Cahaya Cinta di Balik Duka
Sinopsis
Tags :
#Perjalan hidup #Keikhlasan #Kesetiaan #Susah move on
-Sarapan Kata KMO Club Batch 41
-Kelompok 19
-Jumlah kata 963
-Sarkat Jadi Buku
Mentari pagi menyapa melalui belaian warna keemasannya. Perlahan mengusir rasa beku yang setia memeluk jiwa. Suara gaduh dari dapur mulai mengusik lelapnya raga yang masih nyaman dalam mimpinya. Perlahan tertarik dan terbawa ke alam nyata, meninggalkan segelintir asa yang terlukis indah bagaikan bianglala.
Mata gadis itu perlahan mulai terbuka, melirik penunjuk waktu yang menempel pada dinding warna putih kusam. Seketika matanya terbelalak menatap jam menunjukkan pukul lima kurang limabelas menit.
Nayara langsung turun dari tempat tidur dan berlari menuju dapur di mana bunda sudah sibuk dengan kegiatan rutinnya.
“Kenapa Bunda nggak bangunin Naya, sih!” Nayara berlalu mengambil air wudhu di kamar mandi.
“Bunda udah bangunin kamu dari tadi. Kamu aja yang tidurnya kayak kebo!” tegas Bunda.
“Ish, Bunda! Masak aku disamakan kebo,” gerutu Nayara.
“Lagian salah sendiri semalam begadang! Udah buruan salat Subuh dulu!” perintah Bunda. Naya segera masuk ke kamar dan menjalankan kewajibannya.
“Bun, maaf Naya nggak bantu di dapur. Naya belum nyiapin alat buat praktek pagi ini!” teriak Naya.
“Iya, lagian ini sudah hampir selesai, kok. Buruan mandi terus sarapan!” perintah Bunda.
Sedang di kamar sebelah, seorang gadis cantik masih bergelung dalam selimut menikmati dinginnya angin yang berhembus melalui celah kecil di atas jendela kamarnya. Naresh masih enggan untuk beranjak dari peraduaannya. Bahkan dia semakin merapatkan selimut dalam pelukannya.
“Naresh, bangun sudah siang! Nanti kamu terlambat!” perintah Bunda.
“Bentar lagi, Bun. Masih ngantuk,” gumam Naresh.
“Mbakmu kesiangan kalau harus nunggu kamu, cepat bangun!” tekan Bunda.
“Naresh di antar ayah saja, biar mbak Nay naik angkot sendiri!” rajuk Naresh.
***
Naya berdiri menunggu angkot di halte bis, berkali-kali ia melihat jam di pergelangan tangannya. Sudah jam enam lewat lima menit belum ada angkot yang lewat. Naya makin panik karena praktik dimulai tepat pukul setengah tujuh.
Dari kejauhan terlihat sosok yang tidak asing mulai menepikan motor dan berhenti tepat di depan Naya.
“Ayo, bareng aku! Jangan sampai terlambat gara-gara angkotnya lama,” ajak Axel sambil mengulurkan helm.
“Kok, udah bawa helm?” tanya Naya.
“Aku udah tahu pasti kamu nggak bawa, jadi aku selalu bawa ini,” tunjuk Axel ke arah helmnya.
Saat ini Naya masih duduk di kelas tiga Sekolah Menengah Farmasi di kotanya. Sedangkan Axel adalah mahasiswa semester dua jurusan informatika. Kampus Axel yang searah dengan sekolah Naya, membuat mereka sering berangkat bersama.
Persahabatan mereka sejak kecil menumbuhkan rasa saling peduli. Axel rela berangkat lebih awal dari jam kuliahnya semata hanya karena ingin mengantar Naya ke sekolah.
“Xel, bisa cepetan dikit, nggak! Takut telat, nih,” tanya Naya ketika merasa laju motor Axel tidak sewajarnya.
“Nggak usah takut, aku mau tanggung jawab, kok!” canda Axel tersenyum menampakkan deretan gigi putihnya.
“Apaan, sih!” protes Naya menepuk pundak Axel.
Mereka terkekeh, sebegitu dekatnya hubungan mereka tanpa ada kejelasan. Yang mereka rasakan hanyalah nyaman ketika berdekatan dan bahagia ketika bersama. Axel selalu mendengarkan keluh kesah Naya sejak masih Sekolah Menengah Pertama yang selalu dinomorduakan oleh ayah bundanya.
Di saat seperti itu, ingatan Naya kembali pada masa lalunya bersama dengan Axel. Kenangan akan kebaikan Axel kepada dirinya.
Waktu itu Naya kelas dua Sekolah Menengah Pertama. Dia meminta kepada Galih-ayah Naya untuk membelikan sepatu warna hitam karena Naya akan mengikuti lomba baris-berbaris, tetapi ayahnya menolak dengan alasan tidak ada uang. Pada saat yang bersamaan Naresh minta dibelikan jaket model terbaru seperti yang teman-temannya pakai. Naya kecewa dan sedih, tetapi dia tidak dapat mengungkapkan kekecewaannya.
Axel yang kebetulan lewat di samping rumah, melihat Naya menangis sendirian. Axel menghampiri dan duduk di sampingnya.
“Dih, nangis, kayak anak kecil aja,” ledek Axel.
“Siapa yang nangis?” elak Naya.
“Itu air mata, hidung merah, mata bengkak apa coba kalau bukan nangis?” tunjuk Axel ke arah hidung mancung milik Naya. Naya yang tidak bisa mengelak berusaha untuk menahan air matanya.
“Kenapa? Masalah lagi sama Naresh?” tebak Axel. Meski Naya tidak mengiyakan, tetapi dari sorot matanya Axel tahu jawabannya.
“Ada apa? Cerita saja, mungkin aku bisa bantu,” tawar Axel.
“Aku besok ikut lomba, sepatu hitamku rusak. Ayah nggak mau beliin, tapi malah beli jaket buat Naresh.” Naya mengusap air matanya.
“Kapan lombanya?” tanya Axel.
“Besok pagi,” jawab Naya singkat.
“Ayo, keluar bentar! Kita pinjam sepatu teman aku,” ajak Axel. “Emang ada yang mau minjemin? Besok ‘kan Senin, pasti sepatu hitam juga dipakai mereka buat upacara,” lirih Naya.
“Yang penting berusaha dulu, ayo!” perintah Axel. Mereka pergi menggunakan sepeda menuju ruko yang tidak jauh dari rumah. Axel berhenti di depan toko sepatu.
“Yuk, turun!” perintah Axel.
“Kok di sini?” tanya Naya.
“Iya, teman aku ada di sini,” jelas Axel. Tanpa curiga sedikit pun Naya mengikuti Axel masuk ke dalam.
“Hai, Xel! Tumben ke sini, ada apa?” tanya Ridwan teman sekelasnya sekaligus putra pemilik toko sepatu tersebut.
“Nyari sepatu, lah! masak nyari kelereng,” kekeh Axel membuat Ridwan tertawa.
“Bukannya kemarin barusan beli?” tanya Ridwan.
“Bukan buat aku, tapi buat Naya,” terang Axel. Ridwan hanya ber-o saja mendengar penjelasan Axel. Sedangkan Naya terkejut karena Axel akan membelikan sepatu untuknya.
“Nggak usah beli, Xel. Kan, tadi bilangnya mau nyari pinjeman,” tolak Naya.
“Ya, ini pijemnya di sini.” Axel tersenyum menuju rak sepatu wanita berwarna hitam.
“Axel, nggak usah bercanda, deh!” sungut Naya.
“Aku serius. Udah sini pilih sesuai ukuranmu, yang penting besok dalam lomba kamu tidak malu sama teman-teman.” Axel mengacak puncak kepala Naya.
***
Keesokan harinya, Naya mengikuti lomba dengan memakai sepatu baru pemberian Axel. Pulang dengan membawa kemenangan yang tentu membuat Axel dan sekolahnya bangga. Meski tidak ada satu pun ucapan selamat dari ayah bundanya, Naya tetap semangat untuk selalu berprestasi.
Bagi Naya sudah hal biasa mendapat perlakuan seperti itu jadi dia tidak pernah berharap untuk mendapat pujian dari ayah dan bunda. Iri kadang mengusik relung hatinya saat melihat Naresh dipuji hanya karena mendapat nilai tujuh. Sedangkan nilainya yang jauh lebih baik tidak pernah membuat ayah bunda memujinya.
***
Lamunan Naya berakhir ketika motor Axel berhenti di gerbang sekolahnya. Dia segera turun dan masuk menuju laboratorium kimia.
***
Bersambung besok, ya. Selamat membaca.








-Sarapan Kata KMO Club Batch 41
-Kelompok 19
-Jumlah Kata 680
-Sarkat Jadi Buku
Semenjak kecil Naya dekat dengan keluarga Axel. Naya sering dititipkan pada keluarga Axel ketika Ratna sibuk mengerjakan pesanan kue. Hal tersebut membuat Naya dan Axel yang hanya terpaut satu tahun menjadi dekat.
Memorinya mengajak Naya kembali ke masa lalu ketika masih berumur tujuh tahun. Naya ingat betul dia ingin mengunjungi neneknya ketika lebaran. Teman sepermainannya sering bercerita tentang liburan mereka di rumah nenek. Sedangkan Naya sama sekali tidak pernah mengenal sosok seorang nenek. Hingga hari itu, keluarga Satrio-papa Axel, mengajak Naya mengunjungi orang tuanya yang berada di kampung sekaligus mengecek peternakan sapinya.
“Axel, ayo buruan! Papa udah nunggu.” teriak Dini-mamanya Axel, menuntun tangan kecil Naya menuju mobil.
“Iya, Ma! Axel ambil bola sebentar,” jawab Axel kecil. Axel, Aries dan Naya duduk di kursi belakang. Mereka tidak bosan bercanda selama dalam perjalanan.
“Nay, di rumah nenek ada kebun bunga, lho!” cerita Aries.
“Ada kolam ikan juga, nanti bisa mancing di sana,” imbuh Axel.
“Wah, bunganya pasti cantik, ya, Kak?” tanya Naya kepada Aries-kakak Axel.
“Iya, cantik seperti Naya kalau tersenyum,“ jawab Aries yang suka menjahili Naya.
“Naya suka bunga apa?” tanya Axel.
“Matahari,” jawab Naya dengan mata berbinar.
“Ma, di kebun nenek ada bunga mataharinya,kan?” tanya Axel.
“Ada, nanti Naya kita ajak ke kebun bunga matahari ya!” sahut Dini.
“Hore! Beneran, Tan?” tanya Naya bahagia.
“Iya, nanti aku antar ke kebun bunga matahati,” jawab Axel sambil membuka keripik singkongnya.
***
Sesampainya mereka di rumah nenek, Aries segera berlari menuju kolam ikan bersama Satrio. Sementara Dini berkumpul bersama keluarga, Axel mengajak Naya ke kebun bunga matahari di samping rumah. Mereka berlarian dan tertawa riang. Masa kecil yang akan selalu mereka ingat hingga dewasa. Bahkan kenangan ini yang akan mempertemukan mereka kembali.
“Cantik banget bunganya!” Naya berlarian mengitari bunga-bunga yang ada di taman.
“Nay, hati-hati nanti jat-”
Brug!
Belum selesai Axel berteriak Naya sudah terjatuh lebih dulu. Axel pun berlari menghampiri Naya.
“Mana yang sakit?” tanya Axel khawatir.
“Tangan aku.” Naya mulai menangis.
“Udah jangan nangis, nanti cantiknya hilang. Kalau nangis mataharinya nggak bersinar, jadinya gelap, dong!” Axel mengulurkan kembang kertas berwarna kuning untuk menghibur Naya.
“Bunga mataharinya kok kecil?” Naya menghapus air matanya.
“Ini bunga kertas, meskipun kecil tapi tak kalah cantik dari bunga matahari. Bunga kertas ini ibarat Naya waktu masih kecil dan bunga matahari itu adalah Naya ketika udah gede,” hibur Axel untuk mengalihkan rasa perih pada luka Naya.
“Naya akan selalu bersinar hingga malam tiba karena Naya adalah mataharinya Axel,” imbuh Axel. Naya hanya diam mendengarkan Axel yang sedang membersihkan bajunya yang kotor.
***
Naya dan Axel kembali ke rumah nenek dan bergabung bersama Dini di dapur yang sedang meracik bumbu ikan bakar.
“Ma, Naya jatuh. Tangannya sakit!” teriak Axel menuntun tangan Naya.
“Jatuh! Kok, bisa? Sini mama obatin dulu biar nggak infeksi!” Dini menghampiri Naya dan melihat luka di tangan Naya.
“Oh, cuma sedikit, nggak papa sebentar lagi juga sembuh,” hibur Dini.
Setelah mengobati luka Naya, mereka ke halaman samping untuk bergabung dengan yang lain.
“Naya makan dulu sama nenek, ya! Ini ikan bakarnya sudah matang.” Nenek mengambil nasi dan ikan bakar untuk Naya.
“Iya, Nek,” jawab Naya.
“Kalau udah besar Naya pengen jadi apa?” tanya nenek mengelus rambut Naya penuh rasa sayang.
“Naya ingin membuat orang lain bahagia, Nek. Axel bilang Naya adalah mataharinya Axel yang harus membuat orang lain bahagia,” jawab Naya polos. Mendengar hal itu tentu membuat nenek dan Dini tersenyum.
“Naya anak baik, semoga Naya juga bahagia ya,” harap Nenek.
***
Kenangan masa kecil yang indah selalu menemani hari-harinya. Betapa beruntungnya Naya akan perhatian yang dia dapatkan dari keluarga Axel. Perhatian yang bahkan tidak dia dapatkan dari orang tuanya.
Matahariku …
Sejauh jarak rinduku
Sedalam rasa cintaku
Hanya kamu pembawa pesan bahagiaku
Hingga mereka dewasa, rasa yang telah tumbuh dalam hati berkembang tanpa cela. Tanpa disadari, benih-benih cinta semakin indah bersemayam dalam hati mereka. Meskipun tak pernah mereka ungkapkan melalui kata, hanya bahasa tubuh yang berbicara. Bagi Axel, melihat senyum Naya merupakan suatu kebahagiaan. Senyum yang selama ini membuat hatinya berkali-kali terjatuh tanpa bisa ditolong. Senyum yang selama ini terpatri dalam ingatannya.
Bersambung.

-Sarapan Kata KMO Club Batch 41
-Kelompok 19 -Jumlah kata 982
-Sarkat Jadi Buku
Tanpa terasa waktu bergulir begitu cepat, Naya sudah melewati berbagai rangkaian ujian mulai dari ujian tertulis hingga ujian praktik. Akhirnya, sampailah pada acara wisuda kelulusan. Pagi itu Naya sudah berada di salon langganan Dini untuk dirias. Memakai kebaya sederhana namun elegan sesuai dengan pilihan Dini. Sedangkan Axel menjemput kedua orang tua Naya, dan menuju ke salon tempat di mana Naya dirias.
Sesampai di salon, Axel tercengang melihat penampilan Naya. Gadis itu memakai kebaya warna peach membuat aura kecantikannya semakin terpancar. Hightheels hitam yang kemarin mereka beli sangat mendukung penampilan Naya hari ini.
“Buruan antar ke gedung! Kok malah bengong?” goda Dini membuat Axel tersipu malu saat ketahuan menatap Naya penuh kekaguman.
“Axel sungguh nggak nyangka, Ma. Ini beneran Naya yang kemarin masih ingusan?” goda Axel membuat Naya cemberut.
“Meski ingusan tapi kamu suka, kan?” telak Dini. Tentu saja hal tersebut membuat Axel dan Naya kelimpungan salah tingkah.
“Ayo Nay, buruan nanti terlambat!” Dini segera menuntun Naya menuju mobil Axel. Ayah dan bunda yang duduk di dalam mobil pun ikut kagum melihat kecantikan putri mereka yang selama ini tidak pernah mereka perhatikan.
“Makasih mbak, Din! Kalau nggak ada mbak Dini mana mungkin Naya bisa berada di sini,” lirih bunda dengan mata berkaca-kaca. Pasalnya dia merasa tidak mampu membuat Naya seperti sekarang dan merasa menjadi orang tua yang tidak tidak berguna.
“Sama-sama dik Ratna, aku ikut bahagia Naya bisa tampil seperti teman-temannya. Sudah buruan nanti terlambat!” perintah Dini.
“Nanti kalau acara hampir selesai, kabarin Mama, ya! Mama nyusul sama Papa,” perintah Dini pada Axel sebelum Axel melajukan mobilnya.
“Siap, Ma! Kita pergi dulu, ya. Assalamualaikum.” Axel segera menuju ke gedung tempat berlangsungnya acara wisuda.
***
Menjelang siang, Axel memberi kabar kepada Dini jika acara sebentar lagi selesai. Tidak lama kemudian, kedua orang tua Axel sudah berada di area parkir bersama Naresh. Mereka membawa buket bunga dengan boneka beruang di dalamnya. Dini paham betul akan selera Naya yang sangat menyukai boneka beruang. Prosesi wisuda akhirnya selesai. Naya dan kedua orang tuanya keluar disambut pelukan hangat dari Dini.
“Selamat, ya, Nay! Semoga ilmunya bermanfaat.” Dini mengulurkan buket bunga yang dia bawa.
“Terima kasih, Tan!” lirih Naya haru membalas pelukan Dini.
“Selamat Nay! Om ikut bahagia.” Satrio mengulurkan bingkisan kecil dari saku jasnya.
“Terima kasih, Om! Kok, jadi repot-repot,” sambut Naya tak lupa mencium punggung tangan Satrio.
“Enggak repot, kok! Ini special buat putri kecil Om yang sekarang sudah dewasa,” imbuh Satrio membuat hati Naya menghangat.
Dibalik kebahagiaan tersebut, ada hati seorang gadis yang bergejolak. Naresh, dia merasa iri akan perhatian yang diperoleh kakaknya dari keluarga Axel. Namun hari ini dia harus menepis perasaannya di depan semua orang.
“Selamat ya, Kak! Semoga impian Kakak segera terwujud.” Naresh memeluk Naya dengan senyum palsunya.
“Selamat Nay, ini buat kamu!” Axel mengulurkan buket yang tidak terlalu besar namun elegan.
“Makasih, sobat kecilku!” jawab Naya dengan senyum kebahagiaan. Mereka kemudian melakukan foto bersama di taman untuk mengabadikan kenangan itu.
“Ayo, kita makan siang bareng! Anggap saja syukuran buat Naya,” ajak Dini penuh semangat.
“Ma, aku sama Naya nggak ikut, ya. Biasa, urusan anak muda,” pinta Axel mengedipkan matanya.
“Dasar bocah!” cibir Satrio sambil tertawa.
“Ya, sudah, biarkan mereka berdua. Kita semua makan dulu, yuk!” ajak Dini. Akhirnya mereka berpisah. Naya masuk ke mobil Axel, sementara Galih, Ratna dan Naresh ikut mobil Satrio menuju rumah makan. Axel melajukan mobilnya keluar dari area parkir menuju ke sebuah tempat.
***
“Kamu tahu nggak? Yang aku impikan dari dulu adalah membawa ayah bunda di acara wisuda aku. Aku ingin sekali membuat mereka bangga. Meskipun tak ada hadiah atau karangan bunga dari mereka, tapi aku benar-benar bahagia melihat senyum mereka,” terang Naya menatap ke arah jalan dengan mata berkaca-kaca.
“Selama ini aku hanya ingin sekali saja mereka bangga sama aku. Sekali saja mereka memandang aku sebagai seorang anak yang kadang butuh sanjungan,” imbuh Naya tanpa bisa menahan bulir-bulir kristal hangat itu mengalir membasahi pipinya.
“Sudah jangan nangis! Nanti bedaknya luntur jadi kayak badut,” canda Axel menghibur Naya.
Akhirnya mereka tiba di sebuah cafe bertema alam di kawasan lereng gunung. Suasana yang asri dan sejuk serta pemandangan khas pegunungan yang memanjakan mata, membuat hati Naya kembali membaik. Mereka turun melewati taman bunga yang tersusun rapi. Karena bukan hari libur, di jam makan siang seperti ini cafe tidak terlalu ramai. Setelah memesan makanan dan minuman di meja order, mereka mencari tempat duduk di atas agar lebih bebas menikmati pemandangan. Sambil menunggu pesanan datang, Axel menata hatinya untuk mengungkapkan perasaan yang selama ini terpendam. Segera dia merogoh saku jaketnya dan mengambil sebuah kotak persegi berwarna merah.
“Sekali lagi selamat, ya, Nay! Kamu hebat bisa melalui semuanya hingga berada di titik ini.” Axel mengambil napas dalam seakan pasokan oksigen di paru-parunya benar-benar habis.
“Ini hadiah kecil dari aku, mewakili perasaan aku ke kamu. Bukalah!” Axel menyodorkan kotak beludru warna merah tersebut. Naya menerima dan segera membuka kotak tersebut. Seketika mata Naya membulat melihat isi dalam kotak itu. Tak lama pandangannya berkabut, bening-bening kristal itu mulai terasa di pipinya. Dia tak bisa berkata apa-apa, dadanya terasa sesak akibat rasa haru yang dia tahan.
“Aku sayang kamu, semenjak kita berada di taman bunga matahari. Aku ingin melindungi kamu dan ingin menjadi seseorang yang selalu kamu rindukan,” ungkap Axel.
“Kalung bunga matahari ini adalah harapan aku, semoga kamu seperti bunga matahari yang selalu membawa kebahagiaan buat orang lain,” imbuh Axel.
Naya hanya bisa menatap mata Axel, darahnya mendesir menghangatkan hatinya. Tidak ada sedikit pun dia temukan kebohongan di sana. Naya bahagia, ternyata perasaannya selama ini bersambut. Namun dia bimbang, dia merasa tidak pantas bersanding dengan Axel. Akankah Naya menerima cinta Axel? Ataukah dia menolak dan lebih memilih memendam rasa dalam diamnya? Pikirannya terusik ketika pramusaji datang membawa pesanan mereka dan menatanya di atas meja.
“Silakan, Kak! Selamat menikmati,” ucap pramusaji dengan ramah.
“Terima kasih.” Axel tersenyum menampakkan deretan gigi putihnya.
“Ayo, makan dulu, Nay! Kamu pasti lapar sejak pagi belum sarapan, kan?” Axel mengulurkan sendok ke arah Naya. Mereka menikmati makan siang dalam keheningan.
***
Seandainya kamu jadi Naya, apa yang akan kamu lakukan? Cinta Axel sebaiknya di terima apa tidak?
Kita tunggu Naya berpikir dulu, ya. Kita ketemu lagi besok pagi. Terima kasih.

-Sarapan Kata KMO Batch 41
-Kelompok 19
-Jumlah kata 654
-Sarkat Jadi Buku
Malam harinya Naya tidak dapat memejamkan mata dengan cepat. Jatuh cinta mendadak menjadikan dia terkena insomnia. Dia tersenyum teringat kejadian tadi siang di café waktu Axel memakaikan kalung bunga matahari di lehernya. Tiba-tiba notifikasi ponselnya berbunyi. Naya melihat nama Axel dan segera membukanya.
“Cepat tidur biar besok tidak kesiangan! Nggak lucu’kan kalau pegawai baru datang terlambat?” Axel tak lupa meyertakan emoticon lidah menjulur sambil tersenyum.
“Iya, ini mau tidur. Selamat malam!” balas Naya tak lupa membalas dengan emoticon hatinya. Setelah kelulusan, Naya tidak melanjutkan kuliah dan lebih memilih mencari pekejaan karena Naya harus membantu perekonomian keluarga. Lagi pula waktu itu bersamaan dengan Naresh yang akan memasuki Sekolah Menengah Umum.
***
Tidak terasa enam bulan sudah berlalu. Selama itu hubungan Naya dan Axel baik-baik saja. Axel selalu menjemput Naya ketika dia mendapat shift sore.
“Nay, udah dijemput babang ganteng!” teriak Siska rekan kerjanya.
“Siap, Mbak! Makasih, aku duluan, ya!” jawab Naya.
“Hati-hati! Jangan sampai bang ganteng direbut orang,” bisik Siska membuat mereka tertawa. Axel mengulurkan helm begitu Naya tiba di depannya.
“Beli martabak dulu, ya. Mama minta di beliin.” Axel menyelah motornya.
“Siap, Bos!” jawab Naya.
Pegangan yang kenceng biar nggak jatuh. Cukup aku yang jatuh cinta kepadamu.” Axel melajukan motornya perlahan
Kalau ada orang lain yang jatuh cinta sama aku, gimana?” goda Naya.
“Nggak boleh! Karena Naya hanya milik aku,” tegas Axel.
“Naya masih milik ayah bunda, lho!” seloroh Naya.
“Ya, udah besok aku minta papa ngelamar kamu,” rajuk Axel. Mereka pun tertawa. Tanpa terasa mereka sudah sampai di kios penjual martabak. “Bang, coklat kacang dua, yang biasa juga dua, ya!” pinta Axel.
“Siap, Bos! Mohon ditunggu, ya,” jawab abang penjualnya ramah.
“Gimana di apotek? Ramai?” tanya Axel.
“Iya, banyak anak sakit panas, jadi resepnya puyeran terus dari tadi sore sampai pegel nih kaki,” keluh Naya.
“Alhamdulillah, dong! Jadi nggak banyak nganggur di sana,” sahut Axel.
“Iya, juga,sih! Sampai nggak terasa kalau kamu tiba-tiba aja udah ada di depan,” lanjut Naya.
“Pesenannya udah jadi, Bang!” teriak abang penjual martabak setelah beberapa waktu berlalu.
Setelah memberikan beberapa lembar uang kertas, mereka pun berlalu. Angin malam yang dingin setia menemani cerita cinta mereka. Mengukir syair-syair indah dalam relung hati yang membuncah. Kebahagiaan yang membersamai mereka serasa ‘tak ‘kan pernah sirna. Menggenggam impian, berpeluk harapan akan keabadian.
***
“Nay, laporan gudang mana?” tanya Dewi, penanggung jawab di apotek tempat Naya berkerja.
“Ini, Mbak.” Naya menyerahkan buku catatan barang habis dari gudang.
“Oya, Nay! Barang yang mau diretur sudah kamu siapkan?” tanya Dewi lagi.
“Sudah aku siapkan bersama copi fakturnya,” terang Naya.
“Cakep! Senang aku kerja sama kamu, Nay. Cepet tanggap,” puji Dewi membuat mereka tertawa.
Hari Senin adalah hari yang sungguh melelahkan bagi Naya. Bagaimana tidak? Hari Senin Naya bertugas di gudang. Naya sibuk dengan barang datang yang harus dicek satu per satu. Belum lagi menata di rak sesuai dengan fungsi dan urutan abjad. Semua itu Naya lakukan sendiri karena Siska juga sibuk di pelayanan. Tidak terasa waktu menunjukkan pukul dua belas siang.
“Nay, istirahat dulu. Lanjut nanti setelah makan siang!,” perintah Dewi.
“Siap, Mbak!” Naya menghampiri Siska yang baru saja selesai meracik obat.
“Mbak Siska bawa bekal apa mau delivery, nih?” tanya Naya.
“Delivery sekalian aja, Nay! Aku tadi nggak sempat bawa bekal,” jawab Siska sambil merapikan mejanya.
Sambil menunggu pesanan mereka, Naya berselancar di media sosialnya. Tidak lupa dia menyapa Axel hanya sekedar mengingatkan jam makan siangnya.
Jangan lupa makan siang, karena merindukanku juga butuh tenaga yang banyak._ Naya.
Jangan terlalu capek, karena memikirkanku akan lebih menguras pikiran._Axel.
Naya tersenyum membaca balasan Axel. Hal sepele seperti itu yang membuat hubungan mereka hangat, tentu yang utama adalah menjaga kepercayaan.
“Udah senyum-senyumnya sambung nanti. Nih makan dulu, ntar keburu pingsan,” goda Siska mengulurkan makanan yang dia pesan tadi. Mereka pun makan bergantian, supaya tetap ada yang melayani pasien.
Siang ini Naya pulang sendiri dengan motor matic-nya yang dia beli dengan uang tabungannya. Naya tidak ingin selamanya merepotkan Axel, karena makin ke sini kegiatan Axel juga makin banyak.
***
Author : Mereka romantis banget, ya?
Readers : Aku juga pengen, Thor.
Author : Pulang sana, mandi dulu!
Readers : Apa hubungannya, Thor?
Author : Sinyalku hilang gara-gara kamu bau acem.
Tiba-tiba authornya kabur, kita ketemu lagi besok pagi, ya. Terima kasih.

-Sarapan Kata KMO Club Batch 41
-Kelompok 19
-Jumlah kata 1131
-Sarkat Jadi Buku
Tiga tahun telah berlalu semenjak kelulusan Naya. Kini Naresh duduk di kelas tiga Sekolah Menengah Umum. Sifat manja dan egoisnya tidak pernah berubah. Bahkan dia tumbuh menjadi gadis yang susah diatur. Hal itu bertolak belakang dengan Naya. Tiap hari Naresh menghabiskan waktu dengan kegiatan yang tidak bermanfaat bersama teman-temannya. Orang tua mereka seakan tidak sanggup lagi untuk sekedar memberi masukan. Apapun yang orang tuanya katakan selalu salah di mata Naresh. Sedangkan Naya sudah tidak sanggup menasehati adiknya karena hanya akan berakhir dengan pertengkaran dan kata-kata menyakitkan yang terlontar dari mulut Naresh.
***
Setelah ujian selesai, Naresh dan teman-temannya datang ke sekolah dan duduk di taman. Mereka bersantai karena sudah tidak ada kegiatan belajar mengajar.
“Nanti malam jadi kan kita party di tempat biasa?” tanya Laras.
“Jadi, dong!” jawab Putra.
“Lo ikut kan, Vin?” tanya Rian menatap Ervin yang sedari tadi diam saja.
“Iya,” jawab Ervin singkat.
“Ngapain, lo, mukanya ditekuk gitu?” tanya Rian melihat sikap Ervin yang tidak seperti biasanya.
“Sange, lo?” goda Rian.
“Ck!” decak Ervin berlalu meninggalkan mereka.
“Ervin ngapain, sih? Aku lihat akhir-akhir ini dia aneh banget,” keluh Rian.
“Iya, ada apa, ya? Resh, lu kan ceweknya. Tahu, dong, kenapa Ervin begitu?” tebak Putra.
“Eh, apa? Gue nggak tahu, Ervin juga nggak cerita ke gue,” jawab Naresh gelagapan.
“Gue curiga pasti ada sesuatu yang nggak beres sama Ervin. Lo nanti malam ikut party, kan?” tanya Rian pada Naresh.
“Ikut, lah! Belum tentu besok kita bisa party lagi, kan?” Naresh membuka air mineral dan meminumnya.
***
Sementara di tempat lain, Naya bersama rekan-rekan apotek sedang dalam perjalanan menuju pantai Slili Gunung Kidul Yogyakarta. Mereka berencana menginap tiga hari di pantai Slili, sejenak melepas penat setelah sekian lama berkutat dengan obat dan laporan. Hal seperti ini sudah menjadi agenda rutin dalam daftar kegiatan di apotek Aulia. Dan ini kali ketiga Naya mengikuti kegiatan serupa.
“Nay, nanti kita sekamar, ya! Aku nggak mau sekamar dengan mbak Dewi. Nggak asyik,” bisik Siska.
“Emang kenapa?” tanya Naya.
“Kalau tidur suka ngorok, brisik,” bisik Siska membuat keduanya tertawa.
Minibus mulai memasuki jalan menanjak dan berkelok melewati bukit bintang yang masih sepi. Empat jam perjalanan mereka lalui, pukul sebelas siang mereka tiba di pantai Slili. Mereka menuju homestay yang sudah dipesan sebulan yang lalu. Tempatnya tak jauh dari pantai, hingga suara ombak yang terdengar terasa menenangkan jiwa. Tidak sabar ingin segera bermain air laut, Naya dan Siska segera mendekat ke pantai yang berpasir putih. Udara panas tidak lagi mereka hiraukan, mereka hanya fokus pada air laut. Seperti anak kecil yang menemukan mainan baru, mereka bermain sampai lupa waktu. Hingga cacing dalam perut mereka bergejolak, mereka baru menepi dan kembali ke homestay.
***
Sore hari mereka menanti sunset di pantai sambil berfoto. Beda dengan Siska yang langsung mengunggah ke akun instagramnya, Naya lebih memilih menyimpan dalam galeri ponselnya. Naya bukanlah orang yang se-pede itu untuk menampilkan dirinya di sosial media. Dia hanyalah pengguna pasif. Pukul sepuluh malam Naya dan Siska duduk di teras homestay sambil menikmati sosis dan kentang goreng. Tiba-tiba ponselnya bergetar, nama Naresh muncul begitu Naya menggeser kunci ponselnya. Seketika alisnya berkerut, tidak biasanya Naresh menghubungi Naya.
“Mbak, aku pusing nggak enak badan. Bisa minta tolong mas Axel buat jemput aku nggak, ya? Aku nggak bawa motor,” tanya Naresh dalam roomchatnya.
“Kamu kan bisa menghubungi sendiri," jawab Naya.
“Kalau aku punya kontaknya sudah aku hubungi, Mbak. Masalahnya aku nggak nyimpen kontaknya,” jelas Naresh.
