Berlian atau Sampah
Sinopsis
Tags :
#SarapanKataJadiBuku
#KMOBatch38
#Kelompok14
#BumiAksara
#Day1
#JumlahKata1200
PJ : Haefa
Ketua Kelompok : Lia Desy
Neng Jaga : Dini Nurhayati
Penulis : Khamdiyah Salamun
Judul : BERLIAN ATAU SAMPAH
Genre : Fiksi
Bab 1
Anakku meninggal
“Intan! Intaaaan!” teriak mas Adi dari luar kamar memanggil namaku. Sungguh memekikkan telinga.
Aku yang tertidur saat menyusui Rayhan seketika terkejut, beruntung anakku tidak terbangun dan masih nyenyak dalam dekapanku. Segera aku mengangkat perlahan kepala mungil bocah lelakiku, menggeser tanganku yang menjadi alas kepalanya dan meletakkannya kembali dengan hati-hati agar dia tak terbangun. Lalu beranjak dari tempat tidur meninggalkannya yang sudah tertidur pulas berbaring di ranjang hendak menghampiri Mas Adi sebelum marah padaku.
“I-iya, Mas!” jawabku tergagap di hadapannya yang sedang duduk dengan mengangkat satu kakinya di atas kursi.
“Apa ini? Cuma tempe? Kucing saja makan daging! Kamu malah memberiku makan tempe?” sentak Mas Adi mengagetkanku.
Dia mengangkat piring berisi lima potong tempe dan menghentakkan piring tersebut ke meja, sehingga membuat lima buah tempe tersebut jatuh berantakan dari piring ke atas meja.
“Ma-maaf Mas. Aku sudah tidak punya uang lagi. Hari ini Rayhan badannya panas, jadi aku tidak berjualan karena menjaganya!” Aku mengambil piring tersebut dan memungut lima buah tempe yang berjatuhan.
“Halah! Alasan saja kamu! Kamu pikir aku lupa, hah? Kemarin dan dua hari yang lalu pun kamu masak tempe, kan?” protesnya dengan nada tinggi seolah berteriak padaku.
“I-iya, Mas. Aku sudah tidak punya uang lagi.” Jawabku sambil menundukkan pandanganku.
“Dasar boros! kemana larinya uang yang kuberikan padamu dua puluh ribu setiap hari, hah? Kamu bisanya cuma minta uang saja, tanpa mikir bagaimana susahnya suamimu mencari uang di luar sana! Tapi apa balasannya? Cuma kamu sediakan tempe! Cuih! Kamu kemana kan uangnya, hah?” Mas Adi mengomel hingga meludah ke lantai.
Ya Allah, sebegitu hina kah diriku di matanya? Setan apa yang sedang merasuki pikirannya sehingga aku begitu rendah di hadapannya? Aku hanya bisa pasrah dalam situasi saat ini, hingga tanpa sadar air mata ini menetes membasahi pipiku.
“Heh, ditanya diem aja! Jawab! Jangan nangis doang bisanya!” cacian pun keluar dari mulutnya.
“U-uang kemarin habis untuk beli beras, sedangkan hari ini untuk beli gas, Mas.” Masih menunduk sambil terisak.
“Halah, banyak alasan saja kamu. Biasanya saja cukup! Berani kamu berbohong padaku?” Mendorong kepalaku dengan telunjuknya.
“Maaf, Mas. Itu karena sebelumnya aku jualan, sehingga bisa membeli ayam goreng dan rendang kesukaan, Mas. Tapi selama tiga hari ini aku tidak berjualan karena Rayhan sakit, Mas,” paparku.
“Ngelunjak, kamu! Kamu pikir mudah mencari uang dua puluh ribu? Atau jangan-jangan kamu gunakan untuk selingkuhan mu!” Mas Adi menuduhku.
“Astagfirullah, enggak Mas.” Seketika aku beranikan diri menatap wajahnya sambil menggeleng, mengelak atas tuduhannya.
Mas Adi beranjak dari tempat duduknya menuju ke luar rumah. Segera kutarik lengannya untuk menghentikannya. Langkahnya pun terhenti tepat di depan pintu.
“Mas mau kemana?” tanyaku.
“Bukan urusanmu!” Menghempaskan tanganku.
“Mas, sudah tiga hari badan Rayhan panas. Bagaimana kalau kita bawa dia ke rumah sakit,” usul ku tentang kondisi Rayhan.
“Apa? Kamu pikir bayar rumah sakit itu murah? Uang dari mana, hah? Paling cuma panas biasa. Kompres aja!” tolaknya.
“Setidaknya kita bawa ke klinik atau puskesmas, Mas, biar bisa diperiksa oleh dokter karena sudah tiga hari kondisinya seperti itu dan belum membaik,” bujukku meyakinkannya.
“Jangan sok kaya, kamu! Belikan saja obat di warung mak Ida sana.” Mas Adi melarangku untuk membawa anaknya berobat hanya karena tidak punya uang.
“Uangnya, Mas?” tanyaku.
“Uang, uang, uang saja yang ada di otakmu. Ngutang dulu sana!” bentaknya mengagetkanku.
“Astagfirullah al-azim.” Tanpa sengaja air mataku yang tadi sudah kering, kini mengalir kembali saat Mas Adi pergi meninggalkan rumah dengan mengendarai sepeda motornya dengan kencang.
Aku tahu dia sedang marah padaku, tapi bagaimana mungkin seorang Ayah bisa tidak perduli terhadap anak kandungnya sendiri? terbuat dari apa hatinya?
Aku tutup pintu dan kembali ke kamar melihat kondisi Rayhan. Namun, betapa terkejutnya aku setelah tiba di kamar, tubuh Rayhan terguncang-guncang seperti orang sedang tertawa terbahak-bahak. Namun, tidak! Dia bukan sedang tertawa. Rayhan kejang dengan mata terpejam. Tubuh Rayhan terbujur kaku, bibirnya membiru dan keluar busa berwarna putih dari mulutnya. Aku panggil namanya berkali-kali seraya menepuk bahunya namun dia tetap tak bergeming walau aku sudah sebut namanya dengan berteriak. Aku segera berlari ke luar rumah menuju rumah bu Hajjah Siti, tetangga sebelah rumahku dalam keadaan panik sambil menggendong tubuh mungil Rayhan.
“Bu, tolong Rayhan, Bu!” tangisku pecah di hadapan Bu Hajjah Siti.
“Kenapa, Intan? Ada apa?” tanya Bu Hajjah Siti.
“Rayhan kejang, Bu. Bagaimana ini?” Aku panik sambil menggendong anak semata wayangku.
“Astagfirullah, Rayhan!” ucap Bu Hajjah Siti.
“Pak! Bapak!” Teriak Bu Hajjah Siti memanggil suaminya.
“Ada apa, kok teriak-teriak?” Pak Haji Amin keluar rumah dengan memakai sarung dan baju koko.
“Rayhan kejang. Ayo kita bawa ke rumah sakit!” ucap Bu Hajjah Siti ikut panik.
“I-iya. Sebentar, Bapak ambil kunci mobil dulu!” kata pak Haji Amin.
“Sekalian tas Ibu, Pak!” pinta Bu Hajjah Siti pada Pak Haji Amin.
Pak Haji Amin segera masuk kedalam rumahnya, dan bergegas keluar kembali dengan membawa tas milik Bu Hajjah Siti dan kunci mobil. Kami berlari dari rumah Bu Hajjah Siti menuju mobil. Pak Haji Amin menekan tombol unlock pada remote mobil dan membukakan pintu untukku. Aku segera duduk di kursi belakang. Rayhan berbaring di pangkuanku. Pak Haji Amin duduk di kursi kemudi, segera menjalankan mobil dengan didampingi Bu Hajjah Siti di sampingnya.
Sepuluh menit kemudian, tibalah kami di Rumah Sakit Umum Daerah yang tidak jauh dari rumah. Pak Haji Amin menghentikan mobilnya di Unit Gawat Darurat rumah sakit tersebut. Tak lama, dua orang pria berseragam putih datang membawa brankar dorong UGD. Salah satu diantara mereka mengambil Rayhan dari pangkuanku, membaringkannya di brankar tersebut, lalu membawanya menjauh dariku masuk ke ruang UGD.
Aku segera turun dari mobil dan menutup pintu mobil. Namun, saat hendak masuk k ruang UGD bersama Bu Hajjah Siti, seorang wanita berseragam yang sama seperti kedua pria tadi mencegahku.
“Maaf, Bu. Mohon isi data terlebih dahulu!” ucap perempuan itu yang ku tau bernama Sella. Kulihat tulisan Sella Purnama pada papan nama di dadanya.
Aku tengok wajah Bu Hajjah Siti seolah bertanya.
“Sudah kamu isi saja. Masalah biaya nanti biar Ibu dan Bapak yang urus,” ucap Bu Hajjah Siti menenangkan.
Segera aku isi data pasien sesuai petunjuk hingga selesai. Lalu duduk di kursi tunggu yang telah disediakan.
Ada apa dengan Rayhan? Padahal tidak ada firasat apapun. Memang sudah tiga hari badannya panas, namun kupikir hanya panas biasa. Kenapa bisa sampai kejang seperti ini? Apakah dia bisa merasakan apa yang kurasa saat Mas Adi memarahiku?
“Keluarga pasien Ananda Rayhan!” panggil seorang dokter membuyarkan lamunanku.
“Iya, saya!” jawabku.
“Bu, Kami sudah berusaha memberikan tindakan terbaik. Namun, ananda terlambat dibawa ke sini. Mohon maaf, kami tidak dapat menolong nyawa putra Ibu.”
“Tidak! Tidak mungkin! Rayhan tidak mungkin ....” Aku tak dapat menahan rasa sesak dan emosiku. Tangisku pecah, tak sanggup aku ucapkan kata itu. Tak dapat aku terima kenyataan ini.
“Bu ....” Kupeluk tubuh renta Bu Hajjah Siti sambil terisak.
“Sabar ... Ibu tahu kamu sedih tapi kita harus mengurus pemakaman Rayhan.” Mengusap punggungku dalam pelukannya.
Bu Hajjah Siti mengambil gawai dari tasnya. Membuka aplikasi berwarna hijau, mencari kontak suaminya lalu menekan lambang telepon berwarna hijau.
“Assalamu’alaikum, Pak. Rayhan sudah nggak ada.” Tutur Bu Hajjah melalui gawainya pada pria yang tadi membawa mobil menuju parkiran.
“Iya, Pak. Ya sudah, Assalamu’alaikum,” pamitnya.
“Tan, Ibu urus administrasinya dulu biar Rayhan bisa langsung kita bawa pulang, ya.” Aku menganggukkan kepalaku.
Jika Mas Adi mau memberikan sedikit perhatian pada Rayhan, mungkin ini tidak akan terjadi. Jika Mas Adi mau memberikan uang untuk berobat, mungkin saat ini Rayhan masih ada. Semua ini karena Mas Adi! Awas kau, Mas! Lihat apa yang akan aku lakukan padamu!
****
Note : Sarapan Kata telah dikerjakan di Facebook.



#Sarapankatajadibuku
#KMOIndonesia
#KMOBatch38
#Kelompok14
#Day2
#JumlahKata1056
Judul : BERLIAN ATAU SAMPAH
Genre : Fiksi
Nama Penulis : Khamdiyah Salamun
PJ : Haefa
Ketua Kelompok : Lia Desy
Neng Jaga : Dini Nurhayati
Bab 2
Pemakaman Rayhan
Adzan subuh berkumandang, saat mobil milik Pak Haji Amin yang aku tumpangi tiba di rumah. Aku gendong jasad balitaku ini yang telah terbujur kaku sambil berderai air mata. Bu Hajjah memegang bahuku sesekali mengelusnya, menuntun jalan menuju rumahku, karena pandanganku tak lepas dari tubuh mungil anakku yang ditutup oleh kain jarik yang biasa aku gunakan untuk menggendongnya. Ternyata sudah banyak orang berkerumun di rumahku. Untuk apa mereka beramai-ramai ke sini? Terakhir kulihat suasana seperti ini saat acara pernikahanku. Tidak, ini bukan acara pernikahanku atau siapapun. Tak ada janur kuning, pelaminan dan meja prasmanan. Lalu, untuk apa mereka ke sini? Aku merasa asing di rumahku sendiri. Ruang tamu yang biasanya terdapat sofa dan meja, kini kini disulap menjadi hamparan karpet dan sebuah ranjang tidur kayu di tengahnya.
“Letakkan Rayhan di sini, Intan,” Bu Hajjah menepuk ranjang kayu tersebut.
Aku letakkan Rayhan di atas ranjang. Tangis ku pecah, histeris, ketika melihat wajah anakku yang seperti sedang tidur sudah tak bernyawa saat Bu Hajjah Siti mengganti kain penutupnya dengan yang lain. Aku guncang-guncang tubuhnya, namun tetap tak bergeming.
“Rayhaaaan, bangun, Rayhan!” pekikku.
“Intan, istighfar, Intan.” Bu Hajjah Siti mengusap bahuku perlahan.
“Rayhan, Bu ....” Aku kalut.
Bu Hajjah Siti memelukku menuntunku ke kamar, aku hanya bisa menangis pilu dalam dekapannya. Tak dapat aku gambarkan bagaimana perasaanku saat ini, seperti sebuah mimpi buruk bagiku, namun semua nampak jelas sekali, apakah ini nyata? Apakah ini kiamat?
“Intan, menangis lah sepuasnya, agar beban di pundak mu bisa jauh berkurang, tapi jangan kamu menangis di hadapan Rayhan. Ikhlaskan dia walau itu sulit. Berikan senyuman padanya agar dia tenang di sana.”
“Bu, kenapa Rayhan tega meninggalkan, aku? Kenapa aku yang harus mengalami ini? Aku tidak mau kehilangan Rayhan. Bu, kenapa semua ini bisa terjadi? kenapa Allah tega padaku, Bu? Kenapa bukan nyawaku saja yang Allah ambil? Aku rela menggantikannya.” Aku menolak kenyataan atas apa yang sudah digariskan Tuhan.
“Sabar. Intan. Ini sudah Qadarullah.” Nasihat Bu Hajjah Siti.
Ternyata sesakit ini rasanya seorang ibu yang kehilangan anaknya. Rasa simpati dan belas kasihan yang diperlihatkan oleh semua orang, tak dapat mengobati rasa perih dan luka yang tengah kurasakan, pun tak dapat membuat anakku hidup kembali. Bagaimana aku bisa tetap bertahan hidup tanpa Rayhan? Aku tidak bisa membayangkannya, benar-benar sulit membayangkannya.
“Tok! Tok! Tok!” Suara seseorang mengetuk pintu yang tak ditutup.
“Assalamu’alaikum. Bu Hajjah, semua sudah siap,” ucap Ustadzah Rofiqoh pada Bu Hajjah Siti.
“Wa’alaikum salam. Nanti tunggu ayahnya datang, ya!” usul Bu Hajjah Siti dengan suara lembut.
“Adi sudah ada di depan, Bu Hajjah.” Suara Ustadzah Rofiqoh yang tak kalah lembut.
“Baik, kalau begitu. Nanti kami menyusul ke sana.” Ustadzah Rofiqoh berlalu meninggalkan kami.
“Intan kita mandikan Rayhan untuk terakhir kalinya, yuk!” ajak Bu Hajjah Siti.
Aku dituntun oleh Bu Hajjah Siti keluar dari kamar. Saat melewati ruang tamu, kulihat Mas Adi tengah menggendong tubuh Rayhan, membawanya ke luar rumah, lalu meletakkannya di atas tempat pemandian jenazah yang terbuat dari bahan stainless steel yang berada di samping rumah. Ustadzah Rofiqoh mengajari cara memandikan Rayhan untuk terakhir kalinya. Kusiram air yang bercampur bunga hingga mengalir membasahi tubuh Rayhan dan menyentuh tubuh mungilnya dengan lembut. Sungguh pilu rasanya, sangat menyayat hati. Bu Hajjah Siti selalu berada di sampingku, tangannya yang berada di bahuku menepuk dan mengguncangkan tubuhku, seolah isyarat agar aku harus tetap kuat bertahan saat Ustadzah Rofiqoh mengeringkan tubuh Rayhan.
Rayhan di bawa kembali ke ruang tamu oleh Mas Adi. Kini Ustadzah Rofiqoh membungkus tubuh Rayhan dengan kain kafan.
“Cium Rayhan dengan lembut untuk terakhir kalinya, Jangan menangis! Insya Allah dia bahagia di Syurga,” bisik Ustadzah Rofiqoh di telingaku.
Kucium lembut kening dan pipi buah hatiku, kupeluk tubuhnya hingga tak kuasa menahan sesak dan emosi di dada. Tangisku pecah di hadapan jenazah anakku.
“Rayhan. Maafkan Ibu, Nak. Bangun, Rayhan!” pekikku.
Tubuhku seketika lemas, pandangan gelap, dan tak sadarkan diri. Entah sudah berapa lama aku pingsan, tak sadarkan diri. Ketika terbangun, aku sudah berada di kamar, Bu Hajjah setia duduk di sampingku.
“Aku kenapa, Bu? Rayhan mana?” tanyaku pada Bu Hajjah Siti.
“Kamu pingsan saat jenazah Rayhan akan dibawa menuju masjid untuk disholatkan. Saat ini, Adi, bapak, dan warga sedang berada di pemakaman untuk menguburkan Rayhan. Kamu harus kuat! Ibu tahu kamu bisa! Kamu harus bisa! Ini ada uang sisa dari kotak amal, ada rinciannya di dalam amplop dan sudah dipotong biaya-biaya untuk membeli kain kafan, kembang, hingga biaya pemakaman. Simpanlah untuk biaya tahlilan nanti malam hingga hari ke tujuh. Jumlahnya lumayan banyak, Insya Allah cukup untuk tahlilan tujuh hari.” Bu Hajjah Siti menyerahkan uang tersebut padaku.
“Boleh saya minta bantuan Ibu untuk menyimpannya? Saya takut uang tersebut akan diambil sama Mas Adi jika ada di sini,” pintaku padanya.
“Baiklah, uang ini Ibu bawa, kalau perlu apa-apa bilang sama ibu, ya. Kamu harus makan dulu sekarang! Jangan ada alasan! Harus dipaksakan walau sedikit!” Bu Hajjah Siti menyuapiku layaknya anak kecil.
“Sudah kenyang, Bu,” tolakku pada suapan ke tiga.
“Ya sudah, Ibu pamit pulang dulu. Kamu jangan lupa sholat dan doakan anakmu, ya!” Nasihat Bu Hajjah Siti.
Bu Hajjah menjauh dari pandanganku. Saat aku hendak bangkit, Mas Adi sudah berdiri di depan pintu kamar.
“Kau apakan anakku, hah?” bentak Mas Adi padaku.
“Anakmu?” tanyaku padanya.
“Masih kamu akui dia sebagai anakmu? Jika kemarin Mas tidak pulang dengan marah-marah, mungkin aku masih bersama Rayhan. Seandainya Mas mau memberikan sedikit uangmu untuk berobat Rayhan, mungkin Rayhan masih hidup saat ini. Kenapa baru sekarang, setelah dia tiada baru kamu sebut dia sebagai anak? Menyesal, hah?” Aku luapkan emosiku padanya yang selama ini aku tahan.
“Banyak bicara kamu! Plak!” Sebuah tamparan mendarat di pipiku.
“Mana uang yang ada di kotak amal? Berikan padaku!” sentaknya.
Sudah kuduga hal ini akan terjadi. Sikapnya yang baik di hadapan semua orang tadi, sangat berbeda dengan sikapnya kini, sungguh bermuka dua. ternyata ada udang di balik batu. dia hanya menginginkan uang sumbangan anaknya.
“Tidak ada padaku.” Memegang pipiku yang masih terasa perih.
“Cepat katakan! Atau kamu aku pukul!” ancamnya dengan mata melotot.
“Pukul saja, Mas. Ayo pukul. Kamu kira aku takut, hah? Selama ini aku mengalah darimu karena menghormatimu sebagai Bapaknya Rayhan, tapi apa balasanmu? Kau malah semakin menjadi-jadi. Aku bertahan atas pernikahan ini agar Rayhan punya keluarga utuh. Tapi, sekarang, untuk apa aku pertahankan, hah? Rayhan sudah tidak ada dan ini semua gara-gara kamu. Bapak yang tidak bertanggung jawab!”
Mas Adi mengacak-acak isi lemari pakaian, ranjang dan meja yang berada di kamar, mencari keberadaan uang amal sumbangan warga tersebut tanpa memperdulikan ucapanku.
“Cepat berikan padaku uangnya, kalau tidak ...
****
Note : Sarapan Kata sudah dikerjakan di Facebook
#SarapanKataJadiBuku
#KMOBatch38
#Kelompok14
#BumiAksara
#Day3
#JumlahKata1200
PJ : Haefa
Ketua Kelompok : Lia Desy
Neng Jaga : Dini Nurhayati
Penulis : Khamdiyah Salamun
Judul : BERLIAN ATAU SAMPAH
Genre : Fiksi
Bab 3
Kebohongan Mas Adi
Mas Adi mengacak-acak isi lemari pakaian, ranjang dan meja yang berada di kamar, mencari keberadaan uang sumbangan takziah warga tersebut tanpa memperdulikan ucapanku.
“Cepat berikan padaku uangnya, kalau tidak ....” Ucapannya terhenti.
“Kalau tidak apa, Mas? Mas akan memukulku? Silahkan pukul saja aku, Mas. Pukul! Biar semua orang tahu bagaimana sikapmu kepadaku. Bahkan uang untuk anakmu yang sudah tiada saja masih kau minta! Keterlaluan kamu, Mas!” Emosiku memuncak.
Prang! Dia berlalu pergi dengan memecahkan gelas berisi air minum yang ada di atas meja.
Aku menangis terisak-isak terduduk di sudut kamar. Menyalahkan diriku sendiri atas apa yang telah terjadi. Meratapi, mencaci bahkan menghina diri sendiri membuatku tenggelam dalam lautan luka. Tiga hari belakangan ini anakku sangat rewel. Setiap aku tinggal melakukan sesuatu, dia selalu mengiringi aktivitasku dengan tangisan yang luar biasa. Aku sayang padanya, tapi aku sangat lelah jika harus menggendongnya sepanjang hari. Apakah Rayhan ingin selalu bersamaku di sisa hidupnya? Seandainya waktu bisa diulang, aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersama dengannya.
Nasi, sayur, dan lauk-pauk yang biasa aku hidangkan untuk berjualan saja, hingga tidak dapat aku olah dan sajikan. Tentu ini berakibat hilangnya pemasukanku. Hanya tempe yang tersisa di dalam mesin pendingin, aku goreng untuk teman makan kami bersama nasi. Tapi, Mas Adi malah melemparnya hingga berserakan ke atas meja. Seandainya saat itu mas Adi mau memberikan uang, atau sekedar meminjamkannya padaku untuk berobat Rayhan. Mungkin saat ini aku masih bersama dengan Rayhan. Bukan aku tak ingin meminjam uang pada tetangga, Bu Hajjah Siti, tetangga sebelah rumahku berhati sangat baik. Dia selalu membantuku saat aku dalam kesulitan. Dia bagai ibu bagiku setelah ibu kandungku meninggal dua tahun lalu. Aku tak ingin merusak hubungan baik ini dengan meminjam uang padanya, karena aku takut tak bisa mengembalikan uang itu padanya. Rencananya aku akan menjual mas kawin pemberian mas Adi saat menikah dulu berupa cincin yang tersemat di jari manisku pagi ini di pasar. Namun, ternyata Rayhan sudah terlebih dahulu dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.
“Rayhan, Ibu kangen, Nak!”
Kupeluk bantal guling kecil yang biasa dia gunakan untuk tidur. Aroma tubuhnya masih terasa, wangi khas bayi. Ku luapkan rindu pada anakku yang menggelisahkan dada. Air mata tak terasa membanjiri pipi ini.
“Astagfirullah al-adzim, Intan .... Ada apa ini? Kenapa bisa begini?” teriak Bu Hajjah ketika masuk ke kamarku.
kulihat pandangan matanya menyapu seisi kamar.
“Bu ... mas Adi meminta uang takziah Rayhan, Bu.” Aku langsung menghamburkan pelukan pada wanita renta yang sudah aku anggap sebagai Ibu kandungku sendiri.
“Astagfirullah al-adzim, keterlaluan si Adi itu. Kamu yang tabah, ya Intan!” tangan kanannya mengusap belakang punggungku yang terasa menenangkan emosiku.
“Ya sudah, nanti Ibu bantu membereskannya, ya. Sekarang kamu siap-siap dulu untuk acara yasinan dan tahlil almarhum Rayhan.“
“tidak usah, Bu, biar nanti Intan membereskannya sendiri! Terima kasih banyak, ya, Bu.” Aku pandangi dia dengan rasa penuh kasih sayang.”
Acara yasinan, tahlil, dan doa untuk almarhum anakku Rayhan yang dihadiri oleh tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tetangga yang masih berada di lingkungan satu RT-ku malam itu, berlangsung dengan baik tanpa kehadiran mas Adi. Ibu-ibu tetangga mengirimkan kue sebagai hidangan dan membuat kopi yang disajikan pada gelas kaca. Kulihat Mang Kardi, tetanggaku sekaligus rekan ojek Mas Adi di Pasar pun ikut hadir. Saat acara sudah selesai, aku hampiri dia saat sedang memakai alas kakinya.
“Assalamu’alaikum, Mang!” sapaku pada Mang Kardi, tetangga masih satu RT denganku.
“Wa’alaikumsalam. Ada apa, Neng Intan?” dia balik menyapa.
“Tadi Mas Adi ada di pangkalan, Mang?” tanyaku padanya.
“Enggak ada, Neng. Sudah lama dia enggak nongkrong di pangkalan,” jawab mang Kardi.
“Apa mungkin dia pindah tempat tongkrongan, Mang?” tanyaku ragu.
“Kurang tahu juga saya, Neng. Selama ngojek di daerah sini, saya jarang liat dia bawa penumpang. Tapi, neng ....” Mang Kardi menggantungkan ucapannya.
“Kenapa, Mang?” tanyaku heran.
“Gimana, ya, Neng ngomongnya. Aduh, saya takut salah,” ucapnya ragu.
“Enggak Apa-apa, Mang! Bilang aja, Mang.” Kuyakinkan Mang Kardi.
“Saya sering liat dia bonceng perempuan cantik beberapa kali, saya rasa itu perempuan yang sama,” duganya dengan mengecilkan sedikit volume suaranya, tapi masih terdengar jelas di telingaku.
“Yang benar, Mang?” pekikku terkejut.
“Saya juga kurang tahu pasti, barangkali itu saudaranya. Maaf, ya, Neng. Saya takut salah sangka. Saya permisi dulu.” Ada ketakutan di balik ucapannya ini.
“Terima kasih, ya, Mang,” Tuturku.
“Sama-sama, Neng. Assalamu’alaikum,” pamitnya padaku.
“Wa’alaikumsalam,” aku jawab salamnya.
“Jadi mas Adi sudah tidak mengemudikan ojek dan mangkal di pasar lagi? Kenapa dia tidak mengatakan kepadaku jika dia punya pekerjaan lain? Atau memang dia tidak bekerja lagi? Tapi kenapa? Untuk apa dia pergi dari rumah kalau bukan untuk bekerja? Dia membonceng perempuan cantik? Siapa dia? Saudara? Bukannya dia hanya mempunyai seorang adik di kampung, itu pun seorang lelaki, bukan perempuan. Apa mungkin mas Adi punya saudara di sekitar sini yang aku tidak tahu atau belum dikenalkan kepadaku? Atau jangan-jangan?” gumamku dalam hati.
Seribu tanya muncul dalam benakku. Aku masuk kembali ke dalam rumah. Kurapihkan gelas dan piring kosong yang terdapat di atas karpet, dengan bantuan beberapa tetangga Alhamdulillah semua sudah rapih dan bersih.
“Terima kasih banyak, ya, Ibu-ibu,” ucapku pada mereka.
“Sama-sama, Intan. Kamu Istirahat, sana. Kami pamit, ya. Assalamu’alaikum.” Mereka pamit.
“Wa’alaikum, salam,” jawabku.
Kukunci pintu lalu masuk ke kamar, merapihkan ranjang yang berantakan dan baju-baju yang berserakan di lantai, agar aku bisa tidur dengan nyaman. Walau badan terasa lelah, aku paksakan agar bisa tidur nyenyak malam ini.
Tok! Tok! Tok! Aku terbangun mendengar suara ketukan pintu.
Kulihat jam di dinding menunjukkan pukul 03.50.
“Siapa yang mengetuk pintu jam segini?” gumamku.
Aku beranjak dari ranjang menuju pintu depan rumah. Aku putar kunci pintu rumahku, lalu membuka pintu. Aku seolah membeku dengan apa yang ada di depan mataku. Mas Adi pulang dengan tubuh sempoyongan, mulutnya bau minuman keras, ya, Mas Adi pulang dalam keadaan mabuk.
“Dari mana, Mas. Jam segini baru pulang!” tanyaku.
“Dari pangkalan,” ucapnya yang menurutku bohong.
“Apa?” pekikku.
“Sabar, Intan, sabar. Tahan!” gumamku dalam hati.
Mas Adi tergeletak di ruang tamu dengan beralas karpet. Dia meracau dengan mata terpejam. Mungkin ini saat yang tepat untuk menanyakan tentang perempuan itu.
“Siapa perempuan tadi yang bersama, Mas?”
