Loading
0

0

28

Genre : Romance
Penulis : Zaetoon Za
Bab : 30
Dibuat : 14 Maret 2022
Pembaca : 1
Nama : Zaetoon Za
Buku : 1

Titik Balik Kehidupan

Sinopsis

Maryam adalah seorang anak perempuan yang hidup di desa, kehidupannya penuh dengan kesederhanaan. Tetapi, dia selalu berusaha untuk menerima takdir kehidupan yang telah Allah gariskan untuknya. Satu hal yang dia yakini, roda kehidupan pasti akan berputar. Jalani dengan ikhlas, sabar dan tetap berusaha untuk tetap berjuang. Akankah dia sukses dan hidup bahagia nanti?
Tags :
#titikbalikkehidupan

Bab 1

0 0

Riuh angin, berembus memecah heningnya malam. Suara binatang-binatang malam bersahut-sahutan, rembulan menampakkan keelokkannya, bersinar menembus kegelapan, menambah syahdunya alam. Kupejamkan mata seraya berdoa, terima kasih wahai zat yang Maha Agung, atas segala nikmat yang telah Engkau berikan. Kokok ayam membangunkanku dari lelapnya mimpi. Dinginnya air mencerahkan pandangan, membasuh setiap bagian tubuh dan memberikan kesegaran. Kuambil sepasang kain putih yang menggantung di samping tempat tidurku. Bersujud menghadap Sang Illahi Robbi, kupanjatkan doa dan munajat, kuucapkan rasa syukur yang tiada terkira.

Kubuka jendela, semburat fajar mulai menyingsing. Angin sepoi-sepoi menyentuh wajah. Kulangkahkan kaki menuju tetesan embun di dedaunan, kurentangkan kedua tangan, memberi ruang di dada, kuhirup sejuknya udara pagi. Ya Allah yang Maha Pemurah, nikmat mana yang akan kami dustakan? Begitu indah ciptaan-Mu, tiada kata yang dapat melukiskan keagungan-Mu. Semoga tangan-tangan manusia bisa menjaganya, bukan malah berulah untuk merusaknya.

Mentari mulai menunjukkan cahayanya, kupandangi hamparan tanaman padi yang berada di depanku, sejauh mata memandang, seakan tak berujung. Bulir-bulir biji padi, memancarkan cahaya kuning keemasan, mereka terus berkembang, sampai tangkai ikut merunduk. Dari merekalah kami dapatkan sumber makanan untuk menopang kehidupan. Tiada kata malu walau kami hanyalah orang tepian. Yang ada hanya rasa bangga, petani adalah pekerjaan yang mulia, bisa menghasilkan makanan pokok yang dimakan hampir seluruh manusia.

Mata bulat berbinar, pandangan yang tajam. Rambut ikal, hitam, tergerai, menambah elok wajahnya yang bulat. Kulit kuning langsat, memancarkan cahaya yang menenangkan. Maryam, teman-teman memanggilku. Seorang gadis desa, anak dari seorang petani. Kehidupan yang penuh kesederhanaan, tetapi penuh dengan suka cita. Anak-anak sebayanya bermain penuh kebahagiaan. Masa emas anak-anak telah mereka dapatkan, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan kota, jauh dari suara bising kendaraan, jauh dari yang namanya gadget. Tanah dan lumpur lekat pada mereka, betapa asyiknya dunia mereka.

Aku anak terakhir dari tiga bersaudara, kakak-kakakku semua laki-laki, jadi akulah anak tercantik dalam keluargaku. Tetapi dalam pengasuhan kedua orang tuaku tidak mengistimewakanku, tidak ada emas yang melekat, hanya anting-anting imitasi yang menempel di telinga, sebagai simbol utama bahwa aku adalah anak perempuan, pakaian pun kebanyakan lungsuran dari kakak-kakakku, wajar saja penampilanku lebih mirip laki-laki daripada perempuan, tapi jangan salah jiwaku tetap perempuan sejati. Itu semua karena masalah keuangan yang kami hadapi. Kadang untuk mengisi perut yang lapar, kami hanya makan singkong rebus yang ditaburi sedikit garam. Jika menunggu hasil panen padi akan lama, itu pun tidak menjamin panen kami berhasil, terkadang kami pun mengalami gagal panen. Namun aku tidak menghiraukan itu semua. Aku tetap bahagia dan ikhlas menghadapi kehidupan ini. Mengikuti alur cerita dari setiap episode yang telah Allah gariskan untuk kami.


Bab 2

0 0

Di relung hati sanubari yang paling dalam, orang tua kami berharap, agar kami menjadi orang yang sukses. Tidak seperti mereka, berangkat pagi buta, pulang petang. Pakaian lusuh, kotor penuh dengan lumpur. Tiada wibawa sedikit pun, bahkan hanya di pandang sebelah mata. Sering mereka ucapkan agar kami menjadi Guru PNS (Pegawai Negeri Sipil), karena di desa kami pekerjaan tersebut sangat istimewa. Dengan gagah memakai seragam, sepatu hitam mengkilap, menenteng tas, sangat berwibawa dan disegani, tidak hanya oleh anak-anak, tetapi juga oleh orang tua dari anak-anak, bahkan warga yang lainnya. Di setiap lantunan doa, itu yang selalu mereka panjatkan. Bersyukur di lahir kan oleh orang tua seperti mereka, orang tua yang peduli dengan pentingnya pendidikan. Di tengah kesibukan mereka, mereka juga tidak lupa mengajarkan kami ilmu agama. Walaupun masih sebatas menggugurkan kewajiban, menjalankan perintah Tuhan yang wajibnya saja. Karena pengaruh lingkungan, yang rata-rata semua seperti itu. Hanya ibu yang benar-benar taat dalam beribadah. Yang wajib dia laksanakan, begitu juga dengan yang sunah. Salat tahajud di sepertiga malam, Salat Duha menjelang siang, dan salat-salat sunah yang lainnya. Tak lupa beliau juga selalu menjalankan puasa-puasa sunah. Tetapi apa daya, kami tidak bisa mengikuti apa yang beliau lakukan, entah mengapa? Mungkin karena belum dapat hidayah. Di antara kami bertiga, kak Ahmad kakak pertamaku yang paling rajin ibadahnya mengikuti jejak ibu. Dia sering mengingatkan kami, tetapi ketaatan kami belum begitu kuat. Masih harus ada orang lain yang mengingatkan. Walau kami bukan saudara satu ayah dengan kak Ahmad, kami tetap saling menyayangi. Dia menikah dengan seorang gadis tetangga desa, dia pun ikut ke rumah istrinya. Di sana lingkungan agamanya sangat kuat, orang-orang rajin beribadah, cocok dengan kakakku, yang memang sejak dulu juga rajin beribadah. Kini tinggal kami berempat yang tinggal bersama, kak adam kakak keduaku, kami saudara kandung, saudara satu ayah dan satu ibu. Hubungan kami sangat dekat, mungkin karena sedarah jadi seperti itu, dia tipe anak pekerja keras. Dari kecil dia sudah terbiasa memegang cangkul, golok, dan peralatan bertani lainnya. Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) kelas empat, sepulang sekolah kakak langsung mengganti pakaian, lalu pergi ke kebun, mencari kayu bakar dan mencari rumput untuk makanan kambing kami. Lelah sudah biasa, tapi kakak tetap semangat membantu orang tua dan keluarga. Meskipun keadaan memaksa kami untuk menjadi pekerja keras, di saat anak-anak seusia itu harusnya penuh dengan bermain, lekat dengan kedua orang tua. Tetapi, kami bisa memahami itu semua. Kami jarang mengeluhkannya, aku dan kakak tetap semangat belajar. Kami bangun pagi-pagi sekali, tunaikan kewajiban untuk salat subuh, setelah itu kami tidak pernah tidur lagi, kami selalu menyempatkan diri untuk belajar. Agar menjadi orang yang sukses, seperti apa yang di harapkan oleh kedua orang tua kami.

Bab 3

0 0

Pagi yang cerah di hari minggu, namun keadaan di rumah malah sebaliknya, rumah begitu sunyi. Suara omelan ibu tidak terdengar seperti biasanya, omelan yang membuat rumah menjadi begitu berwarna. Menyuruh kami untuk bangun pagi, salat subuh, membantu pekerjaan rumah dan lain sebagainya. Begitu pun suara radio ayah, yang biasanya selalu bersenandung menemani sarapan, sebelum semua pergi meninggalkan rumah.

Aku bertanya pada kakakku, “Ada apa ini, Kak? Tumben tidak seperti biasanya, apakah tadi malam ada sesuatu yang terjadi, soalnya semalam Maryam tidur lebih awal, Kak. Jadi Maryam tidak mendengar apa pun.”

“Kakak semalam juga tidur awal, Dek. Jadi ya sama kakak juga tidak tahu semalam ada apa, tapi kakak sempat mendengar ibu menangis tadi malam.” Jawab Kakak Adam.

Kami pun melanjutkan sarapan, tak ada kata-kata yang keluar dari mulut ayah dan ibu, mereka bungkam seribu bahasa, kami pun cuma bisa diam sembari menikmati sarapan yang sudah ibu hidangkan.

Dalam sebuah keluarga memang tidak selamanya adem ayem, terkadang ada bumbu-bumbu rumah tangga yang hadir contohnya pertengkaran, tinggal bagaimana mereka menyikapinya, kalau kuat ya lanjut, sebaliknya kalau tidak kuat banyak yang berakhir dengan perceraian. Sebisa mungkin jangan sampai memilih jalan perceraian, karena anak-anak yang akan menjadi korban. Turunkan ego masing-masing, sadari semua manusia tidak ada yang sempurna, berusaha terus untuk saling melengkapi kekurangan masing-masing.

