Aku Ingin Pulang
Sinopsis
Tags :
Remaja, Keluarga, Inspirasi
SarapanKata
KMOIndonesia
KMOBatch38
Kelompok26
RoyalGryffindor
Day1
Prolog
Sambil menahan tangis, Aziz memandang ayahnya yang juga berkaca-kaca.
“Sebagai laki-laki kamu harus menepati kata-kata dan janji yang pernah kamu ucapkan,” ayah meneruskan ucapannya. Ayah menangis dalam hati. Sungguh tak sampai hati. Namun, anak laki-lakinya harus bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya. Serta menepati janjinya.
Aziz mengingat janjinya pada ayah. Dengan sesak ia berkata,
“Iya ayah, Aziz akan tepati ucapan Aziz. Izinkan Aziz pergi.”
***
Termangu disudut kamar. Di gelap malam. Aziz terbayang wajah bunda yang jauh di sana. Menyimpan berjuta rindu menambah sesak. Bunda, ayah dan adik perempuan semata wayangnya, Aida. Apa kabar mereka di sana? Segala kata sesal seolah berlomba ingin segera terucap. Mengharap maaf dan pelukan dari orang-orang tersayang.
Tergugu. Kilasan masa lalu berkelebat. Hadir satu-persatu. Belaian bunda. Keisengan pada adik kecilnya. Kenakalanya. Kegagalannya. Hingga kemurkaan ayah yang membawanya sampai di tempat ini. Membayang penuh di kelopak mata. Membuat kabur pandangan. Mengusap kasar wajah, mengusir air mata yang datang tanpa permisi. Aziz menatap kertas lusuh yang selalu dipeluknya menjelang tidur. Selembar foto keluarga. Meraba pelan tiap obyek yang tercetak.
Sungguh, jika bisa mengulang waktu, tak kan dia biarkan orang-orang tersayangnya tersakiti dan kecewa. Apa boleh buat? Semua sudah terjadi. Aziz hanya bisa berharap apa yang sudah diraihnya bisa mengobati luka hati orang tuanya. Namun, ragu menyelimuti. Apakah dia sudah menjadi anak yang membanggakan? Apakah ayah sudah memaafkan? Aziz sudah lelah. Langkahnya sudah jauh. Bisakah dia kembali? Aziz ingin segera berada dalam pelukan bunda. Bersama orang-orang tersayangnya.
Pulang. Aziz hanya ingin pulang.
Bab 1 KELUARGA IDAMAN
Minggu pagi yang cerah. Tampak seorang remaja tanggung tengah bercanda dengan seorang anak perempuan. Sesekali tampak tawa terdengar dari keduanya. Gelitikan dari kakak membuat adik kegelian. Godaan kakak membuat adik memberengut kesal. Berikutnya tertawa saat cerita lucu saling terlontar antar keduanya. Kadang berkejaran memutari halaman. Kebersamaan yang indah.
Aziz Rizky Hendrawan. Sulung dari pasangan pak Hendra dan bu Intan. Seorang remaja yang baru saja memasuki masa putih abu-abu. Aziz berusia 16 tahun. Selama ini Aziz dikenal sebagai anak yang penurut. Menyayangi keluarganya. Selalu menjaga dan melindungi adik semata wayangnya. Hampir tak pernah ada masalah yang berarti. Bertengkar dengan adik kecilnya. Jatuh dari sepeda. Main kelewat waktu bersama teman-temannya. Lupa mengerjakan pekerjaan rumah. Hanya hal-hal ringan semacam itulah yang pernah terjadi.
Aida Restu Hendrawan. Putri kedua yang lahir 7 tahun setelah kakaknya. Kelas 4 di sebuah Sekolah Dasar Negeri yang tak jauh dari rumah. Anak perempuan yang menggemaskan dimata kakak dan orang tuanya. Manja, namun tak menjadikannya anak yang tak tau diri.
Orang tua telah mendidik mereka dengan baik. Mengajari tanggung jawab, mandiri dan ringan tangan. Pekerjaan di rumah dikerjakan bersama-sama. Hari Minggu menjadi hari berkumpul bagi mereka. Seperti hari ini.
Pak Hendra yang bekerja sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil tiap hari pergi pagi pulang sore. Beliau mengajar di sebuah SMP di kota kecamatan.
Sedangkan bu Intan seorang ibu rumah tangga biasa. Namun, selepas tugasnya sehari-hari beliau juga menyibukkan diri dengan membuat kerajinan tangan. ‘Mengisi waktu senggang,’ begitu alasannya ketika ditanya suaminya. Bross, bando, taplak meja dan aneka hiasan dari kain perca. Kadang juga menerima pesanan kue dari tetangga yang punya hajatan.
***
Aziz dan Aida baru saja menyelesaikan tugas pagi mereka di hari libur. Menyapu, mengepel, membersihkan halaman juga mencuci motor ayah. Menunggu bunda selesai menyiapkan sarapan sambil bercanda riang.
Tak berapa lama,
“Aziz! Aida! Ayo sarapan nak!” bunda berteriak dari dalam rumah.
“Iya bunda!” sahut keduanya serempak.
Mengelilingi meja makan. Tampak hidangan sederhana menggugah selera. Sayur bayam, telor ceplok dan pecek tempe.
“Waahhh....nikmat ini, bunda,” seru Aida berbinar.
“Alhamdulillah” Aziz menambahkan untuk sekedar mengoreksi ucapan adiknya.
“Eh...iya. Alhamdulillah. Makasih, bunda,” Aida meringis kecil.
“Nggak nunggu ayah, bun?” Aziz bertanya.
Bukan tanpa alasan, mereka setiap pagi memang berusaha untuk sarapan bersama. Tapi pagi ini pak Hendra sedang ada kegiatan rapat di masjid. Dari sholat subuh tadi beliau belum pulang. Selesai sholat ada pengajian rutin terus dilanjut acara rapat bersama pengurus masjid dan warga sekitar.
“Nggak usah. Ayah sudah disediakan sarapan di sana. Tadi bunda juga baru mengantar sambal buat bapak-bapak sarapan,” terang bunda.
“Dikasih sambal aja, bun?” tanya Aziz pura-pura bingung.
“Ya nggaklah, kamu ini ada-ada aja. Tugasnya sudah dibagi. Ada yang menanak nasi, bikin sayur juga menggoreng lauk,” sergah bunda sambil menyentil ringan Aziz.
Setelah berdoa mereka sarapan dengan tenang. Sesekali sambil saling melontarkan tanya jawab.
Bunda tersenyum menanggapi,
“Kalian harus banyak bersyukur. Diberi nikmat yang begitu banyaknya oleh Allah. Di luar sana banyak anak seusia kalian harus bekerja dulu sebelum bisa menikmati sarapan.”
Ayah dan bunda selalu menyisipkan nasehat-nasehat ringan pada anak-anaknya. NoBahkan hampir di setiap kegiatan bersama mereka. Entah itu saat di meja makan, menonton TV atau sewaktu bersih-bersih rumah bersama.
Selesai sarapan Aida membantu bunda membereskan meja makan. Sementara Aziz bersiap-siap untuk acara kerja bakti bersama remaja-remaja di sekitarnya. Membantu salah satu warga yang rumahnya hampir roboh setelah hujan dan angin kencang kemarin. Ayah bersama bapak-bapak juga akan menyusul kemudian.
Begitulah kehidupan mereka berjalan. Saling peduli. Kehidupan berkeluarga yang diidamkan semua orang. Kehidupan bertetangga yang sehat. Menyayangi antar penghuninya. Saling menolong dan bekerja sama. Keseharian yang dijalaninya bersama orang-orang tersayang terpatri dalam kepribadian seorang Aziz.
SarapanKata
KMOIndonesia
KMOBatch38
Kelompok26
RoyalGryffindor
Day2
Bab 2. SAHABAT BARU
Aziz bersekolah di sebuah Sekolah Menengah Kejuruan di kotanya. SMK Bhakti. Jarak yang tidak terlalu jauh di tempuh dengan naik motor. Pergi pulang. Berboncengan dengan salah seorang temannya, yang rumahnya searah dengan rumah Aziz. Ayah belum bisa membelikannya sepeda. Jadi Aziz harus naik angkutan sebelum dia bertemu Fandi.
Ya, Aziz sudah memiliki 3 sahabat baru. Fandi, Doni dan Rian. Mereka merasa cocok satu sama lain. Pergi sekolah bareng. Salah satu menjemput yang lain. Belajar bersama. Saling mendukung. Pun dengan keluarga di rumah. Sebagian sudah saling mengenal. Meski bukan termasuk jajaran anak pandai, mereka masih bisa mengikuti semua pelajaran dan mendapat nilai memuaskan.
Aziz dan ketiga sahabatnya sama-sama berasal dari keluarga yang lengkap. Hangat. Sedangkan Rian tidak seberuntung yang lain. Takdir menghendaki orang tua Rian meninggal saat kecelakaan lima tahun lalu. Meninggalkan dirinya yang masih berusia 12 tahun saat itu dan adiknya yang berusia 7 tahun. Kini dia hanya tinggal bersama nenek dan adiknya. Namun meski sebentar, orang tuanya dulu telah mendidiknya begitu baik.
***
Awal persahabatan mereka bermula di awal-awal sekolah.
Saat itu Aziz sedang menunggu angkutan untuk berangkat sekolah. Fandi yang melihat seseorang berseragam sama sepertinya segera memelankan laju motor. Ternyata dia Aziz, teman sekelasnya.
“Ini sudah 15 menit sebelum bel. Lah ...masih nunggu angkutan. Mana keburu nanti ke sekolah?” gumamnya dalam hati.
“Hey Aziz ...ayo bareng aku. 15 menit lagi bel. Angkutan belum keliatan. Belum macetnya,” Fandi berseru sambil menghentikan motor.
Aziz pun segera beranjak. Naik di boncengan motor Fandi. Karena dia pun tak mau terlambat masuk sekolah. Motor melaju membelah hiruk pikuk waktu pagi. Menyelip di antara mobil dan motor lainnya.
Sejak itu mereka berangkat sekolah bersama-sama. Tentu atas ajakan Fandi. Adakalanya Fandi menjemput ke rumah kalau Aziz belum terlihat di halte.
Beberapa pekan terlewat. Suatu pagi Fandi dan Aziz yang tengah berboncengan menuju sekolah. Di tengah perjalanan Fandi melihat seseorang berseragam yang sama dengannya. Duduk di pinggir jalan. Beberapa orang menemani.
Setelah berhenti baru jelas, ternyata dia Rian teman sekelasnya juga.
“Ada apa Rian?” Aziz menghampiri sambil bertanya. Fandi pun menyusul.
“Adik ini tadi kena serempet motor saat menyeberang. Padahal sudah sampai di pinggir,” seorang bapak yang menemani memberi penjelasan.
“Mana yang nyerempet?” Fandi melihat ke sekeliling. Namun tak tampak motor di sekitarnya.
“Langsung kabur tadi,” ujar Rian.
“Br*****k! Nggak tanggung jawab!” umpat Fandi.
“Kamu ngga pa-pa kan?”
“Aku baik-baik aja,” Rian menanggapi.
Fandi kembali melihat sekeliling. Tiba-tiba netranya menangkap sebuah motor yang tampak familier. Segera dihentikannya motor tersebut. Benar, Doni adalah pengendaranya. Dia juga teman satu sekolah. Beda kelas. Bahkan Doni temannya sejak SMP dulu.
“Kenapa Fan?” tanyanya masih dari atas motor.
“Temanku kena serempet motor. Orangnya kabur. Boncengin gih! Dia biasanya naik angkutan.”
“Ayolah! Keburu telat ntar. Tapi dia nggak apa-apa kan?” tanya Doni.
“Nggak ada luka serius. Luma lecet doang sedikit. Tadi sudah diobati sama bapak-bapak ini,” papar Fandi.
Beralih ke Rian, Fandi berkata,
“Rian, kamu bonceng Doni sini. Masih mau sekolah kan?”
“Iya. Cuman lecet gini aja juga,” tanggap Rian.
Mereka segera naik motor. Sebelumya mereka sudah berterima kasih dan pamit pada bapak-bapak yang menolong Rian. Mulai kejadian itu mereka berempat jadi dekat. Bersahabat, rekat.
SarapanKata
KMOIndonesia
KMOBatch38
Kelompok26
RoyalGryffindor
Day3
Bab 3. SETIA KAWAN
Siapa temanmu seperti itulah dirimu.
Betul. Karena teman mencerminkan siapa diri kita. Seorang sahabat memiliki pengaruh besar pada sahabatnya. Sikap, perilaku dan kebiasaan. Bahkan keyakinan pun bisa terpengaruh. Apalagi pada seorang remaja.
Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Masa yang rawan karena banyak bertemu kawan. Mereka mudah terpengaruh. Butuh pengakuan dalam usaha mencari jati diri. Senang meniru dan mencoba hal-hal menantang. Semakin dikekang akan semakin memberontak. Semakin dihalangi akan semakin bersemangat untuk terus melaju.
Perlu sosok kuat yang selalu menemani agar tak terpeleset. Sayangnya, itu tak selalu ada. Terlebih bila lingkungan mendominasi.
***
Tahun pertama mereka aman-aman saja. Kegiatan belajar di sekolah. Mengerjakan tugas bersama. Jalan-jalan dan bermain saat hari minggu tiba. Kadang mereka mengajak adik-adiknya turut serta.
Tanpa terasa mereka sudah menginjak tahun kedua di SMK Bhakti.
“Bunda, Aziz nanti nginep di rumah Doni ya? Ngerjakan tugas,” Aziz izin pada bunda saat sarapan.
“Iya, tapi pulang sekolah balik ke rumah dulu. Ganti baju,” tanggap bunda.
“Iya, bunda. Aziz berangkat sekolah dulu,” pamit Aziz sambil mencium tangan bunda.
“Hati-hati di jalan. Bilang Fandi, jangan ngebut. Yang rajin di sekolah,” pesan bunda mengantar Aziz ke depan.
Fandi sudah menunggu.
Di tengah perjalanan mereka berhenti karena menolong seorang pengendara motor. Motor itu jatuh ketika berbelok di tikungan. Belanjaan yang dibawanya cukup banyak. Berserakan di jalan. Mereka menolong menepikan motor dan mengumpulkan belanjaan.
Ramai orang di jalan tak lantas membuat banyak yang bersimpati untuk menolong. Hanya berhenti sekejap, lantas gas di tancap. Maklum jam-jam pagi. Saat orang-orang sibuk berangkat kerja dan sekolah. Namun, tak membuat Fandi dan Aziz abai. Padahal bel sebentar lagi berhunyi. Bisa dipastikan mereka akan terlambat.
“Gimana nih, Ziz? Kita terlambat masuk,” ujar Fandi.
“Ga pa-pa lah. Ga sengaja juga,” sahut Aziz.
“Tetep aja ga bisa masuk. Kita bakalan nunggu di luar gerbang sampai jam istirahat.”
“Bolos aja yuuk! Nanti kita suruh Doni sama Rian keluar juga,” usul Fandi nakal.
“Hah!? Bolos??” Aziz berseru kaget.
“Ga usah segitunya kali. Sekali-kali bolos ga pa-pa lah, Ziz,” bujuk Fandi.
Berbeda dengan Aziz yang belum pernah membolos. Fandi sudah merasakan ‘nikmatnya membolos.’
“Udah, sekali doang. Ayo naik!” ajak Fandi.
Dengan ragu Aziz mengikuti ajakannya. Tanpa sadar Aziz sudah melakukan pelanggaran. Sekali aja bukan?
***
“Huuufftt ...selesai juga akhirnya,” Doni mengembuskan napas lelah.
Mereka berempat baru saja menyelesaikan tugas. Doni memang tak sekelas. Namun tugasnya sama dengan ketiga sahabatnya.
“Gimana kalo kita nonton?” ajak Doni pada yang lain.
“Ayoklah!” Rian spontan menyahut.
“Berangkaaatt!” Fandi beranjak girang.
Merekapun berangkat. Aziz hanya pasrah mengikuti.
“Tak apa. Ini malam minggu,” gumamnya dalam hati.
Hari sudah larut saat mereka keluar. Namun, bukannya langsung pulang. Mereka malah mengikuti seorang teman Doni, yang bertemu di dalam gedung tadi.
Tiba di suatu tempat yang belum pernah mereka datangi. Ramai suara orang bersahutan dengan deru motor. Arena balapan. Bahkan mereka sempat menganga melihat apa yang ada di depan sana.
“Ngapain kita di sini?” Aziz yang pertama sadar menyuarakan kebingungannya.
“Santai ...kita liat aja kok,” teman Doni yang menjawab.
Aziz tak menanggapi lagi. Bisa apa selain mengikuti? Tak mungkin pulang sendiri. Dia juga tak ingin dikatakan tak setia kawan. Akhirnya mereka berbaur dalam keramaian malam minggu.
Terlena. Sampai tak terasa mereka menonton balapan sampai menjelang waktu subuh. Pulang dalam keadaan lelah dan mengantuk. Walau tak mereka rasakan. Dan tanpa mereka tau para orang tua sedang bersimpuh untuk kebaikan anak-anaknya.
SarapanKata
KMOIndonesia
KMOBatch38
Kelompok26
RoyalGryffindor
Day4
Bab 4. Mulai Bermain Api
Di mulai dari pelanggaran yang dianggap kecil. Berani melangkah lebih jauh. Tanpa terasa beberapa kebohongan yang mungkin tak disengaja sudah terbiasa. Bukan maksud berbohong. Karena nyatanya tidak ada kata yang tak sesuai. Namun, apa yang terjadi tak seluruhnya terungkap. Bukankah tak ada yang mempertanyakan?
Tak sengaja terlambat, lanjut membolos. Belajar kelompok, tapi juga pergi nonton. Awalnya cuma ikut meramaikan. Akhirnya tergoda menjadi pemain. Wajar bukan?
***
Jam Istirahat di SMK Bhakti.
“Woy ...melamun aja! Kesambet baru tau rasa!” tegur Aziz pada Doni. Di
Doni terlonjak kaget. Mengusap dada sambil membulatkan mata memandang tersangka Aziz, Fandi dan Rian baru saja tiba di kantin dan memergoki Doni tengah duduk seorang diri sambil melamun.
Mereka bertiga memang berada di kelas yang sama. Namun Doni tidak. Dia di kelas sebelah. Sebelum jam istirahat tadi, Doni selesai kelas lebih dulu karena gurunya ada kepentingan dinas.
“Melamun apaan? Lagi mikir nih!” elak Doni.
“Ada masalah apa, Bro?” Rian melontarkan peryanyaan sembari menarik kursi.
Mereka duduk berkeliling dalam satu meja. Meraih segelas juz di depannya. Sudah menjadi kebiasaan. Siapa yang datang lebih dulu akan memesankan minuman atau makanan buat berempat. Jadi begitu tiba minuman dan makanan kecil tersedia di meja mereka.
Jangan salah, mereka tetap akan patungan untuk membayarnya. Kecuali Doni, dia yang sering membayari makanan tanpa mau menerima uang dari yang lain.
“Aku ditawari balapan sama anak Merdeka,” jawab Doni.
Merdeka adalah nama sebuah Sekolah Menengah Umum yang juga berada di kota yang sama.
“Apa?? Balapan?” seru mereka bertiga berbarengan. Kecuali Doni tentunya.
“Iya. Besok malam. Gimana? Diterima apa nggak?”
“Siapa yang mau maju?”
“Motor siapa yang mau dipake?”
“Emang bakal diijinin?”
Pertanyan bersahutan dilontarkan oleh yang lain.
“Jangan keras-keras! Ntar kedengaran sama yang lain,” sergah Doni.
“Begini, kita pake motorku dan motor kakakku. Kebetulan kakak lagi ada acara kemping sama teman-temannya. Motornya nggak dibawa. Papa sama mama ada acara keluarga di Surabaya. Nginep. Yang maju nanti aku sama Fandi. Dia kan jago tuh naik motor,” Doni menjelaskan rencananya.
Keluarga Doni yang paling kaya di antara mereka berempat. Papanya pemilik show room mobil dan motor berikut sparepart sekaligus bengkel modifikasi. Motor yang digunakan untuk ke sekolah bukan motor yang umumnya digunakan teman-temannya. Itulah juga mengapa dia yang paling royal. Sama seperti di keluarga Aziz, orang tua Doni juga mengajarkan saling menolong dan berbagi dengan sesama.
Fandi, seperti halnya Aziz, ayahnya seorang PNS. Bedanya ayah Aziz sebagai guru. Sedangkan ayah Fandi seorang pegawai PEMDA.
“Ijinnya?” Aziz mengulang pertanyaannya.
“Ya nggak usah ijin, Ziz!” jawab Doni spontan.
“Iya, tau nih anak bunda. Nggak bakal diijinin juga kalau minta ijin dulu,” timpal Rian.
“Kapan? Pulang sekolah?” lanjut Aziz penasaran.
Fandi menoyor kepala Aziz,
“Ya malem lah, b*go!”
“Tau nih anak! Emang ada balapan siang hari? Yang ada bakal ketahuan dulu sebelum mulai,” sahut Rian.
“...”
“Gimana? Kalian setuju?” Doni meminta persetujuan teman-temannya.
“Setuju!” Rian dan Fandi menyahut bersamaan.
“Aziz, gimana?”
Beberapa saat terdiam,
“Aku nggak ikut deh!” akhirnya Aziz mengeluarkan suaranya.
“Yah ...nggak seru kamu, Ziz! Masak nggak ikut. Kan cuma sporter doang.”
“Katanya kita bersahabat. Nemenin kita balapan aja nggak mau.”
“Trus aku harus ngomong gimana? Belum pernah pulang sampe larut,” Aziz mengungkapkan keresahannya.
“Bilang aja nginep di rumahku buat ngerjain tugas.” usul Doni.
“Bohong dong! Orang mau balapan juga,” Aziz nggak setuju.