“Bentar, Mbak coba hubungi Axel.” Naya pun segera menghubungi Axel .
“Malam, Xel! Lagi sibuk nggak?” tanya Naya.
“Enggak, barusan bikin laporan tugas baru aja kelar. Gimana liburannya?” Axel balik tanya.
“Menyenangkan, dong! Tapi akan lebih menyenangkan seandainya kamu ada di sini,” jawab Naya membuat Axel tersenyum.
“Mau minta tolong, nih! Naresh barusan ngabarin dia nggak enak badan dan minta dijemput,” imbuh Naya.
“Lho! Emang jam segini Naresh nggak di rumah?” tanya Axel terkejut.
“Tadi bunda cerita kalau Naresh ada acara perpisahan sama temennya gitu,” terang Naya.
“Ya, udah kirim alamatnya,” tukas Axel. Setelah Naya mendapatkan shareloc dari Naresh, dia segera meneruskannya ke Axel.
***
Axel tiba di sebuah tempat sesuai petunjuk yang diberikan google maps. Sejenak Axel berpikir tempat apa ini. Selama ini Axel tidak pernah tahu tempat seperti ini. Dia masuk ke ruangan itu dan melihat Naresh duduk bersandar bersama kedua teman ceweknya. Melihat Axel datang, Naresh segera bangkit.
“Aku ke toilet dulu, Mas.” Naresh berlalu memegangi keningnya. Laras yang tadi mengantar Naresh datang membawa segelas lemon tea dan mengulurkannya kepada Axel.
“Diminum dulu, Kak!” perintah Laras dengan sopan.
“Kalian cuma bertiga?” tanya Axel.
“Enggak, tadi banyak, sih! Tapi yang lain udah pulang karena acaranya sudah selesai sejak tadi jam sembilan,” terang Laras. Axel hanya mangggut-manggut mendengar penuturan gadis itu. Dia mengedarkan pandangannya ke tiap sudut ruangan. Lima belas menit berlalu, tetapi Naresh tak kunjung kembali.
“Naresh, kok lama, ya!” gumam Axel.
“Biasa, Kak. Dia kalau di toilet memang lama,” celetuk Reni. Axel mengambil lemon tea dan meminumnya sambil menunggu Nares.
***
Axel merasakan ada sesuatu yang hangat menempel pada tubuhnya. Dia meregangkan tubuh dan merasa kepalanya berat. Perlahan kesadarannya mulai kembali dan betapa terkejutnya dia ketika menyadari dirinya berada di sebuah ruangan yang asing. Lebih terkejut lagi dia berada berada di tempat tidur dan memeluk seorang gadis. Axel tersadar jika dia dalam keadaan tanpa sehelai benang pun yang menempel pada tubuhnya. Begitu pula dengan gadis itu. Meskipun gadis itu memunggunginya, tetapi Axel tadi memeluknya.
“Apa yang terjadi,” batin Axel.
Pikirannya semakin kacau, dia bangkit dan memunguti pakaiannya yang berserakan kemudian segera menuju kamar mandi. Axel hanya ingat semalam dia menunggu Naresh sambil minum lemon tea, selebihnya dia tidak ingat lagi. Keluar dari kamar mandi dia melihat jam menunjukkan pukul setengah empat pagi. Axel terkejut melihat gadis yang dia peluk tadi ternyata Naresh. Axel merasa sangat bersalah meskipun dia tidak ingat apa yang sudah terjadi semalam.
“Mas sudah bangun?” Kalimat Naresh menyadarkannya dari pikiran yang tidak menentu.
“Apa yang terjadi semalam?” Axel tidak beranjak dari kursi yang ada di kamar tersebut.
“Mas Axel lupa?” lirih Naresh dengan air mata yang mulai mengalir di pipinya. Axel masih menatap Naresh bingung. Apalagi melihat Naresh menangis, Axel yakin pasti dia telah berbuat sesuatu yang tidak pantas.
“Semalam mas Axel mabuk, aku tidak bisa membawa Mas pulang. Kebetulan tempat ini juga menyewakan kamar jadi kita bawa Mas ke kamar. Aku semalam pusing banget jadi aku tidur di sini. Tapi …,” Naresh tidak melanjutkan kalimatnya dan air matanya semakin deras.
“Pakai bajumu!” perintah Axel datar tanpa ekspresi sambil mengulurkan handuk yang tersedia.
***
Sekitar pukul enam mereka keluar dari tempat itu. Selama pejalanan tidak ada percakapan di antara mereka. Sesampai di depan rumahnya, Naresh turun dan mengembalikan helm yang dia pakai kepada Axel.
“Terima kasih sudah mau jemput aku, Mas. Maafkan aku semalam tidak bisa menolak keinginan kamu,” lirin Naresh. Tanpa menjawabnya, Axel berlalu menuju rumahnya.
***
Readers : Kok, gini, sih, Thor?
Author : Iya, aku juga nggak ngerti.
Readers : Wah, minta dicium nih Authornya.
Author : Enggak usah repot-repot, author cuma minta didoain aja semoga sehat.
Readers : Lah, emang selama ini nggak sehat, Thor?
Author : Alhamdulillah, sehat. Tapi mendadak kewarasannya berkurang karena mengingatmu.
Readers : Aku kenapa, Thor?
Author : Karena kamu baca tulisan ini belum mandi.
Authornya pamit katanya mau mandi dulu. Sampai jumpa besok pagi, ya!
-Sarapan Kata KMO Club Batch 41
-Kelompok 19
-Jumlah kata 1003
-Sarkat Jadi Buku
Sepulang dari liburannya, Naya merasakan perbedaan sikap Axel yang lebih pendiam dan mulai jarang menyapa melalui ponselnya. Namun Naya tidak berpikiran negative, dia hanya berpikir jika Axel sedang banyak kegiatan. Beberapa minggu tidak bertemu, membuat Naya merasa rindu hingga dia pun mendatangi rumah Axel.
“Pagi, Om. Tante ada?” sapa Naya kepada Satrio yang sedang membaca koran di teras rumahnya.
“Eh, Naya libur, ya? Tante ada di dapur lagi goreng pisang. Sana masuk!” jawab Satrio. Naya pun berlalu menuju ke dapur yang mana sering dia kunjungi dahulu. Sedikit berbasa-basi bersama dini sambil membuat secangkir kopi untuk Satrio adalah hal yang biasa yang mereka lalukan semenjak Naya masih kecil.
“Axel belum bangun, Tan?” tanya Naya heran karena jam segini tidak biasanya Axel masih tidur.
“Axelnya pergi dari tadi pagi, katanya mau olah raga,” terang Dini. “Sarapan dulu Nay, tante masak sayur lodeh!” Dini menata sarapan di atas meja makan.
“Wah, kebetulan Naya belum sarapan, nih!” jawab Naya diiringi tawa renyah seperti biasanya. Axel yang baru saja masuk dan melihat interaksi kedua wanita yang disayangi itu merasa hancur. Axel merasa dirinya telah mengkhianati kepercayaan kedua wanita tersebut.
“Udah pulang, Xel? Ini kopinya mumpung masih panas,” ucap Dini. Axel pun bergabung bersama mereka menikmati sarapan yang terasa hambar. Naya memperhatikan perubahan sikap Axel, kerinduan yang selama ini tersimpan, terpaksa dia pupus kembali.
“Kapan wisudanya, Xel?” tanya Naya setelah mereka selesai sarapan.
“Minggu depan,” jawab Axel singkat.
“Besok kita pakai kebaya couple, ya, Nay! Tante udah nyiapin, lho.” Dini meletakkan pisang goreng di meja dan berlalu menghampiri Satrio di halaman belakang.
Sepeninggal Dini, mereka diam dalam keheningan. Naya paham akan sikap Axel yang seperti itu pasti dia sedang tidak baik-baik saja. Sebenarnya Naya menunggu Axel untuk berbagi cerita. Namun, tidak satu kalimat pun yang terlontar dari mulutnya. Naya merasa jika dirinya datang di waktu yang tidak tepat. Dengan napas berat, Naya pun bangkit dan berlalu membawa gelas bekas minumnya untuk dia cuci. Masih ‘tak ada satu kalimat pun yang keluar dari mulut Axel, dia malah pura-pura sibuk dengan game-nya membuat Naya berniat untuk segera pulang.
“Maafkan aku jika ada salah, Xel! Tapi tolong jangan diamkan aku seperti ini. Tegur aku dan katakan di mana letak kesalahan aku,” Naya berkata dengan mata yang mulai berkabut sebelum dia meninggalkan tempat itu. “Jika kamu merasa bosan dengan hubungan kita, tolong katakan sesuatu. Aku tidak akan menghalangi kebahagiaanmu.” Naya berlalu meninggalkan Axel.
***
Sepeniggal Naya, Axel masuk ke kamarnya dan menangis. Axel sungguh merasa berdosa dan tidak tahu harus mulai berbicara dari mana. Axel merasa jika mataharinya semakin redup akibat perbuatannya. Dia merasa dirinya hancur dan tidak berguna karena keannya. Dia ambil ponselnya, dia pandangi wajah Naya yang cantik dengan segala kepolosannya.
“Maafkan aku telah gagal menjaga huhungan kita.Aku gagal menjaga sikap aku!” lirih Axel meremas rambutnya .“Aku belum siap kehilangan kamu, Nay! Duniaku akan gelap tanpa kamu.” Axel menatap cincin bunga matahari yang sudah lama dia persiapkan untuk melamar Naya setelah wisuda nanti. Namun, sepertinya itu hanyalah impian. Axel tidak akan sanggup melakukannya.
***
Sudah dua minggu Naya tidak pernah datang ke rumah Axel, bahkan saat wisuda pun Naya tidak hadir di acara Axel dengan alasan tidak bisa mengambil cuti. Naya hanya menitipkan bingkisan kecil buat Axel melalui mamanya. Naya juga tidak lagi mengucapkan selamat pagi sebagai ucapan penyemangat. Jarak mereka berdua semakin jauh, ruang hampa dalam dirinya semakin jelas tercipta. Hari-harinya kembali sunyi tanpa senyum Axel yang dulu setiap saat menemaninya. Naya kembali merasakan dirinya yang tidak pantas untuk orang lain. Seketika rasa tidak percaya diri kembali memeluk dirinya.
“Lama nggak lihat babang ganteng, kalian marahan, ya?” goda Siska yang akhir-akhir ini melihat Naya sering melamun.
“Enggak,” jawab Naya sambil tersenyum.
“Kalau nggak marahan lantas apa?” godanya Siska lagi.
“Putus,” jawab Naya sekenanya.
“What! Serius? Tiga tahun kalian pacaran akhirnya putus! Nggak salah denger, nih?” Siska masih tidak percaya. Naya hanya tersenyum menanggapi sahabatnya itu.
“Yang udah nikah aja bisa cerai, Mbak. Apalagi yang cuma pacaran.” Naya berlalu menuju Gudang.
“Nay, tunggu! Lihat ini, deh!” teriak Siska sambil memprlihatkan flyer lowongan pekerjaan di grup komunitasnya. “Jadi tenaga relawan, gajinya gede Nay, dua kali gaji kita di sini, tapi resikonya gede juga, ya. Kita ditempatkan di daerah yang sedang terjangkiti wabah dan resiko tertularnya lebih besar,”cerocos Siska yang mengekori Naya.
“Mbak, kalau mau jadi relawan itu harus ikhlas. Bukan karena gajinya.,” sahut Naya sambil tersenyum.
“Ish, kamu nggak bisa diajak sepemikiran. Sebel!” racau Siska membuat Naya makin tertawa. Tiba-tiba ponsel di saku Naya bergetar, dia segera mengambil dan membukanya.
“Nanti sore sepulang kerja kita ketemu di cafe biasa, ya!” Axel.
“Iya, nanti aku langsung ke sana,” balas Naya.
***
Naya sudah duduk di cafe Kopi Kita sebelum Axel tiba. Dia memesan capucino kesukaannya dan mini blackfores. Sambil menunggu Axel, iseng dia membuka novel yang baru saja datang tadi siang. Membaca novel menjadi hobi baru bagi Naya selama dua minggu teakhir semenjak hubungannya dengan Axel mulai merenggang, Naya lebih sering menghabiskan waktu menjelang tidurnya dengan membaca novel.
“Sudah lama, Nay?” sapa Axel mengagetkan Naya.
“Eh, nggak begitu. Kamu sudah makan?” tanya Naya menatap lekat mata Axel. Kedua pasang mata itu tidak dapat dibohongi menyimpan setumpuk kerinduan. Namun, semua seakan terikat tanpa bisa lepas menuju porosnya.
“Sudah tadi di kampus,” jawab Axel singkat.
“Kamu kurusan, apa kamu sakit?” selidik Naya khawatir.
“Maaf, Nay! Aku mohon mulai saat ini kamu tidak usah memperhatikan aku lagi,” pinta Axel. Seketika hatinya mencelus mendengar jawaban Axel.
“Oh, maaf!” hanya itu kalimat yang mampu Naya ucapkan.
Axel memesan minuman kemudian duduk di hadapan Naya. Seketika keheningan menyelimuti rasa sesak di hati mereka. Naya menunggu Axel mengatakan sesuatu. Naya yakin jika Axel sedang ada masalah dan mungkin saat inilah Axel baru sanggup untuk mengungkapkannya. Setelah menyeruput es kopinya, Axel menarik nafas dalam seakan pasokan oksigen di paru-parunya sudah habis tanpa tersisa.
“Sebelumnya aku mau minta maaf, Nay!” Axel mulai membuka pembicaraannya. Entah mengapa perasaan Naya tidak enak, tetapi dia tetap menunggu kelanjutan kalimat Axel. Naya sudah pasrah apapun yang akan terjadi pasti kehendak Tuhan. Naya hanya memohon untuk diberikan yang tebaik bagi mereka.
***
Reader : Aku sudah wangi, Thor. Jangan bikin aku mandi air mata.
Author : Eh, enggak! Sayang sabunnya kalau harus mandi air mata.
Reader : Jangan bohong, Thor. Aku paling benci kebohongan.
Author : Aku juga tak pernah sanggup untuk membohongimu.
Reader : Yaelah, tumben nyambung, Thor.
Author : Iya, ini mau aku sambungin ke jemuran dulu. Pamit, ya. Ketemu besok pagi harus sudah wangi.






-Sarapan Kata KMO Club Batch 41
-Kelompok 19
-Jumlah kata 1028
-Sarkat Jadi Buku
“Aku minta maaf jika setelah ini ada kejadian yang tidak kamu inginkan, aku mohon jangan benci aku. Aku melakukan ini karena ada alasan yang harus aku pertimbangkan. Sebenarnya aku lelah dan aku tidak tahu harus bagaimana,” terang Axel penuh keputusasaan. “Sebaiknya hubungan kita cukup sampai di sini, Nay!” lirih Axel dengan mata berkaca-kaca.
Naya masih diam, dia terlihat tegar meskipun hatinya hancur berkeping-keping. Sejak kecil rasa yang mereka pupuk bersama tiba-tiba musnah tanpa Naya tahu apa penyebabnya. Tiga tahun mereka berkomitmen, bukan menjadi ukuran keberhasilan sebuah hubungan.
“Berikan aku satu alasan di balik semua ini, Xel! Katakan di mana letak kesalahanku. Jika memang berpisah membuatmu bahagia, aku ikhlas. Aku hanya ingin kamu tunjukkan di mana letak kesalahanku agar aku bisa memperbaiki dan tidak mengulangi kesalahan yang sama,” imbuh Naya.
“Kamu tidak salah. Di sini akulah yang salah. Aku tidak pantas mendapatkan gadis sebaik kamu. Sekali lagi aku minta maaf, Nay. Aku pamit dulu!” Axel berlalu meninggalkan Naya seorang diri. Axel menangis dalam diamnya, sakit dan terluka dalam kesepiannya. Pikirannya kacau teringat ucapan Naresh yang mengatakan bahwa dirinya hamil.
Dunia seakan runtuh, apa yang Axel takutkan terjadi juga. Dia harus bertanggung jawab, tetapi dia bingung. Bagaimana dengan Naya dan mamanya? Kedua wanita yang paling dia sayangi secara bersamaan telah dia sakiti dan hancurkan impiannya, lebih tepatnya impian mereka berdua. Rencana Axel melamar Naya setelah wisuda, dan Naya akan melanjutkan kuliah setelah Naresh lulus kini musnah tak berbekas.
***
Di sisi lain, Naya menangis di kamarnya. Sejak pulang dari café hingga malam dia tidak keluar dari kamar. Bunda berkali-kali mengetuk pintu kamarnya dan menyuruh Naya makan. Naya hanya keluar untuk menjalankan kewajibannya saja. Naya melepas kalung bunga matahari hadiah dari Axel waktu dia wisuda. Air matanya tak terbendung lagi mengingat kenangannya bersama Axel. Entah berapa lama Naya menangis hingga dia tertidur.
“Bun, jangan terlalu capek! Uang dari Naya cukup, kan, buat kebutuhan sehari-hari?” tanya Naya pagi ini ketika melihat bundanya sibuk dengan pesanan kuenya. Naya yang mendapat shift sore segera membantu bunda Ratna.
“Cukup, Nay! Tapi Bunda juga harus nabung, sebentar lagi kamu mau kuliah, kan. Syukur-syukur Bunda bisa bantu uang jajan kamu,” terang Bunda.
“Nggak usah mikirin Naya, Bun! Insyaallah tabungan Naya cukup. Ingat kesehatan Bunda juga harus dijaga,” tutur Naya.
“Kamu kenapa, Nduk? Ada masalah sama teman kerja kamu?” selidik Bunda ketika melihat mata Naya yang bengkak akibat menagis semalaman.
“Iya, Bun! Namanya juga kerja bareng tim pasti ada kalanya akan begini,” bohong Naya menyembunyikan luka hatinya.
“Kalau sudah nggak betah lebih baik nyari kerjaan lain,” saran bunda. Naya hanya mengangguk mendengar saran bunda sambil menata kue dalam keranjang.
***
Selepas Magrib, Naya disibukkan dengan pelayanan di apotek. Maklum, pada jam tersebut adalah waktu yang paling sering digunakan oleh masyarakat untuk periksa ke dokter pribadi mereka. Pukul delapan lewat lima belas menit Naya baru bisa bernapas lega. Tiba-tiba ada ponselnya bergetar. Naya heran karena tidak biasanya bunda menelpon. Jika bunda membutuhkan sesuatu, paling hanya melalui pesan saja.
“Assalamualaikum, ada apa, Bun?” salam Naya.
"Nay, adikmu kecelakaan. Sekarang ada di Rumah Sakit Nusantara. Kamu nyusul ke sini, ya!” perintah Bunda.
“Iya, Bun. Naya ke sana.” Naya menutup teleponnya dan menghampiri Monik, apoteker pendamping yang bertugas malam ini bersamanya.
“Mbak, adik saya kecelakaan.! Mohon izin pulang duluan, ya!” pinta Naya.
“Iya, Nay. Hati-hati, jangan ngebut! Habis hujan gini jalannya licin.” Monik mengantar Naya hingga pintu keluar.
“Kalau ada apa-apa kabarin kami, ya!” imbuh Monik.
“Iya, Mbak. Makasih!” Naya segera memakai helmnya dan berlalu menuju rumah sakit. Gerimis masih menemani cuaca malam ini yang mulai sepi, Naya melajukan motornya pelan. Pikirannya sudah tidak karuan membayangkan kondisi Naresh. Semenyebalkan apapun Naresh, dia tetap adiknya yang sedikit banyak tetap dia sayangi. Sesampai di Instalasi Gawat Darurat, Naya melihat ayah dan bundanya duduk di ruang tunggu.
“Gimana keadaannya, Bun?” tanya Naya.
“Belum tahu,Nay! Dokter masih memeriksanya,” terang bunda.
“Kejadiannya gimana?” tanya Naya lagi.
“Ayah dikabari pihak rumah sakit, jadi belum tahu gimana kronologisnya,” jawab Bunda. Melihat dokter keluar dari ruangan, mereka berdiri dan menghampiri dokter tersebut.
“Bagaimana keadaan anak kami, Dok?” tanya ayah.
“Mari ikut ke ruangan saya!” Dokter pun berlalu diikuti Galih dan Naya, sedang bunda masuk ke ruangan Naresh.
“Ini hasil foto rontgen kaki atas nama pasien Naresh,” kata dokter menunjukkan sebuah lembaran hitam. “Di sini terlihat jika pasien Naresh mengalami patah tulang kering. Besok akan kami konsultasikan dengan dokter ortopedi untuk tindakan operasi penyambungan. Kabar baiknya, kondisi janin pasien Naresh baik-baik saja,” terang dokter.
“Anak saya dalam kondisi hamil, Dok!” teriak ayah terkejut. Begitu pula dengan Naya. Naya memegang tangan ayahnya yang dingin. Terlihat raut wajahnya pucat dan menahan emosi.
“Maaf, Dok! Ayah saya hanya terkejut. Untuk informasi biayanya gimana, ya, Dok?” tanya Naya mencairkan suasana.
“Mbak bisa menanyakannya di bagian informasi. Nanti akan dijelaskan di sana,” terang dokter.
“Terima kasih, Dok,” tutur Naya. Mereka keluar dari ruang dokter, terlihat sekali wajah kecewa Galih. Anak yang selama ini selalu mereka banggakan ternyata sudah mencoreng muka orang tua.
“Ayah duduk dulu, ya! Naya mau ke bagian administrasi. Ayah nggak usah banyak pikiran,” hibur Naya.
***
Naya dan Galih masuk ke ruang rawat Naresh. Di sana Naya melihat Naresh terbaring dengan beberapa luka lecet di tangannya. Bunda berada di samping Naresh yang mengeluh kakinya sakit.
“Apa kata dokter, Yah?” tanya bunda.
“Sepertinya Naresh harus operasi untuk menyambung tulang kakinya yang patah, Bun!” jawab ayah lirih.
“Gimana kejadiannya, Dik?” tanya Naya.
“Aku nggak fokus dan tergelincir karena jalan licin. Kaki aku tertimpa motor,” terang Naresh.
“Ya, sudah sekarang kamu istirahat. Biar ayah sama bunda yang di sini. Iya, kan, Bun?” tanya Naya.
“Kamu nggak papa pulang? Ini sudah larut malam,” kata bunda khawatir.
“Kalau Naya di sini juga, bisa diusir pak satpam, Bun,” celetuk Naya.
“Ayah mau pulang apa nemenin bunda di sini?” tanya Naya.
“Ayah di sini saja. Kamu berani di rumah sendiri?” ayah balik tanya.
“Berani, Yah! Naya pulang duluan, ya!” pamit Naya mencium tangan kedua orang tuanya. Naya menyusuri jalanan yang mulai sepi, hanya lampu kota yang menemani sepanjang perjalanannya. Pikiran tidak menentu menari dibenaknya. Impiannya untuk melanjutkan kuliahnya harus Naya pikir ulang. Ya, tabungannya kali ini dia prioritaskan untuk biaya operasi Naresh yang tidak sedikit. Sekali lagi dia harus menelan kekecewaan.
***
-Sarapan Kata KMO Club Batch 41
-Kelompok 19
-Jumlah kata 1283
-Sarkat Jadi Buku
Pagi hari Axel memacu motornya menuju rumah sakit setelah mendengar kabar kecelakaan Naresh. Dia bertanya tentang keberadaan Naresh kepada perawat yang bertugas sebelum dia mencari kamar Naresh. Setelah sampai di depan kamar perawatan, dia urungkan niatnya mengetuk pintu ketika mendengar percakapan di dalam kamar itu.
“Katakan siapa ayah anak itu! Kamu sadar tidak, perbuatan kamu membuat malu keluarga. Minta orang itu untuk bertanggung jawab!” hardik Galih. Isak tangis terdengar dari luar, siapa lagi kalau bukan isak tangis Naresh dan bunda Ratna.
“Jawab pertanyaan ayah, Sha! Apa kamu mau dia lahir tanpa memiliki seorang ayah?” tutur Ratna lembut mengelus kepala Naresha. Tidak ada satu pun kalimat yang terlontar dari mulut Naresh. Di situ hati Axel teramat perih. Dia tidak mencintai Naresh sama sekali, tetapi apakah dia tega menelantarkan darah dagingnya? Dengan keberanian yang dia miliki, akhirnya Axel mengetuk pintu kamar rawat Naresh, kemudian masuk.
“Selamat pagi, Om, Tante! Maaf jika kedatangan saya mengganggu,” sapa Axel ramah. Seketika Naresh dan bunda menghapus air mata mereka. “Saya ayah dari bayi yang Naresh kandung. Saya akan bertanggung jawab dan segera menikahi Naresh. Maafkan kesalahan saya!” ucap Axel. Hal tersebut membuat kedua orang tua Naresh terkejut, pasalnya selama ini Axel dekat dengan Naya bukan dengan Naresh. Air mata Naresh mengalir semakin deras, dia terharu dan bahagia akan keberanian Axel mengatakan hal tersebut di depan orang tuanya.
“Bawa orang tuamu ke sini!” ketus Galih menahan emosinya.
***
Sementara di rumah, seorang anak sedang menangis dan memohon restu kepada seorang ibu setelah mendapat penolakan keras.
“Ma, izinkan Axel menikahi Naresh! Axel ngaku salah, Axel harus bertanggung jawab,” lirih Axel memohon.
“Kamu tidak mikir saat melakukan hal tersebut! Kamu sadar, nggak, sudah menghancurkan perasaan Naya. Apa kami mengajari untuk berbuat seperti itu!” Hardik Dini berlinangan air mata.
“Ini bukan salah Mama dan Papa. Ini murni kesalahan Axel, tolong beri Axel kesempatan untuk memperbaiki kesalahan Axel, Ma!” pinta Axel. Sedangkan Satrio yang masih terkejut akan pengakuan putranya tersebut, belum mampu berpikir jernih hingga dia tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun.
Axel bersimpuh dan memeluk kaki Dini,”Axel tidak sadar melakukan hal itu, Ma! Saat itu Axel mabuk.”
“Sejak kapan kamu suka mabuk? Setahu mama kamu tak pernah mengenal barang seperti itu!” tekan Dini penuh emosi.
“Sudah, Ma! Semua sudah terlanjur, sekarang lebih baik kita mencari jalan keluarnya. Walau bagaimanapun Axel harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kita harus menemui orang tua Naresh!” ucap Satrio.
“Mama tidak mau!” Dini berlalu menuju ke kamar.
“Pa, tolong bantu Axel!” pinta Axel memelas.
“Hari ini kita ke rumah sakit, tunggu mama kamu tenang dulu,” hibur Satrio.
***
Siang ini, sepulang dari apotek Naya melajukan motornya menuju rumah sakit Nusantara. Dia membawa dua bungkus nasi untuk ayah bundanya, tak lupa membawa buah-buahan dan beberapa makanan kecil. Naya berniat menggantikan ayah bundanya agar beliau bisa beristirahat sebentar, sebelum malam hari kembali ke rumah sakit lagi. Setelah memarkir motornya, dengan gontai Naya melangkah menyusuri lorong di sepanjang rumah sakit tersebut. Langkah Naya terhenti di depan kamar Naresh ketika mendengar percakapan Satrio dan ayahnya.
“Kami minta maaf atas kesalahan yang telah diperbuat Axel terhadap Naresh. Kami akan bertanggung jawab dan segera mengurus pernikahan mereka,” tutur Satrio. Seketika runtuh sudah kekuatan dan semangat Naya selama ini. Pandangannya berkunang-kunang dan dia nyaris terjatuh. Beruntung ada perawat yang lewat dan menolong Naya. Perawat tersebut membawa Naya duduk di bangku taman agak jauh dari kamar Naresh. Naya menitipkan makan siang dan buah-buahan yang dia bawa untuk bundanya kepada perawat tersebut.
Naya segera pergi meninggalkan rumah sakit tanpa tujuan yang jelas. Sepanjang perjalanan air mata setia menemani langkahnya. Akhirnya tujuannya adalah rumah Siska, sahabatnya di apotek.
“Kamu kenapa?” tanya Siska bingung melihat kondisi Naya yang memprihatinkan.
“Masuk, yuk!” ajak Siska menuju kamarnya. Di sana Naya menangis sejadi-jadinya menumpahkan segala beban yang menghimpitnya. Setelah meneguk air yang Siska berikan, Naya menceritakan apa yang terjadi antara dirinya, Axel dan Naresh.
“Aku salah apa, Mbak? Kenapa hidup aku seperti ini. Aku mungkin bisa terima jika itu orang lain. Tapi ini adik aku sendiri. Tabungan kuliahku habis buat biaya operasi Naresh. Cita-citaku dan cintaku hancur semua karena Naresh,” isak Naya memegangi dadanya yang terasa sakit dan sesak.
“Malam ini kamu nginep di sini aja! Nggak baik kalau kamu sendirian di rumah,” perintah Siska.
“Iya, Mbak! Makasih, maaf ngrepotin,” jawab Naya lemah.
“Kamu kabarin bunda dulu biar beliau nggak khawatir!” perintah Siska. Naya mengambil ponsel dan mengirim pesan untuk bunda.
***
Hari ini rumah Naya ramai orang berlalu-lalang menata segala keperluan. Ya, hari ini adalah hari pernikahan Naresh dan Axel setelah beberapa hari yang lalu Naresh pulang dari rumah sakit setelah menjalani operasi. Meskipun memakai kursi roda, Naresh tetap terlihat cantik dengan riasan sederhana. Naya ikut sibuk di dapur menyiapkan makanan kecil. Dia menyibukkan dirinya untuk mengalihkan perasaannya yang tidak baik-baik saja.
“Bagaimana, Saksi? Sah?” tanya penghulu samar-samar terdengar di telinga Naya.
“Sah!” jawab mereka yang menjadi saksi serentak. Hati Naya bergetar, mendadak tubuhnya terasa lemas. Naya berpegangan pada tepi meja dan mengambil napas dalam.
“Sadar Nay, mulai detik ini Axel sudah menjadi suami Naresh,” lirih Naya dalam hati. Namun, sekuat apapun dia menyembunyikan perasaannya, ada kalanya di mana Naya berada di posisi tidak mampu bersembunyi. Naya ke kamarnya mengambil dompet dan ponselnya kemudian pergi melalui pintu belakang menuju jalan raya. Ketika sesi pemotretan, bunda mencari Naya tetapi tidak menemukannya. Tidak ada seorangpun yang melihat Naya keluar rumah.
***
Hujan deras mulai turun membasahi bumi seakan berusaha membasuh luka hati Naya. Dia duduk termenung di serambi masjid yang jauh dari rumahnya. Naya yang pergi tanpa tujuan, begitu saja menghentikan angkot yang dia tumpangi di depan sebuah masjid. Naya menjalankan sholat Dhuzur di sana dan sekarang duduk termenung menunggu hujan reda. Air matanya seakan mengering hingga dia tidak mampu lagi untuk menangis.
“Nggak bawa payung, Mbak?” tanya seorang wanita yang melihat Naya sendirian.
“Iya, Bu! Saya numpang berteduh, ya?” Naya tersenyum sopan menatap wanita tersebut.
“Iya, Mbak! Apa mau mampir ke rumah Ibu? Di sini dingin,” imbuh ibu tersebut.
“Terima kasih, Bu. Saya di sini saja,” tutur Naya.
“Ya, sudah. Ibu duluan, ya!” Ibu tersebut berlalu bersama senyum Naya.
***
Sementara itu di rumah Naya, orang-orang sibuk mencari keberadaannya. Bunda semakin panik setelah mengetahui jika Naya tidak ada di rumah Siska. Begitu pula dengan Axel, hingga dia meminta orang tuanya untuk ikut mencari Naya. Satrio dan Dini perlahan menyusuri jalanan yang sudah gelap, mengedarkan pandangannya dengan teliti seakan tidak ingin terlewat sedikit pun.
“Pa, bukannya itu Naya?” tanya Dini sambil menunjuk ke depan.
“Iya, Ma. Ayo kita samperin!” ajak Satrio. Sesampai di dekat Naya, mobil mereka berhenti. Dini segera keluar dan berjalan menghampiri Naya yang berjalan sendirian menyusuri trotoar.
“Naya …!” Dini berteriak dan langsung memeluk Naya . Seketika tangis Dini pecah melihat kondisi Naya saat ini, baju yang basah akibat hujan dan berjalan seorang diri dengan tatapan hampa.
“Kenapa kamu ada di sini? Pulang, yuk! Baju kamu basah, nanti sakit.” Dini menuntun Naya masuk ke mobil. “Pa, cari toko pakaian terdekat! Baju Naya basah semua takutnya nanti sakit,” perintah Dini.
“Iya, Ma!” jawab Satrio ikut prihatin melihat kondisi Naya. Setelah menemukan toko pakaian dan mengganti pakaian Naya, Satrio mengajak Naya makan. Meskipun Naya menolak, tetapi Dini membujuknya hingga dia menyuapi Naya.
“Maafkan anak Tante, ya! Tante nggak nyangka akan begini jadinya,” lirih Dini memeluk Naya. Pelukan hangat seperti ini yang Naya harapkan dari bundanya, tetapi malah ia dapatkan dari Dini, mamanya Axel. Naya tersadar dan segera melerai pelukan Dini.