Dari tempat mencuci piring terdengar ibu membanting panci, suaranya begitu keras, sampai-sampai ayah bicara, “Dari pada merusak barang-barang lebih baik kau pergi saja sana... Memangnya barang-barang itu gratis apa, beli juga harus pakai duit.”

Tiba-tiba ibu menghampiri ayah dan memukul kepalanya dengan sendok kayu, tidak begitu keras memang, tetapi ayah terlihat begitu marah dan matanya merah membara. Ayah langsung mengambil cangkul dan pergi ke ladang, tanpa menghabiskan sarapannya dan tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Aku dan kakak hanya bisa diam, mau bicara takut salah, nanti malah tambah memperkeruh keadaan.

Kemudian ibu bilang “cepat habiskan makanannya, kita akan pergi ke kebun untuk mencari kayu bakar.”

 “Iya, Bu.... "Jawab kami.”

 Kami pun berangkat, sesampainya di kebun ibu tetap diam, kami menemukan satu pohon yang sudah mati. Lalu ibu menyuruh kakak untuk naik dan memotong dahan dan ranting sedikit demi sedikit. Tetapi, entah mengapa perasaan ini menjadi tidak nyaman, takut sesuatu hal buruk akan terjadi, karena aku melihat pohon tersebut lumayan besar, begitu juga dengan dahan-dahannya.

Kakak pun naik, menuju dahan terdekat, kakak mulai mengayunkan goloknya pada dahan tersebut, tinggal setengah dahan yang belum terpotong, di injak memakai kaki pun, dahan itu pasti jatuh.

Kakak berkata “Awas, Bu... Dahannya akan jatuh, ibu jangan berada di bawahnya, geser sedikit, Bu! “

“Tenang saja ibu akan menangkapnya, kamu yang hati-hati.”

Aku berkata dalam hati, dahannya lumayan besar, apakah ibu bisa menangkapnya. Karena takut aku langsung geser ke tepi.


Bab 4

0 0

Kakak sudah berkali-kali mengingatkan, tetapi ibu tetap bersikeras untuk menangkapnya. Sesuatu benar-benar terjadi, golok kakak tersangkut di dahan tersebut dan dahan pun tiba-tiba jatuh, beruntung kakak berpegangan erat pada pohon dan kakak tidak ikut jatuh. Lalu apa yang terjadi pada ibu, ibu benar-benar menangkap dahan tersebut. Nahas, golok kakak yang tersangkut pas mengenai kening ibu, ibu menjerit dan jatuh pingsan. Aku langsung berlari menghampiri ibu, air mata jatuh bercucuran, sembari berkata, “Ibu bangun Bu... Ibu.. Ibu... “. Kakak segera turun dari pohon dan menghampiri kami, mengangkat dahan dari atas tubuh ibu, lalu mengambil golok yang menancap di kening ibu. Seketika cairan berwarna merah segar keluar dari kening ibu, mengalir begitu deras, kakak membuka bajunya dan menutup aliran darah yang keluar. Namun, darah segar terus mengalir. Kakak terus mengelapnya, sampai-sampai bajunya basah semua. Ibu mulai tersadar dan membuka matanya, bulir air mata terus mengalir di pipiku, “Kak, bagaimana ini, aku takut ibu kenapa-kenapa? “ “Bu, kami harus bagaimana ini, Bu... Apa Adam pulang dulu, untuk mencari bantuan, atau kita pulang bersama-sama. Ibu masih kuat jalan tidak, Bu? “ tanya kakak. “Kita pulang sama-sama saja, Nak. Insya Allah ibu masih kuat jalan. “ “Baiklah Bu, ayo dik bantu ibu berdiri, adik pegang tangan ibu yang sebelah kiri, kakak sebelah kanan ya, Dik. “ tegas kakak. “Iya, Kak. Tapi, aku takut ibu kenapa-kenapa saat di jalan, Kak. “ “Bismillah, Dik... “ Kami pun mulai melangkah, ibu berjalan dengan terhuyung-huyung, sembari memegang baju kakak yang menempel di keningnya dan menahan rasa sakit. Anehnya, tak satu pun orang yang lewat atau berpapasan. Mau meminta pertolongan pada siapa, karena memang jauh dari rumah, tak lama kami pun tiba di rumah, tetapi ibu meminta kami untuk membawanya ke rumah paman, jangan pulang ke rumah, terus ayah tidak usah di beri tahu. Kami pun menurutinya, sesampainya di rumah paman, paman sangat terkejut dan langsung memanggil mantri kesehatan yang ada di desa kami untuk mengobati ibu. Aku tak mau sedikit pun jauh dari ibu, aku terus berada di sampingnya, melihat bapak mantri yang mengobati ibu, menjahit kening ibu. Sepuluh jahitan, terlukis di kening ibu, aku sangat sedih melihatnya. Ibu mulai bangun, bibi memberi ibu makan, lalu menyuruh minum obat. Paman dan bibi tahu kalau orang tua kami sedang ada masalah dan bertengkar, bibi berusaha menasihati ibu agar mau meminta maaf pada ayah dan mengakhiri pertengkaran mereka. Walau bagaimana pun, suami adalah imam, tidak seharusnya seorang istri bersikap tidak baik pada suaminya. Sebelum mentari menyembunyikan sinarnya, ayah datang ke rumah paman tanpa seorang pun memintanya. Ayah langsung menghampiri ibu dan memijat tangan ibu, lalu menanyakan keadaan ibu. Ibu langsung memeluk dan meminta maaf pada ayah sembari menangis terisak-isak. Aku dan kakak hanya bisa memandangi mereka berdua sembari tersenyum. Dalam hati aku berkata, terkadang anak-anak tidak harus tahu masalah orang dewasa, karena itu sangat memusingkan, yang terpenting mereka bisa melewati derasnya ombak yang menghantam bahtera rumah tangga mereka dan berakhir bahagia. Apa yang terjadi pada ibu, mungkin itu adalah karma, karena ibu sudah memukul kepala ayah memakai sendok kayu. Sejelek-jeleknya sifat suami, dia harus tetap dihargai, karena dia adalah imam dalam keluarga, Ridho Allah terletak pada Ridho suami. Semenjak kejadian itu, tidak pernah ada pertengkaran lagi, dan keluarga kami pun kembali bahagia.

Bab 5

0 0

Waktu demi waktu terus berlalu, menapaki kisah hidup yang penuh liku-liku. Sekarang aku sudah duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) kelas empat, kuikuti jejak kakak, ilmu dan sekolah nomor satu, demi merajut asa yang terpatri dalam angan. Tetapi, membantu orang tua harus tetap di utamakan karena itu merupakan salah satu tugas kita sebagai anak. Masa kecil kami penuh kegembiraan, sepulang sekolah seperti biasa aku mengganti pakaian, tidak lupa makan siang. Membersihkan rumah, menyapu lantai, mencuci piring dan lain sebagainya. Jika rumah sudah beres, aku bermain ke rumah teman sebentar, kadang mereka yang datang ke rumahku. Mencari sesuatu yang bisa menyenangkan hati, tak jarang kami pergi ke sawah untuk mencari siput, ikan-ikan kecil atau jamur, untuk di jadikan bahan makanan. Jika mentari telah condong ke arah barat, kami segera pulang. Karena itu menandakan hari sudah sore, apa pun yang kami dapat dan seberapa pun itu kami tetap senang. Kami berjalan bersama-sama, canda dan tawa menemani sepanjang langkah, menuju ke rumah masing-masing. Setiba di rumah, aku segera mandi, mencuci siput yang tadi di dapat, dan bersiap-siap untuk memasaknya. Makanan sudah tersaji, satu persatu anggota keluargaku datang dari tempat mereka bekerja. Membersihkan diri, melepaskan penat dan capek setelah seharian berjibaku dengan pekerjaan. Kami pun berkumpul di ruang makan, menikmati hidangan yang seadanya. Aku sangat senang, mereka terlihat lahap menyantap masakanku, entah bagaimana rasanya, mungkin enak karena terlihat dari mereka yang lahap. Senja mulai menampakkan diri, terdengar azan berkumandang dari surau. Panggilan sang Ilahi Robbi agar semua umat, menjeda waktu sebentar untuk kembali pada-Nya, menghentikan semua urusan duniawi. Perintah Allah kami laksanakan, bersujud mensyukuri apa yang telah Allah berikan pada hari ini. Ah... Semua terasa begitu nikmat, kehidupan yang begitu sempurna. Karena menurut kami uang bukanlah segalanya, yang terpenting semua kebutuhan tercukupi, keluarga tenteram dan damai. Sesekali kami berkumpul di ruang tidur, untuk sekedar bercengkerama, setelah seharian tidak bersua. Menceritakan kisah kami masing-masing, ibu dan ayah selalu setia mendengarkan, sampai semua cerita hari tadi tercurah kan. Malam mulai larut ibu dan ayah beranjak menuju kamar mereka, tak lupa satu kecupan sayang selalu mendarat di keningku, ibu juga selalu mengingatkanku untuk membaca doa sebelum tidur, agar tidurku lelap, tidak ada gangguan, dan tidak mimpi buruk. Malam pun semakin sunyi, semua terlelap dalam mimpinya. Kadang aku berpikir mengapa anak-anak perempuan jaman dulu, baru kelas empat Sekolah Dasar (SD) sudah bisa memasak, mencuci baju, mencuci piring, menyapu lantai, membereskan rumah dan lain sebagainya. Bermain dengan teman sebaya pun masih bisa di lakukan, tidak menghilangkan kodrat sebagai anak-anak. Tetapi, kenapa anak-anak jaman sekarang tidak bisa melakukan itu semua, walau mereka sudah duduk di bangku kelas tiga Sekolah Menengah Pertama (SMP). Siapakah yang salah, anak-anaknya atau orang tuanya. Mungkin mereka terlalu di manja, kalau bermain gadget mereka bisa menghabiskan waktu sampai berjam-jam. Kadang suka miris melihat anak-anak jaman sekarang, waktu habis untuk bermain di depan gadget. Sosialisasi kurang, membantu orang tua menyelesaikan pekerjaan rumah tidak pernah, bercengkerama dengan orang tua pun jarang.