“Ntar kita belajar dulu. Baru malamnya kita cabut. Nggak bohong kan kalau gitu?” Fandi tersenyum lebar saat melontarkan usulannya yang dia kira paling baik.
“Nah ...boleh tuh!” Rian menjentikkan jarinya dramatis.
“Hhmmm...ya udah aku ikut,” akhinya Aziz menyambut ajakan sahabatnya.
“Nah, gitu dong! Baru namanya sahabat,” Doni berseru sambil merangkul Aziz.
“Yuuk...sekarang kita balik kelas,” ajak Fandi.
Bunyi bell terdengar tanda jam istirahat berakhir. Mereka beriringan menuju kelas. Kembali mengikuti pelajaran.
Mereka anak-anak yang penurut bukan? Hanya saja belum menyadari bahwa mereka sudah mulai bermain api.
SarapanKata
KMOIndonesia
KMOBatch38
Kelompok26
RoyalGryffindo
Day5
Bab 5. TERBIASA?
Usai upacara bendera sepekan sebelum Penilaian Akhir Semester 1.
“Pengumuman! Bagi yang namanya disebutkan harap untuk tidak meninggalkan lapangan upacara.”
Suara dari pengeras suara menghentikan langkah para siswa yang hampir semuanya laki-laki.
“..., Doni, Rian, Fandi, ..., ..., Aziz, .... Segera berkumpul di tengah lapangan.”
“Kalian tau kenapa dipanggil dan dikumpulkan di sini?” tanya kepala sekolah.
Mereka saling lirik. Bertanya-tanya tanpa tau jawabannya.
“Apa yang kalian kerjakan selama libur dua hari kemarin?”
“Hanya di rumah aja, pak,” jawab seorang siswa.
“Memancing di sungai,” sahut yang lain.
“....”
“Nonton bmmpp ...!” seru Aziz tertahan saat Fandi di sebelah reflek membekap mulutnya.
Sahabat dan teman lain sontak menoleh. Tersadar, Aziz menunduk. Merasa bersalah.
“Kan memang benar nonton balapan. Sudah berkali-kali malah. Bahkan ikut bermain,” monolognya dalam hati.
“Ada waktu libur bukannya dimanfaatkan untuk belajar buat persiapan ulangan pekan depan. Malah kelayapan di tempat balapan. Iya kan? Kalian balapan? Apa yang kalian dapat di sana??” suara kepala sekolah menggelegar menyiutkan nyali siswa-siswa di hadapannya.
Tak satu pun menjawab. Mereka sibuk menduga dari mana kepala sekolah tau.
“Mau sok hebat!!” “Sudah berapa kali ikut balapan, Fandi?” tanya kepala sekolah.
“Cuma sekali, pak. Itupun malam hari saja,” jawab Fandi.
“Benar itu Aziz?” giliran Aziz yang di tanya.
“Iya pak! Balapan sekali. Tapi nonton sudah berkali-kali,” Aziz memilih untuk jujur.
“Kalian ini masing-masing sudah pernah melanggar aturan sekolah. Beberapa kali nggak masuk tanpa keterangan. Pihak sekolah masih bisa memaklumi dan memaafkan, karena kalian selama ini rajin dan selalu mengerjakan tugas.”
Jeda sejenak.
“Namun kali ini, karena sudah mulai kelewatan, kalian akan mendapat hukuman sekaligus peringatan pertama yang akan disampaikan pada orang tua kalian. Hukumannya membersihkan kamar mandi dan WC serta gudang belakang selama seminggu” tegas kepala sekolah.
"Jika ketahuan melanggar lagi hukuman akan lebih berat," tambah beliau.
***
Hukuman dan ancaman dari Kepala Sekolah beberapa pekan lalu rupanya membuat mereka jera. Jangan lupakan di juga hukuman dan nasehat panjang lebar dari para orang tua.
Mereka kembali menjadi anak-anak yang rajin dan penurut. Api yang sempat menyala perlahan redup. Hawa panas di sekitarnya menghilang
Namun tanpa di sangka, angin berembus keras dari suatu arah. Api yang telah redup perlahan menyala kembali.
Penilaian Tengah Semester kedua baru usai. Ada pekan kegiatan di sekolah. Di isi permainan dan pertandingan antar kelas. Banyak juga yang sekedar nongkrong di kantin. Absen tetap berjalan. Gerbang pun juga ditutup.
“Guys ...diajak turun ntar malam sama anak-anak,” Doni memberi informasi.
Doni banyak mengenal anak-anak dari sekolah lain. Termasuk yang sering mengajaknya balapan. Maklum, papanya pemilik bengkel yang menjadi langganan anak-anak muda. Kini tiga sahabatnya juga sering di bengkel saat libur.
“Nanti ketahuan lagi sama guru,” sahut Rian.
“Nggak akan ketauan. Mereka dapat tempat baru. Di pinggir kota,” lagi Doni memberi informasi pada sahabatnya.
“Bolehlah,” Fandi menyetujui.
“Aku nggak bisa. Ayah dan bunda keluar kota. Aku harus nunggu rumah,” Aziz menolak ajakan itu.
“Tinggal di kunci, beres! Ayoklah kita sama-sama,” giliran Rian bersuara.
“Maaf, aku sudah janji nggak ninggalin rumah. Untuk berikutnya aku ikut. Tapi kali ini nggak bisa.”
“Beneran ya?” Doni memastikan.
“Ya!” jawab Aziz singkat.
***
Apa yang membuatmu bisa bebas melakukan pelanggaran dan di ulang sampai berkali-kali? Ketika terus tertantang dan merasa aman karena tak ada yang memergoki.
Mencoba sekali akhirnya berkali-kali. Terpaksa akhirnya terbiasa.
Begitulah. Kali ini mereka aman. Namun asap yang ditimbulkan dari api yang mereka nyalakan sudah mulai membumbung.
SarapanKata
KMOIndonesia
KMOBatch38
Kelompok26
RoyalGryffindor
Day6
Bab 6. SEMUA SUDAH TERJADI
Sepekan terlewati sejak Aziz menolak ajakan sahabatnya. Mereka turun balapan lagi. Kali ini Aziz tidak menolak. Tidak seberuntung sebelumnya. Seorang guru memiliki bukti keberadaan mereka di arena balapan. Entah dapat dari mana.
“Skors tiga hari!” Suara kepala sekolah bagai petir di siang hari.
Mereka mengangkat kepala. Memandang dengan rasa bersalah dan memohon.
Kepala sekolah bergeming. Suasana ruangan hening. Sepi. Tak ada yang berani membuka suara. Sadar ini kesalahan mereka.
Mereka segera teringat beberapa bulan lalu. Hukuman lebih berat akan di berikan jika terjadi pelanggaran berulang.
Raut gembira di wajah orang tua mereka saat penerimaan raport terbayang di hadapan. Bisa dipastikan berubah menjadi pancaran kecewa apabila mendengar kejadian pagi ini.
(Flasback ON)
“Alhamdulillah, nilaimu bagus nak! Meski bukan nomer satu, bunda tau ini yang terbaik,” bunda Intan menepuk pelan pundak Aziz lantas mengusap kepala dengan sayang. “Yang rajin. Manut sama guru kalau di sekolah.”
“Nenek sudah tua , Rian. Mungkin hanya bisa membantu membiayai sampai lulus saja. Pertahankan nilai-nilaimu. Kalo bisa tingkatkan. Biar nanti kamu nggak kesulitan kalo ingin cari beasiswa buat kuliah. Uang pensiun kakekmu nggak cukup kalao buat biaya,” nenek Rian berkata pelan di antara lelah dan lemah tubuhnya.
“Papa berharap banyak padamu, Doni. Kamu anak laki-laki satu-satunya. Kamu yang akan meneruskan usaha papa nanti. Lebih rajin belajar ya!”
"Kamu harus bisa lebih baik dari ayah nanti. Jangan puas dengan nilai yang sudah kamu anggap bagus. Terus tingkatkan. Ayah yakin kamu bisa, Fandi!”
(Flashback OFF)
Aziz menunduk.
Rian mengusap wajah.
Fandi tersenyum getir.
Doni memejamkan mata.
Penyesalan memang selalu datang terlambat bukan?
***
Selama masa skors mereka berkumpul di bengkel papa Doni. Tentu atas persetujuan para orang tua. Tujuannya agar mereka ada aktivitas bermanfaat.
Di luar perhitungan. Justru di bengkel itulah mereka bertemu dengan teman-teman dari arena balapan. Hal tak terduga pun terjadi. Perselisihan.
Mereka kembali di ajak balapan. Menolak tentu saja. Masih ingat dalam masa skors. Ingat bagaimana marahnya orang tua mereka. Tak ingin menambah rasa sesal. Juga tak mau melihat kembali raut kecewa.
Namun, ego sebagai anak muda tersentil. Karena menolak, cap sebagai pengecut mereka terima. Awalnya mencoba abai. Tak lama terpengaruh juga tatkala nama sekolah sudah di bawa-bawa. Cinta almamater gitu lho!
Hari ketiga skors berjalan. Entah bagaimana, orang-orang bengkel yang dipercaya papa Doni lengah. Mereka berhasil kabur. Aziz dan sahabatnya berhasil di provokasi. Tanpa bisa dicegah tawuran terjadi. Antar SMK Bhakti dan SMA Merdeka.
Babak belur, jelas. Berakhir di kantor polisi. Lengkap dengan kepala sekolah dan orang tua. Tak bisa dipungkiri, kini mereka ketakutan. Bahkan rasa sakit sementara menghilang. Melihat bagaimana wajah-wajah marah dan kecewa itu menatap lekat.
Beberapa bangkit hendak menyambut anak-anak itu dengan tamparan. Tangan sudah terangkat. Polisi lebih sigap. Menghalau agar tak semakin memperkeruh keadaan. Sebagian diam. Diam yang menakutkan. Karena masing-masing sadar, seberapa besar kesalahan mereka.
Kesepakatan dicapai.
Surat pernyataan sudah ditanda tangani. Kegaduhan di kantor polisi itu bubar.
Tambahan skors tiga hari lagi.
***
Alih-alih marah. Sampai di rumah ayah langsung masuk kamar. Aziz tak berani berani bersuara. Hingga bunda keluar dari ruang tengah,
“Astaghfirullah ...!” membekap mulut, kaget melihat tubuh anaknya penuh lebam. Bahkan beberapa goresan di dahi dan lengan.
Sebagai seorang ibu, respon pertama segera menarik duduk dan memeriksa sekujur tubuh. Diambilnya air dan waslap juga obat merah. Menyeka pelan sambil sesekali memandang lekat wajah anaknya. Apa yang beliau lihat sudah mewakili keadaan Aziz saat ini. Rasa bersalah, menyesal dan takut berbaur dengan kesakitan. Terpancar jelas di wajahnya. Memendam keingintahuan bunda untuk sementara.
Membantu mengganti baju. Mengambilkan makan siang. Menambah rasa bersalah dalam diri Aziz. Duduk diam sambil menemani makan. Bunda menunggu anaknya selesai.
“Apa yang terjadi, Aziz?” tanya bunda pelan setelah Aziz menghabiskan minumnya.
Aziz mengangkat wajah. Hampir menangis. Memegang tangan bunda yang duduk di sampingnya.
“Hiks ...hiks ..., Aziz minta maaf bunda. Aziz salah lagi.”
Sambil tersedu, mengalirlah cerita tentang kejadian tadi. Mulai di tawari balapan sampai akhirnya terjadi tawuran.
Bunda mengelus dada.
“Kenapa harus terpancing emosinya? Kalian sudah benar menolak ajakan balapan dari mereka. Bukan pengecut namanya kalau cuma menolak balapan.”
“Mereka juga menjelek-jelekkan sekolah, bunda. Ya, kami marah nggak terima. Terus mereka malah nantangin. Lantas kami menghubungi teman-teman lain buat nerima tantangan mereka.”
“Ya, sudah. Sekarang istirahat dulu. Renungi apa yang menimpamu. Kesalahan apa yang kamu buat. Yang penting minta maaf sama ayah nanti dan mohon ampun pada Allah,” tutur bunda pelan.
“Bunda nggak marahin Aziz?” tanya Aziz sambil berkaca-kaca.
Membuang napas pelan,
“Bunda ingin marah, tapi marahnya bunda nggak akan membuat waktu bisa kembali. Bunda hanya nggak habis pikir. Kenapa kalian sampai bisa terpengaruh sejauh ini?” bunda mejawab pelan.
Sedang bagi Aziz sendiri, kemarahan bunda dan ayah mungkin lebih baik dari pada diam tapi tatapan penuh kecewa yang terpancar.
Semua sudah terjadi.
Waktu tak mungkin kembali. Hanya perlu koreksi diri. Untuk menjadi lebih baik.
????????
SarapanKata
KMOIndonesia
KMOBatch38
Kelompok26
RoyalGryffindor
Day7
Bab 7. BUNDA YANG KECEWA
Dua tahun sudah berlalu sejak Aziz menjadi siswa SMK Bhakti. Kini masuk tahun ketiga. Tahun terakhir di SMK Bhakti.
Setelah dua kali skors beruntun, tidak ada lagi kejadian orang tua datang ke sekolah untuk mendengar kabar pelanggaran yang dilakukan anak-anak. Kegiatan belajar mengajar berjalan baik.
Pelanggaran? Bukan tidak ada. Hanya saja masih dalam batas wajar. Sehari membolos. Lupa pekerjaan rumah. Sudah menjadi langganan.
***
Menyelesaikan pekerjaan rumah dengan pikiran bercabang. Bunda tak tenang. Betapa tidak, menjelang siang tadi, suaminya mengabarkan bahwa beliau mendapat panggilan dari sekolah Aziz.
Beliau yang tengah mengajar segera berangkat begitu bel istirahat berbunyi. Ada apalagi dengan anaknya? Delapan bulan lebih dalam kondisi aman. Kini ada panggilan mendadak. Resah, pasti. Gelisah, jangan ditanya.
Membentur dinding ruang tamu. Pintu terbuka kasar. Terdengar hingga ke seluruh sudut rumah yang tak seberapa besar. Bunda yang sedang memasak di dapur pun terburu menghampiri.
Di ruang tamu tampak suaminya sedang menarik anak lelakinya, Aziz.
“Masuk cepat!” hardik ayah pada Aziz sambil mendorongnya hingga ke hadapan bundanya.
“Astaghfirullah ...!” bu Intan membekap mulut sambil memekik kaget.
“Ada apa ini Yah?” tanya bu Intan.
“Coba tanya anakmu ini!” sergah pak Hendra gusar sambil masuk ke ruang tengah. Kesal bercampur marah ayah meninggalkan bunda dan Aziz di ruang tamu.
Bunda menatap Aziz, anak laki-laki satu-satunya. Membawa anaknya duduk. Memegang pundak, diusapnya lembut sambil bertanya,
“Aziz, ada apa nak?”
“Aziz diskors lagi bunda,” jawab Aziz lirih.
"Subhanallah...!” bunda terpekik kaget.
Terhenyak bu Intan mendengar jawaban takut-takut dari anak didepannya.
“Kali ini kenapa lagi Aziiiz?!?”
Bunda yang sudah sering menerima panggilan dari sekolah tak urung kaget juga mendengar jawaban Aziz.
Pasalnya Aziz sudah dua kali kena skors selama berselolah di SMK Bhakti. Belum pelanggaran-pelanggaran kecil yang sudah sering dilakukan Aziz dan langsung mendapat hukuman di sekolah.
Bunda yakin, Aziz bukanlah anak yang nakal. Dia hanya bandel. Bahkan anak yang berusia hampir 18 tahun itu sebenarnya menurut pada ayah bundanya dan sayang pada adik kecilnya. Namun, rasa setia kawan membuatnya gampang terkena bujukan teman-temannya. Berteman tanpa pandang bulu dan rela berkorban untuk membantu temannya. Sehingga kebaikannya sering disalah artikan oleh sebagian mereka.
“...”
Aziz hanya diam sambil menunduk menghindari tatap bundanya. Sejujurnya Aziz takut menghadapi orang tuanya kali ini. Bukan tanpa alasan, dia sudah membuat perjanjian dengan ayahnya sebelumnya.
“Jawab Aziz! Bunda bertanya!” cecar bunda tak sabar.
“A-Aziz ng-nggak masuk sekolah se-se-minggu, bunda!” jawab Aziz takut.
“Kamu membohongi bunda? Tiap hari pamit ke sekolah, tapi ternyata membolos,” bunda merasa geram sendiri.
“Aziz nggak bohong, bunda. Aziz memang ke sekolah tapi ketika bel berbunyi, Aziz dan teman-teman menyelinap pergi,” aku Aziz jujur.
“Apa yang kamu lakukan kali ini Aziz?” kejar bunda.
“Aziz membantu teman, bunda. Rian butuh uang. Neneknya sakit. Jadi kami bertiga, Aziz, Fandi dan Doni berniat membantunya. Kami bekerja di pasar. Bantu-bantu mengangkut barang atau apapun yang bisa kami kerjakan. Baru sedikit yang terkumpul sudah ketahuan. Bu Guru memergoki kami di depan pasar,” pelan Aziz bercerita pada bundanya.
“MasyaaAllah, Aziz! Bukankah sepulang sekolah kalian sudah bantu-bantu di bengkel? Kalian punya tabungan dari sana. Kenapa masih kerja di pasar juga?”
“Sudah dikumpulkan, bunda. Belum cukup. Nenek Rian harus segera di operasi," jelas Aziz.
“Apa yang kalian lakukan itu baik. Tapi kurang tepat. Kalian masih sekolah. Kalian punya kewajiban. Kenapa nggak dibicarakan dengan ayah bunda atau orang-tua yang lain? Kalian juga bisa bicara sama guru-guru di sekolah. Kalau sudah begini kamu sendiri yang rugi."
Bunda menghela nafas,
“Berapa hari di skors? Bukankah lusa kalian ujian? Berarti kalian nggak bisa mengikuti ujian kalau di skors?” bunda mencecar Aziz dengan pertanyaan.
“Iya bunda, lusa sudah ujian. Skorsnya seminggu," dengan penuh sesal Aziz menanggapi.
“Bunda kecewa Aziz!”
Pening. Bu Intan memijat kepala. Anak lelakinya tak hentinya membuat masalah. Entah, apa yang salah dengan caranya mendidik anaknya itu.
Meski apa yang dilakukan sebenarnya baik, tapi itu bukan kewajibannya yang masih berstatus sebagai pelajar.
Aziz hanya tertunduk diam. Hanya sesal yang melingkupi hati dan pikirannya saat ini. Namun, sudah terlanjur. Dia akan menerima apapun konsekuensinya.
Hening melingkupi.


SarapanKata
KMOIndonesia
KMOBatch38
Kelompok26
RoyalGryffindor
Day8
Bab 8. TEPATI JANJIMU
Hening melingkupi. Makin membuat hati nyeri. Hingga ayah muncul dan duduk di hadapan keduanya.
“Bereskan pakaian-pakaian kamu. Bersiap. Besok kita berangkat,” ayah tegas memberi perintah.
Aziz melarikan tatap pada ayahnya. Beralih pada bunda yang tampak bingung. Was-was. Inikah saat dirinya menerima hukuman dari ayah!?
“Ayah mau bawa Aziz ke mana?” bunda bertanya sambil berdiri. Mendekat dan memegang lengan suaminya.
“Ayah akan mengirimnya ke tempat Randi di Pontianak, bun.”
“Ya Allah, ayaaah!!? Sadar apa yang ayah lakukan?” pekik bunda tertahan.
"Biar bun, biar dia tahu gimana hidup itu sesungguhnya. Bukannya belajar, malah kelayapan. Sudah cukup dia bermain-main selama ini,” ujar ayah tak bisa dibantah.
“Apa ayah sudah mencoba membujuk kepala sekolah? Niat mereka sebenarnya baik. Cuma caranya yang salah.”
“Baik gimana? Apa taruhan dalam balapan juga baik? Salah sedikit nyawa taruhannya.”
Bunda terperangah. Ayah belum sadar. Bunda belum mengetahui cerita lengkapnya.
“Ta-taruhan? Balapan lagi?” bunda limbung. Segera duduk di kursi. Menutup mata. Coba meredam emosi.
“Apa yang sebenarnya terjadi? Tadi bilang kerja di pasar. Sekarang balapan. Kenapa cerita cuma sepotong-sepotong?” bunda bertanya hampir sesak.
“Bagaimana ini sebenarnya?” bunda menatap ayah dan Aziz bergantian.
“Yang Aziz ceritakan benar bunda. Hanya kurang lengkap. Selain di pasar, kami juga taruhan. Siapa yang menang bakal dapat sepeda lawan. Tapi masih setengah jalan. Keburu polisi datang. Dan kami kabur,” terang Aziz.
“Siapa yang mengajari taruhan? Itu dosa Aziz! Tadi Cuma bilang kerja di pasar,” tuntut bunda.
“A-Aziz takut bu-bunda marah dan ke-kecewa,” gagap Aziz menjawab.
“Dan kamu sudah lihat bunda kecewa, Aziz!”
“Ayah, bunda, maafkan Aziz! Aziz menyesal. Beri kesempatan Aziz buat berubah.”
"Selalu itu yang kamu ucapkan saat terlibat masalah. Berulang kali. Sampai kapan?” sentak ayah.
“Ayah kecewa sama kamu, Aziz! Kamu anak laki-laki di keluarga ini. Kamu anak paling besar di rumah ini. Seharusnya bisa menjadi contoh dan pelindung buat adikmu.”
Sambil menahan tangis, Aziz mendongak memandang ayahnya yang juga berkaca-kaca.
“Sebagai laki-laki kamu harus menepati kata-kata dan janji yang pernah kamu ucapkan,” ayah meneruskan ucapannya. Ayah menangis dalam hati. Sungguh tak sampai hati. Namun, anak laki-lakinya harus bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya. Serta menepati janjinya.
