. Sebuah kenangan yang tidak akan terlupakan sepanjang waktu.
Papa, engkau selalu di hati kami. Sikap tegasmu, dan dukungan kepada kami untuk selalu bersikap tegas pula, untuk hal apa pun.
Aku ingat betul sebuah perkataan Papa waktu itu, "Katakan tidak, jika hatimu mengatakan tidak. Dan itu memang tidak sesuai dan tidak benar. Jangan takut untuk itu."
Hingga saat ini pesan itu telah tertanam di hatiku dan anak-anak. Mereka sudah terbiasa bersikap tegas untuk hal apa pun.
Disiplin yang Papa tanamkan di keluarga kami, aku tanamkan pada siswa di sekolah. Tentu dengan kadar yang berbeda dan penerapan yang berbeda pula.
Hujan awal September ini, selalu dan selalu mengingatkanku akan sosok Papa. Engkau tanamkan buah kerinduan untuk kami. Engkau sisipkan tetesan kasih sayang dalam hidup kami. Papa ibarat setetes air di tanah yang kering. Mengobati dahaga kerinduan untukku dan anak-anak.
Rintik hujan di awal September. Bulirnya jatuh saling bergandengan menempa perut bumi. Angin berembus kencang membawa serpihan debu yang berarak dan perlahan menepi. Dingin mulai memeluk hari dan saling mencumbu di antara denting suara hujan yang kian deras.
Tetes demi tetes embun menyelimuti sore yang kian dingin. Ah, terlihat senja yang malu dari balik kaca, sembunyikan diri di balik awan.
Senja berselendang jingga, menatap sendu di balik jendela.
Bisakah kau senja jangan ganti warna selendangmu.
Teruslah begini. Aku tidak ingin selendang malam kau kenakan.
Tapi, aku bisa apa. Jika kau tak mengantinya, maka Surya berselendang keemasan tidak akan pernah hadir.
Sarapan Kata
KMO Indonesia
KMO Batch 37
Kelompok Katulistiwa
Jumlah Kata 539
Day 4
Matahari semakin tinggi, cerahnya langit membuat semangat hari ini kembali naik. Ya, meskipun begitu, jantungku tetap merasakan degupnya yang semakin kencang. Berdebar dengan tempo yang naik turun.
Ada penuh harapan untukku diterima bekerja di kota Jakarta sebagai tenaga pengajar. Sebelum ini, aku mengisi waktu menjadi guru privat setelah lulus. Ada rasa jenuh yang kurasakan. Juga keinginan untuk menambah pengalaman menempa hidup. Hingga aku memutuskan mencari suasana baru dan mendaftarkan diri di sebuah lembaga pendidikan yang cukup besar di Jakarta.
Aku menumpukkan banyak harapan di sana. Untuk menggapai cita-cita menjadi seorang guru yang profesional. Dengan pengalaman yang aku miliki selama ini, saat menjadi seorang guru privat untuk anak beberapa dosen dan satu profesor di kampus.
Hari berlalu, beberapa senja telah terlewati di antara penantian pengumuman penerimaan tenaga pengajar lembaga pendidikan di Jakarta. Aku pun masih menjalani orofepr sebagai guru privat. Mengisi hari dan mengais rezeki agar waktu tidak terbuang percuma. Juga supaya hudhi ini menjadi lebih berkah, dan ilmu yang kudapat saat kuliah bermanfaat bagi orang lain.
Kupandangi langit senja dengan cahaya kemerahannya yang mulai temaram. Menyembunyikan mentari di bawah selimut malam. Teringat sebuah pesan, "Berdoalah, mintalah pada Allah. Apa pun itu, pasti akan terkabul. Jangan sekali-kali berprasangka buruk kepada Allah, karena prasangka mu juga akan terkabul."
Sebuah pesan yang kudapatkan ketika mengikuti kajian rutin di Masjid dekat kos di daerah Gegerkalong. Hingga kini selalu kujadikan pedoman hidup, apabila aku menginginkan sesuatu.
??????
Malam semakin larut, lantunan suara angin menembus di antara celah dedaunan yang beradu. Kumandang Adzan Isya saling bersahutan di langit Kota Kembang. Aku ambil air wudu, untuk bmelaksamela Salat Isya. Usapan pertama, membuka lebar mata yang mulai mengantuk ini. Usapan kedua pada wajah, mengalirkan segala kesejukan dan membuka pori-pori yang lelah, lalu usapan ketiga, memfokuskan pandangan ini. Terus berlanjut hingga terakhir pada kaki, menghapus jejak dosa saat kaki ini salah melangkah. Memejamkan sejenak, menikmati kesegaran yang merasuk dalam setiap sendi kalbu.
Aku, berupaya melangitkan setiap keinginan dalam lantunan doa. Bersimpuh, memohon atas karunia kepada-Nya. Menganyam biaya demi kata, merangkum bait cinta sebagai bentuk penegasan setiap keinginan.
Pamrih.
Ini yang selalu kulakukan setiap kali melangitkan doa pada-Nya. Mengharapkan pamrih atas keinginan kita agar Allah kabulkan. Hanya itu yang aku tahu, menanti tiap detik waktu. Ah, betapa berharganya hidup ini. Setiap kali dia kita melangit, dan turun lagi sebagai jawaban untuk kita. Itulah saat bahagia ketika Allah menjawab doa-doa kita. Maka nikmat mana yang aku dustakan.
Memiliki impian adalah sebuah keharusan sebagai mahluk yang bernyawa. Meraih mimpi dengan segala usaha, dan doa yang saling berdampingan. Pesan Ibu, yang selalu aku ingat hingga saat ini.
"Ikhtiar tanpa bertawakal sombong namanya. Sedangkan tawakal tanpa ikhtiar adalah perbuatan orang stress," kata-kata Ibu waktu itu.
Astaga, antara aku ingin tertawa juga mentaatinya, karena biru adalah nasihat orang tua supaya anak-anaknya meraih kebahagiaan. Ibu menyebut tawakal tanpa ikhtiar adalah perbuatan orang stres. Aku kembali memanjatkan doa, di ataraanta kuselipkan satu keinginan yang kupinta kepada Allah.
"Yaah Allah, kalau jodohku di Jakarta. Aku bakal keterima kerja di sana." Sebuah doa yang sebenarnya hanya iseng saja kulantunkan.
Hari-hari masih menanti kabar dari Jakarta. Aku pun telah lupa apa yang telah kuucapkan dalam doaku. Hingga pada hari ketiga, sebuah panggilan memberi kabar, supaya aku mengikuti wawancara di sana.
Sarapan Kata
KMO Indonesia
KMO Batch 37
Kelompok Katulistiwa
Jumlah Kata 522
Day 5
Author POV
Sehari setelah mendapat panggilan wawancara, Dwina segera berangkat menuju Jakarta. Tiba terminal Senen, Mas Yadi menjemputnya di sana. Dia adalah Mas nomor dua, setelah Mas Hari sebagai yang paling tua.
"Yaah Allah, kamu dah gede, Wi!" serunya.
"Lha iya, Mas, wong aku juga makan tiap hari."
"Aku lupa, lho. Kalau kalau punya Adek kamu," kata Mas Ya Yadi.
"Astaghfirullah kebangetan, Mas."
Dwina hanya bisa menekuk bibirnya ke depan. Tubuhnya yang kurus meluruh ke depan.
"Gimana kabar, Ibu. Eh, tapi ini kamu berangkat dari Bandung atau Karanganyar?"
"Aku langsung dari Bandung, kan belum sempat balik, Mas."
"Oh, kirain dah sempat pulang."
Senja mengiringi perjalannya di Jakarta. Rintik hujan menyambut hadirnya di Ibukota. Tak ada desah angin semilir, tak ada nyanyian jangkrik yang mengajak bermain di luar.
"Sampai, Wi. Ayo masuk dulu," ajak Mas Yadi.
Azan Magrib menyambut, ketika dia sampai di sana. Terlihat Mba Ratna sedang menyuapi anak pertama mereka Salma.
Untuk sementara Dwina tinggal bersama Mas Yadi, mungkin selanjutnya akan mandir dengan cari kos dekat dengan tempat kerja.
Rintik hujan malam ini memanggil embun, yang merayap perlahan menyusuri gelapnya malam Ibukota. Terdengar kecipak suara genangan air yang terlindas ban kendaraan. Denting suara jantung ini terdengar tak beraturan.
Sunyi.
Hanya terdengar bunyi klakson kendaraan dari kejauhan. Bahkan dirinya sampai mendengar detak jantungnya sendiri.
Resah.
Itu yang dirasakannya. Deg-degan juga gugup. Hari pertama di tempat baru. Meskipun begitu, dia masih harus menjalani beberapa tes. Semakin larut, malam semakin bertambah dingin. Gigil menyapa tubuhnya yang terlihat kurus.
??????
Fajar bersinar dengan teduh. Cahaya keemasannya bersinar di balik awan. Hujan semalam meninggalkan jejaknya di akhir bulan ini. Perlahan matahari beranjak naik untuk melaksanakan tugasnya.
Cerah dan hangat cuaca pagi ini. Semoga saja ini adalah pertanda baik dari Allah untuknya, untuk memulai hari yang baru di tempat baru juga.
"Wi, kamu wawancara jam berapa nanti?" tanya Mba Ratna.
"Eum, sebentar lagi, Mbak. Jam sembilan aku harus sampai di sana."
"Oh, oke. Kamu bareng Mas Yadi aja, 'kan searah."
"Iya, bareng Mas saja, sekalian lewat sana ada meeting."
Tepat jam delapan pagi, mereka berangkat. Dwina turun di lampu merah di ujung kompleks gedung perkantoran. Dia berjalan dengan penuh percaya diri menuju tempat barunya untuk mengabdikan ilmu yang dimilikinya.
Dwina seorang gadis manis, lulus dengan predikat cumlaude. Wajahnya yang bersinar, kulitnya sawo matang, tubuhnya yang cenderung kurus, dan suaranya terdengar tegas.
Dia masih berjalan menyusuri area perkantoran di sana. Sepasang mata memandangnya dari kejauhan, ketika dia melewati satu perkantoran di samping gedung tempatnya di terima untuk mengajar.
Sepasang mata yang memandangnya tanpa berkedip, dan mengikuti setiap pergerakannya pagi itu. Mulutnya tersenyum simpul, dia memegangi dadanya merasakan detak jantungnya, berdetak dengan cepat. Matanya masih terus mengikuti kemana arah Dwina menghilang.
??????
"Assalamualaikum. Maaf Mba, saya Dwina yang hari ini ada jadwal wawancara," tanyanya.
"Tunggu sebentar, ya, Mba," jawab resepsionis dengan ramah.
Dwina menunggu di sofa depan resepsionis dengan perasaan deg-degan. Wajah tirusnya terlihat sedikit cemas. Dia meremas jemarinya dan menggaruk ujung jemarinya dan menggaruk jari telunjuknya.
"Mba Dwina."
"Iya Mba, ditunggu di ruangan kepala lembaga."
"Ya. Terima kasih, mba."
"Sama-sama, SEMANGAT," ucap resepsionis sambil mengepalkan tangannya.
Sarapan Kata
KMO Indonesia
KMO Batch 37
Kelompok Katulistiwa
Jumlah kata 513
Day 6
Lanjutan
"Mba Dwina."
"Iya, Mba?"
"Ditunggu di ruangan kepala lembaga."
"Oh, iya terima kasih, ya."
"Sama-sama." Lalu Dwina bergegas dari ruang tunggu lobi. "Mba, SEMANGAT, ya!" ucap resepsionis sambil mengepalkan tangannya ke atas.
"Siap, terima kasih Mba."
Dwina memasuki ruangan kepala lembaga. Dia melakukan sesi wawancara kurang lebih satu jam. Namun begitu, satu jam terasa sehari, karena dia juga harus menunggu jawaban langsung di sana.
"Saudari Dwina, setelah menimbang dari sesi wawancara kali ini, dan dari segi pengalaman. Sepertinya ...." Kepala lembaga menjerat ucapannya.
Dwina menanti dengan perasaan berdebar. Bertanya-tanya apa dia akan diterima.
"Ehm, Saudari Dwina. Selamat ya, anda diterima di sini," ucap kepala lembaga sambil mengulurkan tangannya.
"Eh?"
"Anda diterima, Mba atau Miss panggilnya."
"Bener saya diterima?" Kepala lembaga mengangguk. "Alhamdulillah," ucap Dwina kemudian. Lalu dia menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada.
"Maaf, Pak," ucapnya lagi.
"Oh, nggak papa. Saya tidak tersinggung kok." Dia tersenyum kepada Dwina.
Bersyukur, itu yang dilakukannya. Tidak pernah sekalipun menyangka, Allah menjawab doanya begitu mudah. Kini semuanya seakan menjadi indah. Bahkan panas terikant kota Jakarta tidak dirasakannya. Dwina pamit dari ruangan itu, kembali menuju lobi.
"Gimana, Mbak" tanya resepsionis di depan setelah dwina keluar kembali.
"Aku diterima, Mbak. Alhamdulillah."
"Wah, selamat Mbak. Kapan nih, mulai ngajar?"
"Besok juga, langsung."
"Alhamdulillah, ya."
"Eh, kenalin. Namaku Anggi, asli dari Bogor," ucapnya sambil mengulurkan tangan.
"Aku Dwina, asal Kebumen," jawabannya kemudian.
"Wah, yang orang bilang Ngapak itu, ya?"
"Yup, bener banget." Mereka berdua tertawa, dan masih terus bicara.
Hingga tanpa mereka sadari, saat seseorang masuk ke kantor itu dan menginterupsi percakapan mereka berdua.
"Permisi, Anggi. Johan ada?" tanya tamu itu.
"Iya, ehm Pak Johan ada di ruangannya. Silahkan masuk Tuan Chrish."
Dwina hanya duduk diam menunggu Anggi selesai melayani tamu. Bahkan dia sampai tidak menyadari jika saat berbicara, kedua bola mata Tuan Chrish tidak berkedip menatapnya.
"Sstt ... Mbak Dwina, ngelamunin apa, nih? Terpesona sama Tuan Chrish, ya?" Anggi mulai menggodanya.
"Apaan, sih. Eh, tuan Chrish siapa?" tanyanya bingung.