Bab 6

0 0

Sinar mentari pagi menembus tebalnya kabut, memancarkan cahaya penuh harapan, menghangatkan badan setiap manusia. Hari minggu merupakan hari yang di tunggu-tunggu setiap anak sekolah, karena di hari minggu anak-anak bisa berhenti sejenak dari kegiatan belajar di sekolah. Kami bisa bermain sepuasnya di rumah. Setiap pagi ibu membuat sarapan untuk kami semua, menurut ibu, sebelum kami memakan apa pun di pagi hari, perut harus di isi nasi atau makanan pokok lainnya, karena itu dapat mencegah penyakit dan memperkuat imun tubuh. Terbukti memang orang tua jaman dulu, jarang terserang penyakit dengan pola makan seperti itu. Kami ikuti semua anjuran ibu, selain itu kalau pagi-pagi aku memang suka lapar. Baru saja aku selesai sarapan, teman-temanku sudah bersahut-sahutan memanggilku dari luar. Memang kami sudah merencanakannya sejak kemarin, kalau hari minggu kami akan bermain ke sungai. Aku segera meminta izin pada ibu, ibu pun mengizinkan. Kebetulan hari itu ibu juga tidak pergi ke sawah, jadi aku bebas dari pekerjaan rumah. Ayah dan kakak tetap pergi ke sawah, karena memang ada pekerjaan yang harus di selesaikan khusus oleh laki-laki. Aku segera menghampiri teman-teman dan kami pun segera berangkat ke sungai. Setibanya di sungai, kerlipan cahaya yang memantul dari air sungai menyilaukan mataku, tidak sedikit ikan-ikan kecil yang berenang di dalamnya. Jernihnya air sungai memperlihatkan keindahannya pada kami. Tak ada sampah yang terlihat di sana, pohon-pohon di pinggir sungai menambah keasrian. Ada satu pohon beringin besar yang menjuntaikan akar-akar panjangnya, menjadi tempat paling asyik di sungai untuk kami bermain. Secara bergantian kami naik ke pinggir sungai, lalu kami pegang akar pohon beringin tadi, berayun kencang dan menceburkan diri ke sungai, sangat menyenangkan dan membahagiakan, lebih menyenangkan dari pada bermain gadget. Terkadang kami sering lupa waktu, kalau sudah bermain di sungai, tak jarang ibu-ibu kami datang dengan kemarahannya, menyuruh kami untuk segera pulang. Pernah telingaku di jewer oleh ibu dari sungai sampai ke rumah, karena sudah tiba waktu untuk makan siang tapi aku belum pulang. Aku hanya bisa menangis, tetapi aku sadar itu semua ibu lakukan karena dia sayang padaku. Tidak mau aku sampai sakit karena kelamaan berenang di sungai dalam keadaan perut kosong. Semenjak kejadian itu kami saling mengingatkan, jika sudah waktunya makan siang kami akan segera beranjak pergi meninggalkan sungai dan pulang ke rumah masing-masing. Mengganti baju yang basah dan segera menyantap makanan yang sudah ibu sediakan, aku pun aman dari amarah ibuku. Aku selalu takjub pada sungai di desaku, karena bisa bersih dan jernih seperti itu. Menjadi sumber air untuk kami semua, jika sumur-sumur di rumah kami sudah tidak mengeluarkan air, maka kami akan membuat sumur-sumur kecil di tepi sungai bagian hilir. Kami mengambil air dari sana dan di gunakan untuk berbagai kebutuhan di rumah, tak jarang orang-orang mandi di sana walaupun harus mengantre. Semoga kami bisa selalu menjaga kebersihan dan kejernihan sungai kami, agar tetap lestari sampai anak cucu.

Bab 7

0 0

Hari demi hari aku lalui dengan penuh asa, dalam benakku aku hanya ingin menjadi orang yang sukses. Lulus Sekolah Dasar aku mendaftarkan diri di salah satu Sekolah Menengah Pertama Negeri di desaku. Tentu saja dengan berbagai pertimbangan dan persetujuan keluarga, terutama masalah dana. Setidaknya di Sekolah Negeri biaya pendidikannya lebih murah di bandingkan dengan swasta. Selain itu, kita juga bisa mengajukan beasiswa tidak mampu agar biaya pendidikannya lebih terjangkau. Aku dan teman-temanku mendaftar di sekolah yang sama, jadi persahabatan kami tetap terjaga. Kami berjalan bersama-sama menuju sekolah, di antar oleh bapak guru dari Sekolah Dasar kami. Sesampainya di sana bapak guru membantu kami dengan penuh kesabaran, yang sudah selesai mendaftar lalu membantu teman yang lainnya. Bapak guru tidak pulang sebelum kami selesai mendaftar semua. Karena banyaknya anak-anak yang mendaftar dari berbagai desa, kami rela mengantre, berdesak-desakan dengan anak-anak lain. Jam tiga sore, kami semua baru selesai mendaftar. Capek dan lelah itu yang kami rasakan, tapi kami tetap semangat, demi bisa belajar di sekolah baru. Pendaftaran selesai, kami tinggal menunggu pengumuman, yang akan di umumkan minggu depan. Kami pulang bersama-sama, tetapi di tengah perjalanan, bapak guru mengajak kami mampir di sebuah warung kecil. Di sana kami di traktir jajan es cendol, sungguh nikmat rasanya. Hari yang panas, di tambah capek dan lelah, semuanya terasa hilang. Memang tidak seberapa, tetapi kami sangat menghargai usaha bapak guru, yang tanpa pamrih, rela mengantar dan membantu anak-anak didiknya, demi melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, tak lupa bapak guru selalu mengingatkan kami, agar kami selalu semangat belajar, lanjutkan sekolah sampai kami punya ijazah, dan cita-cita kami bisa terwujud. Terima kasih bapak dan ibu guru, jasa-jasamu tak akan pernah kami lupakan. Karenamulah kami bisa sampai di titik ini. Tiba waktunya untuk pengumuman, kami pun berangkat ke sekolah tanpa di dampingi oleh bapak guru lagi. Kami berjalan bersama-sama, dengan penuh harapan agar kami bisa diterima semua. Di sepanjang jalan, kami bertemu dengan teman-teman dari desa lain, dengan tujuan yang sama. Kami pun berkenalan satu dengan lainnya, sungguh terasa sangat bahagia, bertambah teman-teman baru kami. Sesampainya di sekolah mata kami tertuju pada papan pengumuman yang sangat besar, deretan nama terpampang di sana, kami harus jeli melihatnya satu persatu. Kulihat namaku ada di barisan ke tiga dengan keterangan Diterima, aku bersorak dengan girang, rasa bahagia yang tiada terkira, teman-teman pun memberi ucapan selamat, kami saling berpelukan. Lalu kami saling membantu, mencarikan nama-nama teman yang belum terlihat, sampai akhirnya nama kami terlihat semua, dan kami pun di terima semua. Kami pun pulang dengan hati penuh kegembiraan, tak lupa kami mampir dan jajan di warung es cendol, mengenang perjuangan bapak guru dalam membantu anak-anak didiknya. Setibanya di rumah aku sampaikan kabar gembira tersebut, ayah, ibu dan kakak sangat senang mendengarnya. Mereka berpesan agar aku lebih semangat lagi dalam belajar, karena di sekolah baru lebih banyak lagi teman-temannya, mereka terkumpul dari berbagai desa, pasti saingan dalam prestasi pun lebih ketat lagi.

