Loading
0

1

8

Genre : Romance
Penulis : Raudhatul Jannah
Bab : 8
Dibuat : 10 Februari 2022
Pembaca : 5
Nama : Raudhatul Jannah
Buku : 1

Seutas Benang Rajut di Tanganku

Sinopsis

Mengisahkan seorang gadis desa Yang bernama Ain. Ia hidup dengan kungkungan kepercayaan terhadap mitos "sangkal". Berawal dari kisah cintanya yang kandas lalu berlanjut dengan penolakan lamaran demi lamaran terhadap dirinya. Adakah laki-laki yang datang untuk mematahkan mitos tersebut?
Tags :
#cinta anak muda #religi

Sangkal

0 0

Sangkal 

“Kasihan si Ain, ya…jadi perawan tua.”

“Salah sendiri, sih waktu ada yang ngelamar pertama kali dia nolak. Sangkal itu kalau kata orang tua dulu.”

 

Begitulah bisik-bisik tetangga ketika Ain melewati beberapa tetangga di kampungnya. Kepercayaan terhadap hal-hal yang berbau mistis dan kejawen masih sangat kental di daerah tersebut. Padahal apapun yang terjadi adalah kehendak dari Sang Maha Kuasa. Rizki, jodoh dan mati semuanya telah diatur oleh-Nya. Hanya saja terkadang kebetulan yang terjadi sama dengan kepercayaan kolot itu. 

 

Dulu, ia dilamar oleh seorang pemuda desa setelah lebih satu bulan dari kematian ibunya. Sejak ibunya tiada, Ain menjadi tertutup dan tidak banyak bicara. Bahkan ketika ayahnya memberitahukan perihal lamaran tersebut ia hanya menunduk diam. Sedang diamnya seorang perawan dalam syari’at Islam dianggap sebagai persetujuan. Tidak ada penolakan ataupun penerimaan, memang, setelah itu, akan tetapi tampak dari gerak-geriknya bahwa ia tidak menyukai lamaran itu karena ia sedang menjalin hubungan rumit dengan teman sekolahnya. Rumitnya adalah karena laki-laki yang disukai oleh Ain tidak berani memperjuangkan hubungannya untuk ke tahap serius. Hal itu karena kondisi sosial mereka yang berbeda, baik keluarga maupun lingkungan hidupnya. Sejak itu Ain bertambah murung. Akhirnya, ayahnya memutuskan untuk membatalkan perjodohan tersebut.

 

Selang beberapa bulan setelah lamaran pertama itu datang lamaran kedua yang merupakan kerabat ibunya. Namun, lagi-lagi ia menolaknya. Hingga beberapa lamaran berikutnya juga ia tolak. Maka jadilah gunjingan di kalangan tetangganya bahwa Ain terkena kutukan menjadi perawan tua, bahkan tidak akan pernah menikah. 

 

“Ayah, aku dapat beasiswa untuk kuliah ke kota. Bagaimana pendapatmu?”

“Jika kamu merasa mampu menjaga diri dan bisa membuktikan bahwa kamu bisa sukses, kenapa tidak, Nak.”

Semburat keceriaan tampak di wajah Ain yang akhir-akhir ini selalu berwajah murung. Mendapat restu dari ayahnya seolah tanaman layu yang mendapatkan hujan. Tumbuh harapan untuk bangkit.

“Lagi pula, aku risih mendengar tetangga selalu menggunjing bahwa aku terkena kutukan, Yah.”

Ayahnya tersenyum sambil mengusap pundaknya. “Maklum, mereka orang kampung yang masih kolot pemikirannya.”

“Ya tapi apa gunanya mereka ikut pengajian setiap minggu kalau masih suka menggunjing?”

Ayahnya hanya terkekeh lalu bangkit dari duduknya, “Sudah malam, kamu cepat tidur biar besok bangunnya tidak kesiangan, Nak.”

 

Di kamarnya, Ain sulit untuk terlelap. Matanya masih segar memandang langit-langit kamarnya. Pikirannya jauh berkelana mengingat masa-masa bersama ibunya. Mengisahkan cita-citanya kelak untuk menjadi orang yang sukses dan bisa menghidupi keluarganya supaya ayahnya tidak perlu merantau. 

 

#sarapan kata

#kmo batch 49

#kelompok9

#KKN

#day1

#412 kata

 

Masa Lalu I

0 0

Masa Lalu I

“Bu, di sekolah banyak teman-teman yang buat channel YouTube gitu.”

“Buat apa, Ain?”

“Iyu, tuh bisa ngasilin uang, Bu.”

“Ya sudah, kamu buat juga kalau gitu.”

