Loading
0

1

12

Genre : Keluarga
Penulis : Sumartini
Bab : 30
Dibuat : 08 Februari 2022
Pembaca : 4
Nama : Sumartini
Buku : 3

SAHABATKU IBU TIRIKU

Sinopsis

Runi seorang gadis piatu yang dibesarkan ayahnya tanpa pernah kekurangan kasih sayang. Hidupnya semakin lengkap karena memiliki Yiba —sahabat karibnya yang selalu mengerti dan seperti ibu bagi Runi. Kesetiaan ayah Runi yang tidak pernah menikah setelah ibunda Runi wafat membuat Yiba jatuh cinta.
Tags :
#persahabatan #cintaayah #sahabatsejati #cintasejati #kesetiaan #keluargabahagia #ibutiri

MENGUNGKAPKAN PERASAAN

0 0

“Run, aku mencintai ayahmu,” ucap Yiba dengan sekali tarikan nafas setelah sebelumnya mengumpulkan seluruh kekuatan dan menghirup oksigen sebanyak yang ia mampu.

PRANG!

Tangan Runi seketika gemetar. Gelas yang ia pegang jatuh menimpa piring kosong yang sudah ia habiskan isinya.

Yiba panik dan segera memegang tangan Runi, tetapi langsung ditepis Runi sedikit kasar.

Runi masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Runi pikir sahabatnya itu selama ini hanya bercanda setiap mengungkapkan kekagumannya pada ayahnya.

Bahkan semenjak mereka masih SMA Yiba sering melontarkan kata-kata ingin menjadi ibu tirinya. “Aku mau, kok, jadi ibu tiri. Asalkan aku jadi ibu tiri kamu. Aku akan patahkan anggapan dunia yang selalu menuduh jika ibu tiri itu jahat,” ucap Yiba kala itu.

Runi tidak pernah mengira jika sahabatnya serius. Selama ini ia hanya menanggapinya dengan candaan.

“Ah kamu itu seperti gadis tidak laku saja, sukanya sama om-om,” ledek Runi setiap Yiba mengungkapkan perasaan untuk ayahnya padanya.

“Ayah kamu bukan om-om,” balas Yiba sedikit kesal.

Dan akhirnya setiap membicarakan tentang kemungkinan ayah Runi menikah lagi berakhir dengan canda gurau hangat diantara keduanya. Namun, sore ini tidak ada lagi canda gurau itu.

Runi bisa melihat dan merasakan jika Yiba benar-benar serius dengan ucapannya. Tidak nampak keraguan sedikitpun di wajah gadis cantik berhijab yang telah menjadi sahabatnya sejak ia kecil.

Runi tidak mau menatap Yiba. Hatinya seperti tersambar petir di tengah panasnya terik mentari. Ia menggenggam tangannya sendiri dengan kuat. Masih berharap apa yang baru didengarnya hanyalah angin lalu. Kini hatinya dipenuhi segudang kegelisahan dan pertanyaan mengapa begini mengapa begitu, mengapa, mengapa dan mengapa.

Yiba duduk perlahan di samping Runi. Tangan lembutnya merangkul Runi seperti yang biasa ia lakukan sejak kecil sebagai sahabat karib.

Runi bergeser menjauh dan masih tidak mau menatap Yiba. Kerinduan yang baru terobati pada sahabatnya setelah tiga tahun tidak bertemu harus berubah menjadi kebencian dan dingin.

Runi tidak membenci Yiba, tentu tidak. Ia tidak akan pernah mampu membenci sahabat yang selalu ada untunya dan, yah, memang dia pernah mengatakan jika saat bersama Yiba seakan berada dalam perlindungan seorang ibu. Ibu yang telah meninggalkan Runi untuk selama-lamanya sejak ia berusia enam tahun terkadang seperti muncul pada sosok Yiba.

“Aku sangat aman dan nyaman setiap bersama kamu. Aku tidak butuh ibu pengganti, bagiku kamu adalah ibu untukku.” Runi masih ingat ucapannya pertama kali saat ia mengungkapkan kekaguman akan sosok Yiba yang lembut seperti seorang ibu pada saat ia baru berusia dua belas tahun.

“Aku tidak mau ibu tiri! Aku tidak pernah kurang kasih sayang dari Ayah dan Yiba adalah ibu untukku!” lontar Runi sebagai bentuk protes pada kerabat yang selalu saja meminta agar Marwan –ayah Runi menikah lagi. Kala itu ada beberapa kerabat hendak menjodohkan Marwan yang sudah enam tahun menduda agar menikah lagi, tetapi Marwan tidak pernah mau dan Runi juga selalu menentangnya.

Runi semakin dekat dengan Yiba setelah kepergian ibunya. Meski mereka memang sudah dekat sejak usia Runi dua tahun karena rumah mereka yang hanya berjarak kurang lebih lima puluh meter. Yiba menjadi sering menginap di rumah Runi atas permintaan Runi sendiri yang ingin ada teman ngobrol saat tidur, sejak mereka SMP. Meski harus meminta ijin pada orang tua Yiba terutama sang ayah yang sangat keras dalam hal agama dan hanya mengijinkan Yiba menginap jika tidak ada Marwan. Yiba menempuh pendidikan di pesantren setelah lulus SMP membuat Runi hanya bisa dua kali bertemu dengan sahabatnya itu dalam setahun.

Kagum Pada Yiba

0 0

Yiba berasal dari keluarga yang sangat relijius dan terpandang sebagai guru ngaji berbeda dengan Runi. Marwan hanya sekedar mengajarkan sholat lima waktu dan puasa wajib saja. Terlebih Marwan harus membagi waktu antara pekerjaan dan mengurus Runi sendiri setelah kematian Hani –ibu Runi membuatnya sangat kewalahan. Marwan sangat tenang karena Runi selalu bersama Yiba yang mampu menjadi sahabat sekaligus guru untuk Runi.

 

Runi sangat aktif dan tomboi sangat berbeda dengan Yiba yang kalem, santun, lembut dan solehah. Yiba mampu menenangkan Runi dan menjaganya layaknya seorang kakak, padahal usia Yiba lebih muda delapan bulan dari Runi. Terlebih didikan keluarga Yiba yang selalu mengedepankan agama membuat Yiba jauh lebih cerdas daripada Runi. Yiba bukan hanya sahabat, tetapi juga seperti guru bagi Runi. Guru yang mengajarkan banyak hal dalam kehidupan. Hari-hari Runi semenjak ibunya meninggal setiap ditinggal kerja Marwan selalu ia habiskan bersama Yiba.

 

Runi tidak mudah percaya pada orang lain, hanya pada Yiba ia mampu mengungkapkan segalanya. Tidak ada satupun rahasia Runi yang Yiba tidak tahu. Sejak kelas enam SD Runi sering mengatakan jika ia sangat ingin memiliki ibu yang baik seperti Yiba dan tidak ingin berpisah dari Yiba. Bahkan Runi sering menunjukkan sikap konyolnya yang mengatakan akan meminta pada suami Yiba kelak supaya ia tetap selalu bersama Yiba.

 

Runi menelan ludahnya kasar yang terasa sakit di tenggorokan. Apa yang pernah ia ungkapkan seakan benar terjadi kini. Namun, ia tidak menyangka jika Yiba berpikir untuk menjadi ibu sambung baginya. Meski ia memang menginginkan tidak akan pernah berpisah dari Yiba.

 

“Run, ijinkan aku untuk sepenuhnya bisa menjaga kamu dan merawat ayahmu di masa tuanya. Restui aku, Run,” tutur Yiba lembut penuh ketenangan.

Tangan halus Yiba membelai punggung Runi. Namun Runi segera bangkit dan berjalan menjauh.

 

Runi berjalan tanpa arah meninggalkan Yiba dan barang-barang yang dibawanya di restoran sederhana tempatnya makan tadi. Runi menatap jalanan nanar, kakinya melangkah gontai, otaknya tidak dapat berpikir. Air mata mulai menetes dan isak tangis terdengar samar dari mulutnya.

 

“Mbak awas!” teriak seseorang membuat Runi terjingkat.

 

“Kalau jalan jangan nglamun!” bentak sopir sebuah mobil yang hampir menabrak Runi dengan mata melotot.

 

Runi kaget semakin sedih dan justru bergeming hingga seseorang meraih bahunya dan menariknya menjauh dari jalan.

 

“Kalau sedang ada masalah sebaiknya jangan jalan-jalan di tengah jalan raya, tapi diam di rumah yang tenang,” ucap pemuda yang meraih bahu Runi.

 

Runi segera bangkit dan berjalan menjauh dengan cepat.

 

“Kamu dari mana, Run, aku khawatir. Ponsel kamu mati, ayah kamu telepon menyakan kamu sudah sampai rumah belum,” ucap Yiba dengan suara dan raut wajah khawatir khas seorang ibu terhadap anaknya.

 

Runi tidak menjawab dan menatap Yiba sekilas lalu membawa koper dan segera pergi tanpa memedulikan Yiba yang mengkhawatirkannya.

Baru beberapa meter berjalan, Runi menghentikan langkahnya dan berbalik. “Kamu tidak mau mengantarku pulang?” tanya Runi sedikit kesal dan berbasa-basi.

Runi tidak mungkin pulang sendiri dan meninggalkan Yiba. Jika ayahnya tahu pasti akan marah, dan terlebih orang tua Yiba yang sangat tegas itu.

 

Yiba tersenyum dan segera menuju tempat parkir mobil lalu menghampiri Runi yang menunggu di depan restoran. “Ayo naik,” ajak Yiba setelah memasukkan koper Runi ke dalam bagasi mobilnya.

 

Runi duduk di samping Yiba yang fokus mengemudi. Namun pandangan Runi tidak sekalipun melihat Yiba. Ia menatap keluar melalui jendela mobil melihat jalanan kota kecil tempat kelahirannya.

Runi sangat kagum dengan sahabatnya yang sudah mampu membeli mobil dari usahanya sendiri diusia dua puluh tahun sementara dirinya hanya kuliah dan menghabiskan uang ayahnya.

Diantar Yiba

0 0

Yiba memang sosok gadis sempurna di mata Runi. Sejak kecil Runi sering merasa iri akan keberuntungan hidup Yiba. Memiliki orang tua lengkap, kakak adik, laki-laki perempuan serta pandai dalam segala hal. “Yiba sangat beruntung,” pikirnya kala itu sampai kini.

Apakah kini Yiba masih tetap beruntung jika ternyata ia justru jatuh cinta pada Marwan. Laki-laki yang usianya terpaut sekitar dua puluh tiga tahun.

Marwan menikah muda saat usianya baru dua puluh satu tahun. Runi lahir satu tahun kemudian membuatnya masih tampak muda di usia empat puluh tiga tahun.

Wajah Marwan tergolong tampan dengan postur tubuh ideal membuat banyak wanita jatuh hati dan tidak sedikit yang terang-terangan menyatakan cinta bahkan mengajak Marwan menikah setelah Hani wafat. Namun, Marwan tidak pernah sedikit pun membuka hati pada wanita lain. Cintanya hanya satu pada Hani hingga ia mengubur rasa cinta itu bersama kepergian cinta pertamanya ke dalam liang lahat.

Yiba sesekali melihat ke arah Runi yang begitu dingin. “Ayah kamu pulang malam hari ini, jadi aku temani kamu sampai beliau pulang, ya,” tutur Yiba lembut justru membuat Runi salah paham.

Runi mengira jika ayahnya sudah tidak setia lagi. Runi sangat kecewa dan menganggap ayahnya mengingkari ucapan sendiri.

“Ayah tidak akan pernah menikah lagi. Ayah hanya akan mengurus Runi seumur hidup ayah,” ucap Marwan saat Runi menginjak usia dua belas tahun.

Ucapan itu terus tertanam dalam hati dan otak Runi menjadi sebuah keharusan untuk dibuktikan seumur hidup Marwan pada Runi. Bukan hanya kepada Runi, tetapi di depan seluruh kerabat hingga mereka tidak pernah lagi menjodoh-jodohkan dan memaksa Marwan untuk menikah lagi.

"Run, aku sangat berharap kamu tidak kuliah di kota besar lagi,” ucap Yiba mencoba memecah keheningan antara dirinya dan Runi.

"Kenapa?” tanya Runi yang akhirnya mau berbicara.

"Kita usaha bareng saja. Toko onlineku sudah banyak pembeli dan terkadang membuat kewalahan,” jelas Yiba.

“Kenapa tidak cari karyawan,” sahut Runi datar tanpa berpikir panjang setiap mengucapkan apa pun, tetapi Yiba sangat maklum akan hal itu.

“Kamu satu-satunya sahabat yang sangat aku percaya. Dan aku tidak ingin terpisah dari kamu seperti ucapan kamu yang tidak mau berpisah dariku,” ungkap Yiba.

Dada Runi sedikit sesak mendengarnya. “Apakah Yiba benar-benar menganggap ucapanku dulu itu sebagai sesuatu yang serius dan harus dilakukan,” batin Runi kesal.

“Besok kita keliling tempat-tempat penuh kenangan kita, ya. Sekarang sudah sore, kamu pasti lelah dan harus istirahat,” tutur Yiba melajukan mobil lebih cepat.

Runi menghela nafas gusar, melamun menatap kosong setiap yang terlihat dalam pandangan. Untuk saat ini lebih baik diam daripada berbicara, tetapi keluar ucapan menyakitkan.

“Terima kasih,” ucap Runi dingin saat turun dari mobil masih tanpa melihat Yiba.

Yiba mengelus dada sambil tersenyum manis khas dari bibirnya. Dalam hati yakin jika suatu saat akan mampu membuat sahabatnya itu kembali menyayanginya dan menerima dirinya.

 

“Assalamu’alaikum,” salam Runi pelan saat akan masuk ke dalam rumahnya. Matanya berkeliling melihat setiap sudut penuh dengan kenangan indah masa kecil hingga lulus SMA. Di sana pula ia banyak menghabiskan waktu bersama Yiba.

Runi merasa kesal dihari kepulangan ke kota kelahirannya sang ayag justru sibuk bekerja seakan tidak peduli padanya. Sikap yang mudah terpancing emosi membuat tidak mau mencari penjelasan dulu untuk memastikan kebenaran, tetapi selalu mengambil tindakan sepihak.

“Run, ayah kamu terpaksa masuk kerja karena ada karyawan yang mengalami musibah, jadi beliau menggatikannya,” jelas Yiba yang bisa mengetahui kekesalan Runi dari caranya bersikap.

Runi menjatuhkan diri kasar ke sofa. Sorot matanya tajam siap menghujam apa pun yang dilihatnya.

Yiba duduk perlahan di sebelah Runi. “Kamu sangat beruntung punya ayah yang begitu lembut, Run,” gumamnya.

Runi menengok pada Yiba dengan tatapan sinis.

Sholat Di Masjid

0 0

“Kamu sering ketemu ayahku?” tanya Runi sedikit sinis pada Yiba.

Yiba menatap sahabat kesayangannya lembut meski sedikit terluka dengan perubahan sikap Runi.

“Aku hanya bertemu saat beliau hendak ke kota menemuimu. Ketemu di rumahku dan ada keluargaku, aku tidak pernah ngob–,”

“Ya aku tahu!” potong Runi cepat dan ketus. Mata tajamnya menatap penuh selidik membuat Yiba sangat tidak nyaman.

"Kamu lebih baik mandi dulu sekarang. Nanti maghrib kita sholat jamaah di masjid, ya,” tutur Yiba lembut dengan senyum manis tidak lepas dari bibir merah alami miliknya.

Runi semakin tidak mengerti dengan sahabatnya yang sama sekali tidak berubah meski ia bersikap dingin. “Iya,” sahut Runi ketus.

Padahal ada banyak hal yang sudah Runi pendam untuk diceritakan pada Yiba, tetapi semua menghilang begitu saja. Runi menatap Yiba sekilas sebelum masuk ke kamar. Membuka pintu perlahan, kamar yang masih sama setelah tiga tahun ia tinggalkan. Menghempaskan segala rasa penat seharian dalam bus, hingga tidak sadar terlelap saat kepalanya menempel pada bantal empuk kesayangan.

“Run!,” panggil Yiba sambil mengetuk pintu kamar Runi. “Kamu sudah selesai belum mandinya?” tanyanya di depan pintu menunggu lama, tetapi tidak ada jawaban.

Yiba mengetuk pintu berkali-kali, “Sebentar lagi adzan maghrib, Run!” ucapnya lagi. “Jangan-jangan Runi tidur,” gumamnya.

Yiba tidak punya pilihan selain masuk ke dalam kamar Runi.

"Run, aku masuk, ya,” ucapnya sambil membuka pintu perlahan dan mendapati Runi tengah tertidur pulas.

“Run, bangun, Cantik,” ucap Yiba sambil mengusap punggung Runi.

Runi terkejut merasakan ada yang mengusap punggungnya. “Yiba!” seru Runi setengah sadar.

Yiba tersenyum berdiri di sisi ranjang. Meski mereka sangat dekat dan sering tidur bersama, tetapi Yiba adalah gadis yang sangat menjunjung tinggi adab. Yiba tidak akan pernah masuk ke dalam kamar Runi tanpa ijin jika pintu kamar tertutup.

“Maaf, Run, aku terpaksa masuk ke kamar kamu. Karena sebentar lagi magrib dan aku memanggilmu berkali-kali tapi tidak ada jawaban,” terang Yiba tanpa Runi bertanya.

“Iya, tidak apa-apa,” ucap Runi malu. Ia bahkan belum mandi menjadi tergagap mengucek mata yang terasa perih.

Runi bangkit perlahan menyandar di kepala ranjang. “Kepalaku pusing,” gumam Runi sambil memegangi dahi.

“Itu karena kamu tidur menjelang maghrib, waktu yang tidak boleh untuk tidur,” urai Yiba menjelaskan pada Runi penyebab kepala pusing.

“Aku mau mandi,” ucap Runi segera bergegas masuk kamar mandi.

“Mandi air hangat, Run, supaya tidak masuk angin,” nasehat Yiba seraya membereskan tempat tidur Runi.

Runi mendengarkan nasehat sedikit kesal, tetapi melakukannya juga. “Hufft! Masih juga perhatian seperti seorang ibu,” gumamnya.

Memang tidak dapat dipungkiri jika Yiba sangat tulus dan selalu bersikap lembut.

Runi menikmati mandi hingga mengabaikan suara adzan berkumandang.

“Kenapa kamu tidak ke masjid?” tanya Runi setelah ia selesai mandi mendapati Yiba masih di kamarnya.

“Aku menunggu kamu,” jawab Yiba santai.

“Tapi waktunya ‘kan jadi terlambat karena aku lama mandinya,” protes Runi sambil mengeringkan rambut.

“Kita masih bisa bergegas kok, lagipula baru selesai iqomah. Kita bisa nyusul. Ayok cepat!” balas Yiba lalu mengambil dua mukena yang biasa digunakan bersama Runi saat sedang di rumah Runi.

Runi dan Yiba berlari kecil ke masjid agar masih sempat mengikuti sholat jamaah meski terlambat dua rokaat.

“Aku kangen masa kecil dulu, di sini. Kita pergi mengaji setiap menjelang maghrib dan pulang setelah isya,” ucap Runi mengenang masa kecilnya dengan Yiba.

Malam ini mereka melakukan hal yang sama, baru pulang ke rumah selepas isya. Obrolan hangat tercipta saat berjalan kembali ke rumah.