Bab 8

0 0

Tiba waktunya semua anak-anak Sekolah Menengah Pertama masuk sekolah, khususnya murid-murid baru, tak terkira perasaan yang kami rasakan. Senang, bahagia, deg-degan, gugup, semua campur aduk menjadi satu. Semua anak-anak di kumpulkan di halaman, termasuk anak-anak baru. Bapak Kepala sekolah memberikan sambutan, mengucapkan selamat datang kepada kami, selaku murid baru. Acara di lanjutkan oleh sambutan wakil kepala sekolah dan guru-guru lainnya. Terakhir pengumuman pembagian kelas untuk murid-murid baru, secara bergantian bapak ibu guru yang menjabat sebagai wali kelas memanggil murid-murid baru dan meminta mendekat pada beliau, sementara kelas delapan dan sembilan di minta masuk ke kelasnya masing-masing. Satu kelas baru berisi sekitar tiga puluh sampai tiga puluh lima anak. Pada saat itu aku merasa takut, takut tidak ada teman dari sekolah dasar yang sekelas, aku merasa malu kalau semuanya teman-teman baru. Sudah terbentuk dua kelas baru yaitu kelas 7A dan 7B, tetapi namaku belum di panggil juga, sementara separuh teman-temanku suda ada yang masuk di dua kelas tersebut. Hatiku semakin tidak karuan. Aku dan Ana berpegangan tangan sangat erat, kami berdoa semoga kami bisa bersama-sama dalam satu kelas. Tiba-tiba terdengar ibu guru wali kelas memanggil nama Ana, dia segera maju meninggalkanku, sedih sekali hati ini, hampir saja aku menitikkan air mata, tetapi aku harus kuat karena rasa malu yang harus aku tahan. Kupejamkan mata seraya bergumam, “Ayo... Bu guru, panggil namaku!” Baru saja aku mencoba untuk membuka mata, akhirnya namaku di panggil. Aku pun segera berlari menghampiri Ana, dan kami pun berpelukan, menangis bahagia, meski cuma kami berdua yang bersama, sementara teman-temanku berada di kelas yang lain, kami semua tetap bahagia. Terbentuk lima kelas baru yaitu kelas, 7A, 7B, 7C, 7D dan 7E, aku dan Ana berada di kelas 7C. Ibu guru mengajak kami untuk masuk ke dalam kelas baru, aku gandeng terus tangan Ana, agar kami bisa duduk sebangku. Di kelas kami berkenalan dengan semua teman, satu persatu anak-anak maju dan memperkenalkan diri. Sangat asyik ternyata mempunyai kelas baru, bapak dan ibu guru baru, serta teman-teman baru. Selama tiga hari kami melalui Masa Orientasi Siswa (MOS). Kami di ajak berkeliling, mengelilingi setiap kelas dan ruang-ruang yang ada di sekolah, agar kami tahu dan paham semua nama dan fungsi masing-masing ruangan, tentu saja agar kami tidak sampai tersasar. Di hari kedua kami disuguhkan penampilan-penampilan yang sangat luar biasa dari kakak-kakak kelas, mulai dari pertunjukan tari, drama, menyanyi, berpuisi dan lain sebagainya. Perkenalan dengan kakak-kakak kelas yang menjabat jabatan penting di sekolah, yaitu ketua OSIS dan wakilnya, ketua Ambalan Pramuka dan wakilnya, ketua PMR dan wakilnya, dan masih banyak lagi. Di hari ketiga yaitu hari terakhir sebagai murid-murid baru kami di minta menampilkan suatu hal yang menarik dari setiap kelas, kelas kami pun sukses menampilkan seni tari modern. Kebahagiaan kami tak bisa di utarakan dengan kata-kata. Pengalaman yang tak akan terlupakan di sekolah baru.

Bab 9

0 0

Hari pertama masuk di sekolah baru, seakan aku tak percaya, jika sekarang aku bukan anak SD lagi. Jarak yang harus aku tempuh untuk sampai di sekolah lumayan jauh, sekitar satu kilometer, dan itu harus aku lalui dengan berjalan kaki. Karena minimnya angkutan umum dan kendaraan lainnya. Sedikit orang di desaku yang mempunyai sepeda motor, kalau pun ada beliau adalah orang yang sangat terpandang dan mempunyai harta melimpah, atau kami menyebutkannya dengan orang golongan atas. Begitu pun dengan sepeda ontel, hanya orang-orang dengan golongan menengah yang mampu membelinya. Untuk orang-orang seperti kami hanya bisa dengan berjalan kaki. Desa tempat aku tinggal dan desa tempat sekolah berbeda, ada sungai besar yang menjadi pembatasnya, dan sampai sekarang, belum ada tanda-tanda akan di bangun jembatan, mungkin karena desa kami terletak di pelosok, sehingga pemerintah belum dapat menjangkaunya. Aku dan teman-teman harus menyeberangi sungai, untuk dapat sampai di sekolah. Jika musim kemarau kami tak menghiraukannya karena aliran airnya kecil. Walaupun, kami harus rela berjalan kaki dari rumah, menyeberang sungai, baru kami bisa memakai sepatu, kami tetap menikmatinya, yang kami rasakan hanyalah keseruan, mungkin karena dilakukan secara bersama-sama. Yang kami khawatirkan, bagaimana kalau nanti tiba musim hujan, air sungai pasti akan meluap, tak jarang banjir pun sering melanda. Dulu ketika masih duduk di bangku sekolah dasar, semua itu tak terpikirkan olehku. Tetapi, aku yakin, kami bisa melewati semua rintangan. Kami berjalan bersama-sama, menyeberangi sungai, berjalan sembari bersenda gurau, tidak ada kata lelah atau pun cape. Kami bertemu dengan teman-teman dari desa lain, dan sama-sama berjalan, berkenalan. Sepanjang jalan penuh dengan anak-anak sekolah dari SMP kami, seakan tidak ada penghuni lain, selain anak sekolah. Laki-laki dan perempuan berjalan bersama, tertawa, bercanda penuh dengan keseruan. Tidak ada beban pikiran yang menghantui, tujuan kami hanya satu, bisa belajar dengan sungguh-sungguh di sekolah baru. Sesampainya di sekolah, kami di sambut oleh bapak dan ibu guru yang sedang berjaga di gerbang utama, beliau mengucapkan salam dan selamat datang, kami pun menjawabnya dengan gembira. Dalam hati aku berkata, “Sungguh luar biasa sekolah baruku, baru datang sudah di sambut bapak dan ibu guru yang penuh keramahan, senyum lebar tersungging di pipi mereka”. Kami pun segera masuk ke kelas masing-masing, mengikuti pelajaran yang sudah di jadwalkan di hari pertama, dengan penuh kesungguhan agar mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Hari pertama belajar, kami lalui tanpa halangan suatu apa pun. Kami ikuti pelajaran dengan sungguh-sungguh, kami perhatikan dan dengarkan bapak atau ibu guru yang sedang menyampaikan pelajaran. Tak lupa kami terus berusaha untuk mengenal satu sama lain di kelas, agar rasa kekeluargaan kami semakin kuat, dan semakin kompak dalam segala hal. Bel pulang sekolah pun berbunyi, kami berdoa bersama-sama di pimpin oleh ketua kelas. Terima kasih bapak dan ibu guru, atas ilmu yang telah di berikan hari ini, lalu kami pun pulang bersama-sama, menuju ke rumah masing-masing.

Bab 10

0 0

Hujan turun semalam suntuk, di barengi dengan petir dan angin kencang, aliran listrik pun mati. Nyala lilin memecah kegelapan, cahayanya menyinari seluruh kamarku, melalui jendela kaca kamarku, aku memandang derasnya hujan, langit yang cerah karena kilatan petir, pohon-pohon yang terus bergoyang, sesekali aku menutup telinga karena kencangnya suara petir. 

Dalam hati aku berdoa, “Ya Allah... Semua atas kehendak-Mu, tetapi jika boleh aku meminta, semoga hujan ini cepat reda, tidak ada hal buruk yang terjadi di desa kami, amin." 

Kumandang azan subuh menyadarkanku dari mimpi indahku, saat kubuka mata ternyata listrik sudah menyala. Sungguh senang hatiku, aku bisa mempersiapkan semua keperluanku untuk ke sekolah, tanpa harus gelap-gelapan. Terdengar suara orang-orang berbicara dari luar, ternyata air di sungai meluap sangat besar, beruntung tidak sampai terjadi banjir. Tetapi bagaimana cara aku menyeberanginya, aliran sungai yang deras, dalamnya pun setinggi orang dewasa. 

Ibu menghampiriku sambil membawa kantong plastik besar, lalu berkata, “Pakai baju bermain dulu, lalu seragam, pakaian dalam, sepatu, tas dan keperluan belajar lainnya masukan ke dalam kantong plastik ini, ibu akan mengantarmu." 

Aku mengikuti semua perintah ibu, kami pun segera berangkat. Sesampainya di sungai, ternyata sudah banyak teman-temanku yang menunggu di seberangkan, oleh bapak-bapak dan pemuda-pemudi di desa, yang sangat ahli berenang, di sungai yang sedang meluap dan arusnya deras. Teman-temaku juga sama, tidak memakai seragam, hanya memakai baju bermain. Aku merasa sangat takut, jantungku berdegup kencang, bagaimana kalau tanganku sampai lepas dari genggaman mereka, pasti aku akan hanyut, terbawa derasnya arus. Ibu terus berusaha menenangkanku, mereka adalah orang-orang terlatih secara turun temurun, mereka sudah ahli menyeberangkan orang lain, dari jaman dulu, ketika ibu masih kecil. Aku melihat Ana yang akan di seberangkan, mereka berjalan kesisi bagian hulu sungai. Ana diminta memegang tangan si bapak dengan kencang, sementara paman satu lagi membawa plastik Ana. Ana di apit oleh dua orang, mereka pun mulai menyeberang, akhirnya mereka berhasil. Aku merasa lega, karena dua orang yang menyeberangkan, jadi aku merasa cukup aman. Tibalah giliranku untuk menyeberang, aku berdoa tak henti-henti, begitu pula dengan ibu. Saat aku berada di tengah-tengah sungai, pada aliran yang deras, kakiku terapung dan tidak menginjak dasar sungai, aku sangat takut. Tetapi, aku tetap berusaha sekuat tenaga, aku pegang tangan paman dengan kencang, dan paman satu lagi juga berusaha memegangi tanganku, agar tidak terlepas. Sampai akhirnya kami semua selamat, berhasil menyeberang sungai, yang saat itu bak singa yang sedang lapar, dan siap menangkap mangsanya. Setelah itu kami harus berganti pakaian, memakai seragam dan sepatu, paman yang tadi menyeberangkan kami setia menunggu, untuk membawa pakaian basah kami dan memberikannya pada ibu. Aku melihat ibu memberikan sedikit uang pada paman tersebut, memang tidak seberapa di bandingkan dengan perjuangan mereka. Hanya mendampingi ucapan terima kasih yang tiada tara. Pengalaman pertama berangkat sekolah saat sungai meluap, tidak akan pernah bisa kami lupakan. Rasa syukur selalu tercurah, karena masih di beri keselamatan, dan bisa berangkat sekolah seperti biasanya.

