Loading
31

1

4

Genre : Teenlite
Penulis : Desbinta Fitria
Bab : 31
Pembaca : 2
Nama : Desbinta Fitria
Buku : 1

Geraldan Bintang

Sinopsis

.
Tags :
#lovestory #teenlit

Kesesakan itu, Geraldan

1 0

- Sarapan Kata KMO Club Batch 38

- Kelompok 6 Dawai Aksara

- Jumlah Kata : 432

- PR

 

Semua kesesakan ini bermula dari dia, sang lelaki manis pencipta luka. Namanya, Geraldan Arthur Pranaja, lelaki manis yang sudah hampir empat tahun aku cintai dalam diam, ikhlas karena Allah taala.

Lelaki tampan, berkulit sedikit gelap yang menambah kadar gula pada wajah manisnya. Lelaki yang selalu menjadi penyemangatku, lelaki yang selalu kuselipkan namanya di bait-bait doaku, serta lelaki yang menjadi alasanku bahagia, sekaligus terluka pula.

Aku tidak pernah mengerti, bagaimana rasa ini perlahan-lahan tumbuh di dalam hati. Awalnya ini hanya sebuah perasaan biasa dari keterbiasaan. Aku hanya sebatas kagum padanya. Namun, semuanya berubah, perlahan tapi pasti rasa kagum itu membawaku berjalan lebih jauh untuk belajar mencintainya dengan ikhlas.

Ikhlas menerima apa pun yang akan terjadi kedepannya. Aku tidak pernah berharap lebih, apalagi menuntut untuk dibalas. Setidaknya aku bahagia, hanya dapat melihat wajah tampan dengan perawakan sangar miliknya, mendengar suara berat khasnya, ataupun menikmati senyum manisnya di penghujung hari. Aku sudah bahagia, sangat bahagia.

“Tampan sekali kamu, Geraldan,” lirihku. 

Jemariku tergerak mengusap lembut foto Geraldan yang baru saja aku cetak di tempat fotokopi langgananku. Aku menarik bibir ranum milikku hingga ke sudut, membentuknya hingga menyerupai bulan sabit. Hatiku berdebar seketika, mengingat sosok yang menjadi alasanku tersenyum saat ini.

Melihat aku yang tersenyum-senyum sendiri, ibu fotokopi itu menggodaku. Beliau berkata, ”Pacarnya, ya, neng, cakep.”

Aku sontak terkejut, kemudian terkekeh kecil untuk menutupi segala kegugupanku. Sebelum akhirnya aku berkata, “Saya hanya mencintainya dalam diam dan ikhlas karena Allah, Bu.”

“MasyaAllah Neng, Ibu doakan semoga Allah memberi restu atas cinta dengan ikhlas ini,” ujar Bu Rahma. Wanita berhijab itu terlihat benar-benar tulus mendoakanku. “Semoga kelak dia menjadi jodoh Neng, ya, aamiin.”

“Aamiin, Bu, semoga Allah berkehendak atas keikhlasan hati saya dalam mencintainya.”

Aku merogoh saku, mengeluarkan selembar uang berwarna biru untuk membayar hasil cetakan foto tadi pada Bu Rahma, kemudian segera pulang karena hari sudah beranjak petang.

Di tengah-tengah perjalanan, aku tidak sengaja menabrak seseorang yang ternyata lelaki impianku. Geraldan menatapku dalam, sebelum lelaki itu membantuku mengambil tumpukan buku yang berserakan di tanah.

“M-maaf ya, Geraldan,” ujarku pelan, tetapi terdengar sedikit bergetar.

Geraldan mengangguk sopan, lelaki itu menyodorkan buku milikku, lalu berujar lembut, “Tidak masalah, Bintang, tetapi lain kali hati-hati ya.”

Entah ini sebuah kebetulan, atau memang sudah takdir Allah, Yang jelas aku bahagia, karena lagi-lagi aku dapat melihat wajah tampannya di penghujung hari. 

Aku belum tahu akhir dari kisahku ini, yang jelas aku sedang belajar ikhlas, menjalani semua yang sudah ditakdirkan. Kuasa hanya ada di tangan Allah, lantas aku bisa apa selain berserah. Dalam doa kuikrarkan namamu dengan jelas, kucintai dengan ikhlas dan aku mintai dengan sungguh-sungguh, agar aku pantas untukmu dan kamu pun layak untukku.

Belajar arti ikhlas

1 0

- Sarapan Kata KMO Club Batch 38

- Kelompok 6 Dawai Aksara

- Jumlah Kata : 596

Natabastala pagi terlihat lebih cerah hari ini, kicauan burung-burung kecil terdengar begitu merdu. Aku sudah bangun sejak subuh untuk menjalankan rutinitas wajib sebagai umat Islam yang beriman. Sekarang aku sedang menatap pantulan diri di depan cermin besar kesayanganku. Tanpa di perintah bibirku terkembang hingga ke sudut, menampilkan senyuman manis yang membuat wajahku terlihat begitu cantik sekarang.

Aku tidak sedang berdusta, lihatlah betapa cantiknya parasku saat ini. Kulit putih bersih dengan hidung mancung, juga mata berwarna sedikit kecokelatan. Wajah cantik yang aku peroleh dari Ibu yang merupakan gadis asli tanah sunda, dicampur dengan wajah Ayah yang merupakan keturunan Arab.

Aku sangat bersyukur kepada Allah, karena dilahirkan di tengah-tengah keluarga sederhana ini. Sepasang kekasih yang selalu memberikan seluruh cinta dan kasih sayangnya kepadaku. Walaupun terkadang, anak gadis tunggal mereka ini begitu manja dan menyusahkan, dua manusia itu selalu sabar menghadapiku.

Namanya Abhizar, sang pahlawan di keluarga kecil kami. Ayah terkuat dan terhebat yang aku miliki di dunia ini. Ayah yang menjadi cinta pertama untuk gadis kecilnya, juga Ayah yang selalu mengajarkan semua hal, termasuk tentang mencintai dengan ikhlas.

Selain ayah, ada seorang sosok ibu yang sangat amat berarti dalam hidupku. Bidadari tidak bersayap yang begitu sabar merawatku, Namanya Ranayla Khalistha. Aku tidak bisa mendeskripsikan sosok wanita cantik nan hebat ini dalam kata-kata. Karena bagiku, ibu adalah harta yang paling berharga yang aku miliki.

“Assalamualaikum, anak cantik, Ibu,” ujar Ibu. Kedatangannya yang tiba-tiba membuatku sedikit terperanjat. 

Aku menyunggingkan senyum kecil, lantas menjawab salamnya, “Waalaikumsalam, ibundaku sayang.”

“Hayo, kamu kenapa senyam-senyum begitu. Mikirin apa kamu, hm?” tanya Ibu dengan nada menggoda. “Jangan-jangan mikirin lelaki itu ya. Siapa itu, Geraldan bukan?” tanya Ibu lagi.

Aku tersipu malu, ternyata tertangkap basah sedang senyum-senyum di depan cermin membuatku merasa malu dan uring-uringan seperti ini. Terlebih lagi tebakan yang baru saja dilontarkan Ibu benar adanya.

“Ih Ibu mah, senang sekali menggodaku,” ujarku dengan nada lemah. Aku menunduk sambil menautkan jemariku.

Ibu tersenyum lebar, kemudian mengusap puncak kepalaku yang dibalut dengan jilbab berwarna putih. Lalu beliau berujar, “Ibu tidak pernah melarangmu untuk mencintai seseorang, Sayang. Tetapi ingat, mencintai makhluk Allah harus ikhlas karena Allah taala.”

“Jadi aku boleh mencintai Geraldan, Bu?” tanyaku dengan nada pelan, bahkan terkesan seperti berbisik.

Ibu mengangguk mengiyakan, sembari mengelus lembut kepalaku, beliau berkata, “Sayang, sini dengerin Ibu, dulu Ibu juga seperti kamu. Hanya sebatas mencintai dalam diam, memendam perasaan dan tidak berani sedikit pun berbicara pada ayahmu.”

“Eits, tetapi Ibu mencintainya tulus dan ikhlas karena Allah taala, maka dari itu sebagai hadiah dari kesabaran hati Ibu, Allah memberikan makhluk tampan seperti ayahmu.” 

“Hayo, siapa yang tampan, hm?” tanya Ayah tiba-tiba, lelaki tampan dengan balutan jas berwarna hitam itu memasuki kamar tidur dengan nuansa berwarna merah muda. Aku tidak menyukai warna merah muda, tetapi entah mengapa berada di kamar ini membuatku benar-benar nyaman. “Suamiku lah,” jawab Ibu, sambil mencubit gemas hidung mancung milik Ayah.

Aku terkekeh geli, kadar kebucinnya Ayah dan Ibu sudah begitu akut. Sampai-sampai aku dibuat iri dengan keuwuan mereka. Coba bayangkan dulu, di kehidupan masa depan aku dan Geraldan di takdirkan untuk bersama. Menjalin cinta kasih seperti Ayah dan Ibu. Hidup bersama, saling mencinta dan, ahh sudah kupastikan akan bahagia sekali.

“Heh, anak cantiknya Ayah! Sampai kapan kamu mau senyam-senyum sendiri, mau terlambat sekolah apa?” 

Aku tersentak begitu mendengar perkataan Ayah. Aku refleks mengangkat kepala, menatap sepasang kekasih yang sedang menatapku dengan tatapan geli. Ternyata aku sempat mengacuhkan kedua orang tuaku karena berkelana pada dunia angan, dan tentunya mengikutsertakan Geraldan di dalamnya. 

Untuk menghilangkan kegugupanku, aku melirik jam tangan sekilas. “Ah iya, Ayah ayo berangkat nanti terlambat,” pekikku, aku segera berlari keluar dari kamar untuk meredakan rasa malu.

Terkuaknya sebongkah rasa

1 0

- Sarapan Kata KMO Club Batch 38

- Kelompok 6 Dawai Aksara

- Jumlah Kata 648

Setelah melewati perjalanan yang lumayan panjang, akhirnya aku sudah sampai di depan sekolah yang mempertemukanku dengan sosok lelaki tampan yang sedang menghuni hatiku. Bangunan bertingkat tiga, berwarna oranye-cokelat yang mungkin akan menjadi saksi atas cinta dalam diamku.

Ah, aku hampir saja lupa. 

Baiklah, sekarang waktunya perkenalan dengan gadis cantik yang begitu menyukai gelapnya malam, aroma tanah selepas hujan, dan juga rasa kopi yang membuat ketagihan. Namaku Arayla Bintang Khalistha, nama yang begitu indah seperti orangnya.

Ayah dan Ibu memang sengaja mencantumkan nama Khalistha seperti nama belakang Ibu, agar aku tumbuh menjadi pribadi yang peduli dengan sesama. Nama tengahku diambil karena saat tengah mengandung Ibu sangat menyukai benda berkelip itu. Jikalau nama Arayla sendiri merupakan gabungan dari nama kedua orang tuaku. 

Aku lebih sering dipanggil Bintang oleh teman-teman sekolah, karena nama itu begitu mencerminkan kepribadianku. Akan tetapi aku akan merasa lebih teristimewakan ketika ada seseorang yang memanggilku dengan nama Arayla atau bahkan Ay. Iya, sesingkat itu namun sangat begitu berarti dalam kehidupanku.

“Assalamualaikum, Arayla,” sapa seseorang. Suara berat khasnya begitu kukenali. Aku membalikkan tubuh, mendapati Geraldan yang berdiri di belakangku dengan senyuman yang begitu membuatku kecanduan.

“Wa-alaikumsalam,” jawabku sedikit terbata. Entah mengapa ketika berhadapan langsung dengan Geraldan, dengan jarak sedekat ini membuat nyaliku menciut seketika.

“Maaf aku mengagetkanmu, ya?” tanya Geraldan, suaranya benar-benar terdengar penuh penyesalan. Ah, terlalu berlebihan sepertinya perasaanku ini, sehingga mengira dirinya merasa menyesal telah mengagetkanku. Namun, aku tidak berdusta wajah tampan Geraldan terlihat sedikit khawatir dan tidak enak hati.

Aku hanya menggeleng sebagai jawaban, sungguh untuk bertutur kata di hadapannya saja aku tidak mampu. Apalagi jikalau mengakui perasaan yang sudah kupendam sejak lama ini. Takut-takut jika Geraldan menyadari perasaanku.

“Ini milikmu bukan, Ay?” tanya Geraldan, lelaki itu menyodorkan buku diary berwarna cream yang begitu kukenali. Diary itu merupakan pemberian Ayah pada saat aku menginjak umur tujuh belas tahun.

Aku membulatkan mata lebar-lebar, tak percaya dengan pemandangan di depanku. “Astaghfirullah, mengapa diary ini bisa ada pada Geraldan. Dan sebentar apa tadi katanya, “Ay”? Apa jangan-jangan Geraldan sudah membacanya?” batinku. 

Lelaki tampan itu menatapku dalam, kemudian menunduk lemah sembari menautkan jemarinya. Setelah itu Geraldan membuka suara dengan nada lemah, “Maaf, Arayla.” 

“Maaf karena aku sudah lancang membuka dan membacanya, Ay.” Aku tergeming di tempat, tidak sedikit pun dapat bergerak. Pasokan udara di sekitar mendadak menipis dan membuatku kesulitan untuk bernapas. Jadi, Geraldan sudah membacanya?

Membaca puisi dan rangkaian kata yang kutulis untuknya. Cerita tentang hari-hari yang kulalui ketika mencintainya dalam diam dan ikhlas karena Allah, bahkan di beberapa lembar buku itu tak sengaja kuselip namanya. Membayangkannya saja, membuat aku panik. 

Air wajahku berubah seketika, mataku juga berkaca-kaca menahan bulir air bening yang kapan pun bisa meluruh membasahi pipi. Aku benar-benar takut saat ini, takut bayangan mengerikan yang selalu hinggap di benakku kini akan menjadi kenyataan. Jujur, aku belum siap untuk bermain lebih dalam dengan luka dan sakit hati. Aku terlalu lemah untuk itu.

“Terima kasih karena sudah mencintaiku dengan tulus dan sabar. Akan tetapi, maaf, Ay, aku belum bisa membalas perasaanmu.”

Deg!

Aku tersentak dibuatnya, perkataan Geraldan benar-benar membuatku terdiam. Jantungku seakan tak mampu untuk berdetak saat itu. Bagai ditikam sebilah pisau, sakit dan menyesakkan.

“Aku sudah tahu semuanya, tetapi aku tidak ingin kita terjerumus ke dalam lubang zina, Ay. Aku juga tidak mau cintamu menjadi ladang dosa bagi kita pada akhirnya.”

“Ger-“ Aku tidak sanggup melanjutkan ucapanku. Bibirku kelu, tidak dapat berkata apa pun lagi. Menyakitkan memang harus berada di keadaan seperti ini, skenario mengerikan ini sudah ada di depan mataku. 