***
Senja hilang. Malam menjelang. Suasana rumah tegang. Sepulang sholat magrib di masjid ayah masuk musholah kecil di ruang tengah. Bunda menyiapkan makan malam. Aida belajar. Sementara Aziz termenung di atas ranjang.
Menatap penjuru kamar. Di hadapannya tumpukan baju sudah tertata. Siap dimasukkan ke dalam tas. Ingatan melayang ke belakang. Hampir sembilan bulan lalu. Aziz teringat janjinya pada ayah.
(Flashback)
Sepulang dari kantor polisi, ayah diam tak banyak bicara. Hampir setengah hari itu berada di kamarnya. Setelah sholat isya’ mendatangi Aziz di kamarnya. Duduk di ranjang. Berhadapan dengan anak lelakinya yang sedang belajar.
“Apa yang kamu pikirkan ketika melakukan pelanggaran?” tanya ayah pelan. Mencoba berbicara dari hati ke hati.
“Aziz cuma ikut mereka. Aziz ...”
“Jangan bicara seolah-olah hanya mereka yang salah,” gertak ayah memotong ucapan Aziz. Meminta anaknya bisa mengakui perbuatan tanpa menyalahkan yang lain.
Inilah mengapa sejak tadi beliau hanya diam. Menghindari emosi yang akan muncul. Sebagai pengajar beliau merasa malu tidak bisa menjaga dan mengajari anak sendiri.
“Aziz nggak mau dianggap tak setia kawan. Mereka sudah baik sama Aziz. Anak-anak itu mengatakan kami pengecut. Lagian, kami juga membela sekolah. Sekolah kami dikatakan kampungan,” Aziz mengungkapkan apa yang dirasakannya.
“Bukan berarti bisa diselesaikan dengan tawuran kan?”
“Mereka yang menantang, kami hanya menerimanya.”
Menghela napas,
“Ayah mau kamu berjanji. Janji tidak akan melakukan pelanggaran lagi. Sudah dua kali skors. Menurut peraturan, sekolah tempat kamu belajar mentolerir tiga kali skors. Tapi bagi ayah, cukup dua kali ini saja mendapat surat skors dari sekolah.”
“Iya, ayah. Maafkan Aziz sudah buat ayah malu,” lirih Aziz berujar.
“Dan kalau kamu melanggar, ayah sendiri yang akan menghukum kamu. Ayah akan kirim kamu ke teman ayah,” ayah mencoba tega saat berkata.
“Sanggup kamu, Aziz?”
“Sanggup!” jawabnya langsung.
Hati-hati dengan janji ????
SarapanKata
KMOIndonesia
KMOBatch38
Kelompok26
RoyalGryffindor
Day9
Bab 9. TEPATI JANJIMU 2
Terperanjat. Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Terlihat bunda di ambang pintu meminta masuk.
Menghampiri Aziz pelan. Duduk di samping anaknya. Diam sambil menatap sendu tumpukan baju.
Aziz juga diam. Menatap bundanya, yang entah mengapa, matanya perih, memerah menahan air mata. Bunda yang sudah dia buat kecewa. Yang dia buat marah. Namun, masih juga selalu peduli dan menyayanginya.
"Aziz ...", seru bunda lirih.
Bagaimanapun marah dan kecewanya, bu Intan hanya seorang ibu yang tak rela dipisah tiba-tiba dengan anaknya. Lihatlah! Bahkan masih menyebut nama saja air mata sudah merebak. Aziz bangkit, lalu berjongkok memeluk kaki bunda.
“Bunda, maafkan Aziz ya. Aziz banyak salah. Bikin bunda kecewa. Nggak nurut sama bunda.” Aziz tak tahan. Lepas sudah tangisnya.
Di usap punggung anak sulungnya. Tak bisa menghalau air mata. Dipegang kedua pundaknya. Mengajaknya kembali duduk. Lantas dipeluknya erat. Menangis bersama. Anak yang selama ini dijaga dan dirawat, sebentar lagi akan meninggalkannya.
“Siap-siap makan yuk! Aida sudah menunggu. Bunda mau panggil ayah dulu,” mencoba tegar bunda melepas pelukan.
Hilang sudah kata-kata yang akan diungkapkan. Seakan sudah tersampaikan lewat sebuah pelukan.
Keluar kamar. Hendak menemui ayah yang masih di musholah. Semoga masih bisa membujuk untuk mengurungkan niatnya membawa anaknya pergi.
“Ayah, tak bisakah beri kesempatan lagi buat Aziz? Jangan bawa dia pergi. Gimana sekolahnya? Gimana dia diluar nanti?” sambil menangis bunda memohon pada suaminya.
“Nggak apa-apa, bun. Dia akan baik-baik saja. Ayah juga sebenarnya nggak tega, tapi Aziz harus belajar mempertanggungjawabkan perbuatannya,” ayah mengusap punggung bunda. Menenangkan.
“Dia sudah dapat hukuman dari sekolah. Belum cukupkah?” bantah bunda.
“Kami sudah membuat perjanjian. Setelah kejadian yang berakhir di kantor polisi lalu. Ayah akan memberi hukuman sendiri jika dia kembali melanggar.”
“Nggak harus pergi juga kan? Sekolahnya gimana? Pindah?” bunda masih mencoba.
“Nggak dilanjutkan, bun. Pindah sekolah di kelas akhir sulit. Apalagi ini sudah waktu satu semester. Menjelang PAS. Tetap di sekolah lama pun juga sulit. Menjalani skors waktu ujian. Ngga akan bisa ikut ujian susulan. Kalau mau tetap di sekolah terpaksa tinggal kelas. Dan itu juga ngga menjamin dia bakal luput dari pelanggaran,” ayah memberi penjelasan.
“Aziz itu anak yang gampang terpengaruh temannya. Gampang di bujuk. Rasa setia kawannya tinggi. Kuatir terulang kalau masih di sini. Ayah tau sahabatnya Aziz anak-anak baik. Tapi teman-teman mereka di luar itu, kita nggak tau seperti apa,” sabar ayah memberi pengertian pada bunda.
Bunda hanya diam mendengarkan.
“Randi itu orang baik, bun. Dia akan membantu membimbing Aziz di sana. Bunda tenang saja. Anak kita akan baik-baik saja. Percayakan sama Allah.”
***
Makan malam dilalui dengan hening.
“Ehhmm ....”
Ayah mencoba membuka percakapan. Semua pasang mata reflek terarah pada beliau. Balas dipandangi satu-satu. Berhenti pada Aziz.
“Sudah disiapkan semuanya?” ayah melontarkan tanya.
“Sudah. Tinggal masukin ke dalam tas,” menjawab dengan lesu. Menunduk.
“Kamu sudah menyanggupi perjanjian yang kita buat. Kamu ikhlas kan?”
“InsyaaAllah Aziz ikhlas, ayah.”
“Jadikan hal-hal yang sudah lalu sebagai pengalaman. Belajarlah dari sana! Semua sudah terjadi. Allah sudah menghendaki begini. Tinggal jalani dengan baik dan ikhlas.”
Aziz hanya mengangguk.
Bunda tak tahan. Beranjak menuju tempat cuci piring. Kembali menangis di sana.
“Buktikan pada ayah, kamu patut dibanggakan. Bisa kan Aziz?”
Mengangkat kepala.
“Iya, ayah! Aziz akan lakukan yang terbaik. Aziz akan menebus kesalahan-kesalahan-kesalahan selama ini. Akan Aziz buktikan.”
Bangkit. Ayah meninggalkan meja makan. Melewati Aziz, mengusap kepala pelan.
Seolah berkata,
‘Ayah mendoakanmu. Yakin kamu bisa, nak!’
SarapanKata
KMOIndonesia
KMOBatch38
Kelompok26
RoyalGryffindor
Day10
Bab 10. PERPISAHAN
Perpisahan paling menyedihkan adalah berpisah dari orang-orang tersayang. Tak bisa dipungkiri. Perpisahan pasti akan dialami setiap orang.
Usai sarapan, Aziz, bunda, ayah dan Aida berkumpul di ruang keluarga. Hanya diam. Menikmati saat-saat terakhir bersama. Entah kapan bisa seperti ini lagi.
“Bun, ayah berangkat ya,” ayah memecah sepi.
Saatnya tiba. Aziz bangkit. Berjalan menghampiri bunda yang duduk di samping ayah, di depannya.
Dipeluknya erat sambil berkata,
“Aziz pergi ya bun! Maaf, belum bisa buat bunda bangga. Hanya bisa buat susah. Doakan Aziz sehat ya bunda! Aziz sayang bunda,” pamit Aziz pada bunda.
“Nak, jaga diri baik-baik ya! Jangan lupa kirim kabar ya nak! Jangan tinggalkan sholat dan ngaji. Bunda selalu doakan Aziz,” lirih bunda membalas pelukan sambil menahan tangis.
Mengelus punggung anaknya pelan berulang kali. Ayah ikut mengusap kepala Aziz.
“Iya, bunda! Hiks ...hiks.... Aziz akan ingat pesan bunda. Tunggu Aziz pulang, ya bun!” isak Aziz di bahu bundanya.
Melepas pelukan, menghapus air mata. Lantas mencium tangan bunda dengan takzim. Menoleh pada Aida yang duduk di pojok. Menyadari arti tatapan kakaknya, dia pun bergegas menghampiri.
“Hiks ...hiks.... Kakak, ja-jangan tinggalin A-Aida. Aida berangkat sekolah sama siapa? Siapa ajak jalan-jalan Aida nanti?” Aida sudah sesenggukan memeluk kakaknya.
Walau di kenal bandel tapi Aziz selalu ada buat adiknya. Selalu bersedia mengantar ke mana pun Aida ingin pergi.
“Iya, kakak akan ajak jalan-jalan Aida nanti. Tapi kakak harus pergi sekarang. Tunggu kakak pulang ya!”
Aziz mengusap kepala Aida dengan sayang. Dia pun menangis tertahan.
“Kakak cepat pulang! Kakak janji ya!”
Aziz hanya mengangguk. Mengusap wajah kasar, lalu melepas pelukan. Merangkum wajah adik tersayangnya.
“Jaga diri ya! Jaga ayah dan bunda juga! Kakak pergi,” pesan Aziz pada adiknya.
Berbalik ke arah ayah. Mengambil tasnya lalu berujar tegas,
“Aziz sudah siap ayah!”
Ya, Aziz harus berani. Inilah konsekuensinya. Dia pernah berjanji saat menerima skors sebelumnya, bahwa itu yang terakhir kali. Nyatanya kali ini Aziz mengulangi. Maka hukuman ayah yang harus ditanggungnya.
Berhenti sejenak. Merekam wajah bunda, ayah dan adik tersayang. Rumah penuh kenangan. Meski juga tempatnya membuat kecewa ayah dan bunda. Berharap segera kembali. Di kehangatan sudut kamarnya.
“Ayo Aziz!” ayah menyadarkan Aziz.
Aziz hendak membonceng ayahnya. Melambai pada bunda dan adiknya. Tersenyum tipis. Mencoba bicara lewat mata. Menyatakan bahwa dia baik-baik saja.
Bunda tergopoh menyusul. Menarik tangan Aziz dalam genggaman sambil melirik suaminya. Meminta ijin. Mendapat anggukkan dari suaminya. Meraih kepala anaknya, mencium kening dan pipi bertubi. Sadar bahwa akan lama untuk mereka bertemu lagi.
Aida pun bergabung. Tangan kiri menggapai tangan Aziz, menunjukkan sebuah handphone warna biru di tangan kanan. Milik Aziz.
“Handphone kakak tertinggal,” tercekat dia berkata saat mengulurkan tangannya.
Aziz menerimanya. Mengantongi sambil tersenyum tipis,
“Makasih ya!”
Melepas tangan bunda dan Aida lantas mengucap salam,
“Assalamu’alaikum. Aziz pergi dulu ya!”
“Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh,” jawab bu Intan dan Aida.
Naik di boncengan, sepeda pun melaju.
“Cepat pulang, kakak! Hati-hati,” teriak Aida.
Bunda dan Aida berangkulan. Mengarahkan pandangan mengikuti laju sepeda. Setelah sepeda tak tampak, baru mereka masuk rumah. Rasanya sudah berbeda.
Ayah mengantar Aziz, ke terminal Tawang Alun Jember lantas ke pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya. Aziz akan berangkat sendiri dari Surabaya ke Kalimantan dengan Kapal Laut. Pak Randi, teman ayahnya akan menunggu di seberang.
Aziz akan memulai petualangannya. Membuktikan bahwa dia tak hanya bisa bermain dan membuat ayah bunda kecewa. Akan dia buktikan bahwa ayah dan bunda bangga dengannya nanti.


11. AWAL PERJALANAN
SarapanKata
KMOIndonesia
KMOBatch38
Kelompok26
RoyalGryffindor
Day11
Bab 10. AWAL PERJALANAN
Ayah dan Aziz sudah sampai di pelabuhan. Selama perjalanan dari rumah tadi mereka lebih banyak diam. Hanya sesekali ayah membuka obrolan. Namun percayalah, dalam diam banyak kata yang terangkai. Menunggu saat yang tepat untuk terucap.
Menepi dari lalu lalang orang di depan pintu pemeriksaan. Berdiri berhadapan. Inilah saat yang tepat.
Entah siapa yang memulai. Pelukan erat tiba-tiba datang. Hanya dengan satu gerakan itu, tak disangka, hilang sudah rangkaian kata. Sia-sia. Hanya dengan saling tatap sudah terwakili segala apa yang dirasa.
“Maafkan ayah harus melakukan ini padamu,” dengan serak ayah mencoba tegar.
“Aziz yang minta maaf, ayah. Selalu menyusahkan dan bikin malu. Hiks...hiks.... Doakan Aziz selalu ya, ayah. Maaf...maaf....” Aziz terisak dipelukan ayah.
Aziz sadar, setelah dia berbalik meninggalkan ayahnya, maka tantangan yang entah dia tak tahu seperti apa, akan menghadang di depan sana. Dia punya kesempatan untuk menolak. Mengingkari janji yang dia ucapkan sendiri. Hanya dia dan ayah kan yang tahu?
Menggeleng. Aziz sudah memilih untuk memantapkan hati. Membuktikan bahwa dirinya bisa dipercaya memegang janji demi maaf dan pancaran bangga dari orang tuanya. Kecuali ayah yang mengajaknya pulang.
Tanpa menyadari bahwa ayahnya punya harapan lain. Saat ini masih ada kesempatan untuk membawa anaknya pulang. Membatalkan janji yang telah dibuat. Tak akan ada yang tahu selain mereka berdua. Namun itu bukan langkah yang baik bagi Aziz. Sekali lagi pak Hendra memantapkan hati. Merelakan dan berusaha tega. Begitu anaknya naik kapal, beliau tidak bisa membawa kembali anaknya. Kecuali Aziz tetap memegang tangannya dan mengikutinya pulang.
Ayah mengurai pelukan. Menatap dalam mata anaknya. Tersirat penyesalan dan ketakutan di sana. Sekaligus tekad dan harapan. Penyesalan yang datang terlambat. Menyia-nyiakan kesempatan dan kepercayaan. Ketakutan akan apa yang akan dihadapi di depan sana. Di tempat baru nanti. Namun, ada tekad besar yang terpancar. Tekad untuk membuktikan bahwa dia bisa. Dan berharap agar bisa segera kembali pulang.
“Aziz berangkat! Assalamu’alaikum,” pamitnya sambil mencium tangan ayah.
“Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh. Berangkatlah! Om Randi menunggumu di pelabuhan nanti. Hati-hati dan banyak-banyaklah belajar di sana.”
Nyatanya masing-masing tetap memegang janjinya. Walau tahu bahwa setelah ini akan ada perasaan berat yang akan mereka tanggung.
***
Apa yang kamu rasakan saat pertama berpisah dari orang-orang yang kamu sayang? Seperti ada yang menarikmu kembali. Mengikatmu seolah tak mau lepas. Serasa ada bagian dirimu yang hilang.
Perlahan berubah. Semua tak lagi sama. Keberadaan seseorang baru sangat terasa ketika dia sudah tak lagi ada bersama kita.
Sekeliling ramai, tapi serasa sepi. Banyak orang berlalu lalang, tapi seolah sendiri. Duduk di antara banyaknya penumpang, Aziz tak nyaman. Memilih pergi menuju geladak. Lebih bebas. Memandang laut, berteman malam bertabur bintang. Aziz coba membayangkan, apa yang akan dilakukannya nanti?
Menggeleng pelan. Mengusir resah. Sungguh, bila waktu bisa berjalan mundur, Aziz hanya ingin jadi anak yang baik. Tanpa terpengaruh ajakan dan bujukan teman-temannya. Dengan begitu dia masih berada di rumahnya yang nyaman. Bermain dengan adiknya. Makan bersama ayah dan bunda. Bukannya sendiri , terasing di tengah ramainya penumpang kapal laut.
Tetapi waktu akan terus berjalan, tak bisa mundur. Meninggalkan segala kenangan di belakang. Tinggal bagaimana kita menyikapi. Akankah menjadi cambuk untuk kita meloncat jauh ke depan? Ataukah menjadikannya pengikat dan kita akan terperangkap di dalamnya.
Membuka ransel, mengambil handphone. Menimbang. Sebelumnya akhirnya mengambil keputusan. Membuang kartu. Akan mengganti dengan yang baru setelah sampai nanti. Aziz tak mau tekadnya goyah.
Biarlah sementara keluarga dan sahabat-sahabatnya tak bisa menghubunginya. Biarlah kenangan itu dia tinggal dulu. Biarlah dia mencoba untuk menikmati perjalanan yang entah sampai kapan ini tanpa melibatkan orang-orang dari masa lalunya.
Semoga tak lama.
12. TEMPAT BARU
SarapanKata
KMOIndonesia
KMOBatch38
Kelompok26
RoyalGryffindor
Day12
Bab 12. TEMPAT BARU
Sudah hampir tengah hari. Berjam-jam di tengah laut. Aziz akhirnya sampai di pelabuhan di seberang. Malas berebut, memilih keluar setelah penumpang sepi.
Begitu menginjakkan kaki di tanah pulau seberang, dia melihat seorang laki-laki paruh baya membawa papan bertuliskan namanya.
Aziz menghampiri lalu menyapa laki-laki itu.
“Assalamu’alaikum. Om Randi? Saya Aziz anak pak Hendra,” Aziz mengulurkan tangan memperkenalkan diri.
”Wa’alaikumussalam warahmatullah. Ohh, masyaaAllah. Sudah sebesar ini ternyata,” om Randi menyambut uluran tangan Aziz. Memeluknya akrab.
Aziz sempat membayangkan om Randi orangnya kaku, dingin dengan perawakan besar. Ternyata orangnya ramah dan menyenangkan. Perawakan yang sedang cenderung kecil membuat beliau lincah dan energik.
Begitu pun dengan om Randi. Mengira seorang Aziz anak yang ugal-ugalan dengan model telinga ditindik, angkuh dan nggak menghargai orang tua. Dugaannya meleset. Dia sopan dan menarik. Itu pandangan pertama om Randi pada sosok Aziz.
Dalam pikirannya berkelebat, ‘Kenapa sampai ayahnya mengirimnya ke sini?’ Om Randi sudah tau secara singkat, tapi belum paham secara rinci.
“Ayo! Kita langsung pulang aja ya. Pasti capek sekali,” ajak om Randi.
“Iya, om. Aziz manut aja.”
Berjalan menuju tempat parkir. Mereka akan menempuh perjalanan lagi. Om Randi nggak sendiri. Ada seorang pegawainya yang menemani, untuk bergantian mengendarai kendaraan.
Aziz duduk di bangku belakang. Sementara om Randi di depan bersama pegawainya.
“Berhenti di rumah makan depan dulu, Yan!” om Randi bicara pada orang di sebelahnya.
“Baik, bos! Saya juga lapar nih,” yang diajak bicara menjawab sambil nyengir.
Satu jam lewat, mereka sudah berada di dalam mobil. Melanjutkan perjalanan yang masih empat jam lagi.
“Tidur aja dulu. Lumayan lama ini perjalanannya,” om Randi menoleh ke belakang saat berkata pada Aziz.
“Iya, om.” Aziz mengangguk mengiyakan.
Menikmati sebentar perjalanan. Tak lama dia pun merebahkan diri. Lelah menyerang tubuh juga pikirannya. Pemandangan indah di sisi kanan dan kirinya belum bisa meredam segala yang dirasakannya.
***
Berhenti di depan sebuah rumah sederhana namun tampak asri. Halaman luas dengan pohon-pohon buah beraneka macam di samping rumah. Di bagian depan berbagai macam bunga tertata rapi.
“Assalamu’alaikum.”
Om Hendra mengucap salam sambil membuka pintu rumah.
”Wa’alaikumussalam warahmatullah.” Terdengar sahutan salam dari dalam rumah.
Seorang wanita yang tampak lebih muda sedikit dari bunda, muncul dari ruang tengah.
“Alhamdulillah. Bapak sudah pulang,” menyambut om Randi, suaminya, sembari mencium tangan.
“Ini pasti Aziz ya?” menyapa ramah pada Aziz yang masih berdiri di dekat pintu.
“Iya bu,” sahut om Randi.
Sementara Aziz hanya mengangguk pelan.
“Ayo Aziz, sini! Jangan sungkan! Kenalkan ini istri om, tante Nina.”
“Tante ...,” sapa Aziz sambil mengulurkan tangan.
“Ayo ...ayo ...! Masuk sini, duduk ...."
"Antar ke kamar sekalian bu. Biar istirahat dulu. Kasian, capek," om Randi memotong sambutan heboh tante Nina.
"Ohh ...maaf! Ayo, tante tunjukkan kamarmu. Biar bisa istirahat dulu. Pasti capek sekali ya?”