Bab 11

0 0

Penuh perjuangan dalam menuntut ilmu, tidak menyurutkan tekad kami untuk sampai ke sekolah, demi asa yang harus aku kejar, agar terwujud sebuah cita-cita. Aku belajar dengan sungguh-sungguh, tentunya dengan dukungan penuh dari keluarga tercinta, sampai akhirnya aku mendapat juara satu paralel dari semua kelas di kelas satu. Rasa syukur selalu aku panjatkan kepada Ilahi Robbi, yang selalu mewujudkan harapan-harapanku, memudahkan setiap langkah yang aku tempuh. Kadang aku tidak percaya pada semua ini, seorang anak biasa, yang hidup dengan penuh kesederhanaan, bahkan kadang kekurangan, tetapi bisa menjadi yang terbaik di sekolah, Allah memang Maha Baik. Di sini aku merasa kehidupanku mulai berubah, semakin bertambah teman-teman dekat disekolah, aku pun merasa lebih di hargai dan di hormati. Guru-guru yang selalu menyayangi, kadang memberikan seragam, sepatu, tas dan kebutuhan sekolah lainnya. Ada yang lungsuran anak-anaknya, tapi masih bagus dan sangat layak. Bahkan, ada juga yang memberi barang baru, khusus membelikannya untukku. Aku sangat senang, setidaknya bisa membantu beban orang tuaku, mereka tidak usah membelikan keperluan sekolahku, uangnya bisa di gunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga yang lain. Selain itu aku juga mendapatkan beasiswa prestasi, jadi bisa mengurangi biaya sekolah juga. Semua itu tidak serta merta membuatku tinggi hati, aku tetaplah Maryam yang dulu, Maryam yang tulus bersahabat dengan teman-teman, Maryam yang penuh dengan kesederhanaan, Maryam yang mencintai keluarganya, ayah, ibu dan juga kakaknya. Aku berpikir, apa yang harus aku sombongkan di dunia ini, karena semua ini adalah titipan dari-Nya. Jika Yang Maha Kuasa sudah berkehendak, mudah bagi-Nya untuk mengambil itu semua. Jadi selama Allah memberikan kepercayaan itu padaku, maka aku akan menjaganya dengan sepenuh hati, tanpa mengubahku menjadi buruk hati. Itu yang selalu ibuku ajarkan dan tanamkan dalam hatiku Bapak dan ibu guru juga sering memilihku untuk menjadi perwakilan dari sekolah, jika ada perlombaan-perlombaan. Kadang aku berhasil membawa piala juara satu, tak jarang juga kadang piala juara dua dan tiga. Apa pun hasilnya, jangan terlalu di jadikan beban pikiran, yang terpenting usaha dan perjuangan yang sudah di tempuh, jangan pernah mengabaikan itu semua, itulah kata-kata yang sering bapak dan ibu guru ucapkan, jika aku tidak berhasil membawa pulang piala juara satu. Mereka selalu menenangkan hatiku yang penuh dengan kesedihan, terkadang aku merasa gagal mengharumkan nama sekolahku. Aku merasa sangat beruntung, di kelilingi oleh orang-orang yang sangat menyayangiku. Orang tua dan kakak yang selalu mendoakan dan mendukung setiap langkahku, dalam menapaki jalan kehidupan ini. Teman-teman yang tulus menyayangiku, berteman dengan tulus, tanpa memandang harta dan kasta. Walaupun keadaan keuangan keluargaku jauh di bawah mereka, mereka tetap mau berteman denganku. Guru-guru yang selalu mengasihiku, tanpa membeda-bedakan semua muridnya sebelah mata. Karena harta dan takhta bukankah segalanya.

Bab 12

0 0

Masa-masa indah duduk di bangku sekolah, yang kini sedang aku nikmati. Masa peralihan akil balig, ada ketakutan tersendiri dalam benak orang tua, tak ketinggalan juga kakakku. Mereka takut aku terbawa arus pergaulan yang tidak sehat, melenceng dari arus yang seharusnya. Apalagi aku yang semakin tidak suka dengan rambut panjang, potongan rambut pendek seperti laki-laki, entah mengapa aku merasa panas jika rambutku panjang, di tambah aku juga tidak suka banyak pernak-pernik jepit dan ikat rambut yang menempel di kepala. Menurutku itu sedikit berlebihan, mungkin karena aku selalu hidup dalam kesederhanaan, jadi aku tidak menyukai itu semua. Kakakku sering mengingatkan, kalau aku adalah perempuan, jadi cobalah berdandan seperti perempuan. Aku berpikir, apakah sebegitu pentingnya penampilan, yang penting tingkah laku dan perbuatan masih dalam batas wajar. Aku pun selalu meyakinkan keluargaku, penampilan tak akan mengubah kodrat seseorang, yang lebih penting adalah hatinya, toh selama ini aku sudah berhasil membuktikan, aku selalu menjadi siswa berprestasi, teman-teman perempuanku juga banyak, bapak dan ibu guru juga bangga padaku. Akhirnya mereka menyerahkan semuanya padaku, yang penting aku tidak terpengaruh pergaulan bebas. Saat ini kakakku sudah lulus kuliah, dia mengambil jurusan Sarjana Ilmu Pendidikan. Dan sekarang dia bekerja sebagai guru honorer di SD Negeri tempat dulu aku sekolah. Berbakti pada sekolah yang dulu membuat kami bisa membaca, menulis dan berhitung. Membuat kakakku bisa di titik sekarang, bisa mewujudkan harapan orang tua kami. Melanjutkan perjuangan bapak dan ibu guru yang dulu mengajar kami, menjadi generasi penerus, mencerdaskan anak didik penerus bangsa. Rasa bangga semakin kuat dalam jiwa, bahagia mempunyai kakak seorang guru yang di hormati dan di hargai. Semoga aku bisa seperti kakakku bahkan lebih. Tak mudah perjalanan hidup yang kakakku lalui, untuk sampai dititik ini. Setelah lulus SMA, dia sempat berhenti sekolah dan merantau ke ibu kota, untuk mengadu nasib di sana. Berbagai profesi dia jalani, mulai dari kuli bangunan, karyawan toko, dan dagang cilok keliling, karena tidak mudah mencari pekerjaan kantoran dengan ijazah SMA. Tetapi, semua itu tidak membuat orang tua bangga, yang ada rasa sedih melihat anaknya harus bekerja banting tulang demi sesuap nasi. Hidup di kota lebih keras, semua harus beli. Masih enak di kampung asal rajin menanam apa pun, pasti masih bisa panen dan makan. Akhirnya kedua orang tua meminta kakak untuk pulang, dan menyuruh kakak untuk melanjutkan sekolah. Kakak pun menurutinya, tempat kakak kuliah masih satu kecamatan, bisa di tempuh dengan jalan kaki, lalu naik kendaraan umum. Kuliahnya pun bukan yang reguler, setiap hari harus berangkat. Tetapi, yang sistemnya seminggu dua hari masuk kuliah, yaitu tiap hari Sabtu dan Minggu. Sementara itu, dari hari Senin sampai Jumat kakak membantu pekerjaan ayah di sawah dan di ladang, juga mencari pakan ternak. Ayah berpikir masih mampu untuk membiayai sekolah kami, dari hasil bercocok tanam, tanaman-tanaman yang bisa menghasilkan uang seperti, cengkih, kapulaga, kencur, dan lain sebagainya. Di samping itu kami juga memelihara hewan ternak yaitu, kambing dan ayam. Jika sudah benar-benar kepepet untuk masalah dana, maka ayah akan menjual beberapa ekor kambingnya. Jerih payahmu tak akan bisa kami ganti dengan apa pun, kami sangat menyayangi ayah dan ibu.

Bab 13

0 0

Saudara laki-laki yang aku sayang, kakakku tercinta, selalu ada jika aku menemui kesulitan. Gaji pertama kakak yang tidak seberapa, dia habiskan untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga, kebutuhan di kamar mandi terutama, sabun cuci, sabun mandi, sikat, pasta gigi dan yang lainnya, membeli makanan enak, dan kami memakannya bersama-sama. Semua dia utamakan untuk keluarga tercinta. Bulan Ramadhan pun datang, terima kasih Ya Allah, Kau masih sampaikan usia kami pada bulan yang penuh berkah, bulan yang penuh ampunan. Kami sangat senang menyambutnya, berpuasa, salat tarawih, dan amalan-amalan lainnya. Walaupun penuh kesederhanaan, kami tetap menikmatinya. Aku tidak pernah di belikan baju baru saat hari raya Idul Fitri, tetapi selalu ada saja tetangga ataupun saudara yang memberikannya untukku, dan aku pun sangat bahagia. Berbeda dengan sekarang, entah mengapa aku ingin sekali membeli baju dan sandal baru, sampai-sampai terbawa mimpi dan mengigau. Orang tuaku mengetahuinya, tetapi apa daya, uang mereka tidak cukup untuk membelikannya. Aku hanya bisa menangis, seperti ada sesuatu yang kurang dan itu mengurangi keceriaanku. Di malam takbir menyambut hari raya, tiba-tiba kakak mengajakku ke toko baju dan sandal, menyuruh aku untuk memilih barang yang aku suka, alangkah bahagianya diriku. Kami berangkat naik sepeda motor bersama teman kakakku, karena lelah aku tertidur dalam perjalanan. Sesampainya di rumah aku buka baju dan sendal dari dalam plastik, dan memperlihatkannya pada ayah dan ibu, mereka ikut bahagia melihat senyum lebar di pipiku. Tak henti-hentinya aku mengucapkan rasa terima kasih pada kakakku. Orang tuaku sempat bertanya pada kakakku, “Apakah gajimu cukup untuk memenuhi kebutuhanmu? “ “Alhamdulillah, cukup Bu... Terus aku juga dapat THR dari sekolah. “ jawab kakak. Sepintas aku berpikir ingin seperti kakak, kerja mengajar anak-anak, di hormati dan dihargai orang lain, memakai seragam dan sepatu, berangkat sambil menenteng tas, dan yang terpenting lagi bisa mendapatkan uang, hasil kerja keras sendiri. Tetapi aku masih bingung, mau jadi apa nantinya, sekolahku masih lama jadi aku belum bisa menentukannya saat ini. Yang paling aku inginkan, bisa menjadi orang sukses, membantu perekonomian keluarga, dan bisa membantu orang lain yang membutuhkan. Terlepas dari itu semua, saat ini aku harus lebih giat lagi dalam belajar, mengerjakan tugas-tugas, dan mematuhi semua peraturan yang ada di sekolah. Agar bisa lulus dengan nilai yang memuaskan dan bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Hari raya pun tiba, semua orang bergembira menyambutnya. Memakai baju terbaik walaupun tidak baru, menyediakan hidangan istimewa yang hanya setahun sekali bisa di nikmati. Melakukan salat Idul Fitri di masjid, lalu berkeliling bersalam-salaman, saling maaf memaafkan. Untuk segala kesalahan dimasa lalu, dan memulai kebaikan dimasa yang akan datang. Sesampainya di rumah kami pun berkumpul, untuk meminta maaf pada ayah dan ibu, tak terasa air mataku menetes, serasa penuh dosa pada mereka berdua, begitu juga pada kakakku. Kami pun berpelukan, berharap agar keluarga kami selalu rukun, saling menyayangi dan penuh dengan kebahagiaan.