Anggi tersenyum sambil menutup mulutnya, mendengar penuturan teman barunya. Rupanya Dwina tidak menyadari kehadiran tamu barusan.
"Mbak, tadi ngapain aja? Ada pria ganteng datang sampai nggak lihat?"
"Hah, emang siapa?" jawabnya santai.
Anggi sudah tidak bisa menahan rasa ingin tertawanya. Baru kali ini dia bisa melihat ada perempuan yang mengabaikan kehadiran Tuan Chrish.
"Kenapa toh, Mbak? Ada yang salah. Aku beneran nggak mudeng, lho?"
Suara tawa anggi semakin keras terdengar, saat mendengar jawaban Dwina. Dia memegang perutnya yang terasa kram karena terlalu banyak tertawa.
Matahari semakin jauh meninggalkan titik bumi. Kini dia ada di titik puncak, menyebarkan hangat sinarnya kepada seluruh penghuni Bumi. Suara-suara raungan kendaraan lalu lalang semakin keras terdengar. Saling berebut untuk dapat berlalu di jalanan ibu kota.
Dwina bermaksud ingin berpamitan, karena dirasa susah cukup lama ada di sana. Dia ingin kembali ke rumah, untuk menyiapkan segalanya untuk esok hari.
Tanpa di sadarinya, sepasang bmata kembali menatapnya dari lorong di belakang resepsionis. Sepasang mata yang sama, yang menatap dirinya ketika tadi pagi berjalan. Sebuah suara berbisik pada pemilik sepasang mata, "Itu dia calon istrimu."
Sarapan Kata
KMO Indonesia
KMO Batch 37
Kelompok Katulistiwa
Jumlah Kata 507
Day 7
Chrish POV:
Hujan masih menyapa malam ini. Menuna bobokan setiap penghuni bumi di tanah Ibukota yang lelah. Suara tetes demi tetes air hujan yang mengetuk bumi. Menyajikan simfoni merdu nan syahdu, memanjakan setiap jiwa yang lelah untuk terlelap di alam mimpi.
Fajar menampakkan dirinya dengan cahaya keemasan di antara awan. Embun mencumbu pagi dengan lembut. Mengusap perlahan mata-mata yang lelah untuk terus terlelap di alam mimpi. Tetapi aku harus bergegas, dan memaksa mata ini untuk segera terbuka.
Vincentius Chrishna Vitalis, itu nama yang di berikan kedua orang tuaku. Ah, ternyata kedua mataku masih malas untuk memandang indahnya dunia. Padahal riuhnya suara kendaraan yang saling berebut jalan dan suara klakson yang bersahutan pagi ini.
Pada akhirnya, mataku pun terbuka setelah bunyi ponselku meraung membangunkan ku. Melirik jam dinding membuatku mataku semakin terbuka lebar. Rupanya waktu menyuruhku untuk bergegas.
"Ya Tuhan, rupanya sudah jam 07.34 pagi," aku berteriak dari dalam kamar.
Aku bersegera membersihkan diri dan bersiap untukke kantor pagi ini.
"Aku akan berjumpa dengannya lagi, gadis manis itu," batinku.
Aku menggelengkan kepala, berusaha menepis suara batinku yang terus berbisik, dan menuntunku untuk melakukan sesuatu. Aku terkadang berusaha untuk mengabaikannya.
Seperti hari kemarin, saat semuanya terasa monoton, dan membuatku merasa jenuh. Padahal waktu masih pagi, dan seharusnya aku masih bersemangat untuk beraktivitas.
Aku berjalan mendekati jendela kantor yang tepat menghadap jalan. Menjadi sebuah kebiasaan dengan memandangi aktivitas yang berjalan di luar sana. Tepat saat itu, seorang melintas, melewati arah pandangku, seorang gadis manis berjilbab lebar.
Mataku terpaku pada wajahnya yang menggambarkan wajah khas Indonesia. Tidak terasa bibir ini tersenyum simpul saat memandangnya. Hingga bisikan batin ini kembali bicara.
"Dia calon istrimu, Chrish." Kembali diri ini terpaku pada suara batinku sendiri, yang sering hadir menyapa hatiku.
Mata ini kembali mengikuti ke mana arah gadis itu melangkah. Ternyata dia memasuki gedung milik Johan sahabatku.
Diriku langsung diliputi rasa penasaran yang tinggi. Siapa gadis yang membuat getar di jantung ini. Akhirnya aku tidak mampu menahan diriku untuk tidak melangkah ke Kantor Johan. Tepat istirahat siang aku ke sana untuk mengajaknya makan seperti biasa. Sekaligus mencari informasi tentang siapa gadis itu.
"Permisi Anggi, Johan ada?" tanyaku.
"Iya, ehm Pak Johan ada di ruangannya. Silahkan masuk, Tuan Chrish," ucapnya mempersilahkan.
Kulihat gadis itu ada di sana. Dia hanya diam membaca bukunya sambil menunggu keputusan kami selesai bicara. Bahkan dia sampai tidak menyadari jika kedua mataku terus menatapnya saat bicara.
Aku semakin dibuat penasaran, karena dia terlihat sangat tidak tertarik dengan orang lain. Dia berbeda dengan gadis lain yang mencari perhatian ketika ada lawan jenis di depannya.
"Gadis yang baik."
Ada rasa bahagia membuncah, dan keinginan untuk mengenalnya semakin tinggi. Akhirnya aku mengalihkan pandanganku dan berlalu menuju ruangan Johan.
Aku masih bisa mendengar suara Anggi yang mentertawakan gadis itu karena tidak menyadari jika ada seseorang yang menatapnya.
Telingaku menangkap sebuah nama saat Anggi memanggilnya.
Dwina, nama yang indah dan pas tersemat untuknya. Nama yang menggambarkan khas Indonesia. Gadis manis berwajah tirus nan sederhana.
"Tunggu aku mengenalmu lebih dalam lagi," batinku kembali bersuara.
#SarapanKata
#KMOIndonesia
#KMObatch37
#Kelompok12_Katulistiwa
#JumlahKata_411
#Day_8
Lanjutan.
Setelah pertemuan kemarin, antara aku dan Dwina. Ehm, bukan pertemuan yang sebenarnya juga, karena di sini hanya aku saja yang melihat, tapi tidak dengan Dwina. Dia saja tidak melihatku sedikit pun. Otakku selalu mendorong untuk berkunjung ke kantor Johan.
Biar saja, sampai dia terbiasa akan kehadiranku di sana. Kedatanganku yang kedua, ketiga dan berikutnya. Tetap saja tidak menarik perhatiannya sedikit pun. Justru setiap kali kami berpapasan, dia malah menundukkan pandangannya. Apa aku tidak semenarik itu untuknya.
Mungkin aku harus mengubah strategi, agar gadis itu mau melihatku. Akan tetapi aku tetap akan melakukan pendekatan dengan baik dan tidak terkesan buru-buru.
Gadis ini berbeda dengan yang lain. Dia tidak suka mengumbar pandangan, dan terlihat sedikit tertutup. Ada apa denganku kali ini. Kenapa aku sungguh ingin dia menjadi pendampingku. Aku seperti seorang yang baru saja mengenal cinta.
Seperti kemarin, aku datang kembali ke kantor Johan hanya untuk dapat melihatnya. Entah, dengan menggunakan berbagai alasan yang berbeda.
Aku dan Johan serta beberapa pegawai di kantornya terbiasa duduk di ruang tengah kantor. Kami banyak berdiskusi tentang banyak hal. Bahkan Anggi pun terkadang ikut bergabung dengan kami untuk sekedar mengobrol.
Seperti hari ini AnDwina untuk ikut duduk bersama kami.
“Kamu pegawai baru di sini?” tanyaku padanya.
“Kamu orang mana?” tanyaku lagi.
“Kamu itu tanya satu-satu, Chrish. Nanti pegawaiku takut sama bangkitan modelan Kamu,” ucap Johan padaku.
“Berisik, Kamu. Aku tanya sama dia. Namanya siapa?”
“Aku tahu kamu pernah bergabung di Militer saat di Belanda, tapi jangan galak juga kalau tanya,” sela Johan lagi.
Aku lihat Anggi sudah tidak bisa menahan tertawanya. Dia terbahak-bahak karena pertanyaan kunci pada gadis itu. Serta Johan yang selalu menyela omonganku.
“Nama Kamu siapa? Pegawai baru?” tanyaku kembali.
“Iya,” jawabnya singkat.
“Nama saya tanya,” aku mulai terlihat tidak sabar.
Anggi dan Dika sudah terbahak-bahak melihatku.
“Namanya Dwina, Om,” kata Anggi kembali sembari menutup mulutnya.
“Hei, saya memang sudah berumur, tapi masih terlihat muda 'kan?”
“Asalnya dari Kebumen, daerah yang terkenal Ngapak itu, lho.”
“Lho, daerah Ngapak itu 'kan, Banyumasan? Kebumen masuk Banyumas?”
“Kebumen memang Ngapak, tapi bukan termasuk Banyumas. Logat kami tetap berbeda, meski kami sama-sama Ngapak,” jawab gadis itu.
“Oh, okay. Saya baru tahu kalau soal ini.”
Percakapan kami berlangsung seru. Namun, sayang harus terhenti karena aku harus kembali ke kantor. Dan pegawai Johan juga harus melaksanakan tugasnya.
Ah, sepertinya aku akan lebih sering datang. Agar bisa berbincang dengan Dwina. Gadis manis dari daerah Ngapak. Aku baru menyadari kalau logat bicaranya justru seperti orang Bandung.
#SarapanKata
#KMOIndonesia
#KMObatch37
#Kelompok12_Katulistiwa
#JumlahKata_410
#Day_9
Suara kendaraan lalu lalang membangunkan tidur lelapku. Ya, tinggal di kota ini memang sungguh berbeda. Pagi kita akan terbangun oleh suara-suara klakson kendaraan yang berebut jalan. Tidak seperti saat di kampung atau Bandung. Pagi kita akan dihiasi suara-suara Kokok ayam.
Semburat jingga keemasan kini mulai pudar. Langit di ufuk timur mulai menampakkan terangnya. Dingin mulai beranjak menghilang, ketika mentari menampakkan sinarnya.
Meskipun ini bukan pertama kalinya mengajar, tetapi tetap saja diriku diliputi perasaan tidak menentu. Apakah aku bisa mengikuti ritme kerja orang-orang di tempat baru atau tidak.
Hari pertamaku di tempat baru akan di mulai. Aku bergegas turun ke bawah untuk membantu Mbak Ratna menyajikan sarapan pagi untuk kami di rumah Mas Yadi.
“Wi, nanti masuk jam berapa Kamu?” tanya Mas Yadi disela makan paginya.
“Ehm, jam delapan, Mas.”
“Lho enggak kesiangan?”
“Enggak, Mas. Kan jam les anak-anak biasanya jam sembilan ke atas.”
“Eh, kalau anak-anak belajar bukannya setelah jam pulang sekolah? Ini dari pagi Kamu dah di sana.”
“Kan, ini lembaga pendidikan bukan untuk anak sekolah yang harus masuk jam sore, Mas. Muridku di sana kan, remaja yang sudah lulus SMA, dan siap masuk dunia kerja. Istilahnya mereka belajar ilmu terapan.”
“Owalah gitu, ya?”
“Huum.”
“Wi, nanti kamu berangkat sendiri, ya? Mas ada jadwal rapat pagi, ada banyak permintaan pasar tahun ini.”
“Nggih.”
????????????
Aku memasuki lobi kantor dengan perasaan bahagia. Hanya puji syukur yang bisa aku panjatkan kepada Yang Maha Kuasa. Tidak pernah menyangka begitu cepat dia kabulkan doaku.
“Pagi, Mba Dwi,” sapa Anggi.
“Pagi juga, Mba Anggi.”
“Wah, Mba Dwi kelihatan segar.”
“Harus segar, dong, sebelum memulai hari yang cerah ceria.”
“Asiik,” jawab Anggi.
“Aku masuk dulu, ya, Mba Anggi.”
Matahari semakin terik, sinar terangnya menghiasi seluruh muka bumi. Malam yang berselimut dingin, terganti dengan sinar terang dan hangatnya mentari.
Hari-hari di tempat ini sungguh menyenangkan dan tidak monoton. Bahkan di kantor antara Pak Johan dan staf yang lain sering bicara bersama di ruang tengah kantor. Suasana yang menyenangkan sungguh tercipta di tempat ini. Bahkan aku lihat ada satu orang asing yang sering datang ke kantor ini hanya untuk ikut berbincang dan diskusi kecil.
Ah, aku tidak mau tahu siapa dia. Tujuanku di tempat ini adalah mengabdikan ilmu yang kudapatkan sewaktu di bangku kuliah dulu.
Entah ini hanya perasaanku saja, atau memang aku yang terlalu percaya diri. Orang itu, selalu memperhatikan setiap gerak-gerikku saat di sana. Ada perasaan risi, saat semua yang kulakukan di perhelatan oleh orang itu. Siapa dia, aku tidak ingin tahu.
#SarapanKata
#KMOIndonesia
#KMObatch37
#Kelompok12_Katulistiwa
#JumlahKata_388
#Day_10
Lanjutan.
Entah ini hanya perasaanku saja, atau memang aku yang terlalu percaya diri. Orang itu, selalu memperhatikan setiap gerak-gerikku saat di sana. Ada perasaan risi, saat semua yang kulakukan di perhelatan oleh orang itu. Siapa dia, aku tidak ingin tahu.
Matahari semakin terik, raungan suara-suara kendaraan semakin memekakkan telinga. Angin pun sepertinya enggan untuk berembus, atau hanya sekedar membagi oksigennya.
Aku merindukan suasana kampung yang teduh, tenang, dan juga embusan angin yang membuat mata lelah kita bisa terlelap.
“Mba Dwi, aku mau makan siang di depan, ikut yuk. Sekalian biar rame, nih,” tanya Anggi.
“Oh ... Oke deh, aku juga laper.”
Kami beranjak menuju warung nasi Padang di seberang kantor. Kami memilih tempat duduk di tepi jendela. Saat sedang asyik menikmati makanan, tiba-tiba seseorang menarik kursi di samping ku. Ya, itu karena meja yang tersedia di tempat ini panjang. Jadi siapa saja bebas untuk duduk, tetapi aku tidak peduli dan tetap melanjutkannya makan siang kami tanpa menoleh.