“Makasih, Tan! Axel nggak salah, ini sudah jalan hidup Naya. Tuhan belum mengizinkan Naya bahagia,” cakap Naya datar.
“Kita pulang, ya!” ajak Dini yang dibalas anggukan kepala Naya. Mobil Satrio melaju pelan membelah sunyinya malam. Temaram lampu kota yang menghiasi sepanjang perjalanan mereka membuat Naya semakin pilu. Sekejam inikah takdir mempermainkan hidupnya? Cita-cita dan cintanya hancur bersamaan.
-Sarapan Kata KMO Club Batch 41
-Kelompok 19
-Jumlah kata 1241
-Sarkat Jadi Buku
Pukul sebelas malam Naya sampai di rumah bersama Satrio dan Dini. Ayah, bunda dan Axel sudah menanti di teras. Sedangkan Naresh sudah berada di kamarnya.
“Kamu dari mana, sih? Tahu nggak, kamu udah bikin orang sekampung geger!” hardik Galih.
“Yah, sudah! Yang penting Naya sudah pulang. Biarkan dia istirahat,” sahut Ratna penuh rasa syukur.
“Anak nggak tahu diri! Tahu hari ini pernikahan adiknya malah pergi begitu saja!” teriak Galih geram.
“Sudah, Om! Biarkan Naya istirahat, ini sudah malam,” lerai Axel. Naya berlalu menuju kamar dan segera merebahkan dirinya. Sementara Satrio dan Dini kembali ke rumahnya. Axel mengikuti kedua orang tuanya untuk meminta penjelasan tentang Naya. Sesampai di ruang tengah rumahnya.
“Puas kamu melihat Naya seperti itu!” ucap Dini penuh penekanan.
“Ma, jangan mulai lagi!” cetus Satrio.
“Sampai kapan pun, Mama nggak akan sudi menerima Naresh jadi menantu. Mama sakit tiap kali melihat Naya tersakiti. Dari kecil dia bersama kita dan Mama tahu bagaimana perjuangan dia selama ini.” Dini berlalu dengan isak tangis yang tidak bisa dia bendung lagi.
“Sudah, kamu kembali pada istrimu! Ini sudah malam,” perintah Satrio.
“Iya, Pa.” Axel kembali tanpa mendapatkan apa yang dia inginkan.
***
Sementara di dalam kamar, mata Naya belum juga terpejam. Naya berpikir jika dia harus pergi dari rumah ini. Naya menyadari posisinya dan dia merasa tidak akan sanggup melihat Axel setiap hari bersama Naresh. Seketika Naya teringat akan lowongan pekerjaan yang diceritakan Siska beberapa hari yang lalu. Dia pun segera menghubungi Siska.
“Mbak, kirimin link lowongan yang kemaren, dong!” pinta Naya.
“Eh, kamu kagak mikir ini jam berapa? Aku lagi asyik bermimpi kamu bangunin cuma buat minta link, doang!” balas Siska dari seberang.
“Aku butuh pekerjaan yang gajinya lebih banyak biar bisa kuliah. Uang tabunganku sudah habis buat biaya operasi Naresh,” cerocos Naya.
“Besok kan bisa,Nay!” gumam Siska dengan suara beratnya.
“Aku besok izin, Mbak. Aku nggak enak badan,” tukas Naya.
“Nah, nggak enak badan tuh tidur, bukannya begadang kayak gini!” sindir Siska.
“Ish, mau ngirimin nggak, sih?” sahut Naya cemberut.
“Iya, tutup dulu aku cariin!” jawab Siska.
Mereka memang sering berargument seperti itu, tetapi mereka saling mendukung satu sama lain. Beberapa saat kemudian Siska mengirimkan pengumuman lowongan tersebut beserta link pendaftarannya. Naya segera menyiapkan surat-surat yang dibutuhkan hingga pukul dua dini hari.
***
Sementara di kamar Naresh, Axel gelisah. Dia bingung mau tidur di mana. Status mereka memang suami istri, namun tak ada sedikitpun rasa cinta di hati Axel hingga membuat dia enggan untuk tidur bersama Naresh. Akhirnya dia menggelar selimut di lantai untuk alas tidurnya.
Pagi hari Naya bangun kesiangan, jam enam dia baru keluar dari kamar dan langsung membantu Ratna membereskan tempat yang masih berantakan. Sementara Naresh, Axel dan Galih duduk di meja makan untuk sarapan.
“Kenapa bunda dan Naya tidak sarapan sekalian?” tanya Axel pada Naresh.
“Bunda biasanya sarapan agak siang,” jawab Naresh singkat.
“Sudah nggak usah dipikirin! Nanti bunda juga sarapan,” sahut ayah. Axel yang terbiasa makan bersama dengan orang tuanya segera beranjak menghampiri bunda dan Naya di dapur.
“Bun, Nay, ayo sarapan sekalian!” ajak Axel.
“Nak Axel duluan saja! Bunda nggak terbiasa sarapan jam segini,” kilah bunda.
“Nay!” ulang Axel.
“Aku nanti sama bunda,” jawab Naya tanpa mengalihkan pandangannya.
“Ya, sudah kita beresin ini dulu baru sarapan bareng, Bun!” Axel menghampiri dan membantu menata piring dan gelas dalam kotak.
***
Setelah mendapatkan tanda tangan Galih di surat persetujuan orang tua, Naya segera mengunggah berkas persyaratan untuk menjadi tenaga relawan di sebuah klinik. Sehari dua hari belum ada balasan email dari pihak klinik tempat Naya mendaftar. Hingga hari ketujuh.
“Mbak, aku dapat balasan!” teriak Naya menunjukkan ponselnya pada Siska.
“Wah, selamat Nay! Sekarang kamu pamit, gih, sama mbak Dewi!” ucap Siska. Dengan binar kebahagiaan, Naya berlalu menuju ruangan Dewi atasannya.
“Siang, Mbak!” sapa Naya.
“Eh, kesambet apa kamu, Nay? Gayamu formal banget,” canda mbak Dewi.
“Hehe … aku mau resign, Mbak!” kata Naya sambil nyengir.
“Serius, kamu!” pekik Dewi menatap Naya minta penjelasan.
“Iya, Mbak. Besok pagi aku harus datang ke klinik untuk penjelasan lebih lanjut sebelum diberangkatkan ke lokasi.” terang Naya.
“Aku kehilangan partner handal, dong! Kamu yakin mau jadi tim relawan? Di sana jauh dari keramaian, lho! Bahkan tidak ada penjual es kopi,” papar Dewi berusaha menahan rencana kepergian Naya.
“Kan masih ada mbak Siska dan mbak Monik, Mbak! Mereka lebih handal dari aku,” papar Naya. Sebenarnya Naya enggan untuk meninggalkan tempat ini. Naya sudah merasa nyaman berkerja bersama mereka. Namun, keadaan memaksa Naya untuk segera pergi. Apakah ini sebuah usaha untuk melarikan diri? Naya enggan membenarkan pemikiran tersebut, meskipun pada kenyataannya Naya memang berusah lari dari segala kenangan indahnya bersama Axel.
“Kalau itu sudah menjadi pilihanmu, Mbak hanya ikut mendoakan semoga kamu sukses, Nay. Kalau ada apa-apa jangan lupakan kita yang masih di sini. Besok siang setelah dari klinik kamu mampir ke sini ambil gaji kamu, ya!” kata Dewi.
“Siap, Mbak!” jawab Naya dengan senyum yang tak lagi secerah dulu.
***
Menjelang Magrib Naya baru tiba di rumah. Semenjak pernikahan Naresh, Naya sering mengulur jam pulangnya dengan alasan banyak pekerjaan yang harus dia selesaikan. Naya tidak ingin melihat Axel bersama Naresh lebih lama.
“Kok, baru pulang, Nay?” sapa Ratih menyambut kedatangan putrinya.
“Naya menyelesaikan pekerjaan dulu, Bun. Jadi ketika besok Naya tinggal semua pekerjaan di sana sudah beres,” terang Naya.
“Lho! memangnya kamu jadi pindah?” tanya Ratna terkejut.
“Insyaallah, Bun! Doakan yang terbaik buat Naya, ya. Ini belum pasti,sih. Jadi Bunda jangan cerita ke orang dulu.” Naya menutup pintu dan segera masuk. Di ruang tengah Naya melihat Axel duduk di samping Naresh sedang menonton televisi. Hatinya berdenyut perih menyaksikan pemandangan ini. Naya segera berlalu masuk ke kamar dan membersihkan diri.
Pukul tujuh malam ketika semua sudah duduk di meja makan, Bunda mengetuk kamar Naya.
“Nay, ayo makan dulu!” ajak Bunda. Naya heran karena tidak biasanya mereka menunggu Naya untuk makan bersama. Ini pasti karena Axel yang dari kemarin selalu mengajak mereka untuk makan bersama.
“Bunda makan saja. Nanti Naya makan kalau sudah lapar,” ucap Naya tersenyum lembut. Sedang di tempat duduknya, Axel menatap Naya penuh perasaan. Axel tahu jika selama ini Naya berusaha menghindarinya. Tentu saja hal itu membuat hatinya sedih dan merasa bersalah. Axel paham bahwa Naya sekarang merasa tidak nyaman berada di rumah karena kehadirannya. Naya segera menutup pintu kamarnya setelah Ratih kembali ke meja makan.
Tengah malam cacing di perut Nara berontak minta diisi. Pukul sebelas Naya keluar dari kamar setelah memastikan jika semua penghuni rumah sudah terlelap. Naya menuju ke dapur mencari makanan. Namun sayang, ketika membuka magicom ternyata kosong, dia pun segera membuka kulkas dan tidak ada makanan yang bisa dia makan saat itu juga. Pilihan terakhir dia membuka lemari dan mencari mie instant.
“Jangan makan mie instant, nggak bagus buat kesehatan,” suara Axel yang tiba-tiba sudah berada di belakang Naya membuatnya terkejut.
“Kamu bikin kaget aja! Ngapain sih malam-malam ke dapur?” pekik Naya dengan mata melotot.
“Sstt … Jangan keras-keras, nanti bunda bangun. Ini sudah malam, lho,” desis Axel mengulurkan kantong plastik. “Ini nasi goreng, kamu pasti lapar, kan?” tebak Axel dengan senyum simpulnya. Naya yang masih cemberut membuat Axel makin gemas. Sejujurnya, Axel merindukan suasana kebersamaan bersama Naya. Axel rindu senyum Naya yang tidak pernah dia temukan lagi.
“Terima kasih!” Naya segera berlalu masuk kamar setelah menerima nasi goreng tersebut. Sesampai di kamar, Naya segera mengambil nafas dalam untuk menetralkan irama jantungnya yang mendadak meningkat. Rasa rindu yang selama ini terpendam seakan ingin meledak seketika saat melihat tatapan mata Axel yang dalam. Naya segera tersadar dari mimpinya dan segera melarikan diri dari kenyataan.
-Sarapan Kata KMO Club Batch 41
-Kelompok 19
-Jumlah kata 1369
-Sarkat Jadi Buku
Pagi harinya, Naya bangun lebih awal untuk mempersiapkan diri datang ke klinik. Dengan terpaksa dia ikut sarapan bersama. Naya duduk di sebelah Ratna dan berhadapan dengan Naresh. Melihat Axel mengambilkan nasi dan lauk untuk Naresh, hatinya mencelus begitu saja. Dulu sebelum semua ini terjadi, Naya pernah memimpikan kehidupan rumah tangga yang bahagia bersama Axel. Lelaki yang sejak dulu dia cintai dan selalu melindunginya. Namun takdir tidak berpihak padanya, meskipun rasa cintanya pada Axel sampai saat ini masih tersimpan dalam lorong sunyi hatinya. Entah sampai kapan.
“Naya berangkat dulu, Bun!” pamit Naya sengaja mempercepat sarapannya. Dia tidak sanggup berlama-lama berada satu meja dengan Axel.
“Hati-hati, Nay!” sahut Ratih. Naya pun berlalu tanpa menoleh sedikit pun ke arah Axel dan Naresh.
“Tumben Naya berangkat pagi sekali, Bun. Biasanya kan berangkat jam setengah delapan?” Axel mengambil tisu di meja makan.
“Naya bilang sekarang kerjaannya banyak, jadi dia sering lembur gitu,” terang Ratna berbohong dan mendapat jawaban “o” dari Axel.
***
“Selamat pagi calon tim relawan hebat! Perkenalkan, saya Rian yang akan bertanggung jawab dalam kegiatan ini. Saya ucapkan terima kasih kepada rekan-rekan yang bersedia bergabung bersama kami, mengingat kegiatan kita ke depan tidak bisa dibilang mudah. Bahkan tidak banyak yang berminat karena tujuan kita adalah mengabdikan diri kita kepada masyarakat yang benar-benar membutuhkan kehadiran kita. Jauh dari keramaian dan hingar-bingar kota, bahkan hanya berteman suara jangkrik akan menjadi keseharian kita,” papar dokter Rian pada acara sambutan pagi ini.
Setelah penjelasan secara rinci mengenai tugas, kemudian diumumkan bahwa keberangkatan mereka menuju lokasi adalah dua hari lagi, Naya keluar dari ruangan tersebut tepat pukul setengah dua belas siang. Jam kritis di mana orang butuh asupan energi setelah sedari pagi beraktivitas. Di kelokan lorong, tiba-tiba Naya dikejutkan oleh seseorang yang berjalan terburu-buru hingga mereka bertabrakan dan Naya pun terjatuh.
“Maaf, Dik! Saya tidak sengaja,” ujar orang tersebut sambil mengulurkan tangan hendak membantu Naya bangkit. “Ada yang sakit?” imbuh orang itu lagi. Naya mendongakkan wajahnya dan menatap orang tersebut.
“Tidak apa-apa. Saya baik-baik saja. Hanya terkejut,” ucap Naya bangkit mengabaikan uluran tangan orang tersebut.
“Oya! Kamu salah satu anggota tim yang baru? Aku Rafael, besok kita akan sering bertemu dan bekerjasama,” celetuk orang tersebut membuat Naya jengah.
“Hai, dokter Rafael! Apa kabar. Barusan datang ya?” seru dokter Rian dari arah belakang Naya yang sontak membuat Naya menoleh.
“Baik, Dok! Maaf terlambat. Tadi di jalan ada kecelakaan hingga jalanan macet. Maaf nggak bisa ikut menyambut tim baru.” Orang yang menyebut dirinya Rafael itu berlalu dan menjabat tangan dokter Rian.
Naya yang tidak mau tahu urusan mereke segera berlalu meninggalkan klinik tersebut. Naya melajukan motornya menuju apotek Aulia untuk memenuhi permintaan Dewi kemarin sekaligus menyerahkan surat pengunduran dirinya.
***
“Siang, Mbak!” sapa Naya begitu sampai di ruangan Dewi.
“Masuk, Nay! Kamu yakin mau resign? Tiga tahun kita bersama, kamu udah seperti adik aku sendiri. Aku merasa bukan hanya kehilangan rekan kerja, tapi lebih kehilangan seorang saudara,” papar Dewi begitu Naya duduk di hadapannya.
“Terima kasih atas perhatiannya, Mbak! Tapi aku tetap harus resign dengan berbagai pertimbangan yang sulit untuk aku jelaskan,” terang Naya menunduk menatap jari tangannya yang saling bertaut.
“Nay, seharusnya kamu cerita ke kita kalau ada masalah. Kenapa kamu pendam sendiri. Pantesan waktu itu bunda kamu telpon aku,” sahut Siska yang tiba-tiba saja sudah berada di belakang Naya. Naya yang terkejut seketika teringat akan luka hatinya yang terlalu dalam.
“Mbak Siska sudah tahu?” lirih Naya dengan pandangan yang meredup.
“Tahu, Nay. Kenapa kamu nggak cerita, sih?” Siska duduk di samping Naya.
“Sekarang mbak Dewi dan mbak Siska tahu, kan, apa alasan aku untuk resign,” ucap Naya mencoba untuk tetap baik-baik saja.
“Kamu yang sabar, ya, Nay!” Dewi hanya bisa menguatkan dengan mengelus punggung Naya, dan hal itu justru membuat pertahanan Naya roboh seketika. Air matanya kembali mengalir mengingat takdir yang memeluk dirinya.
“Kami di sini sayang kamu, Nay. Kalau kamu nggak betah di tempat kerja yang baru, kamu bisa menghubungi aku, ya!” imbuh Dewi trenyuh.
“Iya, Mbak. Sekali lagi terima kasih atas perhatian kalian semua.” Naya memeluk Dewi dan Siska bergantian. Hari ini mereka merayakan perpisahan di apotek dengan makan bersama. Naya merasa enggan untuk meninggalkan tempat yang tiga tahun ini menjadi rumah keduanya. Tempat di mana dia bisa tertawa lepas bersama teman rasa saudara. Tempat di mana dia bisa berbagi cerita dan keluh kesah.
Pukul lima sore mau tidak mau Naya harus pulang untuk menyiapkan segala keperluannya. Dia melajukan motornya pelan sambil menikmati udara sore. Tiba-tiba Naya teringat Dini ketika melewati kios martabak kesukaan mamanya Axel. Ya, Naya belum pamitan ke beliau. Segera dia menghentikan motornya dan memesan beberapa buah martabak .
Setibanya di rumah, Naya menuju rumah Dini setelah menyerahkan satu martabak pada bunda Ratna. Naya tahu jika hari ini Axel masih berada di peternakan papanya di kampung. Semenjak wisuda, Axel membantu mengurus peternakan Satrio disamping pekerjaan freelance-nya di bidang jasa pembuatan website.
“Sore, Om!” sapa Naya membuka gerbang dan melihat Satrio duduk diteras.
“Eh, Naya! Lama nggak kesini, tante udah kangen, tuh!” balas Satrio.
“Iya, Om. Ini Naya beli martabak buat Om. Mau ditaruh di piring apa gini saja, Om?” tanya Naya basa-basi karena semenjak Axel menikahi Naresh, Naya merasa sungkan untuk keluar masuk rumah mereka.
“Taruh piring aja, Nay! Sana masuk, Tante ada di dalam,” ucap Satrio mengerti kegelisahan Naya. Naya pun masuk ke rumah dan mendapati Dini sedang menonton televisi sambil menyelonjorkan kakinya di ruang tengah.
“Sore, Tante!” sapa Naya ramah.
“Eh, anak Tante tumben sore-sore ke sini. Tante kangen, nih, lama nggak ngobrol sama kamu,” Dini segera memeluk Naya begitu sampai di dekatnya.
“Naya bawa martabak buat Tante, Naya ambil piring dulu, ya!” Naya berlalu menuju dapur. Setelah mengantarkan sepiring martabak untuk Satrio, Naya kembali masuk menghampiri Dini.
“Kabar kamu gimana, Nay? Kamu terlihat kurus, habis sakit?” tanya Dini menatap Naya dari ujung rambut sampai ujung kaki.
“Enggak, Tan! Naya sehat-sehat aja. Mungkin karena akhir-akhir ini banyak kerjaan jadi sering lupa waktu makan,” papar Naya.
“Besok lagi jangan sampai lupa makan, ya!” perintah Dini.
“Iya, Tan! Sekalian Naya mau pamit, lusa Naya pindah kerja. Besok mau siap-siap, takut nggak sempat ke sini,” ujar Naya.
“Lho, kamu pindah ke mana?” tanya Dini dengan kening berkerut.
“Di desa perbatasan dengan kabupaten sebelah, Tan. Nggak jauh, sih. Perjalanan sekitar satu jam dari sini, cuma di sana nggak ada angkutan umum dan daerah susah sinyal,” terang Naya.
“Kenapa pindah, sih, Nay? Di sini kan sudah enak.” Dini masih berat melepas Naya.
“Masyarakat di sana lebih membutuhkan, Tan. Di sana jauh dari fasilitas kesehatan. Nanti begitu Naya sampai lokasi, Naya akan hubungi Tante, deh!” papar Naya.
“Kamu harus bisa jaga diri, Nay! Ingat, jangan sampai telat makan!” perintah Satrio yang tiba-tiba sudah berada belakang Naya.
“Siap, Om. Mohon doa restunya semoga Naya betah di sana, ya!” pinta Naya.
***
Malam ini Naya menata baju dan perlengkapan lainnya yang akan dia bawa. Menata kamar yang selama ini dia tempati agar tidak berantakan ketik tinga diagalkan. Tidak lupa Naya mengemas semua kenangan bersama Axel ke dalam satu kotak yang kemudian dia simpan di dalam lemari. Naya memegang kalung bunga matahari yang masih dia pakai. Hatinya bergejolak antara ingin melepaskan atau tetap memakainya.
“Aku akan tetap menjadi matahari bagi orang-orang yang membutuuhkan cahayaku, meskipun kini aku bukan lagi mataharimu,” lirih Naya dalam hati. Naya melepas kalung tersebut dan berniat mengembalikan pada Axel sebelum dia berangkat.
***
Sementara di sebuah peternakan sapi, Axel berkeliling melihat para pekerja yang sedang memberi makan ternaknya. Puluhan sapi yang berjejer rapi menjadi teman kesehariannya akhir-akhir ini. Axel jarang pulang dengan alasan sibuk di peternakan, padahal dia malas bertemu dengan istrinya. Sore itu tiba-tiba ponselnya berdering dan muncul nama Mama Dini di layar. Axel yang merasa heran karena tidak biasanya mama menelpon ketika dia berada di peternakan, langsung membuka kunci ponselnya.
“Assalamualaikum, Ma! Ada apa?” tanya Axel membuka percakapan.
“Waalaikumsalam, hari ini kamu pulang apa nggak?” balas Dini.
“Hm … sepertinya Axel nggak pulang, deh, Ma! Tanggung, Axel pulang besok atau lusa. Emang kenapa, Ma?” tanya Axel lagi.
“Nggak papa, kok! Ya udah kamu selesaikan kerjaan di situ. Jangan lupa jaga kesehatan. Salam untuk nenek,” jawab Dini. Sebenarnya Dini ingin bertanya apakah Axel tahu rencana kepindahan Naya, bagaimana tanggapan Axel saat mengetahui Naya lebih memilih pergi dari kehidupan mereka? Namun lidahnya kelu hingga semua petanyaan itu berhenti di kerongkongannya.
Perjalan.
-Sarapan Kata KMO Club Batch 41
-Kelompok 19
-Jumlah kata 1403
-Sarkat Jadi Buku
Keberangkatan Naya di jadwalkan pukul sebelas siang hari ini. Semua keperluan sudah dia persiapkan. Sejak kemarin Naya tidak melihat Axel, kemungkinan besar Axel memang tidak pulang.
“Yah, ini kunci motor Naya, bisa Ayah pergunakan jika motor Ayah bermasalah. Tolong dirawat, ya, Yah,” pinta Naya.
“Ya, kamu di sana harus bisa jaga diri. Ingat di sana jauh dari saudara, pintar-pintarlah membawa diri,” pesan Galih.
“Iya, Yah. Ayah juga jaga kesehatan. Jangan terlalu dipaksakan jika Ayah lelah,” papar Naya. Naya pun mendekati Ratna yang berada di dapur sedang membuat kue.
“Bun, jangan terlalu lelah bekerja, ya! Bunda nggak usah khawatir, Naya akan tetap mengirimi uang seperti biasa. Jaga kesehatan Bunda, sekarang Bunda juga harus mengurus Naresha jadi Bunda jangan sampai sakit,” pinta Naya.
“Iya, Nay. Kamu juga jaga kesehatan, ya. Jangan lupa lima waktunya,” pesan Ratna. “Oya, kamu sudah pamitan sama tante Dini?” tanya Ratna.
“Ini Naya mau ke sana Bun,” jawab Naya.
“Kamu berangkat di antar ayah, kan?” Ratna menatap lekat putrinya.
“Naya pakai taksi saja, Bun. Naya sudah pesan, kok. Sekarang Naya ke rumah tante Dini dulu, ya, Bun,” tutur Naya. Dia pun menuju rumah Axel yang berada di depan rumahnya untuk berpamitan kepada kedua orang tua Axel.
“Om, Tante, Naya pamit. Jaga kesehatan Om dan Tante. Doakan Naya betah di sana, ya. Bolehkah Naya minta sesuatu kepada Om dan Tante?” pinta Naya lembut.
“Katakan apa yang bisa Om lakukan untuk Naya!” Satrio dan Dini menanti keinginan Naya.
“Naya titip Naresha. Mohon bimbing dia seperti Om dan Tante membimbing Naya. Kabari Naya jika ada sesuatu tentang keluarga Naya,” pinta Naya tulus.
“Pasti Nay, kami akan melakukannya,” jawab Satrio.
“Hati-hati, ya, Nay!” Dini memeluk Naya erat, air matanya berlinang seakan dia melepas putri kandungnya. Taksi sudah menanti di depan rumah, Naya memasukkan koper ke dalam mobil. Tidak lupa dia menyapa Naresha yang berada di atas kursi rodanya.
“Cepet sembuh, ya, Dik! Semangat terapinya biar bisa jalan lagi,” ucap Naya mengelus rambut Naresha. Naya pun berangkat tanpa melihat Axel yang sedari kemarin tidak pulang ke rumah.
***
Sementar itu, Axel yang tadi pagi mendapat kabar dari mamanya tentang keberangkatan Naya, langsung meninggalkan peternakan untuk kembali ke rumah. Jarak yang jauh dan jalanan yang padat membuat Axel tidak bisa melajukan kendaraannya dengan cepat. Sampai di rumah Axel melihat mamanya berada di teras.
“Ma, Naya sudah berangkat?” tanya Axel gusar.
“Baru lima menit yang lalu, buruan kejar, gih. Naya naik taksi warna putih menuju klinik Sejahtera!” terang Dini. Axel memutar kembali mobilnya untuk mengejar Naya. Selang beberapa saat, taksi yang Naya tumpangi pun terkejar oleh Axel. Axel segera memotong jalan dan menghentikan taksi tersebut, driver taksi yang terkejut segera menghentikan mobilnya.
“Ada apa, Pak?” tanya Naya terkejut karena taksi yang dia tumpangi berhenti mendadak.
“Itu, Mbak, ada orang nyelonong aja. Mbak kenal dengan dengan orang itu?” tanya driver sambil menunjuk arah depan. Pandangan Naya mengikuti ke mana arah driver itu menunjuk. Naya terkejut melihat Axel turun dari mobil dan menghampiri taksi yang dia tumpangi.
“Iya, Pak. Dia teman saya, biar saya turun sebentar. Mohon di tunggu, ya, Pak!” ucap Naya sopan.
“Iya, Mbak. Silakan,” jawab driver. Naya turun dan menemui Axel yang mendekat ke mobilnya.
“Bisa kita bicara sebentar!” pinta Axel. Naya mengangguk, mereka menuju bangku yang ada di trotoar tak jauh dari taksi.
“Kenapa kamu nggak bilang kalau mau pergi?” tanya Axel begitu mereka duduk di bangku.
“Aku rasa sudah bukan kapasitas aku untuk menceritakan hal seperti ini,” jawab Naya datar. Axel mengusap wajahnya, bimbang menyelimuti hatinya.
“Maafkan aku, Nay! Seharusnya aku yang pergi, bukan kamu,” lirih Axel.
“Tidak perlu menyalahkan diri sendiri. Semua memang sudah kehendakNya,” cetus Naya.
“Aku nggak bisa jauh dari kamu, Nay! Aku nggak tahu apa jadinya tanpa kamu,” sesal Axel dengan tatapan matanya yang kosong.
“Axel! Sadar kamu dengan apa yang kamu bicarakan? Tidak seharusnya kamu berkata seperti itu!” sentak Naya. “Maaf, aku harus segera berangkat!” Naya bangkit menuju taksinya.
“Nay, aku masih mencintaimu!” Axel berteriak. Suara yang berbaur dengan bisingnya kendaraan siang itu masih terdengar jelas di telinga Naya. Tanpa menoleh, Naya masuk ke dalam taksi dan melaju kembali. Hatinya perih menahan sesak yang tiba-tiba datang memenuhi dadanya. Dua orang saling mencintai namun sama-sama terluka oleh keadaan. Cinta yang mereka jalani selama ini ternyata hanya meninggalkan lorong sunyi kehampaan dalam kelamnya jiwa.
Sementara Axel bergeming di tempatnya, meremas rambutnya dengan perasaan kacau yang dia bawa semenjak dari peternakan.
“Argh …!” Axel mengusap wajahnya dengan kasar. Air matanya mengalir begitu saja. Tidak dia hiraukan ramai lalu-lalang kendaraan di hadapannya. Yang ada dalam pikirannya saat ini hanyalah Naya. Mataharinya kini telah pergi membawa sejuta luka. Mataharinya telah pergi akibat dari kelalaiannya.
***
Naya menurunkan koper dan menyeretnya dengan lemah. Kalimat yang Axel ucapkan tadi masih terekam jelas dalam benaknya membuat hatinya kembali lemah. Lorong sunyi yang mendekapnya terasa makin pekat, kembali menorehkan luka yang sempat menganga. Sebesar apapun cinta mereka, nyatanya Naya harus kehilangan dengan cara yang menyakitkan. Bagaimana tidak? Seandainya orang itu bukan Naresha, mungkin Naya lebih berlapang dada.
“Hai, kita bertemu lagi!” sapa seseorang yang tiba-tiba berada di depannya. Dia tersenyum aneh seperti ketika mereka bertemu dua hari yang lalu.
“Siang, Dok. Koper saya bisa ditaruh di mana, ya?” tanya Naya sopan meskipun dia jengah dengan kelakuan dokter itu.
“Oh, bawa ke sini biar aku masukkan sekalian! Oya, namamu siapa?” Orang itu menarik koper Naya dan memasukkan ke dalam mobil.
“Nayara Amanda,” jawab Naya singkat.
“Nama yang bagus, masih ingat namaku, kan. Rafael, dokter Rafael!” seru dokter Rafael.
“Iya, Dok, masih ingat,” jawab Naya tersenyum masam karena sejujurnya Naya lupa nama dokter tersebut.
“Ayo, kita ngumpul sebentar di aula kemarin, ya!” seru dokter Rian dari pintu klinik. Naya duduk bersebelahan dengan seorang bidan muda.
“Nama Mbak siapa? Aku Naya” sapa Naya sopan.
“Aku Erika, nanti kita satu kamar, ya?” pinta Erika. Naya menjawab dengan anggukan kepala karena dokter Rian mulai memberi sambutan.
Setelah beberapa saat, sambutan pun selesai dan mereka keluar menuju minibus yang sudah menunggu di depan klinik.
“Kamu nggak bawa koper?” tanya Erika.
“Bawa, tadi sudah dimasukkan ke mobil sama dokter Rafael,” jawab Naya.
“Oh, kirain nggak bawa.” Erika memasukkan kopernya ke mobil khusus barang.
“Nay, ayo, buruan masuk!” perintah Rafael. Sedangkan Rian yang berada di sebelahnya mengerutkan kening merasa heran dengan sikap sahabatnya.
“Kamu perhatian banget sama dia.” Rian memicingkan mata curiga pada sikap Rafael.
“Nggak juga, aku suka aja menggodanya.” Rafael tersenyum.
***
Babak baru Naya dimulai mulai detik ini. Dia harus meninggalkan segala kenangannya bersama Axel. Lebih dari sepuluh tahun kebersamaan mereka nyatanya harus berakhir dengan kisah yang tragis. Pikirannya melayang mengingat semua tentang Axel. Tiba-tiba Naya merasakan sesuatu di saku celananya. Naya tersadar bahwa kalung matahari yang semula akan dia kembalikan kepada Axel ternyata masih dia bawa. Naya menggenggam kalung tersebut dengan rasa yang sulit dijabarkan.
Sepanjang perjalanan, Naya dimanjakan dengan pemandangan perkebunan pinus dan juga kopi. Jalanan berliku dan sepi tersebut mewakili perasaan Naya saat ini. Desa tujuan mereka merupakan sentra penghasil kopi terbaik di kotanya. Mayoritas penduduknya adalah petani kopi. Namun, di sana masih jauh dari fasilitas kesehatan. Untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, masyarakat lebih suka mendatangi bidan desa dan mantri yang tentu saja dengan persediaan obat yang sederhana.
“Ngapain ngelamun?” tiba-tiba Rafael sudah berada di samping Naya. Naya pun memicingkan matanya mencari keberadaan Erika yang tadi berada di sampingnya.
“Lho, Erika mana, Dok?” tanya Naya.
“Kamu, sih, kelamaan ngelamun. Erika pindah ke belakang katanya kamu kelihatan sedih, gitu. Ini punya kamu?” Rafael memainkan sesuatu di tangannya.
“Kok, bisa ada sama Dokter?” pekik Naya melihat kalung mataharinya berada di tangan Rafael.
“Panggil nama saja bisa nggak? Sepertinya umur kita nggak beda jauh!” Lagi-lagi tingkah Rafael membuat Naya jengah.
“Nggak sopan kalau manggil nama, Dok. Maaf, kalung saya!” Naya mengulurkan tangan meminta kalung tersebut dari Rafael.
“Nggak akan aku kembalikan kalau kamu nggak mau manggil nama saja. Sekarang, kan, di luar jam kerja jadi kita sahabat.” Rafael tersenyum menggoda membuat Naya makin cemberut.
“Buruan, balikin kalungku!” perintah Naya.