Aziz mengekori tante Nina menuju kamar yang akan ditempatinya. Membuka sebuah pintu,
“Ini kamar tempat kamu. Kamar mandi ada di samping kamar ini. Sebelahnya lagi kamar anak tante, Reno. Dia belum pulang. Ada acara sama teman-temannya.”
“Bersih-bersih dulu terus istirahat. Nanti tante panggil saat makan malam,” ujar tante Nina.
“Iya, tante. Makasih,” jawab Aziz sopan.
“Tante tinggal ya,” berbalik sambil menutup pintu.
Meninggalkan Aziz di kamar asing itu sendiri. Duduk di tepi ranjang. Mengedarkan pandangan. Warna putih mendominasi. Kamar yang lumayan luas. Hampir dua kali lipat kamarnya di rumah. Ada jendela besar berhadapan dengan pintu. Di sebelahnya, ranjang ukuran sedang yang didudukinya saat ini. Lemari di pojok sebelah kanan pintu berdampingan dengan satu set meja dan kursi.
Akankah dia betah di sini?
13. TAWARAN OM RANDI
SarapanKata
KMOIndonesia
KMOBatch38
Kelompok26
RoyalGryffindor
Day13
Bab 13. TAWARAN OM RANDI
Rumah Om Randi memanjang ke belakang. Aziz baru mengetahuinya pagi ini saat berkeliling di sekitar rumah. Semalam dia datang sudah dalam keadaan lelah, jadi tak begitu memperhatikan. Di belakang rumah induk ada beberapa kamar yang berjejer. Kamar-kamar itu ditempati oleh pekerja-pekerja yang berasal dari luar kota.
Om Randi mempunyai kebun Karet yang lumayan luas yang letaknya cukup jauh dari kediamannya. Untuk mencapai perkebunan, para pekerja itu diangkut sebuah truk yang memang disediakan sebagai alat transportasi.
Puas mengelilingi rumah dan pekarangan, yang ternyata sangat luas, Aziz kembali ke dalam rumah. Seseorang memanggil atas perintah Tante Nina. Melewati pintu depan, di ruang tamu terlihat remaja sebayanya duduk di sofa sambil memandang dirinya lekat.
“Kamu yang bernama Aziz?” tanyanya.
“Iya. Saya Aziz,” jawab Aziz seraya mengulurkan tangan meminta bersalaman.
Menyambut singkat uluran tangan Aziz sambil berujar,
“Saya Reno, anak Pak Randi.”
“Semoga kamu kerasan tinggal di sini,” lanjut Reno.
“Iya, terima kasih,” tanggap Aziz singkat.
Tak lama, terdengar suara Tante Nina dari arah belakang,
“Reno, ajak Aziz sarapan!”
“Iya, Bu!” sahutnya.
Reno berjalan menuju ruang makan. Menoleh pada Aziz yang belum beranjak, Reno berujar,
“Kamu dengar ibu memanggil bukan?”
Aziz mengernyit heran. Serasa ada yang aneh dengan cara Reno mengajaknya bicara. Tak mau ambil pusing, Aziz hanya menjawab sambil lalu,
“Iya, saya dengar.”
Lantas segera mengekor di belakang Reno menuju ruang makan. Di sana sudah menunggu Om Randi dan Tante Nina. Mereka duduk berhadapan dengan makanan di piring masing-masing.
***
Om Randi mengajak Aziz berbincang di kebun samping. Duduk di bangku kayu di bawah pohon Mangga.
“Bagaimana rencana kamu setelah ini?” Om Randi melempar pertanyaan pembuka.
“Maaf, enggak tahu, Om. Ayah mendadak kirim saya ke sini. Aziz manut sama Om Randi saja,” jawab Aziz jujur.
Om Randi tampak berpikir. Pak Hendra kemarin cuma menelepon, mengatakan hendak menitipkan anaknya di sini.
“Ran, aku titip anakku ya! Tolong didik dan ajari dia.”
“Ada apa dengan anakmu?”
“Aku mengeluarkannya dari sekolah. Dia melanggar dan di skors sehingga enggak bisa ikut ujian. Dari pada dipertahankan di sekolah kemudian nanti terulang lagi, sekalian aku mengambilnya.”
“ ....”
“Kamu ajari dia kerja juga boleh. Terserah. Aku percaya padamu.”
Sebagian percakapannya dengan Pak Hendra, ayah Aziz terngiang di kepala.
“Kamu mau lanjut sekolah apa mau bekerja?” Om Randi mencoba menawarkan.
“Kalau lanjut sekolah apa bisa, Om? Sudah pertengahan kelas XII. Aziz juga enggak bawa raport dan syarat kepindahan lainnya. Mungkin Aziz ikut kerja saja.”
“Kerja di perkebunan mau?” tanya Om Randi.
“Mau, Om,” jawab Aziz singkat. Mereka berbincang sampai setengah jam kemudian.
Om Randi mencoba mengorek permasalahan yang Aziz alami. Namun belum berhasil. Beliau hanya mendapat informasi bahwa Aziz bisa sedikit-sedikit tentang mesin. Karena dia sering ikut kerja di bengkel milik Papa Doni. Selain memang sekolahnya di jurusan mesin.
“Kalau begitu, kamu lebih cocok kerja di pabrik saja. Merawat mesin-mesin dan memperbaiki bila ada kerusakan-kerusakan kecil.”
“Tapi pengetahuan dan keterampilan Aziz masih sedikit, Om.”
“Nanti sambil belajar. Kamu liat dan pelajari apa yang dikerjakan orang-orang di sana,” kata Om Randi bijak.
“Terima kasih, Om! Saya sudah diberi kesempatan dan diterima di sini,” Aziz menyampaikan kelegaannya.
“Sudah, enggak usah dipikirkan. Om sama ayahmu sudah berteman lama meski jarang ketemu.” Om Randi menepuk pundak Aziz pelan.
“Besok langsung ikut Om. Sekarang kamu lanjutkan istirahat. Kalau bosan, bisa melihat-lihat sekitar sini. Jangan terlalu jauh. Nanti sore main-main ke rumah belakang. Berkenalan dengan orang-orang kebun yang tinggal di sana.”
“Iya, Om. Tadi sudah sempat berkeliling sebentar. Hanya di pekarangan saja. Belum sampai keluar pagar.”
“Baiklah, Om berangkat dulu ya,” pamit Om Randi seraya bangkit dari duduknya.
“Hati-hati, Om!” kata Aziz. Om Randi mengacungkan jempol dan tersenyum.
Sementara Aziz masih duduk di tempat semula. Merenung. Kembali memantapkan hati.
14. MULAI BEKERJA
SarapanKata
KMOIndonesia
KMOBatch38
Kelompok26
RoyalGryffindor
Day14
Bab 14. MULAI BEKERJA
Perjalanan dua hari satu malam membuat badan Aziz capek dan pegal. Jadilah seharian dia lebih banyak menghabiskan waktu di kamar.
Setelah keberangkatan Om Randi tadi, Aziz menuruti saran beliau untuk berjalan-jalan sekitar rumah. Satu dua orang tetangga ditemuinya. Menyapa sopan. Suasana di sini nyaman. Meski agak panas, tetapi tidak seramai dan sepadat di Jawa. Masing-masing rumah memiliki halaman yang cukup luas. Mungkin karena ini kota kecil. Entah kalau di kota yang lebih besar.
Dirasa cukup waktu untuk berjalan-jalan, Aziz kembali. Memasuki halaman, bersalipan dengan Reno yang hendak keluar dengan mobilnya. Reno hanya menatapnya sekilas.
“Berangkat kuliah?” Aziz mencoba untuk menyapa.
“Seperti yang kamu lihat,” jawabnya malas.
Aziz mengangguk singkat. Memandangi mobil yang perlahan hilang di tikungan. Menghela napas, menghilangkan sesak yang kadang masih hadir. Melanjutkan langkah menuju rumah.
“Dari jalan-jalan ya?” sapa Tante Nina riang. Beliau sedang mengganti bunga di vas ruang tamu.
“Iya, Tante.” Jawab Aziz sambil tersenyum.
Mengambil duduk berhadapan dengan Tante Nina. Berpikir, beda sekali dengan anaknya. Om Randi dan Tante Nina ramah dan hangat. Sedangkan Reno, ketus dan cuek.
“Sudah hilang capeknya? Lumayan perjalanan dua hari. Istirahat saja dulu,” saran Tante Nina.
“Masih terasa, Tante. Tapi enggak gerak juga tambah sakit di badan.”
Tante Nina hanya tertawa pelan.
“Aziz ke kamar dulu ya, Tante,” pamitnya kemudian.
“Iya. Istirahat dulu sana.”
***
Sesuai rencana kemarin dengan Om Randi, hari ini Aziz mulai bekerja di pabrik. Selain memiliki kebun karet yang lumayan luas, Om Randi juga mempunyai pabrik pengolahannya. Meski belum terlalu besar, tapi sudah berjalan sukses untuk ukuran pabrik kecil. Pekerjanya belum terlalu banyak. Masih lebih banyak pekerja di kebun. Sebagian sama seperti Aziz. Perantauan.
Aziz berangkat bareng Om Randi. Lokasinya tak terlalu jauh dari kebun karetnya. Namun dari rumah lumayan juga. Satu jam perjalanan naik mobil.
Sesampai di pabrik, Aziz dikenalkan dengan orang kepercayaan Om Randi. Pak Amin, orangnya sudah berumur lima puluhan, tapi masih sehat. Mungkin selisih 7 tahunan dengan Om Aziz atau ayah. Berbincang sebentar, sambil sedikit memberi arahan pada Aziz. Om Randi kemudian pamit keluar.
“Pak Amin, saya ke kota dulu. Ambil barang yang kemarin kita pesan,” ujar Om Randi.
“Iya, Pak!”. “Aziz, saya tinggal dulu ya. Nanti pulang tunggu saya. Ikuti Pak Amin dulu untuk hari ini,” pesannya pada Aziz.
“Baik, Om! Hati-hati di jalan!”
Jadilah hari ini Aziz mengikuti ke mana Pak Amin pergi. Memeriksa mesin-mesin pabrik, mengontrol proses pengolahan, juga mengawasi keluar masuknya bahan.
Pak Amin banyak bercerita tentang kondisi dan suasana pabrik. Bahkan bagaimana awal bekerja di sini, beliau juga membagi kisahnya dengan Aziz.
15. SEDIKIT DEMI SEDIKIT
SarapanKata
KMOIndonesia
KMOBatch38
Kelompok26
RoyalGryffindor
Day15
Bab 15. SEDIKIT DEMI SEDIKIT
Waktu terus berjalan. Tak terasa sudah 6 bulan Aziz tinggal di kota kecil ini. Seolah mendapat pengalihan, dia menyibukkan diri dengan bekerja di pabrik. Tak segan dia membantu pekerja lain yang kewalahan. Di rumah dia juga tak tinggal diam. Pada hari libur membantu tukang kebun merawat tanaman. Aziz berusaha untuk bergerak agar tak ada waktu baginya untuk melamun. Atau dia akan kembali jatuh pada ingatan wajah bunda yang kecewa.
Malam hari dia akan berbaur dengan orang-orang penghuni kamar-kamar belakang. Saling bercerita dan berbagi pengalaman. Menjelang larut, saat mata sudah mengantuk, barulah beranjak masuk. Tak hanya Om Randi dan Tante Nina, orang-orang kebun yang di tinggal di rumah belakang juga merasa nyaman dengan Aziz.
Pembawaan yang pendiam tapi ramah disukai banyak orang. Aziz yang ringan tangan selalu peduli pada orang-orang di sekelilingnya. Kepekaannya memang patut di acungi jempol. Tanpa banyak bicara dia selalu siap membantu bila diperlukan. Hanya Reno, yang sejak awal kurang menyukai kehadiran Aziz. Entahlah, Aziz tak mau terlalu memikirkan.
Di tempat kerja pun, Aziz menjadi seolah menjadi idola. Umur paling muda menjadi perhatian tersendiri bagi pekerja lain. Dia juga mudah mempelajari hal-hal baru. Sehingga tak heran, hasil pekerjaannya selalu memuaskan.
“Bagaimana, Aziz? Sudah kerasan di sini?” tanya Om Randi. Mereka baru menyelesaikan makan malam.
“Alhamdulillah, Om. Aziz kerasan di sini,” jawab Aziz.
“Syukurlah kalau begitu. Om enggak tahu pasti apa yang sudah membuat ayahmu mengirim kesini. Tapi apapun itu, jadikan cambuk untuk kamu bisa maju.”
Aziz hanya diam mendengarkan, sambil sesekali mengangguk menanggapi.
“Aziz, besok kamu ke pabrik sore saja. Ikut Om dulu ke kota.” Om Randi mengutarakan rencananya. Beliau merasa kasihan. Selama tinggal di sini Aziz belum pernah sekalipun pergi kota.
“Baik, Om!” jawab Aziz singkat.
***
Keesokan hari, setelah menyelesaikan sarapan, mereka berangkat.
“Di sini jarak desa ke kota lumayan jauh. Enggak seperti di Jawa. Apalagi jarak antar kota, bisa setengah hari perjalanan.”
“Kampus tempat Reno kuliah apa di sana juga, Om?” tanya Aziz.
“Iya. Makanya dia sering menginap di rumah saudara Om di sana.”
“Oh ya, kamu enggak berniat menabung?” tanya Om Randi.
“Iya, Om. Nanti, kapan-kapan.”
“Sekalian hari ini saja. Om nanti juga mau ke bank. Bawa KTP kan?” Om Randi menoleh ke arahnya.
“Bawa, Om,” sahutnya.
“Buat rekening hari ini saja. Tiap bulannya nanti bisa titip sama Om kalau mau menabung,” Om Randi memberi saran.
“Baik, Om. Aziz bikin sekalian saja. Tapi Aziz bawa uang sedikit. Aziz cuma ikut saja tadi, enggak ada rencana membeli sesuatu. Memang berapa setornya?” tanya Aziz.
“Biar nanti Om yang menambahi kalau enggak cukup,” ujar Om Randi.
“Kalau enggak cukup, Aziz bikinnya kapan-kapan saja.”
“Kamu kalau butuh sesuatu jangan sungkan bilang sama Om. Uang hasil kerjamu di simpan saja. Sedikit-sedikit ditabung, lama-lama terkumpul banyak. Mungkin suatu saat kamu punya niat untuk usaha sendiri, bisa di jadikan modal.”
Selepas zuhur, barulah urusan Om Randi selesai. Mereka istirahat untuk salat dan makan siang terlebih dahulu. Setelah itu melanjutkan perjalanan pulang.
Terlintas sebuah rencana di pikiran Aziz. Bukan sebuah, tapi beberapa. Benar kata Om Randi tadi soal menabung. Seperti peribahasa sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit.
Menimang buku tabungan di tangan. Senyumnya terbit. Walaupun sekilas, itu benar-benar yang pertama terlihat dari hati.
16. RENO YANG IRI
SarapanKata
KMOIndonesia
KMOBatch38
Kelompok26
RoyalGryffindor
Day16
Bab 16. RENO YANG IRI
Ternyata benar dugaan Aziz. Reno kurang menyukai kehadirannya di rumah itu. tampak dari sikapnya selama ini. Bahkan sejak pertama mereka bertemu dan berkenalan. Reno berpura -pura baik pada Aziz bila di depan bapak dan ibunya. Namun, tidak untuk malam itu. Setelah hampir setahun, baru dia menunjukkan secara terang-terangan.
Makan malam sedang berlangsung, saat dia pulang kuliah. Menghampiri dan mencium tangan kedua orang tuanya.
“Cuci tangan dulu, Reno!” tegur Tante Nina begitu Aziz duduk dan hendak mengambil nasi.
Beranjak menuju wastafel, mencuci tangan sebentar.
“Bapak, Reno minta uang,” ucap Reno tiba-tiba. Semua mata memandang ke arahnya.
“Untuk apa? Bukankah uang jajanmu baru dua minggu lalu bapak beri. Dan seminggu lalu kamu juga minta uang tambahan,” tanya Om Randi heran.
“Reno mau memodifikasi motor,” jawabnya.
“Kamu kan sudah ada mobil. Biar motor dipakai Aziz ke pabrik,” kata Om Randi.
Beberapa bulan terakhir, jika Om Randi ada keperluan lain, Aziz memang naik motor ke pabrik. Bukan kemauan Aziz. Biasanya dia akan menumpang truk yang membawa pekerja ke kebun, meski harus turun lumayan jauh dari pabrik. Tante Nina yang merasa kasihan menawarkan motor Reno padanya. Awalnya dia menolak, tapi Tante Nina memaksa. Akhirnya Aziz tak menolak lagi.
“Itu kan motor Reno, Pak!” seru Reno. “Iya. Tapi dari pada jarang di pakai, biar Aziz yang memakai,” ucap Om Randi.
“Enggak. Reno enggak izinkan! Kalau mau motor biar beli sendiri saja,” sungut Reno.
“Uang Aziz buat ditabung, Reno. Coba kamu juga menabung. Jangan Cuma bisa meminta uang terus,” saran Om Randi.
“Bapak kok jadi bela dia.” Reno terlihat gusar. “Bapak enggak membela. Bapak memberi saran pada kamu.”
“Sejak dia di sini, Bapak dan Ibu jadi lebih perhatian sama dia,” tukas Reno sengit.
“Apa maksudmu Reno?” Om Randi mulai terpancing. Aziz yang mendengarnya jadi tidak enak hati.
“Iya, Reno. Biar motormu di pakai Aziz. Kalau kamu memang perlu dan harus pakai motor, bisa gantian sama Aziz.” Tante Nina coba menengahi.
“Ibu juga ikut membela dia?” Tanpa sadar Reno sudah membentak ibunya.
“Reno! Jangan berkata keras dan membentak di hadapan Ibu,” hardik Om Randi.
Melihat pertengkaran di depan matanya, Aziz mencoba berbicara,
“Maaf Om, mulai besok Aziz ikut naik truk bareng orang-orang kebun saja. Dan maaf juga sudah lancang pakai motor kamu, Reno,” ujar Aziz menyela.
“Enggak usah di dengarkan omongan Reno, Aziz. Dia memang sudah waktunya belajar serius mempersiapkan masa depannya. Bukan hanya asal kuliah dan bermain tak jelas.”
“Bagus. Memang begitu dan harus sadar kalau kamu cuma menumpang,” ejek Reno sambil bangkit. Aziz hanya menunduk mendengarnya.
“Reno!” Seolah tak mendengar, Reno terus berjalan menuju kamarnya. Dia membanting pintu dengan keras.
Sementara itu, Aziz merasa bersalah sudah membuat keluarga ini bertengkar. Tante Nina yang paham, menepuk pundaknya pelan.
“Enggak usah kuatir, besok dia akan bersikap biasa lagi. Reno memang begitu, apa yang diminta harus segera dituruti. Salah Tante dan Om juga yang selama ini memanjakannya,” terang Tante Nina.
“Dan sudah saatnya dia untuk berubah dewasa. Belajar serius untuk masa depannya. Om ingin dia mencontoh kamu. Meski umur lebih muda, tapi kamu lebih bisa diandalkan,” ucap Om Aziz keterangan Tante Nina.
“Maaf Om, Tante. Aziz sudah membuat suasana makan malam ini enggak nyaman,” sesal Aziz.
“Bukan salah kamu. Sudah, enggak perlu dimasukkan hati.”
“Maaf, Aziz permisi dulu.” Aziz beranjak, berjalan menuju kamarnya.
Merebahkan diri di atas ranjang, Aziz menatap langit-langit kamar. Dia enggak mau menjadi perusak hubungan keluarga yang sudah banyak membantunya.
Haruskah Aziz pergi dari rumah ini?
17. BEGINI RASANYA
SarapanKata
KMOIndonesia
KMOBatch38
Kelompok26
RoyalGryffindor
Day17
Bab 17. Begini Rasanya
Sejak makan malam yang kacau, Aziz semakin jarang bertemu Reno. Dia juga membatasi diri untuk tidak banyak di dalam rumah. Berangkat kerja dia lebih memilih bersama orang-orang kebun naik truk. Menolak tawaran Tante Nina untuk membawa motor. Om Randi yang awalnya tidak mengizinkan mengambil sift malam, terpaksa mengabulkan permintaannya Sekarang Aziz lebih sering tidur di pabrik. Dia merasa, ini lebih baik.
Selang tiga bulan kemudian. Salah satu mesin pabrik macet. Butuh onderdil baru untuk mengganti. Segera dia menghadap bagian keuangan untuk meminta dana.
Tanpa di duga Aziz bertemu Reno di sana bersama Om Randi juga. Pandangannya masih sama. Namun, Aziz tak ambil pusing. Dia menyelesaikan urusannya dan berniat segera keluar dari ruangan itu.
“Aziz, kamu berangkat ke kota bareng Reno saja sekalian. Motor dan mobil pabrik sedang keluar semua. Kalau harus menunggu nanti kelamaan,” kata Om Randi.
“Tapi Reno enggak bisa pulang sebelum selesai, Pak!”
“Biar Aziz naik angkutan saja, Om,” tolaknya. Setelah diajak Om Randi ke kota waktu membuat buku rekening, Aziz sudah beberapa kali ke kota sendiri.
“Cih, sok menolak,” gumam Reno yang masih terdengar oleh Aziz.
“Kelamaan nanti. Sudah, kalian berangkat sana,” perintah Om Randi. “Reno, langsung pulang setelah urusan selesai.” Dengan terpaksa Aziz menuruti perintah Om Randi.
“Reno berangkat, Pak,” pamit Reno.
“Aziz juga berangkat, Om,” giliran Aziz pamit.
“Kalian hati-hati!” Om Randi berdiri, mengantar sampai pintu.
Selama perjalanan mereka saling diam. Hanya suara radio yang terdengar menyiarkan berita pagi. Aziz sibuk membaca buku yang sempat dibawanya tadi.
Satu jam perjalanan, Reno menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah. Membunyikan klakson mobil dua kali.