“Rosa, cantik, kan? Bukan hanya cantik, tubuhnya indah dan service ya bagus. Tidak seperti kamu!” terangnya.
Serasa ada batu besar yang menghujam kepalaku. Oh, jadi benar apa yang dikatakan oleh Mang Kardi tadi. Kesetiaanku selama ini dia balas dengan penghianatan, pengorbananku selama ini dia sia-siakan.
“Dimana rumahnya, Mas?” dia tidak membalas ucapanku karena sudah tertidur pulas.
Aku mengambil gawai dalam saku celananya. Aku gunakan sidik jari jempol tangan kanannya untuk membuka pola kunci pada gawainya. Beruntungnya, aku menemukan pesan dengan nama Rosa manja. Dengan hati yang berdebar-debar penuh ketakutan, aku kirim tangkapan layar berisi pesan singkatnya pada wanita bernama Rosa itu ke gawaiku. Tak lupa menghapus tangkapan layar di galeri gawainya dan pesan berisi tangkapan layar kepadaku tadi. Kumasukkan kembali gawai tersebut pada saku celananya.
“Oke, hari ini bukti sudah aku kumpulkan, kita lihat saja siapa yang akan menyesal nanti, Mas!
****
#SarapanKataJadiBuku
#KMOBatch38
#Kelompok14
#BumiAksara
#Day4
#JumlahKata1068
PJ : Haefa
Ketua Kelompok : Lia Desy
Neng Jaga : Dini Nurhayati
Penulis : Khamdiyah Salamun
Judul : BERLIAN ATAU SAMPAH
Genre : Fiksi
Bab 4
Ketahuan Selingkuh
Seminggu sudah Rayhan pergi meninggalkanku untuk selamanya. Aku harus bisa berdamai dengan keadaan untuk menata hidupku kembali. Jika hanya mengandalkan nafkah dari Mas Adi, terlalu rumit bagiku mengatur pengeluaran rumah tanggaku. Apalagi setelah Rayhan tiada, Mas Adi semakin jarang memberiku nafkah.
Aku biasa terbangun saat dini hari, bermunajat pada sang pencipta, lalu mengerjakan pekerjaan rumah seperti mencuci pakaian dan menanak nasi. Setelah Adzan Subuh berkumandang, bergegas aku menunaikan kewajibanku, shalat wajib dua rakaat. Alhamdulillah, Bu Hajjah Siti memberikan sisa uang sumbangan takziah Rayhan yang masih tersisa, walau tidak banyak, rencananya uang tersebut akan aku gunakan untuk berbelanja sayur dan lauk untuk aku jual hari ini. Aku bangunkan Mas Adi yang sedang terlelap.
“Mas ... Mas ... Maaass ....” Kugoyang-goyangkan bahu kirinya agar terbangun.
“Apa, sih? Ganggu aja!” sentaknya mengagetkanku.
“Antar aku ke pasar, Mas! Aku ingin belanja,” pintaku padanya.
“Ngantuk, tahu! Jalan sendiri saja!” bentaknya.
Menunggunya bangun, bukan perkara mudah. Belum tentu dia mau mengantar jika sudah bangun nanti. Kalau kesiangan pun aku takut akan terlambat memasaknya. Kuputuskan untuk beranjak dari ranjang dan meninggalkannya menuju pasar. Perjalanan ku tempuh sejauh dua kilo meter dengan berjalan kaki, tak apa, hitung-hitung berolah raga menyehatkan jantung.
Kubeli belanjaan sesuai dengan selembar catatan yang telah kutulis tadi malam, agar tidak ada bahan sisa dan sesuai dengan jumlah uang yang kubawa saat ini. Setelah membeli semua yang kubutuhkan, bergegas aku mencari ojek untuk pulang.
“Ojek, Neng? Wah, abis ngeborong, nih!” tawar Mang Kardi.
“Eh, Mang Kardi. Boleh, Mang! Banyak tapi belanjaan saya, Mang,” ucapku.
“Bisa, Neng. Sini Mamang taruh di depan,” tuturnya.
Aku duduk di kursi penumpang, tangan kananku memegang satu buah kantong belanja berisi sayur dengan tumpuan lutut kananku, sementara tangan kiriku memegang sedikit jaket berwarna hijau yang longgar pada bagian pinggang kiri Mang Kardi.
“Mang, terima kasih, ya atas informasi waktu itu. Ternyata benar, Mang. Tapi saya belum bisa berbuat apa-apa.” Aku memulai pembicaraan dengannya.
“Sama-sama, Neng. Yang tabah, ya. Insya Allah suatu saat Gusti Allah pasti akan menunjukkan titik terang untuk Eneng. Tinggal Enengnya saja yang mesti bersabar.” Nasihat Mang Kardi.
“Tapi sampai kapan, Mang?” Mang Kardi menggeleng.
Tiba di rumah, Mang Kardi mematikan mesin kendaraannya. Turun dari motornya untuk membantu mengangkat barang belanjaan yang diletakkannya di bawah kemudi motornya ke depan pintu rumahku.
“Terima kasih, ya, Mang!” Aku membayar ongkos ojek padanya.
“Sama-sama, Mang!” Dia menerima uang tersebut dengan tangan kanannya.
Kubawa barang belanja tersebut menuju dapur, segera aku olah menjadi beberapa hidangan. Setelah memasak sayur sop, opor, telur balado, tumis pare, tumis labu, gorengan dan sambal, aku memasukkan makanan tadi ke dalam box berbentuk kotak. Kusisakan nasi yang sudah kumasak subuh tadi di bakul nasi, opor ayam dan telur balado di piring untuk makan siang Mas Adi. Segera aku berkeliling menjajakkannya dari rumah ke rumah dengan menggendong enam buah kotak di punggung belakangku, mengikatnya di tubuhku menggunakan kain jarik milik Rayhan dan menenteng dua kotak yang lebih besar berisi gorengan dan nasi. Berat? Tentu saja, tapi ini adalah ikhtiarku untuk menyambung hidup.
Alhamdulillah, pukul dua siang daganganku sudah habis. Entah apa namanya yang kurasakan saat ini, tubuhku penuh dengan peluh, lengket dan lelah sekali. Ingin segera mandi dan merebahkan diri di atas ranjang.
Tok! Tok! Tok! Aku ketuk pintu dan memanggil Mas Adi.
“Assalamu’alaikum, Mas! Mas Adi!” sudah berkali-kali aku panggil namanya, namun tak ada jawaban dari dalam.
Aku lihat motornya masih terparkir di depan rumah, sandalnya pun masih ada berdampingan dengan sepasang wedges dengan tinggi sekitar tujuh senti berwarna merah merona, yang dapat kupastikan ini milik seorang wanita. Tunggu! Milik siapa ini? Aku tidak punya alas kaki setinggi ini dan warna yang mencolok mata seperti ini! Apa Mas Adi sedang bersama seorang wanita di dalam sana sehingga mengunci pintu? Aku sangat terkejut! Aku letakkan kotak kosong yang aku tenteng dan aku lepaskan kain jarik yang mengikat tubuhku dengan kotak yang ada di punggungku, lalu meletakkan kotak tersebut di lantai. Berdiam diri sejenak, aku putar otak untuk memikirkan langkah selanjutnya.
Aku memutari sekeliling rumahku, beruntung jendela kamar terbuka dengan gorden yang tertutup. Aku sibakkan sedikit gorden, mengintip dari celahnya.
“Astagfirullah al adzim,” gumamku dengan tangan menutup mulutku.
Tanpa terasa air mataku berlinang tak tertahan. Aku tahu hal ini akan terjadi tapi aku tidak siap melihatnya dengan mata kepalaku sendiri saat ini. Aku jatuh terduduk lemas dalam bisu. Aku berlari menuju rumah Bu Hajjah Siti.
“Ibu ... mas Adi, Bu.” Aduku padanya yang sedang duduk di teras rumahnya dan tangisku pecah.
“Ada apa, Intan?” tanya Bu Hajjah Siti penasaran.
“Mas Adi, Bu ... dia di kamar bersama wanita lain.” Aku menangis meraung-raung dan menjerit dihadapannya.
Kuceritakan kejadian yang baru saja kulihat itu padanya dengan emosi yang sudah berada di ubun-ubun. Pak Haji Amin yang berada di dalam rumah pun ikut ke luar mendengar jerit tangisku untuk melihat keadaanku.
“Ada apa ini, Bu? Intan kenapa?” tanya Pak Haji Amin dengan heran.
“kata Intan, Adi bersama wanita lain di kamarnya. Coba Bapak panggil Pak RT untuk mengeceknya,” pinta Bu Hajjah Siti pada suaminya.
“Ba-baik, Bu. Ibu dan Intan tunggu di sini terlebih dahulu! Jangan kemana-mana dan jangan gegabah! Ingat!” perintah Pak Haji Amin pada kami.
Bu Hajjah Siti mengangguk membalas perintah suaminya. Pak Haji Amin bergegas menuju rumah pak RT. Tak lama kemudian, dia kembali bersama Pak RT , Satlinmas dan beberapa orang warga sini.
Kami masuk ke dalam melewati jendela berukuran besar yang berada tepat di samping pintu depan dengan cara mencongkelnya. Pak RT memerintahkan Kang Jamal yang berbadan besar dengan seragam berwarna hijau dengan tulisan Satlinmas di dadanya untuk mendobrak pintu kamarku. Semua orang terkejut dengan apa yang mereka lihat. Begitupun Mas Adi dan sang wanita yang sedang tertidur tanpa mengenakan busana pun terkejut melihat keberadaan kami di sana. Beberapa orang terlihat mengambil gambar, mengabadikan peristiwa ini dengan menggunakan gawainya, baik dari dalam kamar, maupun dari luar rumah melalui jendela kamar.
“Astagfirullah al adzim,” ucap Pak RT dan beberapa orang yang berada di depan.
“Apa-apaan ini?” teriak Mas Adi terkejut.
“Tega kamu, Mas! Tega! Belum kering tanah makam anakmu, tapi kamu tega melakukan perbuatan hina ini padaku di rumahku sendiri! Susah payah aku mencari uang untuk sekedar makan, kamu malah enak-enakan di sini bersama perempuan ini!” teriakku menjerit tak kalah kencang dengan suaranya.
“Pergi, kamu! Mau-maunya tidur dengan suami orang!” Tunjukku pada sang wanita.
“Sabar, Intan! Kita bicarakan ini baik-baik, Ini tidak seperti yang kamu lihat!” bujuk Mas Adi padaku.
“Segera kenakan pakaian kalian! Kami tunggu di ruang tamu!” perintah Pak RT Tegas pada mereka.
****



#SarapanKataJadiBuku
#KMOBatch38
#Kelompok14
#BumiAksara
#Day5
#JumlahKata1435
PJ : Haefa
Ketua Kelompok : Lia Desy
Neng Jaga : Dini Nurhayati
Penulis : Khamdiyah Salamun
Judul : BERLIAN ATAU SAMPAH
Genre : Fiksi
Bab 5
Perundingan yang Alot
“Tega kamu, Mas! Tega! Belum kering tanah makam anakmu, tapi kamu tega melakukan perbuatan hina ini padaku di rumahku sendiri! Susah payah aku mencari uang untuk sekedar makan, kamu malah enak-enakan di sini bersama perempuan jal*ng ini!” teriakku menjerit tak kalah kencang dengan suaranya.
“Pergi, kamu! Dasar pel*c*r! Mau-maunya tidur dengan suami orang!” Tunjukku pada sang wanita.
“Sabar, Intan! Kita bicarakan ini baik-baik, Ini tidak seperti yang kamu lihat!” bujuk Mas Adi padaku.
“Segera kenakan pakaian kalian! Kami tunggu di ruang tamu!” perintah Pak RT dengan tegas pada mereka.
“Tenang, Intan. Ayo Intan kita duduk dulu,” Bu Hajjah Siti menggiringku untuk duduk di sofa yang ada di ruang tamu.
“Silahkan duduk, Pak Adi dan Ibu siapa?” pinta Pak RT pada dua sejoli itu.
“Ro-Rosa, Pak!” jawab wanita yang memakai baju kurang bahan itu terbata-bata.
“Silahkan duduk Bu Rosa.” Pak RT menyuruhnya untuk duduk.
“Pak Adi dan Bu Rosa sudah menikah?” Mereka saling berpandangan, kemudian memandang Pak RT sambil menggelengkan kepala. Aku lihat sikut wanita itu menyentuh sikut Mas Adi dengan sengaja.
“Belum, Pak RT,” jawab Mas Adi dengan suara nyaris tak terdengar.
“Bu Rosa islam?” tanya Pak RT pada wanita yang duduk berdampingan dengan suamiku.
Dia menganggukkan kepalanya.
“Sudah menikah?” Wanita itu hanya menggeleng.
“Baik, saya panggil Mbak Rosa saja, ya? Pak Adi dan Mbak Rosa sadar dengan apa yang telah kalian lakukan? Saya rasa di dalam agama manapun, tidak membenarkan perbuatan tersebut. Bagaimana hukumnya menurut islam, Pak Haji Amin?” tanya Pak RT pada Pak Haji Amin.
“Seseorang yang telah menikah atau memiliki suami atau istri tapi tidak bisa menjaga diri dari orang lain yang bukan mahramnya dinamakan selingkuh atau zina. Zina ini, terbagi menjadi dua. Ada zina muhsan dan zina ghairu muhsan. Dalam islam, perbuatan Adi ini termasuk zina muhsan karena dia sudah menikah dan memiliki istri, hukumannya adalah dengan dirajam, dilempari batu hingga meninggal. Sedangkan untuk, Mbak ...?” ucapan Pak Haji Amin menggantung.
“Rosa, Pak Haji,” jawab wanita itu menunduk.
“Sedangkan untuk Mbak Rosa, Karena dia belum menikah, termasuk zina ghairu muhsan. Hukuman bagi orang yang melakukan zina ini menurut islam adalah dengan dicambuk sebanyak seratus kali atau diasingkan selama setahun. Namun, di Indonesia baru Nangroe Aceh Darussalam yang menerapkan hal ini, di kota tempat kita tinggal belum. Seperti itu, Pak RT penjelasan dari saya,” terang Pak Haji Amin.
“Baik, terima kasih kasih Pak Haji Amin atas penjelasannya. Karena ada pihak yang dirugikan dalam hal ini, yaitu ibu Intan, istri Pak Adi. Bu Intan bisa membuat delik aduan perzinahan atas tindakan Pak Adi dan Mbak Rosa ini yang masuk ke dalam kategori ranah hukum pidana, karena bukti, saksi dan lainnya sudah menyatakan bahwa memang benar mereka berzina. Hukumannya paling lama satu tahun penjara atau denda, jika hal ini Bu Intan laporkan pada polisi," jelas Pak RT.
“Laporkan saja mereka ke polisi, Pak!” Seru warga yang yang hadir.
“Sabar ... sabar saudara-saudara, yang berhak melapor dan mengambil keputusan dalam hal ini adalah Bu Intan. Selain itu, jika Bu Intan tidak ingin membuat laporan polisi, Bu Intan juga bisa membuat surat perjanjian di hadapan saksi-saksi, misal surat perjanjian tidak akan selingkuh lagi jika Bu Intan bisa memaafkan hal ini, atau surat perjanjian cerai jika Bu Intan ingin berpisah, tapi ingat! perceraian memang halal, namun perceraian menurut saya sebaiknya dihindari karena hal ini sangat dibenci oleh Allah SWT. Bukan begitu Pak Haji Amin? tanya Pak RT pada Pak Haji Amin.
“Betul sekali , Pak RT. Pikirkan baik-baik, Intan. Jangan sampai kamu menyesal ke depannya nanti.” Nasihat Pak Haji Amin padaku.
”Saya harap Bu Intan dan Pak Adi bisa menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan tanpa harus melalui jalan perceraian.” Pak RT terlihat diam sejenak.
“Mengenai Mbak Rosa ....” Deg. Jantungku seperti tertusuk.
“Apakah Pak Adi sudah memikirkan bagaimana kelanjutan hubungan kalian, jika Bu Intan menyelesaikan masalah ini secara damai dengan memaafkan tindakan Pak Adi ini? Bagaimana nasib hubungan Pak Adi dengan Mbak Rosa? Apakah akan berhenti sampai di sini?” bertanya keputusan Mas Adi.
Apa? Apa aku bisa memaafkan perbuatan suamiku ini? Mungkin, tapi tidak untuk menerimanya kembali.
“Sa ....” Aku tidak jadi bicara karena ucapanku terpotong.
“Enggak, Pak. Saya enggak rela kalau Mas Adi membuang saya begitu saja! Kami sudah melakukan hubungan layaknya suami istri, Mas Adi juga sudah berjanji akan menceraikan istrinya dan menikah dengan saya. Iya, kan, Mas?” teriaknya lantang.
Kulihat Mas Adi hanya menunduk saja.
“Maaf, Pak RT. Boleh saya berbicara dengan istri saya berdua saja?” pinta Mas Adi.
“Mas!” sentak wanita muda itu.
Kulihat matanya melotot dan bibirnya bergoyang ke kiri dan kanan.
“Sebentar!” Suara suamiku terdengar memohon sambil menyatukan kedua telapak tangannya di dadanya.
“Saya tidak mau, Pak RT! Kita selesaikan saja di sini!” pintaku.
“Ayo Bu, silahkan selesaikan dengan kepala dingin berdua.” Pak RT menyarankan.
Mas adi mengajakku ke kamar kami, tempat dia dan wanita itu berm*sr*an tadi. Jijik rasanya membayangkan hal itu terjadi di rumahku, bahkan di kamarku sendiri.
“Ada apa, Mas?” tanyaku memulai pembicaraan.
“Intan, dengar ucapan, Mas!” ucapnya lembut.
“Apa?” sentakku.
“Maaf, Mas khilaf. Mas janji tidak akan mengulangi perbuatan ini lagi. Tolong maafkan Mas. Mas akan berusaha menjauh dari Rosa jika kamu mau memaafkan, Mas. Rosa itu gadis yang baik sebenarnya. Mas pasti akan jauh lebih senang jika kamu mau menerima dia menjadi madumu!” Bagai terjangan ombak yang menenggelamkanku dibalik tutur lembutnya.
“Apa? Tidak, Mas!” tolakku dengan berteriak.
“Intan! Ssst!” Mas Adi meletakkan telapak tangan kirinya di leher belakangku dan telunjuk tangan kanannya di mulutku. Dia melihat ke sekeliling.
“Awas saja kalau kau sampai melaporkanku ke polisi! Kau dengar! Hanya satu tahun, itu pun paling lama aku di penjara, namun setelah itu, kehidupanmu tidak akan tenang setelah aku keluar dari penjara! Ingat itu, Intan!” ancamnya.
“Maksud mas mengajakku ke sini untuk apa? Untuk mengancamku?” tuduhku padanya.
“Apa aku rela dimadu? Tidak, Mas! Sama saja kamu membunuhku secara perlahan. Setelah kematian Rayhan, Mas ingin aku juga mengalami hal yang sama? Apa mas bisa bersikap adil? Untuk biaya berobat Rayhan saja, Mas tidak mau memberikannya, tapi untuk kencan dengan wanita itu Mas bisa!” timpalku.
“Dengar Intan, harusnya kamu sadar akan dirimu sendiri. Rosa lebih muda darimu, bahkan dia jauh lebih cantik dan menarik dibandingkan kamu! Coba lihat dirimu!” ejeknya.
“Dia cantik karena diberi uang, sedang aku? Kau makan saja dari uangku!” Emosiku tersulut mendengar ejekannya.
Plak! Sebuah tamparan mendarat di pipiku.
“Tak tahu diri kamu!” cacinya.
“Siapa yang tidak tahu diri? Kamu tahu berada di mana kamu sekarang? Rumahku! Rumah peninggalan orang tuaku! Makan dari mana kamu kalau bukan dari hasil keringatku, hah? Siapa sekarang yang tidak tahu diri, hah?” umpatku tak tertahan.
Mas Adi mengangkat tangan kanannya seraya ingin menamparku, namun ....
“Intan!” Bu Hajjah Siti yang sudah berada di ambang pintu kamar memanggil namaku.
Aku berlari memeluknya.
“Bu ....” Tangisku pecah di pelukannya.
Mas Adi tidak jadi menamparku. Kami kembali duduk untuk menyelesaikan masalah ini.
“Ada apa Pak Adi ... Bu Intan?” tanya Pak RT.
“Saya ingin cerai, Pak! Keputusan saya sudah bulat! Sepertinya suami saya sangat tergila-gila dengan wanita yang ada di sampingnya itu hingga melakukan zina. Saya rela mereka menikah. Tapi, setelah suami saya menceraikan saya secara agama dan secara hukum. Tidak ada pembagian harta gono-gini karena memang kehidupan kami sangat susah.” Aku menunduk memandang sudut meja.
“Mengenai rumah ini, ini rumah peninggalan kedua orang tua saya. Saya harap, setelah ini suami saya bisa angkat kaki dari sini!” Dengan tegas sambil memandang wajah pria yang masih berstatus sebagai suamiku.
“Jadi kamu mengusir saya! Enak saja! Berani kamu! Selama ini dibiayai hidup malah tak tahu diri!” bentaknya di hadapan banyak mata.
“Sabar, Pak! Sabar! Jika Pak Adi bersikap seperti ini, Bu Intan bisa membuat laporan dengan tuduhan perbuatan tidak menyenangkan. Jadi saya minta Pak Adi tenang.” Sanggah Pak RT.
“Jadi bagaimana keputusan Pak Adi?” tanya Pak RT.
“Saya yakin Intan akan tetap memaafkan saya dan saya akan berencana menikahi Rosa. Lama kelamaan juga Intan rela untuk dimadu!” tuturnya tanpa memikirkan perasaanku.
“Huuu ... mau enaknya sendiri!” Sorak warga yang hadir mengikuti pertemuan ini.
Aku menggeleng menatap Bu Hajjah Siti.
“Bagaimana Bu Intan?” tanya Pak RT padaku.
“Saya tetap pada keputusan saya, Pak!” tegasku.
“Saya juga enggak mau jadi madu, Pak.” Sentak wanita berbaju merah itu menatap wajah suamiku.
“Enak saja! Mas sudah janji ya, mau menceraikan istri Mas itu dan menikahi aku! Kalau sampai Mas tidak menceraikan istimu, aku akan melaporkan mas ke polisi karena telah memperkos*ku!” ancamnya.
Pak RT terlihat tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Bu Intan Ingin bercerai dengan Pak Adi, Bu Rosa juga ingin Pak Adi bercerai dengan Bu Intan dan menikahinya. Jadi, Bagaimana keputusan Pak Adi?” tanya Pak RT pada Mas Adi.
Kulihat suamiku itu memegang kepalanya lalu mengacak-acak rambutnya. Dia menatap tajam ke arahku.
****
#SarapanKataJadiBuku
#KMOBatch38
#Kelompok14
#BumiAksara
#Day6
#JumlahKata531
PJ : Haefa
Ketua Kelompok : Lia Desy
Neng Jaga : Dini Nurhayati
Penulis : Khamdiyah Salamun
Judul : BERLIAN ATAU SAMPAH
Genre : Fiksi
Bab 6A
Talak dan Perjanjian Cerai
Pak RT terlihat tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Bu Intan ingin bercerai dengan Pak Adi, Bu Rosa juga ingin Pak Adi bercerai dengan Bu Intan dan menikahinya. Jadi, Bagaimana keputusan Pak Adi?” tanya Pak RT pada Mas Adi.
Kulihat suamiku itu memegang kepalanya lalu mengacak-acak rambutnya. Dia menatap tajam ke arahku. Dapat kurasakan keresahan yang melanda dirinya.
“Bagaimana, Pak Adi?” tanya Pak RT pada Mas Adi sekali lagi dengan nada bijak.
“Oke, saya akan menceraikan kamu, Intan. Tapi, ingat! Jangan sampai kamu menyesal setelah berpisah denganku!” Mengacungkan jari telunjuknya ke arahku dengan sorot mata yang tajam. Dapat kurasakan kemarahan dalam dirinya.
Ada desir ketakutan merajai pikiranku, entah apa yang sedang Mas Adi pikirkan saat ini untuk membalas perbuatanku nanti.
Bu Hajjah Siti beranjak ke dapur untuk membuatkan beberapa gelas teh dan kopi untuk kami dan warga yang hadir di dalam rumah. Tak lama kemudian, beliau membagikan teh dan kopi tersebut.
“Boleh saya pinjam KTP Pak Adi, Bu Intan dan Mbak Rosa?” Aku merogoh saku celanaku, mengambil kartu identitasku yang ada di dalam dompetku, lalu menyerahkannya kepada Pak RT. Mas Adi dan wanita yang bernama rosa itu pun melakukan hal yang sama.
“Jang, minta tolong belikan materai sepuluh ribu dua buah di warung ceu Imas, ya!” Perintah Pak RT kepada seorang pemuda yang berdiri di sampingnya dengan memberikan tiga lembar uang sepuluh ribu kepada pemuda tersebut yang tak lain adalah Ujang, anaknya.
“Iya, Pak,” jawabnya.
“Baik, jika Bu Intan dan Pak Adi setuju untuk bercerai, silahkan Bu Intan tulis kata-kata yang akan saya ucapkan,” titah Pak RT kepadaku.
“Baik, Pak!” Aku memegang pulpen bersiap untuk menulis di atas kertas yang sebelumnya aku ambil dari bufet yang berada di ruang tamu.
“Surat pernyataan cerai. Yang bertanda tangan di bawah ini menerangkan bahwa sesungguhnya,” ucap Pak RT tegas dengan memandang gawai yang dia pegang.
“Tolong ditulis identitas Pak Adi sebagai pihak pertama, sedangkan Bu Intan sebagai pihak kedua.” Tak dapat dipungkiri, dengan tangan sedikit gemetar, aku berusaha tegar menulis surat pernyataan ini.
“Bahwa dengan ini kedua belah pihak, baik pihak pertama maupun pihak kedua telah sepakat untuk bercerai atau mengakhiri hubungan sebagai suami istri dikarenakan tidak ada keharmonisan lagi dalam rumah tangga oleh sebab itu, kedua belah pihak tidak lagi memiliki hubungan dalam bentuk apapun. Oleh karena itu kedua belah pihak mengakui atas kerelaan dan kesadaran kedua belah pihak, tanpa ada paksaan dari siapapun juga untuk dipergunakan sebagaimana mestinya,” lanjut Pak RT.
“Di bagian bawahnya tulis, yang membuat pernyataan, pihak pertama dan pihak kedua,” tunjuk Pak RT pada kertas bagian bawah yang sedang aku tulis.
“Untuk saksi, Pak Haji Amin, Mang Kardi dan Kang Jamal bersedia menjadi saksi?” tanya Pak RT pada mereka.
“Insya Allah, saya siap!” jawab Pak Haji Amin, Mang Kardi dan Kang Jamal serempak dengan mengacungkan jempol tangan kanan mereka.
“Satu surat lagi ya, Bu,” usul Pak RT ke padaku.
“Surat apalagi, Pak? Kenapa banyak sekali?” protes Mas Adi dengan nada gusar.
Dia seolah tak terima dengan usul Pak RT ini. kang Jamal mencoba menepuk bahu Mas Adi, namun tangannya ditampik oleh Mas Adi yang sedang emosi.
Apakah Mas Adi akan setuju dengan usul Pak RT atau dia akan menyelesaikan dengan caranya sendiri?
****
#SarapanKataJadiBuku
#KMOBatch38
#Kelompok14
#BumiAksara
#Day7
#JumlahKata713
PJ : Haefa
Ketua Kelompok : Lia Desy
Neng Jaga : Dini Nurhayati
Penulis : Khamdiyah Salamun
Judul : BERLIAN ATAU SAMPAH
Genre : Fiksi
Bab 6B
Talak dan Perjanjian Cerai
“Hanya dua, Pak Adi. Ini yang terakhir,” jelas Pak RT dengan nada bijak.
“Assalamu’alaikum, Pak ini materai dan kembaliannya,” pemuda tersebut memberikan materai dan tiga lembar uang dua ribuan.
“Terima kasih, ya, Jang,” ucap Pak RT.
“sama-sama, Pak,” jawabnya.
“lanjut, ya. Surat pernyataan menyaksikan perbuatan zina. Yang bertanda tangan di bawah ini, tulis nama dan alamatnya saksi-saksi tadi, Bu!” titah Pak RT padaku.
“Dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa, nama Adi Perkasa, alamat jalan mawar Indah nomor dua puluh lima. Telah melakukan perbuatan zina pada tanggal lima belas bulan Agustus tahun dua ribu dua puluh satu jam 14.03 di rumah yang beralamat di jalan Mawar Indah nomor dua puluh lima. Dengan seorang wanita yang bernama Rosa Linda. Demikianlah pernyataan ini kami buat dengan sesungguhnya untuk dipergunakan sebagaimana mestinya. Bekasi, tanggal lima belas bulan Agustus tahun dua ribu dua puluh satu. Kami yang membuat pernyataan. Silahkan para saksi untuk menandatanganinya,” perintah Pak RT.
Aku serahkan kertas tersebut pada mereka secara bergantian, setelah aku bubuhi materai di atasnya.
“untuk ikrar talak, silahkan diucapkan, Pak Adi,” tutur Pak RT.
“Jangan lupa dahului dengan basmallah!” saran Pak Haji Amin.
“Bismillahirrahmanirrahim. Intan Berliana Hermawan binti Anugerah Agung Hermawan, kamu saya talak, talak, talak!” Hening, tak ada yang bicara, hanya suara Mas Adi yang terdengar jelas di telingaku, dan beberapa pasang mata memandangku. Entah dengan bagaimana pandangan mereka terhadapku sekarang, aku tak tahu.