Aku merasa seseorang sedang memperhatikan setiap gerak-gerikku. Namun, kulihat justru Anggi tersenyum sendirian sambil ikut memperhatikanku yang asyik makan dan berusaha tidak peduli dengan sekitar.
Risi, itu yang kurasakan. Pada akhirnya aku pun menoleh ke sampingnya. Betapa terkejut, ternyata orang itu yang duduk di sampingku. Aku hanya bisa terdiam tidak melanjutkan makan.
Suara tawa Anggi akhirnya lepas, melihatku terkejut.
“Tuan Chrish, jangan seperti itu lihatnya, nanti Mbak Dwina lari kan bisa gawat,” ucap Anggi.
“Haha ... Kamu ini ada-ada saja. Saya hanya sedikit melihatnya saja.”
“Eh?” Anggi kembali terbahak-bahak mendengar jawaban orang itu.
“Anggi, kecilkan tawamu. Ini di tempat umum, bukan di kantor,” ucap Pak Johan, yang ternyata ikut makan di sini.
“Habisnya Tuan Chrish itu, lho. Bikin saya ketawa, Mbak Dwina aja sampai grogi dilihatin terus,” ucapnya.
“Kamu Chrish, sudah bangkotan masih saja suka lihat yang masih hijau.”
“Mbak, boleh kenalan?” ucap orang itu.
“Lah, malah ngajak kenalan,” ucap Pak Johan.
“Berisik kamu, Johan. Aku kan hanya mau kenalan, siapa tahu ber....” Tuan tidak melanjutkannya kata-katanya.”
“Kenalkan, Mbak, saya Chrishna Vitalis,” ucapnya sambil mengulurkan tangannya ke arahku.
“Dwina Bumi,” jawabku sambil menangkup kedua telapak tangan di dada.
“Wow, kamu tidak mau berjabat tangan denganku?” tanyanya kemudian. Lalu dia membolak-balik kedua telapak tangannya.
“Apa tangan saya kotor? Kamu tidak mau berjabat tangan?” tanyanya kembali.
“Maaf Tuan, wanita dan laki-laki yang bukan muhrim dilarang berjabat tangan,” jawabku.
Bersambung.....
Dia Siapa (Bagian Akhir)
#SarapanKata
#KMOIndonesia
#KMObatch37
#Kelompok12_Katulistiwa
#JumlahKata_313
#Day_11
Lanjutan.
“Maaf Tuan, wanita dan laki-laki yang bukan saudara dilarang berjabat tangan,” jawabku.
Perkataan Dwina sungguh membuat Chrish terheran. Dia memasang wajah bingung, karena menurutnya semua sama saja. Bahkan di luar negeri sana antara laki-laki dan perempuan bebas saling bergaul, berjabat tangan, dan bergandengan.
Belum pernah dia bertemu seorang perempuan yang menolak diajak berjabat tangan, hanya berjabat tangan saja tidak boleh. Chrish semakin penasaran dengan kepribadian yang dimiliki Dwina. Apalagi bisikan itu hadir lagi dengan mengatakan, “Dia calon istrimu.”
“Kalau antara sesama muslim apakah sudah boleh berjabat tangan?”
“Tetap tidak boleh,” jawab Dwina.
“Kalau saya seorang muslim juga tidak boleh berjabat tangan dengan perempuan?”
“Itu juga tidak boleh, kalau mereka tidak ada hubungan keluarga.”
“Why?”
“Karena Rasulullah saw sama sekali tidak pernah menyentuh wanita selain wanita yang beliau miliki (istrinya).”
“Muhammad?”
“Yes, Dia adalah panutan. Apa yang dilakukannya dan tidak kami sebagai umatnya harus menirunya.”
Anggi dan Johan mereka saling berpandangan, dan akhirnya mereka tertawa bersama, melihat Tuan Chrish yang terus bertanya pada Dwina.
Terlalu mendalami perannya dalam menertawakan orang. Tiba-tiba Anggi tersedak dan dia terbatuk hingga matanya memerah. Sri dengan sigap mendorong sebotol air mineral ke arah Anggi.
“Hati-hati, dong. Terlalu mendalami peran, sih. Keselek 'kan?”
Dwina berkata sambil menahan senyum bibirnya, membuat Johangemas di buatnya. Lalu dia menggetok pelan kening Sri menggunakan sendok miliknya.
"Sakit, lho, ini. Masa digetok pake sendok?"
"Mau, tak getok pake ni jari?"
“Eh, mboten (nggak mau),” ucap Dwina sambil mengangkat dua jarinya.
Semakin hari, Chrish bertambah sering datang ke kantor Johan. Ada saja alasan yang dibuatnya hanya untuk memancing Dwina berbicara. Gayanya yang lugas dan tegas untuk seorang perempuan, membuat Chrish semakin bersemangat untuk mendekatinya.
Namun, semangat Chrish kembali menghilang, kala dia menyadari siapa dirinya, dan mengingat perjalanan hidupnya, apakah Dwina akan menerimanya nanti.
Gadis ini, sungguh membuat Chrish tidak bisa berkonsentrasi bekerja. Wajah itu selalu diingatnya dalam setiap kesempatan.
Diskusi Hati (Bagian 1)
#SarapanKata
#KMOIndonesia
#KMObatch37
#Kelompok12_Katulistiwa
#JumlahKata_362
#Day_12
Hari berlalu tanpa terasa. Minggu kini berganti bulan. Tidak terasa aku sudah dua bulan ada di sana. Mengamalkan ilmu yang kudapatkan sewaktu kuliah dulu.
Matahari masih terlihat malu bersembunyi di balik mega keemasan. Tidak seperti biasanya, burung pagi ini berkicau di sekitar kompleks rumah. Suara raungan kendaraan yang saling berebut jalan pun kini sepi terdengar.
Sepi. Itu yang kurasakan hari ini. Entah mengapa tiba-tiba jantung ini terasa berdetak lebih cepat dari biasanya. Berpacu dengan segenap rasa yang tidak bisa dijelaskan.
Waktu sudah menunjukkan pukul 07.00 pagi. Aku harus bergegas berangkat untuk menghindari kemacetan dan datang tepat waktu.
Seperti biasa di lobi sudah ada Anggi yang menunggu meja resepsionis. Wajahnya yang cantik dan senyumnya yang manis, membuat aura kecantikannya bertambah. Sikap ramahnya membuatku betah berlama-lama bicara dengannya.
“Assalamualaikum. Pagi, Mbak Anggi.”
“Waalaikumsalam. Pagi juga, Mbak Dwi. Wah, pagi ini Mbak Dwi lebih fresh dari biasanya. Ada apa ini, hayo ada apa?” goda Anggi.
“Biasa aja, sih. Cuman hari ini kendaraan tidak macet dan tidak penuh, yah hasilnya aku tidak berkeringat hehe.”
“Iya, bener banget. Kenapa, ya, tumben banget?”
“Semoga seperti ini terus, kan adem Jakarta,” jawabku.
“Aku ke dalam dulu, ya, Mbak Anggi.”
“Oke, Mbak Wow,” jawabnya sambil tersenyum.
Aku mengajar seperti biasa di kelas. Menyampaikan materi demi materi dengan lancar. Mungkin hanya sedikit kericuhan di kelas, karena siswaku yang memang sudah beranjak dewasa mulai usil menggodaku.
“Miss Dwina dah punya pacar belum?” tanya Rian.
“Enggak ada pacaran.”
“Kok jawabnya gitu, kan tanyanya sudah punya pacar atau belum?”
“Ayo fokus ke materi.”
“Ciee jomblo, ya?” goda Rian lagi.
Aku hanya tersenyum mendengar gurauan Rian. Entah, aku juga tidak marah karenanya. Memang nyata adanya, aku memiliki prinsip hidup. Tidak ada dan tidak akan pacaran, karena dalam agama pun melarang adanya pacaran. Aku hanya akan menikah, itu pun dengan proses yang agama perbolehkan.
Jodoh, maut, dan rezeki sudah ada yang mengatur. Sebagai hamba yang masih berproses memperbaiki diri. Aku memasrahkan semua pada ketentuan-Nya. Memang tidak bisa dipungkiri, terkadang ada rasa ingin mempunyai seseorang yang bisa diandalkan. Tetapi kembali lagi pada aturan dan prinsip hidupku.
Bukan bermaksud untuk sok baik, apalagi sok suci. Aku hanya menjalankan prinsip yang sudah kuyakini.
Diskusi Hati (Bagian 2)
#SarapanKata
#KMOIndonesia
#KMObatch37
#Kelompok12_Katulistiwa
#JumlahKata_414
#Day_13
Bukan bermaksud untuk sok baik, apalagi sok suci. Aku hanya menjalankan prinsip yang sudah kuyakini.
Terik matahari menusuk ke dalam pori-pori kulit. Mengirimkan panasnya pada penghuni bumi untuk berhenti sejenak dari aktivitas padat mereka. Menikmatinya secangkir teh atau kopi dan mengisi kembali tenaga yang terkuras.
Setelah makan siang kami seringkali kumpul di ruang tengah, walaupun hanya sekedar untuk berbincang atau pun bertukar pikiran mengenai banyak hal.
Di sana sudah ada Pak Johan, Bang Indra dan Lina. Entah apa yang mereka bicarakan, terlihat seru. Anggi datang dan ikut bergabung. Dia mengajakku untuk ikut duduk bergabung. Baru saja aku tiba, orang itu sudah terlihat batang hidungnya di pintu ruang tengah.
Baru hendak beranjak dari sana, untuk menghindarinya. Tetapi, Pak Johan sudah lebih dulu memanggilku dan membuat orang itu menyadari keberadaanku di ruangan itu.
“Mau kemana, Wi?” panggilnya.
Ah, tatapan matanya itu seperti jarum, yang menembus langsung ke jantung. Denting suara hati ini mengadu pada alam. Otak di kepalaku ikut menjadi beku. Hingga kewarasanku hampir saja goyah.
Aku segera menundukkan pandangan. Menghindari serangkaian serangan pada jantung dan hatiku. Agar supaya kewarasan tetap terjaga.
“Ya Allah, lindungi hamba-Mu,” batinku bicara.
“Hai Dwina, mau kemana kamu?” tanya tuan Chrish.
“Oh My God, saya mau ke dapur membuat teh,” elakku.
“Wow, good girl.”
“Buat untuk kami di sini 'kan, Wi?” tanya Tuan Chrish kemudahan.
Ya ampun, aku ke belakang untuk menghindari orang itu, mengapa dia malah minta dibuatkan. Apa dia bisa membaca pikiranku.
“Aku bantu,. Mbak,” ucap Anggi kemungkinan.
Wah, ada penolong untukku kali ini. Kami berjalan menuju dapur bersama. Membuat beberapa cangkir teh dan menyiapkan camilan.
“Mbak, aku lihat Tuan Chrish sering banget lho, ngelihatin kamu,” ucapnya sambil menahan senyum.
“Entah, aku nggak peduli,” jawabku.
“Jangan gitu, Mbak. Nanti cinta lho,” ucap Anggi.
“Astagfirullah.” Aku segera untuk beristigfar, karena sudah berlaku sombong. Dengan bilang “Tidak peduli.”
“Yuk, Mbak. Ini dah selesai semuanya kita bawa ke depan lagi. Kasihan lama nunggu.”
“Wow, sweet tea, seperti kamu, Dwina,” ucap Tuan Chrish.
“Cieeciee, sweet banget, sih.” Suara orang-orang yang ada di ruangan itu.
Aku hanya terdiam, melihat mereka saling tertawa mendengar perkataan tuan Chrish. Kami melanjutkan obrolan dan tidak lagi membahas tentang masalah tadi.
“Dwina, kenapa kamu diam saja? Apa kamu takut dimarahi pacar kamu?” tanyanya.
“Eh?”
“Iya, apa kamu takut dimarahin pacar, kalau bicara bareng di sini. Terutama kalau bicara bareng saya?”
“Ya ampun, orang ini.”
Aku diam sejenak, mencerna kata apa yang akan aku keluarkan. Supaya tidak banyak menjelaskan dan dia bisa langsung paham.
Kamu Mau Saya Lamar
#SarapanKata
#KMOIndonesia
#KMObatch37
#Kelompok12_Katulistiwa
#JumlahKata_360
#Day_14
"Kenapa kamu diam, Dwina? Kamu takut sama pacar, jika ngobrol sama saya?"
Aku terdiam sejenak, mencerna kata apa yang akan aku keluarkan. Supaya tidak banyak menjelaskan dan dia bisa langsung memaha. Bagaimana menjelaskannya, ya ampun. Tanpa membuatnya tersinggung, menjelaskan tentang hubungan keluarga dan bukan dalam islam.
“Oh, bukan begitu.”
“Chrish, kamu jangan desak dia, nanti karyawanku kabur gara-gara takut sama Kamu.”
“Oh, God. I just asking her. Nanti pacarnya marah atau tidak,” jawab Tuan Chrish.
“Ahh, banyak gaya, bilang aja kamu mau tahu dia punya pacar atau tidak,” ucap Pak Johan.
Aku kaget melihat perdebatan dua sahabat itu. Pak Johan bicara tidak memakai saringan.
“Jawab, Wi!”
“Saya tidak pacaran, dan tidak mau pacaran.”
“Waww, really. Di jaman sekarang masih ada gadis yang menolak pacaran,” ucap Tuan Chrish sambil tersenyum.
“Saya mengikuti larangan dalam Agama saya untuk tidak pacaran.”
“Tapi saya lihat banyak gadis yang pacaran di luar sana.”
“Itu mungkin karena mereka belum mengetahui.”
Aku melihat Tuan Chrish berpikir. Dia mengerutkan dahinya. Apa dia berusaha memahami dan mencerna apa yang aku katakan.
“Ow, jadi kamu tidak pacaran?” tanya Tuan Chrish.
Aku bisa melihat raut-raut penasaran di wajah orang yang duduk di depanku. Wajah mereka seperti sedang menahan senyum mereka. Apalagi Anggi, dia sudah menutup mulutnya dari tadi.