“Ye….itu gak pas langsung dapat, Bu. Harus banyak yang nonton.”

“Buat aja, mungkin bisa jadi rejeki kamu.”

 

Ibunya adalah sosok perempuan dinamis dan terbuka dengan perubahan zaman meskipun hanya tamatan SD. Ain selalu dinasehati untuk sungguh-sungguh dalam belajar. Sebab, menurut ibunya, tantangan zaman akan berbeda-beda. Jadi, dalam mendidik anak juga harus sesuai dengan zaman di mana si anak hidup. 

 

Malam mulai beranjak hingga Ain terlelap. Ayahnya berdiri di ambang pintu untuk mengecek keadaan Ain. Dalam tidurnya ia bermimpi dan tanpa ia sadari mulutnya menggumamkan sebuah nama, Rayhan.   

   

Mimpi itu mengulang kejadian di masa lalu.

 

Ia berhasil menangkap sepasang mata dengan kilau tatapan yang menyiratkan rasa benci namun cinta, cinta namun benci. Seperti pencuri yang tertangkap basah oleh warga dan siap untuk dihakimi, dengan tergesa-gesa pandangan sepasang mata itu lekas pergi karena tidak siap untuk dipenjarakan. Namun, ia tetap saja mengunci pandangannya kepada si pemilik sepasang mata itu. Dari kilatan matanya, terlihat jelas gelagat salah tingkah si pemilik sepasang mata itu karena ketahuan mencuri-curi pandang padanya. Pandangan seorang gadis yang memiliki mata seindah bidadari itu telah meremas sisi hati seorang Rayhan yang diam-diam memuji keanggunan tingkahnya.

 

Dulu, pertemuan mereka bermula pada acara lomba menghafal surat munjiyat antar Madrasah Tsanawiyah sekecamatan. Rayhan terkesan dengan kedhabitan hafalan salah seoang peserta yang kemudian ia ketahui namanya adalah Qurratul Ain. “Nama yang indah seindah pemiliknya.” Begitu Rayhan bergumam setelah nama-nama pemenang lomba dibacakan. 

 

Semenjak itu, pertemuan mereka berlanjut menjadi hubungan pertemanan antara laki-laki dan permpuan yang lazimnya tidak akan hanya sebatas hubungan pertemanan biasa. Mereka saling bertukar nomor WA, saling follow di Instagram. Intinya hari-hari berlalu sangat membahagiakan bagi keduanya dan bahkan mereka sama-sama tahu perasaan masing-masing. 

 

Hingga pada suatu hari, selang beberapa menit setelah matahari kembali ke peraduannya sebab telah tunai tugasnya di siang hari, sesaat setelah ibu Ain selesai menyempurnakan wudhu’ untuk melaksanakan salat isya’, ternyata, saat itu ia telah menyempurnakan usianya pada hitungan angka yang keempat puluh satu. Lantas tangis Ain pecah dengan air mata yang berderai-derai tak terbendung. Baru beberapa menit yang lalu, unggahannya tranding di YouTube dan hendak membagi kegembiraan hatinya kepada sang ibu, mengatakan bahwa do’a pusaka yang diucapkan tempo hari oleh ibunya adalah jimat sakti melebihi komat-kamit mulut seorang dukun. Namun, belum sempat ia kabarkan berita bahagia itu, ibunya telah lebih dahulu menghadap sang ilahi. 

 

Sejak tujuh hari kepergian ibunya, Ain hanya bolak-balik ke kamar ibunya untuk menenangkan rindu yang bergejolak di dadanya. Meski hanya berdiri di ambang pintu, kemudian duduk di bibir kasur yang telah seusia dirinya, lalu keluar bersama suara serak derit pintu yang engselnya telah berkarat. Baru setelah empat puluh hari kepergian ibunya, Ain mulai melakukan aktivitasnya kembali selayaknya remaja yang biasanya tertawa gembira, meski itu telah sedikit memudar, namun ia masih bisa bercanda ria bersama teman-temanya di sekolah.

 

Satu hal yang masih belum mengubah senyumnya, seutas benang rajut di tangannya yang gulungannya sudah mengecil . Padanya terdapat kenangan yang akan selalu melekat dalam ingatan Ain, entah sampai kapan atau mungkin sampai ia tua kelak. 

“Ain, benang rajut itu mengingatkanku pada kebiasaan wanita tua.”

Ini

Masa Lalu II

0 0

-sarapan kata KMO Club Batch

-kelompok 9

-jumlah kata 400

 

 

Masa Lalu II

 

“Ain, benang rajut itu mengingatkanku pada kebiasaan wanita tua.”