Runi tersenyum lebar membuat Yiba sangat bahagia. Yiba merasa Runi sudah tidak kesal lagi membuatnya berani mengungkapkan isi hati lagi.

“Kalau kita sudah jadi keluarga, kita pergi dan pulang dari masjid bersama ayahmu. Pasti akan lebih menyenangkan dan rasanya tenang,” ucap Yiba riang dengan mata berbinar.

Kata-kata Yiba membuat Runi membelalak, senyum di wajahnya memudar. Runi sudah mulai lupa ucapan Yiba sore tadi dibuat kembali kesal.

“Ternyata Yiba benar-benar menginginkan menjadi istri ayah,” batin Runi seraya berlari meninggalkan Yiba.

Membujuk Runi

0 0

“Run! Tunggu!” panggil Yiba berkali seraya mengejar Runi.

 

Runi tidak menghiraukan Yiba, bergegas pulang dan masuk ke dalam kamar. Air matanya tidak mampu lagi dibendung. Segala prasangka buruk begitu kuat menutupi mata batinnya. “Apa yang sudah ayah lakukan sampai Yiba begitu menginginkan menjadi istri ayah!” pekik Runi sembari menutup mulutnya menggigit bantal boneka Pooh kesayangan.

 

Yiba tidak mampu menyusul gadis cantik berkulit kuning itu. Runi menjadi sangat gesit berlari saat sedang kesal. Yiba tersengal mengatur nafas berhenti di depan pagar rumah Runi. “Kamu masih selalu sama, Run. Ceroboh,” ucap Yiba mendapati pintu pagar dan rumah terbuka lebar.

 

Yiba diminta Marwan untuk menemani Runi sampai Marwan pulang kerja. Tanpa diminta pun, ia dengan senang hati menjaga sahabat karibnya itu. Ia segera masuk menyusul Runi.

 

“Run! Maafkan jika aku salah. Keluarlah, kita harus bicara,” bujuk Yiba menunggu di depan pintu kamar Runi.

 

Runi tidak ingin bicara, ia tidak mampu mengatakan apa pun. “Aku tidak ingin kita bertengkar, Yib,” rintih Runi.

 

Yiba masih dengan sabar menunggu Runi agar mau keluar dan berbicara dengannya. “Run, kamu mau makan lagi? Aku masakin, ya?” bujuknya.

 

Runi paham betul karakter gadis sholehah yang tengah berusaha membujuknya. Yiba tidak pernah sekali pun meninggalkannya sendiri apalagi saat-saat sedang marah dan sedih. Yiba selalu punya beribu cara untuk menenangkannya. Rasanya menjadi sangat jahat dan egois bila membiarkan Yiba juga sedih. Namun, ia tidak bisa menerima jika ayahnya akan menikah lagi dengan sahabat sendiri. Membayangkan saja sudah membuatnya begitu sakit, apalagi bila sampai itu terjadi. Runi menutup kedua telinga berharap tidak mendengar suara Yiba yang masih setia memanggilnya berulang kali.

 

“Iya, Pak, akan saya sampaikan pada Runi,” ucap Yiba saat menerima panggilan telepon dari Marwan. Perasaannya bertambah was-was, Marwan menyampaikan jika pekerjaannya belum selesai dan semakin terlambat pulang. “Runi akan semakin salah paham jika begini,” gumamnya.

Yiba menuju ruang tamu untuk menenangkan hati sejenak. Selama ini ia begitu mudah membujuk Runi dalam segala hal, tetapi kali ini ia tidak punya kekuatan itu.

“Aku terlalu percaya diri, bahkan Pak Marwan saja belum tentu mau menerima cintaku,” gumam Yiba. Berulang kali ia mengambil nafas panjang lalu mengeluarkan perlahan.

Setelah lama merenung, Yiba memutuskan memasak untuk Runi dan Marwan. Ia berani melakukannya karena sudah mendapat ijin dari Marwan saat bicara di telepon tadi.

“Run! Aku masak makanan kesukaan kamu. Keluar, Sayang, kita makan malam bersama,” bujuk Yiba dengan sabarnya.

 

Runi tidak akan mampu menolak jika menyangkut urusan perut, apalagi yang memasak adalah Yiba. Sudah tiga tahun lamanya ia menunggu agar bisa makan bersama masakan sahabatnya itu. Namun, kali ini amarah begitu memenuhi otaknya. Harum masakan tidak mampu mencairkan kebekuan pikiran meski perut memberontak. Dia memang mudah lapar. Perut dan hatinya tidak bisa diajak kompromi. “Aku harus kuat, jangan sampai ia pikir aku setuju dengan rencananya. Aku tidak akan pernah membiarkan ayah menikah lagi!” geram Runi.

 

Yiba sedih sahabatnya tidak kunjung keluar dari kamar, padahal ia ingin menyampaikan secara tatap muka supaya tidak terjadi salah paham. “Run! Ayahmu pulang lebih malam, beliau masih banyak pekerjaan.” Yiba terpaksa mengatakan dari luar kamar dan sukses membuat Runi semakin salam paham.

 

“Bahkan ayah lebih memilih memberi tahunya daripada aku, anaknya sendiri!” gerutu Runi. Ia semakin terisak menahan kesedihan dan sakit begitu dalam. Perut yang tadinya bergolak menghirup sedapnya aroma masakan kini seakan langsung merasa kenyang.

Runi memang paham jika ayahnya adalah pria yang sangat bertanggung jawab dalam segala hal, apalagi menyangkut pekerjaan. Namun, sekarang yang ada di otaknya tidak lagi seperti itu. “Ayah sengaja pulang malam! Ayah sengaja menyuruh Yiba memasak! Ayah sengaja melakukan semua ini! Seakan seperti keluarga harmonis!” cerocos Runi seraya bangkit dari ranjang. Emosi memenuhi dada dan kepala. Ia semakin larut dalam prasangka buruknya sendiri pada dua orang yang sangat ia kasihi.

Penasaran

0 0

Jarum jam menunjukkan pukul sepuluh malam, tetapi Marwan belum juga pulang.

 

Runi masih sibuk dengan emosi dan prasangka buruk dibuat heran tidak lagi mendengar suara Yiba di luar kamar.

Perlahan turun dari ranjang, keluar dan mendapati rumahnya sepi. “Tidak mungkin Yiba pulang tanpa pamit, dia tidak akan meninggalkan aku sendiri,” batin Runi mencari Yiba ke seluruh rumah.

 

Harum aroma makanan kembali menyapa hidung Runi kala di dekat ruang makan. Penasaran ingin membuka tudung saji, tetapi hati menolak.

Bergegas menuju ruang tamu hanya mendapati tas serta Al-Qur’an milik Yiba di atas meja. Pintu depan sedikit terbuka, seketika ia menjadi panik takut jika terjadi sesuatu pada sahabatnya.

Sayup-sayup terdengar suara dari luar rumah. Perlahan ia mendekati pintu dan mengintip dari jendela. Abdullah—kakak laki-laki tertua Yiba—terlihat gelisah sedang berbicara dengan Yiba di dekat pagar.

“Kak Abdullah!” seru Runi senang, kakinya hampir saja melangkah keluar. Namun, saat tangannya menyentuh gagang pintu ia terhenti. Sorot mata tajam Abdullah saat menatap Yiba membuat Runi penasaran.

“Sepertinya Kak Abdullah marah,” batin Runi. Ia teringat betapa tegasnya keluarga Yiba, terutama Harun—ayah Yiba. “Kenapa ayah belum pulang juga!” gerutu Runi. Ia tidak mau sahabatnya mendapat masalah karena harus menjaga dirinya.

 

Secepat kilat Runi berlari masuk kamar saat melihat Yiba berjalan masuk ke dalam rumah. Seperti maling ia mengintip apa yang dilakukan Yiba di ruang tamu.

Lantunan merdu ayat Al-Qur’an dari mulut Yiba membuat tenang siapa pun yang mendengarnya. Hati Runi tersentuh melihat solehahnya akhlak Yiba. Ia malu pada diri sendiri selalu mengedepankan emosi dan ego. 

 

Yiba menutup Al-Qur’an setelah selesai membaca satu juz. Hatinya kembali gelisah masih belum ada tanda-tanda Marwan pulang. Selama ini ia tidak pernah berada di rumah Runi sampai selarut ini kecuali memang menginap jika Marwan tidak ada. Bahkan Abdullah sampai datang menjemput karena khawatir ia bertemu Marwan pada malam hari. Meski tidak melakukan apa pun, tetapi hal itu tetaplah tidak baik.

 

Runi masih mengawasi Yiba, mengerti kegelisahan hati sahabatnya itu. “Yib,” panggilnya dan Yiba menoleh terkejut.

 

“Kamu lebih baik pulang. Sudah terlalu malam, aku tidak mau ayah kamu marah,” sambungnya.

 

“Tidak apa-apa, Run, sebentar lagi ayahmu pasti pulang. Aku sudah jan–,”

 

“Janji harus selalu ditepati!,” Runi memotong ucapan Yiba. Dia sangat paham itu. Yiba akan selalu melakukan setiap yang sudah diucapkan. Runi kesal, tetapi juga sedih menatap senyum Yiba.

“Kenapa Kak Abdullah tidak disuruh masuk?” tanya Runi seraya duduk di samping Yiba. Hatinya sedikit bergetar bila menyebut nama Abdullah. Ia sudah terpesona dengan ketampanan dan ketegasan sikap Abdullah sejak SMP.

 

“Ayah kamu tidak di rumah. Kakakku ‘kan laki-laki, jadi...,” tutur Yiba seraya memperhatikan senyum Runi yang berbeda saat membicarakan Abdullah.

 

“Tidak boleh masuk ke dalam rumah. Iya! Aku tahu itu,” sahut Runi berubah dari senyum menjadi masam.

Abdullah tidak pernah sekali pun masuk ke dalam rumahnya bila tidak ada Marwan, bahkan sedari dulu saat masih remaja.

Keluarga Yiba memang selalu mengutamakan adab agama. Suara klakson mobil menghentikan percakapan singkat mereka.

 

“Ayah pulang!” seru Runi girang. Ia segera bangkit, tetapi tangannya dicekal Yiba.

 

“Kenapa?” tanyanya bingung.

 

“Di luar ada kakakku, pakai hijabmu,” jelas Yiba.

 

Hati Runi kembali terpesona. Akhlak baik sahabatnya selalu menjaga dirinya.

Bergegas ia mengambil kerudung di kamar lalu berlari keluar diikuti Yiba dari belakang.

 

“Ayah!” panggilnya seperti anak kecil seraya merentangkan kedua tangan pada Marwan yang tengah berbincang dengan Abdullah.

 

“Kenapa ayah baru pulang!” protes Runi memajukan bibirnya saat sudah memeluk Marwan.

 

Marwan memeluk erat putri tunggalnya dan memberikan kecupan hangat di kening gadis manja itu. “Sekarang ayah ‘kan sudah pulang,” kilahnya sambil tersenyum membuat Runi semakin kesal.

 

Yiba berdiri di belakang Abdullah menyaksikan kehangatan anak dan ayah yang tengah melepas rindu. Matanya tidak berani berlama-lama melihat Marwan. Rasa cintanya mampu menjaga pandangannya sampai saat kelak ia berharap bisa resmi bersanding menjadi pendamping Marwan.

 

Abdullah bisa merasakan ada hal yang berbeda dari sikap Yiba setiap bertemu Marwan. Ia segera mengajak Yiba berpamitan.

 

Runi melihat sikap malu Yiba di depan ayahnya seperti dirinya yang juga sedikit malu saat berada di dekat Abdullah. Tangannya hampir menjabat Abdullah, tetapi ia ingat jika laki-laki dan perempuan bukan mahram tidak boleh bersentuhan.

 

“Hati-hati di jalan, Kak,” ucapnya malu-malu, tetapi ia diam saja saat Yiba memeluknya sebagai salam.

 

“Besok pagi aku jemput kamu,” pesan Yiba dibalas wajah datar Runi.

Berdebat Dengan Ayah

0 0

Runi memperhatikan Marwan menatap Abdullah dan Yiba pulang sampai keduaanya tidak terlihat lagi. Padahal Marwan menatap biasa sebagai bentuk menghargai tamu yang sedang berpamitan, tetapi Runi dipenuhi emosi menganggapnya lain.

 

Runi berjalan masuk sambil menghentakkan kaki dengan keras agar Marwan mendengarnya.

 

Marwan merasa sangat bersalah karena pulang larut malam disaat putrinya baru datang dari kota besar.

“Runi sayang, maafkan ayah, ya,” tutur Marwan lembut seraya berlutut di depan Runi yang tengah duduk di sofa dengan raut wajah masam.

“Ayah benar-benar terpaksa berangkat kerja dan pulang malam karena ti–,’

 

“Aku tahu!” ketus Runi memotong ucapan Marwan dan memalingkan wajah ke samping.

 

“Kamu mau ‘kan memaafkan ayah?” bujuk Marwan merendahkan wibawanya sebagai seorang ayah. Seorang ayah yang seharusnya duduk di atas dan sang anak bersimpuh khidmat, tetapi ini terbalik. Untuk putri tunggalnya, Marwan rela melakukan apa saja.

 

“Ayah,” tutur Runi dengan khas manjanya menatap Marwan yang tengah duduk di lantai menghadap dirinya.

 

“Iya, Sayang,” jawab Marwan mengimbangi sikap manja Runi. “Maafkan ayah ya, Sayang,” ulang Marwan kesekian kalinya menunggu jawaban iya dari putri cantiknya.

 

“Ayah pernah janji ‘kan sama aku,” ucap Runi mulai serak. Bulir bening di matanya hampir tumpah.

“Aku tidak mau kehilangan ayah!” tandasnya dengan air yang seketika mengalir deras.

 

Marwan segera memeluk buah hati yang sudah mulai dewasa itu bingung dengan perasaan semakin bersalah. “Ayah tidak akan pernah meninggalkan Runi. Jangan menangis, ayah di sini,” tutur Marwan lembut seraya membelai hijab Runi. Ia tidak menyangka putrinya akan sesedih ini karena keterlambatannya pulang.

 

Runi membalas pelukan sang ayah lebuh erat menumpahkan semua air matanya di sana. Ia tidak ingin melepas pelukan itu untuk siapa pun, apalagi pada Yiba. “Ayah hanya milikku, aku satu-satunya yang boleh memeluk ayah,” raung Runi membuat Marwan terkekeh.

 

“Manjanya putri ayah,” ledek Marwan.

Meski sudah dua puluh satu tahun usianya, tetapi Runi masih sangat kekanak-kanakan. Itu karena Marwan sangat memanjakannya. Bagaimana tidak membuat Runi menjadi sangat manja bila segala hal selalu dituruti tanpa syarat. Tiga tahun kuliah di kota besar dan tinggal sediri di rumah kos belum mampu membuat sikap manja itu menghilang.

 

Setelah puas menangis, Runi melepas pelukan dan menatap netra ayahnya tajam. Marwan bingung dengan sikap Runi yang tidak seperti biasanya. Meski sering merajuk, tetapi Runi tidak pernah sekali pun berani menatap mata Marwan setajam itu.

“Apa ayah lupa dengan janji ayah!” tuduh Runi penuh amarah.

 

“Ayah ‘kan sudah bilang minta maaf, ayah terpaks–,”

 

“Bukan itu ayah!” ketus Runi lagi-lagi memotong ucapan Marwan.

 

Marwan sangat lelah semakin merasa letih tidak mengerti dengan ucapan Runi.

 

“Ada apa antara ayah dan Yiba?” selidik Runi dengan raut wajah sangat serius.

 

Marwan terdiam beberapa saat lalu mengangkat kedua bahunya. “Ada apa, ada apa?” balas Marwan justru balik bertanya membuat emosi Runi memuncak.

 

“Kenapa si, ayah pura-pura!” cecar Runi.

 

“Run! Ayah capek baru pulang kerja!” ketus Marwan untuk pertama kalinya bicara dengan nada tinggi pada Runi.

Runi merasa dadanya sesak terkejut dengan suara tinggi Marwan.

 

“Ayah sudah minta maaf. Ayah tahu ayah salah. Tolong, Run, pahami ayah,” pinta Marwan.

 

Runi mundur beberapa langkah menahan air matanya jatuh lagi.

 

“Ayah bekerja untuk kamu. Semua yang ayah lakukan untuk kamu!” tegas Marwan.

 

“Yiba yang sudah membuat ayah seperti ini?” tanya Runi lebih seperti menghardik.

 

“Ini salah ayah kenapa harus bawa-bawa orang lain!” protes Marwan semakin emosi. “Kamu seharusnya berterima kasih padanya!” tandasnya lagi.

Runi benar-benar semakin salah paham dengan ucapan Marwan.

 

“Ayah lelah, Run, ayah butuh istirahat. Kita bicara lagi besok,” pungkas Marwan menyudahi perdebatan. Hatinya begitu terluka setelah usia yang ke dua puluh satu, Runi berani membentak dirinya. Bulir bening tidak terasa mengalir di wajah yang masih terlihat menawan itu meski sedang letih.

Menyesal

0 0

Runi tersadar melihat air mata Marwan membasahai wajah tirus yang selalu tersenyum itu. Namun, saat ini senyuman musnah karena kesalahan Runi.

“Maafkan aku, Ayah,” ucap Runi pelan.

Rupanya emosi telah menutup kepekaan Runi tidak mengerti betapa lelahnya Marwan bekerja seharian dan baru pulang larut malam.

Runi merasa bersalah atas apa yang sudah dikatakan. Seharusnya ia bisa bersabar menunggu sampai esok hari untuk bertanya. Dalam keadaan lelah sangat tidak baik bila diberikan pertanyaan-pertanyaan berat, dan ia malah marah-marah dengan pertanyaan yang tidak jelas.

Runi mendekat memeluk sang ayah penuh kesedihan serta penyesalan.

“Kita bicara lagi besok,” ucap Marwan membalas pelukan Runi sesaat, memberikan kecupan di kening.

Runi masuk ke kamar dengan perasaan campur aduk. Ucapan guru ngaji menjelaskan tentang amarah terngiang di telinga. “Orang yang paling kuat adalah orang yang mampu menahan amarah atau emosinya.”

Runi menghembuskan nafas dari mulut, membuang segala kekesalan. Benar-benar lemah, emosi telah menguasai hati dan pikiran hingga ia membuat Marwan kesal. Seharusnya ada begitu banyak kerinduan tercurah dan terobati saat baru bertemu. Namun, yang terjadi sebaliknya, Runi menutup wajahnya dengan bantal.

“Percuma air mata mengalir, Run. Cobalah selalu berpikir sebelum bersikap!” tegas Runi pada dirinya sendiri.

Tangannya mengusap air asin di pipi lalu mulai berdoa sebelum tidur. Berusaha memejamkan mata untuk membukanya lagi esok dengan suasana lebih baik.

 

Marwan sangat menyesal, seumur hidupnya ini yang pertama kali membentak Runi. Masuk ke kamar Runi setelah membersihkan diri dan pikiran lebih tenang.

“Putri cantik ayah sudah tidur,” ucap Marwan lembut mengelus rambut memberikan kecupan di kening Runi. “Maafkan ayah membentakmu tadi,” bisik Marwan.