“Coba gimana ngomongnya? Aku mau denger kamu ngomong baik-baik ke aku,” ucap Rafael tanpa meninggalkan senyum jahilnya.
“Rafael! Hm … Rafael yang baik hati dan tidak sombong, tolong kembalikan kalung aku, ya, please.” Naya pun menuruti kemauan Rafael.
“Nah, gitu kan cakep. Mulai saat ini kita resmi berteman. Besok lagi kalau bawa barang berharga jangan teledor. Kalungnya dipakai aja biar nggak jatuh” Rafael mengembalikan kalung itu pada Naya.
“Sepertinya kalung itu sangat berarti,” celetuk Rafael tanpa mengubah arah pandangannya. Naya diam tidak menghiraukan ucapan Rafael. Pikirannya seakan penuh dengan beban yang membuat dadanya sesak.
Dokter Penuh Perhatian
-Sarapan Kata KMO Club Batch 41
-Kelompok 19
-Jumlah kata 1439
-Sarkat Jadi Buku
Setelah empat puluh lima menit perjalanan dari kota, rombongan sampai di cabang klinik Sejahtera. Mereka di sambut hangat oleh dokter penanggung jawab dan tenaga medis lainnya. Mereka dikenalkan lokasi serta asrama di mana mereka akan tinggal. Hari ini mereka masih belum ada kegiatan, Naya yang satu kamar dengan Erika di asrama putri segera menata barang mereka ke dalam lemari.
Siang perlahan tenggelam, menyisakan semburat jingga di ufuk barat. Rasa perih seolah terkikis, terbasuh siraman waktu yang setia menemani. Naya melangkahkan kakinya menapaki rumput hijau yang mulai mengering, menyandarkan punggungnya pada bangku bambu menatap jingganya senja. Pikirannya berkecamuk memutar ingatan, mencoba meraih sebuah keikhlasan menanggalkan setitik kekecewaan.
Di asrama putra yang bersebelahan dengan asrama putri, Rafael berdiri di balik jendela menatap segala kegelisahan Naya. Merasakan sesuatu yang dia sendiri bingung mengartikannya. Dari awal mereka bertemu di klinik pusat, Rafael menangkap sorot mata Naya yang penuh kerapuhan. Namun, dengan indahnya Naya membalut semua itu dalam senyum lembutnya. Langkah Rafael mendekati Naya yang bergeming menatap warna senja.
“Turun, yuk! Jalan-jalan ke perkebunan,” ajak Rafael memecah lamunan. Naya tersenyum menyambut ajakan Rafael. Mereka berjalan beriringan menuruni perbukitan, menyusuri jalan yang mulai sepi.
“Nay, kamu ke sini diiziin sama pacar kamu?” tanya Rafael datar tanpa ekspresi.
“Aku hanya perlu izin dari ayah dan bunda,” jawab Naya singkat.
“Emang kamu nggak punya pacar, gitu? Bohong anak secakep kamu, kok,nggak punya pacar,” cerocos Rafael yang mulai terasa biasa di telinga Naya.
“Ngapain mau tahu urusan orang!” ketus Naya.
“Eh … jangan marah. Aku kan takut seandainya deket sama kamu terus pacar kamu marah. Makanya aku tanya duluan sebelum ada yang marah beneran,” terang Rafael menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Jangan tanya itu lagi!” sungut Naya.
“Iya, maaf,” cicit Rafael. Mereka pun berjalan dalam keheningan. Rafael tidak berani menggoda Naya, takut gadis itu akan benar-benar marah. Dari situ Rafael yakin jika ada sesuatu dalam hidup Naya. Sesuatu yang menurut Rafael tidaklah ringan.
***
Kokok ayam jantan bersautan, menyambut pagi pertama Naya yang berselimutkan dingin menusuk tulang. Mata yang masih enggan terbuka membawa Naya makin erat merapatkan selimutnya. Hingga sayup-sayup terdengar suara azan Subuh menggema dari arah pemukiman warga. Naya memaksakan matanya untuk segera terjaga, meninggalkan rasa malas yang mendekapnya erat. Sementara Erika masih terlelap di ranjang single sebelahnya.
Matahari perlahan menampakkan cahaya emasnya. Penghuni asrama itu mulai sibuk dengan aktivitas masing-masing. Asrama yang ditinggali oleh tiga orang bidan, lima orang perawat, dua orang tenaga kefarmasian serta dua orang juru masak tersebut memulai pagi ini sesuai dengan tugasnya. Hari ini Naya yang mendapat shift pagi sudah siap dengan seragam kerjanya. Mereka sarapan bersama layaknya sebuah keluarga.
Waktu menunjukkan pukul tujuh ketika Naya melangkahkan kakinya menuju klinik yang berada di depan asrama.
“Pagi, mbak Nay!” sapa pak Rohim yang sudah duduk di loket pendaftaran.
“Pagi juga, Pak!” balas Naya menebar senyumnya. Dia segera memasuki ruang farmasi, di sana sudah ada Kamila yang merupakan anak dari tetua desa.
“Pagi, mbak Mila! Apa yang pertama harus Naya lakukan, Mbak?” Naya menghampiri Kamila. Melihat Naya datang, Kamila segera mejelaskan apa yang harus Naya lakukan. Satu per satu pasien yang berobat pun datang, memang tidak seramai di kota, karena masyarakat di sini belum begitu memperhatikan masalah kesehatannya. Naya duduk di loket obat, pukul sembilan dia melihat sosok dokter Rafael memasuki klinik. Aura beda yang terpancar dari wajahnya sungguh bertolak belakang dengan Rafael yang kemarin masih menjahilinya. Apalagi saat ini Rafael memakai seragam dokternya, hingga terlukis jelas keindahan yang terukir di wajahnya.
“Wah, ganteng banget dokter barunya!” Kamila yang berada di sebelah Naya memandang Rafael penuh kekaguman, membuat Naya sesaat tersadar dari lamunannya.
“Mbak Mila jangan bikin kaget, dong!” Naya menyenggol lengan Kamila, sedangkan yang disenggol hanya tersenyum tanpa mengalihkan tatapannya dari dokter Rafael.
“Pagi Nay, pagi mbak Mila!” sapa Rafael begitu melewati instalasi farmasi. Naya menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Sedangkan Mila heboh karena sapaan Rafael.
“Pagi juga, Dok!” balas Mila terpesona.Rafael pun mengangguk dan berlalu menuju ruang pemeriksaan.
***
Tiga hari Naya berada di desa tersebut, dia lupa tidak mengabari Dini jika dia sudah sampai. Naya segera mengganti nomor ponselnya dan keluar rumah untuk menelpon Dini. Dia duduk di kursi bambu sebelah asrama. Setelah beberapa saat ponselnya tersambung.
“Assalamualaikum, selamat malam, Tan! Ini Naya, maaf baru sempat menghubungi. Nomor Naya ganti ini, Tan.” sapa Naya.
“Waalaikumsalam, kamu baik-baik saja, kan? Tante nunggu kabar kamu dari kemarin,” jawab Dini.
“Alhamdulillah Naya baik. Tante sama om juga sehat, kan?” tanya Naya.
“Alhamdulillah sehat, hanya Axel yang sudah tiga hari ini nggak enak badan. Dia demam dan muntah-muntah. Maafin tante nggak bisa menjaga Naresh, ya!” ucap Dini.
“Nggak papa Tan. Axel sudah periksa?” jawab Naya. “Sudah tadi pagi. Gimana di sana, betah apa enggak?” tanya Dini.
”Betah, kok, Tan! Disini semua baik sama Naya,” balas Naya. Rafael yang pesaran melihat Naya keluar malam-malam pun mengikutinya. Mengendap dalam ruang gelap hanya untuk mengikuti Naya. Akhirnya rasa penasarn Rafael sedikit terobati.
***
Berulang kali Rafael mendapati Naya keluar malam-malam untuk menghubungi seseorang yang dipangilnya tante. Penasaran? Sudah pasti. Dari hari ke hari Rafael makin penasaran tentang kehidupan Naya. Ada sesuatu yang mendorongnya untuk mencari tahu lebih dalam. Rafael seperti soerang detektif yang mengikuti ke mana pun Naya pergi. Entah mengapa sejak awal bertemu, sosok Naya selalu mengusik hatinya. Malam ini Rafael mendapati Naya duduk di bangku bambu seperti beberapa hari yang lalu. Namun bukan sedang menghubungi seseorang, melainkan sedang terisak menatap rembulan dan memegang kalung di lehernya. Melihat kondisi Naya, hatinya terasa teriris. Perih … sakit. Ingin dia menarik Naya dalam pelukannya. Gadis rapuh dalam pandangannya yang mencoba untuk selalu tersenyum.
“Sebenarnya apa yang terjadi dengan kamu, Nay?” Kalimat yang selalu menjadi pertanyaan dalam hati Rafael. Malam ini Rafael menemani Naya dari jauh tanpa Naya ketahui. Rafael baru kembali ke kamarnya setelah melihat Naya masuk ke asrama.
***
Enam bulan sudah terlewati, selama itu hubungan Naya dan Rafael semakin dekat. Rafael selalu berusaha menghadirkan senyum di wajah Naya. Melalui sikap konyolnya dan juga perhatian-perhatian kecil yang selalu diberikan.
“Nay, ke kota, yuk!” ajak Rafael pagi itu ketika Naya menyiram bunga di depan asrama.
“Ngapain ke kota?” tanya Naya tanpa menghentikan aktifitasnya.
“Pengen nyari makanan enak, bosen makan makanan di sini. Anterin, yuk!” pinta Rafael.
“Boleh, tapi ada syaratnya!” cetus Naya.
“Apa?” tanya Rafael.
“Traktir aku minum kopi sama cake di cafe Kopi Kita,” jawab Naya melebarkan senyumnya.
“Itu, mah, gampang. Kamu tinggal tunjukin tempatnya. Ayo berangkat biar pulangnya nggak kesorean!” Rafael tersenyum penuh semangat.
“Eh, aku mandi dulu,” terang Naya.
“Lho, dari tadi kamu belum mandi? Pantesan bau asem.” Rafael pura-pura menutup hidungnya.
“Halah, kalau aku nggak bilang juga kamu nggak tahu, kan, kalau aku belum mandi,” balas Naya menjulurkan lidahnya.
“Sana buruan, aku manasin motor dulu!” Rafael berlalu setelah Naya masuk asrama.
Mengendari motor menyusuri jalan di sekitar perbukitan, cuaca yang mulai hangat akan sinar mentari yang beranjak tinggi, dari situlah Rafael menapaki indahnya rasa yang mulai terselip. Benih-benih kasih yang perlahan menghangat semakin menumbuhkan kuncup cinta yang berselimut kabut kehampaan.
***
Kini mereka berada di cafe Kopi Kita, tempat yang beberapa waktu lalu menjadi saksi indahnya kehidupan Naya. Bukan karena ingin mengenang masa itu, tetapi Naya memang menyukai cake yang menjadi menu andalan di cafe rersebut. Tidak jauh dari cafe tersebut, ada sebuah baby shop yang cukup ramai dengan pembeli. Naya memicingkan matanya ketika melihat Dini keluar dari tempat tersebut. Naya bangkit ingin menghampiri, namun ia urungkan niatnya tatkala melihat Axel di belakang Dini sambil mendorong kursi roda. Seketika hatinya mencelus melihat kebersamaan mereka. Naresha dengan perutnya yang membesar membawa belanjaan dan Axel mendorong kursi rodanya. Rafael mengikuti arah pandang Naya ketika melihat perubahan raut muka Naya. Sedikit banyak Rafael mulai menebak pikiran Naya. Inikah yang membuat Naya rapuh?
“Nay, kamu nggak pengen ngunjungin temen kamu di apotek Aulia?” tanya Rafael mencoba mengalihkan perhatian Naya.
“Pengen, sih! Tapi nanti saja setelah kita dari sini,” jawab Naya memainkan cake di mejanya.
“Bukannya dekat dari sini, ya?” tanya Rafael.
“Iya,” jawab Naya singkat.
“Oya, mau bawa pulang cakenya apa enggak? Sekalian bawain buat Erika,” tawar Rafael.
“Boleh,” jawab Naya tanpa mengalihkan tatap matanya. Naya mengusap air mata yang mengalir dengan sendirinya. Sejauh dia berusaha melupakan kenangannya, sedalam itu pula kerinduan mendekapnya.
Tuhan …
Ajari aku ‘tuk melupakannya
Bimbing aku ‘tuk menjauh dari bayangnya
Sapukan ia dari lorong kehampaan
Tunjukkan sebait kedamaian
Naya kembali menyentuh kalung matahari yang selama ini masih melingkar di lehernya. Naya berpikir mungkin kini saatnya dia harus benar-benar melepas kalung tersebut. Dia segera melepaskan dan menyimpan dalam tasnya. Sementara itu Rafael menyalahkan dirinya, rencana dia untuk menghadirkan senyum Naya justru mengalirkan air matanya. Rafael sengaja berlama-lama di depan etalase kue, memberi ruang kepada Naya untuk sejenak meluapkan emosinya. Rafael pun bertekad untuk segera mencari tahu tentang apa yang terjadi pada Naya.
Bersambung.
Kangen Rumah
-Sarapan Kata KMO Club Batch 41
-Kelompok 19
-Jumlah kata 1221
-Sarkat Jadi Buku
Setelah kejadian di café Kopi Kita beberapa hari lalu, hari ini Rafael izin dari klinik dan pergi ke apotek Aulia tempat Naya dulu bekerja. Dari cerita Naya selama ini, dia tahu jika Naya mempunyai sahabat bernama Siska.
“Siang, Mbak. Saya dokter Rafael, bisa bertemu dengan mbak Siska?” sapa Rafael pada Dewi yang saat ini berada di pelayanan.
“Sebentar saya panggilkan. Mohon ditunggu, Dok!” balas Dewi. Selang beberapa saat, Siska keluar dan menemui Rafael yang duduk di kursi tunggu.
“Maaf, anda mencari saya?” sapa Siska begitu sampai di dekat Rafael.
“Dengan mbak Siska? Saya Rafael, teman Naya di klinik Sejahtera.” Rafael mengulurkan tangannya dan disambut oleh Siska.
“Kalau boleh tahu, ada perlu apa, ya? Naya baik-baik saja, kan?” berondong Siska seakan ingin melontarkan segudang pertanyaan.
“Naya baik-baik saja, saya ingin bertanya sesuatu tentang Naya. Mbak Siska ada waktu?” Rafael tersenyum melihat ekspresi Siska yang begitu berbinar mendengar kabar Naya.
“Alhamdulillah, jika Naya baik-baik saja. Apa selama ini dia tidak pulang? Kenapa nomor ponselnya tidak bisa dihubungi?” tanya Siska lagi.
“Maka dari itu saya ingin menanyakan sesuatu tentang Naya, jika kita bicarakan sekarang, kok, rasanya nggak enak. Bisa kita bicara setelah jam kerja?” pinta Rafael.
“Tiga puluh menit lagi gimana? Dokter Rafael bisa menunggu di sini,” terang Siska. Rafael pun mengangguk dan membiarkan Siska berlalu.
***
Tiga puluh menit kemudian, Siska sudah berada di ruang tunggu setelah selesai jam kerjanya. Rafael pun mengajak Siska ke rumah makan tak jauh dari apotek. Rafael menceritakan kejadian beberapa hari lalu di café yang membuat Naya menangis dan juga tentang Naya yang sering ia dapati menangis dalam gelapnya malam sambil memegang kalungnya.
Siska mulai bercerita tentang kehidupan Naya selama tiga tahun mereka bersama, sejauh yang Siska ketahui.
“Jadi wanita itu adalah adik kandung Naya?” Rafael berusaha memastikan.
“Iya,” jawab Siska singkat.
“Bisa dibilang Naya pergi karena masalah itu?” sekali lagi Rafael ingin memastikan.
“Ya, aku tahu gimana perasaanya. Dia tidak mungkin secepat itu bisa melupakan cintanya sejak kecil,” jawab Siska.
“Tolong jangan cerita ke Naya tentang pertemuan ini,” pinta Rafael dan mendapat anggukan dari Siska. Rafael mulai memahami posisi Naya, semakin ke sini Rafael semakin peduli akan Naya, ingin melindunginya dan ingin mengembalikan senyum Naya yang menghilang sejak kejadian berat yang menimpanya.
***
Hari menjelang sore ketika Rafael tiba di komplek klinik. Dari jauh dia melihat Naya sedang menyiram bunga matahari yang tumbuh di depan asrama. Rafael tersenyum melihat gadis itu, namun seketika hatinya sakit mengingat cerita Siska.
Malam ini kembali Rafael melihat Naya keluar dari asrama, waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Rafael pun segera mengikuti Naya dan ternyata Naya duduk di bangku biasanya. Naya segera mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang.
“Assalamualaikum, Bun! Ini Naya maaf baru menghubungi Bunda,” sapa Naya.
“Naya sehat, bagaimana dengan ayah dan bunda? Nomor Naya memang susah di sini, Bun. Ini Naya pinjam ponsel teman.” Naya.
“Ayah sakit? Maaf Naya belum bisa pulang, Bun! Antar ayah periksa, Naya udah kirim uang tiap bulan. Kalau kurang untuk berobat, bulan depan Naya tambahin, Bun!”_Naya.
Hanya itu kalimat yang Rafael dengar. Rafael berasumsi jika Naya benar-benar tidak ingin bertemu dengan adik dan mantan kekasihnya. Rafael semakin mengerti betapa terpuruknya Naya hingga dia berusaha lari dari kenyataan. Meninggalkan segala keinginan dan cita-citanya. Baru kali ini Rafael mempunyai perasaan peduli terhadap wanita hingga sedalam ini.
Sementara Naya masih enggan beranjak dari tempat itu meskipun dingin semakin erat mendekap. Naya menengadahkan kepalanya, meraup oksigen lebih banyak dari biasanya. Kerinduan yang ia rasakan terlalu menyakitkan. Kerinduan yang bersemayam dalam hatinya seolah enggan terlepas. Entah sampai kapan Naya terbelenggu dalam situasi seperti ini. Rafael memberanikan diri untuk mendekati Naya. Dia tidak mau terus-menerus melihat Naya seperti ini.
Malam semakin larut menemani mereka dalam keheningan. Suara jangkrik bersautan bagaikan irama yang mengiringi lagu kerinduan. Setiap detik waktu yang bergulir adalah kumpulan syair yang sewaktu-waktu berubah menjadi sebait puisi. Hingga pada akhirnya akan tercipta sebuah lagu kerinduan.
***
Siang itu Naya buru-buru menemui dokter Rian di ruangannya setelah beberapa saat yang lalu dia membuka ponselnya dan mendapat kabar dari bunda jika ayahnya masuk rumah sakit.
“Maaf, Dok! Boleh saya minta izin libur beberapa hari?” ucap Naya panik.
“Ada apa, Nay. Apa terjadi sesuatu?” tanya Rian.
“Ayah saya masuk rumah sakit dari kemarin. Pesan dari bunda baru saja masuk,” terang Naya.
“Baiklah, nanti jadwalnya bisa kita sesuaikan. Kamu temui dokter Rafael untuk mengantar kamu ke kota!” perintah Rian.
“Terima kasih, Dok!” jawab Naya. Naya pun kembali ke ruangannya mengambil tas dan berpamitan kepada Mila. Naya mencari Rafael yang saat ini tidak bertugas di klinik. Rafael sedang membersihkan mobilnya di garasi asrama.
“Fel, bisa minta tolong!” seru Naya membuat Rafael mengalihkan kesibukannya.
“Ada apa, Nay?” tanya Rafael.
“Anterin aku pulang, ayah masuk rumah sakit,” wajah Naya berubah sendu.
“Oke,! Aku ganti baju bentar, ya!” Rafael segera masuk ke asrama, sedangkan Naya kembali ke asrama mengambi beberapa baju dan berpamitan kepada Erika.
Perjalanan terasa panjang bagi Naya yang sedang gelisah. Meskipun selama ini ayahnya memperlakukan Naya seperti anak pungut, namun Naya tetap berusaha memberikan yang terbaik buat beliau, yang jelas Naya harus selalu menguatkan bunda di saat-saat seperti sekarang. Sekitar pukul dua siang Naya dan Rafael sampai di rumah sakit tempat Galih dirawat. Naya menanyakan keberadaan ayahnya di bagian informasi, kemudian segera mencari ruangan sesuai petunjuk dari petugas. Di sebuah kamar, Naya melihat bunda Ratna duduk di sebelah tempat tidur.
“Bun, maafin Naya baru bisa pulang sekarang!” Naya menghampur dan memeluk Ratna. Begitu pun Ratna membalas pelukan putrinya. Rasa rindu yang selalu mengusik meskipun dengan rapi dia sembunyikan.
“Alhamdulillah jika pesan bunda sampai ke kamu, Nay! Ayah baru saja minum obat, dia tertidur akibat efek obatnya,” terang Bunda.
“Ayah sakit apa, Bun? Bukankah selama ini ayah sehat-sehat saja?” Naya meluapkan segala rasa keingintahuannya.
“Dokter bilang ayah kena serangan jantung. Kemarin bunda dikabari teman kerja ayah dan posisi ayah saat itu sudah berada di rumah sakit,” jawab Ratna yang tiba-tiba saja mengalihkan pandangannya ke arah Rafael.
“Saya Rafael, Bun! Dokter di klinik tempat Naya bekerja,” Rafael mengulurkan tangannya menyapa Ratna.
“Oh, maaf sudah merepotkan,” ujar Ratna menyambut uluran tangan Rafael.
***
POV Galih.
Siang itu Galih dan Iwan sedang makan di warung setelah mengantar muatan ke pelanggan. Galih duduk tidak jauh dari dua orang gadis yang juga sedang menikmati makan siang. Tanpa sengaja dia mendengar pembicaraan kedua gadis tersebut.
“Lama gue nggak ketemu Naresh. Apa kabar dia, ya?” celetuk Laras. Galih yang awalnya tidak peduli dengan suasana sekitarnya, mendadak menajamkan pendengarannya ketika Laras menyebut nama Naresh meskipun Galih belum tahu apakah Naresh yang mereka bicarakan adalah putrinya atau bukan.
“Sama, gue juga nggak pernah kontak sama dia. Semenjak dia menikah sepertinya memang berusah menghindar dari kita, deh!” sambung Reni.
“Gue sebenarnya merasa kasihan sama lakinya. Gue juga ngerasa ikut berdosa akibat rencana Naresh,” desah Laras memerosotkan bahunya. Mendengar hal tersebut, tiba-tiba dadanya sakit dan napasnya terasa sesak. Galih memegang dadanya menahan rasa sakit yang amat menyiksa. Lama-kelamaan pandangannya mulai kabur dan sayup-sayup terdengar suara Iwan memanggil namanya. Beberapa saat setelah itu Galih tidak mendengar apa-apa lagi, hanya gelap dan hening.
Galih membuka matanya, mengedarkan pandangan di sekelilingnya. Galih mendapati istrinya duduk di sebuah kursi tidak jauh dari tempat dia berbaring. Air matanya meleleh dalam diam mengingat percakapan gadis di warung tersebut. Orang tua mana yang tidak sakit melihat kedua putrinya hancur secara bersamaan. Meskipun Galih begitu menyayangi Naresh, tetepi dia juga tidak bisa membenarkan kelakuan Naresh.
Bersambung.
Kelahiran
-Sarapan Kata KMO Club Batch 41
-Kelompok 19
-Jumlah kata 998
-Sarkat Jadi Buku
Malam ini Naya menginap di rumah sakit menemani bunda Ratna meskipun beliau bersikeras meminta Naya untuk pulang menemani Naresha. Setelah melalu beberapa argumen akhirnya Ratna pun menyetujui Naya menginap di rumah sakit bersamanya. Ratna semakin yakin jika di antara Naya dan Axel pernah terjadi hubungan dan dia mencoba untuk memahami posisi Naya. Hingga malam itu Ratna meminta Axel untuk pulang dari peternakan dan menemani Naresh di rumah. Naya yang merasa heran dengan permintaan bundanya pun segera mengorek kehidupan adiknya.
“Bun, memangnya selama ini Axel tidak tinggal di rumah kita?” pancing Naya.
“Enggak, Nay! Axel sibuk di peternakan papanya di kampung. Dia hanya pulang saat jadwal terapi Naresh saja,” terang Bunda.
“Jadi selama ini yang mengurus Naresh, bunda juga?” selidik Naya.
“Iya, Nay. Bunda nggak papa, kok. Biarlah Axel mencari nafkah buat biaya lahiran juga biaya terapi. Ke depannya akan butuh lebih banyak biaya untuk operasi pengambilan pen juga, kan.” Ratna mendekati Galih membenarkan selimutnya. Entah mengapa hati Naya terusik mendengar penuturan bunda. Banyak pertanyaan di benaknya tentang Axel. Apakah dia berusaha menghindari Naresh karena tidak mencintainya? Naya masih ingat betul ketika Axel mengatakan perasaannya di hari perpisahan mereka.
“Naya mana, Bun?” tanya Galih lemah.
“Ada, Yah. Nay sini, dipanggil ayah!” perintah Ratna.
“Iya, Yah! Naya di sini. Apa yang ayah rasakan?” tanya Naya dengan senyumnya. Galih menatap putrinya dengan penuh rasa bersalah. Galih selama ini tidak bisa menerima kehadiran Naya dan menganggap sebagai sumber masalahnya. Naya adalah penyebab hancurnya cita-citanya dan membuat Galih terpaksa meninggalkan kemewahan yang dia terima dari orang tuanya.
“Maafkan ayah, ya! Selama ini ayah belum bisa menjadi ayah yang baik buat Naya. Apa Naya mau memaafkan semua kesalahan ayah?” lirih Galih.
“Ayah tidak salah, kok! Ayah nggak usah mikir yang enggak-enggak, ayah harus banyak istirahat.” Naya memegang tangan Galih yang masih lemah.
Melihat hal ini membuat Ratna terharu. Selama ini memang Galih tidak pernah menerima kehadiran Naya. Ratna masih teringat kejadian dua puluh tiga tahun silam ketika mereka meninggalkan rumah keluarga Galih. Galih adalah anak lelaki pewaris keluarga Bisma, seorang juragan dengan berbagai usaha yang digelutinya. Indah-ibu dari Ratna- seorang pembantu rumah tangga di keluarga Bisma. Indah bekerja pada keluarga Bisma semenjak Ratna SMP dan ikut tinggal bersama mereka hingga dewasa. Suatu hari terjadilah sebuah petaka, Ratna hamil akibat perbuatan Galih ketika Ratna berusia sembilan belas tahun.
Keluarga Bisma yang sangat disiplin dan selalu menegakkan kebenaran pun memaksa Galih untuk bertanggung jawab. Entah apa yang terjadi dengan keluarga Bisma hingga hari itu Galih betengkar dengan ayahnya dan Galih memilih pergi meninggalkan segala kemewahan bersama Ratna. Mereka memulai hidup sederhana di sebuah kota kecil yang jauh dari kota kelahirannya. Bisa dikatakan mereka hidup kekurangan karena Galih hanya bekerja serabutan.
“Aku tidak akan pulang sebelum meraih kesuksesan dan menunjukkan pada ayah,” kata Galih saat itu. Hidup serba kekurangan membuat Galih menyalahkan takdir, menyalahkan kehadiran Naya dan Ratna yang membuat hidupnya semakin berat. Galih tidak menyadari bahwa perbuatannya yang menghancurkan masa depannya dan juga masa depan Ratna.
“Ayah ingin melihat kamu menikah, Nay!” kalimat Galih menyadarkan lamunan Ratna tentang masa lalunya.
“Menikah? Naya belum kepikiran, Yah. Naya masih ingin melanjutkan sekolah,” pekik Naya dengan mata membulat.
“Sepertinya dokter Rafael sangat perhatian sama kamu. Ayah yakin dia orang yang baik,” imbuh Galih.
“Dokter Rafael memang baik, Yah. Tapi kami hanya berteman,” terang Naya mengulas senyum teduhnya.
“Ayah takut tidak diberi kesempatan untuk menjadi wali nikah kamu, Nay!” lirih Galih.
“Ayah nggak usah berpikiran yang aneh-aneh, deh! Udah malam sebaiknya Ayah istirahat!” perintah Naya lembut. Tiga malam Naya menginap di rumah sakit bersama bunda Ratna hingga kondisi Galih membaik dan dinyatakan boleh pulang. Sekembalinya Galih dari rumah sakit, Naya pun kembali ke klinik bersama Rafael. Menjalani hari-harinya di tengah perkebunan kopi yang bersuarakan irama jangkrik ketika malam tiba.
Hari demi hari kebersamaan Rafael di samping Naya menghadirkan rasa baru yang membuat Rafael nyaman. Bahagia jika bersama, dan sedih jika melihat Naya menangis sendiri dalam keheningan malam. Sampai saat ini Naya pun masih bungkam akan kisah hidupnya, hingga Rafael hanya bisa memeluknya dalam setiap doa yang dia ucapkan dalam sujudnya. Rafael semakin memahami kenginan Naya dan juga impiannya,
“Nay, kamu masih ingin melanjutkan sekolah?” tanya Rafael suatu malam di tempat favorit Naya.
“Pengen, sih! Tapi lihat bagaimana nanti aja, deh,” jawab Naya.
“Memang kenapa nunggu nanti?” Rafael merapatkan jaket untuk melindungi tubuhnya dari udara dingin pegunungan.
“Ya, nunggu keuangan cukup, lah!” jawab Naya tertawa.
“Kalau kamu mau, aku bisa bantu ajukan beasiswa ke yayasan, lho! Tapi ada syaratnya, kamu harus serius dalam belajar dan setelah selesai nanti kamu tetap kerja di klinik ini,” terang Rafael.
“Serius!” Naya memandang Rafael dengan mata berbinar.
“Iya, lah! Tapi kalau kamu ragu mending nggak usah daftar beasiswa, deh!” goda Rafael pura-pura cemberut.
“Ish, kamu!” tangan Naya mendarat di pundak Rafael. Mereka berdua tertawa lepas dalam indahnya malam. Menatap sinar rembulan yang berdampingan dengan bintang. Rafael bahagia melihat Naya bisa tertawa seperti ini.
***
Waktu bergulir begitu cepat, Naya sudah mulai terbiasa dengan kehidupan di desa. Meskipun Naya bahagia berada di sana, namun sesekali rasa rindu yang berada di dasar hatinya masih sering muncul dengan tiba-tiba. Merindukan sosok Axel adalah rindu terlarang, namun tiadak mudah untuk menghapusnya. Malam ini Naya kembali duduk di kursi bambu, memandang langit yang menyembunyikan rembulan. Cuaca sedikit mendung hingga bintang pun seolah enggan menyapa.
“Ngelamun sendiri emang enak, Neng?” goda Rafael yang tiba-tiba sudah berada di samping Naya.
“Fel, Naresh sudah melahirkan,” celetuk Naya datar, pandangannya menatap jauh ke arah langit. Rafael menangkap kesedihan dalam kalimat yang ia dengar.
“Wah, senang, dong, dapat keponakan baru!” goda Rafael mencoba mencairkan suasana.
“Besok Sabtu acara aqiqah, bunda minta aku pulang,” lirih Naya.
“Ya, udah besok Sabtu aku antar kamu pulang,” sambut Rafael.
“Bukan masalah itu! Aku nggak mau pulang,” kalimat Naya semakin lirih. Tanpa Rafael duga, Naya menceritakan masa lalunya tanpa dia minta. Sama seperti yang pernah Rafael dengar dari Siska.
“Bahuku siap menampung keluh-kesahmu. Menangislah, supaya bebanmu luruh bersama air matamu,” Axel mendekat di samping Naya. Naya pun menyandarkan kepalanya di bahu Rafael menumpahkan segala beban yang menghimpitnya.
Bersambung.
Lamaran
-Sarapan Kata KMO Club Batch 41
-Kelompok 19
-Jumlah kata 1017
-Sarkat Jadi Buku
Naya melepaskan semua beban berat yang dipikulnya selama ini. Perlahan tangan kiri Rafael mengelus kepala Naya penuh kasih. Suara isak tangisnya makin terdengar memilukan. Mengiris hatinya membuka goresan luka, Rafael tidak tahan melihat bahu Naya yang semakin bergetar. Perlahan Rafael memberanikan diri menarik Naya dalam pelukannya. Hatinya menghangat tatkala Naya tidak melakukan penolakan atas sikapnya.
“Aku salah apa, Fel? Kenapa takdir selalu tidak adil padaku?” isak Naya.
“Kamu tidak salah, hanya saja Tuhan sedang mengulur waktu untuk membawamu pada bahagiamu. Jika kamu berhasil melalui semua ini, saat itulah Tuhan menganggapmu pantas untuk menerima orang yang lebih baik. Jangan sedih lagi, ya!” Rafael mengelus puncak kepala Naya.
Malam makin larut menghantarkan dingin di sekujur tubuh. Mendung semakin pekat memeluk erat sang rembulan. Bintang-bintang perlahan kembali pada peraduannya, menyimpan sinarnya untuk esok hari. Naya dan Rafael masih setia dalam diam, memandang lukisan Tuhan yang begitu indah.
***
Semenjak kabar kelahiran putri Naresha, senyum Naya kembali memudar. Berulang kali Rafael mendapati Naya murung dan sering menyendiri.