Nafasku memburu tak beraturan, air mataku membanjiri pipi yang tak tertahan aku bendung dan hati bagai tercabik sembilu. Aku remas tanganku, sambil sesekali menyeka air mataku.
Aku lihat wajah Bu Hajjah Siti yang menepuk bahuku. Aku berhambur ke pelukannya. Menangis meluapkan segala rasa yang ada.
“Sekarang saya janda, Bu!” tangisku pilu.
“Ini sudah takdir Allah yang harus kamu jalani. Yang sabar dan harus selalu ingat pada Yang Kuasa,” memeluk sambil mengusap punggung belakangku.
“Sekarang kamu harus bisa jaga diri dan kehormatanmu!” Bu Hajjah Siti menasihatiku.
Aku lepas pelukannya sambil menganggukkan kepala. Kali ini dia mengusap kepalaku seraya merapihkan jilbab yang aku kenakan.
“Bu, doakan Intan, ya, Bu,” pintaku menatap wajahnya.
Bu Hajjah Siti mengangguk dengan mengusap bahuku.
“Kalau begitu, saya pamit dulu ya Bu Intan, Pak Adi, dan Mbak Rosa. Jangan lupa simpan surat tadi baik-baik dan segera diproses, ya! Mari Pak Haji, Bu Haji, Mang Kardi, dan Kang Jamal saya duluan, ya. Saya permisi duluan, ya, Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu sekalian. Assalamu’alaikum.” Pamit Pak RT dengan menjabat tangan setiap orang yang ada.
“Terima kasih banyak Pak RT.” Ucapku saat menjabat tangannya.
“Kita juga pamit ya, Bu, Pak,” Pamit Kang Jamal dan Mang Kardi menyusul Pak RT diikuti oleh warga yang hadir.
“Terima kasih Mang Kardi dan Kang Jamal,” ucapku pada mereka.
“Sekarang kamu simpan surat itu di kamar sana, sekalian kemasi barang-barang milik Adi,” perintah Bu Hajjah padaku.
“Ibu dan Bapak pamit dulu, ya, belum shalat Ashar,” pamit mereka pada kami.
“Terima kasih banyak, ya, Bu, Pak.” Aku cium punggung tangan Bu Hajjah Siti lalu menggenggam erat kedua tangannya.
Tinggallah kami bertiga di rumah ini. Segera aku beranjak ke kamar, bermaksud menyimpan surat yang telah aku tulis dan ditandatangani ini di tempat yang aman. Aku mengambil tas ransel milik mantan suamiku dan memasukkan baju-baju miliknya yang ada di lemari ke dalam tas tadi.
“Apa kamu tidak ingin berubah pikiran?” sentak Mas Adi mengagetkanku.
“Tidak, Mas! Keputusanku sudah bulat!” tekadku.
“Ini baju-bajumu, Mas!” Aku serahkan tas ransel tersebut padanya.
Plak! Sebuah tamparan mendarat di pipiku. Terasa perih.
Bukannya menerima tas yang aku berikan, dia malah menampar pipi kiriku. Aku menunduk memegang pipi dengan tangan kiriku, sedang tangan kananku memegang tas miliknya.
“Puas Kamu? Sombong sekali kamu! Awas saja, aku tidak akan memaafkan kejadian hari ini! Tidak akan aku buat hidupmu bahagia! Akan aku buat kau menderita selamanya! Kita lihat saja nanti, bisa apa kau tanpaku! Mungkin lebih baik kau segera menyusul anakmu!” Aku jatuh tersungkur ketika Mas Adi merebut tas ransel miliknya dengan paksa.
Terdengar Mas Adi menyalakan motornya sambil mengumpat. Deru suara motornya terdengar menjauh hingga tak terdengar oleh telingaku.
Dalam keadaan tersungkur aku kembali terisak, dapat kurasakan sakit pada sikut dan dengkulku. Apakah ini awal kebahagiaanku dengan bercerai dengannya atau penderitaanku yang masih belum berakhir dengan teror darinya? Aku seperti berada di sebuah persimpangan jalan, dilema memilih antara melaporkannya ke polisi atau menceraikannya? Mana yang sebaiknya aku pilih?
****
#SarapanKataJadiBuku
#KMOBatch38
#Kelompok14
#BumiAksara
#Day8
#JumlahKata719
PJ : Haefa
Ketua Kelompok : Lia Desy
Neng Jaga : Dini Nurhayati
Penulis : Khamdiyah Salamun
Judul : BERLIAN ATAU SAMPAH
Genre : Fiksi
Bab 7
Keputusan Mantap untuk Bercerai
Hidup itu seperti cermin, dia akan tersenyum jika kita tersenyum, begitupun sebaliknya. Jadi, untuk apa membalas keburukan dengan hal yang sama? Karena hal itu akan mencerminkan kepribadian kita.
Matahari bersinar cerah, memberi kehangatan setelah hujan petir semalam, seolah menggambarkan suasana hati ini. Dengan menyandang status baru sebagai seorang janda secara agama, aku bermaksud mendaftarkan status baruku agar sah di mata negara juga.
Tok! Tok! Tok!
“Assalamu’alaikum,” suara salam dari balik pintu rumahku.
“Wa’alaikum salam, silahkan duduk, Bu.” Membuka pintu lalu mencium telapak tangannya takzim.
Kami berdua duduk berhadapan di sofa yang ada di ruang tamu.
“Bagaimana perasaan kamu sekarang, Intan?” tanya Bu Haji.
“Alhamdulillah, sekarang sudah lebih baik, Bu,” jawabku.
“Kenapa kamu melamun?” Tepukan tangannya mengagetkanku.
“Bu, tentang mas Adi ....” Aku menggantungkan ucapanku.
“Ada apa dengan Adi?” tanya Bu Hajjah dengan dahi berkerut.
“Sebenarnya setelah ibu saya meninggal dunia, perhatian mas Adi terhadapku sedikit demi sedikit berkurang. Setelah ayah menyusul Ibu, mas Adi mulai bertindak kasar padaku. Bahkan, setelah Rayhan tiada, dia membawa wanita lain ke rumahku dan tega memukulku.” Membendung, menahan air mata agar tak meluap.
“Astagfirullah aladzim. Ibu tidak menyangka Adi tega berbuat seperti itu. Kalau begitu, segera urus perceraianmu sekarang, Intan!” Bu Hajjah Siti memegang dadanya.
“Iya, Bu. Intan juga sudah memikirkan hal itu dan akan mendaftar perceraian ke pengadilan agama hari ini,” ucapku.
“Mulai besok, kamu tidak usah berjualan dengan berkeliling lagi, sebaiknya kamu berjualan di depan rumah saja. Gelar daganganmu di atas meja, ambillah bekas etalase yang sudah tidak dipakai di rumah Ibu dan tambah variasi menunya. Masakanmu enak! Insya Allah akan banyak pembeli yang datang!” pesan Bu Hajjah padaku.
“Baik, Bu.” Menanggapi ucapannya.
“Ini ada sedikit uang, kamu gunakan untuk biaya perceraianmu nanti, sisanya untuk modal usahamu.” Bu Hajjah mengeluarkan sebuah amplop berbentuk persegi panjang berwarna putih, lalu memberikannya padaku.
“Tapi, Bu ....” Ucapanku terhenti ketika mengangkat kedua tangan sejajar dengan tangan Bu Hajjah Siti, sedikit mendorong amplop tersebut ke arahnya.
“Jangan ditolak! jika kamu punya uang, kamu boleh mengembalikannya, tapi jika tidak, jangan dipikirkan. Insya Allah Ibu dan Bapak ikhlas. Ini pemberian, bukan hutang! Ibu sudah menganggap kamu seperti anak kandung Ibu sendiri. Orang tuamu juga memberi amanah pada Bapak dan Ibu untuk menjagamu. Ibu merasa sangat bersalah atas meninggalnya Rayhan. Ibu tidak ada di sini selama Rayhan sakit. Ibu dan Bapak pergi selama beberapa hari untuk menghadiri pesta pernikahan keponakan Ibu di kampung halaman dan baru tiba tak lama sebelum kamu membawa Rayhan yang sudah dalam kondisi memprihatinkan.” Bu Hajjah Siti menjelaskan dengan pandangan sendu.
Ya, bukan aku tak ingin menghubunginya untuk memberitahukan kondisi Rayhan, namun gawai milikku satu-satunya tidak memiliki kuota sejak satu bulan yang lalu. Sedang untuk membelinya, aku belum ada uangnya. Begitu menyedihkan nasibku ini.
Ketika aku buka amplop itu, betapa terkejutnya aku melihat uang yang telah kuhitung berjumlah lima juta rupiah.
“Bu, ini terlalu banyak. Bagaimana jika Intan tidak bisa mengembalikannya, Bu?” tolakku.
“Pegang saja dulu, biaya perceraian itu tidak sedikit, pergunakanlah dengan bijak!” sarannya.
“Terima kasih banyak, ya, Bu. Semoga Ibu dan bapak selalu diberi kelapangan rezeki dan kesehatan. Doakan semoga proses perceraian Intan berjalan lancar dan tanpa hambatan, ya, Bu. Aamiin,” ucapku.
“Aamiin. Ya sudah, kamu berangkat dulu sana, takut kesiangan nanti.” Bu Hajjah Siti menepuk bahuku.
“Iya, Intan berangkat dulu, ya, Bu. Terima kasih banyak. Assalamu’alaikum.” Aku dan Bu Hajjah Siti bersama-sama ke luar rumah. Aku mengunci pintu rumah dari luar lalu mencium punggung tangan kanannya takzim.
“Wa’alaikumus salam. Hati-hati di jalan.” Melambaikan tangan kanannya padaku.
“Iya, Bu.” Aku membalas lambaian tangannya sambil tersenyum sumringah padanya.
Bukan tersenyum karena akan senang dengan perceraian yang sedang aku hadapi, ada sedikit luka yang terselip di hati dan mengapa ini harus terjadi? Aku tersenyum karena masih ada orang yang perduli dan memberiku semangat untuk menghadapi hidup ini. Terima kasih banyak, Bu Hajjah. Aku akan selalu mengingat semua jasamu ini.
Pagi ini aku berjalan kaki menuju halte, lalu menaiki angkutan umum menuju pengadilan agama di wilayahku untuk mendaftarkan perceraian ini. Ternyata harus lama mengantri dan membayar biaya yang tidak sedikit jumlahnya bagiku.
Apakah hal ini menyurutkan niat Intan untuk bercerai dengan Adi?
****
Mohon bantu like, komentar dan follow akun saya, ya, Kak.
#SarapanKataJadiBuku
#KMOBatch38
#Kelompok14
#BumiAksara
#Day9
#JumlahKata539
PJ : Haefa
Ketua Kelompok : Lia Desy
Neng Jaga : Dini Nurhayati
Penulis : Khamdiyah Salamun
Judul : BERLIAN ATAU SAMPAH
Genre : Fiksi
Bab 7B
Keputusan Mantap untuk Bercerai
Bukan ... bukan tersenyum karena akan senang dengan perceraian yang sedang aku hadapi, ada sedikit luka yang terselip di hati dan mengapa ini harus terjadi? Aku tersenyum karena masih ada orang yang perduli dan memberiku semangat untuk menghadapi hidup ini. Terima kasih banyak, Bu Hajjah. Aku akan selalu mengingat semua jasamu ini.
Pagi ini aku berjalan kaki menuju halte, lalu menaiki angkutan umum menuju pengadilan agama di wilayahku untuk mendaftarkan perceraian ini. Walau harus lama mengantri dan membayar biaya yang tidak sedikit jumlahnya bagiku, harus aku lakukan agar terbebas dari hinaan dan perlakuan kasar dari Mas Adi.
Setiap orang menginginkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warrohmah. Tidak ada seorang pun yang menginginkan rumah tangganya berakhir dengan perceraian. Banyak pasangan yang saling cinta pada awalnya, namun berakhir dengan ketukan palu cerai dari hakim di pengadilan.
Aku baru mengetahui jika di pengadilan agama terdapat dua jenis perkara perceraian, yaitu cerai gugat dan cerai talak. Cerai gugat jika yang mengajukan perceraian adalah pihak istri, sedangkan jika yang mengajukan perceraian adalah pihak suami disebut cerai talak. Pada cerai talak, persidangan akan jauh lebih lama karena ada ikrar talak di akhir proses perceraian. Ikrar talak adalah pengucapan ikrar talak suami di hadapan persidangan setelah putusannya ditetapkan secara hukum.
Jika istri dan suami hadir, maka persidangan akan berlangsung lama, karena ada proses tanya jawab, setelah itu akan ada pembuktian dari kedua belah pihak. Lain halnya, jika salah satunya tidak pernah hadir, maka persidangan akan berjalan relatif lebih cepat. Beruntung, setelah kejadian penggerebekan saat itu, mas Adi tidak pernah menampakkan batang hidungnya lagi. Baik di rumah maupun di pengadilan agama, sehingga proses perceraian dapat dipercepat. Surat keterangan saksi atas tindakan zina yang dilakukan suamiku pun, memperkuat alasan perceraianku di hadapan hakim sehingga mempercepat proses perceraian.
Aku mendaftarkan gugatan cerai di pengadilan agama, bukan tanpa alasan. Aku melakukan ini karena sudah mempunyai surat pernyataan cerai yang ditandatangani oleh mas Adi dan tidak mungkin mengharapkan mas Adi yang menceraikanku di pengadilan. Jangankan untuk mengajukan perceraian di pengadilan yang membutuhkan biaya tidak sedikit, untuk berobat anaknya yang sedang sakit saja dia tidak mau mengeluarkan uangnya. Jadi keputusanku untuk menggugat cerai dia, adalah keputusan yang tepat bagiku.
Setelah menunggu empat bulan lebih lamanya, kini, salinan akta cerai sudah di tanganku. Aku sungguh tidak pernah menyangka sebelumnya, di usiaku yang menginjak dua puluh empat tahun, aku harus menyandang status janda dengan pernikahan yang hanya bertahan tiga tahun saja tanpa kehadiran Ibu, Ayah, dan Rayhan, putraku, yang telah terlebih dahului meninggalkanku dari dunia ini.
Ketidakhadiran mas Adi pada sidang, mempercepat proses perceraian yang aku jalani. Aku dan Mas Adi sudah tidak ada ikatan lagi sekarang, baik secara hukum, maupun secara agama. Dia hanya mantan suamiku, yang sudah tidak perlu aku pikirkan bagaimana keadaannya dan dimana keberadaannya kini. Aku juga tidak melaporkan semua tindakannya yang telah menyakitiku pada polisi, karena aku tidak ingin memperpanjang urusan dengannya lagi. Wajah tampannya seolah menimbulkan rasa luka dan trauma yang amat mendalam bagiku. Bahkan sempat terlintas dalam benakku untuk ....
****
Mohon bantu like, komentar dan follow akun saya, ya, Kak.
#SarapanKataJadiBuku
#KMOBatch38
#Kelompok14
#BumiAksara
#Day10
#JumlahKata656
PJ : Haefa
Ketua Kelompok : Lia Desy
Neng Jaga : Dini Nurhayati
Penulis : Khamdiyah Salamun
Judul : BERLIAN ATAU SAMPAH
Genre : Fiksi
Bab 8
POV Intan
Tiga tahun lalu, sehari setelah wisuda kelulusanku di sebuah perguruan tinggi negeri, Ayah mengenalkanku pada putra teman dekatnya yang baru datang dari daerah. Wajahnya tampan dan terlihat sederhana, itulah kesan pertamaku saat melihatnya.
“Intan, Ibu, sini!” Ayah memanggil aku dan Ibu.
“Iya, Ayah.” Aku yang sedang membantu Ibu memasak sayur sop di dapur dengan Simba, kucing kesayanganku yang setia bermanja di kakiku , beranjak menuju arah datangnya suara.
“Ayo ikut Ayah ke depan, Ayah ingin memperkenalkan tamu Ayah pada kalian.” Aku dan Ibu mengikuti langkah Ayah menuju ke ruang tamu.
“Intan, Ibu, kenalkan, ini Pak Ari, teman Ayah sewaktu kuliah dulu. Pak Ari dan Ayah teman satu kamar kos dulu.” Aku dan Ibu menjabat tangan Pak Ari bergantian dengan menyebut nama kami.
“Sedangkan ini Adi, anak dari Pak Ari. Dia bekerja di perusahaan Ayah sekarang,” jelas Ayah.
“Adi Perkasa.” Pemuda berhidung bangir tersebut mengulurkan tangannya padaku.
“Intan Berliana Hermawan.” Aku menjabat uluran tangannya dengan tersenyum semanis mungkin.
Tak lama setelah perkenalan itu, Ayah dan Adik laki-lakinya yang bernama Aji Permana datang untuk melamarku dan tepat satu bulan kemudian, kami menikah.
Setelah menikah, Aku dan Mas Adi tinggal bersama orang tuaku di rumah ini. Hidupku terasa sangat lengkap dan bahagia saat itu.
Namun, kebahagiaan itu tak bertahan lama, dua bulan setelah statusku berubah menjadi seorang istri, Ibu pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya. Ini adalah kehilangan terbesar dalam hidupku. Tidak ada lagi kasih sayang dan kehangatan seorang Ibu. Aku merasa menyesal pernah melawan perkataannya. Aku menyesal tidak menghabiskan waktu lebih banyak dengannya. Aku sangat merindukannya. Aku kesepian tanpa keberadaannya.
Setelah kepergian Ibu, Ayah pun menyerahkan tanggung jawabnya di perusahaan yang telah dia rintis susah payah kepada suamiku. Begitu percayanya dia pada mas Adi tanpa memperdulikan bisa atau tidak, mas Adi mengemban tanggungjawab tersebut.
“Ayah ingin menghabiskan masa tua Ayah bersama kamu. Ayah sudah tidak ingin mengurus perusahaan. Sudah lelah rasanya,” ucap Ayah.
Satu tahun setelah pernikahanku, Allah memberikan amanat sebuah janin di rahimku. Aku dan Mas Adi sangat gembira, apalagi Ayah. Ini adalah cucu pertamanya. Hari-hariku lebih banyak menghabiskan waktu di rumah bersama Ayah, karena Mas Adi harus pergi ke kantor setiap hari, bahkan terkadang sabtu dan minggu pun tak ada di rumah. Hingga tiba saatnya seorang bayi laki-laki mungil lahir ke dunia yang ku beri nama Rayhan Adinata Perkasa yang bermakna anak laki-laki dari Adi dan Intan yang unggul dan tangguh.
Saat usia Rayhan menginjak lima bulan, kondisi perusahaan mulai goyah dan hingga akhirnya bangkrut. Sejak itu, Ayah mulai sakit-sakitan, tak dapat dipungkiri mungkin karena memikirkan tentang tumbangnya hasil karyanya itu. Karena kondisi yang kadang stabil dan terkadang tidak, dia harus bolak-balik dirawat di rumah sakit. Sedangkan, karena aku mempunyai seorang bayi, aku tidak bisa seratus persen menjaga Ayah di rumah sakit. Untung ada Bi Tus, satu-satunya asisten rumah tanggaku yang masih tersisa yang membantu merawat Ayah selama berada di rumah sakit hingga Ayah tiada.
“Ayah ....” lirihku di hadapan tubuhnya yang sudah tak bernyawa.
“Ayah, maafkan Intan. Jangan tinggalkan Intan, Ayah ....” Bersimpuh terisak. Memeluk erat tubuh yang sudah tak berdaya.
Namun anehnya, saat ibu dan ayahku meninggal dunia, tak ada satupun keluarga suamiku yang datang melayat. Bukankah ayah mas Adi dan Ayahku berteman baik, bahkan teman dekat? Apakah mas Adi tidak memberi tahu kepada keluarganya mengenai kepergian kedua orang tuaku? Kenapa? Apakah dia malu karena kondisi perusahaan ayah saat ini yang sedang dia pegang? Aku tidak tahu alasannya. Sejak kepergian Ayah, Bi Tus mengundurkan diri tanpa alasan dan sejak saat itu pula, aku mendapat perlakuan dan kata-kata kasar dari suamiku. Seribu tanya muncul dalam benakku.
****
Mohon bantu like, komentar dan follow akun saya, ya, Kak.Agar saya jadi tambah semangat menulis. Terima kasih banyak atas bantuan kalian, saya doakan bagi yang membaca karya saya di aplikasi bukulaku diberi kemudahan rezeki. Aamiin.
Bab 8B
#SarapanKataJadiBuku
#KMOBatch38
#Kelompok14
#BumiAksara
#Day11
#JumlahKata821
PJ : Haefa
Ketua Kelompok : Lia Desy
Neng Jaga : Dini Nurhayati
Penulis : Khamdiyah Salamun
Judul : BERLIAN ATAU SAMPAH
Genre : Fiksi
Bab 8B
POV Intan
Menurut buku yang aku baca, hidup itu seperti cermin, dia akan tersenyum jika kita tersenyum, begitupun sebaliknya. Jadi, untuk apa membalas keburukan dengan hal yang sama? Karena hal itu akan mencerminkan kepribadian kita. Oleh sebab itu, aku berusaha tabah menghadapinya, mungkin itu hanya luapan emosinya karena gagal mempertahankan perusahaan ayah atau mungkin karena pergaulannya atau gengsinya yang turun drastis karena kini menjadi tukang ojek.
Hari-hari aku lewati dengan sangat berat, dengan rumah sebesar ini, tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Mulai dari listrik, air, gas, hingga biaya kebersihan dan keamanan. Lampu yang biasanya dinyalakan semua saat malam hari, hanya tersisa dua lampu yang dinyalakan, yaitu: lampu ruang tamu dan lampu kamar atau kamar mandi, itupun dimatikan setelah tidak ditempati. Begitupun peralatan lainnya, seperti: AC, Frezer, televisi, mesin cuci, air purifier, water heater, dan lain-lain. Hingga tersisa kulkas saja di rumah, semua habis dijual oleh suamiku entah kemana uangnya. Dengan tidak adanya asisten rumah tangga yang membersihkan rumah setiap hari dan jasa kebersihan yang membersihkan sofa, tempat tidur dan lainnya satu bulan sekali, mengharuskanku mengerjakan semua
seorang diri, walau tidak sebersih dan serapih dahulu, karena kondisi ekonomi yang sedang sulit. Hingga petugas keamanan yang berjaga di depan rumahku pun harus diberhentikan. Semua itu aku lakukan karena suamiku hanya memberi nafkah dua puluh ribu sehari untuk dua orang dewasa dan satu orang bayi.
Aku bertahan beberapa bulan dengan kondisi ini, demi anakku Rayhan. Berjualan sayur dan lauk matang yang aku masak sendiri dengan berkeliling menggendongnya di belakang dan menggendong Rayhan di depan. Lelah dan penat tak aku hiraukan, agar dapat makan dan selalu bersama anak yang kugendong.
Namun, tiga hari belakangan, aku tidak berjualan. Badan anakku panas, rentan jika harus aku bawa berkeliling dan berpanas-panasan. Uang untuk modal jualan pun habis untuk makan dan membeli obat Rayhan. Boros? Ya! Karena Mas Adi hanya mau makan rendang, ayam goreng, opor, atau gulai dengan menu berbeda setiap kali makan. Jika pagi aku sediakan ayam goreng, malamnya saat dia pulang tidak boleh ada ayam goreng lagi, harus rendang, opor atau gulai ditemani menu pendamping lainnya. Sedang uang yang dia berikan, tidak mencukupi untuk membeli semua itu.
Hari itu, Mas Adi berteriak memanggilku hingga mengejutkanku yang sedang tertidur bersama Rayhan yang sedang sakit. Aku yang sudah tidak punya uang hanya memasak nasi dan satu papan tempe goreng yang tersisa di kulkas. Dia membanting tempe goreng tersebut hingga berjatuhan di atas meja. Dia juga mengabaikan permintaanku untuk membawa buah hati kami yang sedang tidak sehat untuk diperiksa ke dokter dengan pergi dalam kondisi emosi.
Namun, naas. Setelah kembali ke kamar, putra semata wajangku, aku temukan dalam kondisi kejang. Dalam keadaan panik, kubopong tubuh mungilnya ke luar rumah. Bu Hajjah Siti! Kulihat Bu Hajjah siti sedang berada di teras rumahnya. Ku hampiri dirinya dngan berlari menggendong Rayhan. Tak, lama kemudian kami membawa Rayhan ke rumah sakit dengan mobilnya ditemani Pak Haji Amin yang menyetir mobil. Namun, kondisi Rayhan sudah tidak bisa tertolong. Perih, sedih, menyesal, bahkan hancur hatiku, dunia seolah runtuh.
Tidak hanya itu, bahkan menurut tetanggaku yang berprofesi sama di tempat yang sama dengan suamiku, suamiku sudah tidak bekerja mengantar penumpang dari dan menuju ke sana lagi. Orang tersebut pun mengatakan jika pernah beberapa kali melihat suamiku membonceng wanita cantik. Dapat aku pahami, namun sulit untuk aku terima, hati ini seolah menolak jika hal itu benar adanya. Hingga akhirnya aku melihat dengan mata kepalaku sendiri kejadian itu di kamarku. Tega sekali dia padaku! Hancur sudah seluruh hidupku!
Mas Adi dengan seorang wanita bersama di kamarku. Beruntung, aku berada di lingkungan yang baik, hingga rumah tanggaku bisa selesai dan aku mendapat surat pernyataan untuk menggugat cerainya.
Setelah menunggu empat bulan lebih lamanya, kini, surat cerai sudah di tanganku. Ketidakhadiran mas Adi pada sidang, mempercepat proses perceraian yang aku jalani. Aku dan mas Adi sudah tidak ada ikatan lagi, dia hanya mantan suamiku, yang sudah tidak perlu aku pikirkan bagaimana keadaannya. Aku juga tidak melaporkan semua tindakannya pada polisi, karena tidak ingin memperpanjang urusan dengannya lagi. Wajah tampannya seolah menimbulkan rasa luka dan trauma yang amat mendalam bagiku. Sekarang ini, aku ingin menata hati dengan pikiran dan perasaan yang bersih dan jauh dari segala sesuatu yang berhubungan tentang dirinya.
Aku merasa hari-hari yang aku jalani saat ini menjadi lebih indah dan lebih berwarna, lebih tenang dan juga damai, setelah menceritakan semua yang aku alami selama ini pada Bu Hajjah Siti dan mencoba belajar ikhlas dengan semua ketentuan dari Yang di Atas, atas segala ketetapannya yang telah terjadi pada hidupku. Bu Hajjah Siti pun rajin dan tak pernah bosan menuntunku untuk lebih mendekatkan diri pada Yang Kuasa, bahkan tak jarang aku diajak untuk menjadi pembawa acara di acara kajian yang dihadirinya. Alhamdulillah aku di kelilingi oleh orang-orang yang baik. sehingga emosiku yang dulu meledak-ledak beberapa bulan yang lalu, perlahan-lahan hilang. Aku seolah kembali pada diriku yang dulu. Intan yang belum bertemu dengan mantan suamiku itu. Mentalku Insya Allah kembali pulih. Hingga akhirnya ....
****
Mohon bantu like, komentar dan follow akun saya, ya, Kak.Agar saya jadi tambah semangat menulis. Terima kasih banyak atas bantuan kalian, saya doakan bagi yang membaca karya saya di aplikasi bukulaku diberi kemudahan rezeki. Aamiin.
Bab 9
#SarapanKataJadiBuku
#KMOBatch38
#Kelompok14
#BumiAksara
#Day12
#JumlahKata531
PJ : Haefa
Ketua Kelompok : Lia Desy
Neng Jaga : Dini Nurhayati
Penulis : Khamdiyah Salamun
Judul : BERLIAN ATAU SAMPAH
Genre : Fiksi
Bab 9
Bertemu Mantan
Setelah mendapat salinan akta cerai, sore harinya atas izin dari Bu Hajjah Siti, aku mengambil etalase bekas Bu Hajjah berdagang dahulu di rumah Bu Hajjah Siti. Dengan bantuan Pak Haji Amin, aku mengangkat etalase tersebut dari gudang belakang rumahnya menuju halaman depan rumahku.
“Terima kasih, Pak Haji,” ucapku pada Pak Haji Amin.
“Sama-sama, kalau butuh apa-apa, bilang saja, ya.” Pak Haji menepuk-nepuk kedua telapak tangannya yang terkena debu.
“Iya, Pak.” Aku tersenyum dan Pak Haji Amin berlalu menuju ke rumahnya.
Karena sudah lama tidak dipakai, debu yang melekat pada talas tersebut pun banyak dan sulit untuk dihilangkan jika hanya dilap saja. Aku berinisiatif mengambil selang, ember kecil, sabun dan spons untuk mencucinya. Aku menyemprotkan terlebih dahulu air pada seluruh bagian sisi etalase, sebelum dicuci dengan menggunakan sabun. Aku gosok seluruh permukaannya, bagian dalam maupun bagian luar, dengan menggunakan spons yang telah diberi air dan sabun hingga tidak ada lagi kotoran yang menempel. Setelah itu, aku semprot kembali menggunakan air. Terakhir, aku keringkan menggunakan lap kering. Alhamdulillah terlihat bersih dan tak bernoda seperti baru. Bu Hajjah juga memberikan aku empat buah kursi plastik yang juga telah aku cuci bersih.
Tin! Tin! Terdengar suara klakson kendaraan memekakkan telinga ketika aku hendak merapihkan peralatan tersebut. Aku kaget, tidak percaya dengan apa yang baru saja aku lihat dengan mata kepalaku sendiri.