Runi belum sepenuhnya berada di alam mimpi, ia masih bisa merasakan kehadiran sang ayah. Ingin sekali memeluk, tetapi belum siap takut emosinya meledak jika teringat tentang Yiba. Ia sangat menyayangi dan tahu jika ayahnya sedang sangat lelah sekarang.

Runi bangkit duduk di ujung ranjang saat ayahnya sudah keluar menutup pintu. “Aku kangen sekali sama ayah,” gumam Runi sambil memeluk boneka kesayangan hadiah saat berhasil menyelesaikan puasa ramadhan tiga puluh hari. Boneka yang sudah lebih dari sepuluh tahun menemani tidur Runi, tetapi masih bagus karena dirawat dengan baik.

 

Esok paginya Marwan mengambil ijin masuk siang untuk menebus kesalahannya yang membuat Runi kecewa.

 

Runi masih enggan keluar kamar setelah sholat subuh. Namun, perutnya memanggil untuk diisi apalagi aroma harum dari dapur begitu kuat menariknya.

 

Seperti biasa Marwan sedang memasak makanan kesukaan Runi.

“Roti bakar selai nanas sudah siap!” seru Marwan sambil mengangkat piring tinggi-tinggi karena tahu jika Runi ada di belakangnya.

“Maafkan ayah ya, Sayang, semalam ayah benar-benar sangat lelah,” kata Marwan memulai percakapan.

Runi mengangguk, tetapi Marwan bisa melihat jika ada sesuatu yang sedang dipirkan putri cantiknya itu.

Runi melihat meja makan tidak ada masakan Yiba yang semalam belum sempat ia lihat apalagi cicipi.

“Kamu hari ini mau jalan-jalan sama Yiba?” tanya Marwan.

“Tidak tahu!” ketus Runi dengan wajah datar.

Kedua alis Marwan terangkat mendengar jawaban putrinya. “Kamu ada masalah sama Yiba?” tanyanya lagi.

Runi takut menatap Marwan. Ia tidak ingin emosi mengalahkannya lagi. “Hari ini aku mau berdua sama ayah. Ayah jangan pergi ke mana-mana!” tuntut Runi. Ia sedang tidak ingin membahas Yiba sekarang.

“Ayah kira kamu pasti akan sangat sibuk dengan Yiba, jadi ayah hanya ijin masuk siang,” jelas Marwan.

Runi kecewa, tetapi memang selama ini jika sudah bersama Yiba, ia akan lupa pada Marwan.

Rupanya masalah Yiba harus segera diselesaikan.

“Aku boleh bertanya?” Runi berhati-hati sebiasa mungkin untuk tidak berprasangka buruk.

Pertanyaan Runi

0 0

Marwan tersenyum mendengar ucapan manja Runi. “Kapan ayah membuat peraturan dilarang bertanya,” candanya.

“Ayah,” balas Runi sangat manja.

Inilah saat-saat paling membahagiakan berbincang bersama setelah sekian lama terpisah. Rasa takut kembali menghampiri Runi, tidak mau kebersamaan menjadi berbeda dengan hadirnya orang lain.

“Ayah jawab yang jujur,” tekan Runi.

“Apakah ayah pernah berbohong?” sanggah Marwan.

Seumur hidupnya mengasuh Runi belum pernah sekalipun berbohong meski hal kecil sekali pun. Selelu mengajarkan kejujuran menjadi prinsip yang selalu Marwan terapkan di manapun, kapan pun, kepada siapa pun, terlebih pada Runi.

Untuk hal kejujuran, Runi tidak pernah meragukan sang ayah. Itu sebabnya hal ini harus segera mendapat jawaban yang jelas secepatnya.

Sangat tidak mudah meski di hati sudah begitu ingin meluap, tetapi perlu mengumpulkan segenap keberanian.

Menghabiskan semua makanan di piring, membantunya masuk ke dalam perut secara sempurna dengan bantuan air. Berdoa selesai makan supaya menjadi berkah, diam sejenak sebelum melanjutkan niat tadi.

“Kenapa tidak jadi bertanya?” tanya Marwan mendapati Runi hanya diam bahkan sampai selesai makan.

Runi mulai belajar dewasa untuk saat ini, sangat tidak ingin suasana makan yang memang seharusnya tidak boleh berbicara justru akan menjadi perdebatan menjauhkan keberkahan. “Pada saat makan, sangat dianjurkan untuk diam,” nasihat Yiba, Runi coba terapkan.

Marwan melihat ada perubahan dengan sikap Runi pagi ini. Melihat Runi merapikan semua peralatan makan lalu mengajaknya berbincang di ruang tengah setelahnya.

Ada tanda tanya besar apakah mungkin Runi telah mulai mengenal rasa cinta.

“Apakah ada lelaki yang telah mencuri hati putri kesayangan ayah,” goda Marwan seraya membelai rambut panjang Runi.

Runi bersandar di bahu Marwan manja mendongak seketika. Bagaimana bisa sang ayah menanyakan hal seperti itu. Tidak pernah sekali pun Runi memiliki teman dekat lelaki, satu-satunya teman lelaki hanyalah ayahnya sendiri.

Memajukan bibir lalu membuang muka dan mendengus sebagai bentuk protes karena ucapan Marwan sangat tidak benar.

“Biasanya kalau anak ayah sudah mulai bersikap seperti ini, pasti ada sesuatu yang disembunyikan,” tebak Marwan tepat, tetapi tidak benar.

Menghirup nafas panjang mengeluarkan perlahan, “Apakah Ayah mencintai Yiba?” tanya Runi pelan, tetapi tegas.

Sekarang Marwan berganti terkejut sekaligus bingung dengan pertanyaan Runi. Mulutnya terbuka sedikit menampakkan wajah lucu.

“Jawab jujur ayah,” desak Runi tidak sabar.

“Apanya yang harus dijawab?”

“Jangan pura-pura, Ayah!”

Marwan membelai rambut Runi memberikan kecupan di sana. “Kamu ada masalah dengan Yiba?” terka Marwan.

Sekali lagi Runi menegaskan pertanyaannya. “Apakah Ayah mencintai Yiba?” tegasnya tanpa senyum tanpa canda.

“Putri ayah itu kamu atau yiba?” timpal Marwan. “Kamu menanyakan hal yang ayah tidak mengerti. Setahu ayah, sekalipun kamu tidak pernah bertengkar dengan Yiba,” lanjutnya.

Runi sama sekali tidak paham dengan ucapan Marwan. Menurutnya sang ayah berbelit-belit atau memang belum mau memberi tahu.

Berjalan ke luar rumah mencari udara segar supaya lebih tenang karena belum mendapat jawaban.

Betapa terkejutnya saat tiba-tiba seseorang menabrak dan mendorong tubuhnya untuk segera bersembunyi di balik mobil.

“Kamu tidak pakai kerudung kenapa keluar rumah!” tegas Yiba sambil menutup rambut Runi dengan hijab panjangnya.

Runi sangat tidak mengerti dengan sikap sahabatnya itu.

Yiba mengarahkan jarinya pada seseorang yang tengah berada di dalam mobil.

Abdullah berada di balik kemudi mobil tengah memandang ke arah dirinya, tepatnya memandang Yiba. Adiknya tiba-tiba keluar dari mobil saat melihat Runi berjalan keluar pintu pagar tanpa mengenakan hijab.

Yiba menjelaskan jika Abdullah meminjam mobilnya sebentar untuk urusan penting. Yiba meminta diantar ke rumah Runi dulu baru setelah mobil dikembalikan bisa mengajak Runi jalan-jalan sesuai janjinya kemarin.

“Aku telepon kamu tidak aktif, jadi aku ke sini,” tutur Yiba. Ia memberikan sehelai kerudung tipis untuk menutup rambut Runi sementara.

Mengambil tas yang masih dalam mobil dan menunggu Abdullah pergi.

Runi mengajak Yiba masuk meski sebenarnya banyak kekhawatirkan dalam benaknya. Namun, mungkin ini justru saat yang tepat untuk mendapat jawaban kebenaran.

Menginterogasi Yiba

0 0

Yiba masuk ke dalam rumah ragu-ragu, canggung saat melihat Marwan duduk di ruang tamu menatap dirinya dan Runi. Ia sangat berharap Runi mengajaknya masuk ke dalam kamar agar tidak berbincang dengan laki-laki yang telah membuatnya jatuh hati. Namun, rupanya Runi justru sengaja membuat Marwan dan Yiba untuk bisa saling berbincang.

Runi menatap ayah dan sahabatnya bergantian. Tampak jelas Yiba begitu gugup tidak berani menatap sementara Marwan santai dengan wibawanya sebagaimana seorang ayah.

Prasangka buruk dan pertanyaan besar semakin memenuhi otak Runi. Sangat tidak mengerti dengan sikap sahabat dan ayahnya yang terlihat tidak seperti layaknya orang menjalin hubungan.

“Pandai sekali menyembunyikan hal sebesar ini, seperti sinetron saja,” batin buruk Runi menyusup.

 

“Kalian hari ini mau ke mana?” tanya Marwan memecah keheningan.

 

“Terserah Runi saja mau ke mana,” jawab Yiba pelan dengan kepala tertunduk menjaga pandangan. Meski dalam hatinya begitu kagum akan sosok Marwan, tetapi ia tahu batasan seorang wanita dalam bersikap harus menjaga pandangan dari laki-laki non mahram. Doanya setiap saat bisa menatap Marwan secara halal suatu saat nanti. Itulah kenapa Yiba mengungkapkan perasaannya terlebih dulu kepada Runi bukan langsung pada Marwan.

 

Marwan menatap Runi dengan isyarat tanya ditanggapi datar oleh Runi.

“Aku–,” ucap Runi terbata tidak jadi menanyakan tentang perasaan ayahnya pada Yiba. Sepertinya ada yang harus lebih dulu diketahui dari Yiba sebelum bertanya pada Marwan.

Runi mengajak Yiba masuk ke kamarnya agar bisa leluasa menginterogasi sahabatnya itu. Runi menyuruh Yiba duduk di tepi ranjang menjadikannya seperti tersangka.

“Kamu yakin dengan ucapanmu kemarin?” tanya Runi mulai menyelidiki Yiba. Tidak sedetik pun membiarkan netranya kehilangan pengamatan.

Yiba membalas dengan senyuman, tetapi tidak menjawab membuat Runi menautkan alis kesal.

“Katakan kalau kamu hanya bercanda,” tekan Runi.

“Aku benar-benar mencintai ayah kamu, Run,” jawab Yiba tenang, tetapi begitu menusuk hati Runi.

Melihat dari sikap Yiba yang selalu menjaga jarak dan pandangan dari Marwan tentu semakin menjadi tanya besar. "Apakah sedang berpura-pura di depannya atau memang Yiba sangat menjaga adab," prasangka buruk Runi lagi-lagi melintas.

Runi sangat paham kewajiban menjaga martabat sebagai seorang gadis muslimah, tetapi bagaimana bisa Yiba jatuh pada ayahnya bila selalu bersikap seperti itu.

Mengangkat bahu lalu mendekatkan wajahnya pada Yiba mencari di kedalaman mata bening gadis berhijab panjang itu.

“Kamu tahu aku tidak akan pernah bisa paham dan puas dengan hanya mendapat satu jawaban garis tengahnya saja.”

Runi mundur duduk di kursi depan meja rias menatap lurus Yiba menunggu penjelasan setelah menanyakan yang sangat ingin ia ketahui.

Senyum tidak lepas dari bibir merah alami Yiba. Pelan menjelaskan detail dari awal hingga akhir bisa yakin jika telah jatuh cinta pada Marwan.

“Kesetiaan dan tanggung jawab ayahmu, membuat aku mengaguminya,” ungkap Yiba.

“Kamu hanya kagum bukan berarti jatuh cinta,” dengus Runi menyilangkan kedua tangan di dada.

“Awalnya kau juga mengira begitu. Namun, lama-kelamaan aku menyadari jika aku benar-benar telah jatuh cinta pada ayahmu. Aku tidak bisa merasakan perasaan ini pada lelaki lain, Run. Hanya pada ayahmu aku memiliki rasa ini,” urai Yiba membuat Runi terdiam.

"Aku bahkan belum pernah mengalami yang namaya jatuh cinta, bagaimana aku tahu tentang rasa itu," batin Runi getir.

“Apa yang sudah ayahku lakukan padamu?” tanyanya lagi untuk meyakinkan bagaimana cinta itu bisa muncul.

“Ayahmu tidak pernah melakukan apa pun. Sikapnya yang begitu santun, berwibawa, lembut, serta kesetiaannya begitu membuatku jatuh hati,” jawab Yiba dengan wajah berseri. Pancaran matanya begitu bening menggambarkan sikap Marwan yang telah berhasil mempesona dan mencuri hatinya.

Runi menelan ludah kasar, tidak menyangka sahabatnya benar-benar jatuh cinta pada ayahnya yang jelas-jelas terpaut usia sangat jauh.

Ada kelucuan sekaligus kegetiran, “Sahabatku jatuh cinta pada om-om yang usianya hampir sepantar dengan ayahnya dan om-om itu adalah ayahku,” kelakar Runi tidak mampu menahan tawa, tetapi juga sedih.

Tawa campur aduk memenuhi ruangan memancing seseorang mengetuk pintu kamar memanggilnya.

“Run!”

Perasaan Apa Ini?

0 0

“Ayah!” seru Runi terkejut melihat Marwan berdiri kaku di depan pintu kamar.

 

“Kamu kok masih saja kalau tertawa tidak pakai adab!” tegur Marwan ditanggapi bibir manyun Runi. “Ajari Runi sopan santun, Yib,” sambungnya meminta sambil menatap sekilas pada Yiba yang tidak berani membalas tatapannya.

 

Runi menautkan kedua alis seraya mencubit perut Marwan. Canda di antara keduanya begitu kental. Yiba tersenyum melihat tingkah manusia dua itu seperti anak kecil.

 

“Ayah mau berangkat kerja,” ucap Marwan. “Kalau sudah sama sahabat, lupa sama ayah!” keluh Marwan pura-pura ngambek.

 

Runi memeluk Marwan manja dibalas dekapan hangat. Yiba memandang ayah dan anak yang begitu dekat terkadang membuatnya sedikit iri karena tidak pernah sedekat itu dengan ayahnya. Harun selalu mendidik tegas sebagai ayah tidak bisa menjadi teman seperti Marwan dan Runi.

 

Marwan berangkat kerja setelah puas memeluk sang putri. Runi mengantar ayahnya sampai ke depan rumah sementara Yiba mengikuti lalu duduk di ruang tamu.

Runi mengela napas panjang setelah sang ayah pergi. Hatinya sangat ingin mendapat jawaban bagaimana perasaan ayahnya, tetapi sepertinya masih sulit untuk saat ini.

“Kita hanya di rumah saja?” tanyanya pada Yiba yang hanya diam.

 

“Kita tunggu Kak Abdullah mengembalikan mobil,” jawab Yiba.

 

“Kenapa kita tidak ajak Kak Abdullah sekalian,” usul Runi menjadi bersemangat. Yiba mengamati sikap Runi berubah setiap membicarakan kakak tertuanya.

 

“Kamu suka ya sama kakakku?” selidik Yiba. Runi menjadi malu menggembungkan pipi mencari hal lain untuk dibicarakan.

“Aku tidak mau kamu kecewa, Run. Kak Abdullah sudah dijodohkan dengan anak Kyai Dahlan,” ungkap Yiba.

 

Senyuman di wajah Runi pudar, semangatnya lenyap, seperti ada batu tajam menghujam jantung mematahkan harapan. Runi duduk lesu tidak selera lagi berbicara apalagi jalan-jalan. Perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, entah rasa apa itu.

 

“Run!” panggil Yiba berulang kali seraya mengguncang bahu sahabatnya yang melamun cukup lama. “Kamu kenapa?” tanyanya khawatir melihat Runi begitu syok. “Apakah Runi mencintai Kak Abdullah,” gumamnya, tetapi Runi masih bergeming.

 

Suara klakson mobil di depan pagar rumah terus dibunyikan beberapa kali karena Yiba tidak kunjung keluar menemui Abdullah.

“Kakak pulang jalan kaki saja, aku mau membawa Runi ke dokter,” ucap Yiba setelah keluar dengan tergesa menghampiri Abdullah yang sudah kembali mengantarkan mobil.

“Runi kenapa? Sakit?” tanya Abdullah sedikit khawatir.

Yiba mengangkat kedua bahu dengan wajah sulit ditebak. Abdullah hendak masuk ke dalam mengira jika Marwan masih ada di rumah. Namun, Yiba menjelaskan jika tidak ada ayah Runi di rumah lalu bergegas masuk tidak menyadari jika Abdullah masih berdiri di dekat pagar rumah setelah memberikan kunci mobil.

 

“Kita ke dokter ya, Run,” ajak Yiba seraya mengangkat lengan Runi membantu berdiri.

 

Runi terkejut merasakan tubuhnya dipapah Yiba. “Kenapa kamu memapah aku?” tanyanya heran. Pipinya terasa hangat seperti ada yang mengalir di sana. Tangan mengusap perlahan air yang mulai turun.

 

Yiba menjelaskan apa yang baru saja terjadi. Runi mendegarkan saksama dan tidak percaya jika dirinya seperti itu.

Yiba mengangkat bahu serta menautkan alis bingung.

 

“Aku mau cuci muka dulu dan siap-siap. Kamu sudah janji mengajakku jalan-jalan.” Runi beranjak masuk ke dalam kamar meninggalkan Yiba yang masih bingung.

“Aku kenapa?” gumam Runi sambil membasuh wajah berulang kali. “Rasanya sakit. Sakit yang aneh.”

Membaringkan tubuhnya di kasur sejenak memeluk boneka Pooh mengajaknya bicara. “Apakah aku jatuh cinta pada Kak Abdullah? Aku begitu sakit dan cemburu mendengar dia sudah dijodohkan,” bisik Runi pada boneka Pooh yang tentu saja tidak akan pernah menjawab.

“Apakah ini yang dirasakan Yiba pada ayahku?” tanyanya pada diri sendiri.

Setelah beberapa lama mengeluarkan semua pertanyaan pada diri sendiri, Runi bersiap untuk pergi bersama Yiba. Meski masih ada perasaan aneh di dalam sana.

“Ayo berangkat!” ajak Runi kembali menata semangatnya. Bersikap ceria agar selalu bahagia.

Yiba tersenyum bahagia melihat sahabatnya telah kembali ceria.

Keceriaan Runi hanya sebentar, hatinya kembali merasakan debaran aneh saat melihat Abdullah berdiri di depan pagar rumahnya. Biasanya ia selalu tersenyum ceria melihat kehadiran Abdullah. Namun, kali ini Runi menunduk tidak mampu tersenyum. Hatinya getir mengetahui status Abdullah telah bertunangan.

“Kamu sehat, Run?” tanya Abdullah, tetapi hanya dibalas anggukan Runi.

Runi segera masuk ke dalam mobil berusaha menghindari Abdullah, tetapi Abdullah juga masuk dan duduk di belakang sementara Yiba menyetir. Jantung Runi serasa copot menjadi sangat canggung.

Perasaan Cinta Runi

0 0

“Kamu liburan berapa lama di sini, Run?” tanya Abdullah membuat jantung Runi semakin kaku.

“Sebulan, Kak,” jawab Runi pelan sedikit tercekat berpura-pura sibuk dengan matanya melihat pemandangan dari jendela mobil.