 

Itulah kalimat yang keluar dari mulut Rayhan karena bermaksud untuk menyapanya setelah beberapa hari mereka tidak bertemu. Namun sial nasib Rayhan saat itu karena kalimat yang diucapkannya memantik api kemarahan Ain. Ia hanya diam tak menyahuti sapaan Rayhan. Hanya memutar pandangannya ke sudut lain koridor sekolah. Baginya, kalimat itu seperti ejekan kepada hobinya yang merupakan satu kenangan bersama ibunya. 

 

Bel berbunyi dan semua murid Madrasah Aliyah Al-Hikmah harus memasuki kelasnya maisng-masing. Di sana, di depan kelas XI IPS 1 Ain dan kedua temannya duduk mendengarkan pertanyaan temannya yang lain terkait dengan materi pelajaran ilmu Nahwu bab ‘amil nawasikh yang telah disampaikan Ain dan temannya pada presentasi tadi.

 

Tiba-tiba saja ia tergagap sendiri karena pandangannya bertemu dengan sepasang mata yang baru saja menggores luka di hatinya. Pandangan dari seseorang yang diam-diam selalu menjelma dalam tidurnya. Tidak hanya satu atau dua kali, melainkan berkali-kali. Ini pertanda bahwa Ain selalu memikirkannya di saat ia dalam keadaan terjaga. Sepasang mata itu tetap mengunci pergerakan Ain meski ia telah mengalihkannya ke sudut lain di dalam kelas.

 

Tatapan itu menyiratkan penyesalan yang hendak diungkapkan agar segera mendapat pengampunan darinya. Sungguh sesal begitu dalam menggelayut di hati Rayhan. Seusai bubarnya kelas, ia menghampiri Ain dengan langkah tergesa-gesa untuk segara mencapai langkah gadis di hadapannya. “Tunggu.” Satu kalimat lolos dari kerongkongannya namun gadis itu tak berniat untuk berhenti. Kemudia, pada kalimatnya yang kedua ia telah berhasil mencegah langkah gadis itu. 

 

“Aku minta maaf, Ain. Bukan maksudku untuk menyinggung perasaanmu. Aku hanya tidak tahu kalimat apa yang hendak aku ucapkan sebagai pembuka untuk mengawali pertemuan kita setelah beberapa hari tidak bertemu.” 

 

Sejenak Ain menatap Rayhan lalu mengangguk pertanda ia telah menerima permintaan maaf laki-laki itu. Lalu, Rayhan mengangsurkan secarik kertas yang dilipat menyerupai bentuk love. 

 

“Apa ini?” begitu ucap Ain yang menandakan kemarahannya telah hilang. “Bukan apa-apa. Tapi aku ingin kamu membukanya nanti setelah tiba di rumahmu.” Rayhan masih tetap dengan tangannya yang memegang secarik surat itu. “Tapi aku sedang malas untuk membaca, Han.” Mereka mulai berbicara melewati taman sekolah dan telah mencapai pintu gerbang sekolah. Jalan pulang mereka tidak satu arah dan dengan berat hati harus berpisah. 

 

Senja telah merangkak berubah menjadi petang. Ain harus melewati malam-malam tanpa kehadiran ibunya, hanya sosok ayahnya yang kadang pulang setelah beberapa bulan di perantauan. Namun malam ini dan seterusnya, ayahnya berjanji untuk bekerja mencari nafkah di daerah tempat tinggalnya saja. Mengingat Ain yang hanya sendiri di rumahnya. 

 

Masa Lalu III

0 0

-sarapan kata KMO Club Batch

-kelompok 9

-jumlah kata 410

 

Masa Lalu III

Malam itu, ditemani oleh riuh rinai hujan yang begitu berisik menjejali atap rumahnya, Ain menggenggam segulung kecil benang rajut di tangan kirinya serta kumpulan surat munjiyat di tangan kanannya. Keduanya menarik kembali ingatan di mana setiap malam Jum’at, Ain dan ibunya bersama-sama membaca surat munjiyat untuk dihadiahkan pahalanya kepada para pendahulunya. Begitu sesak dadanya, kala kenangan tentang kebersamaan mereka menari-nari di pelupuk matanya, bak film dokumenter yang ditayangkan berulang-ulang di bioskop. Ingatan Ain menerawang jauh hingga ia tersadar bahwa surat dari Rayhan masih belum ia baca. Dengan sedikit tergesa-gesa ia ambil surat itu. Perlahan ia buka, lalu ia baca. Air matanya perlahan mulai tak terkendalikan bersama sesak yang menyeruak bersama ingatan tentang Jum’at terakhir bersama ibunya. Ternyata, yang maha Agung masih berbelas kasih untuk menuntunnya melalui perantara sang ibu. Sembari memegang hakpen dan mulai mengaitkan benang untuk mengajarkan motif baru kepada Ain, ibunya berbisik, “Ain, ibu tahu kamu sedang jatuh cinta. Tapi lebih baik bila cinta itu direalisasikan dengan cara yang disenangi Allah.” 