“Wow! Istriku rajin sekali!” Mas Adi turun dari motor dengan kapasitas silinder dua ratus lima puluh sentimeter kubik berwarna hijau buatan Jepang dengan seorang wanita cantik di belakangnya, ya ... wanita yang sama yang aku lihat saat penggerbekan waktu itu.
“Istri? Mantan Istri, Mas! Mau apa Mas ke sini?!” ucapku dengan nada sedikit emosi.
“Sabar, Intan, sabar.” Mengelus dada perlahan dan mencoba menarik napas dalam-dalam dan menghembuskankan pelan-pelan.
“Aku hanya ingin melihat kondisimu, apa sudah sukses dinikahi lelaki kaya? Atau om-om hidung belang, mungkin! Ternyata kau masih sama saja kondisinya seperti dulu, masih miskin! Hahaha ....” Tertawa lepas memandang wajahku sambil sesekali melihat wanita di sampingnya yang juga ikut menertawakanku.
“Kau lihat aku sekarang! Motorku sudah aku ganti dengan yang jauh lebih bagus, aku juga sudah lama menikahi Rosa yang jauh lebih cantik dan s*ksi darimu! Iya kan, Sayang?” Mas Adi meletakkan tangannya di bahu wanita itu dan mengec*p dahi wanita yang enggan aku sebut namanya itu, tepat di hadapanku.
Mas Adi dan wanita itu sudah lama menikah katanya? Pasti itu pernikahan siri, mana mungkin secara negara? Karena aku tidak pernah membuat surat pernyataan rela dimadu seperti keinginannya, sedang salinan akta cerai milikku saja baru aku terima hari ini, mungkin salinan akta cerai punya Mas Adi juga baru hari ini dia terima. Ah, apa peduliku!
“Kalau kedatangan Mas ke sini hanya untuk pamer harta dan kemesraan saja, mohon maaf, aku tidak terpengaruh! Silahkan kalian pergi dari sini!” ucapku dengan tegas.
Bukannya mendengarkan ucapanku, Mas Adi malah melengos masuk ke dalam rumah bersama wanita itu. Apa yang harus aku lakukan? Kenapa Mas Adi datang kembali ke kehidupanku bersama wanita itu? Bagaimana aku akan menghadapi Mas Adi dan wanita itu?
****
Bab 9B
#SarapanKataJadiBuku
#KMOBatch38
#Kelompok14
#BumiAksara
#Day13
#JumlahKata584
PJ : Haefa
Ketua Kelompok : Lia Desy
Neng Jaga : Dini Nurhayati
Penulis : Khamdiyah Salamun
Judul : BERLIAN ATAU SAMPAH
Genre : Fiksi
Bab 9B
Bertemu Mantan
“Kalau kedatangan Mas ke sini hanya untuk pamer harta dan kemesraan saja, mohon maaf, aku tidak terpengaruh! Silahkan kalian pergi dari sini!” ucapku dengan tegas.
Bukannya mendengarkan ucapanku, Mas Adi malah melengos masuk ke dalam rumah. Namun, sebelum Mas Adi dan istrinya itu masuk ke dalam rumah, aku mencegahnya.
“Mas sudah dapat salinan akta cerai, bukan? Sejak Mas ucapkan talak cerai waktu itu, kita sudah bercerai secara agama, dan kita juga sudah resmi bercerai secara negara, buktinya, ya salinan akta cerai itu. Jadi, Mas bukan suamiku lagi, tidak bisa seenaknya masuk ke rumah ini begitu saja. Kita bukan muhrim lagi!” jelasku panjang lebar.
“Banyak bicara kau sekarang!” bentaknya padaku.
“Terserah ... mulut, mulut aku. Tidak ada urusannya dengan Mas!” gertakku.
“Berani kamu sekarang!” bentaknya dengan suara bernada tinggi.
“Kalau cuma teriak maling saja sih, aku berani, Mas! Cuma, apa Mas berani dikeroyok oleh warga di sini? Semua orang di sini sudah tahu bagaimana bej*tnya perilaku Mas, mungkin ... dengan aku teriak maling, emosi orang- orang yang tertahan saat hendak memukulimu waktu penggerebekan itu, bisa mereka lampiaskan padamu hari ini!” ancamku balik padanya.
Mas Adi melampiaskan amarahnya dengan meninju pintu dengan mata melotot ke arahku.
”Pintu tidak ada salah apa-apa pun kena pukul,” gumamku.
“Oh iya. Aku belum mengucapkan selamat kepada kalian. Selamat ya atas pernikahan kalian. Terima kasih ya, Mba sudah mengambil Mas Adi dariku, semoga hidup kalian berdua bahagia,” ucapku dengan senyum penuh ejek.
“Kalau kau kira kami sengsara sepertimu, kau salah! Kau lihat! Kami bahagia, mau beli apa juga bisa! Jangan samakan dia denganmu!” telunjuk kanannya menunjuk ke arahku.
“Ah ... itu kan karena kalian baru menikah, dulu Mas juga begitu. Tapi apa selanjutnya? Mas habisi seluruh harta orang tuaku, kau selingkuh dengan wanita ini hingga kau abaikan hidup anakmu,” ucapku menyepelekan.
“Apa kau tidak pernah berpikir hal yang sama bisa saja terjadi padamu? Oh ... aku harap tidak!” Aku mendekat, menatap wanita itu sambil tersenyum padanya dan menaik turunkan alisku.
“Tutup mulutmu, Intan!” bentak Mas Adi.
“Aku sudah mengetahui perselingkuhanmu dengan wanita ini sebelum penggerebekan waktu itu. Apa kau tahu? Hanya saja aku bukan wanita bod*h! Aku memilih diam, aku menunggu saat yang tepat untuk mengakhiri pernikahan kita. Aku tidak ingin berurusan denganmu lagi! Itu tujuanku mengajukan cerai ke pengadilan agama. Seandainya kehadiranmu ke sini hanya untuk mengganggu hidupku lagi, jangan salahkan aku yang akan berubah pikiran untuk melaporkanmu ke polisi, terlebih sudah masuk ke rumah orang dan membuat keributan di sini!” terangku panjang lebar.
“Kau pasti akan menyesal, Intan. Kau salah mengambil keputusan!” ancamnya.
“Ya kamu memang benar, Mas! Aku memang menyesal, kenapa kita tidak berpisah sejak dulu? Itu yang aku sesalkan!” sindirku padanya.
“Sekarang aku bahagia, jauh lebih bahagia dan belajar menikmati hidup. Terima kasih aku ucapkan karena telah mengubah hidupku. Oh iya, aku sedang sibuk dan tidak menerima tamu. Sebaiknya kalian berdua pergi dari sini! Ingat Mas! Jika kamu mengganggu hidupku lagi, jangan salahkan aku bertindak semauku! Kamu tidak mau kan, wanita cantikmu ini menangis sepanjang hari karena suami tercintanya di penjara?” Tersenyum licik menatapnya.
Mas Adi pergi menjauh dari rumahku dengan penuh emosi, menendang sebuah kursi plastik berwarna hitam yang telah aku bersihkan tadi. Dia pergi mengendarai motor barunya yang bersuara bising, melaju dengan kencang dengan membonceng yang katanya istrinya itu di bagian belakang.
Apa yang ada di benak Intan sekarang?
****
Mohon bantu like, komentar dan follow akun saya, ya, Kak.
Agar saya jadi tambah semangat menulis.
Terima kasih banyak atas bantuan kalian, saya doakan bagi yang membaca karya saya di aplikasi Bukulaku diberi kemudahan rezeki. Aamiin.
Bab 10
#SarapanKataJadiBuku
#KMOBatch38
#Kelompok14
#BumiAksara
#Day14
#JumlahKata638
PJ : Haefa
Ketua Kelompok : Lia Desy
Neng Jaga : Dini Nurhayati
Penulis : Khamdiyah Salamun
Judul : BERLIAN ATAU SAMPAH
Genre : Fiksi
Bab 10
Masa Iddah dan Memulai Usaha
Setelah kepergian Mas Adi dan istri barunya itu, aku segera masuk ke dalam rumah menuju dapur. Aku membersihkan ayam yang telah aku beli, tak lupa memercikkan perasan air jeruk nipis di atasnya. Lalu menambahkan bumbu di atas minyak panas, menumis bumbu tersebut hingga harum, memasukkan ayam yang telah dibersihkan tadi ke dalamnya, lalu memasukkan air hingga ayam terendam. Aku rebus ayam berbumbu tersebut dalam wajan tertutup hingga matang.
Sambil merebus ayam, aku mulai mengupas, memotong, dan menggoreng kentang. Sembari menggoreng kentang, aku mengupas bawang, mengirisnya tipis, lalu menggorengnya setelah menggoreng kentang.
Aku lanjut memotong tempe, lalu menggorengnya. Terakhir menggoreng ikan sambil merajang sayur.
Malam pun telah tiba, tubuh terasa penat sudah, aku menyimpan bahan makanan yang telah aku siapkan tadi untuk diproses lebih lanjut besok. Aku membersihkan diri dari peluh yang menyelimuti tubuh di kamar mandi. Menuju kamar meluruskan kaki, menyejajarkannya dengan tubuh dan kepala di atas ranjang, mengistirahatkan diri dengan berbaring untuk melepas lelah.
Esok harinya, aku terbangun saat dini hari, bermunajat pada sang pencipta, lalu mulai memasak dengan penuh semangat. Aku mencuci beras untuk memasak nasi, menghaluskan cabai dan tomat lalu menumisnya untuk membuat sambal goreng kentang dan ikan tongkol balado.
Lanjut aku menggoreng ayam, menumis bumbu pesmol untuk membuat ikan bumbu pesmol, menumis tauge dan orek tempe, memasak sayur sop dan telur dadar.
Setelah adzan subuh berkumandang, bergegas aku mandi dan menunaikan kewajibanku, shalat wajib dua rakaat.
Alhamdulillah, hampir semua hidangan selesai, sudah ada sambel goreng kentang, ayam goreng, ikan pesmol, ikan balado, tumis tauge, sayur sop, orek tempe, telur dadar, sayur bayam dan nasi tentunya. Tinggal memasak gorengan saja.
Aku membawa hasil masakanku ke halaman depan rumahku. Aku tata rapih di atas nampan kotak berbahan stainless stell di dalam etalase yang kemarin diberi oleh Bu Hajjah Siti. Tak lupa aku siapkan piring, sendok, gelas dan air mineral dalam teko plastik jika ada pelanggan yang ingin makan langsung di sini. Aku juga membawa kompor satu tungku, gas berwarna hijau melon, wajan, dan sutil untuk menggoreng tempe dan tahu berbalut tepung. Aku juga membawa bahan-bahan untuk memasaknya seperti minyak, tahu, tempe, tepung, dan bumbu.
Namun, hingga pukul tujuh pagi, belum ada orang yang datang untuk membeli daganganku. Aku mematikan kompor, menghentikan aktifitas menggoreng sejenak. Aku duduk di balik etalase, berharap daganganku hari ini bisa habis terjual walau masih terselip sedikit ragu di hati.
“Intan!” sapa wanita paruh baya berjilbab hitam.
Aku berdiri dari dudukku melihat seseorang menengok di balik etalase.
Dia adalah Mak Ida, pemilik warung kelontong di ujung jalan yang merupakan salah satu pelanggan setiaku saat aku berkeliling menjajakan sayur dari rumah ke rumah.
“Eh, Mak Ida. Dari mana?” tanyaku padanya.
“Dari rumah Bu Hajjah Siti, mau mengundangnya untuk hadir mengisi acara untuk arisan ibu-ibu di rumah saya besok. Jangan lupa besok datang, ya! Kamu apa kabar Intan?” jelas Mak Ida.
“Insya Allah, Intan datang besok. Alhamdulillah baik, Mak. Mak sendiri bagaimana kabarnya? Duduk, Mak!” pintaku padanya.
Aku memberikan kursi plastik berwarna hitam ke arahnya.
“Alhamdulillah Emak masih sehat wal afiat, Intan. Mak kira kamu kemana, beberapa hari ini tidak mampir berjualan ke warung Emak. Ternyata sekarang berjualan di sini.” Mak Ida duduk di kursi plastik yang aku berikan.
“Iya, Mak. Intan juga baru mulai berjualan di rumah hari ini. Alhamdulillah Intan dan Mas Adi sudah resmi bercerai secara agama dan negara, atas saran dari Bu Hajjah Siti selama masa iddah sebaiknya Intan berjualan di rumah saja, Mak. Tapi ....”
***
Mohon bantu like, komentar dan follow akun saya, ya, Kak, agar saya jadi tambah semangat menulis.
Terima kasih banyak atas bantuan kalian, saya doakan bagi yang membaca karya saya di aplikasi Bukulaku diberi kemudahan rezeki. Aamiin.
Bab 10B
#SarapanKataJadiBuku
#KMOBatch38
#Kelompok14
#BumiAksara
#Day15
#JumlahKata648
PJ : Haefa
Ketua Kelompok : Lia Desy
Neng Jaga : Dini Nurhayati
Penulis : Khamdiyah Salamun
Judul : BERLIAN ATAU SAMPAH
Genre : Fiksi
Bab 10B
Masa Iddah dan Memulai Usaha
“Dari rumah Bu Hajjah Siti, mau mengundangnya untuk hadir mengisi acara untuk arisan ibu-ibu di rumah saya besok. Jangan lupa besok datang, ya! Kamu apa kabar Intan?” jelas Mak Ida.
“Insya Allah, Intan datang besok. Alhamdulillah baik, Mak. Mak sendiri bagaimana kabarnya? Duduk, Mak!” pintaku padanya.
Aku memberikan kursi plastik berwarna hitam ke arahnya.
“Alhamdulillah Emak masih sehat wal afiat, Intan. Mak kira kamu kemana, beberapa hari ini tidak mampir berjualan ke warung Emak. Ternyata sekarang berjualan di sini.” Mak Ida duduk di kursi plastik yang aku berikan.
“Iya, Mak. Intan juga baru mulai berjualan di rumah hari ini. Alhamdulillah Intan dan Mas Adi sudah resmi bercerai secara agama dan negara, atas saran dari Bu Hajjah Siti selama masa iddah sebaiknya Intan berjualan di rumah saja, Mak.”
“Oh, bagus kalau begitu. Mak juga setuju dengan saran Bu Hajjah Siti. Wah, makin banyak pilihan menunya nih, makin lengkap!” Mata Mak ida menyapu seluruh bagian etalase.
“Bungkuskan Emak sambal goreng kentang lima ribu, sayur bayam lima ribu dan ikan pesmol dua, ya!” pinta Mak Ida.
“Kalau Emak minta dibuatkan ikan pesmol lagi dua untuk besok, bisa?” lanjut Mak Ida.
“Bisa, Mak. Besok Intan antar ikan pesmolnya, ya, Mak! Kalau Emak mau pesan, tinggal WA intan aja, Mak!” jawabku.
“Jangan lupa kamu posting daganganmu ini di WA, biar banyak orang sini yang tahu. Mak saja yang setiap hari berlangganan, tidak tahu kalau sekarang kamu berjualan di rumah. Nanti Emak kasih tahu orang-orang yang datang k warung, kalau kamu berjualan di sini,” saran Mak Ida.
“Terima kasih banyak, ya, Mak,” ucapku.
“Sama-sama. Semua berapa, Intan?” tanya Mak Ida padaku.
“Jadi tiga puluh ribu, Mak. Ini Intan tambahkan telur dadar buat pelaris. Hehe ....” Membungkus pesanan Mak Ida dalam kantong plastik bening.
“Terima kasih, ya, Intan.” Mengeluarkan dompet dari sakunya.
“Sama-sama, Mak! Intan juga ucapkan terima kasih sudah banyak membantu Intan dengan membeli masakan Intan dan mau bantu promisi dagangan Intan.” Tersenyum ramah padanya.
“Ish ... kamu ini apa-apaan, sih! Kita kan tetangga, ya harus saling tolong-menolong.” Mak Ida menyerahkan selembar uang lima puluh ribu rupiah.
“Iya, Mak.” Menyerahkan dua lembar uang sepuluh ribu rupiah untuk kembalian.
“Kalau begitu, Mak pamit dulu, ya. Semoga laris dagangannya. Aamiin,” harapan Mak Ida.
“Aamiin. Terima kasih banyak, Mak,” ucapku.
Mak ida pun berlalu dari hadapanku.
Aku mengambil gambar seluruh masakanku hari ini dengan gawaiku, lalu menjadikannya status di aplikasi pesan berwarna hijau. Aku juga mendaftar di aplikasi ojek makanan. Selain mendaftarkan semua menu yang tersedia, aku juga memberikan beberapa pilihan paket yang dapat dipilih sesuai selera. Mulai dari paket hemat seharga sepuluh ribu rupiah untuk nasi, gorengan, sayur dan sambal, hingga menu komplit seharga tiga puluh lima ribu rupiah untuk nasi, ayam goreng, ikan pesmol, sambal goreng kentang, sayur sop, dan sambal.
Alhamdulillah, tak lama setelah Mak Ida, pembeli pertamaku datang, banyak tetanggaku yang datang unyuk membeli. Ada pula yang memesan lewat gawai dan meminta untuk diantar ke rumah dan tak sedikit yang memesan menu untuk disajikan besok.
Pengemudi ojek berjaket hijau pun sudah ada beberapa yang datang memesan. Baik yang memesan sesuai aplikasi, maupun yang datang untuk makan langsung di tempat. Hari ini aku memberi telur dadar secara gratis untuk setiap pelanggan yang datang membeli sebagai promosi.
Alhamdulillah, sebelum pukul dua belas siang, daganganku sudah laris terjual. Tak lupa aku menyisakan tiga porsi makanan, untukku, Bu Hajjah Siti, dan Pak Haji Amin.
Setelah merapihkan dan mencuci semua perlengkapan dagang dan memesan sayur pada langgananku di pasar melalui gawai, aku membawa dua porsi makanan ke rumah Bu Hajjah Siti. Namun ...
***
Mohon bantu like, komentar dan follow akun saya, ya, Kak, agar saya jadi tambah semangat menulis.
Terima kasih banyak atas bantuan kalian, saya doakan bagi yang membaca karya saya di aplikasi Bukulaku diberi kemudahan rezeki. Aamiin.
Bab 11
#SarapanKataJadiBuku
#KMOBatch38
#Kelompok14
#BumiAksara
#Day16
#JumlahKata585
PJ : Haefa
Ketua Kelompok : Lia Desy
Neng Jaga : Dini Nurhayati
Penulis : Khamdiyah Salamun
Judul : BERLIAN ATAU SAMPAH
Genre : Fiksi
Bab 11
Dagangan Laris
Tok! Tok! Tok! Aku ketuk pintu rumah Bu Hajjah Siti.
“Assalamu’alaikum ... Assalamu’alaikum, Bu Hajjah Siti ... Assalamu’alaikum ....” Tak lupa aku mengucap salam.
Sudah tiga kali aku mengetuk rumah Bu Hajjah Siti, namun tidak terdengar jawaban dari dalam rumah, mungkin Bu Hajjah Siti dan Pak Haji Amin sedang keluar rumah.
Aku kembali ke rumah membawa dua porsi nasi yang belum aku berikan pada mereka. Terdengar suara adzan dzuhur berkumandang, saat aku membuka pintu rumah. Aku menuju ke dapur meletakkan dua piring berisi nasi, lauk dan sayur tadi di atas meja makan, lalu aku menutupnya dengan tudung saji berbahan plastik dengan lapisan kain berwarna hijau muda.
Segera aku menuju ke kamar mandi untuk berwudhu, setelah itu beranjak ke kamar untuk menunaikan shalat Dzuhur. Aku mengucap syukur yang tiada hentinya kepada Sang Pencipta, karena keberkahan yang telah aku terima hari ini dan berdoa untuk kelancaran rezeki hari ini dan hari-hari berikutnya.
Selesai sholat dan berdoa, aku melipat mukena, menuju dapur kmbali untuk makan siang. Satu porsi nasi lengkap dengan ayam goreng, sambal goreng kentang dan sayur sop, menu yang sangat istimewa bagiku setelah sekian lama aku hidup dengan Mas Adi. Saat bersama dengannya dulu, aku berusaha seirit mungkin agar bisa menyediakan menu kesukaannya, ayam goreng, opor ayam, rendang, atau gulai iga, walau aku harus berkorban hanya makan dengan tahu, tempe, atau kuah sayur sisa jualan saja. Sungguh miris bukan padahal aku berjualan makanan matang setiap hari. Seandainya aku bisa makan makanan yang bergizi seperti ini, tentu saja ASIku berlimpah dan mungkin saja Rayhan masih hidup saat ini. Tanpa terasa air mata ini tumpah tak tertahankan memandang hidangan di hadapanku.
Aku menikmati setiap suapannya, tak lupa membaca basmallah dan doa sebelum makan. Alhamdulillah terasa nikmat dan sangat lezat. Terbayang kehadiran kedua orang tuaku di sini.
“Kamu mau makan apa, Intan?” Kenangku pada sosok lembut yang selalu memanjakanku.
“Ayam goreng dan sayur sop, Bu,” jawabku menyebutkan makanan kesukaanku.
Ibu pun langsung memasakkannya untukku. Di sisi kiri tempat aku duduk saat ini, biasanya ayah duduk menonton berita melalui gawainya sambil menunggu Ibu selesai memasak. Aku memandang setiap sisi dapur berukuran sepuluh kali sepuluh meter ini dengan dominasi warna putih, hanya ada aku seorang diri. Hidupku kini terasa sepi ... sangat sepi. Ibu ... Ayah ... Rayhan ... Aku kangen kalian.
Tok! Tok! Tok! Lamunanku terhenti saat terdengar suara ketukan pintu dari arah depan rumah.
“Assalamu’alaikum.” Terdengar salam dari luar.
Segera aku hapus bulir bening yang menetes di pipiku.
“Wa’alaikum salam,” aku menjawab salamnya.
“Eh, Mang Kardi,” sapaku pada seseorang di balik pintu.
“Ini pesenan dari ceu Kokom, Neng.” Mang Kardi menyerahkan empat kantong plastik besar barang belanjaan pesananku.
“Iya, Taruh di sini saja, Mang. Tunggu sebentar ya, Intan ambil uangnya dulu,” pintaku pada Mang Kardi.
Aku beranjak menuju ke kamar, berdiri tepat di depan lemari baju, mengambil dompet yang ada di antara selipan baju. Aku tersenyum seorang diri menertawakan diri sendiri. Kenapa aku masih menyembunyikan dompet di antara selipan baju? Padahal Mas Adi sudah tidak tinggal di sini lagi. Tidak mungkin dia akan mengambil uangku lagi.
Akankah suatu hari nanti mas Adi akan datang ke sini lagi?
***
Mohon bantu like, komentar dan follow akun saya, ya, Kak, agar saya jadi tambah semangat menulis.
Terima kasih banyak atas bantuan kalian, saya doakan bagi yang membaca karya saya di aplikasi Bukulaku diberi kemudahan rezeki. Aamiin.
Bab 11B
#SarapanKataJadiBuku
#KMOBatch38
#Kelompok14
#BumiAksara
#Day17
#JumlahKata812
PJ : Haefa
Ketua Kelompok : Lia Desy
Neng Jaga : Dini Nurhayati
Penulis : Khamdiyah Salamun
Judul : BERLIAN ATAU SAMPAH
Genre : Fiksi
Bab 11B
Dagangan Laris
Aku beranjak menuju ke kamar, berdiri tepat di depan lemari baju, mengambil dompet yang ada di antara selipan baju. Aku tersenyum seorang diri menertawakan diri sendiri. Kenapa aku masih menyembunyikan dompet di antara selipan baju? Padahal Mas Adi sudah tidak tinggal di sini lagi. Tidak mungkin dia akan mengambil uangku lagi. Aku bergegas keluar dari kamar membawa dompet berisi uang milikku.
“Jadi berapa, Mang?” tanyaku pada Mang Kardi.
“Ini totalannya, Neng.” Mang Kardi memberikan selembar kertas karton dari potongan kardus rokok. Terdapat rincian setiap belanjaan yang aku beli dan harganya di bagian kanan serta tertulis angka satu juta dua ratus tiga puluh lima ribu rupiah pada bagian bawah kertas, jumlah yang harus aku bayarkan pada ceu Kokom.
“Ongkosnya berapa, Mang?” tanyaku lanjut.
“Seperti biasa saja, Neng,” jawabnya dengan senyuman.
“Ini, Mang. Sampaikan terima kasih pada ceu Kokom, ya. Nah, yang ini buat Mamang.” Aku menyerahkan uang sesuai jumlah yang tertulis pada bon dan memberikan uang dua puluh lima ribu rupiah sebagai ongkos ojek Mang Kardi.
“Ini kelebihan, Neng,” tolaknya polos.
“Tidak apa-apa, Mang. Belanjaan saya hari ini lebih banyak, pasti Mang Kardi kesusahan membawanya.”
Ya, Aku membeli bahan makanan lebih banyak dari kemarin. Karena banyak tetangga yang memesan beberapa menu untuk aku masak besok.
“Terima kasih, Neng. Saya pamit dulu. Assalamu’alaikum.” Mang Kardi berlalu pergi menuju motornya yang diparkir di halaman rumahku.
“Sama-sama, Mang. Wa’alaikum salam,” jawabku.
***
Ba’da Ashar aku kembali ke rumah bu Hajjah Siti dengan membawa dua piring berisi nasi, lauk dan sayur yang tadi belum sempat aku berikan pada Bu Hajjah Siti.
“Assalamu’alaikum,” aku mengucap salam.
“Wa’alaikum salam. Eh, Intan. Mari masuk,” Bu Hajjah Siti menjawab salamku.
“Ini ada nasi untuk Ibu dan bapak.” Aku masuk ke dalam rumahnya lalu menyerahkan dua piring yang aku bawa tersebut pada Bu Hajjah Siti. Bu Hajjah Siti menerimanya dan meletakkannya di atas meja.
“Alhamdulillah, terima kasih banyak, Intan. Kamu kok repot-repot segala. Ayo duduk sini! ” tutur Bu Hajjah Siti.
“Tidak apa-apa, Bu. Tadi siang Intan ke sini tapi Ibu dan bapak tidak ada.” Aku duduk berhadapan dengannya.
“Iya, tadi Ibu dan bapak pergi ke rumah sakit. Darah tinggi bapak kumat,” kata Bu Hajjah Siti.
“Astagfirullah, lalu bagaimana kondisi bapak sekarang?” tanyaku penuh khawatir.
“Alhamdulillah, sekarang bapak sedang istirahat, tidur di kamar. Sudah minum obat juga. Minggu lalu bapak lupa kontrol ke dokter,” terang Bu Hajjah Siti.
“Bu, ini ada sedikit uang untuk menyicil hutang Intan pada Ibu. Alhamdulillah, dagangan Intan hari ini laris dan habis sebelum Dzuhur, Bu.” Aku tersenyum bahagia saat berbicara dan memberikan uang sebesar lima ratus ribu rupiah pada Bu Hajjah Siti.
“Alhamdulillah, kalau begitu. Ibu ikut senang kalau daganganmu laris. Kamu simpan saja uang itu untuk putar modalmu. Ibu sudah anggap uang itu pemberian untuk kamu, jadi jangan dikembalikan,” tolak Bu Hajjah Siti.
“Tapi, Bu ....” Bu Hajjah Siti menghentikan ucapanku.
“Ambil saja, kamu gunakan untuk membeli perlengkapan pendukung daganganmu dan membayar pekerja nanti karena suatu saat kamu butuh bantuan orang lain untuk mmbantu kamu. Buatlah tempat jualanmu nyaman, agar pembeli senang berada di sana,” Bu Hajjah Siti menjelaskan.
“Baik, Bu. Terima kasih banyak,” ucapku dengan mata berkaca-kaca.
“Intan pamit dulu, mau menyicil untuk memasak. Terima kasih banyak, ya, Bu. Semoga pak Haji Amin cepat sembuh dan Bu Hajjah Siti juga selalu sehat wal afiat, aamiin.” Menatap wajahnya yang tidak muda lagi namun masih terlihat cantik.
“Aamiin. Terima kasih juga buat nasinya, ya. Pakai repot-repot segala,” ucapnya berbasa-basi.
“Tidak apa-apa, Bu. Assalamu’alaikum.” Mencium takzim punggung tangan kanannya.
“Wa’alaikum salam.” Tersenyum padaku.
Sampai di rumah, aku mulai mengupas, memotong, dan menggoreng bahan makanan untuk dijual besok. Bersemangat riang gembira untuk kembali menata hidup.
***
Esok harinya, Alhamdulillah daganganku kembali habis sebelum Dzuhur. Dari dua belas menu yang aku sajikan kemarin, hari ini sudah dua puluh menu masakan tersedia.
Satu bulan kemudian, aku mengajak dua orang tetanggaku untuk membantu pekerjaanku, karena aku sudah merasa kewalahan memasak dua puluh lima menu masakan setiap harinya.
Warung makan Intan, itulah yang tertera di spanduk yang terdapat di atas bagian depan warungku. Selain spanduk, aku juga membuat gazebo sederhana berbahan kayu, agar pembeli yang mampir k warung makanku merasa nyaman, tidak kepanasan maupun kehujanan. Selain makanan matang, aku juga menyediakan aneka minuman dan makanan kecil, seperti risol, pastel, pisang coklat, pisang goreng dan lainnya. Aku juga menambah waktu berjualan, jika sebelumnya warungku tutup sebelum Dzuhur, kini tutup sebelum Maghrib. Porsi makanan yang aku buat setiap harinya pun mencapai seribu porsi per hari. Alhamdulillah, warung makanku semakin laris pembeli. Tapi ....