Lelaki tampan itu tersenyum manis kearahku, wajah rupawannya masih terlihat begitu tenang. “Ay, sekali lagi terima kasih telah mencintaiku. Aku harap kamu tidak melupakanku, atau bahkan membenciku."

“Tunggu aku ya, Arayla Bintang Khalistha,” ujar Geraldan, nada suaranya terdengar serius tetapi terkesan begitu lembut. 

Sejujurnya aku tidak mengerti apa yang di maksud lelaki manis itu. Namun, segera kuputar otak, berpikir keras untuk memahami ucapannya. Ah benarkah, atau cuma persepsiku saja. Geraldan sedang memintaku untuk menunggunya, bukan?

Antara pergi dan datang

1 0

- Sarapan Kata KMO Club Batch 38

- Kelompok 6 Dawai Aksara

- Jumlah Kata 494

Lamunanku berkelana begitu jauh, sehingga mengabaikan kehadiran sosok lelaki tampan yang tengah menatapku heran. Mungkin Geraldan menyadari keterdiamanku atau mungkin lelaki itu jengah menungguku selesai berkhayal. Maka dari itu Geraldan sedikit menaikkan oktaf suaranya ketika memanggilku. “Arayla!”

Aku sontak gelagapan sendiri, menjawab panggilan Geraldan dengan suara tercekat, “I-iya?”

Geraldan tersenyum manis, sebelum akhirnya membuka suara, “Jangan telalu dipikirkan ya, Ay. Terlebih aku yang sudah mengetahui perasaanmu, kita akan tetap berteman seperti ini.”

Jantungku berdetak kencang melebihi lagu apapun di dunia ini. Aku tidak berdusta, seolah gugup, gembira, dan takut bercampur menjadi satu. Geraldan benar-benar membuatku hilang kendali.

“Kalau begitu, Aku pamit dulu ya, Assalamualaikum, Arayla,” ujar Geraldan dengan begitu lembut. Suara lembut itu dengan tidak sopannya masuk ke indera pendengaranku, kemudian menguasai pikiran dan menatap di hatiku. Ah Geraldan, kamu sungguh candu bagiku. 

Aku menatap kepergian lelaki tampan itu, kemudian tersenyum manis setelah mengetahui maksud dari perkataan Geraldan. Aku bahagia saat ini, tidak seperti tadi yang panik ketika Geraldan mengetahui perasaanku. Bukannya tugasku sekarang adalah mencintainya dengan tulus dan ikhlas karena Allah, juga menunggunya dengan sabar, bukan?

“Sampai jumpa di hari terbaik menurut takdir, Geraldan Arthur Pranaja,” batinku.

***

Setelah kata-kata Geraldan semalam, aku dibuat begitu terbawa perasaan. Aku berfikir bahwa Geraldan akan memperjuangkan cintaku, setelahnya membalasnya dengan cinta yang lebih besar. Pagi ini seperti biasa, rutinitasku yang menikmati sejuknya udara taman belakang sekolah, sembari melamunkan lelaki tampan itu.

Entah sudah berapa lama aku berkhayal di dunia antah-berantah yang mengikutsertakan Geraldan didalamnya, aku tersadar karena bunyi nyaring bel pertanda masuk kelas.

“Astaghfirullah, sampai sudah bel,” lirihku panik.

Aku bergegas melangkahkan kaki menuju ruang kelas yang berada di lantai paling atas dari bangunan bertingkat tiga itu. Aku sempat melirik ke arah kelas Geraldan yang berada tepat di seberang kelasku. Entah mengapa hatiku begitu bahagia sekarang, bagai berterbangan ribuan kupu-kupu di dalamnya.

Mataku sibuk mencari sosok yang kerap kali duduk di bangku koridor sekolah, sembari membaca buku bacaan ataupun pelajaran. Akan tetapi, entah mengapa tidak kutemui sosok lelaki impianku itu. Selain bertanya-tanya, timbul rasa heran juga khawatir yang menghantui benak dan hatiku.

“Mengapa Geraldan tidak kelihatan sedari tadi ya?” tanyaku dalam hati.

Aku berjalan sambil terus melamunkan Geraldan, sehingga dengan tidak sengajanya menabrak seseorang. Kudengar suara rintihannya ketika terduduk di lantai. “Awhh.”

Aku spontan menunduk hendak membantunya berdiri, namun ternyata seseorang yang kutabrak merupakan teman lelakiku yang kebetulan berada di kelas sebelah. Aku mengurungkan niat untuk membantunya, menarik kembali tanganku yang semula hendak membantunya berdiri.

Setelah itu aku melihatnya yang tampak sedikit kesal, lelaki berambut sedikit keriting itu menatapku tidak suka, kemudian bertanya ketus, “Kenapa tidak jadi menolongku?!”

Aku menunduk lemah, kemudian membuka suara, “Maaf, bukan aku tidak berniat membantumu, tetapi kita bukan muhrim dan tidak boleh bersentuhan.”

“Kamu bisa bangun sendiri bukan?” tanyaku kemudian.

Lelaki berambut ikal seperti awan berarak itu menggerutu kesal, tetapi mau tidak mau ia harus berdiri. Lelaki itu sempat menatapku tajam dan dalam, sebelum akhirnya berlalu pergi meninggalkanku yang masih diselimuti rasa bersalah.

“Maaf!” pekikku pada sosok yang kian menjauh dariku.

Tentang Geraldan dan masa lalunya

1 0

- Sarapan Kata KMO Club Batch 38

- Kelompok 6 Dawai Aksara

- Jumlah Kata 550

Lelaki itu sempat berbalik, kemudian menyipitkan matanya menatapku begitu tajam. Tangannya tergerak menunjuk kearahku, sebelum akhirnya dia berbicara ketus, “Tidak, tidak akan ada kata maaf untukmu!”

Punggung lelaki itu kian menjauh, aku hanya bisa menatap nanar kepergiannya. Aku merasa sangat bersalah karena membuatnya kesal, namun bukannya tindakanku sudah benar? kulangkahkan kaki kembali, berjalan cepat menuju kelas ketika retina mataku menatap sosok guru berkacamata yang menenteng beberapa buku sudah lebih dulu memasuki ruangan itu. 

“Assalamualaikum, Bu,” sapaku pada Bu Arumi, guru bidang studi Bahasa Indonesia. 

Wanita berhijab yang masih terlihat cantik itu tersenyum ramah. “Waalaikumsalam, Bintang, silakan masuk cepat,” jawabnya begitu lembut dan ramah.

Aku mengakui kebaikan hatinya, buktinya saja aku yang terlambat masuki kelasnya dia tidak memarahi atau pun menegurku. Jikalau saja hari ini aku berhadapan dengan guru Matematika atau Bahasa Inggris mungkin aku sudah bergelut dengan tumpukan buku di perpustakaan sekolah. Karena tidak ingin memperlambat waktu aku segera menuju tempat dudukku yang bersebelahan dengan Freya. Gadis cantik bernama lengkap Freya Ratu Andini itu terkenal sedikit lebih cuek dan tomboy. Akan tetapi jauh dari itu semua, Freya adalah salah satu teman terbaikku semasa sekolah menengah atas ini.

“Aryo, silakan disiapkan kelasnya, dan pimpin doa ya,” perintah Bu Arumi pada Aryo, teman sekaligus ketua di kelasku.

Setelah merapalakan doa sesuai agama dan kepercayaan masing-masing, buat Arumi memulai pembelajaran. Aku mengamati dengan saksama penjelasan materi yang disampaikan oleh Bu Arumi. Tidak lama kemudian fokusku buyar, sebuah bola kertas mendarat tepat mejaku. Aku menatap sekeliling, mencari-cari siapa pelaku ini.

Aku mendapatinya, orang yang tengah menyeyengir kuda sembari menampilkan sederet gigi putihnya. Gadis cantik berhijab dengan pipi berwarna merah jambu yang begitu merona itu melambaikan tangan kepadaku. Aku mengerti bahasa mulutnya yang menyatakan jikalau bola kertas itu berasal darinya.

Aku hanya mengangguk, kemudian sesegera mungkin membuka lembaran bila kertas yang dibentuk asal menyerupai bola. Aku terkekeh dibuatnya, gulungan kertas itu begitu lecek bak bungkusan belacan.

“Ay, nanti jam istirahat ada yang ingin aku ceritakan padamu tentang Geraldan.”

Begitu yang tertulis di bola kertas itu. Entah apa yang hendak disampaikan gadis itu, yang pasti aku akan menurutinya. Membicarakan tentang Geraldan dan semua tentang lelaki itu membuat jiwa penasaranku meronta-ronta.

Setelah pembelajaran berakhir, aku dengan rasa penasaran menuntut Celi untuk menjelaskan maksud perkataannya tadi. Celi sempat mengomeliku karena ketidaksabaran tentang Geraldan. Namun, aku memang lah aku, begini adanya seorang Arayla Bintang Khalistha ketika membahas sesuatu yang bersangkutan tentang Geraldan.

“Sabar sebentar lagi, Ay. Aku lapar dan ingin makan terlebih dahulu.”

Aku berdecak sebal, menuntut Celi untuk tetap bercerita. “Berceritalah sebelum makan, pesananmu juga belum jadi, Celi."

“Iya, iya tidak sabaran sekali anak ini,” ujar Celi gemas.

Namanya Kanayla Celicia, gadis blasteran Jawa China itu merupakan sahabatku sejak memasuki sekolah menengah atas. Gadis berkulit putih dengan bola mata berwarna cokelat terang yang terlihat lebih kecil itu, benar-benar terlihat seperti artis-artis dari Negeri Ginseng. Bentuk tubuhnya yang kecil juga membuat Celi terlihat lebih manis, tidak heran jikalau banyak lelaki di sekolah yang terpikat dengan keimutan gadis itu. Gadis cantik yang kerapkali disapa Celi itu sama sepertiku, memilih untuk tetap istiqamah, dan tidak ingin terjerumus ke dalam lubang zina dan berakhir pada dosa.

“Cepatlah, Celi, kamu membuatku menunggu dan penasaran!” desakku.

Gadis itu lagi-lagi mendengus kesal, mengambil nafas dalam-dalam kemudian mengembuskannya kasar. “Geraldan itu,” ujarnya menggantung.

“Geraldan ternyata masih mencintainya Ay, bahkan mungkin tidak pernah akan ada namamu dihatinya.”

Gundah gulana

1 0

- Sarapan Kata KMO Club Batch 38

- Kelompok 6 Dawai Aksara

- Jumlah Kata 692

Hari berganti hari, dan aku masih setia menanti. Tetapi entah mengapa,sejak saat itu semuanya terkesan berubah. Sejak perpisahan kami waktu itu, perpisahan yang membuatku berpikiran positif bahwa aku hanya perlu menunggu Geraldan. Dan mensikukuhkan rasa untuk tetap mencintai Geraldan dengan ikhlas. 

Namun, semuanya tidak sejalan dengan yang aku harapkan. Entah apa yang terjadi di antara aku dan Geraldan, tetapi lelaki tampan itu tampak menjauhiku. Tidak ada Geraldan yang dulu, yang memanggil namaku dengan begitu lembut, tidak ada juga senyum manis yang terlukis di wajah tampannya ketika berpapasan denganku, atau bahkan sorot mata yang melirik sekilas ke arahku. Semuanya hilang begitu saja, seperti angin yang berhembus entah kemana.

Aku bukan gadis pemberani, yang akan bertanya perihal perubahan sikap Geraldan, atau bahkan menagih janji yang kala itu dia lontarkan. Aku tetaplah Arayla yang pengecut, yang hanya berani mencintainya dalam diam dan ikhlas karena Allah.

“Dor!” teriakan seseorang berhasil membuyarkan semua lamunanku. Aku mengelus dada, kemudian berujar dengan sedikit ketus, “Kamu membuatku kaget tahu, Ce.” Gadis itu cengengesan mendengar omelanku. Matanya yang sipit benar-benar terlihat hilang saat gadis berkulit putih bersih itu tertawa lebar. 

Sudah kuberitahu siapa dia bukan? Tidak masalah, akan aku ulangi sekali lagi. Namanya Kanayla Celicia, gadis blasteran Jawa China itu merupakan sahabatku sejak memasuki sekolah menengah atas. Gadis berkulit putih dengan bola mata berwarna cokelat terang yang terlihat lebih kecil itu, benar-benar terlihat seperti artis-artis dari Negeri Ginseng. Bentuk tubuhnya yang kecil juga membuat Celi terlihat lebih manis, tidak heran jikalau banyak lelaki di sekolah yang terpikat dengan keimutan gadis itu. Gadis cantik yang kerapkali disapa Celi itu sama sepertiku, memilih untuk tetap istiqamah, dan tidak ingin terjerumus ke dalam lubang zina dan berakhir pada dosa.

“Kamu lagi mikirin apa sih, Ay?” tanya Celi yang kemudian mengambil bangku untuk duduk tepat di sebelahku. “Aku liatin dari sana sampai ke sini, kamu tuh diem mulu, nggak gerak-gerak. Aku kiranya kamu lagi cosplay jadi patung loh, Ay.” Aku tahu, Celi bergurau seperti ini untuk menghiburku yang sedang gundah gulana.

Memang sedang tidak banyak orang di ruangan ini, tetapi aku tampak sedikit tidak nyaman ketika banyak pasang mata tertuju pada kami karena suara nyaring dan menggemaskan milik Celi. Aku tidak sedang berada di kelas sekarang, sebab meluangkan waktu untuk membaca novel yang baru saja kubeli, di tengah classmeeting mungkin adalah pilihan yang paling tepat. Iya, aku dan Celi kini berada di perpustakaan, ruang dengan beratus-ratus buku ini menjadi tempat favoritku selain ruang musik.

Aku memang suka membaca, bahkan mungkin membaca bisa dibilang sebagai hobiku selain bernyanyi dan bermain alat musik. Sudah sejak kecil Ibu dan Ayah menyuguhkanku dengan berbagai macam bacaan. Aku juga suka menulis. Bahkan dapat di katakan menulis adalah sebagian dari diriku. 

Aku memang ingin menjadi seorang penulis, selain cita-cita utamaku yang ingin menjadi dosen. Aku sangat suka menulis, karena menulis dapat membuatku lebih leluasa untuk meluapkan perasaan yang kadang kala selalu kupendam sendirian.

“Ay!” pekik Celi lagi, gadis itu merenggut, wajah cantiknya benar-benar terlihat menggemaskan saat sedang merajuk seperti ini. “Kamu benar-benar ya, aku dari tadi disini tapi kamu malah sibuk dengan pemikiran-pemikiran kamu sendiri. Apa sih yang menghantui benak kamu, sehingga seorang Kanayla Celicia yang cantik jelita ini kamu abaikan?”

Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala, melihat Celi yang terkesan begitu berisik membuatku terkekeh geli. Gadis itu dengan segala kecerewetannya membuat aku benar-benar menyayangi sahabatku itu.

“Apa jangan-jangan kamu masih mikirin Geraldan, ya?” tanya Celi dengan suara yang cukup besar. Aku refleks membungkam mulutnya dengan telapak tanganku. Celi ini benar-benar membuatku malu, bahkan banyak pasang mata tertuju pada kami, lagi dan lagi.

“Celi bisa tidak sih kalo berbicara itu pelan-pelan saja. Aku malu,” cicitku. Celi terkekeh kecil sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Maap, Ay, Aku khilaf.” Aku hanya mendengus setelahnya, tidak tahu harus berbuat apa lagi. Sungguh sudah banyak pertanyaan yang keluar dari mulutku tentang perubahan sikap Geraldan.

“Kamu harus berusaha ikhlas, Ay. Sekarang pilihannya hanya ada dua, mencintainya dengan ikhlas atau merelakan kepergiannya dengan ikhlas.” 

Kalimat itu sudah berulang kali Celi lontarkan, aku bahkan sampai muak sendiri mendengarkannya. Tetapi Celi benar, aku harus memilih, tetap ikhlas mencintainya atau mengikhlaskan kepergiannya. Tetapi berulang kali juga aku katakan, memilih pilihan seperti ini sangat rumit, bagai benang kusut yang tidak kunjung menemukan ujungnya.

Sebuah kebetulan yang membahagiakan

1 0

- Sarapan Kata KMO Club Batch 38

- Kelompok 6 Dawai Aksara

- Jumlah Kata 576

Hari ini seakan menjadi hari terburuk yang kulalui, entah mengapa semuanya terkesan menyebalkan. Moodku juga begitu buruk sejak pagi tadi. Mulai dari Aku tidak salat subuh karena entah mengapa alarm yang biasanya membangunkanku tidak berfungsi sama sekali. Aku mengira Ibu atau Ayah akan membangunkanku, namun tidak sama sekali kudapati suara mereka padahal hari sudah benar-benar terang. Aku juga tidak sempat sarapan, bukan karena tidak ada makanan, akan tetapi aku sudah sangat terlambat hanya sekedar menyuap sesendok nasi ke dalam mulut.

Aku tahu bahwasanya Ayah dan Ibu tidak ada di rumah, karena aku sempat mendapati dan membaca surat yang ditulis tangan oleh Ibu. Pada surat itu beliau menjelaskan bahwa Ayah dan Ibu pergi ke rumah nenek pagi-pagi sekali, dan tidak sempat membangunkanku. Aku benar-benar kesal karena mereka tidak mengajakku sama sekali, terlebih lagi tidak ada pemberitahuan sebelumnya.

“Astaghfirullah hal adzim,” gumamku, mengusap berulang kali dada agar sadar akan kesalahanku yang mengeluh atas takdir Allah.

Aku beberapa kali mengerjakan mata, menghalau setan-setan yang mencoba untuk menggoda keimananku. “Maafkan hambamu ini ya Allah.”

Aku tidak ingin mengulur waktu karena aku sudah benar-benar terlambat. Untuk itu aku memilih untuk segera berangkat sekolah menggunakan ojek online. Akan tetapi kesialan menimpaku, tukang ojek yang motonya tiba-tiba mogok di tengah jalan.

“Kenapa pak?” tanyaku pada bapak-bapak tukang ojek itu.

Beliau kelihatan begitu panik, kemudian turun dari motor untuk mengecek motornya. “Saya tidak tahu juga ini kenapa, Neng, sebentar ya.”

Sekitar lima menit bapak ojek online itu mengecek motornya namun motornya benar-benar tidak bisa menyala. Aku sedikit panik karena jam yang melingkar di pergelangan tanganku sudah menunjukkan pukul tujuh kurang sepuluh menit.

“Maaf Neng sepertinya motor bapak sedang mogok, ini sepertinya butuh bengkel. Neng tidak usah bayar tidak apa-apa, maaf ya, Neng,” ujar bapak itu begitu merasa bersalah.

“Iya tidak masalah, Pak. Jarak sekolah saya juga sudah tinggal sedikit lagi, maaf ini pak uangnya,” ujarku, kemudian memberikan ongkos yang seharusnya aku berikan kepada bapak ojek itu.

Bapak itu berniat untuk mengembalikan uang pemberianku, namun segera kutepis tangannya dengan pelan kemudian berujar lembut, “Untuk Bapaknya saja, hitung-hitung untuk membantu perbaikan motornya. Semoga cepat benar ya Pak motornya.”

“Alhamdulillah ya Allah, terima kasih banyak ya, Neng,” ujar bapak itu tulus.

“Iya Pak sama-sama, saya duluan ya Pak takut terlambat, Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam, hati-hati ya, Neng.”

Aku segera bergegas menuju sekolah, sedikit berlari juga agar tidak terlambat. Padahal jarak sekolahku masih lumayan jauh, tetapi tidak masalah aku akan tetap berusaha untuk datang tepat waktu.

Ditengah-tengah kegiatan berlariku, tiba-tiba indera pendengaranku mendengar deru mesin motor yang begitu kukenali. Motor berwarna hitam yang semakin mendekat ke arahku, aku melihatnya dari kejauhan. Lelaki yang begitu tampan dengan jaket dan helm berwarna serupa.

“Assalamualaikum, Ay,” sapa Geraldan yang memberhentikan laju motornya di sebelahku.

“Wa-alaikumsalam,” jawabku kaku. Masih sama seperti hari-hari kemarin, aku yang gugup ketika bertemu dengan Geraldan.

“Kamu kenapa jalan kaki seperti ini?” tanya Geraldan penasaran, kemudian lelaki itu melanjutkan ucapannya, “Biasanya kamu diantar sama ayah, bukan?”

Mendengar pertanyaan yang dilontarkan Geraldan barusan, membuatku dengan lancarnya menceritakan semua kejadiannya. Entah aku pun tidak tahu mengapa bisa lancar berbicara seperti ini di hadapan Geraldan.

Geraldan menganguk paham, kemudian berujar, “Oh begitu, kamu mau bareng tidak sama aku? Kita sudah hampir terlambat, Ay.”

“Apa tidak merepotkanmu?” tanyaku memastikan, Geraldan menggeleng sebagai jawaban kemudian memerintahkanku untuk menaiki motornya.

Setelah aku naik dan membenarkan posisi dudukku, Geraldan segera menancapkan gasnya menuju sekolah. Di balik punggung kokoh itu aku tersenyum bahagia sekali, entah sebuah kebetulan atau memang sudah takdir Allah, yang jelas aku sangat bersyukur sekali.

Keberuntungan dan salah paham

1 0

- Sarapan Kata KMO Club Batch 38

- Kelompok 6 Dawai Aksara

- Jumlah Kata 516

Akhirnya aku dan Geraldan sudah sampai di depan gerbang sekolah yang menjulang tinggi. SMA Laksamana namanya, sekolah yang mempertemukanku dengan sosok lelaki yang sekarang tengah tersenyum manis ke arahku.

Manisnya senyuman itu membuatku terbuai akan dunia, aku seakan-akan dibawa berkelana mengelilingi negeri awan yang begitu indah.

“Arayla, kamu tidak mau masuk? Kita sudah hampir terlambat,” ujar Geraldan yang berhasil membuyarkan semua lamunanku. 

Aku sedikit terkekeh untuk menutupi kegugupanku, kemudian berujar, “Iya, maaf Geraldan.”

Geraldan hanya mengangguk sebagai jawaban, kemudian kaki jenjangnya melangkah menuju gerbang sekolah yang sudah hampir tertutup.

Aku pun sama, mengikuti jejaknya dari belakang. Aku sempat tersenyum-senyum sendiri, membayangkan hari-hariku yang akan bersama Geraldan selamanya. Akan tetapi tidak, sesegera mungkin kuhalau pikiran-pikiran jahat yang menghantui benak.

“Assalamualaikum, Selamat pagi, Mang Asep,” sapa Geraldan pada penjaga sekolah yang sudah tidak muda lagi. Aku begitu mengagumi keramahtamahan Geraldan, lelaki itu begitu sopan dan ramah terhadap semua orang.

“Assalamualaikum, Mang,” ujarku kemudian.

Mang Asep tersenyum lebar, menjawab salam kami dengan lengkap, “Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh, Neng Bintang, Jang Raldan.”

“Tumben baru datang jam segini?” tanya Mang Asep.

Geraldan sempat melirik kearahku, kemudian menjawab pertanyaan Mang Asep, “Iya Mang, tadi ada sedikit trouble di jalan.”

“Oh begitu, ya sudah silakan masuk Jang, Neng, sebentar lagi bel,” perintah Mang Asep yang langsung kami berdua turuti.

Aku dan Geraldan sama-sama melangkah menaiki undakan tangga, menaiki kelas yang berada di lantai dua. Sebelum akhirnya Geraldan akan beranjak menuju kelasnya yang berada di seberang kelasku, aku lebih dulu memanggilnya.

“Geraldan, terima kasih ya untuk hari ini,” ujarku tulus, sedikit menyunggingkan senyum manis.

Geraldan membalas senyumanku dengan lengkungan yang begitu lebar, kemudian lelaki itu menjawab dengan lembut, “Tidak masalah, Ay. Apa yang tidak untuk gadis secantikmu.”

Lelaki itu kemudian kembali berucap, sebelum akhirnya meninggalkanku, “Aku duluan ke kelas ya, Arayla, see u.”

Ahh tolong, Geraldan dengan segala sikap dan perkataan manisnya membuatku hampir terbang, melayang menuju langit dengan ribuan awan berbentuk hati. Aku di buat baper akan sikap dan kata-kata sederhana yang keluar dari bibir tipisnya.

Geraldan Arthur Pranaja, lelaki berkulit sedikit gelap itu memang betul-betul membuatku uring-uringan dan hilang arah seperti ini. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya kulihat dari sosok Geraldan, namun semua tentangnya begitu kukagumi.

“Ternyata selain kamu tidak bisa menolong orang, tidak tahu kata maaf, ternyata kamu juga tidak waras ya,” ujar seseorang, suara serak khasnya yang tiba-tiba berada tepat dibelakangku, membuatku sedikit terperanjat.

“Astagfirullah, kamu mengagetkanku saja!” ujarku sedikit membentak, sebenarnya itu hanya reflek karena aku terkejut akan kehadiran lelaki yang sudah tidak asing lagi di mataku.

“Oh satu lagi, ternyata kamu juga sok alim ya,” ujarnya.

Aku mengerutkan kening, terlampau heran dengan apa yang dikatakan lelaki itu. Aku berusaha memutar otak, guna mencerna semua perkataannya. Setelah memahami apa yang dimaksud lelaki itu, aku berujar untuk menyanggah perkataannya.

“Maaf, tetapi kamu salah paham, aku tidak bermaksud untuk melukaimu atau mungkin membuatku sakit hati. Hanya saja kam—“

Lelaki itu memotong ucapanku, “Shuuttt!”

“Terserah kamu saja, perempuan sok alim,” ujarnya begitu menusuk, kemudian lelaki yang belum kuketahui sama sekali namanya berlalu dari hadapanku.

Lelaki itu meninggalkanku dengan beribu tanda tanya, apakah aku begitu salah dimatanya sehingga ia berbicara seperti itu?

Dryandika dan teka-tekinya

1 0

- Sarapan Kata KMO Club Batch 38

- Kelompok 6 Dawai Aksara

- Jumlah Kata 408

- PR

Aku tidak mengerti apa yang dipikirkan oleh lelaki itu. Aku sebenarnya tidak mengenali siapa sosok bertubuh jangkung dengan kulit berwarna putih bersih itu. Lelaki dengan rambut keriting yang sedikit pirang itu tampak seperti awan berarak itu memang sering tertangkap di indera penglihatanku, namun untuk sekedar mengetahui namanya, atau berkenalan lebih dalam dengannya rasanya sulit terjadi.

Aku bukan orang yang sombong, namun untuk mengenal seorang lelaki lebih dalam aku enggan melakukannya. Bukan apa-apa, hanya saja aku takut terjerumus ke dalam dosa dan pedihnya api neraka jika berdekatan atau bahkan berteman dekat dengan seorang insan. Itu juga berlaku untuk Geraldan, aku bahkan tidak pernah bertindak berlebihan di depan lelaki itu, walaupun hatiku menjerit-jerit bahwa aku mencintainya. Aku masih tahu batasan dan takut akan fitnah juga dosa.

“Kenapa sih, Bintang kecil cantikku?” tanya Celi yang berhasil membuatku terperanjat. “Apa kamu masih memikirkan lelaki kelas sebelah itu, atau malah sedang memikirkan Geraldan ya?” tanyanya kembali, tangannya yang lentik tergerak mencolek daguku.

“Ay!” peringatku.

Celi tertawa bahagia karena berhasil membuatku kesal akan perkataannya, “Maaf ya, Cantik.”

“Ay, tapi aku sudah mengetahui nama lelaki itu,” ujarnya. Celi sedikit memajukan kursinya untuk lebih dekat denganku, kemudian gadis itu berujar pelan, “Namanya Al Ghifari Dryandika, biasa dipanggil Dika.”

Aku hanya mengangguk saja pertanda mengerti. Selepas ini mungkin aku akan meminta maaf pada Dika, walaupun mungkin bukan sepenuhnya kesalahanku. Namun, tidak masalah aku akan memperbaiki semuanya. Aku benar-benar tidak ingin ada yang tersakiti atau bahkan terbebani di sini. Aku juga tidak ingin jikalau Dika menimbun benci terlalu banyak padaku.

***

Jam pulang SMA Laksamana telah berbunyi, para siswa dengan rasa lapar dan letih berhamburan keluar kelas, bak ribuan ikan asin di tengah teriknya gurun pasir, siswa Laksamana keluar dari gerbang yang selama seharian ini menjerat mereka dengan rasa stres dan lapar.

“Dika,” panggilku ketika mendapati lelaki dengan balutan jaket berwarna merah hati. Lelaki itu hampir saja melewati gerbang, bersiap untuk pulang, namun, aku lebih dulu memanggilnya. 

Panggilan nyaring yang dihasilkan membuat Dika menghentikan langkahnya dan melihat ke arah belakang.

Aku sesegera mungkin menghampirinya, menghindari Dika menunggu terlalu lama. Setelah sampai di hadapan lelaki itu, aku langsung membuka suara, “Ada yang ingin aku bicarakan padamu, apakah kamu punya waktu sebentar?”

“Tidak bisa, aku sedang sibuk,” balasnya ketus.

Aku menghembuskan nafas kasar, kemudian kembali berujar untuk menyakinkannya, “Sebentar saja, tidak kah bisa?”