 

“Seperti apa cara yang disenangi Allah, Bu?” Ibunya tersenyum sambil mengusap puncak kepala Ain. “Hindarilah yang namanya khalwat, Nak, meskipun dalam bentuk komunikasi dunia maya!” 

 

Masih dengan surat Rayhan di tangannya yang telah basah karena air mata yang telah melewati dagunya. Perlahan, ia baca bait terakhirnya. 

Maaf, jika ini berat bagimu. Tapi, anggap saja ini adalah perjuangan agar cinta kita diridhai oleh-Nya. Akupun sama sepertimu yang tak berdaya dengan perasaan ini. Pun demikian halnya dengan orang tuaku yang tidak mengizinkanku untuk menikah di usia muda. Maka jalan yang kurasa baik adalah memasrahkannya dalam do’a. Toh, bila berjodoh pasti akan bersatu.    

 Setelah matahari meninggi seukuran satu tombak, ia telah bersiap untuk pergi ke sekolah. Aktivitas yang mampu mengikis kesedihannya apalagi dengan semangat baru serta tekad bulat untuk menginsafi kesalahannya setelah semalaman iya merenung. Sebelum berangkat, Ain berpamitan kepada ayahnya. Biasanya, ia berpamitan kepada ibunya dan akan mendapatkan kalimat pengantar “hati-hati di jalan.” Kali ini, ayahnya menambahkan kalimat yang membuat hatinya remuk. “Tadi malam, ada seorang pria yang melamarmu. Dia anak teman ayah.” Ain hanya diam dan berangkat ke sekolah dengan perasaan kacau.

 

Di sekolah, Rayhan menghampirinya. Dengan ragu ia mengatakan, ”Sudah kau baca suratku yang kemarin kuberikan?” Ia hanya diam dan merogoh segulung kecil benang rajut lalu mengangsurkannya pada Rayhan. Lalu ia berkata, “Terimalah benang ini! Mungkin, suatu saat nanti benang ini akan menjadi sesuatu yang dirajut meski tidak seperti yang kita inginkan sekarang. Takdir Allah jauh lebih indah dari rencana manusia.”    

Keinginan Ibu

0 0

-sarapan kata KMO Club Batch

-kelompok 9

-jumlah kata 516

 

Keinginan Ibu

Bunyi kokok ayam menyelusup masuk memenuhi gendang telinga Ain. Memaksanya untuk segera membuka mata dan segera beranjak dari mimpinya karena malam telah berganti pagi. Saatnya beraktifitas kembali.

“Ain, kamu sudah bangun? Ayah pikir masih asyik sama Rayhan di dalam mimpi.”

“Astaghfirullah, ayah bikin aku malu aja.” Ujar Ain sambil menutup wajahnya dengan selimut untuk menyembunyikan semburat merah di wajahnya karena malu.

“Emang aku ngigau tadi malam?”

“Iya. Kamu sempat menyebut nama Rayhan tadi malam.” Pungkas ayahnya sambil menyibak selimut yang dipakainya. “Udah sana, cepetan mandi terus shalat subuh. Biar gak kesiangan berangkat ke terminalnya.”

“Iya, Ayah.”

Ain segera bergegas ke kamar mandi sementara ayahnya menunggu di ruang tamu sambil mengikat satu kardus kecil dengan tali rafia yang berisi beberapa bungkus makanan ringan untuk camilan dan setoples abon untuk tambahan lauk saat Ain makan.

“Jangan banyak-banyak isinya, Yah. Nanti aku berat bawanya.” Ucap Ain pada ayahnya lalu duduk di sampingnya.

“Gak akan berat, kok. Orang isinya Cuma sedikit. Kamu sih, dadakan ngasih tahu ayah yang mau berangkat ke Malang. Jadinya kan ayah belum ada uang.”

“Aku tahu kok, kalau kondisi ekonomi kita di bawah rata-rata. Makanya aku baru ngasih tahu kemarin.” Matanya sudah terlihat berkaca-kaca. Sebulum air matanya tumpah, reflek Ain memeluk ayahnya dan menyandarkan dagunya di bahu ayahnya. 