“Turun! Pindah ke belakang,” perintah Reno ketus. Aziz hanya patuh, dia segera pindah ke bangku penumpang belakang.
Lima menit kemudian, mobil sudah kembali berbaur dengan yang lain. Bangku penumpang depan sudah terisi teman Reno. Jalan sudah mulai ramai. Rumah juga semakin padat.
“Siapa?” tanya teman Reno berbisik.
“Pekerja di pabrik bapak. Numpang ke kota. Ada barang yang mau di beli.” Berbeda dengan temannya, Reno merasa tak perlu untuk memelankan suaranya.
Membulatkan bibir membentuk huruf O, penumpang sebelahnya menanggapi.
“Kayaknya masih usia sekolah. Kelihatan lebih muda dari kita. Memang bekerja di bagian apa?”
“Dia memang putus sekolah. Ayahnya yang mengirim ke sini dari Jawa.” Terdiam sebentar, “Udah ah...kenapa ngurusin dia?”
“Penasaran saja,” tukas teman Reno.
Sisa perjalanan hanya diisi percakapan Reno dan temannya. Aziz menekuri kegiatan membacanya. Sesekali melihat pemandangan dibalik kaca.
Tanpa sengaja, sebuah motor terlihat di samping mobil. Dua anak berseragam sekolah menyedot perhatiannya. Tenggelam dalam lamunan.
Teringat masa-masa sekolah. Berboncengan dengan Fandi, menyelip di antara puluhan motor dan mobil. Di tarik lebih jauh, tiba pada saat melanggar peraturan. Lantas menerima hukuman.
“Hei, cepat turun! Bengong aja!” Suara Reno mengembalikan kesadarannya.
Menatap ke sekeliling. Benar saja, toko yang dituju sudah terlihat di depan mata. Bergegas membuka pintu. Sesaat sebelum turun, Reno menghentikan gerakannya.
“Enggak usah cari muka di depan bapak. Dan sebaiknya cari tempat lain. Jangan numpang terus!” Kalimat menyakitkan dari Reno menamparnya.
“Maaf!” Hanya kata itu yang Aziz lontarkan. Turun dengan cepat. “Terima kasih tumpangannya.” Mengangguk sekilas lalu menutup pintu.
Masih terdiam di trotoar depan toko. Memegang dadanya. Nyeri.
Beginikah rasanya?
Lalu, sesakit apa rasanya ketika ayah mendengar dan mengetahui anak yang dididik dan dirawat dari kecil berkali-kali membuat kesalahan? Disediakan tempat nyaman bernama rumah, tapi kelayapan di tempat balapan. Dipenuhi kebutuhannya, tapi diam-diam tawuran sampai babak belur.
Aziz gagal membayangkan.
18. ANCAMAN RENO
SarapanKata
KMOIndonesia
KMOBatch38
Kelompok26
RoyalGryffindor
Day18
Bab 18. ANCAMAN RENO
Hujan turun semalaman. Menyisakan dingin menembus kulit. Duduk sendiri di kursi depan kamar, Aziz memandangi ponsel di genggaman. Gamang. Menatap sederet nomor yang sudah di hafalnya.
Baru saja, Om Randi kembali menyampaikan pesan singkat yang sama. Ayah menelepon semalam. Sekedar menanyakan kabar, seperti sebelum-sebelumnya. Ketika Om Randi menawarkan untuk berbicara dengan anaknya, ayah menolak. ‘Lain kali saja,’ katanya. Aziz pernah suatu saat tak sengaja mendengarnya. Jadi bolehkan dia menyimpulkan bila ayahnya belum ingin bicara dengannya?
Kembali memasukkan ponsel ke saku. Menolak kata hatinya. Menoleh ke kanan kiri. Para pekerja sudah berdatangan. Aziz bangkit, berjalan ke ruangannya di ujung. Kembali menetapkan hati. Belum saatnya untuk menghubungi ‘orang-orang rumah.’ Dia sudah mendengar dari Om Randi bahwa mereka di sana baik-baik saja. Itu sudah cukup.
***
Kamar kecil di belakang pabrik ini, bagai rumah bagi Aziz. Dia nyaris enggak pernah pulang ke rumah Om Randi lagi. Kamar yang sudah ditempatinya hampir setahun.
Aziz sudah pindah dari rumah Om Randi. Karena setelah percakapan singkat di mobil bersama Reno, Aziz memutuskan untuk meminta izin tinggal di pabrik. Bersama beberapa pekerja lain. Awalnya ditolak Om Randi dan Tante Nina. Namun, saat Aziz mengatakan agar tidak timbul kesalahpahaman dan perbedaan dengan pekerja lain, beliau berdua dengan berat hati mengizinkan.
Untuk makan di beli di warung depan pabrik. Kadang Pak Amin membawa bekal lebih untuknya. Bukan hanya Pak Amin, Tante Nina juga sering menitipkan lauk lewat Om Randi.
Pagi ini sejak bangun tidur, dia merasa lapar. Semalam dia melewatkan makan malam. Menutup pintu kamar, Aziz segera berjalan menuju warung depan pabrik. Pabrik mulai ramai, dia bertemu beberapa orang yang baru datang. Dia sift siang hari ini.
Begitu selesai sarapan, terdengar bunyi sirene pabrik yang menandakan keadaan darurat atau bahaya. Aziz terburu kembali ke pabrik. Mendadak panik, dia merasa tak nyaman.
“Dari mana kamu?” bentakan Reno menyambar pendengaran Aziz begitu dia di ambang pintu ruang mesin utama.
Jangan heran, kenapa Reno ada disini. Dia lulus kuliah dua bulan lalu. Kini dia membantu Om Randi mengawasi pabrik.
“Dari warung depan. Sarapan,” jawab Aziz linglung.
Pasalnya dia melihat beberapa orang baru saja berhasil memadamkan percikan api di salah satu mesin. Dia yakin saat ditinggal tadi, mesin dalam keadaan baik-baik saja.
“Lain kali pastikan aman kalau mau ditinggal. Atau minta orang lain mengawasi.” Suara Reno menariknya kembali.
“Tadi ...tadi masih baik- .”
“Sudah kelihatan buktinya kan?” hardik Reno.
“Bagaimana keadaannya?” Om Randi yang baru datang segera memeriksa. Di susul Pak Amin di belakangnya. Beliau berdua mendapat telepon tentang kejadian ini dari seorang pekerja.
Pak Amin menghampiri Aziz. Beliau merasa ada yang tidak beres. Hampir dua Aziz bekerja bersamanya, jarang ada kesalahan dalam pekerjaannya.
“Di mana Tono?” tanya Pak Amin pelan. Tono adalah penanggung jawab sift malam itu di ruang mesin.
“Saya kurang tahu, Pak. Waktu saya mau ke warung, Pak Tono baru keluar kamar mandi,” terang Aziz.
Kini mereka duduk di ruangan Om Randi. Seseorang mengetuk pintu.
“Bagaimana?” tanya Pak Amin pada orang yang baru masuk.
“Pak Tono sudah pulang, Pak,” ujarnya.
“Apa Tono yang berjaga malam ini?” tanya Om Randi.
“Iya,” singkat Pak Amin menjawab.
“Coba di hubungi, mungkin belum jauh,” pinta Om Randi.
“Jangan! Pak Tono berangkat ke kota. Istrinya mau melahirkan di rumah sakit. Operasi,” cegah Reno terburu.
“Kamu tahu dari mana?” Om Randi heran, Reno tadi berangkat bersamanya.
“Kemarin...sempat cerita. Iya, cerita ke Reno, Pak. Dan minta ijin menjaga istrinya selama dua hari besok ” Om Randi melihat keraguan di wajah Reno. Demikian juga dengan yang lain di ruangan itu.
“Ya, sudah. Aziz, nanti kamu periksa ya. Pak Amin hari ini Om ajak ke kota.”
“Baik, Om!” “Pak, seharusnya dia di beri sanksi atau mengganti. Bukan dibiarkan dan malah dipercaya untuk memperbaikinya,” protes Reno.
“Dia enggak bertugas tadi. Jadi bukan tanggung jawabnya kalau ada kerusakan.”
“Tapi dia tinggal di sini. Seharusnya tahu diri, dengan ikut menjaga pabrik ini,” ucap Reno masih belum terima.
“Sudahlah! Ini urusan bapak. Nanti Bapak yang menanyai Pak Tono,” tukas Om Randi sambil bangkit.
Semua mengikuti. Keluar ruangan melanjutkan pekerjaan masing-masing. Aziz merasa tangannya di tarik, ternyata Reno. Dia di bawa ke lorong di belakang ruangan.
“Kali ini kamu bisa lolos. Tidak untuk berikutnya,” ancam Reno.
“Apa maksudmu?” tanya Aziz heran.
“Berhati-hatilah!” peringat Reno sambil berlalu.
Aziz bertanya-tanya, ‘Apa salahnya sehingga Reno begitu tidak menyukainya?’
19. FITNAH
SarapanKata
KMOIndonesia
KMOBatch38
Kelompok26
RoyalGryffindor
Day19
Bab 19. FITNAH
Tekanan yang diterima Aziz semakin besar. Reno tak membiarkannya tenang dalam bekerja. Selalu mencari celah kesalahan yang mungkin diperbuatnya. Atau akan memberi pekerjaan yang kurang masuk akal. Jika menolak, ancaman akan diberikan.
Kelakuan Reno makin menjadi ketika Om Randi masuk rumah sakit karena kecelakaan. Bahkan hampir sebulan di rawat, Aziz tidak diberi kesempatan untuk menengok. Dia hanya menitipkan salam lewat Pak Amin atau yang lain.
Sekitar delapan bulan masuknya Reno ke pabrik, tidak ada kemajuan berarti. Sempat mengalami kerugian akibat Reno kurang bisa mengontrol. Dia lebih banyak fokus mencari kelemahan Aziz. Yang lain, karena merasa tak diawasi banyak yang bekerja sesukanya. Beruntung Pak Amin menyadari lebih awal, sehingga kondisi pabrik bisa segera pulih.
“Lebih cocok Aziz yang jadi anak Pak Randi, alih-alih sebagai keponakan dari pada Reno. Omong aja banyak, tapi tindakan nol.”
“Perintah sana-sini. Tunjuk ini-itu. Pak Randi saja enggak sampai begitu.”
“Suka sekali mengritik dan mencari kesalahan orang. Kelihatan kalau dia iri sama Aziz.”
Berbagai selentingan sudah memenuhi pendengaran orang-orang di pabrik. Namun Reno tak terganggu, entah memang tak sampai atau sengaja menulikan telinganya.
Bila ada sedikit saja kejadian yang berhubungan dengan proses produksi, ujung-ujungnya Aziz juga terseret. Padahal sangat jelas jika dia kadang tak ada sangkut pautnya sama sekali. Berbeda jika kesalahan dari orang lain. Seolah cepat sekali terselesaikan. Seperti kasus percikan api enam bulan lalu. Redam dengan sendirinya. Pak Tono sebagai penanggung jawab malam saat itu tak pernah mendapat teguran.
Tampaknya Aziz harus banyak bersabar dan ekstra hati-hati. Salah sedikit dia akan ditendang keluar.
***
Setelah masa perawatan dan pemulihan pasca kecelakaan selama 3 bulanan Om Randi kembali bisa beraktivitas normal. Sudah seminggu ini Om Randi aktif mengunjungi dan mengontrol pabrik langsung.
Menjelang siang, bunyi sirene tanda bahaya berbunyi dari ruang mesin utama. Mesin yang sedang bekerja mendadak macet. Tak lama pintu ruangan Om Randi diketuk oleh seseorang. Setelah mendapat jawaban, dia pun masuk.
“ Ada masalah apa, Pak?” tanya Om Randi.
“Mesin utama macet, Pak,” jawab orang tersebut.
“Apa yang terjadi?” Om Randi bertanya heran.
“Entahlah, Pak. Pak Amin hanya memerintahkan saya mengabari Bapak,” terangnya.
Om Randi berbalik badan, menatap tempelan kertas di dinding.
“Ayo kita ke sana.” Om Randi segera berjalan keluar ruangan menuju arah ruang mesin.
Sementara di ruang mesin utama, terlihat Reno yang menumpahkan kemarahan pada Aziz, penanggung jawab siang ini.
“Mau mengelak apalagi! Ini buktinya! Cairan apa yang tuangkan?” bentak Reno.
“Tapi biasanya jeriken itu berisi pelumas mesin yang dipakai.” Aziz sendiri heran, setelah melihat isinya ternyata bukan hanya pelumas mesin. Tapi pelumas yang sudah bercampur air dalam jumlah banyak. Dia tak tahu sejak kapan isi jeriken itu berubah.
Beberapa saat Om Randi datang. Reno yang melihatnya segera mengadukan kejadian ini.
“Lihat, Pak! Orang yang Bapak bantu berniat menusuk dari belakang. Bapak terlalu percaya padanya. Sekarang dia akan menghancurkan kita,” tuduh Reno.
”Apa yang telah terjadi?” tanya Om Randi.
“Minyak pelumas yang biasanya dipakai ternyata sudah tercampur air lumayan banyak, Pak. Dan sepertinya sudah sejak kemarin. Karena jeriken-jeriken di sini biasanya diisi dua hari sekali. Barusan saya sudah mengecek ruang penyimpanan minyak. Drumnya masih penuh karena memang kemarin baru ada pengisian.,” terang Pak Amin.
“Kenapa bisa seperti itu?” bentak Om Randi. Memijat pelipis, antara percaya dan tidak. Beliau yakin Aziz tak seceroboh itu. Hampir tiga tahun, cukup bagi beliau untuk menilai kinerja Aziz. “Bukankah jadwal Aziz tadi sift malam? Kenapa siang ini juga kerja?” selidik Om Randi.
“Pak Tono minta tukar sift, Om. Katanya mau memeriksakan anaknya yang sakit hari ini,” jawab Aziz.
“Lalu, yang mengisi jeriken-jeriken ini siapa?” Tunjuk Om Randi pada deretan jeriken di pojok ruangan.
“Maaf Om, saya tidak tahu. Semalam begitu saya masuk, diberitahu bila jeriken sudah penuh semua,” jawab Aziz jujur.
“Sudahlah, Pak! Terbukti dia bersalah. Masih banyak alasan,” sela Reno tak sabar.
“Apa kamu enggak membuka tutupnya?” Om Randi mengabaikan omongan Reno.
“Enggak Om. Saya tidak curiga apa-apa. Jadi percaya saja saat diberitahu jeriken sudah penuh semua.”
“Bagaimana Pak Amin? Apa bisa secepatnya di perbaiki?” Beralih pada Pak Amin.
“Maaf Pak, kerusakannya terlalu fatal. Perlu waktu lumayan lama,” jawab Pak Amin penuh sesal.
“Kalau begitu gunakan mesin cadangan saja. Dari pada enggak beroperasi,” perintah Om Randi. Selain mesin utama, pabrik juga mempunyai tiga mesin cadangan yang ukurannya jauh lebih kecil.
“Baik, Pak! Tapi mesin cadangan yang bisa digunakan cuma satu, yang dua sedang di servis. Dan bahan yang sudah masuk ke dalam mesin utama susah dikeluarkan. Jadi proses lagi dari awal. Kita tetap akan rugi,” jelas Pak Amin.
“Mau bagaimana lagi. Kita enggak mungkin berhenti produksi selama menunggu mesin diperbaiki,” ujar Om Randi. “Dan kalian, Reno dan Aziz ikut saya ke ruangan.”
Senyum licik muncul di bibir Reno. Sementara Aziz hanya berjalan sambil menunduk pasrah. Pak Amin sempat menepuk bahunya, menguatkan.
20. MEMILIH PERGI
SarapanKata
KMOIndonesia
KMOBatch38
Kelompok26
RoyalGryffindor
Day20
Bab 20. MEMILIH PERGI
Hening. Ruangan pemilik pabrik itu terasa mencekam. Belum ada yang membuka suara. Lima menit berlalu.
“Om, maaf atas keteledoran ini. Demi Allah, tidak ada niat sedikit pun untuk melakukan hal seperti itu. Saya juga tidak menduga ini akan terjadi.” Dengan sedikit keberanian, Aziz mencoba membuka percakapan.
“Enggak usah sok bersumpah segala. Dasarnya salah, ya salah saja. Percuma berkelit, buktinya,” dengus Reno kasar.
Menghela napas lelah, Om Randi bertanya pada Aziz,
“Apakah sewaktu menuangkan pelumas, kamu enggak lihat ada yang berbeda? Kamu sudah lumayan lama menangani hal itu. Seharusnya segera menyadari kalau ada yang enggak sesuai."
“Justru karena sudah biasa dan lama, saya tidak curiga apa pun. Dan sejujurnya bukan saya yang menuang, tapi anak baru,” ucap Aziz apa adanya.
“Anak baru?” Om Randi mengernyit heran. Mengalihkan tatapan pada Reno, “Kamu menerima anak baru, Reno?”
“Iya, Pak. Reno menerima anak-anak magang. Lima orang,” jawab Reno.
“Kenapa belum ada laporan tentang anak magang? Dan kamu menerima mereka tanpa persetujuan Bapak?”
“Sekarang bukan waktunya membahas anak baru. Kita bicara kesalahan dia,” sentak Reno. “Bapak enggak usah banyak pertimbangan. Sudah banyak kita membantu dia. Pecat saja!" Reno berteriak marah.
"Reno! Bukan begitu caranya. Kita akan selidiki dulu apa yang terjadi sebenarnya, " tegur Om Randi keras.
"Terus saja bapak membelanya," geram Aziz sambil berlalu keluar.
"Om minta maaf, Aziz. Tapi ...,"
"Saya yang salah Om," potong Aziz segera. Dia tahu beliau merasa bingung. Biarlah dirinya yang mengambil keputusan.
"Mungkin lebih baik saya mengundurkan diri. Semalam dan hari ini, ruang mesin dalam tanggung jawab saya. Jadi apa yang terjadi itu kelalaian saya. Dan izinkan saya ikut memperbaiki kerusakan yang sudah terjadi terlebih dulu sebelum pergi." Aziz memilih untuk mengalah.
"Om enggak bermaksud memberhentikanmu. Om percaya sama kamu. Om hanya bingung mulai dari mana mencari tahu kejadian sebenarnya. Bisa memanggil polisi, tapi kuatir masalah semakin besar."
"Saya paham, Om. Saya yakin kejadian sebenarnya akan terungkap."
Akhirnya dengan terpaksa, Om Randi menyetujui pengunduran diri Aziz.
Perbaikan mesin memakan waktu hampir sebulan. Banyak orang yang ikut menangani, karena kerusakan cukup parah. Bahkan teknisi khusus yang sudah berpengalaman, didatangkan untuk membantu. Kesempatan itu dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Aziz. Banyak ilmu baru diperoleh.
Pasti ada hikmah di setiap kejadian bukan?
***
Pagi ini Aziz membereskan barang-barang miliknya. Dia sudah yakin untuk keluar dari pabrik. Tidak mungkin bertahan di sini, sementara keluarga yang membantunya berselisih tentang dirinya. Lagi, kepedulian Aziz membuatnya tersingkir.
Suasana haru terjadi saat Aziz berpamitan pada teman-teman sesama pekerja. Mereka yakin Aziz tdak bersalah. Namun, berhadapan dengan anak pemilik pabrik mereka tak mampu berbuat banyak.
Keharuan juga berlangsung di ruangan Om Randi. Pak Amin turut mengantarnya. Beliau berdua sudah dianggap pengganti ayahnya di sini.
“Om, Aziz pamit ya. Maaf enggak bisa menjaga kepercayaan yang di berikan pada saya.” Aziz menghampiri Om Randi yang langsung mendapat pelukan erat.
“Om yang minta maaf. Enggak bisa menjaga kamu. Om yakin ini bukan kesalahan kamu.”
“Salam buat Tante Nina ya, Om. Saya masih bolehkan mengunjungi Om dan Tante suatu hari nanti?” harap Aziz.
“Sangat boleh.” Om Randi melepas pelukan. Menepuk kedua bahu pelan sebelum Aziz berpindah pamit ke Pak Amin, yang langsung disambut pelukan juga.
"Maaf, bapak enggak bisa membantu," ujar Pak Amin memeluk Aziz.
"Tetaplah jadi anak baik. Bapak doakan mendapat yang lebih baik nanti."
"Iya, terima kasih sudah banyak membantu. Bekerja bersama bapak seperti sekolah bagi saya. Banyak ilmu yang saya dapat. Jaga kesehatan ya, Pak Amin. Izinkan saya sesekali menengok bapak nanti," serak suara Aziz menahan tangis.
Mengusap punggung Aziz pelan, lalu melepas pelukan.
"Hati-hati. Kamu akan sukses nanti."
"Aamiin. Terima kasih." Mengambil tangan Pak Amin lantas diciumnya takzim. Kemudian beralih mencium tangan Om Randi.
Tak ingin berlama-lama, setelah mengucap salam Aziz berbalik pergi. Ojek yang dipesankan Pak Amin sudah menunggu. Di tempat parkir Aziz melihat Reno berbicara dengan Pak Tono. Begitu tahu, Pak Tono pamit meninggalkan Reno.
Saat berpapasan, Aziz menyapa, berpamitan.
“Pak Tono, saya mau pergi. Maaf kalau saya ada salah sama bapak,” ucap Aziz tulus.
Pak Tono tergugu, kaget menerima permintaan maaf Aziz. Sangat merasa bersalah. Seharusnya ini tanggung jawabnya. Tapi beliau tak bisa berbuat apa-apa. Dirinya juga diancam.
“Saya yang banyak merepotkan. Kamu begini karena menggantikan saya piket. Maaf ya...maaf beribu-ribu maaf,” sambut Pak Tono penuh sesal.
“Sudah jalan buat saya. Saya bisa memahami. Mari, Pak.”