“Aku tidak punya waktu untuk perempuan sepertimu, Bintang.”

Aku mengerutkan dahi, mengapa lelaki itu bisa mengetahui namaku. Dan juga, mengapa dia masih saja membenciku, apakah aku pernah melukainya?

Akhir dari kesalahpahaman

1 0

- Sarapan Kata KMO Club Batch 38

- Kelompok 6 Dawai Aksara

- Jumlah Kata 543

“Al Ghifari Dryandika, tunggu aku!” pekikku lantang. Aku tidak ingin lelaki itu berlalu meninggalkanku dan masalah ini belum terselesaikan, maka dari itu aku berniat untuk mencegah kepergiannya.

Dika memberhentikan langkahnya ketika mendengar suaraku yang memanggil namanya dengan begitu lengkap. Aku sedikit berlari untuk mengejarnya, namun, nahas aku malah tersandung kakiku sendiri dan berakhir tersungkur di tanah.

“Awhh,” ringisku. Aku mengamati tanganku yang luka dan mengeluarkan sedikit darah karena tergores oleh lapangan SMA Laksamana. Kakiku juga terasa begitu sakit sekarang, namun, untungnya sudah tidak banyak manusia yang berlalu lalang, jadi aku tidak harus malu.

Aku melirik ke arah Dika yang memberhentikan langkahnya dan menatapku khawatir. Lelaki itu berniat untuk menolong, namun, sedetik kemudian diurungkan niatnya. Mungkin lelaki itu teringat akan kejadian tempo hari saat dengan teganya aku mengabaikan dirinya yang terjatuh karena ulahku. 

Aku melihat wajah rupawan Dika yang berubah masam, lelaki tampan itu bersedekap di atas dada sembari mengamatiku yang masih terduduk di tanah. Aku tidak menyalahkannya atas tindakan yang dia lakukan, bahkan aku lebih bersyukur karena Dika tidak menyentuhku walaupun kutahu mungkin niatnya baik. 

“Kamu bisa berdiri sendiri kan? Cepat lah aku sudah ingin pulang, dan kamu hanya mengangguku saja, Bintang,” ujar Dika dengan nada ketusnya.

Aku mengangguk kecil, kemudian berniat untuk segera berdiri. Namun, ternyata aku tak punya kekuatan untuk menapakkan kaki di atas tanah. Entah mengapa kakiku terasa begitu sakit, sehingga aku kehilangan keseimbangan dan berakhir terduduk kembali di atas tanah.

Aku kembali meringis dengan suara tertahan, “Awh.”

Dika yang melihat sekaligus mendengar rintihanku membuat kaki lelaki itu tergerak menghampiriku. Dika berjongkok di hadapanku dan menyodorkan tangannya untuk membantuku berdiri. Namun, aku tak kunjung membalas uluran tangannya.

Dika yang jengah menunggu akhirnya menarik kembali tangannya, lelaki itu kembali berujar ketus, “Dasar tidak tahu terima kasih kamu, padahal niatku baik ingin membantumu.”

Aku merasa sangat bersalah pada Dika, namun ketahuilah bahwa aku tidak ingin ada fitnah yang terjadi nantinya. Aku harus menjelaskan semuanya sama Dika sekarang, aku tidak ingin kesalahpahaman ini berlanjut lebih dalam. Aku juga tidak ingin hatinya terkotori dengan rasa dongkol atau bahkan benci.

“Dika, maafkan aku. Aku tidak bermaksud untuk sombong atau mengabaikan pertolonganmu, akan tetapi kita bukan mahram, Dika,” ujarku dengan nada pelan dan lemah. Sungguh, aku takut melukai hatinya.

“Sebab menurut pandangan dari ulama-ulama Mazhab Maliki dan Mazhab Syafi’i, juga Mazhab Hanafi dan Hambali menjelaskan bahwasanya haram hukumnya bersentuhan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya.” 

Aku melihat Dika, wajah lelaki itu tampak tengah serius mendengarkan penjelasanku. Aku kemudian kembali berujar, “Sebenarnya ada beberapa hadist yang menjelaskan bahwa bersentuhan dengan yang bukan mahram itu diperbolehkan, namun, jika berada di suatu keadaan yang benar-benar mendesak, atau memang keharusan. Takut akan ada fitnah dan juga syahwat yang timbul menjadi garis dan batasan. Di mana jika keduanya atau salah satunya merasakan hal itu, maka haramlah hukumnya bersalaman antara laki-laki dengan perempuan yang bukan mahramnya tadi.”

“Seperti itu, Dika, jadi maaf jika kamu mungkin berpikir aku sombong atau bagaimana. Namun, memang itu kebenaran. Aku harap kamu mau mengerti dan memaafkanku,” ujarku kemudian. 

Aku yang masih terduduk dilantai mengamatinya yang masih tergeming di tempat. Aku melihat dari sorot mata lelaki itu, sepertinya dia sedang menerawang jauh.

“Maafkan aku, Bintang,” ujarnya tulus, matanya masih menatapku sendu. “Benar katamu, mungkin aku yang tidak paham makanya aku berpikiran seperti itu, sekali lagi maafkan aku, Bintang.”

Antara Geraldan dan Dika

1 0

- Sarapan Kata KMO Club Batch 38

- Kelompok 6 Dawai Aksara

- Jumlah Kata 494

“Maafkan aku, Bintang,” ujarnya tulus, matanya masih menatapku sendu. “Benar katamu, mungkin aku yang tidak paham makanya aku berpikiran seperti itu, sekali lagi maafkan aku, Bintang.”

Aku tersenyum begitu lebar, ternyata benar ini hanya sebuah kesalahpahaman yang alhamdulillahnya sudah terselesaikan. Aku melirik Dika yang seolah menerawang jauh entah ke mana, mata lelaki tampan itu tampak penuh tanda tanya.

“Dika,” panggilku lirih. 

Lelaki itu tersadar dari lamunannya kemudian menyahuti panggilanku, “Maaf, Bintang. Iya kenapa?”

“Tidak Dika, hanya saja kamu terlalu lama berdiam diri,” ujarku, aku yang masih terduduk di lantai berniat untuk mencoba bangkit. Sudah terlalu aku terduduk di atas lapangan SMA Laksamana, lapangan itu memang tidak kotor, namun, aku sudah lelah berdiam diri. 

Aku yang mencoba berdiri sendiri, namun, kakiku masih tidak kuat menapak di lantai. Aku merasa kakiku begitu sakit, akan tetapi masih kucoba kembali untuk berdiri walaupun sedikit memaksa. Aku yang sudah setengah berdiri, kemudian bertumpu di dinding sambil memegang kedua lututku yang terasa begitu nyeri.

“Bintang, apakah kamu perlu bantuanku?” tanya Dika dengan nada rendah.

Aku melirik Dika, wajah tampan lelaki itu tampak begitu khawatir. Aku tersenyum kecil, kemudian menggeleng dan menjawab pertanyaannya, “Tidak masalah, Dika, aku bisa sendiri. Maaf, dan terima kasih atas niat baikmu.”

“Bintang,” panggilnya pelan. “Jikalau kamu takut akan fitnah karena bersentuhan denganku, pegang ini, aku akan membantumu,” lanjutnya sembari mengeluarkan sebuah stik drum. “Aku rasa tidak masalah karena ini keadaan mendesak, dan kamu sangat membutuhkan pertolonganku, Bintang.”

Aku sekarang mengetahui sedikit tentang Dika, ternyata lelaki itu merupakan drummer di group band Laksamana. Aku sempat berpikir sejenak, kemudian mengangguk kecil. Benar apa yang dikatakan Dika, aku memang membutuhkan pertolongan lelaki itu sekarang. Semoga saja tidak akan ada fitnah dan dosa di kemudian hari.

Aku kemudian menerima uluran stik drum milik Dika, lelaki itu dengan telaten membantuku berjalan menuju gerbang sekolah yang sudah sepi manusia. Jujur, kakiku masih terasa begitu sakit tapi aku tetap memaksakannya untuk berjalan. Aku tidak ingin menyusahkan Dika lebih dalam. 

Akhirnya kami berdua sudah sampai di depan gerbang, aku sebenarnya tidak tahu akan pulang dengan siapa, karena Ayah sampai sekarang belum memberiku kabar apa pun. Aku berniat untuk memesan ojek online kembali, namun, Dika lebih dulu bertanya, “Bintang, kamu pulang dengan siapa?” 

“Engh, aku juga tidak tahu, Dika, tapi sepertinya aku akan memesan ojek online,” jawabku. Dika melirik kearahku sebentar, kemudian lelaki itu berujar, “Kalau kamu mau, kamu boleh pulang bareng sama aku, Bintang.”

Aku sempat terdiam, aku sebenarnya tidak ingin menyusahkan Dika lebih dalam. Namun, lelaki itu kembali berujar, “Aku tidak merasa direpotkan, Bintang. Bahkan aku sangat senang ketika kamu menerima ajakanku ini.”

Sungguh, aku merasa sangat tidak enak. Aku lantas mengiyakan ajakan Dika, karena aku berpikir bahwa lelaki itu orang yang baik. 

“Baikah, Dika, kalau tidak merepotkanmu aku mau, terima kasih juga ya.”

Dika tersenyum, kemudian lelaki itu memerintahkanku untuk duduk di bangku depan sembari menunggunya yang mengambil motor diparkiran. Dari kejauhan kulihat seorang lelaki bertubuh tinggi yang begitu kukenali, lelaki itu berjalan mendekatiku.

“Assalamualaikum, Ay,” sapa Geraldan.

“Wa-alaikumsalam,” jawabku sedikit terbata.

Bukan sebuah pilihan

1 0

- Sarapan Kata KMO Club Batch 38

- Kelompok 6 Dawai Aksara

- Jumlah Kata 370

“Assalamualaikum, Ay,” sapa Geraldan.

“Wa-alaikumsalam,” jawabku sedikit terbata.

Geraldan menatapku dari atas hingga ke bawah, lelaki itu sedikit menaikkan alisnya. Geraldan mungkin bingung dengan keadaanku yang sedikit kotor dan berantakan. Lelaki tampan itu kemudian bertanya kepadaku dengan nada khawatir, “Kamu kenapa, Ay?” 

Aku sempat tertegun beberapa saat, kemudian menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Geraldan, “Aku tadi terlalu ceroboh sehingga terjatuh. Akan tetapi aku baik-baik saja, Geraldan.”

“Benarkah?” tanya Geraldan memastikan.

Matanya yang indah itu memicing, mengamati keadaanku, membuat bola matanya menyipit. Akan tetapi matanya yang sipit seperti itu tidak mengurangi kadar ketampanannya sedikit pun. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban.

Melihat aku yang tampaknya tidak kenapa-kenapa, Geraldan kembali bertanya, “Oh iya, mengapa kamu belum pulang, Ay?”

“Padahal sudah hampir larut seperti ini. Apakah ayah tidak menjemputmu?” tanya Geraldan penuh tanda tanya.

Aku bingung harus menjawab apa, jujur aku benar-benar takut salah menjawab. Aku takut nantinya akan melukai hati Geraldan atau bahkan hubungan kami akan asing nantinya.

“Arayla?” panggil Geraldan kembali.

“I-iya,” jawabku dengan nada suara lirih dan terdengar sedikit terbata-bata.

Geraldan menghela nafas, kemudian tetap tersenyum dan berujar lembut, “Kamu tidak mendengarkanku, Ay?”

“Maaf,” lirihku. 

Aku melihat Geraldan yang masih tersenyum lebar kemudian berujar kembali, “Tidak masalah, Ay. Hanya saja mengapa kamu tidak pulang, atau mau bareng sama aku saja?”

Aku makin ketar-ketir sendiri, sungguh aku bingung harus menjawab apa. Tetapi tepat diwaktu yang sama Dika datang dengan motor merahnya. Lelaki itu sempat mengamatiku yang berinteraksi dengan Geraldan, kemudian lelaki itu melenggang ke arahku.

“Bintang, ayo kita pulang. Mari biar kubantu,” ujar Dika, lelaki itu kembali menyodorkan stik drum untuk membantuku berjalan.

Aku tidak bergeming dari tempat, aku sempat melirik Geraldan sebentar, wajahnya terlihat begitu bingung.

“Bintang,” panggil Dika lagi.

Aku spontan mengangguk, kemudian berujar kepada Geraldan untuk pamit duluan, “Geraldan, maaf aku harus pulang lebih dahulu. Terima kasih atas tawarannya, akan tetapi, aku lebih dulu menerima tawaran dari Dika.”

“Aku duluan ya, Assalamualaikum Geraldan,” ujarku, pamit dan segera menuju motor merah milik Dika.

“Waalaikumsalam, hati-hati ya, Ay,” jawab Geraldan dengan suara yang terdengar sendu.

Entah itu hanya perasaanku saja atau memang benar, akan tetapi, dari mata indahnya terpancar binar yang memperlihatkan bahwasanya Geraldan nampak begitu kecewa. Aku yang sudah berada di atas motor Dika melihat jelas wajah Geraldan yang murung.

Siapa Geraldan bagiku?

1 0

- Sarapan Kata KMO Club Batch 38

- Kelompok 6 Dawai Aksara

- Jumlah Kata 342

Di perjalanan pulang bersama Dika, aku tak henti-hentinya memikirkan Geraldan. Sungguh ragaku memang sedang berada diatas motor matic berwarna merah milik Dika, akan tetapi, pikiran dan hatiku berkeliaran ke sana kemarin. Benakku seolah berkeliaran, menjelajahi lautan pikiran juga angan.

Ditengah-tengah kegiatan melamunku, aku masih dapat mendengar suara Dika yang memanggil namaku. Lelaki itu memanggil namaku sedikit kencang, karena suaranya teredam oleh deru mesin motor juga semilir angin sore yang berembus kencang. Belum lagi helm yang dikenakan lelaki itu membuat suaranya terkesan tidak begitu jelas. “Bintang.”

“Iya, Dika, kenapa?” balasku dengan nada suara yang lumayan keras.

“Aku boleh bertanya, Bintang?” tanya Dika ragu-ragu, lelaki itu memelankan sedikit laju motornya.

“Hm, iya boleh. Ada apa ya?”

Aku mendengar helaan nafas berat yang diembuskan oleh Dika. Lelaki itu kemudian berujar kembali, “Geraldan, dia siapamu, Bintang?”

Aku tersentak dibuatnya, perkataan yang dilontarkan oleh Dika tadi benar-benar membuatku terdiam sejenak. Aku sempat berpikir, siapa sebenarnya Geraldan bagiku. Namun, aku tidak menemukan titik terangnya, lelaki itu memang bukan siapa-siapa. 