“Sudah, jangan nangis, Nak. Kita tidak boleh menyesali keadaan kita. Ini sudah takdir jalan hidup kita. Bersyukur kita masih punya rumah. Di luar sana masih banyak orang yang lebih tidak mampu dari pada kita. Mereka malah gak punya rumah. Terlunta-lunta di jalanan.” Ayahnya merangkulnya, menasihatinya. Berbicara dari hati ke hati, berusaha memberikan pemahaman. 

Salah satu momen langkah untuk keduanya karena sejak kecil Ain dekat dengan ibunya saja. Ia cenderung segan kepada ayahnya karena intensitas pertemuan mereka yang jarang. Ayahnya hanya pulang sesekali pada sat cuti dari pabrik tempatnya bekerja. 

“Sebenarnya aku malu peluk-peluk ayah seperti ini. Kita tidak dekat seperti ini dulu.”

Masih mengusap pundak Ain, ayahnya tersenyum memandangi foto mereka yang terpajang di dinding. “Ini juga jalan yang dikasih Allah supaya kita bisa dekat. Tidak hanya dengan ibu kamu tapi dengan ayah juga harus dekat.”

“Doakan aku Yah. Semoga aku betah di sana. Punya banyak teman yang baik sama aku.”

“Iya. Pasti itu. Sudah kewajiban orang tua mendoakan anaknya.”

“Terus, nanti kalau ada yang melamar aku lagi jangan diterima, Yah. Aku takut kuliahku gak sampai lulus. Biasanya kan kalau orang kampung pengen cepet-cepet nikahin anaknya.”

Ayahnya terkekeh mendengar permintaan Ain. Ia teringat dengan mendiang istrinya yang selalu menceritakan prestasi Ain di sekolah. “Mas, anak kita dapat peringkat satu lagi. Aku ingin nanti dia melanjutkan pendidikannya ke kota. Kuliah di kota. Biar pikirannya gak sempit kayak kita.”

“Assalamu’alaikum.”

Terdengar suara salam di balik pintu.

“Wa’alaikum salam.” Siapa, Yah, pagi-pagi udah bertamu?”

Ain melepas pelukannya dan beranjak membukakan pintu untuk orang yang bertamu sepagi ini.

“Wa’alaikum salam. Eh, Pak RT, cari ayah ya, Pak?”

“Iya. Ayahnya ada?”

“Ada, Pak. Mari, silakan masuk.”

Ain mempersilakan pak RT masuk. Ia pergi ke dapur untuk menyiapkan minuman. Sambil menakar gula dan kopi, ia bertanya-tanya dalam hatinya. Ada apakah gerangan pak RT bertamu sepagi ini?  

Tamu Itu Pak RT

0 0

-sarapan kata KMO Club Batch

-kelompok 9

-jumlah kata 574

 

Tamu Itu Pak RT

 

Samar-samar dari balik dinding Ain mencuri dengar pembicaraan antara ayahnya dan Pak RT. Ia menempelkan telinganya pada dinding pemisah antara ruang tamu dan dapur yang membentuk L. Ia berdiri satu meter dari pintu dapur dengan tangan kanannya memegang nampan yang berisi dua gelas kopi.

“Kalau saran saya, mending diterima saja, Pak Madi. Ini sudah yang ketujuh lho.”

“Kalau saya, Pak RT, bisa saja nerima lamarannya. Tapi, kan, nanti yang akan menjalani anak saya.”

“Iya betul. Tapi sampeyan kan bapaknya, apalagi dia masih gadis. Berarti keputusan ada di tangan sampeyan kan?”

Perbincangan keduanya terus berlanjut sedangkan Ain sudah gusar dalam hatinya. Ingin rasanya ia menyampaikan penolakannya kepada Pak RT saat itu juga dengan menyebutkan dalil dalam Al-Qur’an bahwa pendapat seorang anak juga diperlukan dalam musyawarah. Seperti kisah nabi Ibrahim dalam surat As-Shaffat ayat 102 yang bermimpi menyembelih putranya yaitu nabi Ismail. Lalu, nabi Ibrahim menanyakan pendapat puteranya tersebut dan nabi Ismail menyetujuinya.

Dari kisah tersebut dapat diambil sebuah pelajaran bahwa dalam memutuskan suatu persoalan yang berhubungan dengan anak yang sudah mampu berpikir dan diajak bermusyawarah maka juga perlu mendengarkan pendapatnya. Sebab hal ini akan menjadi pelajaran kepada anak kelak untuk bertindak sebagai orang tua yang bijaksana.

“Ain, tolong buatkan minuman untuk pak RT, Nak!”

Ain terkesiap mendengar suara ayahnya. Untung saja nampan di tangannya tidak jatuh. “Iya, Yah. Ini sudah siap.”