“Berarti kamu tidak bisa hadir di pernikahan aku dong,” kata Abdullah sukses membuat Runi tidak bisa menjawab.

Jantung Runi benar-benar berhenti sesaat, sakit atau apa itu yang dia rasakan masih membuatnya bingung. Matanya terasa panas seperti hendak mengeluarkan cairan di sana. Tangan mengibas-ngibas beberapa kali ke wajah lalu membuka jendela semakin lebar mengambil udara luar mobil dari sana.

Yiba heran dengan sikap Runi yang biasanya selalu cerewet saat berbincang dengan Abdullah kini diam tanpa kata. “Kakak turun di sini,” kata Yiba pada Abdullah saat mereka tiba di depan rumah Yiba.

Abdullah turun lalu mendekati pintu depan tempat Runi sedang duduk di dalam menatap keluar.

“Cepat sembuh, ya, Run,” ucap Abdullah membuat Runi membelalak.

“Apa maksud ucapan Kak Abdullah seperti itu,” batin Runi. Ia tidak berani membalas tatapan Abdullah, hanya membalas ucapan salam pelan sambil tertunduk. “Apakah Kak Abdullah tahu apa yang sedang aku pikirkan?” batinnya lagi.

“Kamu kenapa jadi aneh begini, Run?” tanya Yiba sambil melajukan mobil lagi. Namun, Runi tidak kunjung menjawab.

Perjalanan menjadi sunyi tanpa obrolan. Runi sedang mencerna setiap ucapan Yiba. Bagaimana Yiba jatuh cinta pada ayahnya dan bagaimana pula ia bisa menjadi merasa sangat sedih, kecewa bahkan tidak senang mendengar kabar tentang Abdullah. Membuat perbandingan-perbandingan antara perasaannya dengan perasaan Yiba. Menjadi sangat sibuk dengan pikiran sendiri tidak mendengarkan Yiba mengajaknya bicara.

“Kita sudah sampai!” seru Yiba menghentikan mobil di tempat parkir sebuah sebuah taman. Runi terkejut sejak kapan mereka menuju arah taman dan kenapa ia tidak menyadarinya.

“Kenapa kita ke sini?” tanyanya bingung.

“Ini tempat fovorit kita dulu, kamu lupa?” Yiba balik bertanya heran.

Tempat favorit mereka sengaja ke sana agar bisa belajar sambil menikmati udara sore.

Ingatan Runi kembali pada masa-masa menghabiskan waktu di taman bersama Yiba dan Abdullah. Yiba begitu sibuk belajar sementara ia bermain bersenda gurau dengan Abdullah. Itu terjadi sudah lama, saat ia masih SMP.

Pandangan Runi nanar menatap ke seluruh area taman yang menjadi lebih luas dan indah sekarang.

Pernah suatu waktu Runi merajuk pada Marwan dan berlari menuju taman. Padahal jaraknya lumayan jauh, hampir setengah jam dengan jalan santai dari rumahnya. Ia hanya duduk melamun di sana sebagai bentuk protes agar keinginannya dipenuhi. Runi remaja kelelahan setelah sampai taman dengan hati kesal dan wajah cemberut.

“Kamu ngapain di sini?” tanya Abdullah masih dengan seragam lengkap putih abu-abu mendapati Runi sendirian di taman sedang terisak.

Runi segera menghambur ke dalam pelukan Abdullah, sebenarnya dia yang tiba-tiba memeluk Abdullah hingga tidak bisa mengelak. Meski pada akhirnya Abdullah segera melepas pelukan Runi.

Kala itu ia berumur tiga belas tahun dan Abdullah delapan belas tahun. Abdullah selalu menjaga sikap agar tidak terlalu dekat dengan Runi karena bagaimana pun mereka bukanlah muhrim. Hal itulah yang membuat Runi cukup senang meski hanya bisa duduk berjarak dan ngobrol di taman.

Seperti biasa ia menceritakan semuanya pada Abdullah dan selalu mendapatkan solusi dari lelaki berhindung mancung itu. Abdullah membiarkan Runi meluapkan kekesalan samapi puas lalu mengajaknya bercengkerama dengan makan es krim.

Runi sangat senang setiap menghabiskan waktu di sana. Abdullah rela dimarahi Harun hanya karena menenangkan Runi dan mengantar sampai rumah dengan selamat. Ada begitu banyak nasehat yang diberikan Abdullah padanya. Dengan sikap menjaga jarak antara laki-laki dan perempuan, dengan menjaga cara bicar serta banyak lagi.

Tanpa sadar Runi tersenyum mengingat semua itu lalu menyeka mata menyadari ada embun menetes bersama senyuman. Ia mengingat bagaimana selalu berbunga setiap mengingat Abdullah sama seperti yang Yiba katakan, jatuh cinta dengan sikap ayahnya.

Runi duduk sedikit lemas di bangku taman diikuti Yiba menempel tanpa jarak merangkul bahunya.

“Kamu jatuh cinta pada kakakku?” tanya Yiba membuat Runi tmenjadi yakin dengan perasaanya.

“Aku jatuh cinta pada orang yang akan menikah,” batin Runi pilu. Bulir embun itu tidak mampu ditahan lagi untuk tidak jatuh. Tenggorokannya benar-benar sakit bahkan menelan ludah pun tidak sanggup.

“Aku bisa melihat itu, Run, tapi kamu harus melupakannya. Pernikahan kakakku tinggal dua bulan lagi.” Yiba mengusap punggung Runi yang hanya diam dengan air mata telah basah ke seluruh pipi.

“Maafkan aku, Run, tidak bisa membantumu menggapai cintamu,” ucap Yiba penuh penyesalan.

Runi membenamkan wajahnya dalam pelukan Yiba. Hatinya sangat sakit menyadari cinta yang tidak mungkin terbalas. Yiba bisa merasakan betapa hancurnya hati Runi saat ini. Bajunya terasa basah teraliri air mata Runi yang tumpah semakin banyak.

“Run, tidak apa-apa menangis. Menangislah supaya pikiranmu lebih tenang,” ucapnya seraya mendekap tubuh Runi erat memberikan perlindungan.

Yiba juga sedang menahan pilu akan cintanya yang tidak tahu akan berakhir seperti apa. Akankah terbalas dan berjalan mulus menjadi sebuah mahligai rumah tangga seperti impiannya atau berakhir sama dengan Runi. Pilu cinta tanpa balasan bahkan tanpa sang pemilik hati mengetahuinya.

Di Taman

0 0

Lalu lalang orang-orang menikmati suasana taman yang belum terlalu siang seakan tidak terdengar oleh Runi. Masih sibuk dengan kesedihan mendalam, membiarkan dalam pelukan Yiba hingga punggungnya terasa lebih panas.

Entah berapa lama larut dalam duka, matahari sudah hampir berada di tengah-tengah langit.

“Apakah kamu merasakan perasaan seperti ini?” tanya Runi bergeser dari pelukan Yiba mencoba kembali duduk tegak meski masih terisak.

“Kita sama-sama sudah merasakan jatuh cinta. Bedanya kamu baru menyadari cintamu saat sudah tidak mungkin diperjuangkan,” jawab Yiba lembut, tetapi menusuk hati Runi yang lara.

Sangat sadar jika memang jodoh hanya Allah yang tahu. Hanya saja Runi tidak mengerti kenapa harus jatuh cinta pada orang yang tidak mungkin menjadi miliknya.

“Aku sudah sejak lama menyadarinya. Namun, aku juga tidak tahu, Run, apakah cintaku akan terbalas atau tidak,” lanjut Yiba terdengar jelas menahan kegundahan.

Runi dapat merasakan apa yang menjadi kegelisahan Yiba tentang cintanya. Sekarang ia sangat paham bagaimana mencintainya, tetapi tidak bisa mengungkapkan apalagi memiliki.

“Sebelum mengatakan padamu, aku sudah memikirkannya matang-matang. Sebab dan akibatnya serta aku juga sudah menyiapkan diri untuk ikhlas bila ternyata perasaan ini tidak berbalas,” ubgkap Yiba.

Runi menatap lekat Yiba meski pandangannya sedikit kabur terhalang air yang masih menggenang di mata. Menjadi takut jika sahabatnya mengalami nasib seperti dirinya. Namun, ia juga tidak bisa merelakan ayahnya jatuh cinta lagi. Sungguh kondisi sulit baginya sekarang ini.

Yiba menautkan alis heran mendengar suara aneh dari perut Runi.

Runi tersipu menundukkan wajah bisa-bisanya saat sedang sedih perutnya malah lapar.

Terdengar kumandang adzan dzuhur dari masjid yang terletak di seberang taman.

“Sudah waktunya makan siang, perut kamu memberi kode,” ucap Yiba diambut tawa kecil Runi lalu keduanya terkekeh bersama.

"Sholat dulu,” sahut Runi menjadi bijak pertama kalinya. Yiba tersenyum bahagia bersama Runi. Mereka menuju masjid untuk sholat berjamaah lalu mencari tempat makan siang.

“Saat makan tidak boleh ngomong, ‘kan kamu yang ngajarin aku,” seloroh Runi saat sedang menikmati makan siang dan yiba mengajaknya bicara.

“Itu kamu ngomong,” balas Yiba dengan wajah meledek.

“Aku ngomong karena kamu dulu yang ngomong,” timpal Runi tidak mau kalah. Kemudian keduanya terkekeh lagi.

“Cepat habiskan makanannya, terus kita jalan-jalan,” perintah Yiba mengakhiri obrolan saat makan.

Runi sedang tidak ingin ke mana-mana, memilih kembali duduk di taman di bawah pohon rindang. Hari ini adalah hari bersedih bagi Runi dan persiapan untuk rela bila akan ada kesedihan bagi Yiba. Keduanya kembali bercengkerama hangat melepas semua rindu serta menceritakan waktu tiga tahun saat berjauhan.

“Kamu yakin tidak mau ke tempat lain, Run?” tanya Yiba melihat Runi kembali murung. Runi menggeleng pelan menikmati kebersamaan bersama Yiba.

“Di sini saja aslakan ada kamu,” kelakarnya kemudian menunjukkan keceriaan setelah puas memikirkan kesedihan.

“Kita di sini sampai malam,” ujar Yiba.

“Jangan dong!” sergah Runi cepat. “Nanti kita tidak bisa sholat maghrib dan ngaji sampai isya di masjid. Mudah-mudahan ayahku pulang cepat. Jadi kita bersama-sama di masjid nanti,” lanjut Runi seakan memberi lampu hijau pada Yiba untuk mendekati ayahnya.

“Kamu setuju aku mengatakan perasaanku pada ayahmu?” tanya Yiba memberanikan diri setelah melihat peluangnya untuk berjuang lumayan besar.

Runi tidak mampu menjawab. Tidak ingin menyakiti sahabatnya, tetapi tidak ingin merasa tersisih nantinya jika sang ayah menikah lagi. Pikirannya mengatakan sesuai fakta yang sering ia lihat jika kebanyakan bila orang tua menikah lagi maka kasih sayang untuk anaknya berkurang. Runi tidak akan pernah rela seperti itu.

Ponsel Yiba berdering membuyarkan lamunan Runi. Matanya menatap Yiba penuh tanya. “Iya,” jawab Yiba lemas saat menjawab seseorang di sambungan telepon. Wajahnya mendadak murung.

“Ada apa? Siapa yang telepon?” tanya Runi khawatir.

“Ibu,” jawab Yiba singkat sambil menunduk lesu. Runi dibuat heran dengan perubahan sikap Yiba.

“Katakan ada apa?” desak Runi.

“Aku boleh memperjuangkan cintaku pada ayahmu?” Yiba justru balik bertanya dengan pertanyaan yang membuat Runi kelu. Netra Yiba menatap lekat netra Runi berusaha mendapatkan jawaban di sana. Tanpa Runi bicara pun ia sudah cukup mengerti isi hati sahabatnya itu dari tatapan mata.

Runi tidak mampu mengelak tautan pandangan itu. Setelah yakin harapannya masih besar untuk mendapatkan restu Runi, Yiba tersenyum.

“Maaf, Run, aku disuruh ibuku pulang sekarang,” ucap Yiba.

“Ya sudah, ayo pulang. Lagipula aku sedikit ngantuk mau tidur,” sahut Runi segera berdiri meninggalkan Yiba yang masih duduk.

“Aku akan menentukan masa depanku sore ini, Run,” gumam Yiba tidak terdengar oleh Runi. Ia segera bangkit menyusul langkah Runi.

Menolak Lamaran

0 0

“Tumben Ibu kamu nyuruh cepat pulang. Pasti ada yang penting, atau Ayah kamu yang suruh,” terka Runi merasakan ada yang disembunyikan Yiba.

“Hari ini ada acara pengajian di rumah, aku lupa,” jelas Yiba segera melajukan mobil cepat.

“Pengajian biasa atau acara untuk persiapan pernikahan Kak Abdullah,” batin Runi kembali sedih.

“Nanti menjelang maghrib aku jemput kamu, kita ke masjid, ya,” tutur Yiba penuh semangat.

“Jalan kaki saja, jangan pakai mobil,” kata Runi membuat Yiba tertawa kecil geli.

Dari taman menuju rumah Runi menggunakan mobil tidak sampai sepuluh menit. Jalanan juga tidak macet seperti di kota besar, jadi cepat sampai.

“Maaf, Yib, aku benar-benar lelah tidak bisa membantu kamu,” tutur Runi setelah Yiba mengantar sampai rumah.

“Istirahatlah.” Yiba berpamitan lalu berputar balik menuju rumahnya. Runi segera masuk mengistirahatkan tubuh dan hatinya. Memeluk bantal kesayangan lalu berdoa agar tidur siangnya bermanfaat.

Sementara Yiba pulang dengan perasaan tidak enak.

Sang ibu menyuruhnya untuk bersiap seakan ada acara penting. “Kamu harus segera bersiap, acara lamarannya nanti malam ba’da isya,” tutur Fatimah—ibunda Yiba—saat Yiba baru saja sampai di rumah.

“Lamaran?” tanya Yiba sedih.

“Nduk, ibu mohon. Kali ini terima lamarannya, atau bapak akan sangat marah,” pinta Fatimah dengan suara merendah.

“Kenapa ibu dan ayah tidak pernah menanyakan pendapatku dulu,” protes Yiba sangat kecewa dengan sikap orang tuanya.

“Anak perempuan itu menjadi tanggung jawab yang sangat besar untuk orang tua, Nduk. Kami hanya mau yang terbaik untukmu,” jelas Fatimah lembut seraya mengusap punggung Yiba.

Hati Yiba hancur harus memilih antara memperjuangkan cinta yang entah berbalas atau tidak ditambah dipaksa menerima lamaran. “Aku tidak bisa, Bu,” tolak Yiba.

“Ini bukan lamaran pertama yang datang untukmu, Nduk, ini sudah kelima kali. Semua pemuda berpendidikan dan berakhlak baik kamu tolak. Kamu mau suami yang seperti apa?” urai Fatimah seraya mempertanyakan sikap putrinya.

Banyak gadis iri dengan keberuntungan Yiba terlahir dari keluarga lumayan terpandang dan berpendidikan. Sejak lulus SMA sudah ada pemuda yang datang melamar, tetapi selalu ditolaknya. Pelamar selalu berasal dari keluarga terpandang, tetapi hatinya terlanjur mencintai Marwan.Keluarganya belum tahu perasaan yang sudah lama dipendamnya.

“Biarkan aku memilih calon suamiku sendiri, Bu,” pinta Yiba, tetapi ditolak Fatimah.

“Jangan pernah melawan kehendak ayahmu, Nduk. Tidak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya ke dalam kehidupan yang buruk,” urai Fatimah.

“Aku tahu, Bu, tapi aku belum ingin menikah,” ujar Yiba mencari alasan.

“Ibu dulu menikah umur delapan belas tahun. Kamu sudah hampir dua puluh satu tahun, sudah cukup untuk menikah,”

“Batalkan lamarannya, Bu, aku mohon,” rengek Yiba. Bulir bening di matanya mulai mengalir menahan kesedihan.

“Tidak bisa, Nduk. Ibu tidak masalah menjadi bahan guncingan orang karena kamu selalu menolak setiap lamaran yang datang. Namun, ibu tidak sanggup melihat kamu dimarahi ayahmu,” tegas Fatimah.

“Pikirkan lagi baik-baik, Nduk,” pinta Fatimah seraya keluar meninggalkan Yiba untuk berpikir.

Hati sudah yakin dan mantap menentukan masa depan yang akan dipilih. Yiba sangat sedih mengumpulkan segenap kekuatan untuk berani menolak lamaran itu meski apa pun konsekuensi yang harus ia tanggung.

Keluarga pelamar sudah tiba di rumah orang tua Yiba tepat ba’da isya.

Yiba keluar dari kamar tampak anggun meski hanya mengenakan gamis seperti biasa dan sengaja tidak merias wajah. Karena hanya ingin mempersembahkan kecantikannya utuh pada laki-laki yang akan menjadi suaminya kelak.

Pemuda tampan lulusan pondok terbaik dan telah menjadi seorang ustadz lumayan terkenal di kotanya serta cukup mapan, duduk diantara orang tua Yiba dan orang tua pemuda itu.

Baik Yiba maupun pemuda itu sama-sama menjaga pandangannya meski sekilas pemuda tersebut sempat mencuri pandang menatap kagum pada Yiba.

Basa-basi serta senyum dan tawa kecil tercipta di ruangan itu tampak sebuah keakraban, tetapi tetap menjaga adab. Hingga tiba saatnya orang tua si pemuda menyampaikan maksud kedatangannya secara resmi.

“Saya menolak lamaran ini. Saya sudah punya pilihan sendiri. Saya tidak mau dijodohkan.”

Kalimat meluncur mulus dari mulut Yiba meski sedikit bergetar membuat kedua keluarga tercengang.

Bahkan pemuda yang sedari tadi tertunduk kini dibuat menatap tepat wajah Yiba dengan tatapan penuh tanya dan raut wajah sangat kecewa.

Tidak Sesuai Harapan

0 0

Harun—ayah Yiba—mencoba menahan emosinya di depan keluarga Kyai terhormat.

Fatimah berdiri segera mengajak Yiba masuk ke dalam kamar, tetapi ditolak Yiba dengan santun.

“Saya tidak ingin membohongi diri sendiri dan juga terutama ustadz yang sangat saya hormati. Hati saya sudah saya berikan untuk orang lain–, “

Suara tamparan keras terdengar membuat semua yang ada dalam ruagan itu membelalak. Bahkan si pemuda dibuat begitu syok melihat pemandangan di depannya. Terlihat bulir bening menetes dari matanya.

Tamparan keras itu menghentikan ucapan Yiba. Matanya terasa panas hendak mengeluarkan aliran air, tetapi sebisa mungkin ia tahan.

Semua mata menatap Yiba dan Harun bergantian. Tampak jelas wajah pria lima puluh tahun itu marah besar tidak mampu lagi mengendalikan emosi.

Fatimah segera memeluk Yiba, tetapi Yiba kembali duduk tegap seolah tidak merasakan sakit dan salah sedikit pun.

“Jika memang ustadzah Yiba tidak menerima lamaran saya, tidak mengapa. Mungkin kami belum berjodoh,” ucap pemuda itu. Wajah tampan yang sangat terluka berusaha menyembunyikan kekecewaan.