Geraldan, lelaki tampan itu hanya sebatas dunia yang tidak mengikut sertakan dia didalamnya. Dunia yang dibuat sendiri, untuk menikmati rasa senang dan sakit dari mencintai dengan ikhlas dan dibalik rasa kesendirian. Aku tidak pernah memaksakan perasaan Geraldan, agar lelaki itu membalas perasaanku. Aku cukup tahu diri untuk itu.

Aku memang sangat mencintainya, sungguh ikhlas karena Allah taala. Aku memang ingin dibalas, akan tetapi, tidak sekarang dan dengan cara haram. Aku masih ingat jelas, bahkan masih terekam jelas di dalam benak perkataan Geraldan tempo hari. Saat lelaki itu mengetahui perasaan yang kusimpan untuknya, dan memintaku untuk menunggunya. Hingga sampai saat ini masih kutunggu janji yang dilontarkan oleh Geraldan.

“Bintang, mengapa kamu diam seperti ini?” tanya Dika, mungkin lelaki itu jengah atas keterdiamanku. Akan tetapi lelaki itu tetap fokus mengendarai kuda besi miliknya.

“Apakah Geraldan itu kekasihmu?” tanya Dika yang berhasil membuat jantungku hampir meloncat keluar dari tempatnya.

“Dika—“

Ucapanku terpotong oleh ucapan Dika yang tiba-tiba, “Aku melihat dari pancaran matamu, kamu sangat mencintainya, bukan?”

Dan, boom!

Dika lagi-lagi membuatku terdiam, lelaki itu berhasil membuatku terdiam atas kalimat yang diucapkan.

Sebatas teman

1 0

- Sarapan Kata KMO Club Batch 38

- Kelompok 6 Dawai Aksara

- Jumlah Kata 328

Selepas pertanyaan yang dilontarkan Dika tadi, tak ada percakapan di antara kami. Dika, lelaki itu tetap menghantarkanku pulang dengan selamat sampai di depan rumah. Aku mengakui kebaikan hatinya, lelaki itu dengan sabar dan ikhlas membantuku hingga masuk ke dalam rumah dengan pagar berwarna hitam.

“Dika, sekali lagi terima kasih ya,” ujarku tulus, sungguh aku benar-benar berterima kasih kepada Dika, yang seharian ini direpotkan olehku.

Namun lelaki itu tetap sabar, dan sambil tersenyum manis membalas ucapanku, “Tidak masalah, Bintang, aku senang membantumu. Lagian aku juga tidak enak hati padamu.”

Aku mengangguk kecil kemudian berucap, “Tidak, Dika, jangan dipikirkan lagi, itu hanya salah paham.”

“Iya, Bintang, ya sudah aku pulang ya, sudah larut juga,” pamit Dika, lelaki itu kembali berjalan keluar gerbang, “Assalamualaikum, Bintang.”

“Waalaikumsalam, hati-hati ya, Dika,” ujarku kemudian, aku masih tergeming di tempat sampai lelaki itu benar-benar melajukan motornya meninggalkan pekarangan rumahku.

Aku berjalan masuk ke dalam rumah dengan langkah gontai, kakiku juga masih terasa sedikit sakit. Aku yang hendak berjalan menuju kamar, mendengar suara lembut milik ibu yang memanggilku, “Ay, kamu sudah pulang sayang?”

Aku pantas menghampirinya dan menciumi punggung tangan ibu sambil mengucapkan salam, “Assalamualaikum, iya sudah, Bu.”

“Waalaikumsalam, maaf ya, Sayang,” ujar ibu membelai puncak kepalaku.

“Ayah dan Ibu pergi tanpa memberitahukanmu dulu, sebab nenekmu mendadak sakit dan dibawa ke rumah sakit.”

“Astagfirullah hal adzim, inalillahi jadi bagaimana keadaan nenek sekarang, Bu?” tanyaku, jujur aku begitu terkejut mendengar perkataan yang diucapkan oleh Ibu.

“Sejauh ini Alhamdulillah tidak ada masalah yang serius. Akan tetapi nenek masih harus dirawat di rumah sakit, makanya ayahmu belum pulang.”

“Oh begitu, Alhamdulillah, Bu. Ay, mau bersih-bersih dulu ya, Bu,” ujarku.

Ibu mengangguk mengiyakan, melihat respons yang ditunjukkan ibu membuat aku segera melangkah menuju kamarku. Tetapi langkahku terhenti ketika Ibu kembali memanggilku, “Arayla.”

Aku segera membalikkan badan, kembali menghadap Ibu, kemudian bertanya, “Iya, Bu, kenapa?”

“Tadi siapa lelaki yang menghantarkanmu pulang, Sayang?” tanya Ibu, mungkin saja beliau melihat Dika yang menghantarkanku tadi.

“Dika namanya, dia hanya teman Ay, Bu, tidak lebih.”

Serangkaian kata yang terselip untuknya

1 0

- Sarapan Kata KMO Club Batch 38

- Kelompok 6 Dawai Aksara

- Jumlah Kata 380

Ibu mengangguk, akan tetapi kemudian wanita berhijab yang begitu cantik itu berujar lagi, “Akan tetapi, Ibu tidak pernah melihat temanmu itu, siapa sebenarnya dia?”

Aku bingung sebenarnya harus menjawab apa, benar bukan, bahwa aku dan Dika baru saja berteman beberapa waktu lalu. Akan tetapi aku merasa bahwa Dika adalah lelaki yang sangat baik, aku juga nyaman berteman dengannya.

Aku hanya tersenyum, kemudian berujar, “Ay juga baru berteman sama Dika, Bu. Akan tetapi, Ay, tahu bahwa Dika orang yang sangat baik.

Ibu hanya tersenyum mendengar ucapan yang keluar dari mulutku. Wanita cantik itu mendekat kemudian membelai lembut puncak kepalaku, sembari berkata, “Ay, Ibu yakin kamu bisa memilih teman yang baik, Sayang. Ibu percaya itu, akan tetapi, kamu harus tetap hati-hati ya.”

Aku membalas senyuman itu, kemudian segera pamit untuk memasuki kamar pada Ibu. Sungguh, aku benar-benar ingin membersihkan badanku yang sudah sangat lengket oleh keringat. Aku segera membersihkan badan agar dapat segera melaksanakan salat Maghrib. Kakiku masih sedikit terasa nyeri, namun, tidak seperti tadi yang kesulitan berjalan.

Aku yang sudah selesai bersih-bersih segera melaksanakan salat Maghrib. Walaupun sedikit terlambat, aku segera bergegas untuk salat. Setelah selesai dengan rutinitas sebagai umat Islam, aku duduk di hadapan laptop kesayanganku. Aku segera membuka aplikasi untuk menulis dan menuangkan ide di sini, sepuasnya dan tanpa penghalang.

Entah apa yang sedang kutulis, akan tetapi, tanganku begitu lihai menari-nari di atas papan keyboard. Bagai meluapkan isi hati, aku kemudian menciptakan sebuah puisi yang menggambarkan keadaanku sekarang.

Aku membaca sekali lagi tulisan yang beberapa waktu lalu tercipta. Aku tersenyum-senyum sambil membacanya. Aku memuji karyaku, betapa indahnya deretan huruf yang kutulis menjadi sebuah puisi. Puisi yang tercipta karena adanya sosok lelaki yang aku harap dapat membuatku bahagia kelak. Geraldan Arthur Pranaja namanya, lelaki dengan kulit berwarna sedikit gelap yang tampak begitu manis di mataku. 

Pada keteduhan wajahmu, aku rindu. 

Pada indah bola matamu, aku rindu.

Akan tetapi, selalu kuhindari tatapmu.

Sebab terlalu malu, jikalau masih terbaca harap di mataku.

Enggan sekali kamu tahu, bahwa aku masih sepengecut dulu.

Berani mencinta di belakangmu.

Bermain bersama luka dan ragu.

Namun takut, jika beradu tatap denganmu.

Apalagi, berada di jarak yang dekat denganmu.

Kusudahi sesi bercengkrama dengan dunia khayal, dan lautan kata yang selalu berhasil membuatku bahagia. Sebentar lagi waktu Isya, dan aku harus segera melaksanakan kewajibanku. Setelahnya aku akan belajar dan mengerjakan tugas.

Praduga dan overthingking

1 0

- Sarapan Kata KMO Club Batch 38

- Kelompok 6 Dawai Aksara

- Jumlah Kata 397

Setelah selesai salat isya, aku berkumpul di meja makan bersama Ibu. Biasanya kami akan selalu bertiga, namun, ayah belum juga pulang. Kata ibu, mungkin beliau pulang esok pagi, untuk mengerjakan pekerjaan yang tertunda. Akan tetapi, tidak masalah aku masih tetap bisa menikmati makanan bersama dengan Ibundaku tersayang.

Setelah selesai makan, dan membantu Ibu membereskan rumah, aku kembali pamit ke kamar untuk mengerjakan tugas besok. Aku yang sudah mau lulus dan akan melanjutkan ke perguruan tinggi, dituntut untuk belajar giat. Aku tidak ingin menyusahkan Ayah dan Ibu, walaupun aku tahu dan aku yakin aku bisa mencapai nilai yang baik.

Sesampainya di kamar, aku segera menuju ke meja belajar. Aku mulai belajar sembari mendengarkan musik. Susana tenang dari kamar berwarna merah jambu membuatku begitu nyaman dan tenang untuk belajar dan mengerjakan tugas.

Entah berapa jam aku belajar, yang pasti sekarang aku sudah menyudahi kegiatan belajarku. Mataku sudah mulai kecil dan memerah, rasa kantuk sudah mulai menyerangku sedari tadi. Aku mulai menyusun buku pelajaran untuk besok, dan setelahnya aku bergegas membersihkan badanku untuk segera tidur. Aku tak ingin terlambat bangun dan sekolah seperti tadi.

Ting!

Ting!

Beberapa notifikasi masuk ke dalam gawai berbalut case berwarna peach kepunyaanku. Aku yang hendak memasuki alam mimpi terpaksa kembali membuka ponsel untuk mengecek pesan yang masuk. Aku menyipitkan mata, melihat nomor asing yang mengirimkan pesan kepadaku. Aku mulai membuka pesan itu, dan ternyata itu dari Dika buang memintaku untuk menyimpan nomornya.

“Ternyata Dika, akan tetapi, dari mana dia mendapatkan nomorku,” gumamku lirih.

Jemariku yang lentik segera berselancar di atas papan keyboard, aku segera mengetik balasan untuk pesan yang dikirimkan Dika. Setelahnya aku membuka akun media sosial, bibirku terkembang hingga ke sudut, menampilkan senyuman manis saat bola mataku menangkap story Instagram yang dibuat Geraldan beberapa waktu yang lalu.

Dengan hati yang gembira aku membuka snapgram milik Geraldan, namun, sedetik kemudian aku dipatahkan oleh keadaan. Di dalam status itu terdapat foto Geraldan bersama seorang gadis berkerudung syar’i. Hatiku terasa sakit bak di tikam sebilah pisau, sakit dan menyesakkan.

“Astagfirullah hal adzim,” ujarku, mengusap dada untuk menghilangkan pikiran negatif yang merasuki hati dan benakku.

Aku berpikir positif, mungkin perempuan itu kakak Geraldan. Namun, lelaki tampan itu anak satu-satunya dari keluarga Pranaja. Geraldan tidak memiliki kakak ataupun adik, atau mungkin sepupu, atau, ah sudahlah.

Aku tak ingin overthingking, aku mulai berdoa sebelum tidur dan memejamkan mata, memasuki alam mimpi yang membuatku bahagia dan melupakan rasa sesak yang ada.

Sayang dalam arti yang berbeda

1 0

- Sarapan Kata KMO Club Batch 38

- Kelompok 6 Dawai Aksara

- Jumlah Kata 377

Azan subuh berkumandang memasuki indera pendengaranku, mataku mengerjap perlahan, menetralisir pandangan pada cahaya lampu kamar yang dihidupkan oleh Ibu. Wanita yang sudah siap dengan mukena berwarna putih itu berjalan ke arahku, Ibu kemudian membelai lembut surai hitam legam kepunyaanku. Aku tersenyum kemudian bangkit untuk mencium pipinya, rutinitasku setiap pagi saat Ibu membangunkanku.

“Ayo bangun, Ay, siap-siap salat dulu,” ujar Ibu dengan suara lembut khasnya.

Aku mengangguk kecil sembari tersenyum lebar, segera kulangkahkan kaki menuju kamar mandi untuk membersihkan badanku dan juga mengambil wudhu. Setelahnya aku bergegas menuju ruang salat untuk salat berjamaah dengan Ibu.

Seusai melaksanakan kewajiban kami, aku dan Ibu sempat berbincang sedikit perihal keadaan nenek yang alhamdulillah semakin membaik.

 “Jadi Ayah pulangnya kapan, Bu?” tanyaku.

“Sepertinya pagi ini sayang, tadi ayahmu mengabari Ibu jikalau dia baru hendak berangkat pulang ke rumah. Akan tetapi, ayah sepertinya tidak bisa menghantarkan kamu ke sekolah, kamu berangkat sendiri tidak masalah kan, Ay?” tanya Ibu. Wanita itu menatapku sebentar kemudian kembali bertanya, “Atau mau ibu minta tolong Bang Regan untuk mengantarkanmu?” 

Aku menggeleng sebagai jawaban, “Tidak perlu Bu, merepotkan Bang Regan saja. Arayla bisa berangkat sendiri naik ojek online seperti semalam.”

Ibu mengusap puncak kepalaku penuh sayang, kemudian berujar lembut, “Anak cantik Ibu memang paling pintar.”

“Kalau begitu, siap-siap dulu, Ay, Nanti terlambat ke sekolahnya,” perintah Ibu yang langsung aku iyakan. Aku yang hendak bangkit tertahan oleh tangan Ibu yang menarikku untuk masuk ke dalam dekapannya. Beliau kembali berujar, “Ibu sayang banget sama kamu, Ay.”

Di dalam dekapan hangat sosok Ibu yang telah berjasa melahirkan dan merawatku hingga menjadi sosok gadis yang kuat seperti ini, aku tersenyum penuh kebahagiaan.

Aku bergerak menciumi kedua pipi milik Ibu bergantian, kemudian kembali berujar, “Arayla lebih, lebih, dan lebih menyayangi Ibu dan Ayah melebihi sayangnya, Ay, pada diri sendiri.”

Ibu sempat terkekeh mendengar ucapanku, aku mengerutkan kening heran, mengapa Ibu tertawa karena mendengar ucapan yang terlontar dari mulutku.

“Mengapa Ibu tertawa?” tanyaku heran.

“Kamu ini pandai sekali berkata-kata, padahal kamu lebih menyayangi Geraldan bukan?” tanya Ibu dengan nada menggoda khasnya.