Ia berjalan dengan hati-hati dan menyerahkan nampan tersebut kepada ayahnya. Setelah itu, ia membawa kembali nampannya ke dapur.

“Silakan, kopinya, Pak RT.” Terdengar ayahnya mempersilakan kepada Pak RT.

Ain masih diam di balik dinding di depan pintu dapurnya. Ia masih penasaran dengan jawaban ayahnya karena Pak RT dari tadi masih keukeuh membujuk.

“Begini saja, Pak RT. Saya akan mencoba berbicara dengan Ain pelan-pelan. Saya akan bujuk dia. Mungkin lamaran kali ini bisa dia pertimbangkan. Nanti keputusannya akan saya samapaikan langsung ke rumah sampeyan, Pak RT.”

“Baiklah, Pak Madi. Saya harap keputusannya nanti ttidak mengecewakan, ya Pak.”

“Insyaallah yang terbaik, Pak RT.”

“Oh iya, ini kok ada kardus diikat, mau ke mana, Pak Madi?”

“Ini punya Ain, Pak RT. Hari ini mau ke kota. Mau daftar kuliah di sana.” Jawab Pak Madi dengan senyum canggung karena pasti akan mendapat komentar kurang baik.

Begitulah pemikiran tetangganya yang hanya mencukupkan pendidikan anak perempuan di tingkat Aliyah. Itupun sudah dianggap paling tinggi. Karena kebanyakan dari mereka hanya lulusan Madrasah Tsanawiyah bahkan hanya lulusan MI atau sekolah dasar. Bagi mereka, tugas perempuan hanya di kasur, sumur, dan dapur. Jika ingin kehidupan yang lebih baik dari segi ekonomi, mereka tidak perlu pusing-pusing, cukup merantau ke Jakarta, Kalimantan, atau ke Bali bersama suaminya kelak untuk menjaga warung sembako milik tetangga yang kaya.

“Hati-hati, Pak Madi. Biasanya kalau anak sudah kulia kebanyakan jadi pembangkang. Tidak nurut apa kata orang tua.”

“Doakan saja, Pak RT. Semoga anak saya tidak seperti itu.”

“Memangnya sampeyan ada biaya buat nguliahin anaknya ke kota? Di sana kan mahal biasanya biayanya, apalagi biaya hidupnya.” Ujar Pak RT dengan nada sinis.

“Alhamdulillah, Ain dapat beasiswa katanya, Pak.”

“Oh….beasiswanya penuh? Meskipun beasiswa penuh, memang ada buat biaya hidupnya sehari-hari?” Tanya pak RT penasaran.

“Insyaallah semoga dimudahkan sama Allah, Pak.” Sengaja pak Madi memberikan jawaban yang tidak mengundang pertanyaan lagi.

“Baiklah. Saya tunggu jawabannya besok ya, Pak. Permisi.”

“Iya, Pak. Silakan.”

Pak Madi mengantar pak RT sampai depan pintu lalu kembali ke ruang tamu. Di sana sudah ada Ain yang duduk di kursi yang ditempati oleh Pak RT tadi.

“Apa jawaban ayah?”      

 

 

Terminal

0 0

-sarapan kata KMO Club Batch

-kelompok 9

-jumlah kata 583

Terminal

“Sudah, jangan pikirkan tentang lamaran itu. Pokoknya hari ini Ayah akan antar kamu ke terminal.” Ayahnya berlalu menuju kamarnya. Sementara itu, di satu sisi Ain masih penasaran dengan keputusan ayahnya. Namun di sisi lain, ia merasa senang karena hari ini akan berangkat ke Jakarta. 

Ia membayangkan gedung-gedung yang bertingkat, teman-teman baru yang akan ia jumpai dan pengalaman baru yang akan didapat. Ia menaruh harapan besar kelak ketika pulang ke kampung halamannya—tempat ia dilahirkan dan dibesarkan—setidaknya bisa menjadi inspirasi bagi tetangganya sehingga mereka sadar betapa pentingnya pendidikan dan ilmu pengetahuan.

Bukan hanya laki-laki yang berhak bercita-cita setinggi langit, perempuan juga harus demikian. Untuk meraih itu, tidak cukup hanya dengan mengandalkan warisan orang tua. Butuh ilmu. Apalagi zaman sekarang, semuanya serba ijazah. Kemampuan yang tidak disertai dengan ijazah sekolah seperti halnya penduduk yang tidak memiliki KTP. Identitasnya diragukan.

“Ain, kok masih melamun? Ayo siap-siap. Katanya busnya mau berangkat pukul delapan?” Ayahnya menyentuh pundaknya, membuyarkan lamunannnya sejak tadi.