Bagaimana pun Harun mencoba untuk menghentikan keluarga pemuda itu untuk jangan pulang terlebih dahulu tidak berhasil.

Pemuda tersebut merasa sangat malu dan kecewa, begitu juga keluarganya. Mereka segera berpamitan tanpa mengatakan hal lain lagi.

Fatimah berulang kali membujuk Yiba untuk masuk ke dalam kamar supaya kemarahan Harun tidak semakin menjadi-jadi, tetapi Yiba menolak.

Yiba ingin meluruskan semuanya kenapa ia bisa menolak pelamar sebaik dan sehebat pemuda tadi. Hebat dalam urusan agama yang membuat banyak gadis ingin menjadi istri seorang ustadz mapan.

Keluarga pelamar sudah pulang, tinggallah Yiba beserta Harun dan Fatimah. Malam ini Abdullah ada kegiatan mengisi pengajian di luar kota menggantikan sahabatnya yang tidak bisa hadir. Tidak ada yang bisa membela Yiba saat ini, karena Fatimah akan selalu kalah dengan sikap arogan Harun.

Harun tidak berbicara, ia mengepalkan tangannya pada bahu sofa dengan tatapan mata tajam memerah tanda dalam puncak emosi. Meski paham agama tetapi Harun sangat keras dan masih sering menggunakan otot karena sudah menjadi tabiatnya yang sulit diubah.

“Aku mencintai pak Marwan ayah Runi. Ijinkan aku menikah dengan beliau,” ungkap Yiba pelan dan penuh kehati-hatian langsung pada inti yang sudah sangat lama ingin ia sampaikan.

Tamparan keras kembali mendarat di pipi Yiba. Kulit putih itu menjadi merah di kedua sisi. Yiba menyembunyikan rasa sakitnya dengan senyuman meski bulir-bulir di matanya tidak mampu berbohong.

Ini sudah yang kelima kali Yiba menolak lamaran dan Harun benar-benar marah, apalagi setelah mendengar ucapan Yiba.

“Jadi Marwan yang telah membuatmu berani menentang ayah! Selama ini apa saja yang sudah dia lakukan padamu ‘hah!” bentak Harun hingga terdengar ke seluruh penjuru rumah.

Kali ini Harun tidak bisa menerima alasan dari putrinya itu. Yiba sudah sangat kelewat batas berani mengungkapkan tentang perasaannya untuk laki-laki yang sukses besar membuat Harun terbakar emosi dalam kesalah pahaman.

“Ayah akan meminta tanggung jawabnya, berani sekali dia membuat kamu seperti ini. Kamu sudah mempermalukan keluarga kita!” marah Harun melanjutkan ucapannya.

Yiba tidak menyangka jika ayahnya justru salah paham pada Marwan. Bahkan dirinya belum tahu apakah Marwan menyukainya atau tidak. Terlalu percaya diri dengan cinta yang ia miliki pada Marwan hingga berani menolak lamaran dari pemuda terbaik. Bagaimana jika Marwan tidak membalas cintanya, apa yang akan terjadi pada dirinya nanti.

“Ayah,” lirih Yiba.

Fatimah masih memeluk putri keduanya tanpa mampu berkata-kata, hanya air mata menggenangi mata hingga tumpah ke pipi. Sangat memahami karakter sang suami yang tidak mau ucapannya dibantah dan dipotong saat sedang marah. Diam adalah cara terbaik untuk membuat Harun kembali tenang.

Harun tiba-tiba pergi tanpa mengatakan apapun membuat Yiba segera mengejarnya. Yiba tahu pasti ayahnya akan ke mana.

“Ayah, tunggu!” panggil Yiba tidak digubris oleh sang ayah.

“Jangan, Nak, ayahmu akan semakin marah jika kamu juga keluar rumah,” sergah Fatimah.

“Ibu, ayah salah paham pada Pak Marwan. Beliau tidak melakukan apa pun padaku. Tolong, Bu, ijinkan aku mencegah ayah menemui Pak Marwan,” rengek Yiba, tetapi Fatimah tetap tidak mengijinkan.

“Sekarang kakak kamu tidak di rumah. Tenanglah, jika kamu mau ayahmu percaya padamu, diam di rumah!” tegas Fatimah.

Yiba menangis berlari masuk ke dalam kamar meniggalkan Fatimah tanpa mengatakan apa-apa lagi. Berulang kali menelepon, tetapi ponsel Runi tidak aktif. Hati begitu perih, bukan seperti ini yang ia harapkan.

“Seandainya lamaran ini tidak datang malam ini, pasti tidak akan seperti ini,” lirih Yiba sesaat melakukan kesalahan dengan menyalahkan waktu.

“Astaghfirullah.” Mengusap muka berulang kali, mulut tiada henti meminta pengampunan atas kesalahannya menyalahkan keadaan. Sadar betul bahwa tidak boleh berkata andai untuk waktu yang sudah terlewati.

“Run!” pekik Yiba memanggil nama sahabatnya berulang kali. Kegelisahan memenuhi seluruh hati dan pikiran.

“Bukan seperti ini, bukan. Sekarang apa yang harus aku lakukan?” tanya Yiba pada diri sendiri.

Beberapa saat membiarkan setan menguasai pikiran, Yiba segera bangkit mengambil wudlu. Lantunan ayat suci Al-Qur’an mengalun indah dari mulut penuh penghayatan hingga sampai ke hati. Mendekat pada Allah menjadi jalan terbaik dalam menghadapi setiap persoalan.

Kehangatan Ayah dan Anak

0 0

Di rumah Runi.

Runi membuka mata perlahan saat mendengar kumandang adzan ashar. Merentangkan kedua tangan meregangkan ke atas lalu duduk sejenak menyandarkan kepala agar bisa menyeimbangkan tubuh setelah tidur. Tidur siang dengan nyenyak selama kurang lebih satu jam cukup untuk membuat lelah menghilang. Bergegas mandi lalu menunaikan sholat ashar. Ada banyak waktu luang sore ini, Runi berniat mencoba memasak untuk sang ayah.

“Masakan Yiba semalam mana, ya,” gumamnya sambil mencari di seluruh tempat yang ada di dapur dan ruang makan. “Tidak ada,” batin Runi sedikit bingung mengingat dengan jelas semalam Yiba memasak dan ia tidak memakannya. “Pagi ini aku ‘kan sarapan roti sama ayah,” gumamnya lagi.

Dapur menjadi berantakan dalam sekejap. Kelelahan tidak tahu harus apa yang dilakukan, Runi teringat hendak melihat resep di internet. Terkejut ternyata ponselnya mati entah sejak kapan, “Huff,” dengusnya kesal.

Menuju ruang tengah menggunakan telepon rumah untuk menghubungi Yiba. Dengan sabar menunggu panggilannya diangkat bahkan sampai berkali-kali, tetapi tidak ada satu pun yang mengangkat teleponnya.

“Sesibuk itukah acara pengajiannya, sampai-sampai tidak ada yang mendengar suara telepon,” batinnya sedih.

Terpaksa melanjutkan memasak apa yang sudah coba dibuat meski hasilnya sangat tidak memuaskan.

“Selesai juga!” seru Runi girang bertepuk tangan sendiri setelah berhasil menyelesaikan masakannya.

“Putri ayah sibuk di dapur rupanya. Pantas saja tidak mendengar salam ayah,” tegur Marwan mengejutkan Runi.

“Wa’alaikumussalam, Ayah. Lihat, aku masak untuk Ayah,” ucap Runi memeluk Marwan lalu menunjukkan masakannya.

Marwan menatap sekilas masakan Runi lalu berpindah pada ruangan dapur yang sangat berantakan.

“Luar biasa anak ayah,” sindirnya dibalas senyum malu Runi.

“Ayah mandi dulu sana. Aku beresin dapur lalu kita makan. Sudah lapar,” tutur Runi seraya mengusap perutnya.

Marwan tersenyum mengecup kening Runi lalu menuju kamarnya untuk bersih-bersih.

Runi bergegas membereskan kekacauan yang telah ia buat lalu menata meja makan.

“Tumben kamu mau makan sebelum maghrib, ada acara lagi setelah maghrib?” tanya Marwan saat sudah duduk di depan meja makan.

“Maghrib sampai isya aku mau ke masjid sama Yiba, seperti biasa. Ayah juga ikut, ya” jawab Runi sekaligus meminta dijawab dengan anggukan oleh Marwan.

“Ohya, Ayah lihat masakan Yiba semalam tidak?” tanya Runi penasaran.

“Ayah sudah yakin kalau itu Yiba yang masak. Karena enak, jadi ayah bawa untuk bekal makan siang,” jelas Marwan dibalas mulut membulat Runi.

“Apa Ayah tidak ingin meinkah lagi?” tanya Runi membuat Marwan tersedak. Buru-buru Runi mengambilkan minum untuk sang ayah. Menyadari jika tidak tepat mengatakan apa yang sudah sangat ingin ditayakan.

“Nanti malam aku harus dapat jawabannya,” batin Runi melanjutkan makan tanpa berkata lagi. Marwan pun menjadi diam sampai selesai makan.

“Kamu gelisah sekali, ada apa?” tanya Marwan memperhatikan Runi sesekali mondar mandir sambil melihat luar rumah dari jendela.

“Yiba bilang akan menjemputku sebelum magrib, tapi sudah hampir adzan belum juga datang,” jawab Runi gusar.

“Kenapa harus dijemput? Kita berangkat saja, nanti ketemu di masjid,”

Runi bergegas mengambil mukena lalu menggandeng tangan sang ayah menuju ke Masjid. Senyum dan tawa bahagia mengembang menikmati kebersamaan senja hari.

Di Masjid, Runi tidak melihat Yiba. Entah kenapa perasaannya menjadi khawatir, tetapi saat teringat mungkin Yiba masih sibuk dengan acara pengajian, ia sedikit tenang. Selepas isya Runi dan Marwan asyik bercengkerama sambil nonton televisi.

“Runi mau tidur sama ayah,” rengek Runi manja sambil bersandar pada Marwan. Tidak ingin melanjutkan pertanyaannya tentang Yiba, hanya ingin menikmati kebersamaannya bersama sang ayah.

“Kamu sudah pantas menikah masih minta tidur sama ayah,” goda Marwan menjawil pipi tembem Runi. “Dulu ayah sudah menikah diusia kamu ini,” ungkapnya.

“Ayah kenapa menikah muda, harusnya ‘kan umur dua puluh satu masih kuliah. Ayah pacaran, ya?” goda Runi padahal sudah tahu jika orang tuanya sama sekali tidak pernah pacaran.

Mereka dijodohkan karena sama-sama kuliah di luar kota dan kampusnya sama.

Tamu Tidak Di Undang

0 0

 Alasan yang masuk akal karena Hani dan Marwan sama-sama merantau untuk kuliah. Keluarga mereka saling kenal lalu menjodohkan supaya Marwan bisa menjaga Hani selama dalam perantauan hingga menyelesaikan kuliah.

Marwan menceritakan kisahnya demi menuntut ilmu dan harus berjuang mandiri bersama sang istri karena setahun kemudian Hani melahirkan Runi. Segala keperluan rumah tangga menjadi tanggung jawab Marwan sebagai kepala keluarga. Dia bekerja paruh waktu agar bisa menafkahi anak dan istrinya dari hasil keringat sendiri. Sementara Hani harus pandai membagi waktu antara kuliah dan mengurus Runi kecil.

“Kamu tahu kenapa namamu Karunia Hawa?” tanya Marwan di sela-sela bercerita. Runi menggeleng tidak tahu.

“Karena kamu adalah karunia terindah dalam hidup ayah dan ibumu. Hawa itu singkatan nama ibumu dan ayah,” jelas Marwan lembut.

Matanya memanas mengingat kisah bahagianya bersama Hani.

Runi sangat senang mendengar cerita kisah cinta orang tuanya. Kisah cinta halal yang tumbuh setelah sah menjadi suami istri.

“Ayah jangan menangis. Aku di sini, Yah,” hibur Runi seraya menyeka air yang hendak menetes di pipi Marwan.

Berpelukan penuh kasih antara ayah dan anak. Mengetahui kisah bahagia menikah tanpa berpacaran menjadikan Runi juga ingin seperti itu. Namun, kini ia sedang sedih karena menyadari telah jatuh cinta pada seorang laki-laki yang akan segera menjadi suami orang.

“Aku tidak secantik ibu ya, Yah,” keluh Runi dengan wajah murungnya. Menyadari hingga usia ke dua puluh satu tahun belum pernah ada satu pemuda pun melamarnya.

“Kamu sangat cantik meski tidak begitu mirip dengan Hani. Karena kamu duplikat ayah,” tutur Marwan penuh kasih.

Keduanya saling merangkul erat tidak ingin terpisahkan.

“Ayah ingin kamu segera menikah dengan pemuda yang baik dan bertanggung jawab,” ungkap Marwan penuh pengharapan.

“Aku tidak mau meninggalkan ayah sendiri. Kalau aku menikah, nanti ayah sama siapa?” Runi semakin erat memeluk Marwan.

“Tiga tahun kamu jauh dari ayah dan masih dua tahun lagi sampai kamu lulus kuliah. Ayah sudah terbiasa sendiri.”

“Usia ayah semakin tua, butuh orang yang harus selalu ada menjaga ayah.”

“Ayah masih kuat,” ucap Marwan seraya menunjukkan otot kedua lengannya.

Runi terkekeh melihat tingkah Marwan.

“Kalau nanti sudah tua tidak bisa mandiri, ayah bisa tinggal sama kamu, itu juga kalau suamimu mengijinkan.”

Runi berkaca-kaca mendengar ucapan Marwan. Ia tidak akan pernah tega meninggalkan ayahnya sendiri jika nanti sudah tua.

“Seharusnya ayah menikahkan kamu sebelum kuliah. Sayangnya ayah belum menemukan calon yang tepat untukmu.” Runi melotot mendengar ucapan sang ayah.

“Apa kamu mau ayah jodohkan?” goda Marwan sambil menjawil hidung putri tunggalnya.

“Ayah!” dengus Runi memukul bahu Marwan.

“Dada ayah sesak kalau kamu meluknya begitu,” ucap Marwan karena Runi memeluk dirinya sangat erat.

Runi tidak peduli dan semakin erat memeluk Mrwan hingga suara ketukan pintu sangat keras membuatnya melepas pelukan.

Runi dan Marwan saling bertatapan penuh tanya. Siapa yang malam-malam mengetuk pintu dengan keras terdengar jelas sangat tidak sopan. Marwan melangkah perlahan menuju pintu diikuti Runi dari belakang.

Begitu pintu dibuka, nampaklah siapa tamu tidak diundang yang datang tanpa mengucap salam.

Wajah Harun merah padam karena marah berdiri tegap tepat di depan pintu.

“Pak Harun,” sapa Marwan penuh hormat.

“Saya kira anda seoarang ayah yang baik. Anda menjaga kesetiaan dengan tidak pernah menikah lagi. Ternyata saya salah,” cerocos Harun tiba-tiba tanpa permisi menatap tajam membuat Marwan sangat terkejut.

“Apa yang sudah anda lakukan hingga putri saya berani menolak lamaran dari pemuda terbaik!” tuduh Harun semakin membuat Marwan kebingungan.

Runi tidak percaya ayah sahabatnya tiba-tiba datang langsung marah-marah pada ayahnya dengan tuduhan menyakitkan. Runi menggenggam tangan Marwan penuh ketakutan.

“Saya pikir anak kita bersahabat baik, dan seharusnya Anda menjaga sahabat anak Anda bukan malah merusaknya!” serang Harun bertubi-tubi dengan ucapannya yang membuat Marwan dan Runi hanya bisa melongo tidak mengerti sedikit pun.

“Apa maksud anda?” tanya Marwan bingung.

“Anda tidak usah pura-pura!” bentak Harun. Runi melonjak kaget sekaligus tidak terima dengan ucapan Harun.

“Ternyata selama ini Anda memanfaatkan persahabatan anak Anda dengan putri saya untuk melakukan perbuatan jahat,” lanjut Harun dengan segala prasangka buruknya.

Satu Panas Satu Dingin

0 0

Runi benar-benar tidak sanggup lagi menahan emosi melihat ayahnya dituduh macam-macam. Ia hendak maju menghadap pada Harun, tetapi dengan cepat dicegah Marwan dengan isyarat untuk diam.

“Silakan masuk, silakan duduk kita bicarakan semuanya baik-baik di dalam,” ajak Marwan penuh kesopanan.

Harun semakin memuncak melihat sikap Marwan yang menurutnya sedang berpura-pura baik.

“Tidak perlu!” tolak Harun dengan nada tinggi dan kasar.

“Tidak enak didengar tetang–,” ucapan Marwan belum selesai langsung dipotong Harun.

“Kalau tidak enak kenapa Anda melakukannya!”

Marwan masih tetap bersikap sopan pada Harun yang usinya tujuh tahun lebih tua darinya. Selain itu Harun merupakan orang cukup terpandang. Marwan tidak ingin menggunakan emosi apalagi otot menghadapi semua tuduhan itu.

“Saya sama sekali tidak mengerti dengan yang Bapak tuduhkan,” tutur Marwan tetap dengan suara rendah dan santun.

“Anda tidak malu di depan anak Anda? Seharusnya Anda berpikir dulu sebelum bertindak!” serang Harun masih berdiri tegak di depan pintu.

Runi menatap Harun tanpa rasa hormat lagi. Sangat heran dengan ucapan kasar keluar dari mulut laki-laki yang pernah menjadi guru ngajinya semasa kecil.

Para tetangga mulai berdatangan saat mendengar suara keributan. Mereka menyadari jika Harun sedang dalam kurungan setan karena membiarkann amarah menguasai, segera menenangkan. Namun, tidak berhasil karena Harun semakin keras berteriak memaki Marwan. Semua orang dibuat heran dengan sikap Harun yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Runi sudah mendengar penjelasan dari Yiba meski belum sepenuhnya percaya. Namun, ia yakin jika ayahnya memang tidak pernah melakukan apa pun pada sahabatnya. Ayah yang menjadi segalanya sedang dipermalukan di tengah malam seperti ini. Hati Runi sangat sakit. Kesabarannya sudah habis, tidak bisa diam dan tenang seperti Marwan. Tanpa ragu Runi melangkah maju di antara ayahnya dan Harun.

“Anda yang seharusnya berpikir sebelum bertindak! Tanyakan pada anak Anda kebenarannya. Bukan malah menyalahkan ayah saya!” berang Runi dengan mata melotot tanpa ada rasa takut sedikit pun.

Marwan dan Harun sama terkejutnya melihat sikap Runi. “Run! Ayah tidak pernah mengajarkan untuk berani pada orang tua, tidak sopan!” Marwan justru memarahi Runi.

Sementara Harun menjadi terdiam saat mendengar amarah Runi.

Runi sangat sedih karena ayahnya masih tetap menaruh hormat pada orang yang telah menuduh dengan seenak mulut. Mata mulai menangis berlari ke dalam untuk menelepon Yiba. Amarah juga telah menguasainya. Tanpa salam langsung mengatakan dengan lantang saat panggilannya tersambung. Hening dari seberang sana tidak ada yang menyahut, padahal jelas jika teleponnya tersambung.