“Iya, dan tidak akan pacaran.”
“Sungguh?” tanyanya lagi padaku.
“Iya, kan tadi saya sudah jelaskan Tuan Chrish, tidak ada istilah pacaran dalam agama saya.”
“So ....”
Orang ini rupanya ingin mengujiku. Dia memberikan pertanyaan yang sebenarnya memiliki jawaban sama, yaitu tidak.
“Jadi apa?” tanyaku kemudian.
“Kamu benar tidak mau memiliki pacar? Lalu, kamu maunya gimana?”
“Eh?”
Aku semakin tidak paham dengan maksud pertanyaan Tuan Chrish padaku saat ini. Maksudnya bertanya mauku apa?
Aku sudah mulai mendengar suara-suara kekejian dari mereka, Anggi, Pak Johan, Bang Indra, dan Lina.
“Ada yang lucu?” Aku merasa kenapa seolah-olah melihat mereka hanya menjadi penonton.
“Kan saya sudah bilang, saya tidak akan pernah pacaran?”
“Lalu, bagaimana kamu bisa memiliki jodoh kalau tidak memiliki pacar?”
“Mencari jodoh tidak harus dengan pacaran, tapi langsung ta’aruf, kemudian melamar dan menikah.”
“Woaw.” Aku melihat Tuan Chrish justru tersenyum. Sejenak terdiam, lalu dia berkata lagi, “KAMU MAU SAYA LAMAR?”
Menuntut Jawaban
#SarapanKata
#KMOIndonesia
#KMObatch37
#Kelompok12_Katulistiwa
#JumlahKata_355
#Day_15
“Mencari jodoh tidak harus dengan pacaran, tapi langsung ta’aruf, kemudian melamar dan menikah.”
“Woaw.” Aku melihat Tuan Chrish justru tersenyum. Lalu dia berkata lagi, “KAMU MAU SAYA LAMAR?”
Kata-katanya seperti obat bius yang membuatku tak sadar sejenak. Terkejut dan tak menyangka, jika Tuan Chrish akan mengatakan hal seperti ini.
Sungguh merasa sangat malu saat itu. Mendengar pernyataan yang dia lontarkan. Bagai anak panah yang menembus langsung ke dasar jantung. Membuat sekujur tubuh ini menjadi limbung. Tak bisa berpikir lagi. Telingaku seperti mendengar parade drum band dari dalam diriku sendiri. Seperti ada badai dahsyat yang mengguncang tubuh, menjadikannya bergetar hebat. Suhu dingin tak berpengaruh lagi untukku. Peluh bercucuran di sekitar wajah.
Malu.
Aku seketika berlari dari ruangan itu menuju dapur kantor, demi menghindari tatapan ingin tahu dari mereka. Wajahku pasti sudah terlihat merah padam.
Astagfirullah, kenapa bisa jadi seperti ini. Dia mau apa mengatakan hal itu. Aku masih menetralkan rasa kaget ini. Aku berjongkok di samping meja. Kututup wajah ini menggunakan dua telapak tangan.
Seketika jantungku seperti kembali berhenti, ketika aku mendengar suara langkah kaki mendekat ke arah dapur.
Keringat di wajah ini kembali mengeras. Malu, takut, dan entah bermacam rasa yang tak bisa aku gambarkan lagi. Semakin menambah cemas hatiku. Langkahnya semakin mendekat, aku kembali menutup wajah dengan kedua telapak tangan.
“Mbak Dwi.” Ternyata suara Anggi, yang memanggilku.
“Ya,” jawabku kemudian berdiri.
“Yaa Allah, Mba, kenapa jongkok di bawah?”
“Malu." Menutup wajah dengan kedua telapak tangan.
“Ke depan lagi, yuk, Mba,” ajaknya.
Aku hanya bisa menggelengkan kepala, mendengar ajakannya.
“Tuan Chrish sudah di ruangan Pak Johan, kok.”
“Aku di sini saja. Malu sangat, Nggi. Tiba-tiba Tuan Chrish bicara begitu. Ya Allah, mau aku taruh di mana mukaku ini.”
“Taruh di tempatnyalah, Mbak. Mau ditaruh di mana lagi coba. Nih, aku kasih piring.”
“Enggak lucu sumpah.” Anggi hanya tersenyum dan mengatupkan mulutnya ke dalam mendengar jawaban dariku.
“Gimana, Mbak? Dijawab dong, lamaran Tuan Chrish?”
“Ngawur saja, kamu. Paling dia hanya bercanda, masa kamu bilang lamaran?”
“Jawab, dong, Mbak, kasihan ‘kan, jangan kau gantung. Seperti hatiku yang kamu gantung.”
"Berisik ih, kamu." Pada akhirnya aku hanya diam bersembunyi untuk siang itu.
Memantapkan Hati
#SarapanKata
#KMOIndonesia
#KMOBatch37
#Kelompok12_Katilistiwa
#JumlahKata_690
#Day_16
Mata ini sulit sekali untuk terpejam. Bagaikan ada banyak suara yang berdenging di dalamnya. Gigil hati ini, menyimpan gejolak yang senantiasa ingin dimuntahkan. Kulihat gemintang sendu bersinar.
Denting suara hati ini mengatakan, bahwa semuanya akan sirna. Semuanya akan baik-baik saja. Begitu juga dengan jantung ini. Dia akan kembali seperti semula.
Aku masih saja mengingat peristiwa tadi siang. Bahkan saat sore hari, waktunya pulang pun. Aku memilih mencari rute lain demi menghindarinya, dan menghindari teman-teman yang lain.
Akhirnya aku pun beranjak mengambil air wudu, mungkin dengan begini mata ini mau untuk diajak kerja sama. Aku berusaha untuk khusyuk berdoa dan meminta jawaban dari-Nya. Lalu aku membuka surat cinta yang Dia turunkan kepada Rasulullah, dan diwariskan kepada kami, seluruh umat di dunia.
Hatiku menjadi tenang seketika. Gundah, dan perasaan meragu akhirnya sirna. Aku sedikit berpikir, apakah Allah cemburu padanya. Karena aku lebih memikirkan dia, di banding Allah yang senantiasa ada.
Aku memantapkan hati ini. Untuk bersikap tenang dan tegas dalam menghadapi esok hari.
Bersamaan dengan tenangnya hati. Mataku mulai berat, dentingnya pun sudah tak secepat tadi. Suara-suara dengungan pun menghilang pada akhirnya.
“Aku siap menghadapi esok!”
????????????
Pagi ini, setelah makan pagi. Aku meminta waktu pada Mas Yadi, dan menceritakan perihal kejadian kemarin. Saat Tuan Chrish mengungkapkan perihal lamaran.
“Ada apa, Wi? Tumben banget, kamu mau bicara apa?”
“Gini Mas, kemarin itu di kantor,” aku menarik napas dalam. “Ada yang bilang, Kamu mau saya Lamar?”
“HAH!” Suara Mbak Ratna kaget. Aku melirik ke arahnya, kulihat wajahnya matanya yang sipit sedikit melotot.
“Aku harus gimana, Mas?” tanyaku.
“Ya kamu tanya balik? Situ serius, atau hanya candaan? Tanyakan dulu, Wi, mintalah kepastian padanya.”
“Tapii, aku malu, Mas. Masa aku nanya gitu, dikira aku nanti yang mengharap.”
“ Jangan malu, Wi, daripada nanti kamu malu beneran karena salah sangka. Jaman sekarang itu harus hati-hati, dan menjaga diri. Banyak orang si luar sana, memiliki sifat berbanding terbalik dengan penampilannya. Wajah boleh ganteng, dan rapi, ternyata dia penipu. Ada juga wajah biasa saja, ternyata dia orang yang sangat baik.”
“Iya, Mas. Nanti aku tanyakan ke dia.”
“Oh, ya, Wi. Biar nanti, Mas yang bicara dengan Bapak sama Ibu di kampung, kalau memang Chrish serius sama Kamu.”
“Injih, Mas. Matur nuwun, Wi, berangkat dulu.” Aku menyalami Mas Yadi dan Mbak Ratna, lalu bergegas ke kantor.
“Adek kecil sudah dewasa, sudah ada yang kamar, bule pula,” ucapnya tersenyum.
“Hissh, apa sih, Mas Yadi ini. Pasti juga belum,” ucapku.
“Itu mungkin jawaban Allah atas doamu, tempo dulu.”
“Doa?” cicitku dalam hati.
Dalam perjalanan ke kantor aku kembali mencerna perkataan Mas Yadi. Doa, ya, aku berusaha mencari jawaban.
“Astaghfirullah!!” Aku sedikit berteriak, saat mengingat sesuatu. Hingga tanpa sadar mengagetkan sopir taksi yang aku naiki.
Ya, khusus hari ini aku menggunakan taksi, karena hari sudah siang. Aku takut akan terlambat, jika menggunakan angkutan umum.
“Ada apa, Mbak?” tanya pak sopir.
“Enggak papa, Pak. Saya Cuma inget, belum menyelesaikan berkas di kantor,” jawabku.
Aku ingat, dulu saat menanti panggilan dari kantor. Aku pernah berdoa kepada-Nya. “Yaa Alloh, kalau jodohku di Jakarta. Aku bakal keterima kerja di sana.” Aku ingat, pernah melantunkan doa ini, saat resah menanti jawaban dari kantor. Apa ini adalah jawaban doa dari-Nya.
Rupanya Allah memberi kontan, jawaban atas doaku. Antara bahagia, sedih, dan malu. Bahagia rupanya Allah sayang padaku lebih dari yang aku tahu. Sedih, karena aku akan memiliki kehidupan sendiri setelah ini, mengarungi bahtera rumah tangga dengan orang yang bahkan baru dua bulan aku kenal. Malu, ya, aku malu karena ternyata pernah meminta doa seperti ini.
Lamunanku terhenti, rupanya taksi yang kutumpangi berhenti tepat di depan lobi. Aku bergegas turun dan masuk ke dalam kantor. Seperti biasa Anggi akan menyapa semua yang masuk ke dalam kantor ini.
“Pagi, Mbak Dwina,” sapanya.
“Pagi juga, Mbak Anggi.”
“Mbak sudah, ndak papa? Aku ikut kepikir juga, soalnya Mbak Dwi jadi diem aja kemarin.”
“Aku sudah nggak papa, kok. Makasih, ya, sudah nanyain kabarku.”
“Aku masuk dulu, Mbak.”
“Oke, SEMANGAT, Mbak!” ucap Anggi mengepalkan tangan kanannya.
Hari ini aku mengajar seperti biasa di kelas. Rian masih saja terus menggoda dan anak lain akan tertawa.
Indeks:
Injih : iya.
Matur nuwun: terima kasih.
Jawaban Doa
#SarapanKata
#KMOIndonesia
#KMOBatch37
#Kelompok12_Katilistiwa
#JumlahKata_349
#Day_17
Diriku mulai berpikir untuk kembali saja. Dari luar memang terlihat tak terjadi apa pun, tetapi hatiku yang penuh gejolak. Jantung, ah, tidak mau bekerja sama. Dia terus saja berdenyut tak karuan, dan akan bertambah cepat bila mendengar namanya disebut.
Aku pun belum siap jika hari ini harus bertemu dengannya lagi. Hingga terlihat seperti pencuri yang hendak melarikan diri.
Setiap kali akan melewati ruang tengah, diriku selalu waspada dan melihat apakah dia ada di sana atau tidak. Bahkan mulutku pun masih enggan menyebut namanya. Hingga sore hari, tak aku lihat dia walaupun hanya sepucuk hidungnya saja. Dan itu membuatku sedikit bisa bernapas lega.
????????????
Langit sore ini sedikit kelabu. Mentari hanya sepintas mengintip dari balik awan sendu. Kulangkahkan kaki menuju halte dengan santai. Yah, meskipun masih saja jantung ini sulit terkendali, saat melintas di depan kantornya sore ini.
Entah, hanya perasaanku saja atau aku yang memang masih terngiang-ngiang peristiwa kemarin. Seseorang tengah memperhatikanku jauh dari dalam kantor itu.
Bisikan-bisikan hati mulai berdegung di dalam gendang telinga.
“Berhenti sejenak, Wi,” ucap hatiku.
Dan sepintas kupandang kaca besar itu, seolah-olah kulihat dia berdiri di sana menungguku untuk menyapanya, serta menuntut jawaban atas pernyataannya kemarin.
Seperti barisan genderang yang berbunyi secara bersamaan. Begitu kondisi jantungku saat ini, seolah dia ada di depanku.
Aku tersadar, setelah mendengar klakson kendaraan yang memekakkan telinga ini saling bersahutan. Aku pun bergegas untuk beranjak dari sana dan melanjutkan langkahku menuju halte tujuan.
Bisa-bisanya aku berhenti di sana. Apa yang aku lakukan? Sungguh membuat diri ini bertambah malu sekali. Meskipun begitu aku sudah berjanji, jika dia benar menanyakan lagi hal itu, aku akan menjawabnya seperti pesan Mas Yadi tadi pagi.
Dalam perjalanan, kembali aku mengingat peristiwa dua bulan lalu. Tentang doaku yang aku ucapkan, meskipun itu hanya bermaksud main-main saja. Tetapi ternyata Allah menjawabnya kontan, dan menganggapnya suatu doa buang serius.
Malu.
Sungguh kini itu yang kurasakan. Diri ini malu sekali pada-Nya. Ternyata doa yang kuucapkan hanya bermaksud bergurau saja Allah kabulkan, apalagi yang serius aku ucapkan.
“Ya Allah, maafkan hamba-Mu yang meminta pada-Mu hanya sambil lalu ini.”
Jika Anda Serius, Datanglah ke Rumah
#SarapanKata
#KMOIndonesia
#KMOBatch37
#Kelompok12_Katilistiwa
#JumlahKata_399
#Day_18
“Jika Anda serius, maka datanglah pada orang tuaku.”
????????????
Beberapa hari berlalu, aku pun sudah tenang kembali. Hati ini kini sudah tertata dan jantungku sudah tak lagi berdetak secara berlebihan.
Hanya ada satu hal yang masih jadi kekhawatiran dalam pikiran. Apabila nanti aku kembali bertemu dengannya. Bagaimana dengan hati ini, bisakah menguasai keadaan. Walaupun sudah kuyakinkan dalam hati untuk menjawabnya.