“Nay, udah waktunya istirahat. Makan dulu, gih!” Rafael mendatangi ruangan Naya dan mengulurkan makan siang yang dia terima dari bu Imah, sang juru masak di asrama. Beberapa hari ini Rafael juga mendengar dari Erika jika Naya sering telat makan.
“Nay!” panggil Rafael lagi.
“Eh, iya! Ada apa, Dok!” Naya tersadar dari lamunannya.
“Yuk, makan dulu!” Rafael tersenyum menyodorkan kotak makan yang dia bawa. Hari ini kebetulan Naya jaga sendiri karena Kamila sedang ada kepentingan. Naya membuka kotak makannya dan mulai memasukan sesuap demi sesuap makanan itu ke dalam mulutnya dengan malas.
“Makanannya nggak enak, ya?” tanya Rafael yang melihat Naya makan dengan setengah hati.
“Eh, enak, kok! Cuma akhir-akhir ini aku nggak selera makan,” keluh Naya.
“Mau makan di luar? Kamu ingin makan apa?” tawar Rafael.
“Nggak selera,” celetuk Naya.
“Tapi kamu harus makan, nanti kamu sakit kalau nggak dipaksa makan. Apa mau aku suapin?” Rafael menggeser kursi mendekati Naya. Spontan Naya mengalihkan pandangan dari makanan dihadapannya dan menatap Rafael.
“Aku makan sendiri,” ujar Naya membuat Rafael tersenyum melihat tingkah lucunya.
“Oya,besok Sabtu kita pulangnya setelah selesai jam kerja saja, ya! Kebetulan hari Sabtu ada kegiatan vaksin di balai desa. Kamu juga shift pagi, kan?” tanya Rafael di sela-sela makannya.
“Iya, Dok! Lagian biar kita nggak terlalu lama di sana,” tutur Naya.
***
Malam ini seperti biasa Naya menyendiri memandang langit. Aroma khas bekas hujan dan udara dingin yang menerpa wajah ayunya seolah tidak dia pedulikan. Di tengah lamunannya ponsel di sakunya bergetar, terlihat nama tante Dini di layar hijau.
“Assalamualaikum, Tan!” sapa Naya.
“Waalaikumsalam, apa kabar Nay?” balas Dini dari seberang.
“Kabar baik, Tan,” ucap Naya.
“Besok pulang, kan? Tante jemput, ya?” tawar Dini.
“Insyaallah! Nggak usah dijemput, Tan. Naya besok pulang diantar dokter Rafael” tolak Naya.
“Dokter Rafael! Dia siapa?” tanya Dini.
“Teman Naya di sini, Tan” jawab Naya.
“Oya, sudah. Tante tunggu, ya!” kata Dini. Setelah berbasa-basi sebentar, Naya pun menutup ponselnya. Rafael yang sedari tadi memperhatikan dari jauh segera mendekat. Dia duduk di samping Naya dengan membawa dua cangkir coklat hangat.
“Minum selagi masih hangat, Nay!” Rafael menyerahkan satu cangkir coklat untuk Naya.
“Makasih, Fel!” jawab Naya menerima cangkir tersebut. Sesaat suasana hening. Mereka menikmati aroma coklat dari cangkir yang masih mengepul di tangan mereka. Merasakan kehangatan yang masih tersisa di cangkir tersebut.
“Nay, maaf jika aku lancang mengatakan ini,” ucap Rafael membuka percakapan mereka. Naya pun menoleh, keningnya berkerut membalas tatapan mata Rafael.
“Serius amat, ada apa?” tanya Naya penasaran.
“Aku mau jujur sama kamu. Selama kebersamaan kita, aku merasa makin peduli sama kamu. Makin sayang sama kamu. Sepertinya aku jatuh cinta sama kamu,” ungkap Rafael menatap mata Naya dalam keremangan.
“Maukah kamu menikah denganku, Nay?” tanya Rafael penuh harap. Seketika Naya terkejut mendengar ajakan Rafael untuk menikah. Naya memang merasakan perhatian lebih dari Rafael namun Naya tidak berpikir secepat ini untuk mendapat ajakan menikah.
“Fel, kamu sadar apa ngigau?” tanya Naya mencoba untuk memastikan.
“Aku serius, Nay! Mungkin aku bukanlah kebahagiaanmu, tapi aku akan berusaha membuat kamu selalu tersenyum dan aku berharap bisa menjadi pengobat lukamu,” ucap Rafael penuh keyakinan. Naya tercekat, ludahnya terasa kelat.
“Tapi, Fel, aku takut akan mengecewakanmu. Kamu tahu sendiri bagaimana perasaan aku,” lirih Naya mengalihkan pandangannya dari wajah Rafael. Seketika keberaniannya luruh begitu saja menatap sorot mata Rafael yang penuh ketegasan.
“Kamu harus mencoba untuk bangkit, Nay! Tak selamanya, kan, kamu seperti ini? Kamu harus mencoba merelakan dia yang sudah tidak mungkin kamu harapkan.” Rafael mencoba meyakinkan Naya.
“Kamu pasti bisa! Meskipun seandainya bukan aku jodohmu, paling tidak kamu sudah berusaha untuk bangkit,” imbuh Rafael membuat Naya makin gamang. Hening tidak ada lagi ucapan dari keduanya, hanya suara jangkrik yang menjadi irama pengiring nyanyian hati mereka.
“Aku butuh waktu berpikir, Fel. Maafkan, aku!” lirih Naya.
“It’s ok! Kamu tidak perlu jawab sekarang.” Rafael tersenyum menyesap coklat dari cangkirnya yang mulai dingin.
***
Sore itu hujan mulai turun membasahi dedaunan, Rafael dan Naya berada dalam mobil menuju rumah. Di tengah perjalanan tidak lupa mereka menyempatkan membeli bingkisan untuk baby Naresh. Menjelang Magrib mereka baru tiba di rumah Naya yang sudah ramai dengan hadirnya tetangga dekat.
“Naya! Tante kira kamu nggak jadi pulang!” teriak Dini berlari dari ruang tamu begitu melihat Naya dari balik jendela. Dini segera menghampur memeluk Naya. Begitu pula Naya membalas pelukan hangat Dini. Rafael sedikit mengerutkan keningnya melihat mereka begitu dekat, padahal seingat Rafael, dia bukan bundanya Naya. Naya segera tersadar akan keadaan dan memperkenalkan Rafael.
“Oya, Tan, ini dokter Rafael,” terang Naya. Rafael mendekat dan menyalami tangan Dini.
“Saya Rafael, biasa dipanggil Afel. Teman Naya di klinik yang sedang berharap menjadi calon suaminya,” ungkap Rafael dengan candaannya yang membuat Dini tertawa.
“Saya Dini. Tetangga depan rumah yang jadi teman Naya sejak Naya masih kecil,” balas Dini tertawa sambil menunjuk arah rumahnya. Mereka pun tertawa bersama.
“Masuk, Dok!” sapa Galih yang menyambut di pintu. Mereka masuk dan Rafael menyalami satu per satu orang-orang yang berada dalam ruangan itu. Naya melihat bayi mungil yang wajahnya cantik seperti Naresha berada dalam gendongan bunda. Sedangkan Naresha masih berada di atas kursi roda.
“Assalamualaikum …!” terdengar salam dari arah pintu depan yang mengalihkan perhatian semua orang.
***
Bersambung.
Kondisi Ayah Memburuk
-Sarapan Kata KMO Club Batch 41
-Kelompok 19
-Jumlah kata 910
-Sarkat Jadi Buku
“Assalamualaikum!” Ucapan salam yang berasal dari arah pintu membuat orang-orang yang berada dalam ruangan itu mengalihkan pandangannya. Begitu juga dengan Naya, sesaat tatapan matanya bertemu dengan sorot mata yang selama ini dia rindukan. Hampir sembilan bulan mereka tidak bertemu, Naya melihat banyak perubahan dalam diri Axel. Wajah yang kusam ‘tak secerah dulu dan tubuhnya yang sedikit kurus menjadi pertanda bahwa pernikahannya dengan Naresha tidak menghadirkan kebahagiaan bagi Axel.
“Waalaikumsalam!” jawab serentak orang-orang yang duduk di ruang tamu.
“Catheringnya sudah siap, Xel?” tanya Satrio pada putranya.
“Sudah, Pa! Urusan di panti juga sudah selesai.” Axel menuju ruang tengah disusul pegawai cathering yang membawa nasi bok.
“Saya bantu, Pak!” ujar Rafael bangkit dari duduknya menuju mobil cathering di luar. Acara berlangsung khidmat selama kurang lebih satu setengah jam. Selebihnya adalah acara berkumpulnya keluarga Naya dan Axel.
“Nak Rafael nginap di sini, kan?” tanya Galih.
“Wah, sebenarnya saya ingin, Om! Tapi Naya pasti tidak mengizinkan,” jawab Rafael dengan tawanya membuat semua ikut tertawa.
“Kalau Naya nggak ngizinin, nginep di rumah, Om, aja di depan,” sambung Satrio.
“Terima kasih, Om! Saya, sih, gampang. Nanti juga bisa nginap di klinik pusat,” jawab Rafael.
“Pokoknya harus nginap di rumah, Om. Titik!” kekeh Satrio.
“Iya, Om!” jawab Rafael disusul tawa dari yang lain.
“Di sini nggak ada yang menang debat sama Satrio,” celetuk Galih tertawa melihat ekspresi Rafael. Naya yang melihat senyum bahagia Galih merasa senang, selama ini Naya jarang sekali melihat Galih tertawa selepas itu.
Namun di sisi lain, ada seorang hati yang merasa kecil di antara luasnya kebahagiaan. Axel yang sedari tadi hanya diam tanpa menanggapi candaan orang tuanya maupun ayah mertuanya.Ya, Axel merasakan dirinya semakin tidak berarti di mata Naya. Apalagi dengan kehadiran Rafael yang membuat suasana makin hidup.
***
Malam ini Naya kembali menempati kamarnya yang sudah lama dia tinggalkan. Mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan tidak ada satu pun yang berubah. Berada dalam kamar itu membuat Naya teringat kembali akan semua kenangannya bersama Axel. Tiba-tiba dia teringat akan kalung yang dulu belum sempat dia kembalikan. Namun sayangnya kalung tersebut dia simpan dalam lemari di asramanya, hingga Naya belum bisa mengembalikan kepada Axel.
Naya beranjak keluar kamar untuk mengambil minum di dapur. Ketika hendak masuk kembali ke dalam kamar, Naya mendengar suara benda kaca yang terjatuh dari ruang tengah. Naya segera menyalakan lampu dan melihat Galih bersandar di kursi sambil memegang dadanya. Rasa kesakitan terlihat jelas dari raut wajahnya.
“Ayah!” Naya segera berlari mendekati Galih.
“Obatnya di mana, Yah?” dengan wajah panik Naya berlari menuju kamar bunda, namun tidak menemukan bunda di sana. Ketika Naya berbalik arah, Naya melihat bunda keluar dari kamar Naresh.
“Bun, obatnya ayah di mana?” tanya Naya panik.
“Obatnya habis, Nay! Ayah tidak mau kontrol,” terang bunda yang keluar dari kamar Naresh karena mendengar suara ribut di luar. Naya segera mengambil ponselnya dan menghubungi Rafael. Beberapa saat kemudian ponselnya tersambung.
“Fel, Ayah anfal! Tolong segera ke sini!” teriak Naya. Sambungan ponselnya langsung terputus. Beberapa saat kemudian Rafael, Satrio dan Axel datang. Rafael segera memeriksa kondisi Galih sedangkan Axel menyiapkan mobil.
Seketika itu juga mereka membawa Galih ke rumah sakit Nusantara. Satrio dan Dini tinggal di rumah menjaga Naresh dan baby Sella.
***
Suara gemuruh brankar rumah sakit yang membawa Galih ke ruang IGD menjadi pemandangan malam ini. Wajah panik Ratna dan Naya tidak bisa mereka sembunyikan.
“Mohon maaf, keluarga pasien silakan menunggu di luar!” perintah seorang perawat dengan sopan. Naya dan bunda duduk di ruang tunggu, sedangkan Rafael mendatangi perawat di bagian administrasi. Selanjutnya Rafael ikut masuk ke dalam ruangan di mana Galih mendapat tindakan. Kebetulan dokter yang sedang bertugas adalah sahabat Rafael ketika mereka masih menjadi mahasiswa kedokteran.
Rafael baru bisa bernapas lega setelah kondisi Galih stabil. Perlahan dia mendekati Galih setelah mendapat izin dari dokter Bobby. Melihat Rafael berada di dekatnya, Galih meminta Rafael untuk mendekat.
“Tolong jaga Naya!” dengan suara paraunya Galih memohon kepada Rafael.
“Om tenang saja, saya akan menjaga Naya. Om sekarang istirahat, ya!” jawab Rafael tersenyum. Galih hanya menganggukkan kepala dan mulai memejamkan matanya.
Setelah memastikan Galih benar-benar tertidur, Rafael keluar dan menghampiri Naya yang pasti menunggu kabar ayahnya.
POV Naya.
Seketika ketakutanku muncul melihat kondisi ayah, aku tahu bunda pasti lebih takut daripada aku. Pikiranku ‘tak karuan membayangkan kemungkinan terburuk yang bakal terjadi pada pasien dengan kondisi seperti ayah. Di sini aku hanya mampu menguatkan bunda. Menyemangati beliau dan menghiburnya. Berharap kondisi ayah baik-baik saja meskipun hati ini tidak dapat dibohongi, aku juga takut.
Aku bersyukur bahwa kehadiran Rafael sangat membantu ketika kondisi ayah memburuk. Aku juga melihat binar bahagia di mata ayah semalam tatkala mereka bercanda. Apakah mungkin ini sebuah petunjuk untuk menerima lamaran Rafael?
Di saat pikiranku di penuhi kebimbangan tentang Rafael, tiba-tiba aku melihat sorot mata sayu yang dulu selalu menemani hari-hariku.
“Lebih baik kamu pulang, Xel! Kamu pasti capek, isrirahatlah!” kalimat pertama yang aku ucapkan buat Axel setelah sekian lama tidak bertemu.
“Aku tidak papa, aku baik-baik saja,” jawab Axel dengan senyum yang sulit diartikan. Terdengar suara pintu ruang tindakan terbuka, dan aku melihat Rafael keluar dari ruang itu bersama dokter yang menangani ayah. Aku dan bunda langsung berdiri menyambutnya.
“Bagaimana kondisi ayah?” tanyaku tidak sabar.
“Ayah sudah stabil, sekarang beliau sedang istirahat. Ayah sudah dipindahkan ke kamar rawat inap,” papar Rafael.
“Bunda istirahat juga, ya. Ayo, Rafael antar ke kamar ayah! Bunda bisa istirahat di sana.” Rafael mengantar bunda menuju kamar ayah.
Dan malam ini aku kembali berada dalam suasana yang serba canggung. Duduk bersama Rafael dan Axel membuatku hatiku bergemuruh tak menentu.
Pernikahan
-Sarapan Kata KMO Club Batch 41
-Kelompok 19
-Jumlah kata 1079
-Sarkat Jadi Buku
Setelah melewati kejadian yang menengangkan semalam, pagi ini Naya bisa beristirahat di kamar Galih. Rafael berpamitan untuk ke klinik pusat setelah mendapat kabar jika orang tuanya berkunjung ke klinik tersebut. Naya baru mengetahui jika orang tua Rafael adalah kakak dari pemilik klinik Sejahtera. Naya dan bunda Ratna kembali menjalani hari yang panjang di rumah sakit untuk menjaga Galih.
“Naya keluar beli sarapan dulu ya, Bun!” Naya keluar kamar setelah mendapat izin dari Ratna. Baru beberapa langkah Naya berjalan di parkiran rumah sakit, dia bertemu Axel yang membawa kotak makanan.
“Mama masakin ini buat kamu dan bunda.” Axel menunjuk kotak makanannya.
“Seharusnya tante Dini nggak usah repot-repot, Xel! Aku baru mau beli sarapan,” tutur Naya.
“Gimana kalau kita beli soto di dekat sekolah kamu dulu?” tawar Axel. Naya mengerutkan dahinya, mengingat tempat itu adalah tempat favorit Axel ketika dia menunggu jam kuliahnya setelah mengantar Naya.
“Nggak usah, nanti masakan tante nggak ada yang ngabisin. Aku sarapan ini aja,” jawab Naya. Mereka berjalan berdampingan menyusuri lorong rumah menuju kamar Galih.
“Apa kabar kamu, Nay?” lirih Axel membuat Naya menghentikan langkahnya. Naya berbalik memandang Axel.
“Maksudnya apa, Xel! Bukankah aku terlihat baik-baik saja?” sahut Naya merasa terusik dengan pertanyaan Axel.
“Maaf, seharusnya aku tidak perlu bertanya seperti ini. Sudah terlihat jelas jika kamu baik-baik saja, kok!” Axel berkata dengan menahan sesak di dadanya.
“Bolehkah aku mengatakan sesuatu?” tanya Axel dengan hati-hati.
“Katakan saja, aku masih mendengarnya,” jawab Naya sekenanya. Ada rasa sakit yang masih membekas di hati Naya mengingat perkataan Axel di café waktu mereka mengakhiri hubungannya. Kalimat Axel yang melarangnya untuk memperhatikan dia terasa menyakitkan bagi Naya.
“Bisa kita duduk di taman sebentar?” pinta Axel.
“Aku bawa makanan ini dulu ke bunda, biar bunda bisa sarapan,” jawab Naya begitu sampai di depan kamar perawatan ayahnya.
***
Axel duduk di kursi taman rumah sakit menunggu kedatangan Naya. Axel merasa jika dia harus mengatakan semua pada Naya.
“Apa yang mau kamu sampaikan?” Suara Naya membuyarkan lamunan Axel. Axel mengambil udara sebanyak-banyaknya sebelum memulai pengakuannya.
“Pertama aku minta maaf yang sebesar-besarnya, Nay! Aku hanya bisa menjaga Naresh dari jauh. Kamu jangan khawatir, aku akan berusaha mencukupi kehidupan Naresh dan putri kami. Tapi ada satu hal yang harus kamu ketahui bahwa aku tidak bisa untuk mencintai dan menganggap Naresh sebagai istri aku.” Pengakuan Axel ini membuat Naya terkejut, jadi selama ini benar seperti apa yanag Naya pikirkan.
“Kenapa kamu katakan ini padaku? Bukankah sebaiknya hal seperti ini tidak perlu kamu ceritakan kepada orang lain?” tegas Naya.
“Selama ini aku tersiksa oleh keadaan. Aku sakit, Nay. Perasaan aku, hati aku dan aku tidak tahu harus berbagi cerita dengan siapa. Kamu tahu bagaimana kehidupan aku selama ini? Aku rasanya tidak ingin hidup lagi, Nay!” terang Axel dengan tatapan mata kosong. Tatapan mata yang sudah tidak seperti dulu. Sebenarnya Naya prihatin melihat kondisi Axel yang seperti ini.
“Kalau memang seperti ini adanya, kenapa dulu kamu melakukan hal itu sama Naresh?” Akhirnya kalimat yang selama ini mengganggu pikirannya keluar juga dari mulut Naya.
“Waktu itu aku tidak sadar, Nay. Aku minum lemon tea yang diberikan teman Naresh, setelah itu aku tidak ingat apa-apa. Di sini aku hanya ingin mengatakan satu hal, jika memang kita tidak berjodoh, bukan berarti aku jodohnya Naresh.” Axel bangkit menatap bias sinar mentari yang mulai menghangatkan tubuhnya.
“Aku minta maaf jika seandainya suatu saat aku harus meninggalkan Naresh.” Axel melangkahkan kakinya, perlahan menjauh dari bayangan Naya. Ada segelintir rasa tak rela melihat Axel pergi. Kepergiannya membawa beban berat yang dia pikul sendiri.
***
Sementara di klinik Sejahtera milik pamannya, Rafael sedang memohon kepada orang tuanya untuk melamarkan Naya setelah menjelaskan keadaannya.
“Rafael sayang dia, Pa! Rafael juga berjanji pada ayahnya untuk selalu menjaganya. Rafael ingin segera mewujudkan keinginan ayahnya sebelum semua terlambat. Mungkin ini petunjuk Allah yang memberi kemudahan pada Rafael hingga tanpa diduga hari ini Mama dan Papa berada di sini,” terang Rafeal.
“Kamu yakin dengan keputusan yang kamu ambil?” tanya Rayhan-papanya Rafael.
“Insyaallah, yakin dengan bantuan restu dari mama dan papa,” jawab Axel.
“Bagaimana dengan Diana?” tanya Danisha-mamanya Axel.
“Bukankah Mama tahu selama ini aku tidak pernah mencinta dia! Diana aja yang selalu mendekati Rafael.” Rafael membela diri.
“Gimana, Pa?” tanya Danisha pada suaminya.
“Hari ini kita tengok mereka di rumah sakit.” Kalimat Rayhan membuat Rafael serasa diterpa udara sejuk di siang hari yang panas.
***
Sore ini Rayhan mendatangi rumah sakit Nusantara bersama istri dan anaknya. Sesampai di kamar perawatan Galih, Rayhan dan Danisha tidak tega melihat kondisi Galih. Rafael mendekati Galih disusul Rayhan dan Danisha.
“Om, ini mama dan papa Rafael datang,” ucap Rafael lirih. Galih perlahan membuka mata dan tersenyum di dalam masker oksigen yang ia kenakan.
“Terima kasih.” Suara Galih samar, kalah dengan suara monitor di samping ranjangnya.
“Kami datang bermaksud melamar putri pak Galih Naya untuk putra kami, Rafael,” ucap Rayhan diiringi anggukan Danisha. Ratna tersenyum bahagia begitu pun dengan Galih. Namun, lain dengan Naya yang merasa gamang, di satu sisi hatinya menolak lamaran tersebut, namun di sisi lain Naya tidak sanggup menghancurkan harapan Galih yang terlihat bahagia.
“Nay! Ayah ingin melihat kamu menikah …!” ucap Galih lemah yang dibalas anggukan oleh Naya. Mengingat keajadian semalam Naya tidak sanggup menolak keinginan Galih. Naya ingin melihat ayahnya bahagia.
***
Pagi ini sekitar pukul delapan kamar rawat inap Galih disulap menjadi ruang ijab kabul yang dipenuhi bunga di beberapa sudut ruangan. Meja kecil ditata sedemikian rupa hingga lebih pantas untuk pelaksanaan upacara sakral tersebut. Naya dalam balutan kebaya warna putih duduk di samping ranjang Galih bersama bunda Ratna. Sedangkan Rafael duduk di hadapan pemuka agama.
“Bagaimana? Sah?” tanya pemuka agama.
“Sah!” pernyataan para saksi yang hadir saat ini semakin memperkuat hubungan Rafael dan Naya di muka agama. Memang pernikahan mereka belum di daftarkan secara pemerintah mengingat hal ini dilakukan secara mendadak. Naya pun segera mencium tangan Rafael.
Setelah doa bersama selesai, Naya mendapat pelukan hangat dari Ratna, Dini dan juga Danisha. Naya dan Rafael mendekat di samping Galih.
”Yah, Naya sudah menikah. Ayah cepet sembuh, ya!” Naya memegang dan mencium punggung tangan Galih.
“Rafael akan menjaga Naya sesuai keinginan Ayah,” timpal Rafael. Galih tersenyum memandang mereka berdua bergantian. Senyum yang begitu ringan, seringan bebannya yang seketika terlepas dari pundaknya.
Tuuuutttt….
Suara monitor yang tiba-tiba menampakkan garis lurus membuat mereka panik. Dokter Bobby dan perawat berlarian untuk memberikan pertolongan. Semua yang berada dalam kamar tersebut keluar untuk memberi ruang kepada dokter yang menangani Galih. Naya menangis dalam pelukan Rafael, haruskah keinginannya untuk membahagiakan ayah berakhir hanya sampai di sini?
Bersambung.
Curiga
-Sarapan Kata KMO Club Batch 41
-Kelompok 19
-Jumlah kata 997
-Sarkat Jadi Buku
Di hari pernikahan Naya, Axel hadir bersama Satrio dan Dini. Sedangkan Naresh tinggal di rumah bersama pengasuh Sella. Sebenarnya Axel enggan untuk berada di sana, dia tidak yakin bisa kuat melihat Naya bersanding dengan lelaki lain. Tetapi Satrio terus mendesak agar dia mau datang bersama Satrio dan Dini.
Akhirnya apa yang Axel khawatirkan terjadi juga. Ketika melihat Naya mencium tangan Rafael yang baru saja sah menjadi suaminya, hatinya terasa tercabik-cabik. Ingin berteriak namun lidahnya kelu. Ingin berlari tetapi tak mampu. Jiwanya terpasung di dasar samudera yang gelap dan pengap. Harapan untuk menyematkan cincin bunga matahari di jemari tangan Naya hilang begitu saja. Perlahan Axel menggeser posisi tubuhnya mencari secuil kekuatan untuk berlalu dari tempat itu.
Dalam sebuah lorong sepi Axel menyendiri, merenungi takdir yang mempermainkan hidupnya. Di situ dia teringat ketika dia menikahi Naresha. Apa yang dirasakan Naya waktu itu seperti apa yang Axel rasakan saat ini hingga mereka memilih pergi dan berlari. Saat Axel beranjak hendak kembali ke kamar Galih, dia dikejutkan oleh wajah panik orang-orang terdekatnya di depan kamar. Melihat Naya menangis dalam pelukan Rafael, dia tersadar bahwa telah terjadi sesuatu yang tidak diharapkan.
“Ada apa, Ma?” tanya Axel mendekati Dini.
“Galih sudah berpulang. Kamu sama Papa urus keperluan di rumah, ya!” perintah Dini. Sekali lagi Axel menatap Naya, dirinya sudah bukan Axel yang dulu, yang selalu berada di samping Naya ketika dia menagis, yang selalu menghibur Naya di saat dia sedih dan terluka. Ya, Axel yang sekarang bukanlah siapa-siapa untuk Naya.
Langkahnya menjauh dari Naya, dari segala kenangan tentang mataharinya. Matahari yang bukan lagi miliknya, yang hanya bisa dia rasakan kehangatannya tanpa mampu untuk memandangnya. Ternyata cinta mereka berakhir dengan saling tersakiti meskipun hati masih saling mencintai.
***
Di rumah masih ramai pelayat meskipun jenazah Galih telah dimakamkan. Naya dan Rafael sibuk menemui pelayat, sedangkan bunda Ratna harus beristirahat di kamar karena kesehatannya yang tidak baik. Axel masuk ke kamarnya hendak menemui Naresha dan meminta dia untuk ikut menemui pelayat. Namun dia urungkan niatnya tatkala melihat Naresha sedang berbicara dengan seseorang melalui ponselnya.
“Buat apa kamu hubungi aku! Ke mana kamu waktu aku butuh kamu, seenaknya kamu pergi tanpa pedulikan aku,” lirih Naresha terdengar jelas di telinga Axel.
“Jangan ganggu aku! Aku sudah punya kehidupan yang baru,” kata-kata Naresha membuat dahi Axel berkerut. Dia merasa ada sesuatu yang Naresha sembunyikan darinya.
Selama tujuh hari semenjak kematian Galih, Axel terpaksa tinggal di rumah istrinya. Selama itu pula Axel memperhatikan tingkah laku Naresha. Pada awalnya Axel merasa biasa saja, namun lama-kelamaan Axel merasa curiga sering mendapati Naresha berbicara di ponsel di tempat sepi di sudut rumahnya. Bahkan yang mengurus Sella selama ini adalah bunda, Naresha sama sekali tidak mengambil perannya sebagai seorang ibu.
***
Setelah melewati tujuh hari berada di rumah, waktunya Naya untuk kembali pada pekerjaan. Siang itu Naya berpamitan.
“Bunda jaga kesehatan, ya! Jangan lupa minggu depan Bunda harus hadir di acara keluarga Rafael,” tutur Naya. Walaupun masih dalam suasana duka, namun yang namanya pernikahan harus segera mereka umumkan. Itulah sebabnya mengapa minggu depan keluarga Rafael mengadakan acara keluarga, yaitu untuk mengumumkan pernikahan Rafael dan Naya.
“Insyaallah, doakan bunda sehat, ya, Nay!” jawab bunda tersenyum .
“Tante, Naya titip bunda, ya! Jangan lupa minggu depan datang sebagai keluarga Naya,” pinta Naya yang dibalas anggukan dan pelukan Dini. Setelah Rafael berpamitan mereka pun berlalu menuju asrama.
Sesampai di asrama mereka masih tinggal di tempat yang dulu, teman-teman asrama belum tahu jika mereka sudah menikah kecuali dokter Rian. Karena waktu melayat pun tidak ada yang memberi tahu pernikahan mereka. Malam ini Naya duduk di tempat favoritnya, mentap bintang ditemani irama jangkrik sebagai backsound-nya. Udara dingin yang terkadang Naya rindukan seakan bersahabat dan setia menemani Naya dalam suka duka. Perlahan Rafael mendekat membawa dua cangkir kopi hasil olahan penduduk di sekitar klinik.
“Minum, Nay! Masih panas hati-hati.” Rafael mengulurkan secangkir kopi yang disambut Naya dengan senyuman. Rafael duduk di samping Naya, menemaninya menikmati lukisan alam yang begitu indah.
“Maafkan aku waktu itu menyetujui permintaan ayah tanpa meminta pendapatmu terlebih dahulu,” ucap Rafael menyesap kopinya.
“Aku juga minta maaf telah mengajukan permintaan yang aneh dalam hubungan pernikahan,” ungakap Naya. Netranya lekat memandang wajah tampan Rafael, wajah tampan dan baik hati yang selama ini selalu ada di saat Naya terpuruk. Namun entah mengapa pemilik wajah rupawan tersebut belum mampu menyentuh hatinya.
“Aku pahami hal itu, memang sulit untuk melupakan sesuatu yang sudah melekat dalam kehidupan. Apalagi Axel sudah bersamamu semenjak bayi. Hanya satu yang perlu kamu tahu, aku tulus dengan semua ini. Kamu jangan merasa terbebani, aku akan menunggu sampai kamu benar-benar siap menerima aku sebagai suamimu.” Rafael membalas tatapan mata Naya. Sorot mata yang selalu sendu di balik senyumnya, hingga membuat Rafael ingin selalu melindungi.
“Terima kasih, Suamiku! Boleh peluk sebentar?” ungkap Naya malu-malu membuat Rafael gemas.
“Dengan ikhlas aku serahkan diriku untuk kau peluk, Istriku! Bahkan aku berharap untuk selamanya sampai maut yang memisahkan kita,” balas Rafael membuat mereka tertawa. Naya pun memeluk Rafael, menenggelamkan dirinya dalam dekapan Rafael yang membuatnya merasa damai.
“Tuhan, ajari aku cara melupakannya. Beri aku kesempatan untuk mencintai suamiku.” Doa Naya dalam hati yang selalu dia ucapkan dalam tiap sujudnya.
“Hm … hm …! Yakin, nih, peluk-pelukan di sini?” tiba-tiba suara yang tidak asing itu membuat mereka melerai pelukannya.
“Ck! Ngapain ikutan ke sini,” seloroh Rafael melihat Rian berada di belakang Naya.
“Berusaha menyadarkan seseorang biar tidak terjadi fitnah.” Rian mendekat dan duduk di samping Rafael.
“Meskipun kalian sudah menikah tapi di sini hanya aku yang tahu status kalian. Kapan akan mengumumkan hubungan kalian?” tanya Rian.
“Besok sekalian acara perpisahan dengan tim relawan. Saat itulah aku buat pengumuman,” jawab Rafael sekenanya.
***
Semenjak kejadian Axel menemukan Naresha berbincang dengan seseorang yang mencurigakan di ponselnya, sekarang Axel mulai sering pulang ke rumah Naresha. Meskipun hanya seminggu sekali dia pulang dengan hari yang tidak bisa dipastikan. Hal itu sengaja Axel lakukan untuk mencari bukti-bukti kecurigaannya. Selama Ini Axel tidak peduli akan semua yang Naresh lakukan. Namun semakin ke sini Axel bisa menjadikan hal itu sebagai alasan untuk meninggalkan Naresha jika kecurigaanya terbukti.
Bersambung.
Bertemu Orang Misterius
-Sarapan Kata KMO Club Batch 41
-Kelompok 19
-Jumlah kata 836
-Sarkat Jadi Buku
Sehari sebelum acara keluarga di Semarang, Rafael mengumumkan hubungannya dengan Naya. Tentu saja kabar itu membuat beberapa orang terkejut. Namun tak banyak yang sudah menduga akan kedekatan mereka. Tak terkecuali Erika yang selama ini sudah curiga. Rafael mengundang rekan-rekan di klinik untuk menghadiri acara resepsi pernikahan mereka.
Hari Sabtu acara resepsi diadakan di kediaman keluarga Rafael setelah pernikahan mereka terdaftar secara resmi mengingat mereka menikah secara agama ketika Galih sakit. Dokter Rayhan adalah pemilik sebuah klinik di kota Atlas tersebut yang merupakan kakak dari pemilik klinik Sejahtera di mana Naya bekerja. Keluarga mereka memang sebagian besar berprofesi sebagai tenaga medis.