Bab 14

0 0

Seiring berjalannya waktu, aku pun lulus dengan nilai yang memuaskan. Menjadi yang terbaik pada saat kelulusan, mengalahkan sekolah-sekolah lain dengan nilai yang tinggi, dan tentu saja bisa membuat harum nama sekolah tercinta, membanggakan bapak dan ibu guru. Keluarga pun sangat senang, terutama kakakku. Aku melanjutkan sekolah di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) di kota kami. Semua keperluan pendaftaran dan lain sebagainya kakakku yang mengurus dan mengantar aku ke sana kemari. Sedikit pun tak terlihat wajah lelah di muka kakakku. Begitu juga ketika Masa Orientasi Sekolah (MOS), kakakku yang selalu mendampingi. Beruntungnya aku memilikimu, Kak. Entah bagaimana jadinya jika tak ada kakak tercinta. Perjalanan yang cukup jauh, harus dua kali menaiki kendaraan umum. Pertama naik mobil bak dari jalan desa dekat rumah. Turun di pinggir jalan kota besar, lalu menunggu bus yang lewat, baru bisa sampai di sekolah. Hanya sedikit teman-temanku yang melanjutkan sekolah, dengan berbagai alasan. Ada yang tersandung masalah dana, ada juga yang memilih untuk menikah, karena pilihannya sendiri, bahkan tak sedikit yang di jodohkan orang tua. Miris memang, tapi mau bagaimana lagi. Banyak orang tua yang beranggapan, untuk apa menyekolahkan anak perempuan tinggi-tinggi. Toh nantinya juga mengulek sambal di dapur, atau dibawa pergi oleh suaminya, mengurus anak, suami, dan rumah. Ujung-ujungnya menjadi ibu rumah tangga, terkadang aku sedih mendengarnya. Bisa di hitung jari yang melanjutkan sekolah, dari desaku saja hanya aku dan Ana, anak perempuan yang melanjutkan sekolah, ke mana pun kami selalu bersama. Namun, kami tidak lagi sekelas, karena banyaknya siswa, kami pun terpisahkan. Pada saat istirahat atau pulang sekolah kami bisa bersama-sama lagi, bercerita tentang teman baru di kelas, tentang pelajaran dan lain sebagainya. Banyak teman baru dari berbagai daerah, dengan berbagai latar belakang. Di sini aku merasa kehilangan rasa percaya diri. Aku melihat pakaian mereka begitu bagus, lipatan bekas setrika yang rapi, tas dan sepatu dengan model terbaru, jam yang menghiasi tangan, kulit putih dan mulus. Kebanyakan mereka berpenampilan seperti itu, mungkin karena mereka anak orang kaya. Sementara aku, pakaian biasa tanpa lipatan setrika, tas dan sepatu bekas, tanpa perhiasan apa pun, entah mengapa aku merasa sangat malu, nyaliku menciut, aku merasa bukan siapa-siapa, sekolah saja karena mengandalkan beasiswa prestasi. Memang tak sedikit teman-taman yang sepertiku, aku berusaha kuat dan sadar diri, kami pun mulai berteman. Kami saling menguatkan, “Tak perlu malu atau rendah diri dengan keadaan ini, yang terpenting kita niat belajar dan menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh, tunjukkan dengan prestasi yang terbaik, karena itu adalah keistimewaan kita. Jika mereka mau berteman, kita terima dengan hati lapang, jika tidak pun itu bukan masalah besar”. Ujar Mila. Dia salah satu teman baruku, yang ternyata anak seorang bapak Kiayi Haji, namun sosoknya penuh kesederhanaan, jauh dari penampilan mewah. Baju dan rok panjang, di tambah kerudung yang lebar. Aku berusaha menerima keadaan, mengembalikan rasa percaya diriku dan tidak menghiraukan masalah itu. Karena masih banyak teman-taman lain yang peduli padaku.

Bab 15

0 0

Dalam hidup ini ternyata tidak mudah, mengubah suatu hal yang tidak kita suka atau tidak kita kehendaki, untuk bisa kita terima begitu saja. Walaupun aku sudah coba sekuat tenaga, untuk mengembalikan rasa percaya diriku, kadang rasa itu tiba-tiba hilang karena keadaan yang sangat berbeda. Tetapi, aku selalu berusaha untuk kembali meningkatkan rasa itu, dengan lebih giat belajar dan menambah kesibukan, dengan ikut berbagai ekstrakurikuler yang ada di sekolah. Semenjak mengenal Mila aku pun mulai sedikit berubah, aku kenakan baju panjang, rok dan kerudung, dan semua itu pemberian darinya. Walaupun, di kenakan saat di sekolah saja, setidaknya aku ingin sedikit berubah. Begitu juga dengan Ana, kami berusaha untuk menjadi lebih baik lagi. Kalau tidak bisa seperti mereka, yang berpenampilan modis, setidaknya kami bisa menutupinya, itulah yang terbersit di benakku. Orang tuaku senang melihat perubahanku, begitu juga dengan kakakku, ya walaupun perubahan itu masih sedikit. Kami belajar dengan sungguh-sungguh, dan tiba saatnya untuk tes semester satu. Aku berusaha dengan sepenuh kemampuanku, karena aku sadar, pasti banyak siswa-siswi yang lebih cerdas dariku. Yang terpenting berusaha lebih dulu, masalah hasil, serahkan pada Yang Maha Kuasa, seperti yang sering bapak dan ibu guru ucapkan dulu. Dan hasilnya benar-benar di luar dugaan, aku masih menempati urutan pertama di sekolah, dari sekian banyak kelas dan siswa-siswi aku masih menjadi juara satu paralel. Rasa syukur aku ucapkan tiada henti, semua serasa seperti mimpi. Pada akhirnya semua teman-teman mengenalku, Maryam si anak desa yang cerdas, seketika rasa percaya diriku muncul, dan meningkat kembali. Mereka mau berteman denganku, berusaha mengakrabiku, tetapi aku sudah terlalu nyaman dengan kehidupanku. Bergaul dengan teman-teman yang penuh kesederhanaan, saling menguatkan satu sama lain, menemaniku dari titik nol, ketika aku merasa bukan siapa-siapa dan aku tidak akan melupakan teman-teman yang sudah membantuku, untuk bangkit dari keterpurukkan, Mila, Ana dan teman-teman yang lainnya. Bukan teman yang hanya ada ketika aku sedang berada di puncak saja, semoga pertemanan kami selalu terjaga, sampai kapan pun. Jarak dari rumah ke sekolah yang sangat jauh membuat aku lelah, belum lagi tugas-tugas sekolah yang menumpuk. Aku selalu pulang sore hari, karena kegiatan ekstrakurikuler yang aku ikuti. Apa lagi jika musim hujan tiba, jika hujan di pagi hari, aku sering belajar dengan pakaian basah. Dan ketika hujan sore hari pakaianku sering basah kuyup, tak lupa kantong plastik besar selalu tersedia dalam tasku, untuk melindungi tas yang berisi buku-buku dan perlengkapan sekolah lainnya, begitu juga dengan sepatu dan kaos kaki, selalu aku masukan ke dalam plastik. Tak jarang, setiba di rumah aku langsung mandi dan tidur, jarang makan dahulu. Makan nasi hanya sempat dilakukan dimalam hari, ketika aku sudah terjaga dari tidurku dan rasa lelah sedikit hilang. Lalu aku lanjutkan mengerjakan tugas-tugas sekolah sampai larut malam. Ayah dan ibu sangat khawatir dengan kesehatanku, begitu juga dengan kakakku, mereka berusaha mencari solusi untuk masalah tersebut.