***
Mohon bantu like, komentar dan follow akun saya, ya, Kak.
Agar saya jadi tambah semangat menulis.
Terima kasih banyak atas bantuan kalian, saya doakan bagi yang membaca karya saya di aplikasi Bukulaku diberi kemudahan rezeki. Aamiin.
Bab 12
#SarapanKataJadiBuku
#KMOBatch38
#Kelompok14
#BumiAksara
#Day18
#JumlahKata513
PJ : Haefa
Ketua Kelompok : Lia Desy
Neng Jaga : Dini Nurhayati
Penulis : Khamdiyah Salamun
Judul : BERLIAN ATAU SAMPAH
Genre : Fiksi
Bab 12
Rencana Buka Restoran
Warung makan Intan, itulah yang tertera di spanduk yang terdapat di atas bagian depan warungku. Selain spanduk, aku juga membuat gazebo sederhana berbahan kayu, agar pembeli yang mampir ke warung makanku merasa nyaman, tidak kepanasan maupun kehujanan. Selain makanan matang, aku juga menyediakan aneka minuman dan makanan kecil, seperti risol, pastel, pisang coklat, pisang goreng dan lainnya. Aku juga menambah waktu berjualan, jika sebelumnya warung yang aku dirikan ini tutup sebelum Dzuhur, kini tutup sebelum Maghrib. Porsi makanan yang aku buat setiap harinya pun mencapai dua ribu porsi per hari. Masya Allah Tabarakallah!
“Tapi, tunggu ... siapa itu? Apakah itu Mas Adi? Mau apa dia ke sini lagi?” gumamku.
Aku melihat seseorang yang mirip dengan mantan suamiku dari kejauhan. Di balik kerumunan pembeli, tidak terlihat jelas, saat aku mengantar pesanan makanan untuk pembeli di meja nomor tiga. Semoga saja pikiranku yang salah menerka, mungkin akibat terlalu lelah.
Alhamdulillah, warung makanku semakin laris dan semakin ramai dikunjungi oleh pembeli. Pembeli yang hadir di warung makanku dari hari ke hari semakin banyak. Aku dan dua orang pekerjaku terkadang kewalahan dalam melayani pembeli yang semakin bertambah banyak. Aku yang seharusnya melayani pembeli dengan mengambil nasi, lauk pauk dan sayur, juga harus menghitung harga makanan yang dipesan pembeli, menerima uang serta memberikan uang kembalian kepada mereka, terkadang harus mengantar makanan kepada pelanggan dan juga membantu membuatkan minuman. Hal itu, aku lakukan karena melihat kedua orang yang bekerja membantuku sedang sibuk entah sedang membersihkan meja, mencuci piring, atau menyiapkan bahan makanan untuk membuat menu masakan yang hampir habis.
Aku yang hanya berjualan di halaman rumah, sudah membuat gazebo di halaman rumahku, namun tetap saja masih ada pembeli yang tidak mendapat tempat duduk, terutama saat jam makan siang tiba. Padahal kapasitas meja di gazebo sudah aku tambah menjadi dua kali lipat dari sebelumnya, tetapi masih tidak mampu untuk menampung seluruh pembeli yang datang sekaligus. Ada saja orang yang harus menunggu untuk mendapat tempat duduk, bahkan ada pula yang tidak jadi makan di sini karena terlalu lama menunggu tempat duduk. Sangat disayangkan, bukan?
Tidak hanya itu, pembeli yang datang membawa kendaraan pun mengalami kesulitan untuk mencari tempat parkir, baik yang membawa roda dua maupun roda empat, sehingga harus mengambil bahu jalan sebagai lahan parkir untuk memarkirkan kendaraan mereka. Respon tetangga saat aku membuka warung makan ini sangat positif. Namun, aku takut mengganggu aktifitas mereka saat banyak pengunjung yang memarkirkan mobil di bahu jalan, apalagi di depan rumah mereka. Perasaan ini sungguh sangat menggangguku.
“Assalamu’alaikum.” Seorang wanita paruh baya dengan gamis berwarna coklat tua dipadu dengan jilbab hitam panjang menjuntai datang menyapa.
Siapakah wanita bergamis coklat tua tersebut? Untuk apa dia menemui Intan? Temukan jawabannya di bab selanjutnya.
***
Mohon bantu like, komentar dan follow akun saya, ya, Kak, agar saya jadi tambah semangat menulis.
Terima kasih banyak atas bantuan kalian, saya doakan bagi yang membaca karya saya di aplikasi Bukulaku diberi kemudahan rezeki. Aamiin.
Bab 12B
#SarapanKataJadiBuku
#KMOBatch38
#Kelompok14
#BumiAksara
#Day19
#JumlahKata918
PJ : Haefa
Ketua Kelompok : Lia Desy
Neng Jaga : Dini Nurhayati
Penulis : Khamdiyah Salamun
Judul : BERLIAN ATAU SAMPAH
Genre : Fiksi
Bab 12B
Rencana Buka Restoran
“Assalamu’alaikum.” Seorang wanita paruh baya dengan gamis berwarna coklat tua dipadu dengan jilbab hitam panjang menjuntai datang menyapa. Dialah Bu Hajjah Siti. Tetangga yang sudah aku anggap Ibuku.
“Wa’alaikum salam, Bu.” Aku mencium punggung telapak tangannya takzim.
“Alhamdulillah, ramai, ya, Intan,” pujinya.
“Alhamdulillah, Iya, Bu. Ini semua kan juga berkat motivasi dan saran dari Ibu,” balik aku memujinya.
“Tidak usah, Bu. Biar Intan saja.” Aku menghentikan tindakannya saat dia hendak membersihkan meja yang dipenuhi dengan beberapa piring kotor.
“Tidak apa-apa, kamu kan juga lagi sibuk,” ucapnya.
“Terima kasih, ya, Bu.” Tersenyum manis padanya. Melanjutkan aktifitasku melayani pembeli.
Setelah jam makan siang usai, aku lihat pembeli tidak begitu banyak seperti tadi dan aku merasa dua orang yang bekerja denganku bisa melayani pembeli tanpa bantuanku, aku segera menghampiri salah satu meja tempat Bu Hajjah Siti duduk dan duduk di hadapannya membawa segelas air jeruk hangat.
“Terima kasih, ya, Bu. Sudah repot-repot bantuin. Silahkan diminum, Bu.” Memberikan segelas air jeruk hangat padanya.
“Iya, sama-sama. Setelah sholat Dzuhur tadi sengaja Ibu datang ke sini untuk melihat warung ini, eh ternyata ramai sekali. Ibu bantu sebisa Ibu saja. Masih ada beberapa pembeli yang makan, tidak apa-apa kamu duduk di sini menemani Ibu?” Pandangan Bu Hajjah Siti menyapu seluruh penjuru halaman rumahku sambil memegang gelas berisi air jeruk hangat.
“Tidak apa-apa, Bu. Ada Bu Ina dan Bu Teti yang membantu. Mereka bisa menangani kalau hanya beberapa pembeli saja. Stok makanan juga sudah aman, tadi Intan sudah masak beberapa menu yang sudah hampir habis. Jadi Intan bisa menemani Ibu di sini,” terangku.
“Alhamdulillah, kalau begitu. Oh iya, Ibu senang dan sama sekali tidak menyangka orang yang datang akan seramai tadi. Bagaimana perasaan kamu sekarang dengan rumah makan yang semakin ramai ini?” Bu Hajjah Siti tersenyum padaku.
“Intan senang sekali semakin banyak orang yang datang untuk membeli, Bu. Tapi, kapasitas kursi dan meja di sini tidak mencukupi saat ramai pembeli, terutama saat jam makan siang seperti tadi. Intan takut mengecewakan orang yang sudah jauh-jauh datang ke sini untuk makan, tetapi tidak jadi makan karena penuhnya tempat duduk di sini.” Mataku pun memperhatikan jumlah meja dan kursi yang ada.
“Iya, Ibu paham dengan apa yang kamu rasakan.” Bu Hajjah Siti mengusap punggung belakangku perlahan.
“Tidak hanya itu, Bu. Ibu lihat di luar gerbang tadi? Banyak pembeli yang parkir di pinggir jalan, bahkan sampai ke depan rumah Ibu. Intan merasa tidak enak dengan Ibu dan tetangga yang lain, Intan takut hal itu akan mengganggu aktifitas Ibu dan mereka, saat memasukkan dan mengeluarkan kendaraan,” Aku menerka.
“Ibu setuju dengan rasa simpati yang kamu punya, lalu apa kamu sudah punya rencana atau memikirkan jalan keluarnya?” tanya Bu Hajjah Siti.
“Intan ingin menyewa tempat yang lebih luas dan nyaman, ingin membuka sebuah restoran, Bu. Tapi, Intan masih ragu, karena Intan tidak ada pengalaman dan belum ada bayangan bagaimana nantinya, uang Intan juga belum banyak, ditambah Intan sama sekali tidak tahu menahu tentang manajemen restoran,” ungkapku dengan penuh kegelisahan.
“Ibu senang kalau kamu berniat untuk membuka sebuah restoran. Itu artinya banyak kemajuan dalam usahamu, Intan. Dalam beberapa bulan saja, usahamu ini sudah berkembang pesat,” komentar Bu Hajjah Siti kagum.
“Kamu tentukan dulu, kira-kira mau fokus menjual masakan apa, sambil kamu survei lokasi yang kira-kira cocok untuk usahamu nanti. Kamu juga harus memikirkan nama restoran, menu dan yang tidak kalah penting adalah mencari pemasok tetap persediaan bahan-bahan makanan,” sarannya.
“Kamu juga butuh beberapa staf ahli yang kamu tunjuk untuk memegang pekerjaan sesuai bidangnya. Misal, koki untuk memasak, staf keuangan untuk pembukuan restoranmu dan yang lainnya. Selain rasa makanan, tampilan dan suasana restoran, promosi restoran juga tidak kalah penting untuk membuat restoran kamu semakin ramai,” paparnya.
“Iya, Bu. Intan akan coba untuk memikirkannya!” seruku penuh semangat.
“Kamu bisa diskusikan masalah ini sama bapak kalau dia sudah sehat nanti, karena dulu kami pernah membuka sebuah restoran di bilangan Jakarta Pusat dengan memulai semua dari nol, kita membeli peralatan dengan cara menyicil sedikit demi sedikit dengan karyawan yang awalnya hanya tiga orang saja. Alhamdulillah, berkat kegigihan bapak, usaha kami itu lancar hingga kini dengan mempekerjakan tujuh belas karyawan.” Bu Hajjah Siti menjelaskan sambil sesekali menepuk bahuku perlahan.
“Bisnis restoran memang menggiurkan karena setiap manusia pada dasarnya butuh makan, maka restoran dicari untuk menghilangkan rasa lapar itu. Tapi, kamu juga harus bisa melihat kenyataan yang sering terjadi saat ini, kenyataan yang tak seindah dibayangkan, banyak resto yang gulung tikar karena sepi pengunjung, biaya sewa tinggi, tidak mampu menggaji karyawan atau kesulitan dalam suplai bahan makanan,” terangnya.
“Menjalankan bisnis restoran itu, membutuhkan persiapan yang matang, menyita waktu, dan memiliki resiko kegagalan yang tinggi. Salah satu penyebabnya, ya ... karena minimnya persiapan.” Bu Hajjah Siti mengangkat kedua alisnya sambil tersenyum padaku.
Aku mengangguk menyetujui ucapannya.
“Bayangan orang-orang tentang sebuah restoran itu adalah tempat yang menyajikan makanan yang enak, tempat yang mewah dan pelayanan yang bagus. Tantangannya adalah apakah kamu bisa menyajikan makanan dengan harga yang bersahabat agar siapa saja bisa berkunjung ke restomu? Jadi, saran dari Ibu, kamu diskusikan terlebih dahulu pada bapak, atau kalau perlu minta saran sama Fahri.”
“A Fahri, Bu?” tanyaku dengan penuh keheranan.
Penasaran siapa Fahri? Kita lihat di bab selanjutnya, yuk!
***
Mohon bantu like, komentar dan follow akun saya, ya, Kak, agar saya jadi tambah semangat menulis.
Terima kasih banyak atas bantuan kalian, saya doakan bagi yang membaca karya saya di aplikasi Bukulaku diberi kemudahan rezeki. Aamiin.
Bab 13
#SarapanKataJadiBuku
#KMOBatch38
#Kelompok14
#BumiAksara
#Day20
#JumlahKata558
PJ : Haefa
Ketua Kelompok : Lia Desy
Neng Jaga : Dini Nurhayati
Penulis : Khamdiyah Salamun
Judul : BERLIAN ATAU SAMPAH
Genre : Fiksi
Bab 13
A Fahri
"Bayangan orang-orang tentang sebuah restoran itu adalah tempat yang menyajikan makanan yang enak, tempat yang mewah dan pelayanan yang bagus. Tantangannya adalah apakah kamu bisa menyajikan makanan dengan harga yang bersahabat agar siapa saja bisa berkunjung ke restomu? Jadi, saran dari Ibu, kamu diskusikan terlebih dahulu pada bapak, atau kalau perlu minta saran sama Fahri.”
“A Fahri, Bu?” tanyaku dengan penuh keheranan.
Kenapa aku perlu meminta saran A Fahri? Kenapa nama itu muncul setelah sekian lama tak kudengar?
“Kamu ingat Fahri? Anak Ibu yang sekarang menetap di Qatar? Selain mengajar bahasa Indonesia di sana, dia juga membuka sebuah restoran khas makanan Indonesia di sana. Kamu masih ingat?” Mendengar namanya jantungku langsung berdetak kencang tak karuan dan ingin berteriak memanggil namanya.
Ya, siapa yang tak kenal A Fahri? Pria berwajah mirip artis Dimas Seto itu. Begitu banyak teman-temanku yang mengidolakannya. Bahkan tak sedikit teman di sekolah atau orang yang bertemu di jalan menitip salam padaku untuknya. Hah! Merepotkan saja, siapa dia memang? Dia adalah anak semata wayang Pak Haji Amin dan Bu Hajjah Siti yang sejak kecil terkenal alim, bersahaja dan berwajah tampan rupawan. Apalagi gayanya yang cool dan keren, seperti memiliki daya tarik tersendiri.
Dulu saat masih kecil, aku masih ingat jika Bu Hajjah Siti sering menitipkan A Fahri di rumahku sewaktu pak Haji Amin dan Bu Hajjah Siti mengisi acara pengajian atau dakwah pada waktu yang bersamaan. Aku dan A Fahri bermain di rumahku di temani Ibuku. Namun, saat Ibu pergi ke dapur menyiapkan makanan atau ke kamar mandi, A Fahri tidak jarang membuatku menangis. Entah dia mencoret tanganku dengan spidol papan tulis, atau dengan sengaja merobohkan balok lego yang telah aku susun susah payah. Siapa yang menyangka, di balik sosoknya yang alim, tersimpan sifat jahil yang sering membuatku menangis sewaktu kecil.
Saat aku masih menginjak Sekolah Dasar, kami pernah sekolah di satu sekolah yang sama. Hanya saja hal itu tak berlangsung lama, hanya satu tahun saja, sungguh menyedihkan, bukan? karena usia yang terpaut lima tahun dengannya, aku duduk di kelas satu sedang dia duduk di kelas enam. Saat itu, selepas shalat Ashar sekitar pukul empat sore, aku dan teman-teman sebayaku setiap hari dari hari Senin hingga hari Jum’at datang memakai pakaian muslimah, membawa tas gemblok berisi buku, alat tulis, dan iqro datang ke rumah Pak Haji Amin untuk belajar mengaji.
Saat itu, Pak Haji Amin mengajarkan murid laki-laki, Bu Hajjah Siti mengajar murid perempuan, sedangkan A Fahri sering aku lihat mengumpulkan dan membagikan buku tugas dan PR mengaji. Namun, sejak dia masuk pesantren saat sekolah menengah pertama hingga selesai sekolah menengah atas, aku sudah jarang melihatnya lagi, hanya sesekali saat dia liburan sekolah saja. Terlebih saat kuliah, aku dengar dia mendapatkan beasiswa dari salah satu universitas di Qatar dan memutuskan untuk menikah dengan wanita warga negara sana. Sejak saat itu aku sudah tidak pernah bertemu dengannya lagi.
Seperti apa wajah A’ Fahri saat ini? Entahlah, aku tak tahu. Cukup lama aku tak bertemu dengannya.
***
Mohon bantu like, komentar dan follow akun saya, ya, Kak, agar saya jadi tambah semangat menulis.
Terima kasih banyak atas bantuan kalian, saya doakan bagi yang membaca karya saya di aplikasi Bukulaku diberi kemudahan rezeki. Aamiin.
Bab 13B
#SarapanKataJadiBuku
#KMOBatch38
#Kelompok14
#BumiAksara
#Day21
#JumlahKata533
PJ : Haefa
Ketua Kelompok : Lia Desy
Neng Jaga : Dini Nurhayati
Penulis : Khamdiyah Salamun
Judul : BERLIAN ATAU SAMPAH
Genre : Fiksi
Bab 13B
A’ Fahri
“Kamu bisa email atau hubungi Fahri. Dia kan punya restoran yang menyajikan masakan Indonesia di sana, barangkali dia bisa membantu kamu yang sedang bimbang untuk memberikan ide bagaimana membuka usaha yang baik.” Ucapan Bu Hajjah Siti membuyarkan lamunanku tentang sosok A’ Fahri di masa lalu.
“Intan malu, Bu. Sungkan sama A’ Fahri,” tolakku.
“Malu? Kenapa? Kita kan sudah lama sekali bertetangga, kamu juga sudah kenal dekat dengan Fahri, kan?” jelas Bu Hajjah Siti.
Kenal dekat? Bukan kenal dekat, mungkin lebih tepatnya bertetangga dekat.
“Kita kan kenal saat masih kecil, Bu sedangkan sekarang kan kita sudah dewasa, tidak seperti dulu, Bu. Terlebih dengan status Intan sekarang yang sudah menjadi janda. Ada rasa sungkan dan tidak enak dengan istrinya nanti,” aku mengungkapkan perasaanku pada Bu Hajjah Siti.
“Tidak apa-apa, Intan. Kamu kaya sama siapa saja. Oh iya, Fahri itu ... juga sudah lama bercerai dengan istrinya, sudah sekitar satu tahun lebih mungkin. Ibu kurang paham betul sebab perceraian mereka, wallahu a’lam bishawab, sangat disayangkan memang, yang jelas mereka pisah secara baik-baik. Oleh karena itu, dia menghabiskan waktunya dengan fokus pada restoran yang dia dirikan bersama temannya itu selepas pulang mengajar,” tutur lembut dengan wajah sendunya.
“Apa? Bercerai ? Pria setampan dan sealim dia bisa juga bercerai? Bagaimana mungkin?” gumam ku dalam hati.
Apa mantan istrinya berselingkuh juga seperti mas Adi? Atau sebaliknya, A’ Fahri yang berselingkuh di belakang mantan istrinya, sehingga mantan istrinya menceraikannya? Apa jangan-jangan A’ Fahri terlalu sibuk dengan pekerjaan dan restorannya sehingga melupakan mantan istrinya? Ah, untuk apa aku memikirkan rumah tangga orang lain, seharusnya aku memikirkan bagaimana cara membuka usaha baruku nanti.
“Sudah, jangan terlalu lama dan banyak hal yang kamu pikirkan. Sebaiknya, sekarang ini kamu fokus ke warung makan ini, sambil mencari ide tentang nama, konsep dan lokasi yang tepat. Jangan lupa, minta bantuan bapak dan Fahri jika ingin bertukar pikiran. Jangan kamu pusing sendirian, ya. Nanti Ibu kasih nomor kontaknya Fahri. Nanti kalau Fahri telepon Ibu, Ibu minta dia untuk membantu kamu. Kalau begitu, Ibu pamit pulang dulu, ya. Kasihan bapak di rumah sendirian. Terima kasih jeruk hangatnya.” Senyum simpul merekah di bibir wanita berkulit putih dengan hiasan kerut di wajahnya.
“Intan juga terima kasih sudah dibantu, Bu,” ucapku.
“Assalamu’alaikum.” Bu Hajjah Bangkit dari kursi.
“Wa’alaikum salam.” Aku mencium punggung tangan kanannya takzim.
Wanita paruh baya dengan balutan gamis coklat tersebut, berjalan menjauh dariku. Aku merapihkan meja dan kursi, membawa gelas yang sudah kosong bekas air jeruk hangat tadi menuju tempat cucian piring. Namun tak lama setelah meletakkan gelas. Aku dengar seseorang memanggil namaku.
“Intan!” Teriak Bu Hajjah Siti memanggil namaku.
“Intan! Tolong ....” Aku panik mendengar teriakannya.
“Tolong Bapak, Intan!” timpal Bu Hajjah Siti.
Dari sudut mata kulihat Bu Hajjah Siti nampak tergopoh-gopoh menghampiri ke arah kami semua, sontak aku dan beberapa orang langsung menghampiri Bu Hajjah Siti.
Ada apa dengan Bu Hajjah Siti, ya?
***
Mohon bantu like, komentar dan follow akun saya, ya, Kak, agar saya jadi tambah semangat menulis.
Terima kasih banyak atas bantuan kalian, saya doakan bagi yang membaca karya saya di aplikasi Bukulaku diberi kemudahan rezeki. Aamiin.
Bab 14
#SarapanKataJadiBuku
#KMOBatch38
#Kelompok14
#BumiAksara
#Day22
#JumlahKata611
PJ : Haefa
Ketua Kelompok : Lia Desy
Neng Jaga : Dini Nurhayati
Penulis : Khamdiyah Salamun
Judul : BERLIAN ATAU SAMPAH
Genre : Fiksi
Bab 14
Pak Haji Amin Sakit
“Intan!” Teriak Bu Hajjah Siti memanggil namaku.
“Intan! Tolong Bapak, Intan!” pinta Bu Hajjah Siti.
Dari sudut mata aku lihat Bu Hajjah Siti nampak tergopoh-gopoh menghampiri ke arah aku berdiri saat ini, sontak aku dan beberapa orang langsung menghampiri Bu Hajjah Siti.
Aku segera berjalan cepat setengah berlari menuju rumahnya, Bu Hajjah Siti segera menuntunku menunjukkan jalan ke kamar mandi. Tiba di kamar mandi, Aku temukan Pak Haji Amin sudah dalam keadaan tak sadarkan diri, tergeletak lemah tak berdaya di lantai kamar mandi.
“Astagfirullah al’adzim, Bapak,” pekikku.
Aku lihat Bu Hajjah Siti hanya menangis tanpa suara dari sorot matanya penuh kebingungan.
Beberapa orang pria yang datang ke rumah Bu Hajjah Siti segera membopong Pak Haji Amin menuju ke mobilnya. Beruntung hari ini adalah hari Minggu, sehingga Pak RT tidak bekerja dan berada di rumah. Pak RT yang telah diberitahu oleh warga juga segera duduk di kursi kemudi ditemani oleh Kang jamal yang duduki di sebelahnya. Sedangkan aku duduk di kursi baris ketiga, menemani Bu Hajjah yang memangku kepala Pak Haji Amin yang masih tidak sadarkan diri di kursi baris kedua.
Kami pun tiba di rumah sakit tempat Rayhan dulu dibawa. Dengan bantuan Kang Jamal yang berbadan besar dan seorang petugas keamanan yang berdiri sigap di sana, dua orang pria berseragam putih tidak kesulitan menggotong Pak Haji dari mobil ke brangkar dan dua orang berseragam putih tersebut segera membawa Pak Haji Amin menggunakan brangkar dorong milik rumah sakit menuju ke ruang Unit Gawat Darurat.
Aku merasa dejavu dengan situasi ini, jika waktu itu aku membawa Rayhan ke sini dan dia dinyatakan sudah tidak bernyawa setelah melewati pintu itu, semoga saja Pak Haji Amin dalam keadaan baik-baik saja.
“Maaf, Bu. Mohon isi data terlebih dahulu!” ucap seorang perawat cantik pada kami.
Aku meminta identitas milik pak Haji Amin pada Bu Hajjah Siti. Segera aku isi data pasien sesuai petunjuk hingga selesai. Lalu duduk di kursi tunggu yang telah disediakan persis di sebelah Bu Hajjah Siti duduk.
Jam di pergelangan tanganku menunjukkan pukul 18.05, jam segini seharusnya Adzan Magrib sudah berkumandang dan warungku sudah tutup. Aku meminta Pak RT dan Kang Jamal untuk sholat Magrib terlebih dahulu.
“Permisi, Pak. Sudah jam enam sore, sudah Maghrib. Sebaiknya Pak RT dan Kang Jamal sholat Magrib dulu, biar saya sama Bu Hajjah Siti menunggu di sini. Nanti saya dan Bu Hajjah sholat setelah Pak RT dan Kang Jamal selesai.” Aku menghampiri Pak RT dan Kang Jamal yang duduk tak jauh dari kursi yang aku dan Bu Hajjah Siti duduki di depan ruang Unit Gawat Darurat.
“Oh, sudah Maghrib, ya? Ok, kita sholat dulu. Ayo sholat, Mal!” Pak RT melihat jam yang berada di pergelangan tangannya lalu bangkit dari tempat duduknya.
“Misi, Pak. Musholanya di mana, ya, Pak?” Tanya kang Jamal pada seorang petugas keamanan berseragam coklat dengan tulisan satpam di dada kirinya.
“Lurus saja, Pak. Nanti belok kiri di persimpangan yang ada tamannya,” pria berseragam coklat tersebut menjelaskan.
“Ok, terima kasih, Pak,” ucap Kang Jamal pada satpam tersebut.
“Kita ke mushola dulu, ya, Bu Hajjah, Neng,” pamit Kang Jamal pada aku dan Bu Hajjah Siti.
“Iya, Kang,” jawabku.
Bu Hajjah Siti hanya menggangguk pelan, dapat aku rasakan kegelisahan di dalam hatinya saat menatap matanya.
Bagaimana kondisi Pak Haji Amin? Silahkan baca kelanjutan ceritanya.
***
Mohon bantu like, komentar dan follow akun saya, ya, Kak, agar saya jadi tambah semangat menulis.
Terima kasih banyak atas bantuan kalian, saya doakan bagi yang membaca karya saya di aplikasi Bukulaku diberi kemudahan rezeki. Aamiin.
Bab 14B
#SarapanKataJadiBuku
#KMOBatch38
#Kelompok14
#BumiAksara
#Day23
#JumlahKata696
PJ : Haefa
Ketua Kelompok : Lia Desy
Neng Jaga : Dini Nurhayati
Penulis : Khamdiyah Salamun
Judul : BERLIAN ATAU SAMPAH
Genre : Fiksi
Bab 14B
Pak Haji Amin Sakit
“Ibu tidak apa-apa?” tanyaku pada Bu Hajjah Siti.
Bu Hajjah Siti hanya mengangguk.
“Mau Intan belikan minum?” Bu Hajjah Siti menggelengkan kepalanya.
“Intan izin menelpon Bu Ina dulu sebentar, ya, Bu,” ucapku.
Lagi-lagi, Bu Hajjah Siti hanya mengangguk. Aku mengambil gawai di saku celanaku, lalu menghubungi Bu Ina.
“Assalamu’alaikum, Bu Ina,” sapaku melalui gawai.
“Wa’alaikum salam,” jawab Bu Ina.
“Bu, maaf ya, tadi saya pergi begitu saja meninggalkan warung dan tidak sempat pamit ke Bu Ina dan Bu Teti,” ucapku.
“Tidak apa-apa, Intan. Bagaimana kondisi Pak Haji saat ini?” tanyanya.
“Belum ada kabar dari dokter yang menangani Pak Haji saat ini, masih di UGD dan kami menunggu di luar. Ngomong-ngomong, warung sudah ditutup, Bu?” jelasku.
“Alhamdulillah warung sudah kita tutup tadi sebelum maghrib, uang hasil warung hari ini masih saya pegang, sekarang Ibu dan Bu Teti masih di rumah kamu, nunggu kabar dari kamu,” jawabnya.
“Bu Ina bisa bantu saya untuk menyiapkan bahan-bahan untuk jualan besok? Karena mungkin saya akan menemani Bu Hajjah Siti di sini malam ini. Jika Bu Ina merasa keberatan, bisa meminta bantuan Bu Teti atau mungkin, kita liburkan saja warung untuk besok. Tapi, bagaimana dengan bahan makanannya, ya? Sayang dengan bahan makanan yang telah kita beli tadi siang?” Aku memijat perlahan pelipisku.
“Insya Allah saya dan Teti bisa membantu menyiapkan bahan makanan untuk besok, Intan. Kamu jaga Bu Hajjah Siti saja di sana. Insya Allah kami sanggup menyiapkan dan memasak untuk besok.”
“Benar, Bu? Wah ... terima kasih banyak, ya, Bu!” Aku tersenyum sumringah.
“Sama-sama. Kamu jaga baik-baik Bu Hajjah Siti di sana, jangan lupa kabari juga kondisi Pak Haji Amin! Sudah dulu, ya. Ibu mau mulai mengupas kentang. Assalamu’alaikum,” pamitnya melalui gawai.
“Wa’alaikum salam,” jawabku.
Aku memasukkan kembali gawaiku ke dalam saku celana. Aku lihat Bu Hajjah Siti hanya menatap ke depan dengan pandangan kosong.