Acara tersebut dihadiri saudara dan kolega dari dokter Rayhan dan juga teman-teman Rafael. Di tengah kesibukan masing-masing, Axel mendapati Naresha berbicara dengan seseorang yang tidak Axel kenal. Naresha yang sudah mulai belajar berjalan menggunakan tongkat tiba-tiba saja menghilang dari pandangan Axel. Axel pun mencarinya di beberapa sudut ruangan namun tidak menemukannya. Ketika hendak kembali ke tempat resepsi, Axel melihat Naresha dengan seorang lelaki di sudut taman.
Jika dilihat dari baju yang dipakai orang itu, dia adalah keluarga Rafael. Axel pun tidak berburuk sangka. Mungkin istrinya sedang menyapa orang tersebut. Dia segera menghampiri Naresha khawatir dia tersesat di tempat yang asing bagi Naresha.
“Aku cari ternyata ada di sini! Dari mana?” ucap Axel begitu dia berada di dekat Naresha.
“Aku bosan di sana jadi mencari udara segar di taman ini,” jawab Naresha.
“Oya, kalau begitu aku permisi karena sudah ada yang menemani kamu di sini,” ucap lelaki yang duduk di hadapan Naresha. Setelah orang itu berlalu, Axel mengajak Naresha kembali ke tempat respsi.
Kecurigaan Axel makin kuat ketika tanpa sengaja matanya menangkap sosok lelaki tadi sedang menatap istrinya dari kejauhan. Sorot mata yang tidak biasa. Seperti orang yang sudah lama saling kenal.
***
Pukul tiga sore acara selesai, keluarga Naya menginap di hotel dekat kediaman keluarga Rafael. Naresha duduk sendiri menunggu Axel yang masih berbincang dengan keluarga Rafael.
“Apa kabar, Sha? Kenapa kaki kamu jadi begini?” sapa lelaki yang tadi siang menghampiri Naresha di taman. Naresha yang mengenal suara itu segera mendongakkan kepalanya.
“Apa pedulimu! Sudah sana jangan deket-deket!” usir Naresha dengan wajah memerah menahan amarah.
“Aku hanya ingin tahu kabar kamu dan kabar an-” kalimatnya terpotong ketika melihat Axel dan keluarganya mendekati Naresha.
“Ayo, kita kembali ke hotel!” ajak Axel.
“Kamu di sini, Vin? Sudah kenalan sama keluarga mbak Naya?” tanya Rayhan yang melihat Ervin berdiri di samping Naresha.
“Keluarga mbak Naya?” tanya Ervin mencoba memastikan kalimat Rayhan.
“Iya! Ini keluarga inti mbak Naya,” jawab Rayhan. “Ervin ini putra tunggal adik bungsu saya. Dulu sekolah di Temanggung juga ikut omnya, maklum dia dulu anak nakal,” terang Rayhan kepada keluarga Naya. “Tapi sekarang sudah tobat semenjak papanya meninggal dan sekarang mamanya sakit-sakitan,” imbuh Rayhan membuat Ervin tersipu. Mereka pun berjabat tangan sebelum akhirnya kembali ke hotel.
***
Malam ini Naya tinggal di rumah keluarga Rafael, setelah makan malam Rafael mengajak Naya keluar untuk menikmati suasana malam di kota tersebut.
“Kamu besok bisa kuliah di kampus ini kalau kita tinggal di Semarang,” tunjuk Rafael ketika melewati sebuah kampus Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi.
“Memangnya kita akan tinggal di sini? Aku kira kita tetap tinggal di klinik.” Naya menatap Rafael meminta kepastian.
“Kamu bilang ingin kuliah, kan? Kalau ingin kuliah, ya, tinggal di sini. Kamu sekarang adalah tanggung jawab aku, Nay. Kamu nggak usah pikirin biaya, kalau kamu mau bisa kok segera daftar. Aku yang akan tanggung biayanya,” terang Rafael.
“Eh, nggak gitu juga kali! Perjanjiannya tidak seperti itu,” tolak Naya membuat Rafael tersenyum masam.
“Perjanjian kita hanya untuk satu hal, Nay! Aku tidak akan menyentuh kamu selama kamu belum mengizinkan. Selain hal itu kamu tetap istri aku. Oya, jangan lupa di hadapan keluarga kita harus berpura-pura seperti suami istri pada umumnya,” Rafael kembali mengingatkan perjanjian mereka sebelum menikah.
Pikiran Naya kembali teringat ketika Galih anfal di malam setelah acara aqiqah baby Sella. Beberapa kali Galih meminta Naya menikah dengan Rafael, namun selalu Naya abaikan meskipun Rafael sudah melamarnya. Ia takut akan mengecewakan Rafael karena hatinya masih tetap untuk Axel meskipun Axel sudah menjadi suami Naresha.
Hingga siang itu Rafael mengatakan kepada Naya tentang kondisi Galih sebenarnya. Kondisinya yang memang sudah memburuk dan Galih meminta Rafael untuk menikahi putinya, permintaan terakhir dan satu-satunya dari Galih terpaksa Rafael sanggupi meskipun akhirnya mereka menikah dengan sebuah perjanjian. Naya tersadar dari lamunannya ketika mobil mereka berhenti di depan rumah Rafael. Mereka sengaja pulang larut untuk menghindari godaan keluarganya pada sepasang pengantin baru. Mereka masuk menuju kamar Rafael yang bernuansa abu-abu.
“Tenang saja, aku nggak akan ngapa-ngapain kamu,” ucap Rafael ketika melihat Naya khawatir.
“Apaan, sih!” balas Naya.
“Tidurlah di ranjang, aku bisa tidur di sofa,” kata Rafael tersenyum mengacak puncak kepala Naya. Malam ini adalah malam pertama mereka tinggal dalam satu kamar, tentu saja ada rasa canggung di antara mereka. Malam yang seharusnya menjadi malam terindah bagi sebuah kehidupan rumah tangga. Namun tidak untuk mereka berdua. Akhirnya mereka terlelap dalam pikiran masing-masing, menyusuri dunia mimpi bersama lelahnya raga. Menyambut lembaran baru dalam kehidupan mereka sebagai pasangan suami istri.
Kebenaran Terungkap
-Sarapan Kata KMO Club Batch 41
-Kelompok 19
-Jumlah kata 745
-Sarkat Jadi Buku
Sekembalinya dari Semarang, sikap Naresha semakin membuat Axel curiga. Seperti biasa Axel tidur di sofa yang berada di kamar Naresha setiap kali dia pulang. Selama ini Naresha tidak pernah mempermasalahkannya. Mereka bersikap layaknya suami istri jika berada di depan orang lain. Kadang Axel berpikir jika pernikahan mereka tidak sehat. Naresha tidak pernah sedikit pun protes ketika Axel jarang pulang dan tidak mau tidur seranjang dengannya asalkan kebutuhan materinya terpenuhi.
Pada awalnya Axel memaklumi semua itu karena Axel pun merasa telah melakukan hal yang sama terhadap Naresha. Bahwa selama ini hati dan cintanya tertinggal dalam sosok seorang Nayara. Malam itu Axel terbangun akibat tangisan Sella, dia mendekati bok baby Sella dan melihat Naresha tidak ada di tempat tidurnya. Jam di dinding menunjukkan pukul setengah dua, Axel menggendong baby Sella yang sudah berumur tiga bulan. Membawanya ke dapur untuk membuatkan susu formula. Setelah selesai membuatkan susu dan baby Sella mulai tenang, Axel melangkahkan kakinya kembali ke kamar. Namun, sebelum sampai kamar dia terusik suara yang berasal dari kamar Naya. Axel mendekat dan mendengar suara Naresha dari dalam kamar.
Setelah menidurkan baby Sella dalam boknya, Axel kembali mengendap di depan kamar Naya. Samar dia bisa mendengar suara Naresha.
“Aku ketemu Ervin di resepsi pernikahan mbak Naya,”ucap Naresha. “Ternyata dia sepupu suaminya mbak Naya. Oh, dunia ini kenapa hanya selebar daun kelor, sih?” imbuh Naresha.
“Sekarang dia makin keren, sumpah dia membuat aku kembali jatuh cinta. Setahun aku berusaha melupakannya namun aku tidak bisa,” ungkap Naresha membuat Axel mengepalkan tangannya. Axel marah merasa telah di bohongi oleh istrinya.
***
Mencari tahu kebenaran tentang Naresha terkadang membuat Axel jenuh dan ingin menyerah. Namun semua itu segera sirna tatkala teringat Naya. Hari ini Axel menghadiri seminar teknologi informatika di sebuah hotel di Magelang. Di sana Axel bertemu dengan teman-teman masa kuliahnya. Setelah seminar berakhir mereka berkumpul di sebuah café sekedar untuk melepas rasa kangen setelah hampir satu tahun tidak bertemu.
Tiba-tiba, pandangan Axel tertuju pada dua orang gadis yang duduk tidak jauh dari nya. Axel merasa tidak asing dengan gadis tersebut, namun Axel tidak mengingatnya. Selang beberapa saat datanglah seorang pemuda menghampiri kedua gadis itu.
“Hai! udah lama?” tanya pemuda itu.
“Udah dari tadi, kamu dari dulu nggak berubah, ya! Selalu saja ngaret,” jawab gadis berambut pendek.
“Eh, Naresh pernah bilang kalau dia bertemu Ervin di Semarang,” kata gadis berambut panjang sambil mengaduk minumannya. Ya, di situ Axel baru ingat jika kedua gadis itu adalah teman Naresha yang berada di tempat aneh malam itu. Axel pun semakin menajamkan pendengarannya untuk merekam percakapan mereka.
“Oya? Gimana kabar Ervin, lama dia nggak ngubungi aku,” ucap pemuda itu.
“Kayaknya, sih, Ervin baik-baik saja. Naresh bilang dia jatuh cinta lagi sama Ervin. Gimana reaksi Ervin, ya, kalau dia tahu anaknya sudah lahir,” papar gadis berambut panjang. Sontak hal itu membuat jantung Axel seakan berhenti mendadak.
“Maksud kamu apa?” tanya pemuda itu kepada gadis berambut panjang.
“Waktu lulus dulu kan Naresh hamil anak Ervin,” terang gadis itu. Tangan Axel mengepal mendengar pembicaraan mereka. Dia sangat marah merasa telah dijadikan kambing hitam atas perbuatan Naresh dan Ervin.
***
Malam ini Axel tidak pulang ke rumah Naresha, melainkan pulang ke rumah orang tuanya. Pukul delapan malam Axel sampai di rumah dan segera membersihkan diri. Seharian berada di luar membuat tubuhnya terasa lengket, begitu pula pikirannya menjadi kusut. Axel mengguyur tubuhnya di bawah shower air hangat yang perlahan mulai mencairkan suasana hatinya yang beku sedari tadi.
Di atas ranjang berukuran queen size berwarna abu-abu, Axel merebahkan dirinya. Segala lelah yang menyelimutinya ia pasrahkan kepada Yang Kuasa. Untuk saat ini menghindari Naresha adalah pilihan terbaik agar emosi yang ia tahan tidak meledak bagaikan bom waktu yang sudah mencapai batas waktunya.
Axel mengambil kotak dari laci nakas, ia buka kotak yang berisikan cincin bunga matahari dan gantungan kunci bunga matahari hadiah dari Naya ketika dia wisuda. Terkadang ia menyalahkan coretan takdir yang seolah mempermainkan lukisannya. Lukisan kehidupan yang dia rasa hampir sempurna, tiba-tiba saja kehilangan warna kuning membuat lukisannya suram.
“Nay, mengapa semua ini terjadi? Mungkinkah kita bisa menyelesaikan lukisan yang kita impikan?” racau Axel dalam ruang hampanya. Mengingat senyum Naya di hari pernikahannya, Axel merasa tak pantas mempertanyakan impian mereka. Sudah terlalu dalam Axel menyakiti Naya meskipun sumber permasalahan bukan dari dirinya. Naya pantas mendapatkan kebahagiannya.
Mereka terbawa arus permainan Naresha. Berputar dalam pusaran yang menyakitkan. Jatuh terhempas dalam kelamnya dasar samudera, hingga terlepas pegangan tangan yang selama ini mereka genggam. Berusaha bangkit menggapai permukaan, berlomba mencari secercah harapan. Meskipun untuk itu mereka harus berjuang sendirian.
***
Bersambung.
Marah Besar.
-Sarapan Kata KMO Club Batch 41
-Kelompok 19
-Jumlah kata 1009
-Sarkat Jadi Buku
Pagi hari seperti biasa Axel sarapan bersama orang tuanya. Tidak ada pembicaraan selama mereka berada di meja makan. Setelah selesai Satrio duduk di teras belakang rumah sambil membaca koran. Axel pun menghampiri papanya dan duduk di sebelahnya.
“Kapan kembali ke peternakan?” tanya Satrio.
“Setelah urusan Axel selesai, Pa.” Axel mengambil napas dalam. “Pa, boleh Axel minta pendapat?” ucap Axel. Satrio segera meletakkan koran di tangannya, beliau menatap putranya heran karena tidak biasanya Axel berbicara seserius ini.
“Ada apa? Ada masalah dengan peternakan?” tebak Satrio.
“Tidak, Pa! Urusan peternakan baik-baik saja. Axel mau minta pendapat tentang rumah tangga Axel,” terang Axel terjeda tatkala Dini datang membawa dua cangkir teh yang masih panas.
“Mumpung Mama sudah di sini, sekalian Axel mau bicara,” sambung Axel. Dini segera duduk di samping Satrio dan melihat keseriusan putra bungsunya.
“Menurut Papa dan Mama, gimana jika seandainya Axel bercerai dengan Naresha?” Kalimat yang tentu saja membuat Satrio dan Dini terkejut.
“Memangnya kalian ada masalah?” tanya Satrio yang pura-pura tidak tahu bahwa selama ini pernikahan putra mereka bukanlah pernikahan yang sehat.
“Axel lelah, Pa! Axel tidak tahu harus mulai cerita dari mana,” lirih Axel penuh keputusasaan.
“Tidak baik kalian bercerai, apalagi Sella masih bayi,” ujar Satrio.
“Justru karena Sella masih bayi makanya Axel ingin segera mengakhiri hubungan ini. Ternyata Sella bukanlah darah daging Axel,” ucap Axel menunduk penuh penyesalan.
“Maksud kamu apa?” sentak Dini yang sedari tadi terdiam mendengarkan perkataan Axel. Axel pun menceritakan kejadian kemarin yang dia dengar di café dan dia hubungkan dengan kejadian malam itu ketika Axel tidak sadar dan berada di ranjang yang sama dengan Naresha. Penuturan Axel tersebut tentu saja membuat orang tuanya terkejut dan tidak terima putra mereka diperlakukan seperti itu.
“Tapi kita tidak bisa bertindak tanpa bukti, Xel! Kita harus mencari bukti dulu. Papa akan bantu proses test DNA Sella, sementara kamu cari informasi dari teman Naresha,” terang Satrio.
“Iya, Pa!” jawab Axel singkat.
***
Tanpa sepengetahuan Naresha dan bunda Ratna, test DNA Sella dilakukan. Selain itu Axel juga mencari teman Naresha yang dia temui waktu itu. Melalui bantuan beberapa kenalan, akhirnya Axel menemukan keberadaan Laras, seseorang yang telah memberinya lemon tea malam itu. Laras adalah seorang mahasiswa di sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta. Hari ini Axel sengaja menunggu Laras pulang dari kampus. Sekitar pukul empat sore terlihat Laras yang mengendarai motornya masuk ke dalam gerbang kost putri. Axel yang tidak mau melewatkan kesempatan ini segera mendekati Laras.
“Selamat sore mbak Laras!” sapa Axel sopan. Laras pun menoleh merasa dirinya dipanggil.
“Mohon maaf, siapa ya?” tanya Laras dengan dahi berkerut.
“Bisa kita bicara sebentar?” tanya Axel tanpa menjawab pertanyaan Laras.
“Silakan duduk!” Laras mengajak Axel duduk di teras kostnya.
“Saya Axel, suami Naresha. Sudah ingat saya?” tegas Axel. Seketika hati Laras menciut, wajahnya pucat.
“Eh, iya,” jawab Laras gugup.
“Saya kemari ingin meminta sedikit penjelasan dari mbak Laras. Bagaimana kejadian malam itu hingga saya bisa tidur di kamar yang sama dengan Naresha?” tanya Axel langsung pada permasalahannya. Tiba-tiba Laras merasakan ludahnya kelat.
“Saya agak lupa. Yang saya ingat waktu itu Kakak pingsan, Naresha meminta kita membawa Kakak ke kamar,” terang Laras.
“Apa yang dimasukkan ke dalam lemon tea yang mbak Laras berikan pada saya?” tanya Axel. Tentu saja Laras gelagapan dengan pertanyaan itu. Dia bungkam enggan menjawab.
“Kalau mbak Laras tidak mau menjawab tidak apa-apa. Biar nanti mbak Laras yang menceritakan kronologisnya ke pihak yang berwajib,” ucap Axel santai, dia menarik sudut bibirnya melihat ekspresi Laras yang ketakutan.
“Sebenarnya beberapa hari yang lalu saya mendengar pembicaraan mbak Laras waktu di café. Saya baru sadar bahwa selama ini saya hanya korban dari perbuatan Naresha.” Axel kembali berusaha menyudutkan Laras. Hening, tiada lagi kalimat yang terucap dari keduanya selama beberapa waktu.
“Saya minta maaf, waktu itu saya hanya menjalankan perinta Naresha,” aku Laras menunduk tanpa berani menatap Axel.
“Ceritakan yang sebenarnya. Saya tidak akan menyeret mbak Laras dalam masalah rumah tangga saya!” perintah Axel. Laras hanya bisa mengangguk dan menuruti permintaan Axel. Laras pun menceritakan semuanya, mulai dari kehamilan Naresh, tentang Ervin dan juga rencana Naresha untuk menjebak Axel. Akhirnya bukti yang Axel cari selama ini sudah dia simpan dalam ponselnya.
“Terima kasih atas kerja samanya!” ucap Axel di akhir percakapan mereka. Kebenaran yang dia peroleh meskipun terlambat akan lebih baik dari kebohongan selamanya.
***
Sebulan semenjak pengajuan test DNA atas nama Sella dan Axel, hari ini hasilnya keluar. Satrio sudah mengantongi bukti tersebut yang menyatakan jika Axel bukanlah ayah biologis dari Sella. Semua dia serahkan pada putranya untuk menentukan jalan hidupnya. Malam itu Axel ke rumah Naresha untuk mengambil barang-barang miliknya. Di dalam kamar dia tidak menemukan Naresha, hanya ponselnya yang tergeletak di tempat tidur. Kamar itu sepi karena selama ini Sella tidur bersama bunda Ratna. Axel pun mengambil ponsel Naresha dan membukanya. Sesuai dugaannya, semenjak acara resepsi pernikahan Naya, Naresha sering berkomunikasi dengan Ervin. Bahkan di galerynya terdapat foto-foto mesra mereka ketika masih SMU. Tiba-tiba Naresha masuk ke kamar dan terkejut mendapati Axel berada di sana memegang ponselnya.
“Mas Axel tidak sopan membuka ponsel aku tanpa izin!” sentak Naresha. Axel yang sudah lama menyimpan amarahnya seketika tidak bisa menahannya lagi.
“Kamu pikir kamu sopan telah melakukan hal kejam terhadap aku!” balas Axel.
“Maksud Mas apa?” tanya Naresha bingung.
“Kamu nggak usah pura-pura lagi. Aku sudah tahu semuanya. Selama ini aku diam hanya karena menjaga perasaan Naya. Kenapa kamu melemparkan kesalahan kamu dan Ervin ke aku!” hardik Axel mengepalkan tangannya.
“Kenapa kamu menjebak aku untuk mengakui Sella sebagai anak aku! Sedangkan kamu tahu bahwa aku adalah kekasih kakak kamu!” Axel sudah tidak bisa mengontrol dirinya. Di saat yang bersamaan bunda masuk ke rumah dan mendengar pertengkaran mereka. Seketika tubuh bunda Ratna melemah dan terduduk di kursi ruang tengah memeluk Sella dalam gendongannya.
“Mulai detik ini, kamu bukan lagi istri aku! Aku akan segera urus perceraian kita!” Axel berlalu membawa barang-barangnya tanpa mempedulikan teriakan Naresha yang memanggil namanya.
“Apa benar semua itu, Sha?” pertanyaan bunda Ratna dan mendapat anggukan kepala Naresha. Air mata bunda Ratna mengalir deras membayangkan penderitaan Naya selama ini akibat ulah Naresha. Ratna sangat kecewa akan perilaku Naresha yang dari dulu tidak berubah.
Bersambung.
Sandiwara Pernikahan
-Sarapan Kata KMO Club Batch 41
-Kelompok 19
-Jumlah kata 998
-Sarkat Jadi Buku
Kontrak kerja tim dokter Rian dengan klinik Sejahtera berakhir setelah satu tahun. Rafael mengajak Naya untuk kembali ke Semarang dan menetap di kota tersebut. Mereka tinggal di sebuah komplek dekat dengan klinik milik keluarga Rafael. Selama seminggu ini mereka menikmati waktu liburnya sebelum memulai pekerjaan baru di klinik tersebut.
Selain itu Naya juga mulai menyiapkan syarat-syarat pendaftaran di Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi yang tidak jauh dari tempat tinggal mereka. Rafael mendaftarkan Naya di kelas karyawan sesuai permintaan Naya, sehingga pagi harinya Naya bisa bekerja dan sore hari dia kuliah.
Sore itu setelah membereskan kamar, mereka duduk di ruang tengah melepas lelah. Hari ini adalah hari pertama mereka tinggal serumah semenjak pernikahannya, sesuai kesepakatan mereka tinggal di kamar terpisah. Aneh memang, tetapi itulah yang terjadi. Meskipun Rafael mencintai Naya, namun dia menghormati keputusan Naya. Cinta sejati tidak pernah meminta karena cinta adalah memberi tanpa mengharap balas budi.
“Foto pernikahan mau di pasang di mana, Nay?” tanya Rafael menyeruput teh hangatnya.
“Di mana, ya? Ruang tengah aja kali,” jawab Naya sedikit berpikir.
“Oke, deh. Nanti aku pasang di sini,” timpal Rafael.
***
Kehidupan baru mereka dalam rumah tangga pun di mulai. Kesibukan Rafael sebagai seorang dokter membuat waktu mereka untuk bersama semakin sedikit. Pagi hari Rafael bekerja di klinik milik keluarga dan sore hingga malam hari Rafael berada di sebuah rumah sakit swasta ternama di kota tersebut. Terkadang mereka hanya bertemu ketika sarapan sebelum berangkat ke klinik. Begitu pun dengan Naya yang mulai kuliah. Meskipun tidak setiap hari, namun di klinik tersebut Naya juga mendapat shift malam.
Berbeda dengan klinik Sejahtera, klinik Rahardja jauh lebih ramai karena berada di kota besar sehingga melakukan pelayanan dua puluh empat jam. Hari ini Naya mendapat shift pagi sehingga pukul tiga dia sudah berada di rumah. Setelah menyiapkan makanan, Naya masuk ke kamar untuk mengerjakan tugas kuliahnya.
Pukul delapan malam Rafael belum tiba di rumah, hingga tugas kuliah selesai Naya kerjakan belum ada tanda-tanda Rafael kembali. Naya khawatir karena tidak biasanya Rafael pulang terlambat tanpa memberi kabar. Pukul sepuluh malam deru mesin mobil Rafael terdengar, Naya segera bangkit dan menyambut Rafael di teras.
“Kok sampai jam segini baru pulang?” tanya Naya begitu Rafael menaiki teras rumahnya.
“Kenapa? Udah mulai kangen, ya?” goda Rafael membuat Naya cemberut. Rafael pun tersenyum melihat tingkah Naya. “Aku barusan dari rumah Mama, niatnya cuma mampir sebentar, eh ternyata papa kalau udah cerita nggak bisa dipotong,” terang Rafael tertawa.
“Mau makan apa enggak?” tanya Naya.
“Aku udah makan tadi di rumah mama,” jawab Rafael yang masih diekori Naya. Hingga di depan pintu kamar Rafael dia berhenti. “Mau ikut masuk?” goda Rafael dengan senyum jahilnya. Naya yang tersadar segera membalikkan arah langkahnya menuju dapur.
“Aku mau manasin sayur dulu.” Naya berlalu dari hadapan Rafael dengan muka yang merona menahan malu.
Malam semakin larut menyamarkan suara bising kehidupan. Tenang dan sepi membuai insan terlelap dalam dekapan. Segelintir rasa yang terjaga meronta dari indahnya mimpi. Memaksa diri untuk menemui Sang Pemilik Hati. Naya berulang kali memohon kunci pembuka hati yang selama ini masih tertinggal jauh di seberang rasa. Rasa yang tidak mungkin dia genggam.
Setiap malam ia memohon kebaikan untuk hidupnya, dalam setiap tangis curahan hati kepada Sang Pencipta. Tidak pernah lelah ia meminta sebuah cinta di hati untuk suaminya hingga Tuhan mengabulkan doanya.
***
“Nanti kuliah sampai jam berapa, Nay?” tanya Axel pagi itu ketika mereka sarapan.
“Jam tujuh. Ada apa?” Naya kembali bertanya.
“Hari ini ulang tahun pernikahan mama dan papa. Beliau meminta anak-anaknya untuk makan malam bersama. Nanti aku jemput di kampus, ya. Biar nggak kelamaan kita langsung ke rumah mama,” terang Rafael.
“Baju gantinya gimana? Apa aku sekarang bawa baju ganti sekalian?” tanya Naya.
“Nggak usah, hari ini aku hanya tugas di klinik saja, kok. Nanti bajunya aku bawain,” papar Rafael mengakhiri sarapannya. Mereka pun berangkat bersama menuju klinik .
Siang itu, setelah mengantar Naya ke kampus, Rafael kembali ke rumah. Merebahkan diri sejenak mengusir rasa capek yang mengganggunya. Sayup-sayup terdengar suara azan dari masjid komplek. Rafael bangkit dan membersihkan diri kemudian keluar menuju masjid untuk berjamaah.
Sekembalinya dari masjid, Rafael memasuki kamar istrinya hendak menyiapkan baju untuk acara nanti malam. Kakinya melangkah menuju meja belajar kamar tersebut. Rafael duduk di kursi dan memandang foto yang berada di samping laptop. Senyumnya mengembang menatap foto Naya dan dirinya ketika masih bekerja di klinik Sejahtera. Foto itu diambil ketika mereka berada di air terjun di daerah sekitar klinik bersama Rian dan Erika.
“Kapan aku akan memiliki cintamu, Nay?” tanya Rafael pada hatinya. Rafael menuju lemari pakaian Naya dan mencari gaun yang akan Naya pakai di acara orang tuanya nanti malam. Rafael pun mengambil sebuah gaun yang dirasa pantas untuk Naya dan beberapa pakaian dalam milik Naya meskipun dengan hati berdebar kencang ketika Rafael menyentuh benda tersebut. Rafael pun segera membuang pikiran nakal yang menggelayuti otaknya.
Pandangannya terhenti pada sebuah kotak beludru warna merah tergeletak di lemari bagian atas. Rafael mengambil kotak tersebut dan membukanya.
“Kalung bunga matahari? Bukannya kalung ini yang dulu aku temukan jatuh dalam minibus?” gumam Rafael. Dia semakin penasaran dengan kalung tersebut karena baik Siska maupun Naya tidak pernah menceritakan tentang kalung tersebut. Lamunannya terusik getaran ponsel di saku celananya. Rafael segera membuka ponselnya.
Jemput aku jam setengah tujuh, ya. Hari ini pulang lebih awal._ Naya.
Rafael tersenyum melihat ponselnya. Terkadang dia merasa seperti sedang bermimpi jika Naya telah menjadi istrinya meskipun hatinya belum sepenuhnya ia miliki.
Selepas Magrib, Rafael sudah standby di parkiran kampus. Sepuluh menit kemudian terlihat Naya berjalan menghampiri. Mereka kemudian melaju menuju kediaman orang tuanya. Di sana mereka disambut oleh kedua kakak Rafael dan keponakan kecilnya. Naya segera membersihkan diri dan berganti pakaian sebelum bergabung bersama mereka.
Di depan semua orang, mereka terlihat mesra layaknya pasangan suami istri pada umumnya. Sambil menunggu makan malam siap, mereka bercanda bersama di ruang keluarga.
“Kapan kalian akan menambah anggota baru di keluarga kita?” canda Renata.
“Besok lah, Kak. Biar Naya selesaikan kuliahnya dulu. Kasihan kan kalau kuliah belum selesai dan punya bayi,” jawab Rafael yang pandai menyembunyikan kenyataan hidup rumah tangganya.
***
Bersambung.
Pilihan
-Sarapan Kata KMO Club Batch 41
-Kelompok 19
-Jumlah kata 1077
-Sarkat Jadi Buku
Naya semakin sibuk mendekati akhir masa kuliah hingga membuat ia sering melewatkan waktu makannya. Pikiran yang terforsir membuat fisiknya melemah. Beberapa hari ini Naya merasa tubuhnya tidak baik-baik saja. Hingga malam ini ketika Rafael keluar dari kamarnya hendak mengambil minum, dia mendengar suara dari kamar Naya. Pintu yang terbuka sedikit itu membuat Rafael bisa melihat jelas keadaan di dalam kamar Naya.
Di sana terlihat Naya menggigil memeluk selimutnya. Rafael segera masuk dan mendapati Naya yang meracau.
“Xel …dingin.” Mendengar bukan namanya yang Naya sebut membuat hatinya sakit. Ternyata selama ini Axel masih bertahan dalam hati Naya. Rafael menyentuh kening Naya yang terasa panas, dia segera mematikan AC dan mengambil obat penurun deman kemudian mendekati Naya dan membangunkan perlahan.
“Nay, bangun. Minum obat dulu!” kata Rafael lembut. Perlahan Naya membuka matanya, dia bangkit meskipun kepalanya terasa berat. Naya segera meminum obat yang diberikan Rafael, kemudian dia merebahkan dirinya kembali dalam selimut. Rafael bangkit dari duduknya, namun tiba-tiba tangannya di tahan oleh Naya.
“Jangan pergi! Kumohon temani aku,” pinta Naya dengan wajah memelas. Rafael duduk kembali di samping Naya. Jam menunjukkan pukul 24.50, Rafael masih duduk di samping Naya yang napasnya mulai teratur pertanda Naya sudah tidur dan demamnya mulai turun. Matanya mulai berat akibat kantuk yang tidak bisa dia tahan, perlahan dia rebahkan dirinya di samping Naya dan langsung berselancar dalam dunia mimpi yang sedari tadi siap menyambutnya.
Azan Subuh mulai menggema di komplek perumahan, memanggil insan yang masih terlelap dengan suara merdunya. Rafael mencoba mengumpulkan nyawa yang sebagian masih berkelana di alam bawah sadarnya. Merasakan hawa panas dalam dekapan membuat dia sadar telah tidur bersama Naya. Rafael segera bangun dan mendapati Naya yang demamnya tinggi lagi.
***
Pagi harinya Rafael membawa Naya ke rumah sakit dan atas saran rekan kerjanya Naya harus opname untuk menjalani berbagai pemeriksaan akibat demam yang naik turun dari semalam. Mama Danisha menjaga Naya dengan sabar ketika Rafael bekerja. Hasil tes laboratorium akhirnya keluar juga, dan Naya dinyatakan positive menderita typus. Pulang dari tugasnya Rafael langsung menuju rumah sakit di mana Naya dirawat.
“Sebaiknya kamu istirahat dulu, biar mama yang jagain Naya,” ucap Danisha pada putranya yang terlihat lelah.
“Mama pasti capek sudah seharian jagain Naya. Afel bisa rebahan di sini, kok, Ma.” Rafael mendekati Naya untuk melihat kondisinya.
“Malam ini biar mama yang jagain Naya, kamu sudah begadang semalaman, kan?” tawar Danisha.
“Enggak usah, Ma! Mama datang lagi besok pagi saja. Kalau malam biar Afel yang jagain Naya,” tolak Rafael halus. Dia tidak ingin Danisha tahu jika ada lelaki lain yang Naya sebut dalam racauannya.
“Ya, sudah mama pulang dulu. Kamu juga harus jaga kesehatan biar bisa menjaga Naya.” Pesan Danisha sebelum berlalu meninggalkan kamar VIP tempat Naya dirawat.
***
Malam hari Naya kembali mengalami demam tinggi. Dengan sabar Rafael mengompres kening Naya dan menjaga di sisinya.
“Matahari … Xel, matahariku mana?” lagi-lagi Naya meracau.
“Matahari?” batin Rafael. Sakit hatinya tidak bisa dia tolak ketika Naya masih menyebut nama Axel. Seketika dia teringat kalung bunga matahari yang berada di lemari pakaian Naya. Apakah kalung itu pemberian Axel? Apakah Naya merindukan Axel? Pertanyaan yang berkecamuk dalam pikirannya membuat Rafael semakin penasaran.
Selama ini Rafael mencoba menjadi yang terbaik untuk Naya, berusaha menuntun Naya keluar dari lorong sunyi hidupnya. Namun, kenyataannya hati Naya masih tertinggal, seolah enggan untuk melangkah meninggalkan rasa yang terlanjur nyaman dalam kesepiaannya.