Bab 16

0 0

Pencarian solusi yang cukup alot, akhirnya keluarga memutuskan bahwa aku harus kos, ditempat yang dekat ke sekolah. Namun, aku masih merasa berat, berat meninggalkan ibu, siapa nanti yang membantunya memasak dan membereskan rumah. Aku juga tidak pernah menginap di rumah orang lain, walau cuma satu hari, apakah nanti aku akan kerasan tinggal di sana. Karena bukan untuk waktu satu atau dua hari saja, tetapi untuk waktu yang lama. Lalu aku ingin ada teman yang kos bersama denganku, supaya aku bisa kerasan selama kos. Aku mencoba mengajak Ana untuk bersama-sama kos denganku, ternyata Ana dan keluarganya juga menyetujuinya, asalkan ada temannya. Aku mencoba mencari informasi pada teman-teman dan kakak kelas yang sudah kos lebih dulu. Akhirnya aku mendapatkan tempat kos yang sangat dekat dengan sekolah, tepat di samping sekolah, di sana masih ada satu kamar kosong yang bisa di tempati oleh dua orang. Memang tempatnya kecil tapi menurutku itu masih nyaman untuk di tempati. Aku di ajak temanku untuk main ke tempat kosnya, yang sudah terisi ada tiga kamar, dua kamar perempuan, yaitu kamar temanku, satu lagi kamar kakak kelas, nah satu kamar lagi ternyata kamar dua anak laki-laki. Dan sisanya kamar kosong yang akan kami tempati. Semuanya menjadi berjumlah delapan anak. Sebelumnya aku merasa keberatan, karena perempuan dan laki-laki di campur menjadi satu. Tetapi, temanku menjelaskan di belakang bangunan kamar-kamar kos, ada rumah ibu kos. Hampir setiap pagi dan sore, atau setiap ada waktu luang ibu kos selalu keliling. Hanya sekadar bertanya sudah makan atau belum, bahkan sering juga mengajak mengobrol. Aku pun merasa lega, berarti tempat kosnya cukup aman, walaupun ada anak laki-lakinya. Pulang sekolah aku menceritakan keadaan di lokasi tempat kos yang akan aku tempati, keluargaku menyetujuinya, besok kakakku yang akan ke sana, untuk meminta ijin dan membicarakan masalah dana dan persyaratannya. Pembicaraan selesai, dan kami akan mulai kos minggu depan, aku tidak sabar menunggu hari minggu datang. Hari minggu pun tiba, aku diantar oleh kakakku, sementara Ana di antar oleh ibunya. Kami membawa semua perlengkapan sekolah, baju-baju, perlengkapan mandi, dan lain sebagainya. Persis seperti orang yang mau pindahan rumah. Ada rasa senang, sedih, takut, khawatir, semua bercampur aduk menjadi satu. Setibanya di tempat kos, kami disambut oleh ibu dan bapak kos, dan langsung menuntun kami ke kamar kos. Karena hari minggu, penghuni yang lain pun pulang ke rumah masing-masing, seminggu sekali mereka pulang ke rumah, untuk melepas rindu pada keluarga. Kami mulai menata ruangan, menyapu dan membersihkannya, menyimpan baju-baju, merapikan tempat tidur, dan lain-lain. Lelah setelah seharian membereskan kamar, kami semua istirahat sebentar, masuklah empat orang dalam satu kamar, kakak dan ibu Ana pun tidur sebentar. Pukul empat sore pun tiba, kakak dan ibu Ana pamit untuk pulang. Kami merasa sangat sedih, serasa tidak rela jika mereka pulang. “Jaga diri dan kesehatan, jangan lupa makan, kalian harus rukun, dan saling mengingatkan dalam segala hal, terutama dalam kebaikan”. Pesan kakakku pada kami. Entah apa yang kurasakan, hidup berdua hanya dengan teman, jauh dari keluarga tercinta, ingin rasanya aku ikut pulang dengan mereka. Kami pun saling berpelukan, aku melihat kakakku menitikkan air mata, begitu juga dengan ibu Ana. Aku dan Ana berpelukan, melihat mereka pulang, kami yakin jika kami pasti bisa melewati ini semua.

Bab 17

0 0

Hidup jauh dari orang tua, serasa separuh jiwa telah hilang. Rindu melihat raut wajahnya, rindu pada belaian kasihnya, bahkan rindu pada setiap omelan-omelannya. Semua harus dilakukan sendiri, makan yang biasanya bersama-sama, walaupun dengan lauk seadanya, sangat terasa nikmat. Sekarang hanya berdua dengan teman, rasanya jauh berbeda, hambar. Tetapi kami harus kuat, harus bisa mandiri dalam segala hal, agar mudah dalam mengejar cita-cita. Senin pagi yang cerah, aku dan Ana sudah bersiap-siap untuk berangkat sekolah. Keluar dari kamar, kami disambut senyuman dari ibu dan bapak kos, yang sedang jalan-jalan pagi. Baru saja kami menutup gerbang, aku melihat anak-anak lain yang kos bersama, berlari ke tempat kos, tidak langsung ke sekolah, mungkin ada sesuatu yang tertinggal. Kami tidak sempat bertegur sapa, karena memang bel masuk sebentar lagi berbunyi. Setibanya disekolah, tak selang berapa lama, benar saja bel masuk pun berbunyi, aku dan Ana langsung menuju ke kelas masing-masing. Di dalam kelas aku disambut oleh Mala, yang sudah tidak sabar mendengar ceritaku, tentang pengalaman hari pertama tinggal di tempat kos. Semua aku ceritakan pada Mala, namun belum selesai aku bercerita ibu guru datang, dan pelajaran pun segera dimulai. Kami mengikuti pelajaran dengan sungguh-sungguh, sampai pelajaran selesai. Bel pulang sekolah pun berbunyi, kami pun pulang. Di sinilah enaknya jadi anak kos, jarak yang dekat dengan sekolah, tidak perlu khawatir walaupun pulang sore hari, tidak takut datang terlambat ke sekolah jika pagi hari. Ada suka dan duka yang aku alami, beruntung masih ada teman yang mau berbagi. Tiba ditempat kos, aku dan Ana segera berganti pakaian. Layaknya tetangga baru, penghuni kamar kos yang lain, datang ke kamar kami. Kami berkenalan satu sama lain, dari kamar paling ujung, mereka adalah kakak kelas kami, namanya kak Lilis dan kak Irna. Kamar sebelahnya adalah kamar temanku yaitu Wulan dan Nur. Nah kamar terakhir, letaknya di sebelah kamarku, yaitu kamar dua anak laki-laki, Yuda dan Rian. Dan ternyata Yuda dan Rian juga masih kelas sepuluh, sama seperti kami. Semakin hari kami pun semakin akrab, bermain bersama, makan bersama, dan belajar bersama. Aku merasa, seperti menemukan keluarga baru. Dan entah mengapa, kamar kami selalu di jadikan tempat berkumpul, mungkin mereka suka dengan dekorasi kamar kami. Tak jarang pula, kadang ada sedikit selisih paham, namun itu tidak menjadikan kami masuk dalam pertengkaran, kami menganggap hal seperti itu adalah hal yang wajar. Dalam keluarga sendiri saja sering terjadi selisih paham, apalagi ini statusnya bukan keluarga. Kami selalu berusaha menjaga pertemanan ini satu sama lain, tak lupa juga saling mengingatkan dalam hal kebaikan.

Bab 18

0 0

Persahabatan memang unik, tidak harus sama jenis kelamin saja, laki-laki dan perempuan pun bisa bersahabat, tidak harus seangkatan saja, dengan kakak kelas pun bisa bersahabat, asalkan semuanya sudah merasa saling nyaman. Begitu juga dengan kami, susah senang kami lalui bersama, penuh suka dan duka. Menyisakan kenangan, yang tidak akan pernah terlupa. Akan menjadi bahan cerita pada anak cucu, dikemudian hari nanti. Dua tahun lebih kami lalui bersama, hidup layaknya keluarga, saling mendukung satu sama lain, saling mengingatkan dalam hal kebaikan, sampai tiba waktunya kelulusan. Kami pun terpisahkan oleh ruang dan waktu, ada yang melanjutkan sekolah ke bangku kuliah, ada juga yang bekerja, bahkan ada juga yang memilih untuk berumah tangga. Semua bebas menentukan pilihan masing-masing, sesuai suara hati, karena sejatinya hidup ini memang sebuah pilihan. Aku sendiri memilih untuk melanjutkan sekolah, ke jenjang yang lebih tinggi lagi, yaitu dunia perkuliahan. Aku mengambil ilmu hukum di salah satu Universitas Negeri ternama di kota kami, tentu saja dengan pilihan jalur prestasi. Dukungan penuh dari keluarga aku dapatkan. Namun, tidak semua apa yang aku harapkan, inginkan dan rencanakan akan berjalan mulus begitu saja. Aku dinyatakan tidak lulus, serasa hatiku hancur berkeping-keping. Aku merasa Allah tidak adil padaku, sebagai anak yang cerdas mengapa aku bisa sampai tidak lulus. Nilai yang tinggi dan bagus, keputus-asaan datang melanda, aku berpikir memang yang punya uang banyak lebih berkuasa, buktinya temanku yang jauh nilainya di bawahku dia bisa lulus, dan memang dia anak orang kaya. Kapitalisme begitu terasa, kecerdasan bukan hal yang utama, apalagi tidak punya uang banyak, karena uang memang sangat berpengaruh, percuma saja menjadi orang yang cerdas karena semuanya akan sia-sia. akhirnya aku memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah, lebih baik aku pergi merantau untuk mengadu nasib. Siapa tahu dengan bekerja aku bisa menjadi orang yang sukses dan punya banyak uang. Aku tetap meminta ijin pada keluarga, agar diberi kemudahan dan kelancaran. Aku pun berangkat ke Jakarta, atas ajakan tetangga yang memberi tahu jika ada lowongan pekerjaan di sana. Aku bekerja di perumahan, menjaga toko kelontong milik majikanku. Hanya itu yang bisa aku kerjakan, karena memang tidak mudah mencari pekerjaan di kota besar, hanya berbekal ijazah SMA. Kerja mulai dari azan subuh, mencuci baju, merapikan rumah, membuat sarapan, dan bersiap-siap untuk membuka toko. Toko kelontongnya memang sangat laris, sampai-sampai aku sangat lelah, uang banyak selalu aku pegang, tapi sayang itu bukan milikku, melainkan milik majikanku. Aku hanya kuat bertahan lima bulan, karena gaji yang aku dapat tidak sesuai dengan lelah yang aku rasakan setiap hari. Jauh berbanding terbalik, aku pun menyatakan untuk berhenti bekerja pada majikanku, dengan alasan di suruh pulang oleh orang tua di kampung. Majikanku mengizinkannya, namun aku tidak pulang ke kampung, aku ikut dengan teman yang mengajakku bekerja untuk menjadi sales barang-barang elektronik di tempat dia bekerja. Kenapa aku mau, karena uang yang didapat sesuai dengan barang yang kita jual, belum lagi ada uang bonus jika penjualanku memenuhi target penjualan setiap bulannya.