“Mbak!” Aku mundur satu langkah karena kaget, saat Anggi memanggilku.
“Anggi, kenapa?” jawabku sambil mengelus dada.
“Kuy, makan di depan.”
“Hmm ....”
“Yuk, jangan kebanyakan mikir, keburu lapar,” ucap Anggi sambil menarikku ke luar menuju kedai langganan.
Perhatikanku sedikit teralihkan karena gurauan dari Anggi dan Lintang. Hingga tak terasa waktu istirahat sudah habis. Meskipun begitu, kami tetap bisa saling bicara bersama, tetapi tetap dilingkungan kantor.
Memasuki lobi, jantungku kembali berdetak tak tentu arah. Sulit aku menguasai diri yang tiba-tiba berkeringat dingin. Entah, aku tak tahu kenapa lagi.
Hingga sampai di ruangan tengah, langkah kakiku terhenti.
Dia.
Ya, ada dia di sana sedang duduk bersama Pak Johan dan Bang Indra. Apa yang harus aku katakan. Tidak mungkin aku akan berlalu saja dari sana tanpa menyapanya. Tetapi bagaimana, kakiku seperti akar yang menancap dalam diperut bumi. Sulit untuk beranjak dari sana.
“Dwina, bisa kita bicara?” sapanya.
“Ayo, Wi. Duduk dulu di sini, Anggi Anggi dan Lintang boleh juga duduk di sini, biar kamu ada temannya,” kata Pak Johan.
Dengan berat hati, aku pun ikut duduk di ruang tamu dengan ditemani Anggi dan Lintang. Ah, jantung. Kamu membuatku semakin tidak bisa menguasai diri. Tenanglah, mari bekerja sama dengan baik.
“Maaf, ya, seminggu ini saya kembali ke Belanda untuk mengurus segala sesuatunya,” ucapnya.
Aku kurang memahami apa yang dia maksud. Kembali ke Belanda, mengurus segala sesuatunya. Perkataannya semakin membuatku bingung.
“Saya mau mengulang perkataan Nyang kemarin. Kamu mau saya Lamar? Maukah kamu menjadi istri?” ucapnya lagi.
Runtuh.
Pertahananku akhirnya runtuh seketika. Saat dia mengulang kembali perkataannya. Ternyata dia tidak main-main.
“Saya serius, Dwina.”
Terpana.
Aku berpikir sejenak sebelum memberikan jawaban padanya.
“Kalau Anda serius, datang saja ke rumah saya, ke rumah Kakak saya.”
Ya, bapak dan ibu tinggal di kampung, jadi mereka mewakilkan semuanya kepada Mas Yadi. Mas Yadi sudah mengabarkan bahwa saya dilamar seseorang saat di Jakarta.
Bahkan sebelum bapak mewakilkan kepada Mas Yadi, ada pertentangan dari Bapak, yang ternyata sudah memiliki calon untukku. Namun, Mas Yadi berhasil meyakinkan bapak dan ibu.
Hati ke Hati
#SarapanKata
#KMOIndonesia
#KMOBatch37
#Kelompok12_Katilistiwa
#JumlahKata_615
#Day_19
Hati ke Hati
Chrishna POV.
Waktu terasa sangat panjang kurasakan. Dari pagi hingga ke pagi kembali, seperti sebuah jalan yang entah ujungnya di mana. Tulisan namanya pun terus menari dalam jalinan pikiran.
Seperti sebuah hipnotis, bisikan kata “Serius.” Terus berdenging di telinga. Hatiku memberontak, mengatakan apa dia benar jodohku, dan aku harus mengatakan kembali padanya.
Seperti jarum jam yang akan berhenti jika dia kehilangan baterainya. Seperti itu pula diriku. Seminggu saja tidak melihatnya, aku seperti kehilangan sumber daya bateraiku.
Bukan tanpa alasan aku kembali ke negara asalku. Aku pulang untuk perjalanan bisnis, dan untuk membicarakan perihal Dwina, kepada Mami dan Papa.
Ada rasa takut, dan was-was kalau mereka tidak menerimanya. Meskipun itu bukan hal baru untukku. Sama halnya dengan yang lalu-lalu.
“Mom, Dad. I need to talk to you,” ucapku.
“Yes, My Son?”
“I love Indonesian girl, and want to marry Her, soon,” ucapku kembali.
“It’s up to you, Son. Papa tidak bisa melarang kamu untuk menikah. Tetapi Papa berharap ini adalah yang terakhir dan terbaik untukmu, Son.”
“Bisa kami melihat foto gadis itu?”
“Oh ....” Aku mengeluarkan selembar foto, yang telah kuambil diam-diam saat dia duduk di meja kantornya.
Mama memandang lama foto Dwina, dahinya tampak berkerut. Hal ini membuatku khawatir akan kelanjutannya. Akan tetapi, itu hanya prasangka belaka, karena setelahnya Mama tersenyum, lalu menyerahkan foto itu pada Papa.
Entah, apa yang Papa pikirkan saat melihat fotonya. Dia terdiam cukup lama, memandangi foto Dwina. Lalu memandang ke arahku, dan kembali menatap foto itu.
“Well, Son. Nice girl, and Salehah.” Kulihat Papa tersenyum, lalu mengembalikan foto itu dan menepuk-nepuk pundakku.
“Kami merestui, Son. Papa yakin dia akan membuatmu bahagia hingga akhir hidup.”
????????????
Aku segera kembali ke Jakarta setelah urusan bisnisku selesai. Pesawat yang kutumpangi mendarat pukul 02.00 dini hari.
Tidak ingin membuang waktu, paginya aku langsung berangkat ke kantor, dan berkunjung ke tempat Johan.
Rindu.
Ketika jarak ribuan kilometer memisahkan, hanya hati ini yang terasa dekat. Memandang gemintang malam, seolah-olah melukiskan wajahnya. Rasa ini semakin bertumbuh seperti kuku, tidak akan berhenti meskipun dia dipotong.
Bahagiaku tiba-tiba padam, seperti lilin yang tertiup angin. Saat kembali teringat siapa diriku. Bagaikan dedaunan kering yang mudah terbawa angin, seketika berhamburan.
“Tell Her the truth.” Bisikan itu kembali hadir mengisi kegamangan hati ini.
“Yakinlah, dia akan menerimamu.”
????????????
Jantungku kini mulai mengenali keberadaannya. Dia akan berdenyut jika akan bertemu dengannya. Seperti saat ini, getarannya sudah kurasakan ketika aku duduk di ruangan tengah, sedangkan dia sedang menuju ke tempatku berada.
Perlahan aku mendengar langkah kaki mendekat. Ya, bahkan sampai langkah kakinya pun aku bisa mengingatnya. Secinta ini aku padanya.
“Dwina, bisa kita bicara?” kataku langsung.
“Ayo, Wi. Duduk dulu di sini, Anggi Anggi dan Lintang boleh juga duduk di sini, biar kamu ada temannya.” Aku menjadi lega saat Johan mewakili apa yang diharapkan.
Dia terlihat seperti berat hati untuk duduk satu ruangan denganku. Apa karena pernyataan Minggu lalu itu.
“Maaf, ya, seminggu ini saya kembali ke Belanda untuk mengurus segala sesuatunya,” ucapku membuka percakapan dengannya.
Wajahnya terlihat bingung, itu sungguh menggemaskan bagiku. Lalu aku mencoba untuk menjelaskan semua padanya.
“Saya mau mengulang perkataan yang kemarin. Kamu mau saya Lamar? Maukah kamu menjadi istri?” ucapku kembali.
Menunduk.
Kulihat dia langsung menundukkan wajahnya. Entah apa yang akan dia katakan, aku sudah siap lahir dan batin.
“Saya serius, Dwina.”
Aku berusaha memberikannya waktu, aku akan menunggu.
“Kalau Anda serius, datang saja ke rumah Mas saya,” ucapnya.
Seperti buah ranum yang siap terjatuh dari dahan. Begitulah hatiku saat ini. Bahagia. Sangat dan sangat bahagia.
Berarti waktunya aku harus mengatakan semuanya, siapa diriku dan semua tentangku.
“Dwina, bisa kita bicara empat mata? Saya tidak ingin ada rahasia sebelum terjadi pernikahan.”
Sebuah Kepastian
#SarapanKata
#KMOIndonesia
#KMOBatch37
#Kelompok12_Katilistiwa
#JumlahKata_515
#Day_20
SEBUAH KEPASTIAN
Lanjutan.
Ketika sebuah fakta kuungkap, debar hatiku semakin besar. Sebesar rasa takutku kehilanganmu.
Chrishna
????????????
“Dwina, bisa kita bicara empat mata? Saya tidak ingin ada rahasia sebelum terjadi pernikahan.” Aku melihat ada keraguan di matanya. Diriku bisa memahami apa yang dia gelisah kan.
“Tenang saja kita tidak bicara berdua saja, kamu boleh mengajak Anggi atau Lintang serta.”
Gadis ini masih berpikir rupanya, dia benar-benar menghindari waktu berduaan. Aku bisa paham dengan prinsip hidupnya, yang justru semakin membuatku jatuh hati padanya.
“Baiklah, Anggi atau Lintang, bisa ikut kami. Tolong temani Dwina, ya,” ucapku meminta.
“Baiklah, kami akan ikut, tetapi mungkin kita akan berbeda meja. Karena saya yakin kalian butuh privasi khusus untuk berbicara,” ucap Lintang.
Pada akhirnya kami berempat keluar dari kantor setelah sebelumnya meminta ijin pada Johan untuk membawa tiga gadisnya ikut denganku. Ah, maksudnya ketiga pegawainya.
Saya mencari tempat yang tidak terlalu jauh dengan kantor. Supaya lebih mudah saja. Kami turun dan memesan menu masing-masing. Oke girl, saatnya kita bicara.
“Kita makan dulu, baru bicara. Saya takut kamu pingsan nanti. Bisa bahaya, tidak jadi direstui nanti.” Dia hanya tertunduk malu mendengar gurauanku.
“Hmm Dwina, boleh kita berkenalan dari awal?” ucapku sambil menunjuk reaksi darinya. Kulihat dia mengangguk.
“Oke, kenalkan nama saya Vincentius Chrishna Vitalis. Asal saya dari Belanda. Tetapi Mami saya masih keturunan Indonesia. Umur saya sudah tidak muda lagi, saya sudah 41 tahun. Dan saya sangat serius ingin menikah denganmu.”
“Apa kamu keberatan jika menikah dengan saya yang sudah berumur ini.”
Beberapa saat menunggunya bicara. “Ehm, kalau memang Anda jodoh saya, saya tidak bisa menolaknya, bukan?”
Ya Tuhan, perkataannya sungguh membuatku panas dingin rasanya.
“Saya kira saya perlu mengatakan secara terbuka, semuanya kepadamu tentang saya dan masa lalu saya. Kalau soal kepercayaan, jangan khawatir. Saya seorang muslim juga, mualaf tepatnya, dan itu sudah lama.” Aku menarik napas panjang sebelum menceritakan perihal hidupku yang paling penting.
“Ada satu hal lagi, yang kamu harus tahu. Jika saya-saya-saya, ehm. Saya sudah pernah menikah dua kali, dan kedua pernikahan saya semuanya gagal.” Aku menarik napas panjang berusaha untuk menstabilkan debar jantung ini. “Dari pernikahan pertama, saya memiliki 2 putra dan 1 putri. Kemudian dari pernikahan kedua, saya dikaruniai 1 putra dan dia ada di Jakarta.”
Hening.
Itu yang kurasakan, kulihat gadis ini menarik napas panjang. Dia menunduk, aku tidak mau meraba-raba apa yang ada dalam benaknya saat ini. Tetapi satu hal yang pasti, saya tidak ingin kehilangannya.
“Saya akan memberimu waktu berpikir, dan saya harap kamu mempertimbangkannya baik-baik.” Tak seperti yang kuucapkan, ketika mengatakan hal ini, tubuhku bergetar lirih. Akan tetapi jantungku tertabuh hebat.
“Saya ... Saya tidak keberatan dengan semuanya, toh itu hanya masa lalu Anda. Kalaupun saya menolak, jika Allah menakdirkan Anda sebagai jodoh saya, saya mau bilang apa?” ucapnya.
“Ya Tuhan, terima kasih, terima kasih Dwina.”
Bahagia.
Ya, saya merasakan bahagia yang luar biasa. Belum pernah selama hidup merasakan hal seperti ini. Bahkan ini melebihi semuanya. Kata-katanya sungguh menyejukkan hati ini.
“Ya Allah, terima kasih telah menciptakan dirinya. Tak akan saya sesali kisah hidup yang lalu. Jika pada akhirnya bisa berjumpa dengannya.”
Muhammad Faisal Abdullah
#SarapanKata
#KMOIndonesia
#KMOBatch37
#Kelompok12_Katilistiwa
#JumlahKata_387
#Day_21
MUHAMMAD FAISAL ABDULLAH
Dwina POV
“Ya Allah, terima kasih telah menciptakan dirinya. Tak akan saya sesali kisah hidup yang lalu. Jika pada akhirnya bisa berjumpa dengannya.”
Aku sungguh kaget mendengar penjelasan tentang masa lalu Tuan Chrish. Aku kira dia hanya sudah pernah menikah satu kali saja, tetapi pernah dua kali, dan semuanya gagal.
Sungguh, ini membuatku takut dan khawatir. Apa bisa berhasil nantinya pernikahan kami. Sedangkan dengan pernikahan yang sebelumnya dia gagal.
“Astaghfirullah.” Aku berzikir dalam hati. Tersadar, bahwa aku telah berprasangka buruk kepada Allah. Padahal itu semua belum terjadi kepadaku, yang bahkan pernikahan ini sendiri belum terjadi.
Allah tidak akan mungkin menjodohkan hamba-Nya tanpa pertimbangan.
“Dwina,” panggilnya.
“Saya akan memberimu waktu berpikir, dan saya harap kamu mempertimbangkannya baik-baik.” Tubuhnya sedikit bergetar saat mengatakan hal itu. Ada nada kecewa yang aku tangkap lewat nada bicaranya.