Aku yang hendak membuka suara terpaksa terhenti kala Ibu yang lebih dulu berujar, “Ibu hanya bergurau, Sayang. Ibu tahu kamu menyayangi Geraldan sebagai orang yang terkasih, namun, jangan terlalu berlebihan ya, Ay. Takutnya akan menjadi dosa, sebab tidak ada ikatan di antara kalian berdua.”

Pengakuan rasa nyaman

1 0

- Sarapan Kata KMO Club Batch 38

- Kelompok 6 Dawai Aksara

- Jumlah Kata 399

Aku berjalan menyusuri koridor sekolah menuju kelasku, aku memikirkan kata-kata yang diucapkan Ibu tadi pagi. Saat wanita cantik itu berkata aku tidak boleh terlalu berlebihan dalam mencintai Geraldan. Setelah kupikirkan, ucapan yang terlontar dari mulut Ibu itu benar adanya. Aku tidak boleh terlalu dalam mencintai Geraldan, sebab, lelaki itu hanya lah manusia yang tidak memiliki hubungan apa-apa denganku. Aku yang berstatus sebagai hamba Allah, harus lebih mencintai sang pencipta dari pada ciptaannya.

Aku yang tengah melamun, dikejutkan oleh suara khas yang beberapa hari ini selalu kudengar, suara serak nan berat milik Dika yang selalu memasuki indera pendengaranku.

“Bintang,” panggilnya.

Aku yang kaget dengan kedatangan Dika yang tiba-tiba, sempat memanyunkan bibirku, kemudian bernafas kasar.

“Waalaikumsalam,” ujarku, sengaja untuk mengingatkan Dika untuk mengucapkan salam.

Lelaki itu terkekeh geli, kemudian kembali berujar, “Iya maaf, Bintang, Assalamualaikum.”

Aku tersenyum singkat, jujur masih terlampau kesal dengan Dika yang selalu datang tiba-tiba dan mengagetkanku. Aku kembali berujar untuk menjawab salamnya, “ Waalaikumsalam.”

“Kamu tahu tidak, Bintang?” tanya Dika menggantung, aku yang tidak tahu apa yang di bicarakan Dika hanya menggeleng-gelengkan kepala sebagai jawaban.

“Aku yang bisa datang terlambat, sengaja datang sepagi ini hanya untuk menemuimu, Bintang,” ujarnya yang membuatku gagal paham. Lelaki itu dengan wajah polosnya tersenyum manis, aku saja sampai dibuat heran sekali dengan ucapannya.

“Apa yang kamu maksud, aku tidak paham,” ujarku.

Dika tertawa sejenak, kemudian kembali berujar dengan nada geli, “Sudah jangan dipikirkan, Bintang, aku hanya ingin berkata jujur saja.”

Aku terpaksa memutar otak guna mencerna perkataan yang dilontarkan oleh Dika. Setelah menemui titik terang dari permasalahan ini aku kembali berujar, “Mengapa kamu ingin menemuiku, Dika?”

“Hm, apa ya?” tanya Dika pada dirinya sendiri.

“Aku hanya ingin berteman dan melihatmu saja, Bintang. Apakah tidak boleh?” tanya lelaki tampan itu, suara khasnya terdengar serius.

Aku yang masih tidak paham apa yang dibicarakan Dika kembali mengajukan pertanyaan, “Maksudmu?”

“Astagfirullah, Bintang, kamu benar-benar ya,” ujar Dika yang mengusap dadanya dengan sabar.

“Jujur, aku nyaman berteman denganmu, dan entah mengapa aku selalu ingin berdekatan denganmu, Bintang.”

Deg!

Perkataan Dika barusan berhasil membuat jantungku hampir meloncat keluar, aku tidak percaya jikalau Dika akan lancang dan seberani ini mengungkapkan perasaannya. Walaupun kutahu mungkin hanya perasaan nyaman sebagai seorang teman. Namun, aku benar-benar tidak bisa berpikir jernih untuk saat ini.

Aku segera berlalu dari hadapan Dika, meninggalkan lelaki itu dengan beribu tanda tanya pastinya. Aku benar-benar tidak menghiraukan panggilan nyaring yang keluar dari mulut Dika, pikiranku benar-benar kacau.

Uring-uringan

1 0

- Sarapan Kata KMO Club Batch 38

- Kelompok 6 Dawai Aksara

- Jumlah Kata 334

Aku benar-benar tidak habis pikir dengan lelaki tampan berkulit putih bersih itu. Perkataan Dika tadi pagi berhasil membuatku uring-uringan dan hilang arah seperti ini. Aku yang masih terduduk di bangku yang sudah hampir setahun aku tempati itu terkejut, saat sebuah tangan mengagetkanku. Suara cempreng yang keluar dari mulut mungil milik Celi, berhasil membuatku hampir terjungkal karena terperanjat.

“Kamu lagi kenapa sih, Arayla Bintang Khalistha?” tanya Celi penasaran, gadis itu duduk di hadapanku sembari menopang dagu runcing miliknya. “Apa yang membuat gadis cantikku ini terdiam seperti patung.”

Aku sempat diam sejenak, sebelum akhirnya membuka suara, “A-ku, aku bingung, Ce.”

Celi, gadis cantik dengan make up tipis yang mirip seperti orang negeri ginseng itu sempat mengerutkan keningnya. Alis cantik miliknya juga saling bertautan, karena bingung dengan perkataanku.

“Bingung kenapa tuan putri?” tanya Celi gemas, gadis itu kembali berujar dengan nada suara dibuat-buat, “Siapa sih lelaki yang berhasil membuat seorang Arayla Bintang Khalistha bingung dan uring-uringan seperti ini kalau bukan Geraldan, iya tidak, Ay?”

“Celi kamu itu ya! Pelan-pelan dong ngomongnya, nanti ada yang dengar bagaimana?” tanyaku kesal.

Gadis cantik itu sempat tertawa kemudian menjulurkan lidahnya untuk mengejekku, “Ya biarin aja, haha.”

Setelah itu tawa Celi pecah memenuhi ruangan dengan cat berwarna biru langit. Aku meringis dibuatnya, tawa dari gadis cantik itu berhasil membuat semua pasang mata tertuju pada kami. Tidak sedikit dari warga kelas yang mengagumi kecantikan gadis cantik nan baik hati itu.

“Maaf gais,” ujar Celi dengan cengiran khasnya. Gadis itu kembali memfokuskan perhatiannya padaku, “Astagfirullah, maaf juga, Ay. Lanjut-lanjut tadi sampai mana?”

Aku hanya menggeleng saja, gadis cantik itu memang benar-benar berbeda dari kebanyakan gadis lainnya. Aku menatap wajah cantik dengan balutan kerudung berwarna putih itu, kemudian berujar memperingati, “Cece, rambutmu kelihatan, coba perbaiki dulu jilbabnya.”

Celi langsung kewalahan, gadis itu sesegera mungkin membenarkan rambut dan juga letak kerudungnya, kemudian gadis itu meminjam kaca kepada Aina untuk melihat pantulan wajahnya di cermin kecil itu.

“Aku cantik ya, Ay, haha,” ujarnya dengan penuh percaya diri, sambil terkekeh geli.

 

“Iya, kamu cantik, benar-benar cantik sekali, Celicia.”

Sebatas teman tanpa perasaan

1 0

- Sarapan Kata KMO Club Batch 38

- Kelompok 6 Dawai Aksara

- Jumlah Kata 327

“Bintang!”

Pekikan lantang dari suara serak yang begitu kukenali, suara yang tadi pagi berhasil membuatku kekurangan pasokan udara. Dika yang melihatku segera bergerak untuk menghampiriku, aku yang melihat Dika yang semakin mendekat membuatku segera menghindar. Jujur, aku masih tidak tahu harus berbuat apa.

“Bintang, berhenti sebentar aku perlu bicara,” ujar Dika yang masih sedikit berlari ke arahku.

Aku yang masih tidak menghiraukan ucapannya tetap berjalan dan sedikit mempercepat langkahku untuk menjauhi sosok lelaki tampan itu. Aku bergegas menuju gerbang sekolah agar terhindar dari Dika yang masih kekeh mengejarku.

“Bintang!” ujar Dika, lelaki itu menarik tanganku agar berhenti.

Aku sontak menghempas tangannya, untuk melepaskan pergelangan tanganku yang dicekal olehnya. “Dika!” ujarku tegas, memperingatinya untuk tidak mengulangi perbuatannya tadi.

“Maaf, Bintang,” ujar Dika. Lelaki itu menatapku sendu, kemudian kembali berujar, “Aku berbuat salah padamu ya, Bintang?” 

“Apakah kata-kataku tadi salah atau aku berbuat salah yang lain padamu?” tanyanya lagi.

“Tolong jangan diam seperti ini, tolong jangan marah padaku, Bintang,” ujar Dika, memohon dengan tulus dan penuh penyesalan.

“Aku hanya ingin jujur, itu saja. Aku hanya nyaman berada di dekatmu dan senang mempunyai teman sepertimu. Aku tidak bermaksud lain atau ingin meminta lebih, aku hanya ingin berteman dengan orang baik sepertimu.”

Aku tertegun sejenak, kata-kata yang dilontarkan Dika barusan sangat menyentuh hatiku. Aku tak ingin mengartikan lebih, hanya saja Dika yang bilang seperti itu. 

“Dika,” panggilku, aku yang merasa tidak enak hati padanya sedikit menundukkan kepala. Jujur, aku masih tidak tahu harus berbuat apa.

“A-aku tidak tahu harus menanggapi apa,” ujarku sedikit gugup.

Dika tersenyum kecil, kemudian berujar, “Tidak masalah, Bintang. Aku hanya ingin jujur dengan yang aku rasakan.”

“Kamu masih mau berteman denganku kan?” tanya Dika serius.

Aku masih diam, tidak menanggapi pertanyaannya. Aku bingung harus bagaimana, tetapi hanya berteman tidak masalah bukan?

Akan tetapi aku takut akan timbul rasa lain dari pertemanan antara laki-laki dan perempuan , apalagi kutahu Dika yang nyaman berada di dekatku. Bukan terlalu percaya diri, hanya saja lelaki itu sendiri yang berbicara seperti itu.

Yang dekat dan asing

1 0

- Sarapan Kata KMO Club Batch 38

- Kelompok 6 Dawai Aksara

- Jumlah Kata 372

“Bintang,” panggil Dika dengan nada suara lemah. Lelaki itu masih sibuk menatapku dengan tatapan sendu. Melihat tidak ada jawaban dariku, lelaki tampan itu kembali mengangkat suaranya, “Maaf jikalau aku lancang, maaf juga mungkin kamu tidak mau berteman dengan orang sepertiku.”

Aku terdiam, tidak tahu harus berbuat apa. “Tidak, tidak, bukan itu maksudku,” batinku berteriak, namun, untuk berbicara di hadapannya aku terlampau kesulitan.

“Kalau begitu terima kasih ya, Bintang, kamu sudah mengizinkan aku untuk berteman denganmu walaupun sebentar. Maaf juga telah membuatku risih, dan terganggu dengan kehadiranku,” ujar Dika dengan nada lemah. Lelaki itu menatapku dalam dan lama, kemudian berujar lagi untuk pamit dan meninggalkanku, “Aku pamit dulu ya, assalamualaikum.”

Dika membalikkan badannya, berjalan meninggalkanku. Aku yang melihat itu langsung memanggil namanya, meminta Dika untuk berhenti, “Dika, tunggu.”

Dika memberhentikan langkahnya, membalikkan badannya untuk kembali menghadap ke arahku. Dika menunggu aku yang membuka suara, lelaki itu masih setia diam dengan wajah tampan yang terlihat lemah.

“Maaf Dika, aku tidak bermaksud demikian, aku hanya tidak tahu harus berbuat apa,” ujarku, sembari tertunduk lemah. Aku kembali melirik Dika, dan berujar kembali, “Aku rasa sekarang hanya sebatas teman tidak terlalu masalah.”

Wajah tampan Dika berubah menjadi secerah matahari, lelaki itu menarik bibirnya hingga ke sudut, memperlihatkan senyuman semanis gula. Lelaki itu kemudian berujar, “Jadi aku boleh berteman denganmu?” 

Aku mengangguk kecil sebagai jawaban, kemudian tersenyum manis. Aku tidak tahu ini keputusan yang tepat atau tidak. Akan tetapi, harapku agar baik ke depannya dan tidak akan ada dosa pada akhirnya.

***

Beberapa hari ini aku selalu bersama Dika dan jangan juga Celi. Bukan hanya sekedar bermain atau bertukar cerita tentang topik yang hangat-hangatnya dibicarakan. Tetapi juga belajar bersama. Seperti hari ini, kami menghabiskan waktu untuk belajar bersama di perpustakaan sekolah.

“Ay!” panggil Celi, gadis itu menyikut lenganku untuk melihat arah pandangnya. 

Aku melihat sosok lelaki yang belakangan ini tidak kulihat wajahnya. Lelaki tampan yang kurasa sedang menjauhiku, lelaki itu seperti menjaga jarak denganku dan membuat hubungan kami menjadi asing. Geraldan berjalan memasuki perpustakaan dengan seorang gadis yang seperti pernah kulihat.

Aku berpikir sejenak, siapa sosok gadis yang bersama Geraldan. Aku ternyata mengingatnya, gadis yang beberapa waktu lalu kulihat di story Instagram Geraldan. Entah mengapa, mengingatnya membuat hatiku sakit, bak ditikam sebilah pisau yang membuat sesak dan mematikan.

Menahan Sesak

1 0

- Sarapan Kata KMO Club Batch 38

- Kelompok 6 Dawai Aksara

- Jumlah Kata 349

Mataku tidak berpindah, menatap objek yang membuat hatiku sakit. Entah mengapa melihat Geraldan bersama gadis itu membuat hatiku hancur berkeping-keping. Mataku memanas, akan tetapi, masih kutahan bulir air bening yang kapan pun bisa meluruh membasahi pipi.

Aku tidak ingin menangis, karena aku bukanlah gadis yang lemah. Namun, entah mengapa ketika berhadapan dengan Geraldan aku mendadak menjadi pribadi yang cengeng dan perasa seperti ini. 

“Ay,” panggil Celi, gadis itu mencengkeram erat bahuku, seolah memberi kekuatan.

Aku melihat wajah Celi yang juga tampak muram, tapi setelahnya senyum kecut terbit dari wajah cantiknya. Gadis itu berujar memberiku semangat, “Jangan terlalu di pikirkan, Ay. Bisa saja yang ada di pikiran kamu itu salah. Jangan menduga-duga, takut jika nanti berujung dosa, Ay.”

Aku mengangguk, setuju akan apa yang di ucapkan Celi tadi. Aku segera beristighfar, menghilangkan pikiran-pikiran jahat yang hinggap di benakku. Aku tak ingin terlihat lemah di hadapan banyak orang, apalagi sekarang ada Dika yang juga berstatus sebagai temanku.