“Ibu mau Intan belikan sesuatu?” tawarku.
“Tidak, Intan. Tolong carikan nama Fahri. Katakan padanya bapak Jatuh di kamar mandi.” Bu Hajjah Siti menyerahkan gawai miliknya padaku.
Aku mencari kontak bernama Fahri, setelah ketemu, dengan tangan gemetar aku menekan tombol berlambang telepon berwarna hijau.
“Assalamu’alaikum, Bu,” sapa A Fahri melalui gawai.
“Wa’alaikum salam. Dengan Ustad Fahri?” ucapku.
“Iya, benar. Dengan siapa ini? di mana Ibu?” tanyanya.
“Saya Intan, tetangga sebelah rumah. Bu Hajjah Siti ada di samping saya,” jawabku.
“Oh, Intan. Iya, saya ingat. Ada apa, ya?” A Fahri kembali bertanya.
“Bu Hajjah Siti meminta saya untuk memberitahukan Ustad bahwa Pak Haji Amin tadi sore terjatuh di kamar mandi.” Aku menjelaskan sambil memandang wajah Bu Hajjah Siti.
“Astagfirullah al’adzim, bapak ... bagaimana kondisi bapak sekarang?” Aku merasakan kepanikan dari suara A Fahri.
“Untuk saat ini dokter yang menangani Pak Haji Amin belum keluar dari ruang UGD untuk memberitahukan tentang kondisi Pak Haji Amin,” paparku.
“Intan, bisa saya bicara dengan Ibu?” pinta A Fahri.
“Bisa Ustad. Tunggu sebentar,” mohonku.
“Bu, A Fahri ingin bicara.” Aku menyerahkan gawai tersebut ke pada pemiliknya.
“Wa’alaikum salam,” ucap Bu Hajjah Siti.
“Iya.” Dapat aku dengar tangisan Bu Hajjah Siti pecah dan derai air mata membasahi pipinya.
Aku mendekap tubuh rentanya. Mengusap perlahan punggungnya. Dadaku pun ikut bergemuruh, serasa ikut merasakan kepedihan di dalam hatinya. Hingga tak terasa air mataku pun ikut luluh.
“Doakan semoga bapak baik-baik saja,” ucap Bu Hajjah Siti dengan mulut bergetar.
“Wa’alaikum salam,” Bu Hajjah Siti memasukkan gawainya ke dalam tas yang ada di sampingnya.
Aku ingat kutipan Mario Teguh dalam sebuah artikel yang pernah aku baca, menangislah dalam deritamu jika engkau ingin menangis, karena air mata adalah doa di saat engkau tak mampu berbicara. Mungkin itulah yang sedang Bu Hajjah Siti rasakan saat ini.
Tak lama terdengar suara pintu berdecit, seseorang membuka pintu. Aku melihat seorang pria memakai jas dokter keluar ruang UGD.
“Keluarga bapak Amin,” teriaknya.
Apa yang terjadi dengan Pak Haji Amin?
***
Mohon bantu like, komentar dan follow akun saya, ya, Kak, agar saya jadi tambah semangat menulis.
Terima kasih banyak atas bantuan kalian, saya doakan bagi yang membaca karya saya di aplikasi Bukulaku diberi kemudahan rezeki. Aamiin.
Bab 15
#SarapanKataJadiBuku
#KMOBatch38
#Kelompok14
#BumiAksara
#Day24
#JumlahKata852
PJ : Haefa
Ketua Kelompok : Lia Desy
Neng Jaga : Dini Nurhayati
Penulis : Khamdiyah Salamun
Judul : BERLIAN ATAU SAMPAH
Genre : Fiksi
Bab 15A
Pak Haji Amin Sakit
Aku ingat kutipan Mario Teguh dalam sebuah artikel yang pernah aku baca, menangislah dalam deritamu jika engkau ingin menangis, karena air mata adalah doa di saat engkau tak mampu berbicara. Mungkin itulah yang sedang Bu Hajjah Siti rasakan saat ini.
Tak lama terdengar suara pintu berdecit, seseorang membuka pintu. Aku melihat seorang pria memakai jas dokter keluar ruang UGD.
“Keluarga bapak Amin,” teriaknya.
“Iya, Dok!” Kami yang sedang duduk, langsung berdiri dan berjalan menghampiri Dokter yang memanggil.
“Bagaimana kronologinya Bapak dibawa ke sini?” tanya Dokter tersebut.
“Sa ... saya menemukan su ... suami saya ... sudah dalam keadaan tak sadarkan diri di kamar mandi, Dok!” ucap Bu Hajjah Siti sedikit terbata-bata.
“Ibu tahu, Bapak jatuh terlebih dahulu setelah itu pingsan atau pingsan dulu setelah itu jatuh?” tanya Dokter kembali.
Bu Hajjah Siti hanya menggeleng.
Pak RT dan Kang Jamal yang datang dari arah mushola pun menghampiri dan ikut mendengar percakapan kami.
“Saya tidak tahu kapan Bapak pingsan dan saya tidak melihat kejadiannya karena sedang tidak berada di rumah. Yang saya tahu, setelah saya pulang dan memanggil suami saya, beliau tidak menjawab. Saya menemukannya di kamar mandi sudah tidak sadarkan diri. Lalu saya memanggil warga untuk membawanya ke sini.” Raut muka Bu Hajjah Siti sangat jelas menampakkan kesedihan.
Aku memeluknya dari samping sambil mengusap tangan kirinya.
“Sabar, Bu,” ucapku lirih.
“Untungnya, kamar mandi di kamar Bu Hajjah Siti memakai pintu geser dan dalam keadaan tidak dikunci, jadi memudahkan evakuasi Pak Haji Amin, Dok,” ucap Pak RT.
“Bagus itu, memang kamar mandi untuk lansia sebaiknya memakai pintu geser atau buka ke luar, agar memudahkan jika terjadi kondisi seperti ini. Langkah yang tepat menurut saya.” Dokter menatap wajah Bu Hajah Siti seperti memberikan semangat.
“Apa Bapak ada keluhan sebelumnya, Bu?” tanya Dokter.
“Bapak sering mengeluh sakit kepala dan bulan lalu telat kontrol ke sini.” Bu Hajjah Siti sesekali menatap ke arahku.
“Baik, Bu. Alhamdulillah, tidak ada trauma seperti fraktur atau patah tulang dan cedera atau luka akibat benturan pada tubuh Bapak. Berdasarkan rekam medis dan hasil darah beberapa waktu lalu. Pak Amin menderita tekanan darah tinggi yang mengarah pada gejala stroke. Stroke itu sendiri adalah kondisi gangguan syaraf pusat karena kurangnya pasokan darah akibat sumbatan maupun pecahnya pembuluh darah. Proses pemulihan stroke ini membutuhkan waktu lama dan perlu rehabilitasi. Proses rehabilitasinya sendiri tergantung dari tingkat keparahan gejala yang di alami Bapak. Dalam hal kelumpuhan anggota gerak, sebaiknya pemulihan Bapak mengikuti program fisioterapi di sini oleh dokter spesialis rehabilitasi medis. Oleh karena itu, saya sarankan pada Ibu agar Bapak di rawat di sini untuk mempermudah proses penyembuhan Bapak sambil menunggu jadwal CT scan dan hasil CT scannya keluar,” Pak Dokter menjelaskan panjang lebar.
“Semua anggota gerak harus digerakkan secara rutin untuk mencegah penurunan masa otot anggota gerak Bapak. Untuk saat ini, kondisi Bapak stabil, kemungkinan Stroke menyerang tubuh bagian kanan Bapak. Jangan lupa rajin fisioterapi, ya, Bu. Baik saat bersama dokter, maupun saat Bapak senggang. Sekarang Bapak sudah bisa di pindahkan ke ruang perawatan.” Dokter mengulas sebuah senyum pada kami.
“Baik, Dok. Terima kasih. Boleh kami lihat Bapak?” izinku pada Pak Dokter.
“Boleh, Silahkan, tapi maksimal dua orang ya. Ayo ikut saya!” ucap Pak Dokter yang bertubuh tinggi dan berkaca mata itu.
“Baik, Dok,” kataku.
“Silahkan, Bu,” ucap Pak RT dengan tangan mempersilahkan pada kami.
Aku membalasnya dengan menganggukkan kepala.
Aku dan Bu Hajjah Siti masuk ke dalam ruang UGD dengan perasaan tak karuan. Terus berharap agar kondisi Pak Haji Amin dalam keadaan baik-baik saja. Setelah tiba di tempat yang ditunjukkan oleh Dokter, aku lihat Pak Haji Amin dalam keadaan tertidur, di bagian bawah hidungnya terdapat selang oksigen untuk membantu nafasnya, sedang di punggung tangan kirinya terdapat jarum yang direkatkan oleh plester yang terhubung dengan selang dan botol infus. Aku lihat mulut dan mata kanan Pak Haji Amin sedikit naik jika dibandingkan dengan bagian kirinya. Begitupun dengan bahu kanannya. Ingin aku menangis, namun aku bendung air mata ini sekuat mungkin di depan Bu Hajjah Siti agar dia juga kuat mnghadapi cobaan ini.
“Apa Bapak bisa kembali pulih seperti sebelumnya, Dok?” tanyaku.
“Untuk kembali pulih seratus persen rasanya sulit, namun dengan keinginan kuat dari Bapak dan dukungan dari keluarga untuk rajin kontrol, rajin minum obat dan yang paling penting rajin fisioterapi, Insya Allah kondisi Bapak akan jauh lebih baik dari saat ini. Aamiin.”
“Aamiin. Kalau begitu, kami izin sholat Maghrib dulu boleh, Dok? Setelah itu baru memindahkan Bapak ke ruang perawatan,” pintaku pada Dokter tersebut.
“Boleh, tentu saja boleh. Setelah ini silahkan urus administrasinya di ruang depan tadi, ya!” ujarnya.
“Baik, terima kasih banyak, Dok,” tuturku.
“Sama-sama, saya permisi.” Pamit Dokter pada kami.
“Ibu duduk dulu, biar Intan urus ruang inap untuk Bapak,” ucapku pada Bu Hajjah Siti.
Bu Hajjah Siti hanya mengangguk.
Ada apa dengan Bu Hajjah Siti?
***
Mohon bantu like, komentar dan follow akun saya, ya, Kak, agar saya jadi tambah semangat menulis.
Terima kasih banyak atas bantuan kalian, saya doakan bagi yang membaca karya saya di aplikasi Bukulaku diberi kemudahan rezeki. Aamiin.
Bab 15B
#SarapanKataJadiBuku
#KMOBatch38
#Kelompok14
#BumiAksara
#Day25
#JumlahKata721
PJ : Haefa
Ketua Kelompok : Lia Desy
Neng Jaga : Dini Nurhayati
Penulis : Khamdiyah Salamun
Judul : BERLIAN ATAU SAMPAH
Genre : Fiksi
Bab 15B
Pak Haji Amin Sakit
“Ibu duduk dulu, biar Intan urus ruang inap untuk Bapak,” ucapku pada Bu Hajjah Siti.
Bu Hajjah Siti hanya mengangguk.
Aku menghampiri meja perawat yang berjaga di samping pintu masuk ruang UGD. Aku mengurus surat-surat kepindahan Pak Haji Amin dari UGD ke ruang perawatan. Beruntung Pak Haji Amin memiliki kartu asuransi yang masih aktif sehingga memudahkan semua prosesnya.
Aku mengisi formulir registrasi rawat inap dan mendapat surat masuk rawat inap. Perawat UGD menghubungi ruang rawat inap yang akan di tuju untuk memastikan tempat sudah tersedia dan dalam keadaan siap pakai serta memastikan bahwa Bapak sudah boleh di antar ke ruangan tersebut.
“Sus, boleh saya izin sholat maghrib dulu baru memindahkan Bapak?” pintaku.
“Boleh, silahkan. Nanti kalau sudah selesai sholat segera ke sini untuk menemui saya,” perintahnya.
“Baik. Terima kasih, Sus,” ucapku pada perawat tersebut.
“Sama-sama,” seutas senyum menghias bibir bergincunya.
Aku berlalu dari meja perawat menuju tempat Bu Hajjah Siti duduk.
“Bu, kita sholat dulu, yuk!” ajakku pada Bu Hajjah Siti.
“Pak RT, Kang Jamal, saya izin sholat Magrib dulu sama Bu Hajjah Siti.” Pamitku pada Pak RT dan Kang Jamal.
“Iya, Neng. Musholanya lurus saja, Neng. Nanti belok kiri di taman,” ucap Kang Jamal.
“Iya, Mang. Terima kasih.” Mengangguk pada Kang Jamal.
“Kita di sini dulu, nanti setelah memindahkan Pak Haji Amin ke ruang inap kami izin pamit, ya Bu Hajjah Siti, karena ada rapat karang taruna malam ini,” ucap Pak RT.
Lagi-lagi Bu Hajjah Siti hanya mngangguk.
Aku menuntun Bu Hajjah Siti menuju mushola. Aku memandang Bu Hajjah Siti yang berjalan menggandeng tanganku. Keceriaan, semangat, dan kebawelannya siang tadi sirna sudah. Saat ini dia hanya diam dan terlihat lemah tak berdaya menghadapi keadaan ini.
Aku basuh tangan, mulut, hidung, muka hingga kaki dengan air, terasa sangat menyegarkan. Aku berjalan sedikit menuju hamparan sajadah masih dengan menuntun Bu Hajjah Siti. Aku mengenakan satu pasang mukena dan bawahannya, lalu segera menunaikan shalat tiga rakaat. Selesai memberikan salam, aku lihat Bu Hajjah Siti sedang berdoa sambil menangis tanpa mengeluarkan suara. Tetes air mata terlihat membasahi pipinya walau telah ditutupi oleh telapak tangannya. Tidak lupa aku mendoakan agar kondisi Pak Haji segera pulih seperti sedia kala.
Setelah shalat Maghrib, kami segera kembali ke ruang UGD lalu menuju meja perawat untuk menemui perawat tadi.
“Sus, saya sudah selesai sholat. Bisa kita pindahkan Bapak sekarang?” kataku.
“Iya, Bu. Tunggu sebentar,” ucap Perawat tersebut.
Perawat tersebut masuk ke dalam ruang UGD membawa map berwarna biru muda dengan logo rumah sakit dan tak lama keluar membuka pintu lalu mendorong brangkar yang terdapat pak Haji yang terbaring di atasnya. Aku, Bu Hajjah Siti, Kang Jamal, dan Pak RT mengikuti perawat tersebut melewati lorong rumah sakit yang terasa sunyi ketika malam hari menuju gedung C.
“Ibu dan Bapak naik lift selanjutnya ke lantai 3 ruang anggrek, ya,” ucap perawat tersebut pada kami. Karena kapasitas lift tidak memungkinkan untuk kami naik secara bersamaan.
Aku, Bu Hajjah Siti, Kang Jamal dan Pak Rt naik lift selanjutnya menuju lantai tiga lalu berjalan menuju ruang anggrek. Aku lihat dua orang perawat membantu perawat tadi memindahkan Pak Haji Amin ke brangkar yang terdapat di ruangan ini.
Seorang perawat mengatur selang infus dan oksigen, sedangkan seorang lagi mengikat kantong berisi cairan urin di bagian tepi ranjang.
“Ini tombol nurse call bell untuk memanggil perawat yang sedang berjaga. Jika botol infus habis, cairan urin penuh, atau kondisi darurat bisa menekannya.” Ucap salah seorang perawat yang mengatur selang infus dan oksigen tadi sambil menunjukkan tombol tersebut.
“Iya. Terima kasih, Sus,” ucapku pada mereka.
“Sama-sama,” balas mereka.
Tiga orang perawat tersebut berlalu meninggalkan kami lalu menutup pintu.
“Kami juga pamit, Bu Hajjah, Intan. Kalau perlu apa-apa bisa hubungi saya,” ucap Pak RT.
“Assalamu’alaikum,” ucap Pak RT dan Kang Jamal bersamaan.
“Terima kasih banyak Pak RT dan Kang Jamal. Wa’alaikum salam,” jawabku.
Aku antar Pak RT dan Kang Jamal hingga depan pintu ruang inap Pak Haji Amin, namun setelah masuk dan menutup pintu.
“Ibu ....”
***
Mohon bantu like, komentar dan follow akun saya, ya, Kak, agar saya jadi tambah semangat menulis.
Terima kasih banyak atas bantuan kalian, saya doakan bagi yang membaca karya saya di aplikasi Bukulaku diberi kemudahan rezeki. Aamiin.
Bab 16
#SarapanKataJadiBuku
#KMOBatch38
#Kelompok14
#BumiAksara
#Day26
#JumlahKata614
PJ : Haefa
Ketua Kelompok : Lia Desy
Neng Jaga : Dini Nurhayati
Penulis : Khamdiyah Salamun
Judul : BERLIAN ATAU SAMPAH
Genre : Fiksi
Bab 16
Di Rumah Sakit
“Assalamu’alaikum,” ucap Pak RT dan Kang Jamal bersamaan.
“Terima kasih banyak Pak RT dan Kang Jamal atas bantuannya. Wa’alaikum salam,” jawabku.
Aku antar Pak RT dan Kang Jamal hingga depan pintu ruang rawat inap Pak Haji Amin, namun setelah masuk dan menutup pintu betapa terkejutnya aku melihat Bu Hajjah Siti.
“Ibu ....” Aku lihat Bu Hajjah Siti terduduk lemah di lantai.
Aku peluk tubuh rentanya. Terasa sangat lemah dan tak bertenaga. Ini tidak seperti Bu Hajjah Siti yang setiap hari terlihat begitu ceria dan bersemangat.
“Ada apa, Bu?” Aku usap punggungnya perlahan.
“Ibu takut ... takut sekali, Intan.” Bu Hajjah Siti merintih dengan suara serak.
“Ibu takut kehilangan Bapak?!” Tangisnya pecah dan air mata telah membasahi pipinya.
“Ibu seperti kehilangan pegangan. Lihat!” Ibu menunjuk ke arah brangkar yang di tiduri oleh Pak Haji Amin.
“Di saat kondisi Bapak seperti ini Ibu tidak punya siapa-siapa lagi, anak laki-laki Ibu satu-satunya saat ini berada jauh di negeri orang.” Rasa pilu pun ikut menyelimuti hatiku, sungguh terenyuh hatiku mendengar ucapannya.
Entah mengapa seperti pedih sekali hati ini, seolah ikut merasakan kepedihan hatinya. Tanpa terasa air mataku pun membanjiri pipi.
“Bu ... Ibu harus kuat! Ada Intan di sini. Ibu bisa berbagi kesedihan pada Intan. Intan siap, Bu!” bujukku.
“Ada Intan di sini yang siap menemani Ibu. Ibu tidak boleh patah semangat!.” Aku lepas pelukan dan menatap matanya yang bergelimang air mata.
“Saat Intan berada di titik terlemah, Ibu selalu mengingatkan Intan agar selalu berserah diri kepada Allah. Ibu juga selalu menyemangati Intan agar bisa menjalani hidup jauh lebih baik lagi. Ibu memberi Intan modal dan jalan keluar dari masalah-masalah Intan. Jadi, sekarang Intan tidak akan meninggalkan Ibu dalam kondisi seperti ini. Intan siap membantu Ibu merawat Bapak. Ayo kita rawat Bapak bersama-sama.” Aku pandang wajah rupawannya yang telah dihiasi oleh keriput.
“Bu, Ayo kita sholat Isya berjamaah!” ajakku pada Bu Hajjah Siti.
Setelah menunaikan sholat Isya, Bu Hajjah Siti terlihat lebih tenang. Mendung di wajahnya sudah memudar, walau cerah belum tampak.
Aku mengambil telapak tangan kanannya lalu menggenggamnya dengan kedua tanganku.
“Bu ... insya Allah malam ini Intan akan menginap di sini untuk menemani Ibu.” Memandang wajahnya sambil tersenyum.
“Bagaimana dengan warungmu?” Dahi Bu Hajjah Siti terlihat berkerut.
“Ada Bu Teti dan Bu Ina yang bisa menghandel warung untuk sementara, Ibu tidak usah khawatir.” Aku naik turunkan alis untuk meyakinkannya.
“Baiklah. Terima kasih, Intan. “ Bu Hajjah Siti menaruh telapak tangan kiri di atas tanganku lalu menggenggamnya.
“Sama-sama, Bu. Oh, iya. A’ Fahri minta untuk dikabari tentang kondisi Bapak, kan? Ibu mau menghubungi A Fahri sekarang?” usulku pada Bu Hajjah Siti.
“Semoga setelah berbicara dengan anaknya, perasaan Bu Hajjah Siti menjadi jauh lebih baik,” gumamku.
“Tolong carikan nama fahri dan kabari dia tentang kondisi Bapak.” Bu Hajjah Siti bangkit dari duduknya menuju sofa yang ada di sudut ruang rawat ini, mengambil gawai yang ada di dalam tasnya menyodorkan gawai miliknya padaku.
Aku bangun dari duduk, meletakkan mukena yang telah aku lipat dan berjalan ke arah Bu hajjah Siti. Setelah tiba di hadapannya, aku menerima gawai milik Bu Hajjah Siti, mencari kontak bernama Fahri, lalu menghubunginya. Cukup lama aku menunggu sambungan telepon dengan A Fahri dengan detak jantung yang sulit aku kontrol.
“Perasaan apa ini? Tidak mungkin, tidak Intan. Ingat apa statusmu saat ini!” batinku.
***
Mohon bantu like, komentar dan follow akun saya, ya, Kak, agar saya jadi tambah semangat menulis.
Terima kasih banyak atas bantuan kalian, saya doakan bagi yang membaca karya saya di aplikasi Bukulaku diberi kemudahan rezeki. Aamiin.
Bab 16B
#SarapanKataJadiBuku
#KMOBatch38
#Kelompok14
#BumiAksara
#Day27
#JumlahKata576
PJ : Haefa
Ketua Kelompok : Lia Desy
Neng Jaga : Dini Nurhayati
Penulis : Khamdiyah Salamun
Judul : BERLIAN ATAU SAMPAH
Genre : Fiksi
Bab 16B
Di Rumah Sakit
“Sama-sama, Bu. Oh, iya. A Fahri minta untuk dikabari tentang kondisi Bapak, kan? Ibu mau menghubungi A Fahri sekarang?” usulku pada Bu Hajjah Siti.
“Semoga setelah berbicara dengan anaknya, perasaan Bu Hajjah Siti menjadi jauh lebih baik,” gumamku.
“Tolong carikan nama fahri dan kabari dia tentang kondisi Bapak.” Bu Hajjah Siti bangkit dari duduknya menuju sofa yang ada di sudut ruang rawat ini, mengambil gawai yang ada di dalam tasnya menyodorkan gawai miliknya padaku.
Aku bangkit meletakkan mukena yang telah aku lipat dan berjalan ke arah Bu hajjah Siti. Setelah tiba di hadapannya, aku menerima gawai milik Bu Hajjah Siti, mencari kontak bernama Fahri, lalu menghubunginya. Cukup lama aku menunggu sambungan telepon dengan A Fahri dengan detak jantung yang sulit aku kontrol.
“Perasaan apa ini? Tidak mungkin, tidak Intan. Ingat apa statusmu saat ini!” batinku.
“Belum diangkat, Bu, mungkin sedang sibuk,” ucapku.
“Coba sekali lagi!” pinta Bu Hajjah Siti.
Aku jawab dengan anggukan kepala. Aku coba untuk menghubunginya sekali lagi dan akhirnya di angkat. Senangnya ....
“Assalamu’alaikum, Ustad Fahri,” salamku melalui gawai.
“Wa’alaikum salam. Maaf Intan, tadi saya sedang menyetir.” Suara baritonnya menjawab salam dariku.
“Maaf Ustad jika saya mengganggu,” ujarku.
“Tidak ... tidak apa-apa, sekarang saya sudah berada di restoran. Bagaimana kondisi Bapak, Intan?” tanya A Fahri.
“Alhamdulillah, Pak Haji Amin sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Walau belum sadar, kondisinya sudah stabil. Tapi, kata dokter perlu waktu lama untuk proses penyembuhannya dan tidak bisa smbuh seratus persen. Pak Haji Amin terkena gejala stroke di tubuh bagian kanan, sehingga perlu fisioterapi secara rutin, Ustad,” paparku.
“Astagfirullah al’adzim.” Terdengar ada kekecewaan pada ucapannya.
“Besok Pak Haji Amin sudah dijadwalkan oleh Dokter untuk melakukan CT scan dan kami di rumah sakit menunggu keputusan dokter setelah hasil CT scan tersebut keluar. Pak Haji juga dijadwalkan untuk fisiotrapi selama di rumah sakit ini,” timpalku.
“Alhamdulillah. Terima kasih banyak ya, Intan. Oh, iya. Bagaimana keadaan Ibu? Ibu pasti shock dengan hal ini yang terjadi secara tiba-tiba.” Mataku beralih ke wajah Bu Hajjah Siti yang sejak tadi memperhatikanku.
Aku terdiam sejenak.
“Emosi Bu Hajjah Siti sedang tidak stabil. Mungkin Ustad bisa bicara langsung dengan beliau guna menenangkan emosinya,” saranku.
“Astagfirullah al’adzim. Saya sungguh menyesal tidak berada di sana di saat-saat seperti ini. Terima kasih, Intan sudah membantu untuk menjaga Ibu. Bisa saya bicara dengan Ibu?” ucapnya.
“Sama-sama, Ustad. Bisa! Tunggu sebentar,” ujarku.
“Bu, A Fahri ingin bicara.” Aku memberikan gawai pada Bu Hajjah Siti, Aku lihat matanya mulai berembun lagi.
“Bu, Intan permisi sebentar, mau cari makan di luar.” Izinku agar Bu Hajjah Siti bisa leluasa berbicara dengan A Fahri tanpa kehadiranku.
Bu Hajjah Siti mengangguk.
Aku pergi meninggalkan Bu Hajjah Siti yang sedang berbicara dengan A Fahri melalui gawai. Pergi ke gerbang bagian depan rumah sakit, menuju kumpulan beberapa gerobak penjual makanan yang ada di sana. Aku memutuskan untuk menghampiri penjual nasi goreng, lalu membeli dua bungkus nasi goreng dan beberapa botol air mineral. Namun, saat menunggu pesanan nasi gorengku matang, tiba-tiba gawaiku bergetar.
“Mas Adi? Ada apa dia menghubungiku? Angkat atau tidak, ya?” gumamku dalam hati.
***
Mohon bantu like, komentar dan follow akun saya, ya, Kak, agar saya jadi tambah semangat menulis.
Terima kasih banyak atas bantuan kalian, saya doakan bagi yang membaca karya saya di aplikasi Bukulaku diberi kemudahan rezeki. Aamiin.
Bab 17
#SarapanKataJadiBuku
#KMOBatch38
#Kelompok14
#BumiAksara
#Day28
#JumlahKata547
PJ : Haefa
Ketua Kelompok : Lia Desy
Neng Jaga : Dini Nurhayati
Penulis : Khamdiyah Salamun
Judul : BERLIAN ATAU SAMPAH
Genre : Fiksi
Bab 17
Kondisi Pak Haji Amin
Aku pergi meninggalkan Bu Hajjah Siti yang sedang berbicara dengan A’ Fahri melalui gawai. Pergi ke gerbang bagian depan rumah sakit, menuju kumpulan beberapa gerobak penjual makanan yang ada di sana. Aku memutuskan untuk menghampiri penjual nasi goreng, lalu membeli dua bungkus nasi goreng dan beberapa botol air mineral di mini market yang tak jauh dari sana. Namun, saat menunggu pesanan nasi gorengku matang, tiba-tiba gawaiku bergetar.
“Mas Adi? Ada apa dia menghubungiku? Angkat atau tidak, ya?” gumamku dalam hati.
“Ini Neng!” Belum sempat aku menekan tombol berwarna hijau, penjual nasi goreng tersebut menyerahkan kantong plastik berwarna putih berisi dua bungkus nasi goreng pesananku.
“Berapa, Mang?” tanyaku.
Aku menaruh gawai di saku celanaku lalu mengambil dompet di saku yang berbeda.
“Jadi tiga puluh ribu, Neng.” Ucap pria paruh baya yang menyelempangkan kain lap bermotif kotak-kotak di bahunya.
“Ini, Mang. Terima kasih.” Aku menyerahkan tiga lembar uang sepuluh ribu rupiah pada penjual nasi goreng tersebut.
“Sama-sama, Neng,” ucapnya ramah.
Aku kembali menuju kamar di mana Pak Haji Amin dirawat. Namun, saat aku membuka pintu.
“Intan,” teriak Bu Hajjah Siti memanggil namaku.
Senyum sumringah terpancar jelas dari wajahnya. Kontras sekali dengan beberapa saat lalu sebelum menunaikan sholat Maghrib.
“iya, Bu,” jawabku penuh tanya.
“Alhamdulillah, Fahri bilang dia sedang mengurus kepulangannya ke sini. Dia sudah mendapat pengganti dirinya untuk mengajar di kampus yang ada di sana, tinggal mencari pengganti untuk mengelola restorannya.” Kedua tangan Bu Hajjah Siti menggenggam erat kedua tanganku sambil berkata dengan riang gembira.
“Alhamdulillah, untuk sementara atau untuk ....” ucapku terputus.
Malu sekali untuk melanjutkan perkataanku itu. Takut dikira aku sangat mengharapkan A Fahri untuk kembali dan menetap di sini. Walau hati ini sangat berharap semoga A' Fahri akan tinggal selamanya di sini lagi.