Aku kembali sejenak berpikir. Meminta kepada Allah memantapkan hati untuk waktu yang singkat ini.
“Saya ... Saya tidak keberatan dengan semuanya, toh itu hanya masa lalu Anda. Kalaupun saya menolak, jika Allah menakdirkan Anda sebagai jodoh saya, saya mau bilang apa?” ucapnya.
Lepas.
Perasaan bahagia seperti terbebas dari belenggu, itu yang kini kurasakan. Bagaikan menahan beban di pundak saat aku berjalan menanjak. Semuanya kini terlepas, saat aku mengatakannya.
Raut bahagia itu terpancar di wajahnya. Aku tidak pernah menyangka, melihatnya bahagia membuat hatiku berbunga.
“Ya Allah, Kau menjawab kontan doaku kala itu.”
Ya, hanya terhitung dua bulan saja. Aku bekerja di Jakarta, sekaligus mendapatkan jodohku juga.
Aku ingat, dia berkata bahwa dirinya adalah seorang mualaf. Ragu, untuk bertanya padanya,. Takut itu akan menyinggung hatinya.
“Ada yang ingin kamu tanyakan? Katakan saja, supaya tidak ada yang mengganjal di hati,” ucapnya.
“Hmm, aku. Maksud saya kapan Anda menjadi seorang Muslim?”
“Saya menjadi seorang Muslim sebelum menikah dengan istri kedua saya. Akan tetapi, karena memang sejak remaja saya sudah tertarik dengan Islam. Memang saya belum menjalankan sepenuhnya apa yang kini saya yakini. Untuk itu Dwina, saya mau kamu bantu saya untuk menjadi lebih baik.”
“Alhamdulillah."
“Kenapa?” Dia berucap sambil tersenyum. Ya Tuhan, aku tak kuasa melihat senyumnya. Padahal dia saja belum resmi meminangku.
“Maksudku, apa Anda mempunyai nama Muslim?”
“Ah, iya. Maaf, saya hampir lupa mengatakannya. Nama saya Muhammad Faisal Abdullah. Itu nama saya setelah meyakini Islam.”
“Dwina, saya ingin mempercepat menghalalkan dirimu, karena aku tahu fitnah terhadap wanita itu kejam.”
Dia Datang
#SarapanKata
#KMOIndonesia
#KMOBatch37
#Kelompok12_Katilistiwa
#JumlahKata_470
#Day_22
DIA DATANG
“Dwina, saya ingin mempercepat menghalalkan dirimu, karena aku tahu fitnah terhadap wanita itu kejam.”
Benar saja, setelah mengatakan hal itu. Tuan Chrish esoknya datang ke rumah Mas Yadi bersama temannya untuk melamar ku secara resmi seperti apa yang dia sampaikan kemarin. Untuk itu bapak dan ibu mewakilkan semuanya pada Mas Yadi, untuk mengurus lamarannya.
Tentu saja, dia tidak asal langsung datang. Kemarin juga, aku sempat bicara empat mata lewat telepon dengan Mami dan Papanya. Mereka mengatakan merestui kami berdua, walaupun mungkin tidak bisa hadir nanti di pernikahan kami. Ya Allah, aku sungguh malu, mengulang kata pernikahan. Tidak pernah menyangka akan secepat ini jadinya.
“Tolong jangan panggil saya Tuan lagi, please. Saya ini akan menjadi suami kamu, jadi panggilan nama atau apa, asal jangan Tuan, Oke?” ucapnya.
“O-oke, Chrish.”
????????????
“Wi, dah siap belum? Rombongan sebentar lagi sampai, lho.” Mba Ratna berteriak di depan kamarku. Dia tidak tahu saja, diriku menahan gelisah setengah mati.
Gugup.
Itu yang sedang kurasakan. Oh, denting jantung ini sungguh tak beraturan. Jemariku menjadi dingin, padahal yang kurasakan adalah hawa panas di sekelilingku.
Kini aku masih mematut diri di depan cermin. Memandang wajahku sendiri, memutar badan ke kiri lalu ke kanan. Merasa tak percaya, kenapa bisa Tuan Chrish memilihku, yang hanya gadis biasa saja.
“Wi, jangan lama-lama, lho.” Mbak Ratna kembali berteriak.
“Iya.” Aku bergegas untuk beranjak dari dalam kamar. Ingat jika mereka bahkan datang pukul tujuh malam.
Langkah kaki ini lambat terasa dalam iringan tetabuhan dari dalam jantung. Binatang malam seolah-olah mengerti, jika malam hari ini adalah hari bersejarah untukku. Mereka bernyanyi saling bersahutan. Memanggil gemintang agar jangan sembunyi di balik awan gelap kota Jakarta.
“Wi, malah ngelamun.”
Aku mempercepat langkah kakiku menyusul Mbak Ratna menuju ruang tamu. Benar saja di sana sudah ada Tuan Chrish, Pak Johan, dan satu lagi seseorang yang aku tidak kenal.
“Assalamualaikum. Perkenalkan nama saya Chrishna, atau Faisal (nama saya sebagai seorang Muslim). Maksud kedatangan saya kemari, bermaksud untuk meminang saudari Dwina,” ucapnya sambil mencuri pandang ke arahku.
“Saya di sini sebagai Kakak tertua dari Dwina, mewakili orang tua kami di kampung, menyerahkan sepenuhnya jawaban kepada adik saya. Bagaimanapun dia yang akan mengarungi bahtera rumah tangga. Bagaimana, Wi? Kamu terima atau tidak lamaran Pak Faisal?”
Aku memandang sekejap ke arah Mbak Ratna, lalu beralih ke arah Mas Yadi. Kuambil napas dalam, berusaha untuk menetralkan debaran jantung ini.
“Aku mau,” ucapku lirih.
“Alhamdulillah,” Aku mendengar untuk pertama kali Chrish mengungkapkan kata itu.
Aku hanya bisa tertunduk malu, berusaha untuk menahan pandangan ini, karena belum sah untukku. Rasanya duniaku berhenti berputar. Hingga aku pun tak menyadari percakapan antara mereka. Hingga kata sepakat tentang hari dan tanggal pernikahan telah ditetapkan.
“Dwina, terima kasih.” Seseorang sudah berkata di sampingku.
“Eh, untuk?”
“Terima kasih, kamu sudah mau menerima saya dengan baik,” ucapnya tersenyum.
Hidup Baru
#SarapanKata
#KMOIndonesia
#KMOBatch37
#Kelompok12_Katilistiwa
#JumlahKata_340
#Day_23
HIDUP BARU
Embun masih setia merengkuh pagi, saat dingin bergelayut mesra di atas tanah lembab sisa gerimis tadi malam. Mentari yang malu menampakkan dirinya di ufuk timur. Hanya cahaya keemasan yang menyelimuti langit pagi.
Suara-suara ayam saling bertautan, bernyanyi memanggil agar terbangun dari mimpi. Sudah saatnya mengayuhkan kaki untuk menatap hari yang baru.
Kini sudah sebulan Dwina dan Chrish mengayuh hidup baru bersama. Ah, ya jangan lupakan Chrish, panggilan nama itu kini berganti menjadi Faisal. Dia menggunakan namanya sebagai seorang yang menganut agama Islam. Mereka pun kini telah pindah di rumah Chrish tinggal, maksudnya Faisal tinggal.
“Pagi, Papa. Ayo bangun salat subuh dulu.” Dwina mengguncang tubuh suaminya.
“Oke babe.” Faisal mengerjapkan matanya pelan, dan beranjak dari ranjang untuk menuju kamar mandi.
Mereka menjalankan salat Subuh berjamaah.
“Terima kasih, sayang.” Faisal menerima uluran tangan istrinya dan mengecup keningnya perlahan.
“Sama-sama, Papa.”
“Saya nggak tahu jadinya jika tidak menikah denganmu. Mungkin saya masih seperti dulu, tidak peduli dengan ibadah. Yang saya tahu hanya bekerja, pulang, tidur, lalu besoknya akan seperti itu lagi. Kini saya memiliki tujuan hidup, yaitu membahagiakan kamu Dwina.”
Faisal berucap sambil menggenggam erat tangan istrinya.
“Semuanya sudah ketentuan-Nya, Pa. Kita berjodoh dan di takdirkan bersama karena Allah telah meluaskan kasih sayangnya untuk kita.”
“Bagaimana tidak semakin cinta, jika kamu seperti ini.”
“Ih, Papa,” ucap Dwina tersipu malu.
“Minggu depan saya harus pulang, karena jadwal rutin perjalanan bisnis.”
“Berapa hari?” tanya Dwina sedih.
“Maaf, sayang. Mungkin saya di sana sampai satu bulan.”
“Hehh ....” Dwina mengembuskan nafasnya perlahan.
“Maaf, sayang. Saya akan berusaha secepatnya menyelesaikan pekerjaan yang ada di sana. Karena ini bisnis bersama, jadi saya tidak bisa menentukan jadwal dengan semau sendiri sayang, hemm.”
Dwina berusaha ikhlas dan memahami suaminya. Hidup itu harus berjuang, dan kita sebagai manusia hanya bisa berusaha sebaik mungkin.
“Apa ada yang kamu khawatirkan? Saya tidak akan mungkin berpaling dari kamu, sayang. Hanya ada kamu di hatiku ini.”
“Iih, gombal,” ucap Dwina kembali tersipu.
“Bukan gombal sayang, saya bicara fakta. Kamu adalah pelabuhan terakhir. Kamu dan calon anak kita nantinya.”
Bersamamu
#SarapanKata
#KMOIndonesia
#KMOBatch37
#Kelompok12_Katilistiwa
#JumlahKata_578
#Day_24
BERSAMAMU
“Jangan mengkhawatirkan sesuatu yang belum terjadi, secara berlebihan. Itu hanya membuat perjalanan kita terhambat.”
????????????
“Apa ada yang kamu khawatirkan? Saya tidak akan mungkin berpaling dari kamu, sayang. Hanya ada kamu di hatiku ini.”
“Iih, gombal,” ucap Dwina kembali tersipu.
“Bukan gombal sayang, saya bicara fakta. Kamu adalah pelabuhan terakhir. Kamu dan calon anak kita nantinya.”
Mengarungi sebuah bahtera rumah tangga, tak seperti dalam angan-angan. Kita memikirkan seperti apa, ternyata Allah justru berkehendak lain. Tidak akan selalu manis, pasti akan ada kerikil dan rasa asin serta pahit nantinya. Hanya tinggal bagaimana kita yang akan menjalani ke depannya. Mengikuti alur yang Allah buat, atau membuat jalan sendiri.
Pahit getirnya, hanya bisa dirasakan yang menjalankan bahtera itu. Karena masing-masing memiliki takaran yang berbeda.
Sepeninggal Faisal kembali ke negaranya, Dwina menjalani kehidupan seperti biasa. Pagi berangkat ke kantor, hanya saja jadwalnya kini sedikit dikurangi. Suaminya sebenarnya tidak pernah membatasi ruang gerak Dwina. Akan tetapi ini adalah inisiatifnya sendiri. Dia sadar sekarang sudah tidak sendiri lagi, ada sosok yang harus dia layani dan hormati sepenuh hatinya.
Satu bulan bukanlah waktu yang sebentar. Apalagi jarak ribuan kilometer dan luasnya lautan yang memisahkan mereka.
Rindu.
Itu yang mereka rasakan saat berjauhan. Akan tetapi hati yang selalu dekat, tidak membuat cinta mereka luntur. Justru semakin memperkuat jalinan di antara mereka.
“Wi, Chrish masih belum kembali?” tanya Pak Johan.
“Belum, Pak, mungkin satu Minggu lagi baru kembali.”
“Kamu, tidak apa-apa sering di tinggal sendiri?”
“Saya?” tinjunya pada diri sendiri.
“Iya, siapa lagi yang saya tanya. 'Kan hanya ada kamu dan saya di sini.”
“Hehehe.” Dwina hanya tersenyum saja mendengar pertanyaan darinya.
????????????
Ada raut sedih tertahan dari wajahnya. Namun, dia hanya bisa berusaha untuk bersabar dan kuat. Bersama saling berbagi senang dan sedih. Dwina dan Faisal (Chrish) sudah berkomitmen, agar mereka selalu terbuka dan tidak menyimpan rahasia besar.
Berat terasa, saat berjauhan dengan orang yang dikasihi. Apalagi di saat dirinya berbadan dua seperti ini.
Lamunannya terganggu saat dering telepon di meja.
“Assalamualaikum.” Terdengar suara di seberang sana. “Bagaimana, di sana? Kamu sehat 'kan, Sayang?”
“Waalaikumsalam. Alhamdulillah, sehat Papa. Calon anak kita juga sehat,” jawab Dwina penuh bahagia.
“Alhamdulillah, semoga kita sekeluarga selalu dalam lindungan Allah. Anak kita lahir dengan sehat dan cerdas.”
“Aamiin, Ya Allah. Dapat salam dari Mami dan Papa, Sayang. Mereka ingin sekali datang ke Indonesia.”
“Salam sayang untuk Mami dan Papa.”
????????????
Ya, pekerjaan yang mengharuskan mereka menjalani hubungan rumah tangga jarak jauh. Bahkan hingga anak pertama akan lahir. Faisal masih sering bolak-balik Indonesia dan Belanda.
Memang berat, tetapi harus tetap dijalani. Komitmen bersama, memang harus dibangun sejak awal, supaya fondasi menjadi kuat.
“Jangan terlalu banyak bergerak, Sayang. Letakkan sapunya, biar saya yang mengerjakan!” titah suaminya.
“Tapi, Pa. Biar sekalian olahraga.”
“No, bukan begitu. Soal membersihkan rumah, kalau saya di rumah, biar semua saya yang mengerjakan. Kamu istriku, bukan tukang bersih-bersih. Pekerjaan rumah tangga kita bagi bersama.”
“Papa, sweet banget,” ucap Dwina tersipu.
“Terima kasih, Sayang, sudah menerima saya dengan terbuka dan mempercayai semua yang ada di diri ini. Saya tidak tahu, apa jadinya, bila bukan kamu yang menjadi istri saya.” Faisal mengusap sayang kepala istrinya.