***
Sore hari sepulang kerja, Rafael pulang ke rumah mengambil beberapa baju ganti sebelum dia kembali ke rumah sakit. Tidak lupa dia mengambil kalung bunga matahari dari kotak merah dalam lemari. Ada denyut aneh ketika dia menggenggam kalung tersebut. Cemburu, yang seharusnya tidak boleh hadir dalam hatinya. Rafael berusaha menepis segala rasa, bahwa pernikahannya dengan Naya hanyalah pernikahan sandiwara.
Rafael tiba di rumah sakit dan tersenyum melihat Naya yang sedang makan di samping mama Danisha. Meskipun masih terlihat pucat, tetapi kecantikan Naya tidak berubah sedikitpun di mata Rafael. Mata indah itu yang telah menjebak Rafael dalam pusaran masalah yang tidak berujung.
“Gimana, sudah baikan?” tanya Rafael menyentuh kening Naya. Naya hanya mengangguk membalas pertanyaan Rafael. Sepeninggal Danisha, Rafael duduk di samping Naya.
“Kamu kangen bunda? Aku suruh sopir papa untuk jemput bunda, ya?” tawar Rafael.
“Nggak usah, Fel! Nanti bunda malah khawatir. Lagian siapa yang akan mengurus Sella kalau bunda kesini,” tolak Naya.
“Oya, tadi aku menemukan ini di lemari, kenapa tidak dipakai? Bagus, lho. Sini aku pakaiin!” Rafael mengeluarkan kalung bunga matahari dan memakaikan di leher Naya. Hanya inilah yang bisa Rafael lakukan untuk Naya saat ini. Rafael berpikir, Naya tengah berada di puncak kerinduannya terhadap Axel.
“Cepet sembuh, ya! Nanti kalau sudah sembuh kita pulang ke rumah bunda sekalian mengunjungi makam ayah,” imbuh Axel mengaitkan kalung Naya.
“Terima kasih, Fel!” ucap Naya dengan mata yang mulai berkabut.
“Istirahatlah supaya lekas pulih.” Rafael membantu Naya merebahkan tubuhnya. Menyelimutinya dan mengecup keningnya. Rafael berjalan menuju sofa di ruangan itu, merebahkan dirinya yang merasa lelah. Menikmati tangisan dalam hati yang menari sedari tadi. Sesakit inikah rasanya mencintai Naya? Hatinya mulai bimbang, haruskah dia mempertahankan hubungan ini?
***
Selama seminggu Naya berada di rumah sakit, hari ini dia sudah diperbolehkan pulang oleh dokter yang menangani Naya. Rafael membawa asisten rumah tangga dari rumah Danisha untuk menjaga Naya dan mengerjakan pekerjaan rumah hingga sore hari. Rafael tidak mau Naya terlalu capek mengingat sebentar lagi dia akan sibuk menyusun tugas akhirnya.
Sabtu sore sepulang kerja, Naya dan Rafael berangkat menuju rumah bunda Ratna. Dua jam perjalanan mereka tempuh, pukul enam sore mereka tiba di rumah bunda Ratna . Tentu saja bunda terkejut akan kedatangan Naya yang tidak memberi kabar terlebih dahulu.
“Bunda sehat?” tanya Naya yang berada dalam pelukan Ratna.
“Alhamdulillah sehat. Kamu sendiri gimana?” Ratna balik bertanya.
“Naya barusan sakit, seminggu dia nginap di rumah sakit, Bun. Kangen bunda katanya,” ucap Rafael dengan candaannya yang khas.
“Lho, kok nggak ngabari bunda kalau sakit! Bunda kan bisa ke sana,” gerutu Ratna.
“Naya nggak mau bunda khawatir, makanya sekarang Naya datang mengobati kangennya,” terang Rafael.
“Rumah, kok, sepi, Bun? Yang lain kemana?” tanya Axel yang melihat tak ada siapa pun di ruangan itu.
“Biasa, Naresha ada di kamarnya, Sella baru saja tidur di kamar bunda. Sedangkan Axel, dia sudah berpisah dari Naresha,” lirih Ratna.
“Berpisah!” sentak Rafael dan Naya terkejut.
“Maksud bunda gimana?” tanya Naya penasaran.
“Mereka bercerai enam bulan yang lalu,” jawab Ratna.
“Ada masalah apa dengan mereka, Bun?” tanya Rafael. Akhirnya Ratna pun menceritakan kejadian yang membuat Axel marah dan akhirnya memutuskan untuk berpisah. Semenjak perceraiannya, Naresha sering mengurung diri dalam kamarnya dan semakin tidak memperhatikan Sella.
Bersambung.
Keputusan Yang Harus Diambil
-Sarapan Kata KMO Club Batch 41
-Kelompok 19
-Jumlah kata 948
-Sarkat Jadi Buku
Mendengar cerita Ratna tentang perceraian Naresha membuat Rafael semakin gamang akan kelanjutan kisahnya bersama Naya. Selama ini Rafael salah menilai Axel yang dengan sengaja menorehkan luka di hati Naya. Nyatanya bukan dia yang menghilangkan tinta kuning dalam lukisan kisah mereka melainkan Naresha lah penyebab semuanya. Naya dan Axel hanyalah korban yang sama-sama terluka.
Setelah mengunjungi makam Galih, Naya dan Rafael menyempatkan diri ke rumah Dini untuk meminta maaf kepada keluarga Satrio.
“Atas nama keluarga, Naya mohon maaf atas kesalahan yang telah Naresha perbuat. Naya malu selama ini terlalu meminta lebih kepada om dan tante untuk membimbing Naresha. Karena ternyata semua kesalaha ada pada dia,” ucap Naya di hadapan Satrio dan Dini.
”Semua sudah terjadi, Nay. Kita tidak bisa memutar waktu, sekarang kita harus fokus pada masa depan,” jawab Satrio.
“Iya, Om, Tante. Naya pamit, ya,” ucap Naya. Naya dan Rafael menjabat tangan Satrio dan Dini sebelum mereka berlalu. Ada tatapan tidak rela yang terpancar dari sorot mata Dini. Sorot mata pengharapan yang selama ini dia impikan.
***
Sebelum pulang, Naya masuk kamar Naresha dan melihat adiknya hanya duduk di kursi memandang keluar melalui jendela kamarnya. Pandangan itu kosong tidak ada binar semangat sedikit pun. Sungguh berbeda dengan Naresha yang dulu selalu memperhatikan penampilan.
“Kamu tidak usah khawatir, untuk kebutuhan Sella biar Mbak yang menangungnya,” ucap Naya mengelus puncak kepala Naresha. Naresha bergeming tidak menghiraukan ucapan Naya.
Sementara di ruang tamu, Rafael menanyakan perihal ayah kandung Sella.
“Siapa ayah kandung Sella, Bun?” tanya Rafael penasaran.
“Waktu bunda tanya ke Axel, dia hanya menjawab jika Naresha yang berhak mengatakan siapa ayah Sella. Namun sampai sekarang Naresha tetap tidak mau cerita ke bunda,” terang Ratna.
“Sayang, jadi anak pinter, ya! Nurut sama nenek, temani mama biar nggak sedih,” ucap Naya mengelus pipi Sella yang mulai tidak bisa diam.
“Bun, uka …,” Sella mengulurkan biskuit ke tangan Naya. Naya membuka biskuit tersebut dan membawa Sella dalam pangkuannya.
“Bun, untuk keperluan Sella biar Naya yang tanggung. Bunda fokus saja dalam menjaga Sella dan Naresha. Untuk pekerjaan rumah masih di serahkan bik Imas, kan, Bun?” tanya Naya.
“Masih, Nay! Bunda sudah tidak sempat mengerjakan pekerjaan rumah,” ucap Ratna.
“Yang penting sekarang Bunda fokus ke Naresha dan Sella. Pokoknya untuk biaya nanti kita yang pikir, Bun,” terang Rafael meringankan pikiran Ratna.
Semenjak Naresha bercerai, Ratna tidak mau menggunakan uang pemberian Axel untuk membeli susu formula dan kebutuhan sehari-hari mereka. Meskipun Axel memaksa dengan alasan dia tidak mau Naya yang menangggung semua kebutuhan hidup mereka.
***
Semenjak pulang dari rumah bunda dan lebih tepatnya semenjak mengetahui perceraian Axel dan Naresha, Naya menjadi lebih pendiam. Memang dia beraktivitas seperti biasa, menyiapkan sarapan untuk Rafael, bekerja dan mengerjakan tugas kuliah, namun sering kali Rafael mendapati Naya tidak fokus pada pekerjaannya.
Hari demi hari, minggu berganti bulan terlewati tanpa terasa. Naya dan Rafael sibuk dengan kegiatan masing-masing hingga lebih mudah bagi Rafael untuk mengurangi interaksinya dengan Naya. Rafael butuh waktu menyendiri untuk kembali menimbang hubungan yang dia jalani bersama Naya selama ini. Rafael menyadari jika dia belum berhasil menggapai cinta Naya. B
ahkan dua tahun ini Rafael sudah mencoba menahan segala sakit hanya untuk menanti sebuah kata cinta yang terucap dari Naya. Sejauh apa pun Rafael berusaha, namun masalah hati tidak bisa dipaksakan. Semakin ke sini Rafael makin menyadari jika dirinya bukanlah kebahagiaan untuk Naya. Rembulan hanya menbutuhkan sinar matahari untuk memantulkan bias terangnya tanpa bisa menggapai apalagi memeluknya.
***
Siang ini Rafael memenuhi janjinya menemui Axel di peternakan setelah beberapa hari yang lalu meminta waktu Axel. Rafael beralasan ada kepentingan klinik yang mendadak sehingga dia pergi ke luar kota tanpa Naya. Sesampai di peternakan, Axel menyambut kedatangan Rafael dengan ramah. Mereka duduk di gasebo samping rumah nenek yang menghadap langsung ke kebun bunga matahari.
“Pemandangan yang indah, pantas saja kamu betah tinggal di sini,” ucap Rafael memandang bunga matahari yang berjejer rapi. Dia teringat kalung bunga matahari milik Naya.
“Nenek suka merawat tanaman bunganya, namun sekarang beliau sudah renta jadi saya yang membantu mengurusnya,” terang Axel.
“Sepertinya Naya sangat menyukai bunga matahari.” Rafael menyesap teh yang ada di hadapannya. Axel diam seribu bahasa, dia tidak mau membahas Naya di sini.
“Maaf, kalau boleh tahu ada keperluan apa hingga dokter Rafael merelakan waktunya hanya untuk betemu saya?” tanya Axel mengembalikan inti tujuan Rafael.
“Apa rencana kamu ke depannya? Maksud aku rencana kamu setelah bercerai dari Naresha?” tanya Rafael yang membuat Axel terkejut. Pasalnya selama ini belum banyak yang mengetahui perihal perceraian mereka.
“Sementara ini hanya ingin fokus mengurus peternakan saja,” jawab Axel singkat.
“Tidak ada niatan untuk kembali mengambil hati Naya?” tanya Rafael.
“Kenapa dokter Rafael mempunyai pikiran seperti itu?” Axel balik bertanya.
“Naya masih mencintai kamu, apa kamu tidak ingin mengembalikan kebahagiaan Naya?” ucap Rafael dengan wajah yang mulai sendu.
“Itu hanya masa lalu kami. Sekarang bukan waktunya untuk menyesali diri.” Axel menyesap rokoknya dan menghembuskan perlahan.
“Jika aku menceraikan Naya, apa kamu mau menerima dia kembali?” pertanyaan Rafael makin berat dia ucapkan.
“Maksud Dokter apa?” Axel mengerutkan keningnya dan mematikan rokok di tangannya.
“Selama dua tahun Naya memang istriku, tapi aku tidak pernah mendapatkan cintanya. Kamu tahu? Dia masih sangat mencintaimu,” papar Rafael. Seketika hening menyelimuti suasana. Mereka asyik dengan pikiran masing-masing.
“Sebaiknya hal itu Anda bicarakan dengan Naya. Saya yakin Naya tidak akan menyetujui pemikiran Anda. Saya paham bagaimana sifat Naya. Hal ini justru akan lebih menyakiti perasaan dia,” kalimat Axel terasa menyudutkan terdengar di telinga Rafael. Tetapi hal itu dirasa benar. Mengapa Rafael tidak memikirkan perasaan Naya? Dua tahun mereka bersama mengapa Rafael tidak bisa mengerti sifat Naya?
“Terima kasih, kamu telah menyadarkan aku. Aku hanya ingin jika terjadi sesuatu di kemudian hari, tolong temani Naya!” Kalimat terakhir di pertemuan mereka sebelum akhirnya Rafael kembali ke Semarang.
***
Bersambung.
Mencoba Memperbaiki Hubungan
-Sarapan Kata KMO Club Batch 41
-Kelompok 19
-Jumlah kata 982
-Sarkat Jadi Buku
Semenjak kepulangan Rafael dari tugas luar kota yang ternyata adalah pertemuannya dengan Axel, Naya merasa Rafael berusaha menghindarinya. Tiap pagi tidak pernah mengucapkan selamat pagi ketika mereka bertemu di dapur. Bahkan Rafael pun makin sibuk hingga selalu pulang selepas magrib. Pada awalnya Naya tidak mempermasalahkan hal itu, tetapi lama-kelamaan Naya mulai merasa sepi dan kehilangan tegur sapa seorang Rafael.
Bahkan ketika selesai sidang tugas akhir, Naya tidak mendapatkan ucapan selamat dari Rafael. Dia hanya pasrah ketika mendapat pesan dari Rafael jika Rafael tidak dapat menjemputnya karena pasiennya masih banyak. Hari ini Naya pulang dengan ojek online dan mendapati rumah yang masih dalam keadaan gelap pertanda Rafael belum berada di rumah. Sedangkan asisten rumah tangganya sudah pulang jam lima sore.
Setelah membersihkan diri, Naya menahan rasa laparnya demi menunggu Rafael untuk makan malam bersama. Namun hingga pukul delapan belum ada tanda-tanda Rafael akan pulang.
“Pasiennya masih banyak?” tanya Naya melalui pesan singkatnya. Tidak ada balasan dari seberang, Naya berpikir mungkin Rafael masih sibuk. Lima belas menit berlalu ada notifikasi yang masuk.
“Kamu makan dulu, masih ada tiga pasien yang harus aku tangani. Nggak usah nunggu aku, nanti kamu sakit!” balas Rafael. Naya menelan kekecewaan yang semakin menyakitkan. Naya berpikir apakah dia sudah mulai bergantung pada sosok Rafael? Ataukah dia sudah mulai mencintai Rafael? Naya pun tidak dapat menjawabnya. Dia bimbang akan kata hatinya. Ataukah cintanya terkalahkan ego yang selama ini masih membelenggu rasa?
Pukul sembilan terdengar suara mobil Rafael memasuki halaman rumah. Naya segera berlari menuju teras untuk menyambut suaminya. Wajah lelah Rafael yang tetap tersenyum melihat Naya berdiri di depan pintu seketika membuat hati Naya terasa perih oleh rasa bersalah. Kesalahan yang sangat besar selama hampir tiga tahun telah menempatkan Rafael pada posisi yang tidak pasti. Mengabaikan perasaan dan cinta Rafael yang tulus. Naya bertekat sudah waktunya membuka hati untuk Rafael dan melupakan masa lalunya.
Sesampai di ruang tengah, Naya yang berjalan di belakang Rafael tiba-tiba memeluk tubuh tegap milik Rafael.
“Aku rindu kamu,” lirih Naya yang makin erat mendekap Rafael membuat Rafael terkejut, meskipun tidak bisa dipungkiri hatinya menghangat akan rasa bahagia. Selama ini yang Rafael tunggu hanyalah sebuah pengakuan cinta dari seorang Nayara.
“Aku masih bau dari tadi belum mandi,” ucap Rafael dengan senyum tipis yang terpancar. Dia berusaha melepaskan pelukan Naya.
“Biarkan aku seperti ini sebentar saja,” pinta Naya dengan air mata yang mulai membasahi baju Rafael.
“Hei! Kenapa nangis?” tanya Rafael yang merasakan getaran tubuh Naya. Dia segera berbalik dan menarik Naya dalam pelukannya.
“Maafkan aku! Maafkan aku…” ucap Naya dalam pelukan Rafael dan semakin mempererat pelukannya.
“Naya, kenapa kamu minta maaf? Kamu tidak salah,” balas Rafael menngelus puncak kepala Naya. Melerai pelukannya dan mengusap air mata Naya.
“Ada apa? Cerita, gih?” tanya Rafael membuat hati Naya sejuk. Perhatian kecil seperti ini yang selalu Naya rindukan dari Rafael. Naya mulai takut jika pada akhirnya Rafael menyerah untuk mencintainya.
“Aku kangen, takut kamu pergi dari aku,” lirih Naya menunduk tanpa mampu menatap mata Rafael.
“Kalau kangen kenapa nunduk? Liat aku, dong!” goda Rafael membuat Naya mendongak menatap Rafael. Namun mendadak kecupan singkat Rafael mendarat di bibir Naya membuat seluruh tubuhnya terasa beku.
“Aku mandi dulu, ya. Gerah, nih!” ucap Rafael berlalu dari hadapan Naya. Rafael mencoba menetralkan irama jantungnya yang mendadak meningkat akibat interaksinya dengan Naya. Dia segera mendinginkan kepalanya di bawah guyuran air hingga dia mampu menetralkan imajinasinya yang mulai berkelana.
Sedangkan Naya masih diam mematung seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja dialaminya. Naya menyentuh bibirnya dan merasakan desiran aneh ketika Rafael mendaratkan bibirnya tadi. Naya pun menggelengkan kepala mencoba mengembalikan kesadarannya yang sempat terhenti sesaat.
***
Semenjak kejadian malam itu, ada rasa canggung di antara mereka ketika bersama, namun saling rindu ketika berjauhan. Mereka selayaknya sepasang kekasih yang baru menapaki fase pendekatan. Beruntung mereka masih sama-sama sibuk dengan kegiatan masing-masing. Naya sibuk dengan revisi tugas akhirnya dan persiapan wisuda. Sedangkan Rafael sibuk dengan pasien di beberapa rumah sakit swasta dan kegiatan dia sebagai salah satu pengurus organisasi Ikatan Dokter Indonesia di kotanya. Namun hal itu justru membuat hubungan mereka semakin dekat.
Waktu bergulir begitu cepat, tanpa terasa hari wisuda Naya telah tiba. Rafael menemani Naya dalam acara tersebut. Meskipun terasa kurang tanpa kehadiran bunda Ratna karena kerepotannya mengurus Sella dan Naresha yang kesehatan mentalnya mulai terganggu. Rayhan dan Danisha hadir menggantikan orang tua Naya.
Di sudut lain, ada beberapa pasang mata yang memperhatikan kebahagiaan mereka. Secuil rasa iri menggelitik hati perempuan paruh baya itu. Dini memaksa Satrio dan Axel untuk mengantar menemui Naya di acara wisudanya. Awalnya Axel dan Satrio menolak keras permintaan Dini, namun dengan berbagai alasan akhirnya mereka menyetujui dengan syarat hanya Dini yang menemui Naya. Dini turun membawa buket bunga dan berjalan mendekati Naya yang sedang berfoto bersama keluarga Rafael.
“Tante Dini! Wah suatu kehormatan Tante datang kemari, om Satrio mana?” teriak Rafael melihat Dini yang berjalan mendekat.
“Tante!” Naya berlari-lari kecil menghampiri dan memeluk Dini.
“Selamat, Sayang! Maaf tante mengganggu acara kalian.” Dini menyerahkan buket kepada Naya.
“Enggak, Tan! Kita malah bahagia, soalnya bunda nggak bisa datang. Oya, om Satrio mana?” tanya Rafael mengedarkan pandangannya.
“Ada di mobil,” jawab Dini.
“Ya, udah ayo kita rame-rame makan bareng. Papa sudah lapar, nih!” Rayhan mengelus perutnya membuat mereka tertawa. Rafael menghampiri mobil Satrio hendak mengajak mereka makan bersama. Namun dia sedikit terkejut ketika melihat Axel berada di balik kemudi.
“Siang Om, Axel! Papa mengundang om sekeluarga untuk makan siang bersama kami. Biar tante Dini ikut bersama saya, ya. Om bisa mengikuti dari belakang,” pinta Rafael sopan.
Mobil mereka pun beriringan menuju rumah makan yang biasa dr. Rayhan kunjungi. Hari bahagia yang mereka rasakan saat ini adalah buah kesabaran dari penderitaan. Terutama bagi Rafael yang telah mengantar Naya mencapai impiannya. Impian yang dulu tertunda karena sekelumit rasa. Rasa kecewa dan sakit yang hadir bersamaan dalam lingkaran permasalahan. Rafael bersyukur sudah berhasil mendampingi Naya hingga di titik ini meskipun harus mengesampingkan egonya atas rasa sakit yang dia alami.
***
Bersambung.
Aku Cinta Kamu
-Sarapan Kata KMO Club Batch 41
-Kelompok 19
-Jumlah kata 970
-Sarkat Jadi Buku
Hari yang telah mereka lalui penuh dengan cerita. Indahnya cinta yang selama ini Rafael impikan ternyata hanyalah seindah teman tapi mesra. Terkadang ada kalanya Rafael ingin menyerah dan melepas Naya. Namun dia teringat kembali akan ucapan Axel jika hal tersebut justru akan menyakiti perasaan Naya. Meskipun akhir-akhir ini Naya mulai berubah lebih berani menunjukkan perhatiannya, namun Rafael belum juga mendapatkan kata cinta yang sudah bertahun-tahun dia nantikan.
“Besok Minggu jalan-jalan ke Bandungan, yuk! Nyari udara segar,” ucap Rafael suatu sore ketika menemani Naya menonton drama korea kesukaanya.
“Aku punya satu keinginan dari dulu yang belum kesampaian,” imbuh Rafael.
“Memangnya kamu ingin apa?” Naya yang penasaran pun mengalihkan perhatiannya dari drama yang sedang dia tonton.
“Aku ingin mengajak kamu ke Celosia. Kamu pasti suka,” ucap Rafael dengan senyum manisnya yang selalu dia berikan untuk Naya.
“Serius!” pekik Nay. Selama ini mereka terlalu sibuk dengan kegiatan masing-masing hingga hampir tak ada waktu untuk liburan bersama. Rafael pun punya inisiatif tersebut mengingat taman bunga Celosia tidak jauh dari kota Semarang hingga dia tidak perlu khawatir akan kecapekan pada hari berikutnya. Karena hari Senin adalah hari yang sangat sibuk untuk mereka berdua.
“Iya, aku tahu kamu menyukai taman bunga,” Rafael mengacak rambuk Naya yang terlihat girang seperti anak kecil yang dijanjikan sesuatu yang sudah lama diharapkannya.
***
Setelah sarapan, Rafael dan Naya berangkat menuju taman bunga Celosia yang berada di kaki gunung Ungaran kabupaten Semarang. Mereka sengaja berangkat setelah matahari mulai menghangat. Hari Minggu seperti ini taman bunga Celosia ramai pengunjung. Selain pemandangannya bagus, spot fotonya banyak juga udara sejuk khas pegunungan yang masih segar jauh dari polusi seperti di kota. Naya bagaikan kupu-kupu yang beterbangan dari bunga yang satu ke bunga yang lain. Rona bahagia terpancar dari wajah ayunya. Rafael tidak melewatkan kesempatan tersebut untuk mengambil foto Naya dengan berbagai gaya.
“Nay, kita selfi, yuk!” ajak Rafael ketika mereka berjalan beriringan. Mereka pun selfi berdua dengan gaya suka-suka mereka. Puas bermain di sana, mereka lanjutkan dengan kuliner yang berada di sekitar taman Celosia. Tanpa terasa waktu sudah menjelang sore, Rafael pun melajukan mobilnya untuk kembali ke kota.
“Seneng nggak?” tanya Rafael sambil mengemudi.
“Seneng banget! Makasih, Sayang.” lirih Naya di telinga Rafael. Mendadak Rafael menginjak rem hingga Naya pun terkejut ketika mobil mereka menepi. Kalimat Naya di telinganya sesaat menghadirkan desiran aneh.
“Nay! Bahaya tahu..” ucap Rafael menatap netra hitam milik Naya. Naya yang masih terkejut hanya diam membalas tatapan netra coklat milik Rafael. Mereka diam dalam pikirannya masing-masing, wajah Rafael semakin dekat tanpa mengalihkan pandangannya dari sorot sayu milik Naya. Serasa ditarik sebuah magnet, Rafael semakin mendekati wajah Naya hingga hampir mengikis jarak di antara mereka. Debaran aneh yang menyelinap di hati Naya seakan berlomba dengan detak jantung Rafael.
Tin… tin … tin …
Bunyi klakson dari arah belakang mengembalikan imajinasi mereka yang mulai berkelana. Mereka memperbaiki posisi duduknya dan menepis rasa canggung yang tiba-tiba hadir di antara mereka. Rafael segera melajukan mobilnya perlahan menyusuri jalanan sempit dan berkelok.
***
“Besok Kamis aku Rakernas IDI ke Lombok sampai hari Minggu. Mungkin Minggu malam baru tiba di rumah,” ucap Rafael lirih seakan berat mengatakannya.
“Lama, ya,” cicit Naya menatap netra teduh yang selama ini menemaninya dengan sabar.
“Kenapa? Sudah mulai kangen, nih.” goda Rafael.
“Ish, siapa juga yang kangen.” Naya berlalu meninggalkan balkon untuk menyembunyikan wajahnya yang merona. Rafael pun mengikuti Naya, menghindari udara yang kian dingin.
“Nay! Selama aku tidak ada di rumah, kamu nginap di rumah mama, ya! Aku takut terjadi sesuatu jika kamu di sini sendirian,” ucap Rafael menghentikan langkah Naya. Naya pun berbalik menatap Rafael.
“Iya, aku juga takut di rumah sendiri.” Tiba-tiba lampu padam hingga gelap menyelimuti ruangan itu.
“Aku takut!” teriak Naya langsung memeluk Rafael yang berada di hadapannya.
“Jangan kenceng-kenceng meluknya, aku nggak bisa bernapas,” goda Rafael membuat Naya cemberut.
“Aku ambil lampu emegency dulu,” imbuh Rafael.
“Ikut!” seru Naya tanpa melepaskan pelukannya. Rafael pun menuntun Naya menuju kamarnya untuk mengambil lampu emergency yang berada di nakas samping tempat tidurnya. Naya duduk di ranjang Rafael menunggu lampu tersebut dinyalakan. Entah mengapa saat ini Naya merasa ingin berada di dekat Rafael, tidak ingin sedikitpun dia jauh dari sisinya.
“Sudah! Mau aku temani tidur di kamar kamu atau mau tidur di sini?” tanya Rafael setelah menyalakan lampu dan meletakkan di atas nakas.
“Di sini saja!” jawab Naya tanpa memandang netra coklat milik Rafael.
“Aku ambil selimut dulu, kamu tidur di ranjang biar aku tidur di sofa.” Rafael bangkit hendak menuju lemari ketika tiba-tiba tangannya di pegang oleh Naya.
“Jangan pergi! Aku nggak mau sendiri,” cicit Naya. Rafael mengurungkan niatnya dan kembali duduk di samping Naya.
“Ya sudah, tidurlah. Aku di sini,” ucap Rafael. Naya sedari kecil memang takut gelap, dulu dia akan menangis ketika lampu padam seperti ini.
Malam semakin larut, kantuk pun mulai menghampiri Rafael. Dia memberanikan diri merebahkan tubuhnya di samping Naya, menghadap ke wajah Naya yang ternyata belum tertidur.
“Kenapa belum tidur?” tanya Rafael yang jantungnya mulai bergemuruh menatap Naya.
“Aku nggak bisa tidur,” jawab Naya menatap siluet wajah tampan milik Rafael. Cahaya temaram di kamar itu tidak menyamarkan kecantikan Naya.
Semakin Rafael memandangnya, semakin dia ingin mendekat. Naya bagaikan medan magnet yang menggerakkan hati dan perasaan Rafael, perlahan tangannya menyentuh pipi Naya dengan lembut. Naya pun seolah terkunci sorot netra coklat milik Rafael. Semakin dalam tatapan matanya mengikis jarak yang ada di antara mereka. Meluruhkan ego yang selama ini terpendam, menghancurkan dinding tebal yang berdiri di antara mereka, merobohkan sekat pemisah yang telah lama terbentang.
Malam ini mereka mengarungi indahnya cinta, menikmati sentuhan lembut yang saling mendamba, menciptakan kebahagiaan dan saling memuaskan.
“Terima kasih! Aku mencintaimu,” ucap Rafael mengecup kening Naya di sela napasnya yang masih terengah.
“Aku juga mencintaimu,” balas Naya mempererat pelukannya pada tubuh Rafael. Puncak kebahagiaan Rafael malam ini adalah mendengar ucapan Naya yang sudah lama dia nantikan dan akhirnya mereka terlelap dalam rasa yang membuncah.
***
Bersambung.
Takdir Belum Berpihak
-Sarapan Kata KMO Club Batch 41
-Kelompok 19
-Jumlah kata 1094
-Sarkat Jadi Buku
Semenjak kejadian itu, tiada malam yang terlewati tanpa kegiatan rutin mereka. Naya sudah menjadi candu bagi Rafael. Hari-hari mereka lalui penuh kebahagiaan. Rafael merasa sangat bersyukur akhirnya bisa menggapai hati Naya. Kesabarannya selama bertahun-tahun berbuah manis, dia berhasil mengembalikan senyum Naya dan mendapatkan cinta istrinya.
“Jangan lama-lama, ya! Sampai di sana jangan lupa telepon aku!” Naya merajuk ketika Rafael hendak berangkat menuju bandara. Rafael mengantar Naya ke rumah orang tuanya sebelum dia terbang ke Lombok.
“Aku akan selalu merindukanmu,” ucap Rafael mengacak rambut Naya. Mata Naya mulai berkabut, buliran hangat perlahan membasahi pipinya. Berat rasanya berpisah dari sesorang yang ternyata sangat dia cintai.
“Hei, jangan nangis! Senyum, dong! Ringankan langkahku dengan tawamu,” pinta Rafael mengusah air mata Naya. Bukannya tersenyum, justru kalimat Rafael membuat air mata Naya semakin deras mengalir. Dia memeluk Rafael dengan eratnya seakan tidak rela melepas Rafael pergi.
“Udah, dong, peluknya. Nanti aku ketinggalan pesawat.” Rafael berusaha melerai pelukan mereka. Rayhan dan Danisha tersenyum melihat mereka berdua.
“Pa, Ma, Rafael titip Naya, ya. Tolong jaga Naya seperti papa dan mama menjaga Rafael!” pinta Rafael.
“Iya, tenang saja. Naya aman berada di sini,” jawab Rayhan dan anggukan Danisha. Rafael berpamitan kepada kedua orang tuanya dan mengecup kening Naya sebelum masuk ke mobil yang akan mengantarnya ke bandara.
“Kamu baik-baik ya, Nak! Jaga mama jangan sampai nangis terus, temani mama bahagia!” canda Rafael mengelus perut Naya. “Jika dia jagoanku, nama kamu adalah Efaz yang akan menjadi penolong bagi sesama, dan jika dia bidadariku nama kamu adalah Azaria. Aku berangkat dulu, Sayang.” Rafael melambaikan tangannya ketika mobil mulai bergerak meninggalkan rumah Rayhan. Naya menatap kepergian suaminya hingga mobil itu tidak terlihat.
“Masuk, Nay! Mobilnya sudah nggak kelihatan,” ucap Danisha lembut menyentuh pundak Naya yang masih menatap ke arah jalan.
“Eh, iya, Ma.” jawab Naya yang tersadar dari lamunannya. Naya memasuki kamar Rafael yang bernuansa putih abu-abu. Kamar yang tetap terawat meskipun penghuninya sudah tidak menempatinya. Danisha memang selalu membersihkan kamar putra-putrinya meskipun mereka sudah tidak tinggal di rumahnya dengan harapan jika mereka berkunjung kamarnya selalu siap untuk ditempati.
Naya mengedarkan pandangannya ke setiap sudut ruangan. Kain gorden warna dark grey berpadu dengan tembok warna putih dan bedcover warna abu-abu sungguh perpaduan warna yang sangat indah. Foto-foto Rafael yang berjejer rapi saat masih kecil hingga menikah menghiasi satu sisi dinding di kamar tersebut.
Naya merebahkan tubuhnya di atas ranjang, menghilangkan penat dan rasa rindu yang ada dalam hatinya. Belum genap satu jam mereka berpisah, bagi Naya sudah seperti bertahun-tahun.
***
Selama Rafael berada di Lombok, dia selalu menyempatkan waktunya untuk memberi kabar kepada Naya. Bahkan ketika rapat selesai pukul sepuluh malam pun dia tetap menghubungi Naya karena dia tahu Naya pasti menunggu kabarnya.
Hari Minggu pukul dua siang waktu setempat Rafael memberi kabar jika acara Rakernas telah selesai dan akan segera terbang kembali ke Semarang. Pukul setengah lima sore Rafael menelpon kembali mengatakan jika dia sudah berada di Lombok International Airport, dan ponselnya akan segera dimatikan.