Aku sampai melupakan lelaki itu, wajah tampan Dika terlihat sarat akan tanda tanya. Aku rasa mungkin lelaki itu bingung apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang Celi dan aku bicarakan.

“Maaf ya, Dika. Kami mengabaikan kehadiranmu,” ujarku.

“Iya, Bintang, tidak masalah,” ujar Dika, lelaki itu tetap menampilkan senyuman termanisnya.

Setelahnya kami hanya sibuk bergelut dengan buku bacaan, tidak ada yang berbicara atau memulai pembicaraan. Aura di sekitar mendadak sepi, seolah mati tertelan sakit hati. Tiba-tiba saja sebuah suara yang menjadi candu bagiku terdengar mengudara. Suara berat yang sedikit serak khas Geraldan dengan tidak sopannya masuk ke dalam indera pendengaran, kemudian menjelajahi hatiku.

“Assalamualaikum,” ujar Geraldan, mengucap salam. Lelaki tampan itu menghampiri meja kami bersama dengan gadis tadi. “Apakah kami boleh bergabung?” tanya Geraldan lagi.

Dika yang sedari tadi diam menatap Geraldan lama, setelahnya melirik ke arahku dan Celi bergantian, meminta persetujuan. Melihat tidak ada komentar apapun dari kami, Dika membuka suara, “Aku terserah pada Bintang saja.”

Aku mendadak membulatkan mata lebar-lebar, Dika ini memang benar-benar menyebalkan. Aku melirik Geraldan yang masih diam bersama gadis itu. Terpaksa aku mengangguk, memberikan izin untuk mereka bergabung. Walaupun sesak sekali, melihat lelaki yang begitu kucintai bersama gadis lain.

Penjelasan

1 0

- Sarapan Kata KMO Club Batch 38

- Kelompok 6 Dawai Aksara

- Jumlah Kata 321

Mataku kembali memanas, melihat interaksi antara Geraldan dengan gadis cantik itu. Paras cantik dari gadis berkulit putih bersih itu bak bidadari kayangan. Hidungnya yang mancung, bibir mungil yang ranum, juga iris matanya yang berwarna dark grey, menambah kesan cantik pada wajah blasteran itu.

Geraldan, lelaki itu menarik kursi yang akan di duduki gadis itu, kemudian duduk pada kursinya ynag berhadapan langsung denganku. Aku melihat wajahnya yang tampak berbeda dari sewaktu terakhir kali kami bertemu di gerbang sekolah Laksamana. Aku yang pada saat itu sedang bersama Dika, terpaksa harus meninggalkan Geraldan sendirian.

Aku menunduk malu, ketika mataku dan mata berwarna hitam pekat kepunyaan Geraldan bertemu. Lelaki itu melihatku yang tengah mencuri pandang kepadanya. Suasana kembali terasa begitu hening, tiada yang membuka suara di antara kami, sebelum akhirnya Dika yang bergaya perihal gadis yang tampak saing dimatanya.

“Geraldan, dia siapa? Aku tidak pernah melihat wajah gadis ini sebelumnya,” tanya Dika, yang kebetulan duduk bersebelahan dengan Geraldan.

Geraldan tidak menjawab, lelaki itu lebih dulu melirik ke arahku. Mungkin lelaki itu menangkap jelas raut wajah penasaran yang tercetak. Aku segera membuang muka, menghindari padangan pada Geraldan.

Setelahnya Geraldan mulai membuka suara, “Namanya Adinda Nazhifa, murid baru pindahan dari SMA Dirgantara. Dia—“ Geraldan sengaja tidak melanjutkan ucapannya, lelaki itu kembali melihatku yang masih sangat penasaran. Lelaki itu sedikit terkekeh sebelum melanjutkan ucapannya, “Dinda ini sepupuku, kami tidak memiliki hubungan apa-apa karena kami sepupu, Ay.”

Geraldan menatap dalam mataku, entah apa yang di pikirkan lelaki itu sehingga ia menyebutkan namaku. Aku meringis saat Geraldan kembali membuka suaranya, “Sungguh aku tidak menjauhimu, Ay. Hanya saja aku merasa belum pantas untuk berada di dekatmu. Aku sedang berkaca dan mencoba untuk lebih memperbaiki diri agar bisa mensejajarkan posisiku pada gadis cantik dan Sholihah sepertimu.”

Entahlah apa yang merasuki hati dan pikiran Geraldan sehingga mampu berbicara seperti itu. Namun, satu yang harus kalian tahu, hatiki benar-benar tidak biak-baik saja mendengar ucapannya. Jantungku berdegup kencang melebihi lagu apapun di dunia ini.

Geraldan dan sikap manisnya

1 0

- Sarapan Kata KMO Club Batch 38

- Kelompok 6 Dawai Aksara

- Jumlah Kata 348

Perkataan yang diucapkan Geraldan tadi benar-benar membuatku uring-uringan, entahlah sebuah perasaan apa ini, tapi kurasa sudah terlampau berlebihan. Aku yang tengah duduk di balkon kamar sembari menikmati kegelapan dan heningnya malam sedari tadi hanya senyum-senyum seperti orang yang sedang kerasukan. 

“Dinda ini sepupuku, kami tidak memiliki hubungan apa-apa karena kami sepupu, Ay.”

“Sungguh aku tidak menjauhimu, Ay. Hanya saja aku merasa belum pantas untuk berada di dekatmu. Aku sedang berkaca dan mencoba untuk lebih memperbaiki diri agar bisa mensejajarkan posisiku pada gadis cantik dan Sholihah sepertimu.”

Berulang kali kata yang di ucapkan Geraldan beberapa waktu lalu berputar di benakku, berulang kali juga hatiku berdebar-debar dibuatnya. Memang bukan kata-kata manis yang keluar dari mulut lelaki itu. Namun berulang kali kukatakan, hatiku begitu tersentuh mendengarnya.

Aku benar-benar terlihat seperti orang yang tidak waras. Kusudahi sesi bercengkrama dengan dunia khayal dan juga malam. Tanganku kemudian menggapai cangkir yang berisi kopi hitam, menyeruputnya hingga habis, kemudian membawa cangkir kosongnya untuk di cuci. 

Aku memang menyukai kopi, warna hitam dan rasa pahitnya, juga aroma khas yang begitu harum menambah kecintaanku pada minuman itu. 

***

Aku membenarkan tali sepatu yang terlepas, kemudian kembali berdiri untuk melanjutkan langkah menuju kelasku. Aku sengaja datang lebih awal hari ini, karena aku sudah berjanji pada Celi untuk belajar bersama sebab kelas kami sedang ada ulangan.

Akan tetapi, di tengah-tengah perjalanan, suara yang begitu kukenali memanggilku. Aku yang begitu mengenali suara serak khas Geraldan memberhentikan langkah. Tanpa di perintah, bibirku terkembang hingga ke sudut, menampilkan senyuman manis.

“Assalamualaikum, Arayla,” sapa Geraldan, lelaki itu seperti biasa memberi salam, dan memanggil namaku dengan begitu lembut. Hatiku yang lemah ini sampai hampir tidak berfungsi dibuat lelaki itu.

Aku menunduk malu, kemudian menjawab salamnya, “W-aalaikumsalam.”

Geraldan sempat terkekeh kecil, kemudian lelaki itu kembali berujar, “Kamu lucu sekali, Ay.” 

Entah apa yang sedang di tertawakan oleh lelaki itu, tapi tawa dari suara serak khasnya begitu candu bagiku. Hatiku berdebar kala mendengar suara itu, kemudian aku bertanya kepada Geraldan, “Mengapa kamu tertawa, Geraldan?”

Lelaki itu tersenyum sangat lebar, kemudian berujar dengan nada suara lembut, “Kamu begitu manis dan menggemaskan, Ay, aku sampai ingin mencubit pipimu.”

Pamit

1 0

- Sarapan Kata KMO Club Batch 38

- Kelompok 6 Dawai Aksara

- Jumlah Kata 307

Lelaki itu tersenyum sangat lebar, kemudian berujar dengan nada suara lembut, “Kamu begitu manis dan menggemaskan, Ay, aku sampai ingin mencubit pipimu.”

Pipi gembul milikku bersemu merah padam, entah mengapa juga terasa begitu panas. Perutku mendadak mulas, seolah berterbangan ribuan kupu-kupu di dalamnya. Geraldan dan kata-katanya juga sikap manis yang selalu ditunjukkan padaku selalu berhasil membuat tubuhku lemah, jantungku berdebar kencang, juga mendadak kelu dan kaku ketika berhadapan dengan sosok lelaki bertubuh jangkung itu.

Geraldan, lelaki tampan berkulit sedikit gelap yang menambah kesan manis pada wajahnya itu tersenyum ke arahku, kemudian lelaki itu menyodorkan paper bag yang entah isinya apa. Aku tak segera menerimanya, aku takut jikalau aku salah mengartikan maksud Geraldan.

Geraldan kembali menatapku yang tidak kunjung menerima uluran paper bag berwarna biru darinya, lelaki itu berdecak kemudian berujar, “Arayla ini untukmu, tolong terima ya.”

Aku yang masih diam membuat Geraldan jengah sendiri, lelaki itu menyelipkan paper bag itu pada jemariku yang lentik. 

“Ini hanya hadiah kecil untukmu, tolong di terima dan semoga kamu suka ya, Ay.” 

Geraldan sempat menatapku lama, kemudian lelaki itu kembali berujar, “Aku tidak memiliki maksud apapun, hanya saja aku ingin pamit. Mulai hari ini aku akan menjaga jarak denganmu. Akan tetapi, ketahuilah aku tidak akan pernah melupakanmu, Ay.”

“Aku hanya tidak ingin kedekatan kita membuat malapetaka dan berakhir menjadi ladang dosa. Jangan khawatir aku akan segera kembali, tunggu aku siap ya, Ay. Jangan pernah berniat untuk melupakan aku,” ujar Geraldan penuh keberanian, lelaki itu tampak begitu tenang ketika mengucapkan kalimat itu.

Seperti tidak ada beban sedikit pun, Geraldan kembali membuka suara, “Ay, aku harap kita diperkenankan untuk bersatu, semoga kamu layak untukku dan aku juga pantas untukmu. Sampai bertemu di titik terbaik menurut takdir.”

Aku masih tetap diam, sudah kali ke sekian Geraldan berhasil membuatku terdiam. Entah berapa lama kami terdiam di tempat, sampai-sampai Geraldan kembali berujar untuk pamit dan meninggalkanku.

Tanpa hadirnya

1 0

- Sarapan Kata KMO Club Batch 38

- Kelompok 6 Dawai Aksara

- Jumlah Kata 329

- PR

“Aku pamit dulu ya, Arayla. Tunggu aku agar mampu menyamaimu, semoga kamu layak untukku dan kamu juga pantas untukku.”

“Semoga kita berjodoh dan ditakdirkan untuk bersama, selamanya.”

Kata-kata yang diucapkan Geraldan benar-benar membuatku terdiam, aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku hanya bisa menatap kepergian lelaki tampan itu. Akan tetapi, satu yang aku tahu, aku hanya perlu menunggu Geraldan hingga hari terbaik menurut takdir yang Geraldan harapkan.

***

Berbulan-bulan sudah kulewati, tanpa kehadiran sosok Geraldan pastinya. Sebab, Geraldan tetap memilih untuk menjauhiku. Hingga hari ini pun tiba, hari perpisahan sekolah menengah atas. Aku yang sudah siap dengan kebaya modern berwarna merah muda itu menatap sekali lagi pantulan diriku di depan cermin besar kesayanganku. Aku benar-benar terlihat begitu cantik dengan balutan busana ini, aku tidak berdusta. 

Setelahnya aku melangkah keluar, berjalan anggun dengan heels yang tidak terlalu tinggi menuju mobil yang sudah terdapat Ayah dan Ibu. Baru saja aku menduduki kursi pengemudi, sepasang kekasih itu menatapku begitu kagum.

“MasyaAllah, bidadari dari mana ini, Bu?” tanya Ayah. 

“Bidadarinya Ayah dan Ibu dong,” jawab Ibu, beliau melirikku sambil tersenyum jahil.

Aku tertawa melihat interaksi keduanya, tetapi sungguh, ada sesak yang menyelimuti hati. Aku takut menerima kenyataan bahwa hari ini merupakan hari terakhirku berstatus sebagai pelajar. Sekaligus hari terakhir aku dapat melihat gerak-gerik Geraldan, lelaki yang selalu menjadi alasanku bahagia sekaligus terluka pula.

Setelah sampai pada hotel yang memang sengaja dipesan oleh sekolahku untuk acara perpisahan, aku berjalan memasuki hotel dengan sedikit tergesa, tidak ingin terlambat dan melewatkan rangakaian perpisahan ini. Aku segera mengotak-atik ponsel mencari nomor Celi, dan menelpon gadis cantik itu untuk menanyakan keberadaannya. 

“Sini, Ay!” pekik Celi dari kejauhan, sembari melambai-lambaikan tangannya. Aku segera menghampirinya, tak ingin lebih banyak manusia yang menyaksikan Celi dengan segala kehebohannya.

Beberapa jam sudah berlalu, dan sampailah pada penghujung acara, yaitu salam perpisahan. Gedung hotel kini diselimuti suasana haru, banjir air mata, dan raungan terdengar menggema. Aku benar-benar sedih, tetapi aku sadar bahwa setiap pertemuan akan ada perpisahan. Yang paling penting kita harus ikhlas menerima takdir.

Perpisahan

1 0

- Sarapan Kata KMO Club Batch 38

- Kelompok 6 Dawai Aksara

- Jumlah Kata 442

Aku memeluk erat sahabat terbaikku. Kanaya Celicia, aku sangat beruntung sekali bisa bersahabat dengan gadis cantik yang tengah menangis tersedu di dalam pelukanku. Aku mengusap punggungnya, berbisik lirih di telinga gadis itu, “Ini bukan akhir, Ce, bahkan ini awal dari perjalanan hidup kita. Kita tidak akan berpisah, kecuali dengan yang namanya maut.”

Mendengar ucapanku Celi kembali meraung, semakin mendekap erat pelukannya sampai-sampai membuatku hampir kehilangan keseimbangan. “Celi, kamu terlalu berlebihan cengengnya.”

Mendengar ledekan yang kulontarkan membuat Celi mengurai pelukannya. Gadis itu berujar ketus dengan tersedu dan suara serak, “Ka-mu ya, Ay, orang lagi sedih juga, kamu malah ketawa. Coba saja kamu jadi aku yang harus merelakan kepergian sahabat, kamu juga bakalan nangis kejer kan.”

“Aku tidak akan pergi, Celi. Aku tidak akan pernah meninggalkan sahabatku yang cengeng ini,” ujarku dengan nada mengejek, tanganku terulur mencubit gemas hidung mancung miliknya.