“Halo, Yiba,” seru Runi memastikan Yiba mendengar suaranya. Mengambil napas dalam lalu mulai menjelaskan apa yang sedang terjadi di rumahnya. Lega bisa mendengar deru napas Yiba seperti sedang menangis, itu artinya ocehannya dari tadi didengarkan. Runi langsung mematikan sambungan telepon tidak peduli apakah sahabatnya mengerti.

Yiba menangis sejadi-jadinya, apa yang ditakutkan terjadi. Berlari keluar dan hendak segera ke rumah Runi, tetapi ternyata Fatimah masih ada di ruang tamu.

“Kamu mau ke mana, Nduk?”

Yiba hanya menunjukkan air mata tanpa menjawab.

Abdullah baru sampai dibuat bingung saat Yiba menariknya. Fatimah tidak mampu mencegah kedua anaknya keluar rumah dimalam begini.

“Ada apa?” tanya Abdullah menjadi panik tidak mengerti saat menjelang tengah malam diajak adiknya setengah berlari entah mau ke mana.

Yiba masih dengan sikap diam saat marah, sedih, yang tidak dimengerti Abdullah. Hanya terus menarik tangan kakak tertuanya itu semakin mendekati rumah Runi.

Lebih dari sepuluh orang berkerumun di depan rumah Marwan. Yiba dengan mata sembabnya menatap Abdullah, begitu pun yang ditatap membalas tidak kalah bingung.

“Runi,”

Marwan Syok

0 0

Sebuah nama meluncur dari mulut Abdullah membuat Yiba sedikit terkejut. Tatapan mata Abdullah juga sedikit berubah. Apa mungkin sebenarnya sang kakak juga menyukai Runi?

Yiba dan Abdullah mendekati kerumunan. Amarah Harun semakin memuncak melihat Yiba datang menyusulnya.

Runi tidak kalah kesal menatap tajam netra sembab Yiba.

Abdullah mendekati sang ayah mengetahui ada yang tidak beres. Beberapa warga menjelaskan sesuai yang mereka lihat.

“Ayah ada apa? Semua bisa dibicarakan baik-baik.” Abdullah merangkul tubuh Harun yang berdiri tidak tergoyahkan.

Sepertinya Harun benar-benar tidak bisa menerima penjelasan apa pun. Ia sama sekali tidak mau masuk ke dalam rumah Marwan.

Abdullah sebagai pihak Harun meminta agar hal ini mendapat kejelasan dan disepakati untuk langsung diadakan rapat di salah satu rumah warga.

Semua telah duduk melingkar berhadapan di salah satu rumah warga. Abdullah memegangi Harun berusaha meredam emosi sang ayah. Sementara Marwan terlihat sangat tenang duduk merangkul Runi.

Runi memeperhatikan wajah Yiba yang memerah di kedua pipi terlihat bekas tamparan.

“Pasti telah terjadi sesuatau anatara Yiba dan ayahnya,” pikir Runi.

Marwan sama sekali tidak melihat ke arah Yiba sedikit pun meski Yiba sesekali mencuri pandang pada ayah sahabatnya yang telah berhasil mencuri hatinya tanpa Marwan melakukan apa pun.

Semua dimintai keterangan satu per satu dan diberi kesempatan untuk menjelaskan dengan pikiran tenang. Hingga terungkap sesuatu yang sangat mencengangkan.

“Saya sudah lama memendam kekaguman pada pak Marwan. Saya sangat ingin menjadi istrinya,” ungkap Yiba lantang yang sukses membuat semua orang ternganga.

Bagaimana bisa putri seoarang yang cukup terpandang secara agama dan juga gadis sholehah pendiam seperti Yiba mengatakan hal seperti itu tanpa ragu.

Harun benar-benar dibuat malu seketika bangkit hendak menampar pipi mulus Yiba. Beruntung Abdullah dibantu warga berhasil mencegahnya.

Marwan terkejut, bingung dan heran bukan kepalang mendengar pernyataan Yiba. Tidak pernah terlintas sedikit pun perasaan pada sahabat anaknya sendiri. Bagi Marwan Yiba adalah sahabat Runi sudah seperti anak sendiri tidak mungkin menaruh perasaan. Kepada wanita dewasa saja tidak pernah memiliki rasa, apalagi pada gadis yang usianya seperuh darinya.

Runi mendapat jawaban dengan sangat jelas dari sikap sang ayah. Benar jika hanya Yiba yang menaruh hati, tetapi tidak dengan ayahnya.

Abdullah merangkul adiknya meminta penjelasan, tetapi sebuah kejutan besar yang ia dapatkan.

“Saya ingin semua orang tahu alasan saya menolak setiap lamaran yang datang. Saya hanya mencintai Pak Marwan dan tidak ingin menikah selain dengan beliau.”

Yiba mengatakan sambil berdiri seakan tengah melamar Marwan secara langsung.

Marwan yang paling syok mendengar penuturan Yiba. Badannya lemas seketika seperti sedang mengalami mimpi buruk. Bulir bening di matanya tumpah tanpa suara isak dari mulut. Apa yang selama ini sudah ia lakukan hingga mendapat malu luar biasa seperti ini.

Runi sedih melihat ayahnya sangat terpukul menjadi marah pada Yiba, tetapi ia juga tidak bisa menyalahkan perasaan sahabatnya. Cinta datang tanpa ada yang tahu untuk siapa, kenapa dan kapan.

Warga harus memegangi Harun lebih erat agar tidak lepas kendali. Yiba duduk tenang setelah mengeluarkan semua isi hatinya, meski kini ia telah kehilangan harga diri di depan semua orang. Abdullah marah, tetapi berusaha memahami sang adik terus menatapnya penuh kekhawatiran. Tidak ada yang menyangka jika cinta bisa membuat Yiba begitu berani mengungkapkan seakan tidak mengenal malu.

Isi Hati Marwan

0 0

Suasana hening diterpa angin dingin malam sedingin hati Marwan yang semakin membeku. Marwan harus menjelaskan semuanya agar tidak terjadi kesalah pahaman lebih panjang lagi. Namun, rasa syok masih membuat seluruh tubuhnya lemas, bahkan lidahnya seakan terkunci.

Tidak ada yang berani berkata-kata, bahkan kemarahan Harun hanya tertahan dalam hati menggumpal. Air bening keluar dar pelupuk mata lelaki yang terkenal tegas itu. Memiliki seorang putri yang menjadi idaman banyak lelaki sholeh, tetapi kenyataan sangat bertentangan. Harun menahan napas dalam-dalam sambil menatap tajam Marwan.

Runi menjadi serba salah harus apa, sedangkan suasana benar-benar sunyi. Perlahan memeluk sang ayah memberikan dukungan.

“Mungkin sebaiknya hal ini bisa dibicarakan esok lagi,” usul Abdullah yang sudah sangat ingin menginterogasi adiknya.

Marwan mengangkat punggungnya untuk duduk tegak sambil mengangkat tangan sebagai isyarat ingin enyampaikan sesuatu.

“Aku tidak mau ada kesalah pahaman berkepanjangan,” tuturnya.

Semua mata mengarah pada Marwan, kecuali Yiba yang tidak berani mengangkat wajahnya. Jantungnya bergegub hebat menantikan suara itu mengungkapkan apa isi hatinya. Tidak bisa digambarkan bagaimana perasaannya saat ini.

Runi tidak kalah gelisah mendengarkan saksama apa yang akan dikatakan ayahnya. Tangannya memegangi sang ayah lebih erat, seakan takut kehilangan.

“Seumur hidup saya hanya mencintai satu wanita sebagai belahan jiwa, yaitu ibunya Runi. Sampai kapan pun saya tidak akan pernah bisa mencintai orang lain lagi. Semoga kata-kata saya bisa dimengerti dan sudah jelas.”

Marwan memeluk Runi yang menatapnya dengan pancaran tidak bisa dimengerti.

Bagai petir menyambar saat kalimat dari mulut Marwan meluncur mulus. Tidak dapat diragukan lagi tentang kesetiaan Marwan pada mendiang Hani. Tidak ada yang bisa menggoyahkannya. Yiba lemas seketika seakan tidak ada tulang di tubuhnya. Menangis sangat malu dan sedih mendengar pernyataan Marwan. Merasa sangat hina telah mengungkapkan sebuah perasaan dengan penuh percaya diri yang berujung pada kekecewaan.

Entah apa yang merasuk dalam batin Runi justru membuatnya berubah mengasihani Yiba setelah mendengar penuturan Marwan. Sesama wanita tentu memahami bagaimana rasanya malu dan kecewa. Rasa kasihan itu membimbing kakinya mendekati Yiba lalu merangkulnya erat. Lebih pada kasih sayang seoarang sahabat ketimbang kasihan. Sekarang ia benar-benar yakin jika sahabatnya sangat tulus menyayangi ayahnya.

Yiba menyambut, menumpahkan semua air matanya dalam pelukan Runi. Membenamkan wajah seperti yang dilakukan Runi siang tadi. Selama ini Yiba yang selalu membuat Runi tenang, tetapi malam ini sebaliknya.

“Ijinkan aku bersama Yiba malam ini,” ucap Runi yang langsung ditolak Harun dengan beranngnya. Marwan juga tidak setuju, tetapi Runi memaksa.

“Bawa Yiba bersamamu dan jaga dia, Run. Soal ayahku kamu tidak usah khawatir,” ucap Abdullah memberi ijin penuh.

Semua menyepakati Yiba tidur di rumah Runi hanya berdua. Marwan menginap di rumah warga yang lain. Tiga rumah mendapat pengawasan dari warga malam ini. Rumah Marwan, Harun dan tempat Marwan menginap.

Harun terpaksa pulang membawa rasa marah, kecewa dan malu yang tidak tertahan. Abdullah begitu sabar membantu sang ayah agar bisa lebih tenang. Kedua tangan Harun mengepal keras siap meninju membuat Abdullah takut ibunya akan menjadi sasaran amukan malam ini.

Yiba memeluk Runi dengan tangisan yang tidak kunjung berhenti. Runi menjadi sosok dewasa berusaha keras menenangkan sahabatnya. Keduanya saling berpelukan tanpa berkata-kata.

Sungguh kejutan besar yang luar biasa di liburan Runi tahun ini. Niat hati menikmati kebersamaan dengan sang ayah dan sahabatnya, tetapi kejadiannya berbeda. Bersama dengan suasana sedih, canggung dan serba salah.

Canggung

0 0

Jam tiga pagi mata Runi sama sekali belum terlelap. Matanya mengamati Yiba yang telah terlelap di pangkuannya. Senyum tipis mengembang di bibirnya merasa konyol seakan sedang menjadi seorang kakak mampu menidurkan adik kecilnya. Tangan halusnya tidak berhenti membelai punggung Yiba rupanya membuat tenang.

Ponsel yang tidak ia gunakan semenjak di rumah seakan memanggil untuk dibuka. Setelah menunggu beberapa saat sampai ponsel aktif, Runi memicingkan mata melihat notifikasi beruntun. Meletakkan lagi setelah selesai memeriksa merasa sudah tidak dibutuhkan lagi.

Mencoba memejamkan mata meskipun satu jam lagi waktu subuh datang. Ponsel berbunyi membatalkan niatnya.

“Kak Abdullah!” seru Runi terkejut saat menerima panggilan dari nomor tidak dikenal.

Dia memang tidak pernah berkomunikasi dengan Abdullah memalui nomor pribadi selama kuliah di luar kota. Runi terkejut karena Abdullah memintanya untuk bertemu berdua besok pagi. Dia tidak mau jadi salah tingkah meski hanya akan membicarakan tentang Yiba dan ayahnya.

“Maaf, Kak, aku tidak bisa,” tolaknya mengakhiri panggilan.

“Masalah ini sebenarnya belum selesai, masih harus ada solusi,” batin Runi.

Menatap Yiba yang lelap membuatnya berpikir keras. Tidak mungkin sahabatnya itu akan melupakan rasa cinta pada ayahnya. Runi akhirnya sama sekali tidak tidur memikirkan apa yang akan terjadi hari esok hingga subuh menjelang.

“Yib! Bangun sudah subuh,” tutur Runi pelan seraya mengusap punggung sahabatnya itu.

Yiba membuka mata yang terasa sangat berat perlahan. Bibirnya mengembangkan senyum tipis menatap sahabatnya berdiri di sampingnya. Namun, ingatan yang semalam muncul dan membuatnya sangat tidak ingin membuka mata.

“Ayo sholat subuh dulu,” ajak Runi sembari mengambil mukena dan berjalan keluar kamar. Sengaja menunggu di ruang tamu agar Yiba bisa bersiap-siap dulu. Hingga kumandang adzan berakhir, Yiba tidak kunjung menyusul Runi. Bergegas Runi masuk ke dalam kamar dan benar dugaannya.

“Yib! Subuh, sholat dulu. Kalau kamu mau menagis, bolrh. Sepuasnya kamu boleh menangis nanti setelah sholat,” tutur Runi.

Yiba menghentikan tangisannya mendengarkan Runi yang berubah lebih dewasa dalam sekejap. “Maafkan aku,” ucapnya pelan seraya bangkit dari ranjang.

“Cuci muka sana. Aku tunggu di ruang tamu,” tutur Runi kembali meninggalkan Yiba sendiri di kamar.

Yiba menatap punggung Runi hingga menghilang di balik pintu. Hatinya begitu pilu menyadari jika sahabatnya tidak berubah sedikit pun, tetapi tidak ada pengaruhnya juga karena Marwan sudah memberikan keputusan. Harapan Yiba sudah musnah, sekarang semuanya tidak akan pernah sama lagi.

Yiba dan Runi sama-sama diam berjalan menuju Masjid. Dinginnya udara pagi begitu menusuk terlebih di musim kemarau seperti sekarang ini. Pandangan keduanya mengarah pada objek yang sama.

“Ayah!” seru Runi ingin menghampiri sang ayah. Namun, Yiba berlari segera masuk ke dalam masjid membuatnya mengejar sahabatnya itu. Runi sangat paham jika saat ini Yiba tidak ingin bertemu Marwan.

“Ayahku harus berangkat kerja pagi ini. Aku antar kamu pulang, ya,” tuturnya lembut.

Tiada rumah bagi Yiba saat ini. Rumah Runi bukanlah rumahnya. Rumah orang tuanya juga akan terasa sangat menyesakkan tidak mungkin saat ini pulang ke sana. Harun pasti akan membuatnya lebih berduka.

“Yib! Ayo pulang. Ibu khawatir,” ucap Abdullah mengagetkan Runi dan Yiba yang tengah sibuk dengan pikirannya masing-masing.

“Terima kasih sudah menjaga adikku, Run,” ucap Abdullah pada Runi yang dibalas senyum sekilas dari bibir Runi.

Yiba terpaksa mengikuti kakaknya pergi meninggalkan Runi sendiri di Masjid.

“Aku pulang, Run,” kata Yiba berpamitan pada sahabatnya.

Runi hanya mengangguk sambil tersenyum. Sekarang ia pulang sendiri berharap sang ayah sudah ada di rumah.

“Run!” sapa seseorang yang sudah tidak begitu diingat Runi. Ia tampak bingung menatap lelaki tinggi yang terlihat tampan mengenakan pakaian taqwa berdiri di sampingnya setelah berhasil menyusul langkahnya.

“Kamu kok tega si sama aku. Mentang-mentang kuliah di kota jadi lupa sama sahabat kecil,” tutur lelaki itu yang semakin membuat Runi melongo bingung.

Bertemu Teman Kecil

0 0

“Si...,” ucap Runi lama sambil terus berpikir, tetapi tidak mampu mengingat. Sedari kecil hanya akrab dengan Yiba membuatnya kesulitan mengingat teman yang tidak terlalu dekat.

“Eh, Nak Bagus,” sapa Marwan dari arah belakang justru membuat Rui terkejut.

“Ayaah!” Runi berlari memeluk Marwan padahal hanya berapa langkah di belakang.

Lelaki lebih tepatnya pemuda tampan itu segera menghampiri Marwan menjabat tangan dengan khidmat. “Iya, Pak,” jawabnya.

Runi masih memeluk Marwan dengan manjanya tidak peduli akan orang lain yang mungkin tidak suka melihat karakternya begitu. Matanya kini mencoba menatap lekat pemuda itu sekilas, karena tidak baik menatap lawan jenis yang bukan muhrim berlama-lama. Sebenarnya dalam ajaran agama, sebentar saja pun tidak boleh. Namun, tidak mungkin kalau tidak melihat karena tidak akan tahu siapa orang yang tengah berbincang dengan kita.

“Pak Marwan apa kabar? Masih tampan saja. Saya jadi minder,” ucap Bagus dengan sedkit basa-basi, tetapi membuat Runi kembali menatapnya dengan perasaan aneh.

“Kamu bisa saja,” Timpal Marwan. “Kamu baru pulang dari luar negeri?” tanya Marwan lagi.

“Saya tidak betah di sana, Pak. Takut Runi di ambil orang,” jawab Bagus mengangguk sedikit menyunggingkan senyum malu. Namun, jawabannya membuat Runi tercengang sekaligus merubah wajah gadis yang sudah berkurang tomboinya itu menjadi manyun.

“Ish! Apa-apaan ini orang, kenal juga tidak, tapi asal ngomong,” batin Runi kesal.

“Tidak baik bicara di jalan. Mampir ke rumah saja kalau kamu ada waktu,” pinta Marwan yang langsung disambut semangat empat lima oleh Bagus.

“Setiap saat saya selalu ada waktu untuk Ru–ni,” sahut Bagus sedikit terbata menyebut nama Runi karena gadis yang tengah disebut menatapnya tajam.

Marwan mengajak Bagus ke rumah tanpa bertanya dulu pada Runi. Dua lelaki itu tampak begitu akrab dengan obrolan mereka yang menambah kebingungan Runi.

“Silahkan diminum,” ucap Runi saat menyuguhkan kopi panas pada Marwan dan Bagus.

“Duduk sini, Run. Temani Bagus ngobrol, ayah mau ke dalam sebentar,” pinta Marwan seraya berdiri dan masuk ke dalam rumah.

Runi tidak paham dengan sikap ayahnya yang terlihat berbeda hari ini. Tentu saja tidak mungkin sama setelah kejadian luar biasa yang begitu mengguncang dunia semalam. Namun, berbeda karena baru pertama mengundang pemuda yang bertemu di jalan untuk bertamu ke rumah. “Ayah terlihat bahagia saat melihat lelaki ini, tidak terlihat sedih seperti semalam. Aku harus selidiki lelaki ini,” batinnya sambil melirik Bagus sekilas lalu duduk di kursi berdampingan, tetapi terhalang meja.

“Run, sudah sangat lama sejak aku tidak pernah ke rumah ini. Semua masih sama, bahkan ayahmu masih muda dan tampan,” ucap Bagus sembari matanya berkeliling di teras rumah Marwan. “Tetapi kamu beda, Run. Kamu tidak ingat aku,” keluhya kesal menjadi sedikit lesu.

Runi benar-benar tidak ingat pernah berteman dekat dengan lelaki saat dulu.

“Nama kamu Bagus,” ucapnya yang langsung membuat si pemilik nama tersenyum manis sambil mengangguk seperti anak kecil dan membuat Runi justru merasa semakin aneh.

“Kita memang tidak terlalu dekat. Karena kamu. Kamu hanya mau main sama sahabatmu yang anak guru ngaji itu. Setiap aku ke sini pasti selalu dicuekin,” gerutu Bagus sembari sedikit membuang wajah.