“Sama-sama, Papa. Semua kekhawatiran yang berlebihan tidak terjadi karena kita saling mendukung dan saling menjaga kepercayaan. Semoga hingga mencapai surga-Nya.”
“Aamiin.”
Manis sekali, bukan. Kehidupan pernikahan yang mereka jalani. Faisal yang mengayomi, dan Dwina yang patuh terhadap suami. Membagi segala sesuatu bersama, dan saling terbuka.
Penghianatan
#SarapanKata
#KMOIndonesia
#KMOBatch37
#Kelompok12_Katilistiwa
#JumlahKata_603
#Day_25
PENGHIANATAN
“Teman dekat adalah orang yang paling mengerti dan memahami kita. Akan tetapi dia juga yang memiliki potensi menyakiti kita.”
Faisal (Chrish) POV
Malam masih bergelung dengan sepi. Semilir angin, menembus setiap sisi rumah. Dingin. Harusnya itu yang saya rasakan. Namun, tubuh ini terasa begitu panas. Pikiran yang melayang entah ke mana. Sebenarnya ingin berbagi dengannya, tetapi ada rasa tidak tega bila sampai dia tahu apa yang kini sedang saya hadapi.
Kedua Putri kami sudah terlelap di kamarnya. Memandang wajahnya, sungguh menentramkan hati.
Ah, iya, saya belum menceritakan. Setelah Putri pertama kami lahir, setahun kemudian Dwina dinyatakan mengandung buah cinta kami yang kedua. Sungguh anugerah yang tidak terhitung dari Allah. Keluarga kecil yang bahagia, dan istri yang Salihah.
Nyatanya saya masih kurang bersyukur. Kembali saya memandang wajahnya yang manis, teringat bagaimana perjuangannya melahirkan dua buah hati kami. Menjadi ibu dan menjadi istri yang bisa mengimbangi, dan membimbing saya memahami apa yang saya yakini, yaitu Islam.
Waktu sudah menunjukkan pukul 03.00 dini hari. Mata ini belum juga mau terlelap. Bahkan dinginnya ruangan kamar kami, tak membuat mata ini menjadi lelah. Saya ambil wudu, merasakan dinginnya air merambat dan merasuk dalam pori-pori kulit.
Saya sangat bersyukur, karena telah dibimbing dalam ibadah. Hal ini sangat membuat hati saya tenang. Seperti saat sekarang, salat malam saat hati gundah, dan bimbang. Membuat hati tenang dan pikiran menjadi jernih.
“Ya, Tuhan sembah sujudku kepada-Mu. Karena kasih sayang yang kau lebarkan kepada kami. Terima kasih telah menghadiahkan seorang istri yang baik, dan salihah.”
Waktu yang terus bergulir, suara kokok ayam saling bersahutan. Semburat keemasan kini hadir di ufuk timur. Masjid-masjid mulai terdengar suara pada takmir membangunkan masyarakat untuk Salat Subuh.
Masih tanpa bosan kupandangi wajah manisnya. Perlahan mulai mengerjapkan matanya.
“Pagi, Papa,” sapanya.
“Pagi, sayang. Yuk, ambil wudu. Papa mau salat di masjid.”
“Iya, Oke.”
Saya sudah membuat satu keputusan, untuk menceritakan semua kepadanya. Bagaimanapun dia berhak untuk tahu.
????????????
Setelah kedua Putri kami berangkat sekolah, sekarang di sinilah kami berdua. Duduk bersama di ruang tengah, tempat di mana kami sekeluarga saling berbagi dan bercengkerama.
“Ada yang mau Papa bicarakan. Ini mengenai bisnis Papa.”
“Ya, kenapa Papa terlihat lesu.apa ada yang terjadi dengan pekerjaan Papa?” tanyanya beruntun.
“Gini, Mama ingat Hendrik, teman Papa yang dulu tinggal di Surabaya?”
“Hmm, iya ingat, yang sekarang sudah kembali ke luar negeri?”
“Heem, tiga bulan yang lalu dia ternyata telah menginvestasikan uang Papa, bersama bisnisnya. Papa kira, dia menggunakan hanya 10% atau sekitar 25% dari uang Papa yang di simpan di tempat dia bekerja. Tetapi dia menggunakan hampir keseluruhan uang Papa.”
“Kenapa bisa ....”
“Mama dengar, dulu. Papa juga sudah memintanya mengembalikan semua uang Papa yang dia pakai.” Saya berhenti sejenak untuk menghirup udara segar. Otak ini terasa sulit berpikir, dan mulut rasanya kaku.
“Dia, ternyata telah pindah dari rumahnya. Papa sudah berusaha untuk melacaknya, tetapi hingga saat ini belum juga menemukan keberadaannya.”
“Ya Allah, Papa. Uang itu kan bisa untuk menyekolahkan anak-anak kita hingga jenjang S2, Papa. Bahkan kita bisa menyekolahkan mereka di luar negeri,” ucapnya sambil menangis. Tak kuasa mendengar rintihannya, saya memeluknya untuk menenangkan hatinya.
Saya kembali berbisik kepadanya. “Mungkin ini bukan rezeki kita, Ma, makannya Allah mengambilnya dari Papa. Allah ingin kita memberikan kepada kita hal terbaik. Kamu sudah tahu sendiri, apa yang kita anggap baik, belum tentu baik bagi Allah. Kita bisa mencarinya lagi nanti.”
Dia masih saja terisak, menumpahkan segala kesedihan yang dirasakannya. Apakah memang seperti itu menjadi seorang Ibu.
“Iya, Papa. Maafkan, Mama. Mama hanya kesal dan kecewa, kenapa Hendrik bisa Setega dan seceroboh itu menggunakan uang orang lain. Padahal tugasnya menjaga, bukan malah menggunakan,” ucapnya kecewa.
Kembali
#SarapanKata
#KMOIndonesia
#KMOBatch37
#Kelompok12_Katilistiwa
#JumlahKata_553
#Day_26
KEMBALI
“Iya, Papa. Maafkan, Mama. Mama hanya kesal dan kecewa, kenapa Hendrik bisa setega dan seceroboh itu menggunakan uang orang lain. Padahal tugasnya menjaga, bukan malah menggunakan."
????????????
Dwina POV
Rasa kecewa itu pasti ada, dan juga rasa sesal yang tidak berkesudahan. Aku tidak pernah menyangka, sahabat Papa bisa setega itu.
Lama aku merenung dan meresapi apa yang Papa katakan padaku. Bahwa harta yang kami punya hanya barang titipan dari-Nya. Semua bukan milik kami, Allah yang punya. Jadi, jika itu hilang dari kami, mungkin bukan rezeki kami.
Malu.
Itu yang aku rasakan. Papa yang baru belajar tentang Islam, justru lebih bisa memahami apa yang Allah kehendaki. Dia lebih bisa menerima dan berbesar hati. Menganggap bahwa yang dia punya hanyalah titipan.
Walaupun begitu aku masih tetap bersyukur, karena Papa orang yang ulet dan tidak mudah menyerah. Ya, saat ini Papa juga membuka jasa penerjemah berbagai bahasa. Alhamdulillah hasilnya bisa untuk menambahi kebutuhan kami.
Aku sampai tidak menyadari, jika waktu sudah beranjak siang. Kulihat Papa berjalan ke arah dapur. Biasanya kami memang terbiasa masak bersama. Hal sederhana memang, tetapi ini justru menjadi bumbu dan perekat hubungan kami.
“Kita, masak apa, Papa.”
“Masak omelet aja? Hari ini kita masak kesukaan Salwa dulu. Besok kita masak kesukaan Safira, bagaimana?”
“Hmm, masak kesukaan Mama, kapan?”
“Ya ampun, Ma. Mama mau apa, Papa akan selalu siap memasak untuk Mama. Jangan cemburu sama anak, dong”
“Sweet sekali, Pa.”
“Apa, sih yang enggak buat kamu, Ma.”
Sesi memasak kami akhirnya selesai, tinggal menatanya di meja dan menunggu Salma dan Safira pulang sekolah.
Di sela menunggu di putri kami pulang, Papa mengajakku bicara berdua. Entah apa yang ingin dia bicarakan.
“Ma, bagaimana kalau kita kembali ke Jawa Tengah. Kita buat rumah di sana saja. Papa tidak tenang, tiap kali harus meninggalkan Mama di rumah, hanya bertiga dengan anak-anak. Apalagi Papa jika sedang mengurus pekerjaan di negara Papa sana. Papa tidak tenang tiga bulan di sana, jauh dari kalian. Papa khawatir bagaimana kalian setiap kali Papa tidak ada.”
“Apa Papa sudah memikirkannya baik-baik? Bagaikan dengan pekerjaan, Papa?”
“Papa sudah lama memikirkan ini, Ma. Papa juga ingin yang terbaik untuk kalian. Papa lihat lingkaran di sini, semakin bertambah waktu, semakin kurang baik untuk pertumbuhan anak.”
“Ehm, baiklah. Kita juga perlu menanyakan hal ini sama anak-anak. Apakah mereka setuju, atau tidak. Kalau Mama setuju saja, Pa.”
“Ah, iya, Mama benar juga. Kita juga perlu menanyakannya pendapat mereka.”
Pukul satu siang, akhirnya kedua Putri kami pulang dari sekolah. Setelah mengganti baju, kami mengajak mereka untuk makan siang bersama.
“Sini, Sayang. Papa sama Mama mau bicara sama kalian berdua.”
Aku mulai membuka percakapan dengan kedua Putri kami.
“Salwa, Safira. Mama dan Papa ada rencana pulang ke Jawa Tengah. Kami ingin pindah ke sana, kita tinggal di desa. Di sana ada sawah, banyak kali pegunungan di desa. Bagaimana, Sayang?”
“Ehm, tapi nanti sekolah kami gimana, Papa?” tanya Salwa.
“Kalian tidak perlu khawatir, di sana juga ada sekolah yang bagus. Nanti kalian bisa pindah di sana. Kalian juga bisa dekat dengan nenek di kampung nanti.”
“Bagaimana, Salwa? Safira?”
“Kami, ikut apa kata Mama dan Papa saja. Kami juga senang bisa tinggal di sana. Kata guruku udara di desa lebih bagus dan sehat.”
“Alhamdulillah.” Kami berucap syukur kepada Allah. Karena jalan kami dipermudah untuk pindah ke kampung halaman saya.
Kehilangan
#SarapanKata
#KMOIndonesia
#KMOBatch37
#Kelompok12_Katilistiwa
#JumlahKata_751
#Day_27
KEHILANGAN
“Alhamdulillah.” Kami berucap syukur kepada Allah. Karena jalan kami dipermudah untuk pindah ke kampung halaman.
????????????
Langit cerah, dengan warna keemasannya di ufuk timur. Kabut menyelimuti kaki bukit gugusan pegunungan seribu. Embun menitik di antara jemari dedaunan, meninggalkan setitik air kehidupan.
Dinginnya angin pagi yang semilir, membelai wajah-wajah penuh semangat menantikan hari untuk meraih rezeki yang Allah taburkan untuk kami petik.
Sawah luas terbentang, dari barat hingga ke timur desa. Padi yang mulai menguning, memanggil para petani untuk memanennya.
“Pagi, Mama.” Sapa Salwa menyandar di samping meja dapur.
“Pagi, Sayang. Sarapan dulu, ya. Nanti baru kita ke sekolah baru kamu. Safira, mana?
“ Oke, Ma. Eh, Papa mana?”
“Papa lagi mandi.”
Pagi yang cerah ini, kami berempat sarapan pagi bersama. Suasana baru juga memberikan semangat baru untuk kami. Semoga dengan tinggal di kampung halaman, pertumbuhan putri kami bisa terjaga.
Selesai sarapan, kami berkemas dan berangkat untuk mendaftarkan Safira dan Salwa di sekolah yang baru.
????????????
Waktu bergulir tanpa henti. Manis dan pahit kami hadapi bersama. Anak-anak tumbuh dengan baik, kehidupan sosial dan emosional kedua Putri kami juga terjaga. Terkadang adik Papa dari Belanda berkunjung ke tempat kami. Mereka sangat menyukai suasana di tempat ini daripada di kota. Lebih asri, dengan masyarakat yang ramah. Aku pun sudah kembali mengajar di SMP satu yayasan dengan SD tempat anak kami menempa ilmu.
Aku lebih bahagia lagi, saat mendengar kabar bahwa Papa dan Mami akan mengunjungi kami. Sungguh, membuat hati ini berbunga. Mereka datang jauh melewati lautan dan beberapa negara hanya untuk kami. Selain karena rindu dengan kami, Mami bilang dia rindu kedua Putri kami, karena memang belum pernah bertemu Salwa dan Safira.
Ya, terus terang. Setelah memutuskan pindah ke kampung halaman. Papa lebih banyak menghabiskan waktu di sini. Dia menjalankan bisnis penerjemahan dan ekspor benda bernuansa tradisional. Orang-orang luar negeri sangat menggilai, barang tradisional dari Indonesia.
????????????
Cerahnya pagi ini, secerah suasana rumah kami. Hari Sabtu pagi, pesawat yang di tumpangi Papa mendarat di Bandara Adi Sucipto Yogyakarta. Kami sekeluarga menjemput mereka dari sana.
Untuk pertama kali, aku bertemu dengan orang tua dari Papa. Karena saat dulu kami menikah, mereka tidak bisa hadir karena terkendala jarak dan kesehatan. Aku menyadari, mestinya saya yang mengunjungi mereka ke sana, bukan mereka yang justru datang mengunjungi kami di sini.
“Dwina, kami sangat bahagia Chrish memiliki istri seperti kamu. Karena semenjak dia menikah denganmu, anak itu banyak berubah. Dia jadi lebih tenang, dan sifat keras hatinya melunak.” Mami bercerita saat saya memijat kakinya di kamar.
“Benarkah?”
“Iya, kamu itu menantu kesayangan kami, meskipun kita berbeda keyakinan. Kamu paling kami sayang. Hanya denganmu, pernikahan Chrish berjalan hingga saat ini. Saya melihat kamu yang paling setia kepadanya.”
Aku segera memeluknya, tidak tahan melihat air matanya menetes di wajahnya yang menua.
Terharu.
Hati ini seperti tersiram air hujan, saat terasa kekeringan. Curahan hatinya membuatku tenteram. Semoga saja Allah memberikan hidayah-Nya kepada mereka.