Aziz berbesar hati menerima apa yang menimpanya. Sekali lagi berbuat kesalahan yang sama. Menerima hukuman dari kesalahan yang bukan murni dilakukan olehnya.
Aziz pergi sekali lagi.
21. AISYAH?
SarapanKata
KMOIndonesia
KMOBatch38
Kelompok26
RoyalGryffindor
Day21
Bab 21. AISYAH?
Berbekal tabungan yang diperolehnya selama bekerja di pabrik, Aziz pergi ke Ibukota Provinsi. Banjarmasin. Sebelumnya dia berniat memberikan hasil tabungannya pada Om Randi untuk membantu biaya perbaikan mesin. Namun, Om Randi menolaknya mentah-mentah, membuatnya tak enak hati. Jadilah selama hampir sebulan membantu perbaikan mesin dia menolak menerima bayaran.
Setengah hari perjalanan, Aziz sampai di Banjarmasin. Mendapati sebuah masjid, Aziz masuk ke dalamnya. Masjid Nurul Iman sudah menyelesaikan sholat isya berjamaah setengah jam lalu. Aziz masih diam di teras masjid. Bingung hendak ke mana.
Seorang marbot masjid yang usianya tak jauh beda darinya terlihat sedang mematikan beberapa titik lampu yang tidak digunakan. Lantas menghampiri Aziz, dia sudah melihatnya sejak usai sholat tadi.
“Assalamu’alaikum,” sapanya ramah sambil mengulurkan tangan. “Saya Rahman. Dengan Mas ...?”
“Wa’alaikumussalam warahmatullah. Saya Aziz,” Aziz membalas sopan.
“Boleh saya tahu, Mas Aziz dari mana dan mau ke mana? Sepertinya bukan orang sini,” tanya Rahman hati-hati.
“Baru sekali ini menginjakkan kaki di Banjarmasin.”
“Maaf, boleh lihat tanda pengenalnya, Mas?” pinta Rahman ragu. Aziz membuka ranselnya. Mengambil KTP di dalam dompet dan memberikan pada Rahman. Sekalian surat keterangan dari lingkungan tempat kerja kemarin.
“Mas Aziz asli Jember?”
“Iya. Ehm ...boleh saya tahu tempat kos yang terdekat dari sini?” “Ayo saya antar menemui takmir. Mungkin sementara bisa tinggal di sini.”
Mereka berdua menemui ketua takmir yang sedang bersama beberapa orang lain di perpustakaan. Setelah melihat tanda pengenal dan surat-surat lainnya, serta menjawab beberapa pertanyaan, Aziz diijinkan tinggal.
Alhamdulillah. Aziz bersyukur jalannya dipermudah malam ini.
***
Keesokan harinya, setelah membantu Rahman dan kawan-kawannya, Aziz pergi mencoba peruntungan. Mencari pekerjaan apa pun yang bisa dilakukannya. Sadar diri, dia hanya mempunyai ijazah SMP. Itu pun karena ayah yang mengirimkannya ke Om Randi.
Menjelang sore, belum ada tempat yang menerimanya. Warung dan bengkel yang sempat dia datangi menolaknya halus. Masih belum membutuhkan pekerja baru, begitu alasannya. Beruntung bisa tinggal di masjid. Bisa menyibukkan diri dengan kegiatan bermanfaat di sela-sela usahanya mencari kerja. Tak mau berdiam diri yang hanya akan membuat gundah hati.
Di hari kelima barulah Aziz mendapat pekerjaan. Hanya pekerjaan biasa, sebagai pencuci piring di sebuah warung makan yang lumayan ramai. Tidak benar-benar butuh, hanya saja pemilik warung luluh melihat kesungguhan Aziz.
***
Malam minggu warung lebih ramai dari biasanya. Maklum, warung itu terletak di dekat alun-alun dan pusat perbelanjaan. Aziz baru bisa menyelesaikan pekerjaannya jam sepuluh malam. Menyusuri jalanan malam yang masih ramai. Alih-alih menunggu angkutan, Aziz lebih memilih berjalan kaki. Sudah dua kilometer dari pusat kota. Jalanan mulai sepi.
Tiba-tiba sebuah mobil melaju cepat dari arah depan. Hilang keseimbangan melewati marka jalan. Berhasil menghindar, Aziz terperosok ke selokan. Namun tidak bagi mobil di belakang Aziz. Usahanya menghindar menyebabkan mobil itu menabrak sebuah pohon besar. Sementara penyebabnya, menabrak pembatas jalan sebelum terguling dua kali.
Aziz segera naik ke tepi selokan. Bergegas menghampiri mobil yang menabrak pohon. Orang-orang juga mulai berdatangan. Mengintip ke dalam, ada seorang laki-laki di kursi kemudi dan seorang perempuan di kursi sampingnya dalam keadaan tak sadarkan diri. Di bangku belakang ada seorang gadis. Gadis itu berusaha membuka pintu, tapi terkunci. Aziz di bantu beberapa orang berusaha mengeluarkan korban. Setelah berhasil, Aziz mendekat merasa mengenali pengemudi.
“Pak Saleh?” serunya terkejut.
“Adik mengenalnya?” tanya seseorang.
“Iya, Pak. Saya mengenal beliau,” jawab Aziz.
Beberapa saat suara sirene ambulans terdengar. Pak Saleh dan keluarganya segera di angkut ke dalam ambulans.
“Biar saya ikut, Pak!” pinta Aziz pada petugas.
Setiba di rumah sakit, Pak Saleh dan keluarganya langsung mendapat perawatan. Aziz diminta mendaftar ke bagian administrasi. Kembali IGD, tampak gadis yang duduk di bangku belakang, duduk di ruang tunggu bersama dua orang polisi.
“Apa hubungan Anda dengan korban?” tanya seorang polisi.
“Saya mengenal beliau sebagai takmir di masjid tempat saya tinggal, Pak.”
“Ada keluarga lain yang bisa dihubungi? Adik ini ponselnya tertinggal di mobil. Teman saya masih mencari. Dia kesulitan menghubungi keluarganya,” polisi tadi menjelaskan maksudnya.
“Tolong hubungi Kak Rahman!” pinta gadis itu.
“Oh, Rahman ya. Sebentar!”
Aziz menghubungi Rahman mengabarkan kejadian yang dialami Pak Saleh. Lalu memintanya untuk ke rumah sakit serta menghubungi keluarga beliau. Sedang dua polisi tadi sudah pergi setelah meminta Aziz untuk datang sewaktu-waktu ada panggilan dari Kantor Polisi sebagai saksi.
Selang beberapa saat, tampak Rahman berlarian ke arahnya. Berhenti, tapi segera beralih menuju dua keluarga Pak Saleh. Aziz mengikuti.
“Aisyah, kamu enggak apa-apa? Abah sama Umma gimana?” Rahman bertanya panik.
“Ais enggak apa-apa, Kak. Abah sama ummah di periksa di dalam,” ujarnya lirih.
“Oh iya, Aziz terima kasih sudah menolong. Pak Saleh adalah pamanku. Ini Aisyah anaknya,” ucap Rahman. Aisyah mengangguk singkat pada Aziz.
“Iya, sama-sama. Kebetulan aku melihat kejadian tadi. Dan ikut ke sini untuk memastikan Pak Saleh mendapat pertolongan,” jelas Aziz.
Kemudian pintu terbuka, seorang dokter keluar. Mereka bergegas menghampiri.
“Bagaimana keadaan paman saya, Dokter?” Rahman bertanya mewakili.
“Alhamdulillah, kondisinya tidak terlalu parah. Hanya sedikit benturan di kepala dan beberapa luka lecet. Sebentar lagi bisa ditemui setelah di pindah ke ruang rawat. Untuk pasien perempuan hanya mengalami shock dan besok bisa di bawa pulang.” Dokter menjelaskan kondisi Pak Saleh.
“Alhamdulillah. Terima kasih, Dokter!” ucap Rahman menanggapi.
“Aziz, aku butuh bantuanmu lagi. Aisyah mau ku antar pulang. Kamu mau kan sebentar di sini dulu. Nanti aku kembali.”
“Iya, boleh,” sahut Aziz.
“Aisyah di sini saja, Kak. Menemani abah dan ummah.”
“Kamu baru nyampe. Istirahat dulu di rumah. Besok baru ke sini lagi. Biar kakak sama Aziz yang nunggu abah dan ummah,” ujar Rahman.
Setelah memastikan Pak Saleh dan istrinya menempati ruang rawat inap, Rahman mengantar Aisya pulang. Aziz memandangi kepergian keduanya sehingga hilang berbelok arah.
Aisyah? Aziz mencoba menyimpan namanya.
22. HARAPAN BARU
SarapanKata
KMOIndonesia
KMOBatch38
Kelompok26
RoyalGryffindor
Day22
Bab 22. HARAPAN BARU
Sejak menolong lalu ikut menjaga Pak Saleh pada malam kecelakaan, Aziz belum bertemu kembali dengan beliau. Menurut kabar dari Rahman, beliau hanya seminggu di rumah sakit.
Sebulan berlalu sejak kejadian kecelakaan. Pak Saleh mulai aktif ke masjid. Setelah sholat Subuh, beliau ingin menyempatkan untuk berbicara dengan Aziz. Bertemu hanya sekali saat Rahman membawanya malam itu. Kemudian menolongnya saat kecelakaan, tapi beliau sudah banyak mendengar tentang sosoknya.
“Assalamu’alaikum,” Aziz mengucap salam.
“Wa’alaikumussaalam warahmatullah,” jawab Pak Saleh.
“Bapak memanggil saya?” tanya Aziz sopan.
“Iya. Bapak ingin menyampaikan berterima kasih yang sebesar-besarnya. Kalau tidak ada kamu, mungkin bapak terlambat mendapat penanganan. Dan Aisyah akan sendiri serta kebingungan menghubungi saudara kami,” tutur Pak Saleh tulus.
“Sudah kewajiban kita saling menolong, Pak. Dan Allah menakdirkan saya yang menolong bapak malam itu,” Aziz menanggapi tak kalah tulus.
“MasyaaAllah, Nak! Akhlakmu sungguh baik. Semoga Allah memberkahimu,” puji Pak Saleh.
“Aamiin,” ucap Aziz. “Tapi maaf, saya kemarin belum sempat menengok bapak kembali.”
“Sudah, kamu sudah lebih dari menengok. Terima kasih. Allah yang membalasnya,” sanggah Pak Saleh.
Hening beberapa saat.
“Ehm ...boleh bapak tahu, mengapa dan bagaimana kamu bisa sampai di kota ini?” tanya Pak Saleh hati-hati.
Aziz seketika menunduk. “Maafkan bapak, kalau kamu keberatan tidak usah diceritakan.” Pak Saleh menepuk pelan paha Aziz.
Mendongak, menatap Pak Saleh dengan mata yang mulai berembun.
“Selama ini saya memang menyembunyikan rapat-rapat penyebab itu, Pak. Mengingatnya membuat saya jadi semakin merasa bersalah dan menyesal.”
Menghela napas panjang, Aziz perlahan mulai bercerita penyebab dia sampai di kota ini. Berharap mendapat nasehat dan bimbingan dari Pak Saleh. Sesekali menyusut air mata yang hendak jatuh. Sementara beliau hanya mendengarkan, tanpa menyela sedikit pun. Menatap prihatin sekaligus kagum pada anak muda di depannya. Dia benar tapi pada tempat dan waktu yang salah.
“Maaf, saya selalu tak bisa menahan diri jika ingat wajah kecewa bunda dan kemarahan ayah. Saya sudah gagal menjadi anak yang bisa mereka banggakan. Sampai saat ini, saya juga belum berani menghubungi mereka. Kuatir belum di terima dan belum dimaafkan,” ucap Aziz lirih. Menyeka sudut mata mengakhiri ceritanya.
Pak Saleh merangkul pundak Aziz, mengusap-usap pelan. Menenangkan.
“Nak, ayah bundamu marah dan kecewa itu wajar. Tapi percayalah, sebelum kamu pergi dari rumah, mereka pasti sudah memaafkanmu. Kamu merasa dibuang. Namun, bukan seperti itu. Mereka hanya ingin kamu belajar menyikapi hidup. Ada prioritas dalam setiap tindakan. Hal itu yang mereka harap kamu bisa mengerti. Kamu hanya salah waktu dan tempat. Tapi apa yang kamu lakukan tidaklah salah.” Pak Saleh mencoba memberi pengertian pada Aziz.
Dari ceritanya, beliau bisa menyimpulkan bahwa Aziz sudah mendapat pendidikan yang baik dari orang tuanya. Namun, pergaulan yang menyebabkan dia sedikit salah jalan. Tidak melenceng jauh, tapi cukup untuk dia berjalan bukan pada tempatnya.
“Coba sesekali menelepon. Bertanya kabar. Dari situ nanti kamu tahu mereka sudah memaafkanmu atau belum,” saran Pak Saleh.
“Saya belum berani. Selama ini cukup dulu sekedar mendengar dari Om Randi kalau mereka baik-baik saja. Dan saya juga yakin Om Randi sudah menceritakan tentang saya pada mereka. Mungkin benar, mereka sudah memaafkan. Tapi saya merasa belum bisa dibanggakan.” Aziz mengeluarkan apa yang apa yang menjadi pikirannya.
“Iya. Bapak paham. Baiklah, sudah agak siang. Kamu pasti mau berangkat kerja. Bapak juga mau ke kampus.”
“Bapak seorang dosen?” tanya Aziz penasaran.
“Iya. Saya mengajar Universitas Sam Ratulangi. Besok kita bincang lagi ya. Ada yang mau bapak sampaikan lagi.”
Rasa lega merayapi hati dan pikiran Aziz, setelah berhasil menceritakan kejadian yang di alaminya. Setelah hampir tiga tahun menyimpannya sendiri.
***
Seperti yang dijanjikan, keesokan paginya, kembali mereka berbincang. Sebuah harapan terbit.
“Apa kamu punya niat sekolah lagi?” tanya Pak Saleh.
“Sebenarnya iya, Pak. Tapi saya hanya ada ijazah SMP. Rapor saya masih di sekolah lama.”
“Ijazah SMP sudah cukup. Dan enggak harus sekolah tiap hari, nanti ada kelas khusus. Jadi kamu tetap bisa sambil bekerja,” jelas Pak Aziz.
“Kalau begitu saya mau, Pak,” ucap Aziz.
“Dan kalau boleh memberi saran, uang tabunganmu bisa di jadikan modal usaha. Keahlianmu lumayan di bidang mesin. Kenapa enggak coba buka bengkel saja?” saran Pak Saleh.
“Modalnya masih kurang banyak, Pak,” tanggap Aziz.
“Sedikit-sedikit saja. Mulai beli peralatan dasar,” ujar Pak Saleh memberi masukan.
“InsyaaAllah. Mohon doanya, Pak. Terima kasih sudah banyak memberi saran dan nasehat buat saya.”
***
Jadilah sejak itu kesibukan Aziz bertambah. Sabtu Minggu dia kadang mengikuti kelas kejar Paket. Pemilik warung memberi ijin. Usaha bengkel yang dirintisnya juga lumayan. Awalnya hanya jamaa’ah masjid yang menggunakan jasanya. Seminggu ada tiga sampai empat panggilan. Dia mengerjakannya pagi, sebelum berangkat ke warung.
Tak terasa empat tahun sudah sejak Aziz berangkat ke pelabuhan di antar ayah. Aziz sudah menyelesaikan ujian persamaan. Bahkan kini mendaftar di sebuah universitas swasta. Sementara usahanya, meski bengkel panggilan, tapi sudah banyak pelanggan. Seorang takmir masjid berbaik hati meminjamkan motornya. Pekerjaan di warung sudah dia tinggalkan. Dalam waktu dekat berencana membuka bengkel permanen.
Aziz bersyukur, dikelilingi orang-orang baik. Meski itu tak pernah bisa menggantikan keberadaan ayah bundanya. Dua orang pertama dalam hidupnya.
23. BENGKEL JAYA
SarapanKata
KMOIndonesia
KMOBatch38
Kelompok26
RoyalGryffindor
Day23
Bab 23. BENGKEL JAYA
Lima tahun lalu Aziz pernah mengubur mimpinya. Mimpi yang telah dihancurkannya, bahkan sebelum dia terbangun. Namun lihatlah, kini dia berhasil mengejar satu mimpinya. Sedikit lagi akan diraih. Meski bukan ini jalan yang ingin dilaluinya dulu. Takdir yang membawanya kemari. Sejauh apa pun berlari, pasti akan menghampiri. Memilih berdamai, itu lebih baik.
Bengkel di sebelah masjid Nurul Iman itu tutup. Bengkel Jaya namanya. Pelanggannya sudah hafal. Jam-jam sholat hanya pintu yang tertutup. Hari Jumat dan Sabtu tutup mulai sebelum Zuhur. Selain itu bengkel buka mulai pagi sampai menjelang Magrib.
NoAisyah duduk di beranda masjid. Keringat membasahi dahi. Motornya mogok. Dia harus mendorongnya hampir lima ratus meter. Memilih menunggu di sini dari pada harus mendorong tiga ratus meter lagi sampai rumah. Ini hari Sabtu. Dia tahu bengkel cuma buka setengah hari.
Menjelang Asar, matahari masih menampakkan panas sinarnya. Haus menderanya, apalagi dalam keadaan puasa begini.
Usai sholat Asar baru Aisyah melihat kelebat pemilik bengkel. Menunggu masjid sepi, lantas menghampirinya yang duduk di beranda samping masjid bersama beberapa pemuda lain.
“Assalamualaikum,” sapa Aisyah.
“Wa’alaikumussalam warahmatullah,” jawab mereka serempak.
“Ada apa Ais? Cari abah? Abah enggak ke masjid hari ini kan?” Rahman bertanya melihat Ais hanya diam sambil berdiri. Adik sepupunya itu memang pendiam dan pemalu.
“Iya abah ke kota. Ehm...itu, Kak. Motor Ais mogok. Kak Aziz bisa bantu enggak?” tanya Aisyah.
Aziz yang tadinya menunduk, seketika mendongak. Bertatapan dengan Aisyah, hanya sekilas lalu segera mengalihkan pandangan. Tak sengaja, menatap Rahman yang sedang menatapnya, tersenyum jahil. Aziz, pemilik bengkel itu. Tetangga masjid mengikhlaskan tanahnya sebagian untuknya mendirikan bengkel.
“Kamu tanya sendiri ke orangnya. Bukan ke kakak, Ais,” goda Rahman iseng.
“Iya, itu tadi. Bisa bantu perbaiki motor Aisyah?” ulangnya.
Aziz yang paham, beranjak sebelum Aisyah makin salah tingkah digoda kakaknya.
“Di mana motornya?” tanya Aziz.
“Di depan, Kak,” ujarnya.
Berjalan menuju motor seraya mengulurkan kuncinya. Aziz membawa motor ke bengkel. Membuka pintu dan mengambil peralatan. Melihat Aisyah masih berdiri.
“Ai, duduk saja dulu.” Suara Aziz mengagetkannya. Tersenyum kikuk, menjawab singkat,
“Iya, Kak.”
Aziz segera memeriksa penyebab motor itu mogok. Sementara Aisyah memperhatikan dalam diam.
“Ini agak lama memperbaikinya, Ai” suara Aziz hanya menyapa angin. Pemilik nama hanya fokus pada obyek di depannya. Merasa tidak mendapat respon, Aziz menoleh. Gadis di belakangnya tak berkedip memperhatikan dirinya yang sedang mengotak-atik motor.
“Ai ....” Setelah Aziz melambaikan tangan, barulah Aisyah tersadar.
“Eh ...iya, Kak! Kakak bertanya apa tadi?” Aisyah salah tingkah ketahuan sedang pemuda di depannya.
“Motornya agak lama diperbaikinya. Kamu sebaiknya pulang dulu. Nanti biar saya yang antar ke rumah,” ujar Aziz sembari berdiri dan menuju masjid. Dia hendak meminta Rahman mengantar gadis ini, yang sepertinya kelelahan.
Kembali dengan Rahman di belakangnya. Aziz langsung fokus pada motor di hadapannya.
“Kamu mau pulang apa nunggu di sini?” terdengar suara Rahman bertanya pada Aisyah.
“Kata Kak Aziz, pulang saja. Nanti motornya diantar ke rumah,” ujar Aisyah.
“Lho, kok kata Aziz. Kamu sendiri gimana?” Rahman masih bertanya.
“Iya, Ais pulang,” sahutnya pelan.
“Airnya enggak diminum dulu?” Rahman menunjuk air kemasan di samping Aisyah.
“Enggak, Kak. Aisyah lagi puasa.”
“Ayo kakak antar,” ajak Rahman yang segera mengantar Aisyah pulang.
Aziz hanya melambaikan tangan saat Rahman berpamitan. Dia memandang sekilas, tersenyum tipis.
***
Waktu sholat isya, Aziz masih belum melihat Pak Saleh di masjid. Dia mengajak Rahman mengantar motor Aisyah. Rahman menolak, karena sudah ada janji dengan temannya.
Kini berdiri di depan rumah bercat coklat, ragu hendak membuka pagar. Tiba-tiba di belakangnya berhenti sebuah mobil. Tampak Pak Saleh turun dari kursi penumpang depan.
“Assalamualaikum,” ucap Pak Saleh memberi salam.
“Wa alaikumussalam warahmatullah.”
“Aziz? Sudah tadi? Ayo masuk.” Pak Saleh membuka pagar.
“Baru saja, Pak! Maaf mengganggu malam-malam,” ujar Aziz.
“Enggak apa-apa. Bapak juga baru datang.”
Pintu rumah terbuka, menampilkan sosok Aisyah dengan gamis biru dan kerudung warna senada. Aziz sesaat terkesima memandangnya. Pandangannya terputus saat Aisyah sudah berada di depannya. Menyapa Pak Saleh yang baru datang.
“Abah lama pulangnya,” ujar Aisyah merajuk.