“Iya, Yah. Ini masih setengah tujuh. Lagian ada-ada aja Pak RT itu. Pakek acara bertamu pagi-pagi buta.” Suaranya terdengar bersungut-sungut. Tampak jelas dari raut wajahnya yang tidak suka dengan kedatangan Pak RT tadi.

“Aku sip-siap dulu, Yah.”

“Iya. Jangan sampai ada barang yang ketinggalan. Periksa lagi dengan teliti.” Ujar ayahnya dengan suara yang agak keras karena Ain sudah memasuki kamarnya.

Hari masih pagi saat dua orang ayah dan anak itu berangkat menuju terminal dengan mengendarai motor butut Honda Astrea tahun Sembilan puluhan. Sesekali mereka mereka menyapa tetangga yang berpapasan di jalan dengan sedikit basa-basi. Menanyakan hendak pergi ke mana. Karena sebenarnya kabar tentang Ain yang akan kuliah di Jakarta sudah menyebar luas karena imformasi dari Pak RT. Begitulah kecepatan informasi beredar di kampung. Menyebar dari mulut ke mulut.

“Semoga sampai lulus si Ain, Pak Madi.”

“Iya. Amin. Terimaksih doanya, Bu.”

“Meskipun nantinya juga balik ke dapur.” Ujar salah satu perempuan yang menggendong anaknya. Jika ditaksir usianya hampir memasuki kepala empat.

Pak Madi tetap tersenyum ramah menanggapi sapaan tetangganya yang sebenarnya adalah sindiran kepadanya. Keduanya melanjutkan perjalanan dengan laju motor yang tidak seberapa. Maklum, kendaraannya sudah tua.

“Punya tetangga, kok gitu amat sih kita? Bukannya saling mendukung, malah ngejatuhin mental. Kapan mereka akan sadar kalau pendidikan itu, tuh penting? Iya, kan, yah?”

Pak Madi hanya tersenyum. “Kata Imam Syafi’I, kalau kita berdebat dengan orang yang tidak memiliki ilmu, kita akan kalah. Kalau gak salah, sih seperti itu kata Pak Ustad di pengajian mingguan.”

“Iya. Mereka tuh pada ngeyel kalau diceritain pentingnya pendidikan.”

“Bukan ngeyel, Ain, tapi mereka masih belum paham.”

Ain terkekeh mendengar jawaban ayahnya. Iya teringat perdebatan dengan salah satu tetangganya yang berujung pada makian dan sumpah serapah yang dilontarkan kepadanya. 

Sebagai anak muda seperti dirinya yang memiliki semangat menggebu-gebu dan idealisme yang tinggi masih belum bisa menempatkan diri. Menyesuaikan diri dengan lawan bicara agar mampu menarik simpati dan pendapatnya diterima. Kebanyakan, jiwa-jiwa muda terlalu mengedepankan ego dan mengabaikan fakta bahwa lawan bicaranya adalah orang tua yang sudah kenyang dengan asam garam kehidupan.  

Tanpa terasa, mereka telah menempuh perjalanan sejauh limabelas kilometer dari rumah mereka. Artinya sebentar lagi mereka akan tiba di terminal bus Sumenep.

“Teman kamu sudah dihubungi? Katanya dia juga mau berangkat sekarang?”

“Tadi malam udah kirim pesan. Katanya setengah delapan pasti udah nyampe di sana, Yah. Mungkin sudah nyampe sekarang.”

“Oh. Ya sudah kalau begitu. Nanti ayah mau nitip kamu.”

Lalu lalang kendaraan di terminal mewarnai penglihatan Ain. Sekitar tiga puluh menit mereka tida di sana. Ain turun dari motor ayahnya dan tak lupa mengambil kardus dari tangan ayahnya.

“Hai, Ain!”

Rayhan.

Pertemuan

0 0

-sarapan kata KMO Club Batch

-kelompok 9

-jumlah kata 549

Pertemuan  

“Hai, Ain!”

Rayhan.

Ain terkejut karena yang ada di hadapannya saat ini adalah Rayhan. Cinta pertamanya. “Eh, Rayhan? Kok kamu ada di sini?” Lidahnya kelu, seolah tidak dapat berkata-kata. Gejolak di hatinya sudah tak terdefinisikan.

Alih-alih menjawab pertanyaannya, Rayhan malah mencium tangan ayahnya. Detik-detik menunggu keberangkatan bus diisi dengan obrolan seputar kondisi pergaulan di Jakarta. Sebagai orang yang berpengalaman tinggal di sana, Rayhan menceritakan pengalamannya kepada Ayah Ain.