“Katanya kamu mau lanjut kuliah di Turki?” tanya Celi masih dengan tersedu-sedu. Gadis itu sibuk mengusap bulir air bening yang turun membanjiri pipinya. Walaupun demikian, gadis itu masih terlihat begitu cantik.

Aku tertawa sebelum menjawab pertanyaannya, “Setelah kupikirkan, aku tidak sanggup untuk meninggalkan Ayah dan Ibu, jadi aku lebih memilih untuk kuliah di sini, Celi, bersamamu.”

Mendengar ucapanku, Celi segera berhambur untuk kembali memelukku erat. Gadis itu meluapkan rasa bahagianya. Aku juga membalas dekapan itu tak kalah erat. Akan tetapi, ada sesuatu yang mengusik relung hatiku. Aku mencari sosok lelaki yang sampai saat ini tidak nampak batang hidungnya.

Akan tetapi, bukan lelaki itu yang tertangkap dalam indera penglihatanku. Dari kejauhan kulihat seorang lelaki bertubuh tinggi yang berjalan mendekati kami. Lelaki yang begitu kukenali dan beberapa waktu ini hadir menjadi sosok teman terbaikku dan Celi. Al Ghifari Dryandika, lelaki dengan balutan jas berwarna abu-abu itu memberikan dua buket bunga yang dirangkai begitu indah.

“Untuk, teman terbaik, sukses selalu kalian,” ujar Dika sembari menampilkan senyuman termanisnya. “Jangan pernah lupakan aku ya.”

Celi segera mengambil buket bunga itu, kemudian menciuminya. Gadis itu berujar, “Cantik sekali seperti aku, terima kasih banyak, Dika.”

Aku pun sama, mengambil buket pemberian Dika, kemudian berujar, “Terima kasih ya, Dika. Sukses juga untuk kamu, dan jangan lupakan kami juga ya.”

“Sudah pasti, Bintang,” ujar Dika tersenyum manis. 

“Oh iya sepertinya setelah ini aku akan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Padang, Bintang, Celi, Untuk itu aku ingin sekalian pamit pada kalian.” Lelaki itu kembali berujar dengan nada lemah, “Jangan lupa untuk selalu bertukar kabar ya. Jika ada waktu luang, aku akan kembali ke sini dan bercengkrama dengan kalian.”

Kami sama-sama tersenyum. Memang benar ternyata kita akan selalu dipisahkan dengan yang namanya perpisahan.

Bukan sebuah akhir

1 0

- Sarapan Kata KMO Club Batch 38

- Kelompok 6 Dawai Aksara

- Jumlah Kata 360

Setelah semua rangkaian acara perpisahan benar-benar sudah usai, sepucuk surat datang padaku. Sepucuk surat berwarna merah muda dengan stiker berbentuk hati itu diberikan oleh seorang anak kecil laki-laki yang begitu menggemaskan. Aku tidak segera membukanya, aku lebih memilih untuk membawanya pulang ke rumah terlebih dahulu.

Setelah sampai di rumah aku langsung membuka surat itu, rasa penasaran benar-benar menghantuiku. Aku membukanya perlahan, membaca dengan seksama tulisan yang tidak begitu bagus, namun, masih bisa kubaca. Aku membacanya hingga akhir, tanpa sadar setetes air mata mengalir dari mataku. Ternyata surat itu pemberian dari Geraldan, lelaki itu menjelaskan semuanya. 

Menjelaskan alasannya mengapa menjauhiku, menjelaskan mengapa dirinya tidak ingin berdekat-dekatan denganku. Lelaki itu juga memberi tahu tentang keberangkatannya menuju Arab pada beberapa Minggu ke depan. Ternyata Geraldan lolos pada pendaftaran beasiswa di salah satu kampus di sana.

Jangan lupakan satu hal, Geraldan sudah berani untuk mengungkapkan perasaannya. Kata lelaki itu dia juga sudah mulai mencintaiku dan belajar untuk mencintaiku ikhlas karena Allah taala. “Ahh yaallah, aku benar-benar tidak menyangka ternyata Geraldan benar-benar menepati janjinya,” batinku.

Sungguh ingin rasanya aku berteriak lantang, meluapkan debar-debar yang ada di hatiku. Aku sampai menenggelamkan wajah cantikku yang masih dipoles oleh make up. Aku kembali membacanya sekali lagi, surat yang di tulis oleh tangan Geraldan.

Assalamualaikum, Ay. Sebelumnya selamat ya atas buku best seller pertama yang sudah berhasil kamu terbitkan. Terima kasih juga untuk semuanya. Aku minta maaf, Ay. Maaf karena belum bisa menjadi yang terbaik untukmu. Akan tetapi aku janji, aku akan berusaha untuk itu.

Ay, jangan pernah lupakan aku ya atau berniat untuk melupakan rasamu. Aku juga mencintaimu, Ay, ikhlas karena Allah taala. Tetapi aku belum mampu untuk bersama kamu, aku merasa belum pantas untuk bidadari sebaik dan secantik kamu. Maaf mungkin diamku membuatmu bimbang, tetapi jujur aku hanya tak ingin merusak makhluk Allah yang seindah kamu. 

Oh iya aku akan melanjutkan studi ke Arab, aku harap kamu mau menunggu kepulanganku dan kesiapanku untuk mempersuntingmu. Doakan aku selalu ya, Ay. Terima kasih dan selamat tinggal, Ay.

Aku menangis tersengguk-sengguk, aku tak tahu ini air mata kesedihan atau kebahagiaan. Yang pasti aku akan menanti janji dan kepulanganmu Geraldan, aku akan tetap memilih untuk mencintaimu dengan ikhlas karena Allah taala.

Penantian yang terkesan hampa

1 0

- Sarapan Kata KMO Club Batch 38

- Kelompok 6 Dawai Aksara

- Jumlah Kata 332

Berbulan-bulan sudah kulewati tanpa kehadiran sosok lelaki tampan berkulit sedikit gelap, dengan perawakan sangar yang begitu aku kagumi. Sungguh hari-hariku terasa monoton, seperti tidak berwarna tanpa kehadiran lelaki manis itu. Aku benar-benar merasa ada yang hilang dalam diriku.

Jujur, Geraldan memanglah penyemangatku, lelaki itu menjadi impact terbesarku dalam menjalani hidup. Ketika Geraldan pergi, seakan separuh semangatku ikut pergi, terbang ke negeri arab. Aku benar-benar kehilangan sosok yang selalu menjadi penyemangat, sehingga hari-hari yang kujalani terasa begitu membosankan tanpa kehadirannya.

“Arayla,” panggil Ibu, wanita cantik dengan balutan kerudung berwarna abu-abu itu menyembulkan kepala di depan pintu. Ibu tersebut lebar kemudian mengajakku untuk sarapan pagi, “Ayo sayang, sarapan dulu, nanti kamu terlambat mau kuliah.”

Aku segera mengangguk, bangkit untuk segera menghampirinya. Aku memang ada jadwal kuliah pagi ini, aku yang mengambil jurusan sastra bahasa Indonesia, terpaksa harus beda jadwal dengan Celi yang jurusan ekonomi.

Entah apa yang sedang dicari oleh gadis itu hingga memilih menempuh jalan yang jelas-jelas aku tahu tidak disukainya. Akan tetapi, biarkan saja gadis cantik itu menikmati hidupnya.

“Ayah, Ibu,” sapaku, seperti biasa senyuman secerah mentari yang aku terbitkan untuk mengawali hari. Aku tidak ingin Ayah dan juga Ibu mengetahui perasaanku yang begitu kacau tanpa hadirnya Geraldan. Aku selalu berusaha untuk terlihat bahagia di depan semua orang.

“Pagi bidadari cantik, Ayah,” ujar Ayah, seperti biasa pria tampan itu berkata manis semanis gula. Aku mengetahui tabiat Ayah yang terlihat sangar dan cuek di luar, padahal di rumah beliau yang selalu menjadi penyemangat sekaligus pelindung kami.

“Makan, Ay, nanti kamu terlambat kuliahnya lagi. Hari ini pulang jam berapa?” tanya Ibu, wanita itu menyendokkan nasi dan meletakkannya di atas piring milikku.

“Sekitar jam 2, Bu, Ay ada kelas tambahan soalnya,” jawabku, setelahnya tidak ada yang bersuara selain dentingan sendok yang beradu dengan piring.

Setelah selesai aku segera berpamitan pada Ayah dan Ibu untuk melanjutkan hari-hariku yang begitu suram tanpa hadirnya Geraldan. Setidaknya aku masih memegang janji yang Geraldan lontarkan untuk melamarku menjadi bidadarinya kelak.

Epilog: Akhir dari sebuah cinta berlandaskan ikhlas

1 0

- Sarapan Kata KMO Club Batch 38

- Kelompok 6 Dawai Aksara

- Jumlah Kata 671

Menjelang tahun terakhir perkuliahan, membuat aku semakin menyibukkan diri dengan berbagai persiapan. Terutama soal persiapan sidang akhir. Berkas-berkas untuk mengajukan sidang untuk skripsi sudah aku kumpulkan kebagian tata usaha jurusannya. Saat dia sibuk menata dokumen di luar ruang tata usaha, tiba-tiba sebuah pesan singkat masuk pada gawai milikku.

“Selamat siang, berikut ini jadwal sidang skripsi untuk saudari Arayla Bintang Khalistha. Jumat, 10 Mei 2024, jam 10.00. Dimohon untuk datang 30 menit sebelum sidang. Terima kasih.”

Aku bukannya tidak gugup menghadapi sidang akhir yang kurang dari tiga hari lagi. Perasaanku sungguh bercampur aduk dari rasa bahagia, cemas dan juga pasrah. Aku telah mencapai tahap ini dengan usaha maksimalku. Apa pun hasilnya nanti, aku akan tetap menerimanya. Karena jikalau bukan aku yang menghargai usahaku siapa lagi?

***

Akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Hari ini tepatnya aku wisuda untuk kelulusan dan gelar sarjanaku. Aku yang sudah siap dengan kebaya berwarna merah muda dan riasan cantik pada wajahku menatap sekali lagi ke dalam cermin. Aku benar-benar puas pada riasan yang berasal dari jemariku, sebab aku terlihat begitu cantik dan anggun. Setelahnya kau segera berangkat menuju tempat acara bersama Ayah dan juga Ibu.

Beberapa menit lagi para mahasiwa yang telah berbaris rapi di luar gedung lengkap dengan toga mereka akan bersiap memasuki gedung. Setelah melewatkan berbagai acara, kini acara wisuda sudah memasuki tahap akhir. Setelah diizinkan untuk meninggalkan ruangan, para sarjana-sarjana yang seperjuangan denganku terlihat berbaris, berucap syukur dalam hati dengan perasaan haru kemudian perlahan keluar meninggalkan gedung.

Aku sudah berhasil menyelesaikan kuliah, dan sekarang aku sudah menyandang gelar sarjana. Empat tahun sudah kulewati tanpa kehadiran sosok Geraldan yang menjadi penyemangat terbesar dalam hidupku selain Ayah dan Ibu. Aku benar-benar merindukan kehadiran lelaki manis berkulit sedikit gelap yang menambah kadar gula pada wajah tampannya. 

Sudah kubilang bukan? Hari-hari yang kujalani terasa begitu monoton tanpa hadirnya lelaki itu. Akan tetapi aku tidak terus-menerus bersedih, aku harus tetap semangat menjalani kehidupan dan menunggu sebuah janji yang Geraldan lontarkan kepadaku. Aku benar-benar menanti kepulangan Geraldan bersama dengan janjinya.

Aku yang diselimuti rasa haru berjalan mendekati Ayah dan Ibu yang juga tampak begitu bahagia. Walaupun kutangkap sedikit bulir air mata yang tertampung di sudut matanya. Aku segera berhambur untuk memeluk dan mencium kedua orang tuaku. Aku benar-benar bersyukur dilahirkan ditengah-tengah orang tua sebaik mereka. Tidak ada kata lagi yang dapat kuucapkan untuk mendeskripsikan sosok Ayah dan Ibu.

Di sebelah mereka ada si cantik yang cengeng, Celi yang sudah berjanji untuk menghadiri acara wisudaku terlihat begitu cantik. Gadis itu membawa buket bunga berwarna putih yang sangat indah, lalu mendekat dan memelukku erat. Berulang kali gadis itu mengucapkan kata selamat atas kelulusanku. 

“Ay, selamat!”

Aku mendengus sebal, kata-kata itu berulang kali dilontarkan Celi. Aku kemudian berujar ketus, “Kamu sengaja kan mau membuatku kesal, Ce. Ngasih selamat berulang kali, iya sayang terima kasih banyak!”

Celi tertawa, gadis itu menjulurkan lidahnya sebelum akhirnya berlalu meninggalkanku. Aku menggelengkan kepala, entah apa yang akan gadis itu lakukan. Tiba-tiba saja ponselku berdenting, sebuah pesan yang berhasil membuatku kebingungan. 

“Tolong temui aku di taman kampus.” 

Begitu yang tertulis di pesan itu, aku sungguh kebingungan. Akan tetapi aku tetap melangkahkan kaki menuju taman kampus. Setelah sampai aku melihat seorang lelaki yang begitu aku rindukan. Laki-laki yang sampai saat ini masih kutunggu kepulangannya.

“Gerldan,” lirihku, sungguh aku ingin menangis juga saat ini. Aku yang memilih berhenti karena terkejut, membuat Geraldan mendekat ke arahku. 

Aku benar-benar tidak sedang bermimpi sekarang, di hadapanku kini tengah berdiri sosok lelaki yang begitu aku rindukan. Geraldan, lelaki itu berhasil mengobati rinduku. Air mata yang tertampung di sudut mataku sudah tidak dapat di bendung, meluruh membasahi pipi. Aku benar-benar bahagia atas kepulangan Geraldan.

Lelaki itu berujar, “Jangan menangis, cantik. Aku sudah pulang dan akan segera menepati janjiku. Maaf karena membuatmu menunggu, akan tetapi akan kubayar dengan sebuah ikatan cinta pernikahan. Aku ingin cinta berlandaskan ikhlasmu terbayar, agar kita bisa menua bersama dan menuju surga.”

Aku benar-benar tidak dapat berkata-kata lagi mendengar apa yang diucapkan Geraldan. Lelaki itu selalu berhasil membuatku terdiam karena ucapan manis yang keluar dari mulutnya. Yang pasti aku bahagia sekarang, benar-benar bahagia.

Yey

1 0

Tamat

Mungkin saja kamu suka

Dhien Novita Sa...
Kupenuhi Janjiku
Patmah
Be Your Self
Wella Triana
Pengorbanan Saudah
Indah Tinumbia
Menjeda Cinta
Irawati Amin
skizofrenia

Home

Baca Yuk

Tulis

Beli Yuk

Profil