“Iya, tadi sempat macet. Ada kecelakaan di jalan. Ummah belum pulang?” Pak Saleh mengusap kepala anak gadisnya.
“Tadi telepon, katanya Ummah pulang besok pagi,” jawab Aisyah.
“Ehhmm ...maaf, Pak. Saya permisi dulu. Ini hanya mengantar motor Aisyah,” deheman Aziz membuat keduanya menoleh.
“Motor? Kenapa dengan motormu, Nak?” selidik Pak Saleh.
“Tadi siang mogok, Abah. Jadi Aisyah tinggal di bengkel Kak Aziz. Maaf ya, jadi merepotkan kakak.”
“Ya sudah, ayo masuk dulu. Lama kita enggak mengobrol.” Akhirnya Aziz mengikuti Pak Saleh masuk rumah. Ini pertama kali dia datang sendiri. Biasanya rame-rame bareng anak-anak masjid.
“Bagaimana kabarnya Aziz?” tanya Pak Saleh setelah mereka duduk di ruang tamu.
“Alhamdulillah baik, Pak!” jawab Aziz.
“Kuliahmu gimana? Enggak keteteran dengan pekerjaanmu?” Pak Saleh seolah menginterogasi.
“Kuliah lancar, Pak. Bengkel juga aman. Ini semua berkat bantuan dan dukungan bapak. Terima kasih.”
Berbincang berbagai hal, tak terasa sudah hampir larut. Aziz memutuskan untuk pamit.
“Maaf, saya sudah mengganggu waktu bapak. Baru saja datang harusnya butuh istirahat.”
“Kamu enggak mengganggu. Bapak senang berbincang denganmu. Terima kasih sudah mengantar motor Aisyah. Semoga usahamu selalu lancar. Bengkelnya selalu berjaya seperti namanya. Bengkel Jaya.”
Pak Saleh mengantar ke depan pintu. Merangkul pundak Aziz sambil sesekali menepuk lembut.
Bersama Pak Saleh seperti mempunyai keluarga di sini. Namun tetap saja, semua tak akan sama
24. HARI BAHAGIA
SarapanKata
KMOIndonesia
KMOBatch38
Kelompok26
RoyalGryffindor
Day24
Bab 24. HARI BAHAGIA
Bagi kebanyakan orang, hari seperti saat ini adalah hari yang bahagia. Dirayakan bersama keluarga. Berfoto bersama, makan-makan atau hanya saling mengucap selamat. Tidak dengan Aziz. Dia sendiri di tengah keramaian itu. Tanpa ada orang tua mendampingi. Bahkan selesai acara, dia menuju belakang gedung yang lumayan sepi dari hingar bingar siang itu.
“Ayah, bunda, bagaimana kabar kalian di sana? Hari ini Aziz wisuda. Ingin sebenarnya kalian ada di sini menyaksikan Aziz berdiri di depan sana tadi,” ini lirih. Matanya perlahan mengembun.
“Tapi Aziz belum punya keberanian untuk sekedar mendengar suara kalian. Apa kalian sudah memaafkanku? Semoga kalian sehat di sana. Aziz di sini baik-baik saja,” semakin lirih bersama isak kecil yang lolos dari mulutnya.
Di hapusnya bulir kecil yang menetes. Segera bangkit mendengar sayup namanya di teriakkan seseorang. Keluar dari persembunyiannya, mendapati teman-teman dari masjid Nurul Iman mencarinya. Di antara mereka dia melihat Pak Saleh dan istrinya. Tak ketinggalan pula Aisyah yang membawa setangkai bunga.
“Selamat ya, Aziz!” Rahman terlebih dulu memberinya selamat. Disusul tiga temannya yang lain. Berikutnya Pak Saleh yang memberinya selamat.
“Selamat ya, Nak! Semoga ilmumu barokah. Sukses dunia akhirat,” ucap beliau. Aziz terharu dalam pelukannya.
Bu Saleh turut memberinya selamat. Setelahnya baru Aisyah. Mengulurkan bunganya sembari berkata pelan,
"Kak Aziz, selamat ya! Barakallah!” Disambut deheman dari sekelilingnya membuat Aisyah salah tingkah dengan wajah memanas.
“Terima kasih semuanya.” Hanya itu yang Aziz sampaikan membalas ucapan selamat dari mereka.
“Kamu ini wisuda enggak bilang-bilang. Abah tadi yang telepon memberitahu. Lalu buru-buru kemari. Ada kabar gembira diam saja.” Rahman memukul lengannya dengan bercanda.
Aziz memang tidak memberitahukan kabar wisudanya kepada siapa pun. Namun Pak Saleh yang seorang dosen, tentu mendengar informasi ini.
“Ayo sekarang pulang. Ummah tadi masak banyak. Kita makan bersama,“ ajak Bu Saleh.
“Foto sebentar dong, Ummah,” Rahman kembali bersuara. Mereka pun berfoto bersama. Bahkan Pak Saleh meminta foto bersama Aziz.
“Sekalian sama ummah dan Aisyah biar lengkap,” usul Rahman jahil.
Tanpa diduga Pak Saleh menyetujui usulan itu. Jadilah mereka foto berempat. Aisyah yang tadinya menolak, akhirnya ikut atas paksaan ummahnya.
Akhirnya Aziz sedikit bisa merasakan seperti yang lain. Walau berbeda dan tetap tidak akan sama. Sekiranya ayah dan bunda di sini, bahagianya akan nyata.
***
Kini mereka duduk di ruang tamu rumah Pak Saleh. Makan siang sudah selesai beberapa menit lalu.
“Aziz, kamu enggak berniat mengabarkan berita gembira hari ini pada keluargamu?” tanya Pak Saleh.
“ ...”
“Berdamailah dengan masa lalu. Bapak yakin orang tuamu sudah memaafkanmu. Untuk ukuran anak muda, kamu sudah cukup berhasil. Usahamu berjalan dengan baik. Kuliahmu juga sudah selesai,” tutur Pak Saleh. Beliau prihatin, pemuda di depannya ini terbelenggu dalam rasa bersalahnya. Terpancar jelas di wajahnya. Rasa rindu, takut dan kuatir.
“Saya sudah mengabari Om Randi tadi. InsyaaAllah beliau yang akan mengabari ayah,” ujar Aziz.
“Bagi nomornya, biar aku yang telepon,” Rahman menawarkan diri. “Enggak usah telepon deh, kirim foto yang tadi saja.”
“Orang tuamu berhak tahu kabarmu, Nak,” bujuk Pak Saleh.
Aziz menimbang, pandangannya menerawang. Sebenarnya dia sudah ada keinginan untuk itu. Apa daya, ragu selalu menyelimuti. Tapi bujukan dan dorongan orang-orang ini meruntuhkan keraguannya. Perlahan Aziz membuka tas, mengambil ponselnya. Ponsel lama yang dibelikan ayahnya.
“Masih ponsel itu yang kamu pakai. Padahal tabungan dari hasil kerjamu bisa membeli lebih dari lima ponsel baru,” sindir Rahman.
“Ponsel ini dibelikan ayah. Sayang kalau di ganti,” sahutnya sambil mengulurkannya pada Rahman.
“Wah ...wah..., siapa ini kontak dengan nama My Love?” goda Rahman.
“Itu nomor bunda,” jawab Aziz. Pak Saleh tersenyum tipis. Membenarkan dugaannya bahwa Aziz sebenarnya anak yang sayang keluarganya. Sepele mungkin, tapi anak muda yang menyimpan kontak ibunya dengan nama My Love adalah suatu yang istimewa.
“Kirimnya pakai ponsel aku saja ya? Ponselmu enggak bisa buat kirim gambar. Atau mau telepon langsung?” tanya Rahman.
“Kirim gambar saja pakai ponsel kamu,” pinta Aziz.
“Boleh bapak saja yang kirim?” Pak Saleh memberi kode pada Rahman, yang langsung dimengerti. “Tadi Rahman juga sudah mengirim fotonya ke ponsel bapak.”
Aziz yang bingung hanya mengangguk. Batinnya bertanya, “Ada apa dengan orang-orang ini?”
Entahlah, apa yang dikirim dan di tulis oleh Pak Saleh. Aziz berusaha berprasangka baik saja. Tak berapa lama terdengar suara dari ponsel Pak Saleh.
“MasyaaAllah Aziz, anak bunda. Bunda senang dan bahagia lihat fotomu. Kabarmu baik kan, Nak? Ayah dan bunda baik juga. Aida juga baik, dia sudah SMA sekarang. Om Randi selalu memberi kabar tentangmu. Kapan kamu pulang? Maafkan kami yang sudah membuatmu berada jauh di sana. Maaf....”
Aziz tersentak. Itu bunda lewat pesan suara di ponsel Pak Saleh. Aziz sempurna tegak, duduk tegang di kursinya. Bunda berkata perlahan. Sesekali terdiam, terdengar berusaha agar suaranya normal. Menutup wajah, terisak lirih. Rahman yang duduk di sebelahnya merengkuh bahunya seolah memberi kekuatan.
“Bundamu sudah memaafkanmu kan? Tinggal kamu yang harus rela membuang jauh-jauh rasa bersalahmu. Agar bundamu juga enggak terus merasa bersalah sudah mengirimmu ke sini.”
Tak dipungkiri, Aziz bahagia mendengar suara bundanya. Memberinya kekuatan dan semangat baru. Sebentar lagi. Beri Aziz waktu sebentar lagi.
Mereka yang menyaksikan turut bahagia. Namun rupanya mereka lupa, Allah mempunyai skenarioNya sendiri.
25. MUSIBAH
SarapanKata
KMOIndonesia
KMOBatch38
Kelompok26
RoyalGryffindor
Day14
Bab 25. MUSIBAH
Bengkel Jaya sudah tiga tahun berdiri. Meski tergolong baru, bengkel itu maju pesat. Pemiliknya yang ringan tangan membuat orang nyaman. Selama bisa dan bukan jam sholat, dia akan selalu bersedia membantu walau bengkel sudah tutup. Tinggalnya di masjid sebelah bengkel juga memudahkan orang mencarinya. Terlebih dia memang jarang keluar.
Matahari sudah lama tenggelam. Isya juga sudah lewat. Aziz dan Rahman beserta teman yang lain dalam perjalanan pulang. Mereka menghadiri acara pernikahan seorang teman di luar kota. Bengkel hanya buka setengah hari tadi.
Dua ratus meter mendekati masjid, tampak ramai orang berlalu lalang. Tak seperti biasanya. Padahal masih hari Jumat bukan akhir pekan dan hampir pukul sebelas malam. Keramaian makin tampak di sekitar masjid. Mereka luput memperhatikan adanya sisa-sisa asap yang mulai berpendar.
Mobil berhenti sebelum mencapai depan masjid. Melangkah turun. Mematung melihat apa yang terjadi di depan mata. Aziz mengucek mata, tak mempercayai. Tepukan di bahu menyadarkannya. Melangkah mendekat, menyeruak kerumunan. Tercekat.
“Subhanallah ...!” serunya tertahan.
“Innalillahi,” suara Rahman di belakangnya. Segera direngkuhnya bahu Aziz.
Bengkel basah karena siraman air. Asap muncul di sela-selanya. Beruntung belum semua terlalap api. Namun, bagian depan sempurna terbakar. Meninggalkan beberapa onggokan kehitaman.
Sudah hampir satu jam sejak api padam. Kerumunan perlahan bubar, pulang ke rumah masing-masing. Rahman membawanya duduk ke serambi masjid. Beberapa orang mengikuti. Menceritakan apa yang sudah terjadi.
Sekitar jam sembilan tadi pemilik rumah di belakang bengkel baru pulang. Dia melihat sebuah motor di depan masjid. Tak curiga, menyangka hanya orang yang menumpang sholat. Selang setengah jam, ada bau benda terbakar. Bergegas memeriksa seisi rumah. Tidak mendapati sesuatu yang aneh, segera keluar rumah. Suara motor terdengar meninggalkan halaman masjid bersamaan pintu yang terbuka. Terlihat api membakar bagian depan bengkel. Berteriak membangunkan penghuni rumah, juga tetangga sekitar. Memadamkan api dengan air dan alat seadanya. Satu jam kemudian api sudah berhasil dipadamkan. Beberapa pengurus masjid yang mendengar kabar turut datang.
Seorang pengurus masjid yang memeriksa CCTV membenarkan cerita tadi. Bahwa ada motor yang parkir di depan masjid. Pengendaranya turun dan tampak ke kamar mandi. Setelah itu langsung keluar halaman. Tertangkap CCTV lagi saat memasuki halaman masjid lalu pergi dengan motornya.
Aziz masih terbengong. Menatap kepulan asap yang tersisa. Sekelilingnya juga masih terdiam. Hingga suara Pak Saleh memecah keheningan.
“Allah sedang mengujimu, Nak. Kamu tidak sendiri. Kami ada di sini bersamamu,” hanya itu yang beliau ucapkan. Setelahnya beliau pamit. Di susul yang lainnya.
Kini tinggal pemuda masjid yang menemani Aziz. Hanya diam. Mencoba memahami. Akhirnya malam itu mereka tidur di serambi masjid.
***
Lepas Subuh, jama’ah masjid tidak lantas bubar. Mereka hendak membicarakan bengkel yang terbakar semalam. Duduk melingkar, merapatkan diri.
“Kami turut menyesalkan kejadian ini. Entah kesengajaan atau tidak, hanya Allah yang tahu. Rekaman CCTV sedang diperiksa lebih lanjut.” Terdiam sejenak.
“Bersabarlah! Ini ujian untukmu. Apakah dengan musibah ini kamu masih tetap bersabar atau malah ingkar? Boleh kecewa atau marah, tapi jangan sampai menyalahkan takdir,” tutur Pak Saleh.
“Kami akan membantu semampunya agar bengkel segera berjalan kembali,” ucap seorang jama’ah.
“Nanti agak siang kita akan bersama-sama membersihkan bengkel. Agar segera bisa diketahui apa saja kerusakannya,” sahut yang lain.
Matahari mulai menampakkan sinarnya. Hari Sabtu banyak yang libur kerja. Di sekitar masjid orang-orang tampak sibuk membersihkan bengkel.
Sepeduli itu mereka pada Aziz. Seorang pemuda perantauan tanpa saudara. Tapi sudah memperlakukan mereka seperti saudara. Ringan tangan membantu. Meski tak banyak omong terlihat jika seorang Aziz adalah sosok yang berkepribadian baik.
Sementara di kejauhan, tampak juga dua orang pemuda di atas sebuah motor mengamati kegiatan tersebut. Salah sorang geram karena usahanya tidak sepenuhnya berhasil. Namun tak disangkal, dia merasa senang melihat kericuhan yang terjadi. Terutama melihat wajah putus asa serta kecewa Aziz.
Dia dibutakan oleh rasa iri dan dengki. Bahkan tak menyadari akan ada balasan dari perbuatannya.
Dia telah menanam, dan dia pula yang akan menuai.
26. RASA YANG TAK HILANG
SarapanKata
KMOIndonesia
KMOBatch38
Kelompok26
RoyalGryffindor
Day26
Bab 26. RASA YANG TAK HILANG
Termangu disudut kamar. Di gelap malam. Aziz terbayang wajah bunda yang jauh di sana. Menyimpan berjuta rindu menambah sesak. Bunda, ayah dan adik perempuan semata wayangnya, Aida. Apa kabar mereka di sana? Segala kata sesal seolah berlomba ingin segera terucap. Mengharap maaf dan pelukan dari orang-orang tersayang.
Tergugu. Kilasan masa lalu berkelebat. Hadir satu-persatu. Belaian bunda. Keisengan pada adik kecilnya. Kenakalannya. Kegagalannya. Hingga kemurkaan ayah yang membawanya sampai di tempat ini. Membayang penuh di kelopak mata. Membuat kabur pandangan. Mengusap kasar wajah, mengusir air mata yang datang tanpa permisi. Aziz menatap kertas lusuh yang sedang dipeluknya. Selembar foto keluarga. Meraba pelan tiap obyek yang tercetak.
Pandangannya berkeliling. Ini kamarnya, miliknya. Kamar yang menyatu dengan bangunan bengkel, dilengkapi kamar mandi dan dapur kecil. Tidak besar, hanya berdiri di atas tanah seratus meter persegi. Ini pencapaiannya, walau bantuan datang dari berbagai arah. Cukupkah untuk membuktikan jika dirinya tidak hanya bermain-main?
***
(Flashback On)
Bengkel Jaya sudah buka seminggu kemudian. Meski masih dengan alat seadanya, seperti awal dulu. Peralatan bengkel dalam tahap mencicil kelengkapannya. Selain menghabiskan tabungannya, peralatan juga dari sumbangan beberapa jamaah dan pengurus masjid yang bersimpati.
Om Randi sempat datang ketika mendengar kabar kebakaran bengkel. Beliau juga menyumbang dana yang tak sedikit. Tante Nina membawakannya makanan kering yang cukup untuk beberapa hari. Beliau menyarankan untuk pulang dan memulai kembali di tanah kelahirannya.
“Kamu sudah punya pengalaman. Lebih baik mendirikan bengkel di Jawa saja,” usul Om Randi. “Bukankah tabunganmu cukup untuk memulainya seperti di sini dulu?”
Aziz menolak, “Aziz tak mau pulang dengan membawa kegagalan, Om.”
“Kamu sudah cukup berhasil. Ini hanya musibah, perlahan kamu akan kembali berhasil.”
“Maaf, Om. Tapi Aziz enggak bisa."
“Kamu masih belum menelepon ayah bundamu? Mereka kangen, Aziz,” tanya Om Randi.
“Aziz sudah berniat akan menghubungi, tapi kejadian beberapa hari lalu membuat ragu. Aziz gagal lagi. Belum bisa menunjukkan hasil yang membanggakan merek,” ujarnya sendu.
Aziz hanya tak tahu bahwa orang tuanya bahkan mengetahui perkembangannya selama di sini. Dulu, Om Randi yang menjadi perantara dirinya dan orang tuanya. Kini Pak Saleh yang melakukannya. NoAyah sempat ingin mengirim bantuan dana lewat Pak Saleh, tapi beliau melarang. Kuatir membuat rasa bersalah yang menghantui Aziz kembali muncul jika mengetahui kebenarannya. “Biar Aziz berusaha sendiri. Di sini banyak yang membantu,” begitu tanggapan Pak Saleh.
Banyaknya dukungan bagi Aziz, membuatnya tidak terlalu lama dalam kondisi terpuruk. Bengkel makin ramai. Pelanggan yang mengetahui kejadian itu merekomendasikan Bengkel Jaya pada kenalan dan saudara-saudaranya. Aziz kini mencari orang yang bisa membantunya bekerja.
Enam bulan sejak kebakaran. Bengkel Jaya berkembang pesat. Aziz ditemani empat orang pekerjanya. Bahkan sudah berhasil membeli tanah sendiri. Rencananya akan mendirikan bengkel baru dalam waktu dekat.
(Flashback Off)
***
Hampir delapan tahun dalam belenggu rasa yang sama. Rasa sesal, bersalah, rindu dan ketakutan. Aziz seolah tak bisa menampungnya lagi.
Sungguh, jika bisa mengulang waktu, tak kan dia biarkan orang-orang tersayangnya tersakiti dan kecewa. Apa boleh buat? Semua sudah terjadi. Aziz hanya bisa berharap apa yang sudah diraihnya bisa mengobati luka hati orang tuanya. Namun, ragu menyelimuti. Apakah dia sudah menjadi anak yang membanggakan? Apakah ayah sudah memaafkan?
Apa yang harus dilakukannya?
Aziz ingin membuang semua rasa itu.
27. RENO KECELAKAAN
SarapanKata
KMOIndonesia
KMOBatch38
Kelompok26
RoyalGryffindor
Day27
BAB 27. RENO KECELAKAAN
Sangat benar jika seseorang menerima cobaan sesuai dengan kemampuannya. Benar juga bahwa apa yang kita perbuat akan kita menerima balasannya.
Aziz baru pulang dari rumah pelanggan bengkelnya. Mobilnya mogok, jadi dia mendatangi di rumahnya. Singgah untuk sholat Isya di Masjid Nurul Iman. Begitu berbelok memasuki halaman bengkel, terdengar suara gesekan ban dan aspal. Lalu di susul suara benturan yang cukup keras. Sebuah mobil menabrak motor yang melintas terburu-buru tanpa menoleh kanan kiri.
Orang-orang segera berlarian menuju sumber suara. Tak ketinggalan, Aziz juga ikut menuju lokasi yang berjarak seratus lima puluh meter dari bengkelnya. Terdengar bisikan-bisikan beberapa orang. Namanya terdengar di sebut. Begitu juga bengkelnya. Aziz menyibak kerumunan.
Seketika Aziz terbelalak kaget begitu orang-orang membuka helm pengendara motor yang kecelakaan. Wajah Reno tampak terpejam dengan cairan hitam mengaliri pelipisnya. Meski keadaan gelap, Aziz yakin kalau cairan itu adalah darah.
“Reno ...!” seru Aziz. “Tolong teleponkan ambulans!” pinta Aziz panik saat tangan yang berusaha mengangkat kepalanya terasa basah.
“Aziz, kamu mengenalnya?” tanya seseorang entah siapa.
“Iya. Dia saudara saya,” jawab Aziz.
“Pantas, mulai tadi dia mengawasi bengkel. Tapi anehnya, begitu kamu datang dia malah terburu pergi.” Mereka kembali berbisik. Saling mengemukakan komentarnya. Sampai suara-suara itu berganti dengan suara nyaring sirene ambulans.
Petugas ambulans segera mengangkut tubuh Reno. Aziz mengikuti dan naik ke dalam ambulans. Mencoba menenangkan dirinya yang tegang, Aziz merogoh ponsel di tas punggungnya. Menekan kontak Om Randi.