Sementara itu, Ain mencoba menghubungi Sofia, teman satu sekolahnya yang juga akan kuliah di Jakarta tapi bukan beasiswa. Dari arah utara terlihat Sofia melambaikan tangan. “Ain. Hei, tunggu aku di situ.” Sofia mendekat dengan langkah besar-besar. Tangan kirinya menenteng plastic putih yang berisi camilan dan air mineral botol. Sedang di tangan kanannya memegang ponsel keluaran terbaru dengan logo apel. Cukup terlihat bahwa ia dari kalangan berada.

“Ain, aku beli snack buat camilan selama perjalanan nanti. Biar gak ngantuk.” Senyum sumringah tampak menghiasi wajah Sofia dengan mengangkat plastic putih yang ia bawa untuk diperlihatkan kepada Ain. Mereka mulai asyik ngobrol banyak hal.

“Ain, ternyata Rayhan ini teman sekelas kamu ya?” Pak Madi mengintrupsi obrolan keduanya. “Ayah sudah titip kamu ke Rayhan.”

“Ayah gak usah khawatir. Ada Sofia temanku ini.” Ujar Ain sambil menggandeng Sofia. Sejujurnya, ia merasa akward bertemu dengan Rayhan hari ini karena mengingat perasaan mereka dulu ketika di bangku Aliyah.  

“Iya. Tapi, kan lebih afdhal kalau dititipkan ke banyak orang. Biar tenang gitu hati ayah.”

“Insyaallah Ain baik-baik saja, Om. Apalagi kita bertiga sepertinya akan ambil jurusan yang sama.” Ucap Rayhan berusaha menenangkan Pak Madi. Ia mengerti kekhawatiran yang dirasakan orang tua untuk melepas anak perempuannya. Terlebih mereka berasal dari kampung yang masih kurang terbuka wawasannya terhadap dunia luar.

“Ya sudah, salim dulu.” Pak Madi menyodorkan tangannya kepada Ain yang sejak tadi membisu. Ain pun mencium tangan ayahnya dan memeluk erat ayahnya. Lagi-lagi ia teringat almarhumah ibunya yang selalu membanggakan dirinya kepada ayahnya ketika bercerita di telepon. Air matanya menetes satu persatu. Buru-buru ia menghapusnya agar tidak terlihat oleh ayahnya dan hanya akan menjadi beban pikiran.

“Sudah sana naik. Tunggu apa lagi? Apa gak jadi berangkatnya?” Ucap Pak Madi disertai dengan kekehan untuk menghibur Ain agar tidak sedih.

“Titip Ain ya, Sofia, Rayhan.” 

“Siap, Om.” Jawab keduanya bersamaan.

Ain dan Sofia duduk berdampingan di depan kursi Rayhan. Sesuai jannjinya untuk tidak tidur selama di perjalanan, Sofia membuka plastic putih yang berisi camilan. Ia menyodorkan kepada Ain. “Kalau aku, setiap kali naik bus pasti mulut gak bisa diam. Pengennya makan terus, Ain.” Sofia memulai obrolan untuk mengalihkan pikiran Ain dari orang tuanya, terlebih almarhumah ibunya.

“Memangnya kamu udah berapa kali naik bus ke Jakarta?” Tanya Ain pada Sofia yang terlihat sedang membuka chatroom WA.

“Kalau dulu, waktu masih kecil aku tiap tahun ke Jakarta. Ke rumah sepupu ibuku. Kamu sendiri, baru sekarang ya, ke Jakarta, Ain?”

“Iya. Makanya ayahku khawatir banget.”

“Maklum lah, anak semata wayang. Perempuan lagi.” Sofia masih menatap layar ponselnya. 

“Sof, kamu chattingan sama siapa, sih dari tadi?” Akhirnya Ain menyuarakan isi pikirannya sejak tadi. Ia sendiri tidak bermaksud mengintip karena menghargai privasi temannya.

“Mau tau aja apa mau tau banget?” Sofia tersenyum dan menelungkupkan layar ponselnya ke pangkuannya. 

“Ih, mau bikin aku penasaran, ya?” 

Lalu Sofia mendekatkan wajahnya ke telinga Ain dan berbisik, “Sama tunanganku.”

“Siapa?” Tanya Ain tambah penasaran. Masih dengan berbisik, Sofia berkata, “Rayhan.”

Mungkin saja kamu suka

Diah Astri Seti...
Mentari
Silmi Irhas Abd...
Teman Dunia Akhirat
KUN NURUL AZIZA...
ISTIKHARAH BIL QUR'AN

Home

Baca Yuk

Tulis

Beli Yuk

Profil