“Dia tidak bilang untuk sementara atau untuk selamanya, mungkin kalau kamu yang minta dia untuk menghalalkanmu, dia akan selamanya di sini.” Bahu Bu Hajjah Siti mendorong bahuku dengan pelan.
“Ibu ....” Aku tersipu malu.
“Ibu sudah lebih baik sekarang? Setelah menelpon A’ Fahri malah menggoda Intan, Intan kan malu, Bu.”
“Tapi, mau kan?” Bu Hajjah Siti menggodaku.
“Ibu ....” Aku tertunduk malu.
Aku memeluknya dengan hati berbunga, baik remaja sedang bersemi cintanya.
“Malam ini Intan akan menemani Ibu dan Bapak di sini. Ibu jangan sedih lagi, ya.” Aku merasakan kehangatan pelukan seorang Ibu yang telah lama aku lupakan.
“Ibu sudah Intan anggap seperti Ibu kandung Intan sendiri, jadi jangan seperti tadi, ya.” Aku memandang wajah yang masih terlihat cantik di usia senjanya.
“Ayo kita makan dulu!” ajakku.
Kami duduk berdampingan di sofa, makan nasi goreng dengan terpaksa karena tak ada selera untuk makan. Selama makan, kami diam tanpa kata. Belum habis nasi goreng dalam kotak storofoam tersebut, Bu Hajjah Siti menutupnya, lalu memasukkan kotak tersebut ke dalam plastik.
“Habiskan nasi gorengmu! Ibu mau melihat Bapak, ya!” Bu Hajjah Siti mngusap bahuku.
Berlalu menuju Brangkar tempat Pak Haji Amin terbaring.
***
Mohon bantu like, komentar dan follow akun saya, ya, Kak, agar saya jadi tambah semangat menulis.
Terima kasih banyak atas bantuan kalian, saya doakan bagi yang membaca karya saya di aplikasi Bukulaku diberi kemudahan rezeki. Aamiin.
Bab 17B
#SarapanKataJadiBuku
#KMOBatch38
#Kelompok14
#BumiAksara
#Day29
#JumlahKata542
PJ : Haefa
Ketua Kelompok : Lia Desy
Neng Jaga : Dini Nurhayati
Penulis : Khamdiyah Salamun
Esok harinya aku terbangun saat dini hari, segera bersuci, lalu bermunajat kepada Sang Pencipta. Sepanjang malam kulihat Bu Hajjah Siti duduk sambil memijat tangan dan kaki Pak Haji Amin hingga akhirnya tertidur dalam posisi duduk, memegang tangan Pak Haji Amin. Ada rasa iri pada mereka, di usia senja mereka masih tetap bersama, sedang aku yang masih berusia kepala dua, kini hanya hidup sebatang kara, tanpa sanak saudara, orang tua, bahkan suami.
Saat sedang membaca kitab suci, aku melihat tangan Pak Haji Amin seolah bergerak, bergegas aku hentikan dan menutup bacaanku, lalu segera mnghampiri brangkar di mana Pak Haji Amin sedang berbaring.
“Alhamdulillah, Bapak,” ucapku penuh rasa syukur.
“Bu, Bapak sudah bangun.” Aku menepuk bahu Bu Hajjah Siti.
“Alhamdulillah.” Bu Hajjah Siti tersenyum sambil berurai air mata.
“Pak, Alhamdulillah Bapak sudah bangun,” tanya Bu Hajjah Siti meyakinkan.
“Bapak di mana?” tanya Pak Haji Amin.
“Bapak di rumah sakit,” jawab Bu Hajjah Siti.
“Aus, Bu,” tutur Pak Haji Amin.
Bu Hajjah Siti yang berada dekat dengan bedside cabinet segera mengambil botol plastik berisi air mineral, lalu mengarahkan sedotan berwarna putih ke arah mulut Pak Haji Amin. Aku melihat bahagia terpancar di wajah Bu Hajjah Siti. Setelah memberikan minum, Bu Hajjah Siti menekan tombol nurse call bell dan tak lama seorang Suster datang.
“Sus, Botol infusnya habis,” ucap Bu Hajjah Siti pada Suster tersebut.
Suster ke luar kamar dan tak lama kembali membawa botol infus, lalu mengganti botol infus lama yang telah habis isinya dengan botol yang baru.
Sekitar pukul enam pagi, dua orang berpakaian suster datang membawa troli yang terdapat baskom berisi air hangat, setelah sebelumnya beberapa orang Suster datang untuk memeriksa keadaan Pak Haji Amin dengan membawa stetoskop, tensi meter dan termometer.
“Selamat pagi, Pak Amin bagaimana kabarnya?” sapa salah seorang suster.
“Selamat pagi. Alhamdulillah, Sus,” jawab Pak Haji Amin tidak begitu jelas.
“Bapak bangun jam berapa, Bu?” tanya Suster tersebut.
“Sebelum Adzan Subuh, Sus,” jawab Bu Hajjah Siti.
“Bapak mandi dulu, ya. Sudah disediakan air hangat,” ucap Suster tersebut.
Sementara Suster yang satunya mendorong troli ke samping brangkar Pak Haji Amin, lalu menutup tirai.
“Bu, Intan izin untuk membeli sarapan, ya. Ibu mau makan apa?” tanyaku.
“Apa saja, Intan. Terserah kamu,” ucap Bu Hajjah Siti.
Setelah membeli nasi uduk untuk sarapan pagi di kantin rumah sakit, aku kembali ke ruang rawat, ternyata Bu Hajjah Siti sedang menyuapi Pak Haji Amin. Tak lama dua orang Dokter ditemani beberapa orang Suster datang.
“Selamat pagi, Pak Amin bagaimana kabarnya?” sapa salah seorang Dokter.
“Selamat pagi. Alhamdulillah sudah lebih baik, Dok,” jawab Pak Haji Amin tidak begitu jelas.
Kedua dokter tersebut memeriksa kondisi Pak Haji Amin.
“Bapak bangun jam berapa?” Dokter tersebut pada Pak Haji Amin.
“Sebelum Adzan Subuh, Dok,” jawab Pak Haji Amin.
“Bagus, Bapak harus terus berusaha untuk latihan bicara.” Dokter memberikan sebuah senyuman pada Pak Haji Amin.
“Susah, Dok,” tutur Pak Haji Amin.
Bagaimana kondisi pak Haji Amin? Baca kelanjutannya di bab selanjutnya.
***
Mohon bantu like, komentar dan follow akun saya, ya, Kak, agar saya jadi tambah semangat menulis.
Terima kasih banyak atas bantuan kalian, saya doakan bagi yang membaca karya saya di aplikasi Bukulaku diberi kemudahan rezeki. Aamiin.
Bab 17C
#SarapanKataJadiBuku
#KMOBatch38
#Kelompok14
#BumiAksara
#Day30
#JumlahKata636
PJ : Haefa
Ketua Kelompok : Lia Desy
Neng Jaga : Dini Nurhayati
Penulis : Khamdiyah Salamun
Judul : BERLIAN ATAU SAMPAH
Genre : Fiksi
Bab 17C
Kondisi Pak Haji Amin
“Walau agak sulit, tapi harus dipaksakan, Pak. Selagi masih dini, karena jika terus menunda, proses penyembuhannya akan terhambat dan akan lebih lama untuk sembuh. Nanti jam sepuluh Bapak saya jadwalkan untuk CT Scan, ya,” terang Dokter.
“Iya, Dok,” ucap Pak Haji Amin.
“Nanti sore juga Bapak fisioterapi, ya. Gerakannya harus sering diulang terus agar anggota gerak Bapak bisa kembali pulih,” timpal Dokter.
“Baik, Dok,” jawab Pak Haji Amin.
“Ok, saya permisi dulu,” pamitnya.
“Terima kasih, Dok,” ucap kami bersama-sama.
“Sama-sama, lekas sembuh ya, Pak Amin.” Dokter menyemangati Pak Haji Amin.
Dokter dan Suster pun berlalu pergi dari ruang rawat inap.
“Bu, nanti setelah Bapak CT Scan, Intan izin pulang ke rumah sebentar untuk mandi dan ambil baju. Ibu ingin Intan bawakan sesuatu?” tanyaku pada Bu Hajjah Siti.
“Tolong bawakan beberapa pasang baju Ibu dan Bapak, ya. Ibu juga sudah risih belum ganti baju. Kopernya ada di lemari bagian atas.” Bu Hajjah Siti mengibas-ibaskan bajunya.
“Ibu tidak apa-apa Intan tinggal sendirian di sini?” tanyaku.
“Tidak apa-apa, terima kasih banyak, ya, Intan.” Bu Hajjah Siti mengusap kepalaku.
“Sama-sama, Bu. Insya Allah Intan kembali sebelum jam tiga sore, agar bisa menemani Ibu mengantar Bapak untuk fisioterapi.” Mengulas senyum termanis.
Setelah mengantar Pak Haji Amin untuk melakukan pemeriksaan CT Scan, aku pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, aku lihat banyak pelanggan yang datang untuk makan, entah sarapan atau makan siang, karena waktu menunjukkan pukul sebelas siang.
“Assalamu’alaikum. Alhamdulillah rame, ya, Bu,” sapaku pada Bu Teti dan Bu Ina.
Bu Teti yang sedang mengelap meja Bu Ina yang sedang menata ikan goreng, seketika menatap ke arahku sambil tersenyum.
“Wa’alaikum salam, Intan. Alhamdulillah lumayan rame,” jawab Bu Ina.
Bu Teti dan Bu Ina seketika menghentikan pekerjaannya, mereka berdua duduk dan mengajakku untuk duduk bersama di hadapan mereka.
“Bagaimana keadaan Pak Haji Amin, Intan?” tanya Bu Teti.
“Alhamdulillah Pak Haji Amin sudah sadar. Doakan semoga semakin membaik, ya, Bu,” pintaku.
“Bu, Intan mau bawa beberapa lauk untuk makan di sana. Kalau Intan menginap di rumah sakit lagi bagaimana?” tanyaku.
“Kalau menurut Ibu sih tidak apa-apa, Intan. Ibu paham sekali kondisi Bu Hajjah Siti dan Pak Haji Amin. Saat ini keberadaan kamu di sana lebih dibutuhkan oleh mereka. Oh iya ....” Bu Ina menjeda ucapannya, bangkit dari duduknya menuju meja kasir, kemudian kembali duduk.
“Ini daftar belanja untuk hari ini, dan ini ... uang dari laci kemarin.” Bu Ina menyerahkan buku yang biasa aku gunakan untuk mencatat daftar belanjaan untuk warungku dan sejumlah uang padaku.
“Ibu pegang saja,” tolakku.
“Tidak Intan, kamu pegang saja. Barangkali kamu membutuhkan untuk biaya pengobatan Pak Haji Amin di sana,” tolak Bu Ina.
Beruntung sekali aku mempunyai karyawan seperti Bu Ina dan Bu Teti, selain jujur, bisa diandalkan, juga memiliki toleransi yang tinggi dan tak segan membantu.
“Ini untuk membayar belanjaan hari ini, ya, Bu.” Aku serahkan sejumlah uang pada Bu Ina sesuai jumlah yang tertera pada daftar belanja.
“Ini ongkos ojeknya dan ini ... uang lembur untuk Bu Ina dan Bu Teti,” aku memberikan beberapa lembar uang berwarna merah untuk mereka.
“Tidak Intan, tidak usah. Kamu pegang saja,” tolak Bu Ina.
“Tidak apa-apa, Bu. Doakan saja semoga warung kita semakin laris, Bu Teti dan Bu Ina juga semakin semangat kerjanya.” Aku ulas senyum pada mereka berdua.
“Oh, iya. Kamu sudah dengar kabar tentang Adi?” ucap Bu Teti.
“Mas Adi? Kenapa dia, Bu?” tanyaku.
Apa yang terjadi pada Adi? Tunggu kelanjutan ceritanya di Bab selanjutnya.
***
Mohon bantu like, komentar dan follow akun saya, ya, Kak, agar saya jadi tambah semangat menulis.
Terima kasih banyak atas bantuan kalian, saya doakan bagi yang membaca karya saya di aplikasi Bukulaku diberi kemudahan rezeki. Aamiin.
Bab 18
BERLIAN ATAU SAMPAH
Bab 17
Kondisi Pak Haji Amin
Aku pergi meninggalkan Bu Hajjah Siti yang sedang berbicara dengan A Fahri melalui gawai. Pergi ke gerbang bagian depan rumah sakit, menuju kumpulan beberapa gerobak penjual makanan yang ada di sana. Aku memutuskan untuk menghampiri penjual nasi goreng, lalu membeli dua bungkus nasi goreng dan beberapa botol air mineral di mini market yang tak jauh dari sana. Namun, saat menunggu pesanan nasi gorengku matang, tiba-tiba gawaiku bergetar.
“Mas Adi? Ada apa dia menghubungiku? Angkat atau tidak, ya?” gumamku dalam hati.
“Ini Neng!” Belum sempat aku menekan tombol berwarna hijau, penjual nasi goreng tersebut menyerahkan kantong plastik berwarna putih berisi dua bungkus nasi goreng pesananku.
“Berapa, Mang?” tanyaku.
Aku menaruh gawai di saku celanaku lalu mengambil dompet di saku yang berbeda.
“Jadi tiga puluh ribu, Neng.” Ucap pria paruh baya yang menyelempangkan kain lap bermotif kotak-kotak di bahunya.
“Ini, Mang. Terima kasih.” Aku menyerahkan tiga lembar uang sepuluh ribu rupiah pada penjual nasi goreng tersebut.
“sama-sama, Neng,” ucapnya ramah.
Aku kembali menuju kamar di mana Pak Haji Amin dirawat. Namun, saat aku membuka pintu.
“Intan,” teriak Bu Hajjah Siti memanggil namaku.
Senyum sumringah terpancar jelas dari wajahnya. Kontras sekali dengan beberapa saat lalu sebelum menunaikan sholat Maghrib.
“iya, Bu,” jawabku penuh tanya.
“Alhamdulillah, Fahri bilang dia sedang mengurus kepulangannya ke sini. Dia sudah mendapat pengganti dirinya untuk mengajar di kampus yang ada di sana, tinggal mencari pengganti untuk mengelola restorannya.” Kedua tangan Bu Hajjah Siti menggenggam erat kedua tanganku sambil berkata dengan riang gembira.
“Alhamdulillah, untuk sementara atau untuk ....” ucapku terputus.
Malu sekali untuk melanjutkan perkataanku itu. Takut dikira aku sangat mengharapkan A Fahri untuk kembali dan menetap di sini. Walau hati ini sangat berharap semoga A Fahri akan tinggal selamanya di sini lagi.
“Dia tidak bilang untuk sementara atau untuk selamanya, mungkin kalau kamu yang minta dia untuk menghalalkanmu, dia akan selamanya di sini.” Bahu Bu Hajjah Siti mendorong bahuku dengan pelan.
“Ibu ....” Aku tersipu malu.
“Ibu sudah lebih baik sekarang? Setelah menelpon A’ Fahri malah menggoda Intan, Intan kan malu, Bu.”
“Tapi, mau kan?” Bu Hajjah Siti menggodaku.
“Ibu ....” Aku tertunduk malu.
Aku memeluknya dengan hati berbunga, baik remaja sedang bersemi cintanya.
“Malam ini Intan akan menemani Ibu dan Bapak di sini. Ibu jangan sedih lagi, ya.” Aku merasakan kehangatan pelukan seorang Ibu yang telah lama aku lupakan.
“Ibu sudah Intan anggap seperti Ibu kandung Intan sendiri, jadi jangan seperti tadi, ya.” Aku memandang wajah yang masih terlihat cantik di usia senjanya.
“Ayo kita makan dulu!” ajakku.
Kami duduk berdampingan di sofa, makan nasi goreng dengan terpaksa karena tak ada selera untuk makan. Selama makan, kami diam tanpa kata. Belum habis nasi goreng dalam kotak storofoam tersebut, Bu Hajjah Siti menutupnya, lalu memasukkan kotak tersebut ke dalam plastik.
“Habiskan nasi gorengmu! Ibu mau melihat Bapak, ya!” Bu Hajjah Siti mengusap bahuku.
Berlalu menuju Brangkar tempat Pak Haji Amin terbaring.
****
Esok harinya aku terbangun saat dini hari, segera bersuci, lalu bermunajat kepada Sang Pencipta. Sepanjang malam kulihat Bu Hajjah Siti duduk sambil memijat tangan dan kaki Pak Haji Amin hingga akhirnya tertidur dalam posisi duduk, memegang tangan Pak Haji Amin. Ada rasa iri pada mereka, di usia senja mereka masih tetap bersama, sedang aku yang masih berusia kepala dua, kini hanya hidup sebatang kara, tanpa sanak saudara, orang tua, bahkan suami.
Saat sedang membaca kitab suci, aku melihat tangan Pak Haji Amin seolah bergerak, bergegas aku hentikan dan menutup bacaanku, lalu segera mnghampiri brangkar di mana Pak Haji Amin sedang berbaring.
“Bapak!”
***
Mohon bantu like, komentar dan follow akun saya, ya, Kak, agar saya jadi tambah semangat menulis.
Terima kasih banyak atas bantuan kalian, saya doakan bagi yang membaca karya saya di aplikasi Bukulaku diberi kemudahan rezeki. Aamiin.
Bab 18B
BERLIAN ATAU SAMPAH
Bab 17
Kondisi Pak Haji Amin
Esok harinya aku terbangun saat dini hari, segera bersuci, lalu bermunajat kepada Sang Pencipta. Sepanjang malam kulihat Bu Hajjah Siti duduk sambil memijat tangan dan kaki Pak Haji Amin hingga akhirnya tertidur dalam posisi duduk, memegang tangan Pak Haji Amin. Ada rasa iri pada mereka, di usia senja mereka masih tetap bersama, sedang aku yang masih berusia kepala dua, kini hanya hidup sebatang kara, tanpa sanak saudara, orang tua, bahkan suami.
Saat sedang membaca kitab suci, aku melihat tangan Pak Haji Amin seolah bergerak, bergegas aku hentikan dan menutup bacaanku, lalu segera mnghampiri brangkar di mana Pak Haji Amin sedang berbaring.
“Alhamdulillah, Bapak,” ucapku penuh rasa syukur.
“Bu, Bapak sudah bangun.” Aku menepuk bahu Bu Hajjah Siti.
“Alhamdulillah.” Bu Hajjah Siti tersenyum sambil berurai air mata.
“Pak, Alhamdulillah Bapak sudah bangun,” tanya Bu Hajjah Siti meyakinkan.
“Bapak di mana?” tanya Pak Haji Amin.
“Bapak di rumah sakit,” jawab Bu Hajjah Siti.
“Aus, Bu,” tutur Pak Haji Amin.
Bu Hajjah Siti yang berada dekat dengan bedside cabinet segera mengambil botol plastik berisi air mineral, lalu mengarahkan sedotan berwarna putih ke arah mulut Pak Haji Amin. Aku melihat bahagia terpancar di wajah Bu Hajjah Siti. Setelah memberikan minum, Bu Hajjah Siti menekan tombol nurse call bell dan tak lama seorang Suster datang.
“Sus, Botol infusnya habis,” ucap Bu Hajjah Siti pada Suster tersebut.
Suster ke luar kamar dan tak lama kembali membawa botol infus, lalu mengganti botol infus lama yang telah habis isinya dengan botol yang baru.
Sekitar pukul enam pagi, dua orang berpakaian suster datang membawa troli yang terdapat baskom berisi air hangat, setelah sebelumnya beberapa orang Suster datang untuk memeriksa keadaan Pak Haji Amin dengan membawa stetoskop, tensi meter dan termometer.
“Selamat pagi, Pak Amin bagaimana kabarnya?” sapa salah seorang suster.
“Selamat pagi. Alhamdulillah, Sus,” jawab Pak Haji Amin tidak begitu jelas.
“Bapak bangun jam berapa, Bu?” tanya Suster tersebut.
“Sebelum Adzan Subuh, Sus,” jawab Bu Hajjah Siti.
“Bapak mandi dulu, ya. Sudah disediakan air hangat,” ucap Suster tersebut.
Sementara Suster yang satunya mendorong troli ke samping brangkar Pak Haji Amin, lalu menutup tirai.
“Bu, Intan izin untuk membeli sarapan, ya. Ibu mau makan apa?” tanyaku.
“Apa saja, Intan. Terserah kamu,” ucap Bu Hajjah Siti.
Setelah membeli nasi uduk untuk sarapan pagi di kantin rumah sakit, aku kembali ke ruang rawat, ternyata Bu Hajjah Siti sedang menyuapi Pak Haji Amin. Tak lama dua orang Dokter ditemani beberapa orang Suster datang.
“Selamat pagi, Pak Amin bagaimana kabarnya?” sapa salah seorang Dokter.
“Selamat pagi. Alhamdulillah sudah lebih baik, Dok,” jawab Pak Haji Amin tidak begitu jelas.
Kedua dokter tersebut memeriksa kondisi Pak Haji Amin.
“Bapak bangun jam berapa?” Dokter tersebut pada Pak Haji Amin.
“Sebelum Adzan Subuh, Dok,” jawab Pak Haji Amin.
“Bagus, Bapak harus terus berusaha untuk latihan bicara.” Dokter memberikan sebuah senyuman pada Pak Haji Amin.
“Susah, Dok,” tutur Pak Haji Amin.
“Walau agak sulit, tapi harus dipaksakan, Pak. Selagi masih dini, karena jika terus menunda, proses penyembuhannya akan terhambat dan akan lebih lama untuk sembuh. Nanti jam sepuluh Bapak saya jadwalkan untuk CT Scan, ya,” terang Dokter.
“Iya, Dok,” ucap Pak Haji Amin.
“Nanti sore juga Bapak fisioterapi, ya. Gerakannya harus sering diulang terus agar anggota gerak Bapak bisa kembali pulih,” timpal Dokter.
“Baik, Dok,” jawab Pak Haji Amin.
“Ok, saya permisi dulu,” pamitnya.
“Terima kasih, Dok,” ucap kami bersama-sama.
“Sama-sama, lekas sembuh ya, Pak Amin.” Dokter menyemangati Pak Haji Amin.
Dokter dan Suster pun berlalu pergi dari ruang rawat inap.
***
Mohon bantu like, komentar dan follow akun saya, ya, Kak, agar saya jadi tambah semangat menulis.
Terima kasih banyak atas bantuan kalian, saya doakan bagi yang membaca karya saya di aplikasi Bukulaku diberi kemudahan rezeki. Aamiin.
Bab 18C
BERLIAN ATAU SAMPAH
Bab 17
Kondisi Pak Haji Amin
“Bu, nanti setelah Bapak CT Scan, Intan izin pulang ke rumah sebentar untuk mandi dan ambil baju. Ibu ingin Intan bawakan sesuatu?” tanyaku pada Bu Hajjah Siti.
“Tolong bawakan beberapa pasang baju Ibu dan Bapak, ya. Ibu juga sudah risih belum ganti baju. Kopernya ada di lemari bagian atas.” Bu Hajjah Siti mengibas-ibaskan bajunya.
“Ibu tidak apa-apa Intan tinggal sendirian di sini?” tanyaku.
“Tidak apa-apa, terima kasih banyak, ya, Intan.” Bu Hajjah Siti mengusap kepalaku.
“Sama-sama, Bu. Insya Allah Intan kembali sebelum jam tiga sore, agar bisa menemani Ibu mengantar Bapak untuk fisioterapi.” Mengulas senyum termanis.
Setelah mengantar Pak Haji Amin untuk melakukan pemeriksaan CT Scan, aku pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, aku lihat banyak pelanggan yang datang untuk makan, entah sarapan atau makan siang, karena waktu menunjukkan pukul sebelas siang.
“Assalamu’alaikum. Alhamdulillah rame, ya, Bu,” sapaku pada Bu Teti dan Bu Ina.
Bu Teti yang sedang mengelap meja Bu Ina yang sedang menata ikan goreng, seketika menatap ke arahku sambil tersenyum.
“Wa’alaikum salam, Intan. Alhamdulillah lumayan rame,” jawab Bu Ina.
Bu Teti dan Bu Ina seketika menghentikan pekerjaannya, mereka berdua duduk dan mengajakku untuk duduk bersama di hadapan mereka.
“Bagaimana keadaan Pak Haji Amin, Intan?” tanya Bu Teti.
“Alhamdulillah Pak Haji Amin sudah sadar. Doakan semoga semakin membaik, ya, Bu,” pintaku.
“Bu, Intan mau bawa beberapa lauk untuk makan di sana. Kalau Intan menginap di rumah sakit lagi bagaimana?” tanyaku.
“Kalau menurut Ibu sih tidak apa-apa, Intan. Ibu paham sekali kondisi Bu Hajjah Siti dan Pak Haji Amin. Saat ini keberadaan kamu di sana lebih dibutuhkan oleh mereka. Oh iya ....” Bu Ina menjeda ucapannya, bangkit dari duduknya menuju meja kasir, kemudian kembali duduk.
“Ini daftar belanja untuk hari ini, dan ini ... uang dari laci kemarin.” Bu Ina menyerahkan buku yang biasa aku gunakan untuk mencatat daftar belanjaan untuk warungku dan sejumlah uang padaku.
“Ibu pegang saja,” tolakku.
“Tidak Intan, kamu pegang saja. Barangkali kamu membutuhkan untuk biaya pengobatan Pak Haji Amin di sana,” tolak Bu Ina.
Beruntung sekali aku mempunyai karyawan seperti Bu Ina dan Bu Teti, selain jujur, bisa diandalkan, juga memiliki toleransi yang tinggi dan tak segan membantu.
“Ini untuk membayar belanjaan hari ini, ya, Bu.” Aku serahkan sejumlah uang pada Bu Ina sesuai jumlah yang tertera pada daftar belanja.
“Ini ongkos ojeknya dan ini ... uang lembur untuk Bu Ina dan Bu Teti,” aku memberikan beberapa lembar uang berwarna merah untuk mereka.
“Tidak Intan, tidak usah. Kamu pegang saja,” tolak Bu Ina.
“Tidak apa-apa, Bu. Doakan saja semoga warung kita semakin laris, Bu Teti dan Bu Ina juga semakin semangat kerjanya.” Aku ulas senyum pada mereka berdua.
“Oh, iya. Kamu sudah dengar kabar tentang Adi?” ucap Bu Teti.
“Mas Adi? Kenapa dia, Bu?” tanyaku.
Ada apa dengan mas Adi? Apakah mungkin?
***
Mohon bantu like, komentar dan follow akun saya, ya, Kak, agar saya jadi tambah semangat menulis.
Terima kasih banyak atas bantuan kalian, saya doakan bagi yang membaca karya saya di aplikasi Bukulaku diberi kemudahan rezeki. Aamiin.
Bab 19
BERLIAN ATAU SAMPAH
Bab 19
Terungkap
“Saat Intan masuk ke dalam kamar Ibu, pintu lemari dalam keadaan tidak dikunci, saat Intan buka pintu tersebut, pakaian Ibu dan Bapak juga terlihat berantakan,” jelasku.
“Apa?” Dahi Bu Hajjah berkerut dan alisnya menyatu.
“Bu Ina juga masuk ke rumah Ibu hanya untuk menyalakan dan mematikan lampu teras, tidak pernah masuk ke kamar,” timpalku.
“Sebenarnya ....” Pak Haji Amin menggantungkan ucapannya, membuat aku penasaran.
“Sebenarnya apa yang terjadi, Pak?” teriak Bu Hajjah Siti ikut penasaran.
Aku lihat Bu Hajjah Siti bangkit dari duduknya.
“Ibu ... Ibu tenang dulu. Kita di rumah sakit.” Aku memegang bahu Bu Hajjah Siti, lalu mengarahkannya untuk duduk kembali.
“Sudahlah, Bu. Ibu tidak enak dengan Intan,” tolak pak Haji Amin.
Aku mengelus punggung belakang Bu Hajjah Siti agar dia bisa lebih tenang.
“Bapak jangan membuat Ibu semakin penasaran. Sebenarnya apa yang sebenarnya terjadi? Apa hubungannya kamar kita dengan Intan? Saat Bapak jatuh, Ibu sedang berbincang dngan Intan di warung. Jadi, ini semua tidak ada hubungannya dengan Intan,” jelas Bu Hajjah Siti.
“Pak, katakan apa yang sebenarnya terjadi?” desak Bu Hajjah Siti.
“Intan, Maafkan Bapak. Sebenarnya Adi yang melakukan semua itu.” Pak Haji Amin mengungkapkan sambil mengusap wajahnya dengan tangan kirinya.
“Apa?” ucapku dan Bu Hajjah Siti terkejut.
"Mas Adi, Pak? Mas Adi masuk ke kamar Bapak dan mengacak-acak lemari Bapak hingga membuat Bapak seperti ini?" ucapku masih tidak percaya.
“Apa? Bagaimana bisa mas Adi masuk ke rumah Pak Haji Amin saat Bu Hajjah Siti tidak ada di rumah? Apa yang dia pikirkan hingga nekat untuk mencuri di sana? Berarti benar, orang yang aku lihat saat itu adalah Mas Adi. Tega sekali dia melakukan ini! tega sekali dia mencuri di rumah orang yang sangat baik padaku, yang sangat berjasa padaku. Tega sekali dia mempermalukanku,” gumamku dalam hati.