Pukul delapan malam Naya mulai gelisah karena Rafael belum memberi kabar sedangkan perjalanan dari Lombok ke Semarang hanya memakan waktu tidak lebih dari dua jam. Rayhan dan Danisha yang melihat kegelisahan Naya pun memahami sikap menantunya.
“Pesawatnya mungkin delay, Nay!” kata Rayhan yang melihat Naya mondar-mandir di dalam rumah.
“Gitu ya, Pa!” jawab Naya sekenanya. Pukul sembilan malam Rafael belum juga memberi kabar, Naya berusaha menelpon namun ponsel Rafael masih belum aktif. Naya yang merasa sungkan akhirnya masuk ke kamar namun dia tetap mondar-mandir tidak jelas di dalam kamar.
Pyar…
Suara benda pecah yang terdengar dari ruang tengah membuat Danisha menghampiri kamar Rafael yang terbuka.
“Ada apa, Nay?” tanya Danisha melihat ke dalam kamar.
“Ini, Ma! Foto Rafael tersampar tangan Naya dan jatuh,” jawab Naya dengan hati yang tidak karuan.
“Biar mbak Sumi saja yang membersihkan!” perintah Danisha yang segera memanggil mbak Sumi untuk membersihkan pecahan kaca di kamar Rafael. Sedangkan Naya mengambil foto Rafael waktu masih kuliah yang tadi tanpa sengaja dia jatuhkan.
Pukul sepuluh malam Naya belum bisa menghubungi Rafael. Suara mobil yang memasuki halaman rumah membuat Naya bergegas keluar, namun yang datang bukanlah seseorang yang dia rindukan melainkan Renata kakak sulung Rafael bersama suaminya.
“Kak Rena tumben malam-malam datang,” sapa Naya yang menelan kekecewaan.
“Iya kebetulan aja lewat, Nay! Papa ada?” tanya Rena dan mendapat anggukan dari Naya. Rena pun bergegas menemui papanya dan mengajak bicara di ruang praktek.
Naya duduk di teras rumah berharap Rafael segera menghubungi. Beberapa saat kemudian Rayhan, Danisha bersama Renata dan suaminya keluar dari mendekati Naya.
“Nay, ikut kita jemput Rafael, yuk!” ucap Renata lembut. Naya segera berdiri menatap kakak iparnya dengan mata berbinar.
“Ayo, Kak! Naya sudah tidak sabar,” jawab Naya. Mereka segera memasuki mobil Renata. Naya merasa aneh mengapa mama dan papa mertuanya diam saja.
“Memangnya Rafael menghubungi kak Rena, ya? Aku telepon Rafael dari tadi kok nggak bisa,” cerocos Naya. Renata tersenyum mengelus tangan Naya yang duduk di sampingnya. Tidak ada satu kalimat yang dia ucapkan. Mobil memasuki pelataran rumah sakit tempat Rafael dan Renata bekerja.
“Lo, kok ke rumah sakit, Kak?” tanya Naya heran.
“Nay, apapun yang terjadi kami ada bersamamu,” ucap Renata mengenggam erat tangan Naya. Perasaan Naya mulai tidak karuan, hatinya bergemuruh ketika melihat mama Danisha menangis meskipun dia tahan. Naya mulai menyadari jika telah terjadi sesuatu yang buruk.
“Sebenarnya ada apa, Kak?” tanya Naya yang mulai ketakutan akan pikiran buruk yang berlalu-lalang dalam pikirannya.
“Kita turun dulu, ada yang perlu kita bicarakan bersama dokter di dalam,” jawab Renata mengajak Naya dan keluarganya masuk ke rumah sakit. Mereka melewati lorong menuju ke sebuah ruangan di mana di sana sudah ada dua orang dokter rekan kerja Rafael dan Renata.
“Selamat malam, nyonya Nayara! Saya dokter yang menangani dokter Rafael, beliau berpesan kepada saya untuk menyampaikan ini kepada Nyonya.” Dokter Indra mengulurkan sebuah kotak untuk Naya.
“Suami saya di mana, Dok?” tanya Naya yang mulai menitikkan air mata. Kotak yang dia terima sama sekali tidak menarik perhatiaannya. Dia hanya ingin tahu di mana suaminya.
“Mari saya antar!” dokter Indra keluar ruangan mengantar mereka menuju ke sebuah ruangan yang semakin sunyi. Dalam ruangan yang dingin itu terdapat sebuah peti yang segera dibuka oleh dokter Indra. Naya melangkah perlahan mendekati peti tersebut, semakin dekat langkahnya terasa semakin berat. Hingga dia sampai di samping peti tersebut.
Bagaikan tersambar petir di siang yang terik ketika Naya melihat wajah tenang Rafael tertidur dalam peti tersebut. Wajah yang selama ini dia rindukan, wajah yang selama tiga hari ini selalu hadir dalam setiap mimpinya. Tiba-tiba gelap menghampiri dan mendekap tubuh Naya hingga dia merasa susah untuk bernapas dan teriakan Renata memanggil namanya yang dia dengar sebelum semuanya benar-benar gelap.
Malaikat Kecil
-Sarapan Kata KMO Club Batch 41
-Kelompok 19
-Jumlah kata 1123
-Sarkat Jadi Buku
Sayup-sayup terdengar suara azan Subuh dari kejauhan, memanggil mahkluk ciptaan Tuhan yang paling mulia. Melantunkan lagu pujian yang menyentuh rasa. Mata Naya perlahan mulai terbuka, menatap langit-langit kamar berwarna putih. Asing yang dia rasakan tanpa mengenal warna langit kamar tersebut.
“Sudah bangun, Nay?” sapa Renata lembut. Naya menoleh menatap kakak iparnya dan merasa heran dengan kehadiran Renata.
“Kenapa kakak ada di sini? Ini di mana?” tanya Naya membuat hati Renata seperti teriris.
“Ini rumah sakit, Sayang!” jawab Renata pelan.
“Rumah sakit!” pekik Naya bangkit dari posisi tidurnya. Ingatan tentang kejadian semalam kembali terkumpul dalam otaknya.
“Rafael di mana, Kak!” sentak Naya turun dari ranjang.
“Hati-hati, Nay! Nanti kamu jatuh.” Renata memegang tangan Naya yang sedikit gemetar.
“Istighfar ya, Nay! Relakan kepergian Rafael, kamu harus kuat. Kami semua sudah mengikhlaskan Rafael supaya jalannya dilapangkan. Kamu ingin dia bahagia, kan? Relakan dia, jangan memberatkan langkahnya,” ucapan Renata membuat air mata Naya mengalir dengan deras. Renata membawa Naya dalam peluknya, membiarkan Naya menumpahkan segala sesak yang menghimpitnya.
“Ingat, Rafael dari dulu paling benci dengan orang yang menagis. Tahu kenapa? Rafael dulu pernah bilang ke kakak, dia akan sedih jika melihat orang menangis. Itulah sebabnya kakak dan juga mama jarang sekali menangis di depan Rafael,” hibur Renata mengelus punggung Naya dalam dekapnya. Naya terngiang pesan Rafael sebelum berangkat ke Lombok.
“Hei, jangan nangis! Senyum, dong! Ringankan langkahku dengan tawamu.” Ternyata kalimat yang sama juga ditujukan untuk Naya. Pesan terakhir dari Rafael yang tidak pernah dia duga.
“Sebentar lagi kita bawa pulang jenazah Rafael. Kamu mau mandi di sini apa mandi di rumah?” tanya Renata. Naya melerai pelukan mereka, mengusap air matanya.
“Mandi di rumah saja, Kak,” jawab Naya singkat. Rayhan datang bersama Danisha mengajak mereka untuk berjamaah di masjid rumah sakit.
***
Pukul enam pagi mobil jenazah yang membawa Rafael meninggalkan pelataran rumah sakit setelah mendapatkan penghormatan terakhir dari direktur rumah sakit beserta staf dan jajarannya. Naya berada dalam mobil Renata mengikuti dari belakang mobil jenazah. Setibanya di kediaman keluarga Rayhan, Naya melihat Bunda bersama Sella dan juga keluarga Axel sudah berada di sana. Naya berjalan dipapah Renata mendekati bunda Ratna dan juga Dini. Naya menumpahkan segala rasa dalam pelukan Ratna, tangisnya terdengar memilukan di telinga orang-orang yang berada di sana. Tak terkecuali Axel yang berada di dekatnya memangku Sella.
Axel teringat pesan Rafael untuk menemani Naya ketika Naya sedih. Pertemuan mereka di peternakan waktu itu ternyata pertemuan pembawa pesan terakhir dan Rafael menitipkan Naya untuk Axel jaga. Ingin rasanya Axel memeluk Naya, kembali menguatkan di saat dia terpuruk.
Setelah Naya membersihkan diri, Danisha memaksa Naya untuk makan. Beliau tahu semenjak kemarin sore Naya belum makan apa pun karena menunggu kedatangan Rafael. Ratna menemani Naya yang makan dengan terpaksa.
“Nda, maem ndak oleh ais,” celoteh Sella di samping Naya mengusap air mata Naya. Hal itu membuat Naya kembali tersadar jika orang-orang di sekitarnya sangat membutuhkan dia. Naya harus bangkit demi Sella, demi bunda dan demi Rafael.
“Nda, to yah di ana,” tunjuk Sella ke arah foto Rafael yang berada di dekat peti. Naya tersenyum pahit menanggapi celotehan Sella. Terakhir kali ia melihat wajah Rafael semalam karena setelah itu peti sudah tidak boleh dibuka.
Taksi yang membawa Rafael dari bandara menghantam bahu jalan ketika menghindari sepeda motor dengan kecepatan tinggi dari arah berlawanan hingga terjadilah kecelakaan. Korban segera dilarikan ke rumah sakit terdekat yang kebetulan adalah rumah sakit tempat dimana Rafael bekerja. Segala upaya telah dilakukan oleh rekan-rekannya untuk menolong Rafael. Namun, Tuhan berkendak lain.
Acara pemakaman dilakukan pukul sepuluh pagi. Naya mengantar hingga peristirahatan terakhir Rafael. Baru beberapa hari mereka merasakan manisnya cinta, ternyata takdir belum mengizinkan mereka bersama. Ada rasa sesal yang mendalam di hati Naya, mengapa cinta itu baru hadir setelah sekian lama mereka bersama.
***
Semenjak kepergian Rafael, Danisha melarang Naya tinggal di rumah lama yang selama tiga tahun mereka tempati bersama Rafael. Rumah yang akan selalu mengingatkan Naya tentang Rafael. Naya pun tinggal di kediaman Rayhan supaya Naya tidak sendirian. Setelah tujuh hari, Naya mulai beraktifitas seperti biasa. Meskipun berat Naya harus memulai kehidupan barunya, berangkat kerja dari rumah mertua dengan diantar sopir Danisha membuat kegiatan Naya terpantau oleh keluarga. Hatinya begitu perih setiap kali melewati rumahnya bersama Rafael yang sudah tidak ditempati lagi.
Hari berlalu berganti bulan yang bagi Naya terasa lama dan hambar. Dua bulan setelah kepergian Rafael, Naya baru sanggup membuka kotak yang disampaikan dokter Indra ketika di rumah sakit. Kotak tersebut berisi sebuah gelang mutiara berwarna putih berhiaskan bunga matahari oleh-oleh dari Lombok dan sepucuk surat terselip di dalamnya.
Dear, my honey…
Maaf, baru bisa memberimu sebuah hadiah. Mungkin ini tidak seberapa tapi ini mewakili rasa cinta aku yang tulus untukmu. Aku berharap kebahagiaan selalu meyertaimu. Gelang ini pelengkap kalung matahari yang selama ini kamu miliki. Kalung itu yang selama ini menyentuh hatimu sedangkan gelang ini yang akan menggenggam tanganmu. Mereka adalah perpaduan indah yang akan membuatmu tersenyum bahagia. Ingat kami ketika kamu sedih dan jadikan kami semangatmu untuk melangkah.
Love you, Rafael.
Naya memakai gelang tersebut dengan berlinangan air mata. Rasa rindu yang bersemayam di hatinya tak bisa dia ingkari. Rindu senyum dan peluk Rafael, rindu ucapan selamat pagi setiap mereka bertemu di dapur, rindu aroma tubuh Rafael yang merupakan candu buat Naya. Rindu yang menyiksa tubuhnya membuat dirinya makin lemah dari hari ke hari hingga pagi itu Naya pingsan di ruang tengah.
Danisha segera melarikan Naya ke rumah sakit karena melihat kondisi Naya yang makin memprihatinkan. Naya segera mendapat pertolongan pertama untuk menghindari dehidrasi akibat akhir-akhir ini dia kehilangan selera makan hingga Naya harus dirawat di rumah sakit.
“Bagaimana kondisi Naya?” tanya Danisha kepada Renata yang menangani Naya.
“Naya butuh istirahat, dia nggak boleh stres, Ma. Kondisinya sangat mempengaruhi janin yang ada dalam rahimnya,” terang Renata.
“Naya hamil!” pekik Danisha girang yang mendapat anggukan kepala Renata. Rasa bahagia yang terpancar dari wajah Danisha berubah sendu tatkala teringat akan Rafael. Bagaimana Naya menjalani kehamilannya tanpa seorang suami di sisinya.
“Mama harus kuat demi cucu mama. Sekarang kita yang harus menguatkan Naya,” ucap Renata yang paham akan perubahan raut muka Danisha. Naya mulai sadar mendengar suara berisik di sampingnya.
“Ma, kita ada di mana?” tanya Naya menatap Danisha.
“Di rumah sakit, Sayang,” jawab Danisha dengan senyum bahagia yang tidak bisa dia sembunyikan. Begitu pula dengan Renata.
“Calon ibu hebat harus kuat, ya! Ingat jaga kesehatan kamu demi malaikat kecil yang ada di sini,” ucap Renata mengelus perut Naya.
“Maksud kakak, aku hamil?” tanya Naya memastikan dugaannya. Air mata bahagia meleleh begitu mendapat anggukan dari Renata.
“Hei, jangan nangis, nanti dedeknya ikut sedih. Kalau ada apa-apa bilang sama mama dan kakak, jangan di pendam sendiri,” ucap Renata. Kasih sayang dari keluarga Rafael yang selalu menguatkan Naya dalam menjalani kehamilannya tanpa Rafael. Berat? Iya, tetapi Naya harus kuat demi satu-satunya kenangan terindah yang Rafael tinggalkan untuk Naya.
Takdir
-Sarapan Kata KMO Club Batch 41
-Kelompok 19
-Jumlah kata 1240
-Sarkat Jadi Buku
Sementara kondisi kejiwaan Naresha dari hari ke hari semakin tidak baik. Semenjak perceraiannya dengan Axel dia selalu mengurung diri dalam kamar. Rasa bersalahnya setiap saat membuat dia mempunyai ketakukan terhadap orang baru hingga dia lebih suka mengurung diri dalam kamarnya.
Sebenarnya Ratna sudah merasakan tingkah aneh Naresha, namun beliau tidak menceritakan kepada siapa pun termasuk Naya karena takut akan merepotkan Naya. Makin hari kelakuan Naresha semakin aneh, pernah sekali ia berusaha untuk bunuh diri menggunakan gunting yang berada di laci mejanya. Semenjak itu bunda Ratna kewalahan dalam menjaga Naresha dan Sella yang semakin aktif.
Ratna yang di bantu bu Imas selalu menjauhkan Naresha dari benda-benda yang sekiranya membahayakan. Ratna tidak sanggup untuk membawa Naresha periksa ke dokter jiwa karena kondisi ekonomi yang pas-pasan. Uang dari Naya untuk biaya hidup Sella dan biaya sehari-hari mereka sudah cukup besar dan Ratna tidak ingin menambah beban Naya dengan kondisi Naresha. Naya juga mempunyai masa depan yang harus dia perjuangkan.
***
Sore itu Ratna panik ketika mendapati Naresha tidak ada di kamarnya. Bu Imas pun mencari ke berbagai sudut rumah hingga ke sekitar komplek tetapi nihil. Ratna yang menggendong Sella mulai panik dan mondar-mandir di sekitar rumah.
“Dik Ratna ada apa, kok, gelisah?” tanya Dini yang heran melihat Ratna malam-malam membawa Sella keluar rumah.
“Anu, Mbak, Naresha dari tadi sore nggak ada di kamar,” kata Ratna.
“Lo, kok nggak cerita dari tadi!” pekik Dini yang segera memanggil Satrio hingga malam itu warga komplek ikut mencari keberadaan Naresha.
Malam semakin larut namun belum ada kabar tentang Naresha. Ratna berada di rumah bersama Sella dengan perasaan yang tidak menentu hingga datanglah kabar yang tidak dia duga sebelumnya. Warga komplek menemukan jenazah Naresha di rumah sakit sebagai korban kecelakaan. Bunda datang ke rumah sakit bersama Axel untuk memastikan apakah jenazah tersebut adalah Naresha atau bukan, dan ternyata itu memang jenazah Naresha.
Hati Ratna hancur melihat putrinya meninggal dengan cara yang tragis. Naresha bunuh diri. Penyesalan menghampirinya mengapa ia sampai lengah mengawasi Naresha. Hatinya ingin menjerit mengapa cobaan datang bertubi-tubi dalam keluarganya.
“Bunda harus kuat, Bunda adalah tumpuan Sella,” kalimat Axel seakan mengembalikan separuh jiwanya dari sebuah mimpi.
“Biar Axel yang kasih kabar ke Naya, Bun!” cakap Axel.
***
Pagi-pagi sekali Naya bersama keluarga Rafael sampai di rumah bunda Ratna. Semenjak hamil, Naya sudah tidak bekerja dan fokus pada kehamilannya yang saat ini memasuki bulan ke tujuh. Naya menguatkan bunda Ratna yang masih terpukul akan kepergian Naresha.
“Bunda sekarang sendiri, Nay. Bunda nggak tahu harus bagaimana. Bunda merasa lelah, tapi bagaimana nasib Sella selanjutnya?” lirih bunda Ratna.
“Bunda nggak usah berpikir yang enggak-enggak. Coba nanti Naya bicara sama papa mama seandainya Naya tinggal di sini bersama bunda,” ucap Naya mencoba menenangkan bunda Ratna. Usai acara pemakaman, Naya mendekati Danisha yang berada di teras rumah Naya.
“Ma, bolehkah Naya tinggal bersama bunda di sini? Kasihan bunda sendirian,” tanya Naya. Danisha menatap Naya penuh kasih seakan tidak rela jika Naya meninggalkan rumahnya.
“Siapa yang akan menjaga kamu di sini. Kalau ada apa-apa jauh dari rumah sakit,” sanggah Danisha, namun dia tidak tega melihat wajah kecewa Naya. “Nanti mama bicarakan sama papa dulu, ya,” imbuh Danisha yang hanya mendapat anggukan Naya.
***
Setelah melewati tujuh hari, akhirnya keluarga Rafael mengizinkan Naya untuk tinggal di rumah bunda Ratna. Di situ Rayhan juga meminta tolong keluarga Satrio untuk siaga dalam menghadapi kehamilan Naya. Mereka menyiapkan keperluan bayi Naya dan menyiapkan kamar untuk calon bayi Naya.
“Sella sini makan dulu!” teriak Naya ketika melihat Sella berlarian di halaman rumahnya. Axel yang melihat dari jendela kamarnya hanya bisa mengawasi dan menjaga Naya dari jauh. Sebenanya Axel kasihan melihat Naya yang terlihat lelah dengan perutnya yang makin besar harus menjaga Sella yang terlalu aktif. Axel pun turun dan menuju rumah Naya.
“Sella, makan dulu baru main lagi,” ucap Axel.
“Papa, ain, yuk!” celoteh Sella yang mengenal Axel sebagai papanya semenjak bayi.
“Makannya dihabisin dulu, sini papa suapin.” Axel mengambil mangkuk dari tangan Naya dan mengikuti Sella. Naya tersenyum melihat mereka, tidak lama senyumnya berubah sendu saat Naya teringat Rafael.
“Mama akan jadi mama sekaligus papa siaga buat kamu, Nak!” ucap Naya mengelus perutnya.
***
Axel membawa Naya ke rumah sakit ketika Naya mulai merasakan kontraksi pada perutnya. Jalanan tidak terlalu ramai namun bagi Axel terasa lama apalagi saat mendengar rintihan Naya.
“Sakit, Bun!” desis Naya di bangku belakang mobilnnya.
“Sabar, kamu harus kuat, ya!” bunda mencoba menenangkan. Suara brankar rumah rumah sakit bergemuruh seperti suasana dalam hari Axel. Dia tidak tega melihat kondisi Naya yang kesakitan. Axel mondar-mandir di depan ruang tindakan layaknya orang yang menghadapi ujian kehidupan.
“Ya, Allah, selamatkan mereka berdua!” doa Axel tak henti dia ucapkan. Dia segera menghubungi keluarga Rayhan dan menceritakan kondisi Naya. Dua jam penuh kepanikan pun berlalu tatkala terdengar suara kencang tangisan bayi. Axel bangkit dari kursinya dengan rasa syukur yang tidak pernah dia rasakan selama ini.
“Silakan masuk, Pak! Silakan diazani,” kata seorang bidan memanggil Axel. Axel melangkahkan kakinya memasuki ruangan tersebut meskipun seribu kebimbangan hinggap di hatinya. Dia melihat Naya yang terbaring lemah dan masih tampak pucat. Axel mendekat dan disambut senyum Naya, senyum yang selama ini masih selalu dia rindukan.
“Boleh aku mengazani?” tanya Axel hati-hati dan dibalas anggukan kepala Naya. Rasa bahagia terpancar dari sorot matanya ketika melihat bayi lelaki mungil itu, dia segera melantunkan azan dan iqomah di telinga kanan dan kiri bayi tersebut secara bergantian. Naya menangis bahagia di tengah kesedihannnya. Bahagia karena Axel masih peduli padanya dan sedih teringat Rafael.
“Aku berhasil melewati semua ini, Fel” lirihnya dalam hati. Bunda mungusap air mata Naya memahami perasaan putrinya. Sedangkan Axel mengendong bayi tersebut.
***
Rumah bunda Ratna mendadak ramai dengan kehadiran keluarga Rafael dari Semarang dan keluarga Axel yang berkumpul di ruang tamu. “Di beri nama siapa, Mas?” tanya Satrio pada Rayhan di tengah canda tawa mereka.
“Radit. Nama lengkapnya Raditya Efaz Rafello, semoga dia selalu menjadi penolong buat orang-orang di sekitarnya. Bagaimana, Nay?” tanya Rayhan pada Naya.
“Iya, Pa. Naya suka,” ucap Naya teringat akan permintaan Rafael untuk memberi nama Efaz pada putranya.
Ervin hadir di tengah-tengah mereka dan memperhatikan Sella sedari tadi. Dia mendekati Sella yang bermain sendirian. Sejak kabar meninggalnya Naresha, Ervin baru sempat datang karena beberapa waktu lalu dia berada di luar kota untuk urusan pekerjaan. Rasa bersalah yang hinggap pada dirinya memaksa dia ikut datang ke rumah ini setelah mendengar cerita Rayhan.
“Maaf, saya ingin mengatakan sesuatu, tapi sebelumnya saya ingin meminta maaf yang sebesar-besarnya terutama untuk keluarga mbak Naya dan mas Axel,” ucap Ervin memulai pengakuannya.
“Sebenarnya, sayalah ayah kandung Sella.” seketika ruangan hening. Semua menatap Ervin tidak percaya. Ervin menceritakan kejadian waktu dulu mereka lulus SMA dan pertengkaran dia dan Naresha di hari yang sama ketika Naresha mengalami kecelakaan yang mengakibatkan patah tulang di kakinya.
Mendengar hal itu Axel mengepalkan tangannya menahan amarah teringat kembali takdir yang telah memisahkan dia dari Naya. Satrio mengelus punggung Axel mencoba menahan amarah putranya. Bunda Ratna menangis mengingat semua kejadian yang menimpa keluarganya berawal dari masalah Naresha.
“Saya sadar semua ini berawal dari kesalahan saya. Sekarang saya siap menerima hukuman, saya akan bertanggung jawab atas kehidupan Sella,” imbuh Ervin penuh penyesalan.
“Kehidupan Sella adalah tanggung jawabku, selama ini aku sudah menjadi papanya meskipun dia bukan darah dagingku!” sanggah Axel dengan rahang mengeras. Akhirnya setelah melalui diskusi keluarga, Ervin mendapatkan izin menemui Sella namun dia tidak boleh membawa Sella.
Kehidupan memang rumit, serumit benang kusut yang susah ditemukan ujungnya. Namun semua itu hanyalah skenario Tuhan untuk mewarni kehidupan hambaNya. Sebuah lukisan yang indah, di dalamnya terdiri dari berbagai macam warna yang saling berkaitan, begitu pula dengan kehidupan.
Akhir Sebuah Lukisan
-Sarapan Kata KMO Club Batch 41
-Kelompok 19
-Jumlah kata 1045
-Sarkat Jadi Buku
“Bunda kenapa, sih, papa tidak tinggal di rumah Sella? Sella ingin seperti Cheryl diantar papanya ke sekolah,” celoteh Sella suatu sore saat Naya menemani Sella dan Efaz menonton kartun kesukaan mereka.
“Assalamualaikum,” suara Axel dari luar mengalihkan perhatian kedua bocah itu dari film kartun yang sedang diputar. Mereka berdua berlari menyambut Axel. Efaz pun minta digendong sedangkan Sella yang saat ini sudah TK B mengekori Axel.
“Kalian sudah makan?” tanya Axel pada kedua bocah itu.
“Sudah, Pa,” jawab bocah itu kompak. Sudah tiga tahun Naya hidup sendiri, meskipun Rayhan berkali-kali meminta Naya untuk melanjutkan hidupnya. Bahkan Axel pun sudah melamar Naya, namun rasa trauma akibat ditinggalkan membuat Naya lebih nyaman dalam kesendiriannya. Terkadang Naya ingin menyerah ketika menghadapi Sella dan Efaz yang merengek menanyakan papanya, di situlah Axel selalu berperan.
Berulang kali Axel mengajak Naya untuk menikah, namun berulang kali pula Naya menolaknya dengan alasan yang sama. Meskipun restu dari bunda Ratna, orang tuanya dan juga mertua Naya sudah dia dapatkan, namun perjuangan Axel untuk kembali meraih hati Naya terasa lebih berat.
***
Hari ini keluarga Satrio berduka, nenek yang berada di kampung tiada. Dini dan Satrio berangkat terlebih dahulu menuju ke kampung halaman Satrio. Sedangkan Axel belakangan bersama Naya dan juga bunda Ratna. Persiapan mereka agak ribet karena mengajak anak kecil. Namun, dengan sabarnya Axel menghadapi mereka. Terkadang Naya merasa malu selalu merepotkan Axel, tapi mau bagaimana lagi, Sella dan Efaz sudah terlanjur nyaman bersama Axel.
***
Rumah nenek sudah ramai dengan hadirnya keluarga. Mereka sudah mengenal Naya yang sedari kecil sering datang berkunjung waktu dulu. Kembali lagi menapakkan kakinya di tempat penuh kenangan setelah bertahu-tahun lamanya tidak dia kunjungi, melihat tanam bunga matahari yang masih terawat membuat Naya mulai bimbang. Cinta begitu mempermainkan hidupnya.
Nenek dimakamkan di pemakaman umum desa setempat sebelum dhuhur. Mereka menginap tiga hari di rumah nenek. Rasa bahagia melihat Sella dan Efaz yang cepat membaur bersama keluarga di sana. Sore ini Naya menyempatkan diri mengunjungi taman bunga matahari sebelum dia kembali ke kotanya. Perlahan dia melangkah menuju hamparan bunga matahari yang menyambutnya.
Terbersit kenangan yang mewarnai hidupnya dan perjuangan berat yang telah ia lalui selama ini. Terkadang ia bertanya apa arti kebahagiaan dan kapan hal itu hadir dalam keluarga kecilnya. Naya mulai berpikir ulang tentang egonya, mulai menimbang baik buruknya, bahwa hidupnya kini bukan hanya untuk dirinya melainkan untuk masa depan kedua penyemangatnya, Efaz dan Sella. Naya tidak mungkin selamanya menghancurkan harapan dan impian seorang anak yang merindukan kasih sayang dan sosok seorang ayah.
“Kangen bunga matahari?” suara Axel membuyarkan lamunannya yang menari indah dalam benaknya.
“Bertahun-tahun tidak ke sini masih saja terawat seperti dulu, bahkan semakin luas. Pasti banyak orang yang berkunjung ke sini. Siapa yang merawat taman ini?” tanya Naya yang senyumnya selalu melekat di hati Axel.
“Nenek bilang aku harus merawat taman ini, karena beliau tahu kamu paling suka tempat ini. Aku bersama beberapa pekerja di peternakan berusaha mempertahankan taman ini dan menjadikan tempat ini sebagai salah satu taman wisata untuk umum. Nenek pernah bilang bahwa beliau berharap suatu saat kamu akan kembali mengunjungi taman ini,” terang Axel membuat Naya bahagia dan sedih secara bersamaan. Bahagia ternyata selama ini nenek masih mengingatnya dan sedih karena sudah lama ia tidak menemui nenek Axel.
Hening menemani mereka sore ini, menetap senja yang perlahan menghadirkan warna jingga. Semilir angin menerpa wajah ayu Naya dalam balutan gamis warna hijau yang indah berpadukan warna kuning bunga matahari.
“Maafkan aku yang selama ini selalu merepotkanmu,” lirih Naya. Axel mengalihkan pandangannya dan sejenak menatap Naya.
“Aku tidak merasa direpotkan, aku bahagia bisa menemanimu dalam segala suasana meskipun aku masih berharap lebih untuk hal ini. Aku ingin menemanimu selamanya, mendidik anak-anak dan mengantarkan mereka menuju masa depannya. Bukan karena pesan Rafael waktu itu, namun karena cintaku yang tak pernah luntur hingga detik ini,” papar Axel.
“Pesan Rafael?” Naya mengernyit menatap mata Axel.
“Sekitar dua bulan sebelum dia pergi, kita pernah bertemu dan saat itu Rafael meminta aku untuk selalu menemanimu jika dia tidak lagi bersamamu. Waktu itu aku tidak menyangka jika itu adalah kesempatan terakhir antara aku dan Rafael untuk ngobrol. Saat wisuda kamu, kita tidak sempat bercerita banyak, ” cerita Axel membuat hati Naya kembali sedih.
“Pantas saja kenapa Rafael selalu memintaku memakai kalung pemberian kamu, dan gelang darinya sebagai pelengkapnya,” cicit Naya.
“Kalung matahari? Jadi selama ini kamu masih memakainya?” tanya Axel penasaran. Naya hanya mengangguk menjawab pertanyaan Axel. “Jadi bagaimana, apakah kamu bersedia menerima aku menjadi papa yang sebenarnya untuk Efaz dan Sella?” harap Axel entah yang keberapa kalinya. Perang batin Naya setiap kali dia mendengar permintaan Axel seperti ini, dirinya ingin bahagia bersama cinta yang masih tersisa, tetapi kembali rasa takut kehilangan itu muncul menghentikan keinginannya untuk melangkah ke depan.
“Anak-anak semakin besar, Nay. Mereka semakin membutuhkan bimbingan kita. Aku takut akan semakin kehilangan alasan untuk menjawab pertanyaan mereka.” Axel mencoba meyakinkan. “Apa kamu akan selamanya bersamaku? Apa kamu tidak akan meninggalkan aku?” Pertanyaan Naya membuat Axel heran namun menghadirkan kehangatan di hatinya. Axel paham pasti Naya takut kehilangan seperti dulu.
“Jika kamu izinkan, aku ingin menghabiskan sisa usiaku bersamamu dan anak-anak,” jawab Axel yang seketika meluruhkan dinding keegoisan dan ketakutan dalam diri Naya selama ini. Naya menatap lekat netra hitam milik Axel dan menganggukkan kepala dengan senyumnya yang selalu indah.
“Hei, jangan nangis!” Axel mengulurkan sapu tangan untuk Naya ketika menyadari buliran kristal bening itu membasahi pipi Naya.
***
Keluarga Axel mendatangi kediaman Rayhan di Semarang untuk melamar Naya setelah mendapat restu dari Ratna. Kebahagiaan terpancar dari sorot mata Rayhan dan Danisha. Mereka pun datang pada acara ijab qabul yang dilaksanakan di rumah bunda Ratna. Acara sederhana sesuai permintaan Naya.
Cinta memang tak pernah bisa ditebak. Sejauh apa pun jarak yang terbentang, sedalam apa pun jurang yang memisahkan dan setebal apa pun dinding penyekatnya, jika nama mereka sudah tertulis di lauhul mahfudz maka segala kemungkinan akan membawa mereka kembali bersama.
Cobaan itu datang untuk menguji kekuatan hati, untuk mendewasakan sikap dan perilaku. Menguatkan pondasi dalam hidup yang lebih baik hingga tercapai kebahagiaan. Saling memahami dan melengkapi kekurangan pasangan, dan menerima takdirnya dengan ikhlas.
Axel dan Naya telah menemukan kembali warna kebahagiaan. Warna yang akan menyempurnakan lukisan impian mereka. Mulai detik ini mereka berusaha menyelesaikan lukisan hidup yang sempat terbengkalai. Lukisan yang akan menghiasi sudut rumahnya. Lukisan tentang matahari dalam hidupnya.
-- TAMAT --