***
Perjalanan Om Randi kemari akan memakan waktu yang lama. Maka dari itu Aziz yang berinisiatif mendaftarkan Reno ke bagian pendaftaran. Tanda tangan persetujuan operasi juga diberikan Aziz dengan persetujuan Om Randi lewat telepon.
Aziz baru saja keluar dari sebuah ruangan. Ruangan tempatnya diambil darahnya. Reno membutuhkan transfusi, dan darah mereka cocok. Aziz juga menelepon Rahman saat petugas memberitahunya bahwa Reno lumayan banyak membutuhkan darah.
Sampai di ruang tunggu terlihat Rahman dan beberapa temannya. Mereka segera diperiksa kecocokan darahnya dengan Reno. Operasi sudah berlangsung sejak dua jam lalu.
Lewat tengah malam, tampak Om Randi dan Tante Nina berlarian ke arahnya. Di belakangnya menyusul sopir Om Randi dan Pak Amin. Beliau sedang membahas sesuatu di pabrik tadi. Pak Amin meminta ikut. Menjemput Tante Nina lantas berangkat. Om Randi langsung memeluk Aziz.
“Bagaimana dengan Reno?” tanya Om Randi panik.
“Reno masih di ICU. Dua jam lalu baru selesai operasinya. Alhamdulillah operasinya berhasil.”
Penjelasan Aziz membuat Om Randi lega. Berbalik dan mendapati Tante Nina yang tergugu. Segera dipeluknya sang istri.
“Terima kasih Reno,” ujar Om Randi dan Tante Nina berbarengan.
“Tadi dokter berpesan, kalau Om sudah datang harap segera menemui di ruangannya. Ayo Aziz antar, Om!” ajak Aziz.
***
Dua hari kemudian Aziz datang ke rumah sakit. Dia mendapat kabar jika Reno sudah sadar tadi pagi. Memasuki ruangan tampak Tante Nina sedang menyuapi Reno. Aziz mendekati ranjang. Bertanya kabar. Reno seketika meneteskan air mata.
“Maaf...maafkan aku! Aku banyak salah sama kamu,” ujar Reno terbata. Mendengar cerita dari bapaknya bahwa Aziz yang menolong bahkan mendonorkan darahnya, membuat Reno sadar. Sementara Aziz kebingungan.
“Kamu enggak punya salah sama saya. Kenapa minta maaf?” tanya Aziz.
Mengalirlah cerita Reno tentang kejadian-kejadian di pabrik yang melibatkan Aziz. Semua itu adalah rencananya untuk menyingkirkan Aziz. Dia iri karena Aziz bisa mendapat kepercayaan dari bapaknya.
“Enggak cuma itu. Kebakaran bengkelmu lebih setahun terakhir yang lalu, itu juga ulahku.”
Semua yang mendengar terkejut. Tak terkecuali Om Randi. Beliau yang duduk di sofa seketika bangkit dan berjalan menuju ranjang. Aziz segera menahan, kuatir kemarahan beliau tak terkendali.
“Kemarin sebelum kecelakaan terjadi, aku bahkan berniat membakar kembali bengkelmu. Namun dirimu keburu pulang. Aku panik sehingga melarikan motor tanpa lihat situasi.”
Reno bercerita dengan lancar meski sesekali berhenti. Kondisinya masih jauh dari kata pulih. Namun dia sudah tak kuat membendung rasa bersalahnya. Dan ingin segera mengakuinya.
“Aziz, maafkan aku! Kamu boleh melaporkan aku ke polisi. Aku ikhlas di hukum,” ucapnya lagi sembari meraih tangan Aziz.
“Saya memaafkanmu. Cukup kamu sadar dan berjanji tidak melakukan hal-hal tercela lagi. Toh, semua sudah berlalu. Dan lihat, saya sekarang baik-baik saja. Bengkel juga sudah kembali seperti dulu,” ujar Aziz tulus.
***
28. TAWARAN PAK SALEH
SarapanKata
KMOIndonesia
KMOBatch38
Kelompok26
RoyalGryffindor
Day28
BAB 28. TAWARAN PAK SALEH
Berdamai dengan hati ternyata tak mudah. Sehingga di sini dia sekarang. Menuruti saran Pak Saleh, dia berniat mengirim hadiah untuk keluarganya. “Saling memberi hadiah bisa menyambung silaturrahim, menumbuhkan kasih sayang dan saling memaafkan,” begitu kata beliau.
Lelah berkeliling di pusat perbelanjaan tanpa mendapat apa yang diinginkan, Aziz dan Rahman memutuskan pulang. Beristirahat di masjid sembari menunggu waktu Asar tiba.
"Bikin capek saja," gerutu Rahman.
"Maaf. Kamu ada ide enggak?" tanya Aziz.
"Coba tanya saja Aisyah. Dia kan perempuan. Pasti lebih tahu apa lebih dibutuhkan disenangi sesama jenisnya."
"Begitu ya?" Aziz hanya mengangguk-angguk.
"Buruan!" seru Rahman.
"Kamu saja yang tanya," ujar Aziz. Rahman menggeram kesal. Tak urung dia menelepon Aisyah. Ternyata dia sedang berada di rumah seorang temannya yang kebetulan dekat dengan bengkel Jaya.
"Pulang sana! Aisyah mau mampir ke bengkel. Kamu bisa tanya sendiri."
“Setelah Asar saja. Tanggung, lima belas menit lagi,” sergah Aziz.
Setengah jam kemudian Aziz sudah menaiki motornya menuju bengkel. Terlihat Aisyah sudah duduk di bangku depan bengkel yang tutup. Sejak pindah, bengkel buka hanya pagi hari tiap Jumat.
"Assalamualaikum. Sudah lama Ai?" sapa Aziz.
"Waalaikumussalam warahmatullah. Baru saja, Kak," jawabnya.
"Ehmm, kata Kak Rahman, Kak Aziz butuh bantuan Ais. Ada apa?" tanya Aisyah mendahului.
"Saya mau memberi hadiah buat bunda dan Aida. Tapi bingung milihnya," ujar Aziz.
"Benarkah? Kalau begitu sekarang saja," seru Aisyah. Aisyah tahu bagaimana hubungan Aziz dan keluarganya. Abahnya yang menceritakan.
“Saya telepon Rahman dulu ya, biar siap-siap. Kamu bawa motor kan?” Berpikir sebentar. “Tapi kayaknya enggak bakal mau. Kami baru saja berkeliling pusat perbelanjaan.”
“Enggak perlu ke sana, Kak. Beli lewat market place saja. Lewat ponsel bisa,” ujar Aisyah seraya membuka ponselnya.
“Eh ...bisa ya?” tanya Aziz heran. Aisyah menahan senyum geli.
Satu jam lebih mereka memilih barang apa yang cocok. Lebih tepatnya Aisyah yang sibuk memilih. Aziz hanya sesekali bicara ketika di tanya.
“Sudah selesai! Tinggal bayarnya. Nih...Kakak isi sendiri.” Aziz menerima uluran ponsel Aisyah.
***
Aziz berjalan pelan meninggalkan masjid. Menikmati angin malam yang membelai wajahnya. Dia sengaja berjalan kaki tadi. Berangkat menjelang Magrib. Berdiam sambil menunggu waktu Isya. Teringat obrolannya dengan Pak Saleh usai Isya tadi. Tersenyum sendiri.
Baru tadi sore mengirim hadiah buat keluarganya, kini dia seolah mendapat sebuah rezeki dan nikmat tiada tara.
Selepas sholat Pak Saleh memanggilnya. Mengajaknya duduk di serambi kanan masjid.
"Ada yang mau bapak bicarakan denganmu,” ucap Pak Rahman.
“Apa saya punya salah, Pak” tanya Aziz heran.
“Tidak, bukan itu. Bapak mau minta bantuan kamu. Apa kamu sanggup?”
“InsyaaAllah saya bantu sebisa saya, Pak,” jawab Aziz.
“Lebih tepatnya, bapak mau mengajukan permintaan padamu,” ralat Pak Saleh. Aziz mengernyit, membuat alisnya menyatu.
“Kamu berapa lama lagi ada rencana untuk pulang?” tanya Pak Saleh lagi.
“Belum tahu, Pak. Tapi Aziz sudah memikirkannya. Belakangan ini sering bermimpi tentang bunda. Aziz kangen bunda,” ucap Aziz terus terang.
“Boleh bapak jujur?” Aziz hanya mengangguk. “Kamu belum punya niat untuk menikah? Umurmu sudah dua puluh lima tahun bukan?”
”lya benar, Pak. Dua bulan lagi. Tapi saya belum ada pemikiran ke sana. Masalah saya dengan ayah dan bunda belum ada kejelasan,” tutur Aziz.
“Begini, ehmm...Bapak mau melamar kamu buat Aisyah.”
"Hah!” Kata-kata Pak Saleh mengagetkannya. Aziz mengerjap bingung.
"Mak...maksud bapak bagaimana?” Aziz tergagap.
"Maksud bapak ya...Apakah mau kamu menikah dengan Aisyah, anak bapak?” Pak Saleh menerangkan maksud kalimatnya.
“Tapi...” “Kamu keberatan? Apa kamu sudah mempunyai calon?” selidik Pak Saleh.
“Iya...tidak...eh, bukan begitu. Maksud saya, saya enggak salah dengar kan?” Aziz bertanya gugup.
“Tidak. Bapak sudah memikirkan ini. Ummah juga setuju. Kalau kamu menerima dan setuju, bapak akan bilang pada Aisyah. Bapak yakin Aisyah tidak menolak. Untuk ayah dan bundamu, nanti itu menjadi urusan bapak,” Pak Saleh menjelaskan sambil memandang Aziz lekat. Sementara Aziz, wajahnya sudah memanas.
"Apa bapak enggak salah orang? Saya sudah menceritakan semuanya. Mengapa saya sampai di sini? Bagaimana saya sampai keluar dari sekolah?”
"Justru karena itu bapak memilih kamu. Bapak sudah sholat istikharah. Tinggal kamu, pikirkan dulu beberapa hari. Bapak tunggu,” ujar Pak Saleh menepuk pelan pundak Aziz.
***
29. AZIZ INGIN PULANG
SarapanKata
KMOIndonesia
KMOBatch38
Kelompok26
RoyalGryffindor
Day29
BAB 29. AZIZ INGIN PULANG
Menyesalkah Aziz atas kejadian yang menimpanya delapan tahun lalu? Jawabannya, iya. Namun dia sadar, bahwa apa yang terjadi atas kehendak yang kuasa. Demikian juga dengan beberapa kejadian yang dialaminya selama ini. Aziz berusaha untuk mengambil hikmahnya. Benar kata Pak Saleh, kecewa boleh asal tidak menyalahkan takdir.
Semua rangkaian kejadian dalam hidupnya adalah jalannya untuk sampai seperti ini. Entah berapa banyak air mata lagi yang harus mengalir. Tak peduli berapa banyak keringat yang harus dia cucurkan. Yang perlu Aziz perbanyak adalah stok kesabaran.
Harapannya kini, apa yang sudah dicapainya mampu menebus kesalahannya dan mengobati kekecewaan orang tuanya.
***
Langit mulai menampakkan terangnya. Aziz beranjak pulang. Sejak terbangun hampir jam dua dini hari tadi, dia pergi ke masjid Nurul Iman.
Logikanya kalah kali ini. Memasuki kamar, mengambil ponsel. Menekan kontak My Love. Sambungan terdengar. Dering keempat terangkat.
Nyatanya Aziz tak sekuat itu. Tubuhnya luruh, melorot ke lantai. Hanya satu kalimat sapaan berhasil membuatnya bergetar.
“Halo, Assalamualaikum,” suara di seberang terdengar menyapa telinganya. Suara bundanya. Bunda yang dirindukannya. Disayanginya. Cintanya.
Menutup mulut menahan suara apa pun yang akan keluar. Terisak. Entah apa saja yang terucap setelah sapaan tadi. Aziz sudah tak bisa mendengar. Sibuk mengendalikan hatinya. Sampai sambungan diputus dari seberang. Dia tersadar beberapa saat kemudian.
***
Sementara di seberang sana, bunda juga terisak. Beliau tahu siapa yang menelepon. Nomornya bahkan sudah disimpannya sejak tujuh tahun lalu. Seperti Aziz, beliau hanya sanggup memandanginya tanpa sanggup menekan nomor itu. “Biarkan Aziz menata hati dan hidupnya sendiri. Tunggu dia menghubungi lebih dulu. Dia sehat dan tampak baik-baik saja,” pesan Om Randi saat memberikan nomor itu dulu.
Sejak kepergian Aziz ke seberang hampir delapan tahun lalu, perasaan bersalah juga kerap hadir pada ayah dan bunda. Namun, perasaan itu perlahan hilang begitu mendengar kabar demi kabar tentangnya. Anaknya sudah menjalani 'hukumannya' dengan sangat baik.
Kabar demi kabar diterimanya dari teman suaminya yang di seberang itu. Hingga suatu saat, beliau lama tak mendapat kabar lagi. Aziznya sudah tak bersama Randi. Bunda sakit memikirkan keberadaan anak lelakinya. Empat tahun tanpa kabar.
Perasaannya buncah karena bahagia ketika suatu hari menerima kiriman foto dari nomor tak di kenal. Anaknya memakai toga. Tangis haru mewarnai suasana rumah siang itu. Siapa pun, bunda sangat berterima kasih pada pengirim pesan.
Satu tahun belakangan seseorang yang bernama Saleh kerap memberinya kabar tentang Aziz. Orang yang sama yang mengiriminya foto wisuda Aziz. Beliau bilang tunggu sebentar lagi. Aziz akan segera menghubunginya. Hanya tunggu dan sabar.
Kabar terakhir didapatnya sebulan lalu. Anaknya sudah memiliki bengkel yang merangkap rumah yang berdiri di atas tanahnya sendiri. Bunda serasa ingin segera mendatanginya. Ingin anaknya tahu seberapa bahagia dirinya.
***
Seminggu kemudian kembali Aziz menelepon bundanya. Dia hanya ingin mendengar kembali sapaan beliau. Dering ketiga terangkat.
"Assalamu'alaikum. Hiks...hiks.... Kakak?" suara Aida yang terdengar.
Terdiam lama.
"Kakak apa kabar? Enggak jawab salam Aida?” Terdengar lagi suara di seberang.
"Waalaikumussalam," hanya itu yang terucap.
"Kami di sini sehat. Semoga kakak sehat juga ya? Hiks...hiks... Aida kangen Kak Aziz." Aziz pun tak kuasa menahan tangis. Adiknya, sebesar apa sekarang?
"Kakak juga baik," berhasil juga mengeluarkan suara.
Terdengar obrolan lirih di seberang. Aziz berdebar.
"Aziz? Kamu di sana, Nak? Hiks...hiks... Bunda kangen Aziz."
Aziz tersentak. Ponsel pun terjatuh. Segera diambilnya lantas memandangi layar. Masih terhubung. Suara isak bunda terdengar.
Menguatkan hati Aziz menyapa, "Bunda ...." Hanya satu kata.
Aziz segera menutup mulutnya. Isaknya terdengar. Lima menit, Aziz menguasai dirinya.
“Aziz kangen bunda. Aziz ingin pulang. Bolehkah Aziz pulang?” sapanya pada orang di seberang.
30. TERNYATA MUDAH
SarapanKata
KMOIndonesia
KMOBatch38
Kelompok26
RoyalGryffindor
Day30
BAB 30. TERNYATA MUDAH
“Aziz kangen bunda. Aziz ingin pulang. Bolehkah Aziz pulang?” sapanya pada orang di seberang.
“Jika langkahmu sudah terlalu jauh. Kakimu sudah lelah melangkah. Pulanglah , nak! Bunda menunggu. Menunggumu untuk kembali pulang,” jawaban bundanya sontak membuat tangisnya pecah.
“Tunggu Aziz, Bunda! Aziz segera pulang,” serak saat suaranya kembali berusaha dia keluarkan.
Panggilan video menunggu untuk diterima. Aziz panik. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Gemetar saat menerima panggilan.
Terhubung. Layar berubah. Aziz tak sanggup berkata-kata. Matanya semakin deras mengalirkan air mata. Tangannya mengusap layar ponsel. Di sana terpampang wajah bunda dan adiknya. Wajah yang sudah tampak lebih tua. Berbeda dengan saat dirinya pamit pergi. Kerut-kerut wajah mulai bermunculan. Wajah yang dulu menampakkan kekecewaan. Namun wajah inilah juga senantiasa memandangnya penuh sayang.
“Ma...maafkan Aziz, Bunda. Hik...hiks.... Ampuni Aziz.” Di sela tangis meminta maaf, kembali menyesali perbuatannya.
ZBunda menggeleng keras. Wajahnya tak kalah basah.
“Enggak, Nak.” Terdiam beberapa saat. “Kamu enggak perlu meminta maaf. Bunda sudah memaafkanmu jauh sebelum ini. Sebelum kamu pergi.”
Aziz mengangguk. Beralih memandang wajah di sebelah bunda. Adiknya cantik dengan wajah terbalut kerudung abu-abu. Adik kecilnya dulu sudah remaja. Dia sudah tak bersuara. Hanya tersenyum di sela-sela tangisnya.
Tanpa aba-aba, sebentuk wajah lain memenuhi sisa layar. Aziz pias, terkesiap. Belum menyiapkan hatinya untuk berhadapan dengan laki-laki hebat ini. Tertunduk. Berusaha menyembunyikan wajahnya. Sampai suara berat itu terdengar.
“Aziz, kamu enggak mau menyapa ayah?” suara berat yang dirindukan Aziz.
Dengan gerakan pelan, kembali menatap lurus. Aziz memaku tatap pada sosok berwibawa di layar.
“Ayah...” Entah mimpi apa semalam. Pagi ini Aziz tak terhitung berapa kali mengusap air mata.
“Kamu kapan pulang?” tanya ayah pelan. Aziz mengangguk.
“Aziz boleh pulang?” bukannya menjawab, Aziz justru bertanya balik.
“Ini rumahmu, Nak! Kapan pun kamu boleh kembali,” ayah berujar lirih.
“Ayah memaafkan Aziz?” “Ayah enggak pernah menyalahkan dan menganggapmu salah. Ayah hanya kecewa. Kembali mengangguk, Aziz tersenyum lebar dalam tangisnya.
Wajah bunda kembali mendominasi. “Kamu sekarang di mana, Aziz?” tanya bunda.
“Aziz di kamar, Bunda,” jawabnya singkat.
“Boleh lihat kamarnya dong, Kak?” terdengar suara Aida. Aziz mengubah ponsel menjadi tampak belakang. Mengedarkan kamera ponsel ke sekeliling kamar.
“Sekarang keluar, Kak,” perintah Aida.
Aziz menuruti. Begitu keluar kamar, kamera menyorot dapur kecil dan pintu kamar mandi di sebelah kiri pintu kamar.
“Wah...itu rumah kakak?” tanya Aida.
“Bukan. Cuma segini saja kok,” bantah Aziz.
“Bengkelnya di mana?” giliran ayah bertanya. Bunda reflek menatap ayah. Merasa salah bicara, ayah menutup mulut. Aida tertawa. Aziz terbengong heran.
“Dari mana tahu ada bengkel di sini?” tanyanya curiga.
“Ayah bunda sudah dapat bocoran, Kakakku,” gemas suara Aida terdengar menyahut. “Tunjukkan saja, Kak. Biar kami enggak penasaran.”
Bersamaan dengan selesainya kalimat Aida, seseorang mengetuk pintu luar dapur.
Bengkel Aziz ini mempunyai dua ruang utama. Bagian depan, bengkel itu sendiri. Di belakangnya ada ruangan lagi yang mempunyai dua pintu. Satu pintu terhubung langsung dengan bengkel. Satunya lagi langsung keluar dari arah samping bengkel. Ruang belakang ini, begitu masuk dari pintu samping bengkel, akan dihadapkan pada dua pintu serta dapur kecil sebelah kanan ruangan. Bisa dibayangkan bukan?
“Sebentar ya. Ada yang mengetuk pintu,” ujar Aziz menyela sambil berjalan ke arah pintu.
Tampak Aisyah di depan pintu dengan rantang di tangan.
“Assalamualaikum. Kak, ini titipan dari ummah,” mengucap salam seraya menyerahkan rantang.
“Walaikumussalam warahmatullah. Ummah kok repot-repot saja. Terima kasih ya.”
“Iya, nanti Ais sampaikan. Aisyah langsung saja ya, Kak,” pamit Aisyah kemudian.
“Kak Aisyah!” Aisyah menoleh mencari pemilik suara yang memanggilnya.
Begitu juga dengan Aziz. Setelah sadar, tangannya segera diangkat. Ponselnya masih menyala.
Seketika berseru, “Hah! Bagaimana bisa?” Tersadar. Ditatapnya bergantian, layar ponsel dan wajah Aisyah. Terlihat wajah Aida dengan cengiran jahilnya. Sementara Aisyah tersenyum canggung.
“Aida ...!” Kalimatnya terpotong.
“Aisyah pamit, Kak. Mau berangkat ngajar. Assalamualaikum.”
“Eh...tunggu Ai!” sergah Aziz.
“Maaf, Kak. Keburu terlambat nanti," teriak Aisyah.
Disusul suara Aida. “Aida tutup dulu ya, Kak. Aida mau berangkat sekolah. Ayah juga mau kerja.”
“Bunda mana?” “Bunda mau mencuci baju. Da...da...Kakak. Assalamualaikum. Salam buat Kak Ai!” Terdengar suara tawa dari tiga orang di dalam layar.
Layar ponsel berubah gambar. Perlahan menggelap. Aziz menepuk dahi keras. Lalu tertawa lebar. Hatinya seketika menghangat. Meletakkan ponsel di meja kamar, mengambil kunci bengkel. Aziz melangkah riang. Serasa beban berat selama ini hilang tak bersisa.
Alhamdulillah. Ternyata begitu mudah. Keceriaan itu sudah kembali.