Bukankah pertemuan dapat mengobati rindu? Tapi mengapa tak ada sedikitpun rasa rindu yang aku rasakan terhadap dirinya? Bertemu dengannya dari kejauhan pun malah mendatangkan benci dan emosi. Tanpa terasa air mataku menetes ketika memikirkan hal ini. Dadaku bergemuruh, bak petir yang menggelegar, begitu menyesakkan hati, terasa sakit sekali. Luka yang dahulu telah terobati, kini seolah terbuka kembali.
“Ada yang hilang, Pak? Berapa? Biar Intan ganti nanti.” Aku panik hingga menangis sesenggukkan.
“Intan, sudah ... tidak usah kamu pikirkan,” pinta Bu Hajjah Siti.
“Ta-tapi, Bu ....” Bu Hajjah Siti meletakkan jari telunjuknya di bibirnya sambil menggelengkan kepalanya.
“Uang yang hilang bisa dicari, Intan. Di laci lemari hanya ada gepokan uang receh sepuluh dan lima ribu rupiah hasil menukar di Bank, jumlahnya tidak sampai dua juta. Mungkin memang belum rezeki kami. Untungnya kartu identitas, kartu ATM, dan kartu penting lainnya ada di tas Ibu. Sekarang kita fokus pada kesembuhan Bapak saja. Kamu tidak usah memikirkan tentang hal itu lagi!” sanggah Bu Hajjah Siti.
“Tega sekali mas Adi, Bu. Tega ... Intan tidak habis pikir dia bisa melakukan semua ini. Intan pikir Intan dan mas Adi sudah tidak ada sangkut paut setelah bercerai. Tetapi, kenapa dia masih saja hadir dan mengusik kehidupan Intan? Intan malu, Bu. Malu sekali pada Ibu dan Bapak. Maafin Intan, Bu ... Maafin Intan, Pak ....” Emosiku meluap, tak dapat aku bendung lagi. Tangisku pecah.
“Sudah Intan, sudah.” Bu Hajjah Siti meraih tubuhku ke dalam dekapannya.
***
Mohon bantu like, komentar dan follow akun saya, ya, Kak, agar saya jadi tambah semangat menulis.
Terima kasih banyak atas bantuan kalian, saya doakan bagi yang membaca karya saya di aplikasi Bukulaku diberi kemudahan rezeki. Aamiin.
Bab 19B
BERLIAN ATAU SAMPAH
Bab 19
Terungkap
“Tega sekali mas Adi, Bu. Tega ... Intan tidak habis pikir dia bisa melakukan semua ini. Intan pikir Intan dan mas Adi sudah tidak ada sangkut paut setelah bercerai. Tetapi, kenapa dia masih saja hadir dan mengusik kehidupan Intan? Intan malu, Bu. Malu sekali pada Ibu dan Bapak. Maafin Intan, Bu ... Maafin Intan, Pak ....” Emosiku meluap, tak dapat aku bendung lagi. Tangisku pecah.
“Sudah Intan, sudah.” Bu Hajjah Siti meraih tubuhku ke dalam dekapannya.
“Bu ... Intan akan mengganti semua uang yang telah dicuri mas Adi. Intan janji, Intan akan merawat Bapak hingga sembuh. Maafin Intan.” Aku peluk tubuh Bu Hajjah Siti dan menangis di bahunya.
“Sudah ... sudah ... ini sudah takdir dari Allah yang Maha Kuasa, Ibu dan Bapak pasrah dan ikhlas dengan ketentuan dari yang di Atas. Sebaiknya kamu tidak bertemu atau berhubungan dengan Adi lagi. Lupakan hal ini. Oh, iya. Kamu sudah sholat Dzuhur?” tanya Bu Hajjah Siti sambil mengusap punggungku.
Aku melepas pelukan, lalu menjawabnya dengan gelengan kepala pelan sambil menatap matanya.
“Kamu sholat Dzuhur dulu, lalu kita antar Bapak untuk fisioterapi. Hapus air matamu, malu nanti kalau ketemu dokter matanya sembab,” perintah Bu Hajjah Siti dengan senyuman.
Aku mengangguk lalu berjalan menuju kamar mandi untuk membasuh wajahku dan berwudhu. Aku tunaikan ibadah di siang hari. Aku tumpahkan segala keluh kesahku dengan mengadu pada Sang Pencipta.
“Kenapa mas Adi melakukan hal ini? Mengapa dia setega ini padaku? Apa ini ada hubungannya dengan ditangkapnya dia karena narkoba? Apa dia menggunakan uang yang dia curi dari rumah Pak Haji Amin untuk membeli barang terlarang itu? Astaghfirullah al’adzim!” Seribu tanya berkecamuk di kepalaku.
“Aku harus menemui mas Adi besok!” tegasku dalam hati.
“Selamat siang, Pak Amin. Waktunya fisioterapi.” Seorang perawat datang dengan mendorong sebuah kursi roda.
“Sudah makan siang?” tanya perawat tersebut.
“Alhamdulillah sudah, Sus,” jawab Pak Haji Amin.
Aku segera membuka dan melipat mukena yang sedang aku kenakan, lalu membantu perawat tersebut memindahkan Pak Haji Amin dari brangkar ke kursi roda. Setelah itu, aku dan Bu Hajjah Siti berjalan berdampingan mengikuti perawat yang mendorong kursi roda Pak Haji Amin menuju ruang fisioterapi.
“Bu, Ibu ingin melaporkan mas Adi ke polisi?” tanyaku pada Bu Hajjah Siti.
“Apa? Lapor polisi?” Langkah Bu Hajjah Siti seketika terhenti.
“sambil jalan, Bu. Biar tidak tertinggal.” Aku mengangguk lalu menggait lengannya agar tetap berjalan di belakang perawat yang berjalan dengan langkah cepat.
“Tidak usah, Intan. Lupakan hal ini dan jangan berhubungan lagi dengan Adi,” cetus Bu Hajjah Siti.
“Tapi, Bu ....” elakku.
“Tidak ada tapi-tapian!” Bu Hajjah Siti mengacungkan telunjuk tangan kanannya di hadapanku.
“Kenapa Bu Hajjah Siti dan orang-orang melarangku menemui mas Adi? Apakah Bu Hajjah Siti tahu jika mas Adi sekarang sedang berada di Polres karena ditangkap dengan kasus narkoba? Apakah aku harus melawan rasa penasaranku dengan menuruti perintah Bu Hajjah Siti dengan tidak menemui mas Adi? Ataukah aku harus menemuinya untuk menghilangkan rasa penasaranku? Apakah salah jika aku hanya sekedar menemuinya?” gumamku dalam hati.
****
Apa Intan akan menemui Adi kantor polisi? Tunggu kelanjutan ceritanya di Bab 20.
Mohon bantu like, komentar dan follow akun saya, ya, Kak, agar saya jadi tambah semangat menulis.
Terima kasih banyak atas bantuan kalian, saya doakan bagi yang membaca karya saya di aplikasi Bukulaku diberi kemudahan rezeki. Aamiin.
Bab 20
BERLIAN ATAU SAMPAH?
Bab 20
Di Kantor Polisi
Esok harinya sekitar pukul sembilan pagi, setelah membeli sarapan untuk aku dan Bu Hajjah Siti, aku izin pada Bu Hajjah Siti untuk pulang ke rumah. Sebelum pulang, aku sempatkan untuk mampir ke kantor polisi untuk menemui mas Adi tanpa memberi tahu Bu Hajjah Siti, karena takut mengganggu pikirannya dan pasti Bu Hajjah Siti tidak akan memperbolehkan aku untuk kembali berhubungan dengan mas Adi.
Setibanya di kantor polisi, aku di arahkan oleh seorang petugas polisi yang berjaga di gerbang depan untuk mengisi daftar tamu dengan menunjukkan kartu identitas yang masih berlaku di meja informasi dan pendaftaran, serta mengambil nomor urut.
Aku pun masuk ke kantor polisi, dan menuju meja informasi dan pendaftaran. Tak butuh waktu lama untuk menunggu, aku langsung dipersilahkan duduk di hadapan seorang petugas polisi yang sedang menatap layar monitor laptop yang ada di hadapannya.
“Selamat pagi, Bu. Ada keperluan apa?” tanya petugas polisi ramah.
“Saya ingin mengunjungi Adi Perkasa yang tadi malam ditangkap dalam kasus narkoba di kos-kosan di daerah Taman Kota,” ucapku ragu.
Jujur, ini adalah kali pertama aku masuk ke kantor polisi dan berbicara langsung dengan seorang petugas polisi. Ada perasaan takut dan segan. Terlebih, rasa takut disangkutpautkan dngan kasus mas Adi.
“Boleh pinjam KTPnya.” Aku mengeluarkan kartu identitasku dari dalam dompet.
Ada keinginan untuk menanyakan tentang kasus yang Mas Adi hadapi pada petugas polisi tersebut, namun keraguanku lebih besar dari pada keberanianku. Aku pun enggan iba dan kembali terpaut dengan Mas Adi.
“Ini KTP dan nomor antriannya, ya.” Aku menerima kartu identitasku dan sebuah kertas berwarna putih berbentuk kotak bertuliskan angka satu.
Tak lama, seorang petugas polisi wanita datang untuk memeriksa badanku dan juga memeriksa seluruh barang bawaanku.
“Saya periksa seluruh barang bawaannya, ya.” Petugas wanita tersebut menerima tas yang aku berikan lalu memeriksa seluruh isinya.
“Bu, saya tidak bawa apa-apa untuk mas Adi. Saya dari rumah sakit menunggu Bapak yang sedang di rawat ingin pulang ke rumah, lalu mampir ke sini. Jadi bungkusan di plastik berwarna putih itu semua baju kotor.” Aku menunjuk kantong plastik berwarna putih yang hendak diperiksa oleh polisi wanita itu.
“Oh iya, tidak apa-apa. Nanti semua barang-barang ini dititipkan saja di loker, termasuk gawai dan tas yang ibu bawa,” terang petugas polisi itu tegas.
“Baik, Bu.” Aku mengangguk.
Aku berjalan mengikuti arahan seorang petugas polisi pria berbadan tegap. Aku tiba di sebuah lorong panjang yang terdapat kursi kayu panjang berwarna coklat.
“Silahkan duduk, waktu kunjungan hanya lima belas menit, ya.” Petugas polisi pria tersebut mempersilahkan aku untuk duduk di atas kursi kayu tersebut.
Aku menunggu sambil memperhatikan sekeliling. Di hadapanku terdapat sebuah jeruji besi yang terlihat sangat kokoh. Aku lihat jam di gawaiku menunjukkan pukul 10.09. Tak lama mas Adi datang dari balik jeruji besi.
“Assalamu’alaikum, bagaimana keadaan Mas?” sapaku pada Mas Adi.
“Wa’alaikum salam, ya ... seperti yang kamu lihat saat ini. Beginilah keadaanku.” Mas Adi mengangkat bahunya dan memperhatikan tubuhnya yang terlihat lusuh.
“Bagaimana keadaanmu, Intan?” tanya Mas Adi balik.
“Alhamdulillah Intan sehat wal afiat.” Aku menjawab sambil tersenyum.
“Apa kau datang untuk menertawakan kondisiku saat ini, hah?” cerca Mas Adi mulai tersulut emosi.
Aku seketika terkejut dengan ucapan yang baru saja Mas Adi ucapkan. Apa aku terlihat seperti sedang menertawakannya?
“Apa aku terlihat seperti sedang menertawakanmu, Mas? Untuk apa?” protesku.
“Alah ....” Mas Adi membuang muka dan melambaikan tangannya ke udara.
***
Mohon bantu like, komentar dan follow akun saya, ya, Kak, agar saya jadi tambah semangat menulis.
Terima kasih banyak atas bantuan kalian, saya doakan bagi yang membaca karya saya di aplikasi Bukulaku diberi kemudahan rezeki. Aamiin.
Bab 20B
BERLIAN ATAU SAMPAH?
Bab 20
Di Kantor Polisi
Aku seketika terkejut dengan ucapan yang baru saja Mas Adi ucapkan. Apa aku terlihat seperti sedang menertawakannya?
“Apa aku terlihat seperti sedang menertawakanmu, Mas? Untuk apa?” protesku.
“Alah ....” Mas Adi membuang muka dan melambaikan tangannya ke udara.
“Aku datang ke sini ingin mendengar jawaban langsung dari mulutmu. Kenapa, Mas? Kenapa bertindak sejauh ini? kenapa Mas sampai terlibat dengan narkoba?” cecarku.
Mas Adi terdiam cukup lama, menatap meja yang kosong.
“Aku ingin mndapatkan uang dengan mudah. Asal kau tahu, Rosa mau aku dekati saat uangku banyak. Dia juga yang mengenalkanku dengan dunia ini. Tapi, setelah aku melepas semuanya, saat aku terpuruk, entah kenapa dia malah pergi meninggalkanku demi laki-laki yang jauh lebih kaya dan jauh lebih tampan dariku. Sedangkan aku? kini aku malah terjerat di dunia hitam ini dan mendekam di sini.” Mas Adi mengacak-acak rambutnya seolah frustasi.
Aku memutar memori perjalanan hidupku, ucapan yang keluar dari mulutnya seolah-olah bentuk semua perlakuannya ke padaku.
“Apa Mas Adi tidak merasa melakukan hal yang sama padaku?” celaku.
“Apa Mas tidak pernah berpikir bahwa itu adalah balasan dari semua perbuatanmu ke padaku?” sindirku.
“Dulu, sewaktu kedua orang tuaku masih ada, aku sama sekali tidak pernah merasa kekurangan kasih sayang, materi, atau apapun itu. Aku bahagia, Mas. Aku menuruti kemauan ayah untuk menikah dengan Mas karena alasan ibadah. Ayah bilang Mas orang baik. Tapi, kenapa Mas malah seolah mempermainkan dan sama sekali tidak perduli dengan pernikahan kita?” kritikku.
“Intan, maaf. Mas akan memperbaiki semuanya. Mas akan membahagiakan kamu. Mas janji!” Mas Adi menggenggam kedua tanganku yang berada di atas meja, meski terhalang oleh jeruji besi.
“Apa? Maaf mas Intan tidak bisa.” Aku menolak dan berusaha untuk melepaskan genggaman tangannya.
“Intan, tolong bantu keluarkan Mas dari sini.” Mas Adi menggenggam tanganku lebih erat.
“Ma-maaf, Mas. Intan tidak bisa. Silahkan Mas renungi semua perbuatan Mas di penjara, termasuk untuk apa Mas mendatangi rumah Pak Haji Amin.” Aku terkejut dengan ucapannya dan mulai tersulut emosi.
“Maaf Intan, Mas khilaf. Saat itu Mas berniat untuk menemuimu, namun Mas lihat di rumahmu sangat ramai orang, timbul rasa iri di hati Mas. Karena saat itu Mas sedang butuh uang, Mas kehilangan rosa, sementara kamu terlihat bahagia. Mas kira rumah Pak Haji Amin kosong, Mas masuk ke rumah Pak Haji Amin dan mengambil uang di kamarnya. Namun, tiba-tiba Pak Haji Amin muncul dari kamar mandi dan memergoki Mas yang sedang mengambil uang miliknya.” Terang Mas Adi.
“Kenapa Mas melakukan itu? Pak Haji Amin sekarang berada di rumah sakit karena hal itu,”sentakku.
“Tapi, Mas tidak menyakitinya hanya mengambil uangnya saja,” elak Mas Adi.
“Mas! Pak Haji Amin sudah sangat baik pada kita, bahkan sudah Intan anggap sebagai orang tua Intan sendiri. Malu Intan, Mas ... malu! Tidak cukupkah Mas menyakiti Intan hingga mereka pun tersakiti?” cecarku.
“Intan, maafkan Mas,” rayu Mas Adi.
Tak lama, polisi penjaga datang untuk memberitahukan waktu kunjungan yang telah usai.
“Maaf, waktu kunjungan telah habis.” Aku dan Mas Adi pun bangkit dari duduk.
“Izinkan Intan bahagia, Mas. Intan doakan mas juga bisa bahagia.” Mas Adi menoleh ke arahku, lalu berjalan di dampingi petugas polisi tadi.
“Intan, maafkan Mas, Intan,” teriak Mas Adi.
Aku pergi meninggalkan ruang kunjungan, menuju loker untuk mengambil barang-barang yang aku titipkan tadi dengan membendung dan menahan air mata agar tak meluap.
****
Akankah Intan memaafkan semua kesalahan Adi dan membebaskannya?
Tunggu kelanjutan kisahnya di Bab 21
***
Mohon bantu like, komentar dan follow akun saya, ya, Kak, agar saya jadi tambah semangat menulis.
Terima kasih banyak atas bantuan kalian, saya doakan bagi yang membaca karya saya di aplikasi Bukulaku diberi kemudahan rezeki. Aamiin.
Bab 21
BERLIAN ATAU SAMPAH?
Bab 21
Kedatangan Fahri
Aku duduk terdiam di kursi yang ada di halte bus depan kantor polisi. Ramai, banyak yang lalu lalang, namun kontras dengan perasaanku saat ini yang sepi. Sangat sepi, namun lega telah meluapkan isi hatiku pada mas Adi.
Bukan ... bukan aku tak ingin memaafkan semua kesalahan mas Adi padaku. Aku ikhlas atas semua yang telah terjadi padaku dan telah memaafkan semua tindakannya padaku.
Tujuanku menemuinya bukan untuk menerima ajakannya untuk membina rumah tangga kembali. Salah! Itu salah besar! Trauma yang menakutkan itu masih tersisa, walau hati telah berusaha untuk mempercayai seseorang sepenuh hati. Bukanlah hal yang mudah bagiku kini. Terlebih pada sosok yang sama yang telah meninggalkan trauma tersebut.
Kenapa aku menemui mas Adi di kantor polisi? bu hajjah Siti dan pak haji Amin adalah alasan mengapa aku memberanikan diri menemui mas Adi di kantor polisi. Mereka telah aku anggap sebagai orang tuaku sendiri. Apakah salah jika aku bermaksud untuk melindungi mereka? Aku hanya ingin bertanya tentang kebenaran yang telah terjadi dan tujuannya menyakiti pak haji Amin, lalu kenapa memakai uang hasil curiannya untuk membeli narkoba, hingga akhirnya dia ditangkap oleh polisi.
Aku masih bisa terima jika mas Adi hanya menyakitiku, tapi tidak dengan orang-orang yang menyayangiku dan aku sayangi. Oleh sebab itu, aku datang menemuinya untuk memberitahukannya agar tidak mengganggu orang-orang yang berada di dekatku lagi, termasuk bu hajjah Siti dan pak haji Amin.
****
Satu minggu sudah pak haji Amin dirawat di rumah sakit dan hampir tiga minggu dirawat di rumah. Alhamdulillah hari demi hari kondisinya semakin membaik. Setelah pulang dari rumah sakit, ada saja yang datang untuk menjenguk pak haji Amin. Bahkan tak sedikit yang datang membawa buah, vitamin, atau obat herbal untuk pak haji Amin. Alhamdulillahi rabbil alaamiin.
Dini hari, seperti biasa, aku mulai merajang sayur, lalu memasak. Setelah memasak, aku pergi ke rumah Bu Hajjah Siti untuk membawa nasi, lauk pauk, dan sayur matang. Di rumah Bu Hajjah Siti, aku membantu Bu Hajjah Siti memapah Pak Haji Amin menuju ke kamar mandi untuk mandi. Setelah Pak Haji Amin memakai baju dengan bantuan Bu Hajjah Siti, aku dan Bu Hajjah Siti kembali memapah Pak Haji Amin menuju kursi di teras depan rumah mereka, agar Pak Haji Amin dapat sarapan pagi dengan menikmati suasana pagi dan mendapat sinar matahari yang baik untuk kesehatannya. Setelah kami sarapan bersama, tak lupa aku membantu Bu Hajjah Siti untuk mengingatkan dan mengoreksi setiap gerakan fisioterapi yang Pak Haji Amin lakukan. Aku sangat senang dengan aktifitasku saat ini.
Tidak seperti biasanya, hari ini Bu Hajjah Siti memintaku untuk menunggu di teras rumah. Aku juga tidak mengerti tujuannya, ada sebuah pertanyaan besar yang muncul dalam benakku, tapi aku hanya menuruti ucapan Bu Hajjah Siti saja. Saat Pak Haji Amin sedang melakukan gerakan fisioterapi, Bu Hajjah Siti bercerita dengan penuh semangat bahwa hari ini Pak Haji sudah bisa jalan ke kamar mandi dan memakai baju kokonya sendiri.
***
Mohon bantu like, komentar dan follow akun saya, ya, Kak, agar saya jadi tambah semangat menulis.
Terima kasih banyak atas bantuan kalian, saya doakan bagi yang membaca karya saya di aplikasi Bukulaku diberi kemudahan rezeki. Aamiin.
Bab 21B
BERLIAN ATAU SAMPAH?
Bab 21B
Kedatangan Fahri
Dini hari, seperti biasa, aku mulai merajang sayur, lalu memasak. Setelah memasak, aku pergi ke rumah Bu Hajjah Siti untuk membawa nasi, lauk pauk, dan sayur matang. Di rumah Bu Hajjah Siti, aku membantu Bu Hajjah Siti memapah Pak Haji Amin menuju ke kamar mandi untuk mandi. Setelah Pak Haji Amin memakai baju dengan bantuan Bu Hajjah Siti, aku dan Bu Hajjah Siti kembali memapah Pak Haji Amin menuju kursi di teras depan rumah mereka, agar Pak Haji Amin dapat sarapan pagi dengan menikmati suasana pagi dan mendapat sinar matahari yang baik untuk kesehatannya. Setelah kami sarapan bersama, tak lupa aku membantu Bu Hajjah Siti untuk mengingatkan dan mengoreksi setiap gerakan fisioterapi yang Pak Haji Amin lakukan. Aku sangat senang dengan aktifitasku saat ini.
Tidak seperti biasanya, hari ini Bu Hajjah Siti memintaku untuk menunggu di teras rumah. Aku juga tidak mengerti tujuannya, ada sebuah pertanyaan besar yang muncul dalam benakku, tapi aku hanya menuruti ucapan Bu Hajjah Siti saja. Saat Pak Haji Amin sedang melakukan gerakan fisioterapi, Bu Hajjah Siti bercerita dengan penuh semangat bahwa hari ini Pak Haji sudah bisa jalan ke kamar mandi dan memakai baju kokonya sendiri.
“Alhamdulillahi rabbil alaamiin. Bapak sudah banyak kemajuan,” ucapku gembira.
Alhamdulillah, mulut dan tangan Pak Haji Amin sudah mulai membaik, tinggal kaki saja yang masih perlu banyak latihan fisik agar kaki kanannya bisa sekuat kaki kirinya. Menurutku, dengan berita gembira hari ini, Insya Allah tak lama lagi Pak Haji Amin bisa melakukan aktifitasnya sendiri seperti sedia kala. Namun, saat Bu Hajjah kembali melanjutkan ceritanya, tiba-tiba terdengar suara dari arah punggung belakang Bu Hajjah Siti.
“Assalamu’alaikum,” sapa pemilik suara tersebut.
“Wa’alaikum salam.” Kami pun menoleh ke arah suara.
“A’ Fahri?” gumamku.
“Masya Allah, Fahri,” teriak Bu Hajjah Siti.
Bu Hajjah Siti langsung bangkit menghampiri A’ Fahri dan memeluknya.
“Bu ....” A’ Fahri mencium takzim punggung tangan kanan Bu Hajjah Siti.
“Ibu sehat?” tanya A’ Fahri pada Bu Hajjah Siti.
“Alhamdulillah, Ibu sehat, Nak.” Bu Hajjah Siti tersenyum menatap wajah anak semata wayangnya yang tampan.
Aku hanya memperhatikan mereka dari kursi yang aku duduki dengan perasaan senang bercampur deg-degan.
“Ibu fikir kamu tidak jadi pulang, karena tidak pernah menghubungi Ibu lagi sejak di rumah sakit waktu itu,” ucap Bu Hajjah Siti.
“Fahri sibuk mengalihkan tugas di kampus dan restoran, Bu. Maaf belum sempat menghubungi Ibu lagi. Fahri juga kan mau kasih kejutan untuk Ibu dan Bapak,” terang A’ Fahri.
“Assalamu’alaikum, Pak.” A’ Fahri menghampiri Pak Haji Amin.
Bagaimana kondisi, Bapak?” Sekarang A’ Fahri beralih mencium punggung tangan Pak Haji Amin takzim.
“Wa’alaikum salam,” Pak Haji Amin mengelus kepala anaknya itu.
“Alhamdulillah, hari demi hari, Bapak mengalami banyak perkembangan, iya kan, Pak?” Terang Bu Hajjah Siti disambut oleh anggukan kepala Pak Haji Amin.
Tak lama A’ Fahri menghadap ke arahku tanpa memandangku. Aku benar-benar salah tingkah dibuatnya. Ingin bicara, tapi bibir dan lidah ini kelu. Ya Allah, ingin pingsan saja rasanya.
“Ini Intan, masa kamu lupa?” Bu Hajjah Siti menepuk bahuku seolah menuntunku untuk ke luar dari lamunanku.
“Oh, iya. Intan, apa kabarmu?” tanya A’ Fahri padaku.
“Alhamdulillah, ba-baik, Ustad.” Aku menatap kedua tanganku yang berada di depan perutku.
Ya ... Tuhan. Mengapa dadaku ini tidak bisa aku kontrol. Padahal dia hanya menanyakan kabar, bukan mengajak ijab qabul.
***
Mohon bantu like, komentar dan follow akun saya, ya, Kak, agar saya jadi tambah semangat menulis.
Terima kasih banyak atas bantuan kalian, saya doakan bagi yang membaca karya saya di aplikasi Bukulaku diberi kemudahan rezeki. Aamiin.
Bab 21C
BERLIAN ATAU SAMPAH?
Bab 21C
Kedatangan Fahri
Tak lama A’ Fahri menghadap ke arahku tanpa memandangku. Aku benar-benar salah tingkah dibuatnya. Ingin bicara, tapi bibir dan lidah ini kelu. Ya Allah, ingin pingsan saja rasanya.
“Ini Intan, masa kamu lupa?” Bu Hajjah Siti menepuk bahuku seolah menuntunku untuk ke luar dari lamunanku.
“Oh, iya. Intan, apa kabarmu?” tanya A’ Fahri padaku.
“Alhamdulillah, ba-baik, Ustad.” Aku menatap kedua tanganku yang berada di depan perutku.
Ya ... Tuhan. Mengapa dadaku ini tidak bisa aku kontrol. Padahal dia hanya menanyakan kabar, bukan mengajak ijab qabul.
“Bu, Intan pamit dulu, ya,” cakapku pada Bu Hajjah Siti.
“Pak, nanti siang Intan ke sini lagi, ya,” ucapku pada Pak Haji Amin.
“Pamit, Pak Ustad. Assalamu’alaikum.” Aku tak berani memandang wajah A’ Fahri.
“Wa’alaikum salam,” jawab mereka serempak.
Aku lihat Bu Hajjah Siti tersipu memperhatikanku.
Setibanya di warung, aku langsung menuju etalase makanan, merapihkan makanan dan mengisi wadah yang telah kosong.
“Intan!” Bu Teti mengagetkanku dengan berteriak memanggil namaku sambil menggebrak meja yang ada di hadapanku.
“Ish! ish! Ibu ... mengagetkan Intan saja. Jantung Intan mau copot rasanya ini!” Aku mengelus dadaku yang berdetak kencang.
“Hahaha,” tawa bu Teti puas.
“Kamu kenapa, Intan?” tanya Bu Teti.
“Tidak apa-apa, Bu. Intan cuma sedang merapihkan ini.” Aku menunjuk kotak makanan yang berisi ikan tongkol dan telur balado yang sedang aku tata di etalase.
“Bukan itu, dari tadi sejak Ibu bereskan piring kotor di meja sampai selesai Ibu mengelap meja, Ibu lihat kamu senyam-senyum sendiri.” Terang Bu Teti sambil tersenyum menggoda aku.
“Tidak apa-apa, Bu. Intan hanya ... hanya senang banyak pelanggan yang datang pagi ini, jadi makanan kita cepat habis,” elakku.
“Masa?” Tanya Bu Teti seolah tidak percaya dengan ucapanku.
“Benar, Bu,” aku berdalih.
“Bukannya karena itu.” Bu Teti menunjuk ke arah rumah bu Hajjah Siti dengan mulutnya.
“Bukannya karena ada yang datang dengan menaiki taksi dan membawa beberapa koper, lalu masuk ke rumah bu Hajjah Siti?” goda Bu Teti.
“Ibu, mah,” rengekku.
“Sudah ... sudah ... ayo kita kerja lagi! Sebentar lagi waktu makan siang. Bu Teti minta tolong bersihkan piring kotor, ya,” perintah Bu Ina pada Bu Teti.
“Intan, coba kamu buat daftar untuk belanja besok!” Bu Ina menyodorkan Buku daftar belanja dan pulpen padaku.
Bu Ina yang datang membawa termos berisi nasi mengalihkan obrolanku dengan Bu Teti. Aku mengelus dada.
“Selamat ... selamat ... bebas dari bahan guyonan Bu Teti,” gumamku.
Setelah jam makan siang, sekitar pukul satu siang, aku membawakan nasi, sayur bening bayam, ikan nila tim, gorengan dan sambal terasi untuk pak haji Amin, bu hajjah Siti, dan A’ Fahri.
Namun ternyata ...
***
Mohon bantu like, komentar dan follow akun saya, ya, Kak, agar saya jadi tambah semangat menulis.
Terima kasih banyak atas bantuan kalian, saya doakan bagi yang membaca karya saya di aplikasi Bukulaku diberi kemudahan rezeki. Aamiin.