Seketika Runi tertawa mendengar penuturan Bagus karena sudah dapat mengingat kejadian sekitar tujuh tahun lalu. “Kamu anaknya budhe yang rumahnya di dekat gunung itu,” ucapnya dengan suara semangat.

"Akhirnya kamu ingat juga dengan calon suamimu ini,” gumam Bagus yang terdengar jelas di telinga Runi.

“Apa!” Mata Runi melotot meminta penjelasan.

“Run, sebenarnya sudah lama aku ingin mengatakan ini, tapi aku takut karena kamu sangat cuek.” Bagus membungkukkan badan ke samping menatap lekat netra Runi.

Kejutan Pagi

0 0

Runi merasa risih sekaligus malu ditatap seperti itu. Salah tingkah bukan karena ada perasaan, tetapi canggung ngobrol berdua dengan lelaki meski belum ada rasa.

“Bersediakah kamu menjadi istriku, Run. Semua keluargaku sudah setuju jika aku melamar kamu. Itu kenapa mereka tidak melarangku saat memutuskan mengambil cuti kuliah untuk meminang kamu. Aku akan mengajak kamu turut serta ke luar negeri setelah kita menikah nanti. Jadi orang tuaku tidak akan khawatir dengan pergaulanku,” tutur Bagus panjang tanpa ada jeda waktu.

Runi merasakan seperti yang dirasakan Marwan semalam, syok. Entah petir dari mana yang pagi-pagi sudah bertamu, tetapi bukan petir namanya karena yang diucapkan adalah kata-kata baik. Hanya saja begitu cepat serta dari orang yang entah munculnya dari mana. Runi hanya bisa teridam seperti kaku tidak mampu bergerak apalagi menjawab. Harus bahagiakah sekarang atau sebaliknya.

“Sekalian sarapan di sini, ya, Nak Bagus,” pinta Marwan yang tiba-tiba sudah ada di samping Runi.

Runi berlari masuk ke dalam dengan sisa tenaganya. Rasanya seluruh persendian lemas dan dadanya bergemuruh entah apa itu yang begitu besar menekan jantungnya.

Menatap wajah di cermin setelah berulang kali membasuh wajah hingga rasa dingin menemus ke dalam tulang wajah. Memiringkan ke kanan, ke kiri berulang kali lalu menatap lekat gambar diri, memperhatikan baik-baik hingga tangannya menyentuh dada.

“Kenapa aku jadi baper? Padahal si Bagus itu pasti bercanda. Mana ada lelaki yang suka dengan perempuan yang jauh lebih tua,” gumam Runi.

Maksud hati hendak berbaring dan memejamkan mata untuk berpikir tentang yang terjadi barusan. Kejadian semalam saja belum membuat batinnya tenang, sekarang ditambah sebuah ucapan lamaran yang seakan mustahil. Runi yang tidak tidur semalaman akhirnya terlelap hingga ke alam mimpi.

“Run!”

Suara ketukan pintu serta panggilan Marwan berulang kali dari luar kamar mengejutkan Runi. Matanya tersa perih karena baru terlelap beberapa saat sudah harus bangun lagi.

“Kamu tidur?” tanya Marwan setelah Runi membuka pintu. Biasanya ia tidak pernah mengunci pintu, karena terlalu gugup membuat Runi seakan sedang bersembunyi di kamar.

“Semalan aku tidak tidur, Yah,” jawab Runi dengan badan gemetar serta wajah lesu.

“Bagus sudah pulang. Dia nitip ini untuk kamu, tapi katanya jangan dibuka sampai dia ke sini lagi.”

Marwan memberikan sebuah kotak kecil pada Runi.

Runi merasa sangat lemas karena tidak tidur semalam hingga langsung masuk lagi ke kamar dan berbaring. Kotak itu ia taruh saja sembarang di atas kasur.

“Ayah berangkat kerja dulu, jangan ke mana-mana hari ini,” tutur Marwan seraya mengecup kening Runi lalu meninggalkan gadis itu yang sudah tidak kuat menahan kantuk.

“Sebaiknya mandi lalu sarapan. Tidak bagus tidur di pagi hari” nasehat Marwan sebelum menutup pintu.

Runi teringat juga nasehat Yiba yang seperti itu. “Aku tidak mau jodohku datang telat jika aku tidur di pagi hari,” gumamnya bergegas bangkit meski mata meminta jatahnya untuk terpejam.

Yiba sering menakut-nakuti agar Runi tidak tidur selepas subuh dengan sedikit berbohong. “Jodohmu menjauh kalau habis subuh tidur lagi.”

Kata-kata itu rupanya mampu membuat Runi untuk tidak pernah tidur selepas subuh.

Runi duduk sendiri di ruang makan. Hidungnya mencium aroma wangi seperti Bagus. “Pasti tadi dia masuk dan sarapan sama ayah,” gumamnya. Baru kali ini ia sarapan sendiri di rumah berjuta cinta itu.

Hari ini Runi tidak tahu harus melakukan apa sendiri di rumah. Ia tidak bernai ke rumah Yiba meski sangat ingin tahu bagaimana kondisi sahabatnya itu. Kondisi batin lebih tepatnya. Sangat khawatir jika Yiba mendapat tekanan dari Harun yang tegas itu.

Kebingungan Runi

0 0

“Halo,” sapa Runi saat sambungan teleponnya diangkat seseorang.

Di seberang sana terdengar suara gaduh dan ramai. Runi menerka-nerka jika itu pasti keributan karena masalah semalam.

“Yiba, ini aku Runi,” ucap Runi lagi saat sang lawan bicara tidak kunjung membalas sapaannya.

“Kak Yiba sedang sibuk. Telepon nanti lagi.”

“Ilham?” tanya Runi saat mendengar suara adik kecil Yiba.

“Ilham masuk ke dalam!”

Setelah terdengar teriakan seseorang menyuruh Ilham, telepon terputus. Runi menjadi semakin khawatir. Menghubungi Marwan terlebih dulu untuk meminta ijin, tetapi tidak teleponnya tidak mendapat jawaban.

“Pasti ayah sangat sibuk,” gumam Runi seraya bangkit hendak ke rumah Yiba meski belum meminta ijin. Langkah Runi terhenti ketika melihat kehebohan di depan pagar rumah. Beberapa orang tengah sibuk menurunkan hiasan bunga-bunga serta seperangkat kursi pajangan pengantin sederhana.

“Run, tolong buka pagarnya,” ucap salah seorang yang wajahnya masih diingat Runi.

“Kak Amir,” sapa Runi pada pemuda yang masih kakak sepupunya itu. “Ini ada apa?” tanyanya bingung.

“Sudah buka saja!” printah Amir. Ketika pintu telah dibuka, beberapa orang langsung membawa perabotan itu masuk. Runi hanya bisa memandangi mereka bolak-balik sambil melongo.

“Kak Amir, ini apa?” desak Runi.

Dari semua perabotan yang sudah berjejer di garasi, jelas itu adalah untuk sebuah pernikahan sederhana. Namun, untuk siapa? Apakah Marwan akan menikahi Yiba? Jelas mustahil. Runi memegangi kepalanya pusing melihat semua itu, terlebih saat Amir meminta untuk masuk ke dalam rumah beserta para lelaki yang membawa perabotan itu.

“Ayah tidak di rumah. Kalian dilarang masuk!” sergah Runi sembari menghalangi pintu.

“Ayahmu memberikan perwakilan tanggung jawab padaku. Jadi kamu tidak usah khawatir, kita masih termasuk mahram karena aku sepupumu,” jelas Amir.

“Ayah menyuruh kak Amir melakukan semua ini?” tanya Runi benar-benar kebingungan.

“Iya, Run. Sudah kamu masuk saja ke dalam dan istirahat. Siap-siap untuk nanti sore,” Belum juga terjawab, sudah ada lagi yang menambah panik pikiran Runi.

“Budhe Marni.” Runi segera meraih dan mengecup tangan budhe Marni penuh hormat.

“Budhe, apa ayah akan,”

“Sudah masuk saja dulu, budhe mau kasih sesuatu buat kamu. Kamu pulang kok belum mampir ke rumah budhe.”

Runi mengikuti langkah budhe Marni ke ruang tengah, sementara Amir dan timnya tengah sibuk mendekorasi ruang tamu.

“Maaf, Budhe, belum sempet main,” ucap Runi sedikit merasa malu. Ia terlalu sibuk dengan Yiba hingga lupa pada yang lain.

“Hari ini pokoknya kamu memanjakan diri saja. Budhe sudah membawa tukang rias yang paling baik untuk kamu.”

“Budhe, sebenarnya saya tidak mengerti ini semua untuk apa?” desak Runi sedikit kesal.

“Nanti kamu akan tahu sendiri,” jawab Budhe Marni semakin menimbulkan tanda tanya.

“Apakah ayah akan menikah lagi? Tapi jelas-jelas tadi malam menolak cinta Yiba. Tidak mungkin ayah berubah pikiran secepat itu.”

Kejutan apa lagi ini di saat liburan Runi. Rupanya semua sudah direncanakan dengan matang hingga Runi sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk bertanya. Hampir semua saudara sepupu baik dari Marwan maupun almarhumah Hani, hadir di rumah Runi saat ini. Mereka benar-benar membuat Runi sibuk melakukan kegiatan permainan dan lain-lain hingga lupa akan segala kegundahannya.

“Kamu terlihat lelah, tidurlah. Nanti ashar, budhe bangunkan kamu,” tutur budhe Marni setelah selesai sholat dzuhur di rumah.

Runi memang sangat kelaelahan karena semalaman tidak tidur. Pasrah menghadapi apa yang akan terjadi nanti sore. Mengisi tenaga supaya kuat menghadapi kenyataan. Padahal sangat sedih melihat penderitaan Yiba semalam, tetapi jika benar ayahnya akan menikahi sahabatnya secepat ini maka ia sangat tidak terima.

Lamaran Untuk Runi

0 0

Runi tertidur pulas tidak lagi memikirkan apa pun sampai terasa sebuah guncangan dari seseorang.

“Capek sekali kelihatannya anak ayah.” Marwan sudah duduk di tepi ranjang dengan senyum lebar yang semakin menambah ketampanan pria yang masih muda itu.

“A–ayah. Sudah malam ya, Yah?” tanya Runi gelagapan. Segera bangkit lalu duduk menyandar pada Marwan.

“Masih siang, sebentar lagi ashar,” jawab Marwan seraya membelai rambut Runi. “Anak ayah sudah besar. Sebentar lagi kita akan jauh,” gumam Marwan yang langsung didengar Runi.

Runi mendongak dengan sorot mata tajam pada Marwan. Teringat jika orang-orang tengah sibuk mendekorasi ruang tamu.

“Ayah akan menikah dengan Yiba?” tanyanya.

Marwan terkekeh memeluk Runi dan menciuminya seperti saat masih bayi.

“Ayah sudah terlanjur bahagia hidup sendiri,” ujarnya.

“Run! Cepat mandi. Ba’da ashar keluarga Bagus akan datang kemari.” Ucapan budhe Marni membuat Runi ternganga. Ia menatap sang ayah penuh tanya.

“Cepat! Ayah juga akan bersiap."

Runi seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Meski belum sepenuhnya paham, tetapi ia melakukan apa yang disuruh. Selesai mandi dan sholat ashar, wajah Runi sudah mulai dipoles oleh tukang rias. Tidak butuh waktu lama karena ia tidak menginginkan riasan berlebih.

“Pakai gamisnya yang ini. Bagus sendiri yang membelikan untuk kamu,” tutur budhe Marni lagi membuat Runi terkejut. Apakah pemuda yang usianya dua tahun lebih muda darinya itu akan melamarnya atau apa. Pikiran Runi seketika buntu. Ia hanya diam saja mengikuti semua ucapan budhe Marni.

Tepat jam setengah empat sore Bagus beserta keluarga besarnya sudah tiba di rumah Runi. Runi semakin tercengang mengingat jarak rumahnya dari rumah Bagus yang di daerah pegunungan itu memakan waktu hampir tiga jam perjalanan. Runi hanya diam saja seperti boneka pajangan, sementara Bagus tersenyum manis serta berbincang dengan kerabat sebelum acara dimulai.

Acara demi acara berlangsung khidmat hingga Runi kaget saat Bagus mengucapkan hal yang mengejutkan.

“Run, jika kamu menerima cinta dan lamaranku, bawalah kotak yang tadi pagi aku titipkan melaui ayahmu, kemari,” ucap Bagus lantang tetapi lembut pada Runi di depan semua orang.

Runi tidak tahu bagaimana perasaan hatinya sebenarnya saat ini. Ia hanya melihat raut wajah bahagia Marwan yang selalu tersenyum.

Perlahan menuju kamar dan mencari sebuah kotak yang ia taruh begitu saja. Pikirannya saat ini hanyalah agar bisa menemukan kotak yang belum ia ketahui isinya itu.

“Itu artinya kamu menerima cinta dan lamaranku, Run?” tanya Bagus saat melihat Runi keluar dengan membawa kotak pemberiannya. Runi menyerahkan kotak itu yang langsung dibuka Bagus. Bagus memasangkan cincin di jari manis Runi tanpa penolakan. Dalam hati Runi hanya tidak ingin menghapus senyum di wajah ayahnya saat ini. Ia juga memasangkan cincin di jari manis Bagus setelahnya. Semua bertepuk tangan gembira. Keluarga besar Runi hadir di rumah itu sore ini. Keluarga besar Runi juga sebagian adalah keluarga besar Bagus karena kakek dan nenek keduanya masih kakak adik.

“Terima kasih sudah menerima cinta dan lamaranku, Run,” ucap Bagus dengan senyum sangat manis serta mata yang mulai berkaca-kaca karena bahagia.

Tidak sia-sia rencana yang telah disusun keluarga besarnya beserta keluarga besar Runi. Marwan hanya menyetujui saja jika Runi juga setuju.

“Seminggu lagi kita menikah ya, Run. Karena aku tidak lama ambil cuti, hanya dua bulan. Dan aku sudah mengurus semuanya untuk keperluan kita ke luar negeri. Aku akan melanjutkan kuliah serta kerja di sana dan kamu juga bisa kuliah di sana.”

Ucapan Bagus sukses membuat Runi tersadar. Mana mungkin ia menikah secepat itu. Tidak mungkin tiba-tiba pindah tempat kuliah apalagi meninggalkan Marwan sendiri.

“Aku tidak bisa,” tolak Runi pelan.

Bagus Lagi

0 0

Bagus tidak menghiraukan penolakan Runi. Ia menyelesaikan semua acara demi acara dengan baik hingga pulang kembali ke rumahnya.

Malam ini Runi kembali hanya berdua dengan Marwan setelah semuanya selesai dibereskan.

“Ayah kenapa tidak bilang kalau Bagus mau melamarku,” keluh Runi dengan wajah cemberutnya.

“Ayah minta maaf, Run. Tapi ayah yakin jika memang Bagus itu tulus dan cocok untukmu.”

“Sejak kapan ayah menyembunyikan semua ini?”

“Sejak setahun lalu sebelum keberangkatan Bagus untuk kuliah di luar negeri karena mendapat beasiswa.”

“Dia itu lebih muda dua tahun dariku, Yah!” keluh Runi.

“Usia bukan patokan, Run. Ayah yakin kamu akan bahagia sama Bagus.”

“Kemarin ayah bilang belum punya calon yang tepat untukku,”

“Itu karena ayah ingin tahu kamu sudah ada calon sendiri atau belum,”

“Jadi sejak kapan si Bagus itu merencanakan untuk kejutan hari ini?”

“Sejak dia pulang ke Indonesia kurang lebih dua minggu lalu.”

Runi menghempaskan kasar tubuhnya ke kasur. “Aku tidak mau menikah dengan Bagus secepat ini, Ayah. Semua serba terburu-buru, tidak baik,” ungkapnya.

“Tidak ada yang terburu-buru. Semua sudah lama dipersiapakan keluarga besar Bagus dan keluarga besar kita. Hanya tinggal menyatukan kalian berdua saja,” jelas Marwan.

“Oooo! Bagus sekali ya, Yah. Diam-diam menyembunyikan rahasia besar!” dengus Runi kesal.

Ia merasa telah dibohong mentah-mentah. Matanya memandangi cincin indah yang melingkar di jari manisnya. Hatinya baru menyadari jika telah jatuh cinta pada Abdullah, lalu kini ia menerima lamaran dari pemuda yang ia anggap sebagai anak kecil dulunya.

“Apa kabar Yiba? Aku sangat jahat karena melangsungkan acara bahagia tanpa memberi tahunya, apalagi mengundangnya. Dia pasti sangat terluka,” gumam Runi.

Runi beranjak ingin menelepon Yiba untuk menceritakan semua yang terjadi hari ini. Ponsel Yiba sama sekali tidak bisa dihubungi masih sama seperti tadi pagi.

“Kak Yiba tidak ada di rumah.”

Runi tidak bisa bertanya karena Ilham langsung mematikan sambungan telepon setelah mengucapkan kalimat yang membuat dada Runi sesak.

“Besok pokoknya ayah harus mengijinkan aku ke rumah Yiba,” rengek Runi.

“Iya, tapi sama Bagus. Besok dia akan ke sini sekalian membicarakan persiapan pernikahan,”

“Katanya semua sudah diurus sama keluarga besar,” sindir Runi dengan sinis.

“Masa iya calon pengantin tidak mau membicarakan masalah berdua. Apalagi kalian akan ke luar negeri setelah menikah,” sahut Marwan santai.

“Aku tidak akan pernah meninggalkan ayah sendiri!” sungut Runi sambil berdiri.

“Bicarakan besok sama Bagus.” Marwan beranjak memeluk Runi lalu keluar hendak menuju kamarnya sendiri untuk istirahat. Runi memilih tidur cepat agar besok bisa segera bertemu Yiba.

Runi kembali terkejut pagi ini saat sholat subuh di Masjid. Bagus ternyata sholat di sana dan mengiringi langkah Runi saat hendak pulang. Meski Marwan juga bersama mereka, tetapi Runi tetap saja merasa risih dan juga heran.

“Aku menginap di rumah budhe Marni demi kamu, Run,” tutur Bagus tanpa Runi bertanya dan memang menjawab pertanyaan batin Runi.

“Pokoknya hari ini kita akan bicarakan semua tentang kita berdua supaya tidak ada kesalah pahaman saat sudah menikah nanti,” tutur Bagus penuh semangat.

“Tentu saja,” sahut Runi. Sudah menyiapkan semua yang hendak ditanyakan serta kemungkinan terbesarnya ialah berubah untuk menolak pernikahan meski pasti akan terjadi prahara jika seperti itu.

“Antarkan aku untuk ketemu Yiba, baru setelah itu kita bicara panjang lebar,” pinta Runi yang langsung disetujui Bagus.

“Runi,” sapa Abdullah saat membukakan pintu untuk Runi dan Bagus.

“Aku mau ketemu Yiba, Kak,” tutur Runi.

“Yiba tidak di rumah, Run. Ayahku mengungsikannya ke rumah saudara kami yang di luar kota,” jelas Abdullah.

Bertemu Yiba

0 0

Runi lemas seketika. Tiada lagi rasa bahagia dalam hatinya. Belum mampu sepenuhnya menerima lamaran Bagus dan kini sahabatnya jauh darinya.