“Kau tahu, Sayang. Saudara Chrish di sana sangat cemburu padamu. Mereka bilang hanya kamu yang kami sayang, dan paling sering kami puji,” ucap Mami terkekeh pelan.
Untuk membahagiakan mereka berdua, kami memasakkan mereka berbagai menu tradisional Indonesia. Seperti soto, lotek, peyek, pecel, nasi goreng, dan masih banyak yang lain.
Padahal di sana menu seperti itu juga ada, karena saat penjajahan kolonial dahulu banyak dari budaya dari Indonesia yang memang di bawa dan diterapkan di sana.
Sayang sekali, Mami dan Papa hanya tinggal untuk dua Minggu saja di Indonesia. Hanyalah tangis rindu dan haru dari kami saat melepas keberangkatan mereka kembali. Ada satu pesan dari Papa yang aku ingat sebelum mereka menaiki pesawat.
“Chrish dan Dwina, bersabarlah dengan pernikahan kalian. Harus saling terbuka dan setia. Dwina, tolong, jaga putra kami. Karena saya tidak bisa menjaganya lagi.”
Seperti pesan terakhir yang Papa ucapkan. Saya hanya bisa mengiyakan permintaannya. Karena semua itu benar, apa yang Papa ucapkan.
Sudah lewat sebulan kepulangan orang tua ke luar negeri. Hati ini mendadak menjadi gelisah. Papa pun seminggu ini selalu berdebar tak beraturan. Aku resah, tetapi tak tahu ada apa. Tidak seperti biasanya.
Tiba-tiba telepon berdering dari adik Papa. Mereka mengabarkan Papa sedang kritis. Aku hanya bisa menangis, dan mendoakan Papa di sana.
Kami hanya bisa memohon kepada Allah supaya meringankan sakit Papa. Tetapi ternyata Allah berkehendak lain, baik untuk kami belum tentu baik untuk-Nya. Papa di panggil Yang Maha Kuasa.
Sedih, melihat Salwa dan Safira sedih kehilangan Opa mereka. Hanya doa yang bisa kami panjatkan dari kami, aku, Papa Faisal (Chrish), Salwa dan Safira.
Poros Semangat
#SarapanKata
#KMOIndonesia
#KMOBatch37
#Kelompok12_Katulistiwa
#JumlahKata338
#Day28
POROS SEMANGAT
Setiap yang bernyawa pasti akan mengalami kehilangan. Sepi, sebagian hati pula merasakan apa itu perasaan sendiri. Menepi dari keramaian dan menempa hidup dalam keheningan.
Ada sebagian tempat yang masih menyisakan rasa untuk bahagia, di balik kesedihan karena kehilangan yang terasa begitu dalam. Sedalam samudera lepas yang berombak tenang, tetapi berarus deras di dasar samudera.
Dahsyatnya badai yang menerjang, hingga kapal melaju pun akan karam dan berhenti tidak melanjutkan perjalanannya. Seperti rasa kehilangan ini, hati penuh rasa sakit dan kesedihan yang mendalam membuat semangat yang dulu membara kini menghilang, layaknya kobaran api yang kini tinggal arangnya saja.
Haruskah aku menyerah? Namun, masih ada hati yang mengharap untuk tetap semangat. Badai pasti berlalu, tetapi kehilangan atas kehidupan pasti terjadi.
Angin berembus, membawa serpihan lara yang terbayang di setiap kedipan mata. Setiap sudutnya menepi, membawa aliran rasa yang bercampur dengan air mata. Mengalir di setiap titik pori-pori kehidupan.
Jalannya waktu, tidak bisa manusia mengaturnya. Menjadikannya apa yang kita inginkan. Ada saat menerima, ada saatnya pula memberi. Hingga tiba waktu semua akan di ambil kembali, baru semuanya akan berakhir. Dan kenangan atas mereka akan selalu kuingat.
Kehilangan secara bertubi-tubi, mengajarkan diri ini untuk mensyukuri apa yang kita punya saat ini. Bagaimana caranya menjaga supaya baik-baik saja. Seperti keluarga yang kumiliki sekarang, sungguh sangat aku syukuri. Saat Allah menghadiahkan mereka untukku.
"Sudah, Ma. Kasihan, biar kan Bapak pergi dengan tenang.”
“Kenapa, Pa. Orang yang kita sayang pergi hampir bersamaan. Setahun lalu Papa, sekarang Bapak,” ucapku terisak.
“Bukankah setiap yang bernyawa akan pulang. Mama tidak boleh memberatkan perjalanan mereka. Harus ikhlas melepaskan.”
Hening. Hanya terdengar suara isak tangisku dan Ibu yang masih ditenangkan Bude Yati.
“Umur manusia siapa yang tahu, tidak ada yang bisa memprediksi. Semua rahasia Illahi.”
Aku hanya mengangguk mendengarkan apa yang Papa bicarakan. Bukan malas menjawab, apalagi marah. Rasa sedih yang mendalam, membuat terlihat menjadi abu-abu.
“Jadikan semula untuk pelajaran. Untuk menempa diri supaya kuat.”
Aku tidak sanggup membayangkan, seandainya nanti harus kehilangan Papa juga. Seperti dunia berhenti, poros semangatku ikut menghilang.
Bersambung....
Katakan Dengan Pasti
#SarapanKata
#KMOIndonesia
#KMOBatch37
#Kelompok12_Katulistiwa
#JumlahKata_395
#Day_29
KATAKAN DENGAN PASTI
“Jika menurut hatimu benar, maka katakanlah benar. Jangan pernah takut untuk mengatakan sebuah kebenaran.”
????????????
Aku ingat betul kata-kata Papa waktu itu, agar menjadikan semuanya pelajaran dan untuk menempa diri agar menjadi lebih kuat. Banyak mengingat bahwa yang aku miliki hari ini, wajib disyukuri. Memiliki mereka dalam hidup, adalah hadiah terbaik yang Allah berikan padaku selama ini. Hingga nanti tiba saatnya kembali aku tidak akan menangisi terlalu dalam.
Hingga, aku tidak sanggup membayangkan, seandainya nanti harus kehilangan Papa juga. Seperti dunia berhenti, poros semangatku yang hilang. Karena bahagiaku dan milik orang lain pasti berbeda.
Hanya waktu yang dapat menyembunyikan luka. Kami hanya perlu bersabar menjalani semua sesuai aturan-Nya, hingga saatnya waktu menghapus semua kenangan sedih, dan malam yang akan menyembunyikannya dalam setiap sujud doa.
Senja tersenyum di balik pegunungan seribu. Cahaya kemerahannya memantul di antara pematang sawah. Embun pagi berkejaran naik perlahan menutupi tanah yang masih dingin. Udaranya yang segar dengan aroma tanah menembus Indra penciumanku.
Aku bangkit untuk melakukan ritual pagi. Selesai Subuh berjamaah aku beranjak ke dapur menyiapkan sarapan pagi kami, sedangkan Papa membantu membersihkan rumah. Bagiku setiap apa yang Papa lakukan adalah bentuk kasih sayangnya pada kami. Dia tidak pernah memanjakan anak-anak, tetapi justru mengajarkan sebuah ketegasan, dan disiplin.
Aku jadi teringat saat Salwa terlibat perselisihan dengan kawannya. Ketika dia menangis karena tidak mau memberikan contekkan kepada temannya.
“Kenapa Sayang, pulang sekolah kok nangis?”
“Temanku marah, Ma. Katanya aku pelit tidak mau memberikan contekkan.”
“Oh, My Dear, I proud of you,” ucap Papa. “Jangan takut, lakukan apa yang kamu anggap benar. Kalau salah bilang salah, kalau benar bilang benar. Oke, Dear,” ucap Papa lagi sambil memeluk Salwa saat itu.
Papa menekankan pada kami tentang kedisiplinan. Bahkan padaku juga, aku harus bisa mengambil sebuah keputusan. Jika menurut hatiku benar, maka katakan benar.
“Mama. Katakan benar, jika hati Mama bilang benar. Jangan takut,” ucap Papa.
“Tapi aku yang enggak enak sama teman-teman semua. Aku tidak setuju dengan pendapat mereka karena menurutku itu memberatkan guru yang lain. Iya akan mudah bagi yang berkecukupan. Tapi kasihan yang penghasilannya pas-pasan. Iuran bulanan baiknya dari organisasi yang memberikan kontribusi.”
“Mama bilang saja pendapat, Mama, juga dengan alasannya. Terserah nanti mereka mau menerima atau tidak, yang penting, Mama sudah mengatakan kejujuran.”
“Bedankt (terima kasih), Papa.”
“Even liefde (sama-sama), Mama.”
????????????
Melepaskan
#SarapanKata
#KMOIndonesia
#KMOBatch37
#Kelompok12_Katulistiwa
#JumlahKata_648
#Day_30
ENDING_MELEPASKAN
“Sekuat apa pun diriku menyimpan rasa. Sehebat apa pun diriku berharap, saat Kau bilang pulang. Maka, Kau ambil pulang.”
????????????
Bagaimana tidak, aku semakin cinta padanya. Perhatian yang dia tunjukkan padaku tak mengenal waktu. “Hidup perlu dinikmati, karena bahagia itu sederhana.” ucapnya.
“Special for You, Dear.” Papa datang menyajikan secangkir teh hangat untukku, di pagi yang cerah ini.
“Thank You, Pap.”
“Ah, masih ada yang ketinggalan. Sepiring nasi goreng ala chef Chrish Faisal yang terenak,” ucap Papa lagi, sambil meletakkannya di meja.
“So sweet banget, Papa.” Entahlah, aku akan selalu tersipu dengan semua perlakuan Papa padaku. Sederhana tetapi sungguh tertanam di hati ini.
Sungguh aku berharap, kami akan bahagia hingga sisa hidup kami. Menjalani waktu bersama hingga maut memisahkan. Doaku selalu terpanjat di antara sujudku, agar supaya Allah selalu memberikan kesehatan pada Papa.
Sungguh Allah telah memberikan banyak kesempatan pada diri ini untuk menikmati hidup dengan sebaik mungkin.
Menikmati hidup. Itu yang selama ini kami jalani. Menerima apa yang Allah berikan dan menjalaninya dengan sebaik mungkin.
Termasuk melupakan semua hal yang membuat hati kami tidak tenang. Melupakan bahwa ternyata ada konsekuensi yang kami terima saat Papa secara resmi mengganti namanya dengan Muhammad Faisal Abdullah.
Papa sudah tidak bisa menerima penghasilannya sebagai seorang veteran dari negara asalnya. Bisnis yang juga mengalami masa pasang surut.
Sabar dan tawakal, itu saja yang kami lakukan. Tetap menjalani hidup sesuai tuntunan-Nya. Menerima semua takdir yang sudah di tentukan. Termasuk menerima dengan lapang, saat Papa terkena stroke saat itu.
Sedih, dan lara itu yang aku rasakan, tetapi aku harus tetap tegar untuk kedua Putri kami, Salwa dan Safira. Dua putra Papa juga sempat menjenguk ke Indonesia selama seminggu. Erick putra bungsunya, yang juga menjadi Kakak tersayang untuk Salwa dan Safira.
“Aunty, tolong titip Papa, ya,”
“Iya, Sayang. Aunty pastikan, Papa tidak kekurangan apa pun.”
“Aunty, may I call You, Mom?” ucap Erick.
“Of course, Dear.” Erick memelukku sayang, memberikan kekuatan padaku. Sebelum dia berpamitan untuk kembali ke Belanda lagi.
Bahagia karena semua putra dan putri Papa bisa menerima kami. Juga keluarga mereka yang lain.
????????????
Takdir.
Sebuah rahasia yang Allah simpan untuk hamba-Nya di dunia. Ketentuan yang Dia berikan untuk semuanya. Kesedihan, kebahagiaan, dan cobaan adalah untuk menempa hidup kami.
Bahagia, boleh saja merayakannya, tetapi mengingat hidup yang hanya sementara. Menyadarkanku betapa berharganya menikmati hidup.
Sebulan setelah kepulangan Erick, kondisi Papa di rumah sakit menurun. Hanya doa, dan kepasrahan yang aku lakukan. Menyerahkan pengobatan terbaik pada dokter.
“Ibu, kami memang dokter, tetapi kami juga hanya manusia biasa. Jadi banyaklah berdoa, berharaplah hanya kepada Allah semata. Kami di sini akan tetap berusaha yang terbaik,” ucap Dokter.
“”Usahakan yang terbaik, Dok.”
“Iya, Ibu yang sabar. Kami akan berusaha yang terbaik. Ibu juga dukung kami dengan doa terbaik.”
Senja menyimpan segala gundah kara di antara hamparan langit. Dan mentari yang mulai menutup dirinya, ketika gelap memeluknya mesra.
Langit dengan cahaya keemasan, kini melebarkan sayapnya membawa hari kepada malam dengan gemintang yang berpendar memenuhi cakrawala.
Ribuan meteor saling berkejaran menghujani langit. Tak mampu membendung duka lara yang sudah kusembunyikan.
“Ma, lihat ada Papaku, Oma dan Opa, mereka datang kemari. Mereka semua tersenyum, Ma. Papa rindu mereka.”
Aku hanya bisa menahan tangis. Menahan sekuat mungkin, di sisa nafas Papa. Diri ini masih mengharapkan dirinya kembali bersama kami.
Tetapi Allah berkehendak lain.
Kamis, 9 September 2014. Papa mengembuskan nafasnya yang terakhir. Papa, menghadap Yang Kuasa tanpa menungguku lagi. Kami tidak akan mungkin lagi bersama di sini.
Aku tak kuasa membendung air mata ini mengalir. “Maaf, Papa, Mama akan berusaha untuk ikhlas, agar Papa tenang di sana. Tolong, tunggu Mama di sana. Tunggu kami semua.”
Badanku berguncang, bahkan bisa kudengar suara tangisku sendiri. Samar uara Salwa menggema di telingaku.
“MAMA, MA, MAMA bangun, Ma. Kenapa Mama nangis?” ucap Salwa memelukku erat.
“Ingat, Ma. Papa sudah tenang di sana. Ini sudah sembilan tahun yang lalu.”