“Selamat, ya, Run. Aku sudah dengar kalau kamu sudah bertunangan. Aku akan sampaikan pada Yiba jika aku mengunjunginya nanti. Dan aku harap kamu jangan datang menemuinya. Karena ayahku tidak mengijinkan orang lain mengunjunginya di sana.”

Runi tidak bisa berkata-kata lagi. Ia segera berpamitan dengan kesedihan mendalam. Sangat kecewa setelah mendengar ucapan Abdullah. Bagi Runi, Yiba bukanlah orang lain, tetapi mungkin anggapan keluarga sahabatnya itu berbeda. Mungkin karena pernyataan Marwan kemarin malam yang telah begitu jelas menolak perasaan Yiba.

“Run, kita mau ke mana lagi?” tanya Bagus yang merasa sangat tidak nyaman karena Runi hanya diam saja.

“Kita bartal nikah.” Runi berjalan cepat tanpa menoleh sedikit pun pada Bagus.

“Run! Salahku apa?” Bagus gegas mengejar Runi.

“Kalian cepat sekali pulangnya,” tanya Marwan saat melihat Runi dan Bagus kembali.

“Kami tidak bertemu Yiba, Pak,” jawab Bagus lalu duduk menemani Marwan di teras sementara Runi langsung berlari masuk ke dalam kamar.

Runi sangat ingin menangis, tetapi tidak bisa mengeluarkan satu bulir pun dari matanya. Hanya ada rasa sakit di dalam hati. Sangat sedih dan tidak tahu harus apa mendapati kenyataan Yiba sampai diungsikan karena perasaan cinta tiada dosa telah diketahui semua orang. Apakah salah mencintai seseorang? Tentu tidak.

“Run. Ayah mau dengar langsung semuanya dari kamu.”

Runi terkejut melihat mimik muka ayahnya begitu serius tengah berdiri di ambang pintu. Pasti si Bagus sudah mengadukan semua yang Runi katakan.

“Kenapa kalian begitu yakin jika aku akan menerima perjodohan ini?” dengus Runi setelah duduk di ruang tamu menghadap pada Bagus dan Marwan.

“Karena ayah yakin, kamu tidak akan pernah membantah Ayah.”

“Aku akan menikah jika Yiba menemaniku.”

Marwan dan Bagus saling beradu pandang. Setelah mendengar penjelasan dari Bagus tentang Yiba, Marwan mendadak merasa lemas. Tentu akan sulit mengabulkan keinginan Runi karena sifat keras Harun tidak akan bisa dibantah.

“Aku akan mendapatkan ijin agar Yiba bisa hadir di pernikahan kita, Run.” Bagus gegas berpamitan pada Marwan untuk membuktikan ucapannya. Runi hanya melongo menatap lelaki yang tidak pernah terlintas dalam bayangan sekali pun akan menjadi suaminya.

Tiga hari sebelum acara pernikahan digelar, Bagus mengajak Runi untuk menemui Yiba di luar kota. Meski seluruh keluarga besar tidak ada yang menyetujui karena alasan tidak baik untuk calon mempelai bepergian sementara hari pernikahan sebentar lagi, tetapi Bagus mampu meyakinkan mereka.

“Jangan pernah menganggap aku anak kecil karena usiaku lebih muda darimu, Run. Aku akan buktikan bahwa aku bisa menjadi lelaki yang bertanggung jawab seperti ayahmu.”

Runi percaya sekarang jika usia bukan jaminan untuk menentukan kedewasaan seseorang. Pantas saja sang ayah tidak meminta pendapat untuk menjodohkan. Runi merasa usianya jauh dibawah Bagus dari sikap dewasa dan tanggung jawab yang dilakukan pemuda itu.

Runi sudah lelah setelah menempuh perjalanan hampir empat jam dan kini harus menunggu lagi untuk bisa bertemu Yiba. Begitu syok melihat kondisi Yiba yang baru empat hari tidak bertemu.

“Yiba, sakit, Run.”

Ucapan budhenya Yiba menambah kesedihan Runi melihat mimik muka sahabatnya tidak ada lagi binar bahagia di sana. Budhenya Yiba menjelaskan bagaimana tekanan yang dialami keponakannya dari Harun. Runi meminta agar bisa membawa Yiba pulang bersamanya. Bagus harus memutar otak untuk bisa mewujudkan keinginan calon istri dengan cara yang baik.

“Run. Aku tidak mau merusak kebahagianmu karena keadaanku,” lirih Yiba pada Runi yang terus memintanya ikut pulang.

“Aku yang akan membawa ayah kemari untuk menikahimu. Dan ayahmu harus menyetujuinya,” tekad Runi membuat semuanya kaget.

Bagus terpaksa menuruti rencana Runi yang terlalu beresiko itu.

“Aku akan mengusahakan.” Senyum mengembang di wajah Bagus memberikan kebahagiaan untuk Runi.

Antara Bahagia dan Sedih

0 0

“Apa yang membuat kamu berubah seperti ini, Run?” tanya Marwan dengan nada suara sedikit kesal.

Bagaimana tidak merasa sangat kesal dan kecewa hingga sedih berlebihan, Runi yang baru pulang dari mengunjungi Yiba, tiba-tiba mengajukan permintaan tidak masuk akal.

“Karena aku sangat mencintai ayah dan juga Yiba.” Runi mengatakan tanpa ekspresi.

“Jika kamu benar-benar mencintai ayah, seharusnya kamu tidak pernah mengatakan hal yang menyakitkan seperti itu.” Marwan gegas masuk ke dalam kamar tanpa mengatakan apa pun lagi. Tergambar jelas kesedihan mendalam dari wajah pria yang setia menduda itu.

“Run, seharusnya kamu tidak mengatakan hal itu pada ayahmu. Kamu sudah tahu bagaimana perasaan ayahmu, sama saja kamu menyakitinya dengan meminta hal yang mustahil,” ucap Bagus sambil duduk mendekat pada Runi.

Runi tersulut emosi mendengar ucapan Bagus yang memang benar, tetapi salah menurut Runi.

“Kamu pikir aku tidak terluka dengan pernikahan kita yang tiba-tiba?”

Bagus terdiam menyadari jika mungkin Runi memang tidak mencintainya.

“Baiklah jika itu yang bisa membuatmu bahagia. Aku akan membatalkan pernikahan kita dan menganggap semuanya tidak pernah terjadi. Lebih penting memikirkan kebahagiaanmu, Run, daripada kebahagiaanku. Jika kamu bahagia dengan tidak menjadi istriku, maka aku akan mewujudkan kebahagiaanmu.”

Bagus beranjak keluar dari rumah Runi.

Runi tidak mengerti jika ucapan ceplas-ceposnya justru telah menyakiti hati orang lain. Sekarang bukan hanya Marwan yang terluka dengan permohonannya, tetapi Bagus juga kecewa dengan sikapnya. Meski Runi belum tahu apakah akan bisa mencintai Bagus atau tidak, tetapi jika sang ayah merestui artinya banyak doa di sana.

“Mas Bagus tunggu!” Runi segera mengejar Bagus yang sudah hampir berjalan keluar pagar.

“Mas?” tanya Bagus heran dengan panggilan yang baru saja dilontarkan Runi.

“Aku minta maaf,” ucap Runi sambil menunduk malu.

“Tidak baik bicara di luar.”

Runi berjalan masuk yang diikuti Bagus dari belakang.

“Aku mohon maafkan aku dan jangan batalkan pernikahan ini. Aku akan berusaha menjadi istri yang baik, Mas,” ucap Runi sedikit tercekat mengubah panggilan dengan sangat tiba-tiba.

Bagus tersenyum menatap gadis yang sudah sangat didambakan bahkan semenjak masih SMP.

“Aku akan menjadi suami yang selalu membuatmu bahagia. Senyum, aku memafkan jika kamu senyum,” ucap Bagus dengan nada suara sedikit menggoda. Runi sedikit kesal karena Bagus memanfaatkan situasi untuk membuatnya tersenyum, tetapi dilakukan juga.

“Sekarang kamu masih tetap akan meminta ayahmu menikahi Yiba?” tanya Bagus semakin membuat Runi dilema.

Kondisi Yiba akan baik-baik saja dan mungkin bisa secara perlahan mengikhlaskan cintanya untuk Marwan jika tidak mendapat tekanan dari Harun.

“Baru empat hari saja kondisi Yiba sudah sangat jauh berbeda. Aku tidak tahu apa yang dikatakan ayahnya hingga membuat begitu tertekan. Yiba yang kukenal adalah sosok yang kuat iman, tapi melihat dia tadi seperti itu….”

Runi mengusap wajah kasar dengan kedua tangan. “Aku yakin hanya dengan menikahkannya menjadi istri ayah yang bisa membuat dia pulih,” lanjut Runi.

“Apa kamu yakin ayahnya Yiba akan merestui? Sangat jelas dari sikapnya menekan Yiba menandakan tidak akan merestui. Dan yang lebih penting adalah perasaan ayahmu, Run.”

“Tapi Yiba tidak akan mungkin mau menikah dengan lelaki lain selain ayahku. Aku tidak mau kehilangan sahabatku. Kehilangan sosok gadis ramah yang selalu membuatku tenang.”

“Aku pulang dulu. Sementara kamu pikirkan baik-baik dulu semua. Aku akan selalu berusaha mendukungmu.” Bagus berjalan keluar baru beberapa langkah menoleh lagi.

“Aku sangat bahagia kamu memanggilku mas. Mas pulang dulu ya, Dek,” ucapnya dengan senyum lebar.

Runi sangat malu mendengar ucapan Bagus. Ada rasa bahagia di dalam sana, mungkin cinta akan mudah tumbuh nantinya. Menatap sosok yang dulu selalu diledeknya dengan sebutan anak kecil itu kini telah tumbuh dewasa melebihi usianya.

Jodoh memang rahasia yang tidak terduga. Setelah memikirkan semalaman, kini Runi harus mengambil tindakan yang tidak menyakiti siapa pun.

“Runi minta maaf, Yah.” Runi memeluk Marwan seusai sholat subuh.

Marwan membalas dengan hangat meski masih terasa berat. Runi sangat mengerti perasaan ayahnya. Perlahan menceritkan kondisi Yiba dengan sangat hati-hati.

“Apakah ayah bersalah dengan kondisi yang dialami Yiba saat ini?” tanya Marwan membuat Runi semakin sedih.

Memohon Pada Ayah

0 0

Tentu Marwan tidak bersalah karena tidak pernah melakukan hal yang membuat Yiba bisa begitu menginginkannya.

“Bagaimana bila yang–.” Runi menggantungkan ucapannya.

“Yiba gadis yang kuat. Dia akan baik-baik saja.” Marwan gegas ke dapur hendak menyiapkan sarapan seperti biasa.

“Dia memang dulu sangat kuat. Tapi sekarang tidak, Yah. Hanya ayah yang bisa menyembuhkan lukanya.”

Runi mengejar Marwan hingga ke dapur. Marwan meletakkan bungkusan roti dengan kasar di atas meja. Hatinya hancur harus mendengar permintaan dari Runi seperti kemarin lagi.

“Pikirkanlah tentang pernikahanmu yang tinggal dua hari lagi, Run.” Marwan berlalu menuju ke kamarnya.

“Aku hanya tinggal duduk manis di pelaminan, Ayah, tapi aku tidak bisa melangsungkan acara bahagia jika sahabatku sendiri sedang menderita,” rengek Runi.

“Jangan sampai sikapmu justru membuat orang lain menderita juga. Pikirkan tentang Bagus dan keluarganya yang tidak pernah membuat kita terluka sedikit pun.”

“Ayah! Aku mohon.”

“Yiba seperti itu karena salahnya sendiri. Bukan salah kita. Uruslah hidupmu sendiri, Run. Jangan ikut campur urusan orang!”

Runi tidak melanjutkan mengikuti Marwan ke kamar. Ucapan ayahnya menandakan banyak luka di sana. Tuduhan Harun yang begitu jahat malam itu pasti sangat melukai hati Marwan. Runi tidak bisa lagi membujuk ayahnya.

Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Runi.

“Pak Harun,” sapa Runi dan segera memanggil sang ayah.

Runi duduk di samping Marwan dan Harun duduk lesu di depannya.

“Kedatangan saya kemari memang sengaja. Pertama saya ingin memohon maaf yang sebesar-besarnya dari pak Marwan atas kesalahan saya waktu itu menuduh hal macam-macam.”

Harun menghela napas dalam-dalam dengan mimik muka penuh kesedihan sebelum melanjutkan ucapannya.

“Kedua saya juga ingin meminta maaf atas nama anak saya Yiba atas ucapannya. Dan yang paling utama tujuan saya kemari adalah,” lanjut Harun, tetapi masih menggantung ucapannya.

“Saya memohon dengan sangat keridhoan pak Marwan untuk sudi menikahi anak saya,” ucap Harun dengan penuh permohonan.

Runi dan Marwan saling beradu pandang. Runi semakin erat memegangi Marwan sambil melihat dalam-dalam. Suasana menjadi hening dan canggung.

“Saya tid –,”

“Ayah!” potong Runi cepat sebelum sang ayah menolak.

“Ijinkan saya berbicara dengan ayah sebentar,” ucap Runi mengajak Marwan masuk ke ruang tengah.

“Aku mohon ayah terima untuk menikahi Yiba. Aku sudah setuju menuruti semua yang ayah mau, tapi aku mohon, Yah. Semua demi kebaikan,” pinta Runi sambil berlutut pada Marwan.

Marwan menitikkan air mata terberat dalam hidup. Lebih berat daripada saat kehilangan Hani. Mana mungkin bisa menikah lagi jika hatinya sudah tertutup pada yang namanya cinta untuk pasangan.

“Ayah menikahlah dengan Yiba, Yah. Sembuhkan Yiba, Yah. Aku mohon. Hanya ayah yang bisa,” rengek Runi, tetapi tidak mampu menggoyahkan Marwan.

“Ayah! Bukalah hati ayah untuk Yiba. Tidak apa-apa tidak cinta. Cinta bisa tumbuh belakangan, Ayah. Aku juga akan menikah dengan pemuda pilihan ayah yang belum aku cintai. Ayah!” rengek Runi semakin menjadi.

Air mata membasahi seluruh wajah berharap sang ayah akan mengabulkan permohonannya.

“Kamu rela ayah membagi cinta dari ibumu,” ucap Marwan membuat tangisan Runi terhenti.

“Ayah sama sekali tidak pernah membagi cinta dari ibu. Ibu sudah lama berpulang, Yah. Ibu pasti bahagia bila ayah menikah lagi. Aku hanya merestui ayah menikah dengan Yiba, Yah. Aku mohon.” Kedua tangan Runi menangkup.

“Kenapa kamu begitu ingin ayah menikah dengan Yiba?” tanya Marwan datar.

“Karena aku yakin Yiba akan mampu menjadi istri yang baik untuk ayah dan juga ibu yang bertanggung jawab,” jawab Runi yakin.

“Dia usianya sama dengan kamu bahkan lebih muda beberapa bulan,” lanjut Marwan.

“Ayah sendiri yang bilang jika usia bukan jaminan. Dan sudah terbukti ‘kan, Yah. Selama ini ayah juga tahu bagaimana sikap dewasa Yiba,” jelas Runi tidak mau kalah.

“Baiklah, jika itu yang kamu mau,” ucap Marwan terpaksa menuruti keinginan Runi meski hatinya sangat berat.

Entah akan mampu menjalani sebuah ikatan pernikahan dengan baik atau tidak.

“Ayah setuju menikah dengan Yiba!” Runi girang berkata dengan suara keras.

“Hari ini, ya, Yah,” lanjut Runi. Jika tidak malu, Marwan ingin sekali menangis. Tidak pernah membayangkan akan menikah lagi dan itu karena sang anak sendiri yang memohon.

Hari Bahagia Untuk Semua

0 0

Meski seluruh keluarga besar melarang, tetapi Runi memaksa ikut untuk bisa menyaksikan pernikahan ayahnya dengan Yiba.

Marwan terpaksa menggugurkan janji dalam hidupnya untuk tidak pernah menikah lagi. Bukan karena permintaan Harun yang membuatnya luluh, tetapi sikap Runi yang begitu membuatnya harus mengalah mewujudkan harapan putri tunggalnya itu.

Pernikahan secara agama dilakukan mendadak yang hanya dihadiri Harun, Abdullah, Runi, Bagus serta saksi dari keluarga budhe tempat Yiba tinggal sekarang. Marwan duduk dengan berat terpaksa menjabat tangan Harun dan mengucap ijab kabul.

Yiba keluar setelah ijab kabul selesai yang langsung disambut senyum bahagia Runi.

“Run,” lirih Yiba saat tubuh lemahnya dipeluk sahabat karibnya.

Yiba tidak menyangka jika Runi justru yang memperjuangkan dirinya bisa menjadi seorang ibu sambung untuk sahabat sendiri. Runi tidak henti memeluk Yiba semenjak selesai ijab kabul sampai pulang kerumahnya.

Selesai acara sakral itu, Runi meminta agar Yiba segera pulang ke rumahnya menjalankan tugas sebagai seorang ibu.

“Kamu kenapa melakukan semua ini untukku, Run?” tanya Yiba masih tidak percaya apa yang telah terjadi secepat ini.

“Karena aku ingin di hari bahagiaku, kamu juga bahagia. Sekarang kita tidak akan terpisahkan,” jawab Runi dengan senyum mengembang tidak henti memeluk sahabat yang kini telah berubah setatus menjadi ibu tirinya.

“Buktikan jika ibu tiri itu tidak selalu jahat,” tegas Runi dibalas senyum dari wajah sendu Yiba.

Marwan merasa kosong di tengah kebahagian dua wanita di depannya. Ia masih belum dan sangat tidak siap menjadi seorang suami lagi. Satu-satunya alasan menerima tentu karena sang putri.

Malam pertama Yiba sebagai istri Marwan dibuat sibuk oleh Runi yang terus mengajaknya ngobrol sampai larut. Runi sengaja melakukan itu karena menyadari jika ayahnya masih sangat tertekan. Bahkan Marwan sama sekali tidak keluar kamar setelah pulang dari menikahi dan membawa Yiba pulang ke rumahnya.

“Aku berjanji akan menjadi ibu yang baik untukmu, Run,” ucap Yiba seraya membelai rambut Runi.

“Aku juga akan menjadi anak yang patuh,” balas Runi mendekap Yiba. Kebahagiaan Runi sudah lengkap sekarang ketika akan menyambut hari bahagianya esok.

Tiba hari pernikahan Runi dengan Bagus. Semua mengembangkan senyum bahagia. Marwan sangat bahagia telah menikahkan putri tunggalnya. Meski hatinya juga masih perih dengan setatusnya sebagai seorang suami dari sahabat anak sendiri.

“Ayah, terima kasih sudah mewujudkan keinginanku. Sekarang aku bisa tenang menjalani pernikahanku dan bila mungkin harus sering jauh dari ayah,” ucap Runi seraya memeluk Marwan usai acara ijab kabul.

“Aku menitipkan ayahku padamu, Yib,” pesan Runi di depan Yiba dan semua orang.

Sesaat kemudian Runi begitu lekat dengan Bagus yang sekarang telah sah menjadi suaminya.

Mungkin saja kamu suka

Tita Tristiyani...
99 Cahaya di Hati Ayah Bunda
Tia Fitriani
Jejak Muslimah

Home

Baca Yuk

Tulis

Beli Yuk

Profil