Bab 19

0 0

Setiap hari berjalan menyusuri jalan tanpa ujung, mengetuk pintu dari rumah ke rumah, berbagai tanggapan pun aku dapatkan. Ada yang menjawab dan membuka pintu penuh dengan kehangatan, ada yang sekedar menjawab tapi akhirnya berujung penolakan, bahkan ada yang bungkam seribu bahasa. Memang tidak mudah menjalani suatu pekerjaan, semua butuh perjuangan dan ketekunan. Hampir setiap hari aku berhasil menjual barang bawaanku, pundi-pundi rupiah pun mulai terkumpul. Sebagian aku tabungkan, dan sebagian lagi aku kirim kepada orang tuaku di kampung. Namun, semua itu tidak berjalan lama, aku merasa lelah dan jenuh. Rasa semangatku memudar, dan aku putuskan untuk pulang ke kampung halaman. Keluargaku menyambut kepulanganku dengan penuh suka cita, tapi kesedihan begitu nampak dalam raut wajah ibuku. Seuntai kata terdengar dari mulutnya, “Nak, kenapa tubuhmu menjadi kurus sekali? “ Aku tak sanggup menjawab pertanyaannya, aku hanya bisa memeluknya dengan erat. Perjalanan yang sangat melelahkan, ingin sejenak aku merebahkan tubuh ini, menghilangkan penat yang menyelimuti. Saat aku membuka mata, makanan sudah tersedia di meja makan. Memang bukan makanan mahal, tapi itu merupakan makanan yang istimewa, makanan yang selalu membuat aku rindu akan rumah, makanan yang di buat khusus oleh tangan ibuku tercinta, semua terasa begitu nikmat. Selesai makan kami berkumpul diruang tengah, kakakku sudah tidak sabar mendengar ceritaku, begitu pun ayah dan ibuku. Semua aku ceritakan, tak ada terlewatkan sedikit pun. Mereka sangat sedih mendengar ceritaku, seakan tidak rela anak perempuan satu-satunya, harus bekerja keras banting tulang seperti itu. Sampai akhirnya ayah berkata, “Bekerja di kota orang sudah kamu rasakan, mencari uang memang tidak mudah, pahit dan getirnya juga sudah kamu rasakan, bagaimana kalau kamu kuliah lagi saja, menjadi guru seperti kakakmu? “ “Aku belum berpikir sampai ke sana ayah, dan untuk saat ini aku tidak mau menjadi guru, gaji kakak saja pas-pasan.” Jawab aku. “Ya sudah... Nikmati saja dulu hidup di kampung, nanti kalau Maryam berubah pikiran, bicarakan saja pada kami.” Timpal ibu. Aku menganggukkan kepala, karena aku sudah paham alur pembicaraan ini, dan entah mengapa aku tidak ingin menjadi guru. Memang dulu ketika kecil, sempat terpikir olehku ingin menjadi guru seperti kakak. Namun, kenyataannya tidak semudah itu , karena beban dan tanggung jawabnya juga sangat besar, belum lagi gaji yang tidak seberapa, pantas kan jika guru itu di kenal dengan pahlawan tanpa tanda jasa. Aku berusaha membuka warung kecil-kecilan di rumah, dengan modal sisa tabunganku, awalnya lancar dan laris. Tetapi, lama-kelamaan banyak orang yang menghutang, uang untuk modal belanja habis, sementara uang yang lain masih ada di orang-orang yang berhutang. Jika aku berusaha menagih, tak jarang mereka lebih galak dari pada aku, dengan alasan belum ada uang, akhirnya warungku bangkrut. Dalam lamunan aku sering berpikir, mengapa hidup ini begitu tidak adil padaku, dulu hidupku serasa begitu sempurna, otak yang cerdas, teman-teman yang saling menyayangi, guru-guru yang selalu mengasihi, tetangga-tetangga yang kagum padaku. Namun, sekarang begitu berbeda, aku merasa berada di titik kehidupan yang paling bawah, berada di jurang terdalam. Berasa bukan apa-apa, dan bukan siapa-siapa. Ingin rasanya aku menyerah, dalam menjalani takdir kehidupan yang begitu pahit. Apa yang salah pada diriku, apa karena aku selalu beranggapan uang adalah segalanya. Seolah-olah aku menuhankan uang. Entahlah, aku sudah merasa sangat lelah.

Bab 20

0 0

Rasa putus asa yang berkecamuk dalam hati, membuat prinsip hidupku melemah, mungkin harus aku sadari, bahwa uang bukanlah segalanya. Aku mencoba bangkit dari keterpurukkan, dengan menerima saran dari keluarga. Disela-sela waktu makan malam aku berkata, “Ayah, Ibu, kakak... Aku akan coba saran dari kalian, aku mau melanjutkan kuliah, tapi aku tidak mau mengambil jurusan keguruan! “ “Lalu, jurusan apa yang akan kau ambil, Nak? “ Tanya ibu. “Terserah... Yang penting jangan keguruan Bu”. Aku menjawab. “Nanti kakak coba cari informasi, ditempat kakak dulu kuliah, siapa tahu ada program studi baru selain keguruan “. Timpal kakak. “Benar itu... Coba cari informasinya dulu, supaya adikmu mau kuliah lagi”. Seru Ayah. Wajah mereka terlihat senang mendengar kata-kataku, kakakku juga sangat bersemangat mencarikan informasi untukku. Mudah-mudahan ini menjadi jalan terbaik untukku, tidak ada salahnya juga untuk mencoba, apalagi jika hal tersebut dapat menyenangkan hati keluarga. Tak butuh waktu lama, kakakku langsung mendapatkan informasi terbaru dari dosennya dulu, bahwa sedang di buka program studi baru yaitu Sarjana Ilmu Perpustakaan. Kedengarannya aneh sih, karena memang baru aku dengar, mungkin nanti kerjanya khusus di perpustakaan sekolah, jadi aku tidak perlu mengajar anak-anak, tugasku hanya menunggu buku-buku di perpustakaan. Tanpa pikir panjang aku langsung memilih program tersebut. Aku berkata pada kakak, “Kak, aku mau ambil program studi itu, nanti kerjanya kan enak tinggal menunggu buku-buku di perpustakaan.” (sembari tertawa kecil) “Kamu itu loh... (Kakak memegang kepalaku), tapi sepertinya nanti kamu harus tetap bekerja di sekolah, berbakti dulu pada sekolahan tersebut, seperti kakak.” Jawab kakak. “Tidak apa-apa, Kak. Aku mau kok, asal jangan disuruh mengajar anak-anak, menganggur saja di rumah juga bosan.” Jawab Aku. “Baiklah... Nanti kita bicarakan lagi pada ayah dan ibu.” Jawab kakak. Setelah dibicarakan pada ayah dan ibu, mereka pun menyetujuinya, mereka senang anak perempuannya mau kuliah dan hidup di kampung halaman. Sebenarnya masih ada keraguan dalam benakku, tapi mungkin ini jalan terbaik dan petunjuk dari-Nya. Hidup di kota besar sudah aku rasakan, dan memang keras, butuh perjuangan yang keras pula. Keesokan harinya aku diantar oleh kakakku untuk mendaftar, dana yang lumayan besar, dan aku merepotkan orang tuaku lagi, ditambah sedikit bantuan dari kakakku, akhirnya semua berjalan lancar. Bulan depan aku sudah bisa masuk kuliah dan resmi menjadi mahasiswa. Tidak jauh berbeda dengan kakakku, aku juga mengambil kuliah yang masuknya hanya hari Sabtu dan Minggu. Dengan tujuan, agar bisa membantu orang tua di hari-hari yang lainnya. Aku jalani dengan sungguh-sungguh, karena aku tidak mau menjadi orang yang gagal lagi. Aku tidak mau membuat keluargaku sedih dan malu, aku harus bisa membanggakan mereka, seperti dahulu.

Bab 21

0 0

Kembali menjadi anak sekolah, rasanya aku kembali pada jaman dahulu. Di mana aku bebas mengeluarkan isi hati dan pikiran, belajar dan berteman, yang membedakannya adalah, dulu aku tidak mempunyai beban untuk memikirkan biaya, memikirkan kehidupan dan lain sebagainya, hanya fokus pada pelajaran saja. Namun, sekarang sungguh berbeda, tidak bisa hanya fokus pada pelajaran. Pikiran dalam otakku bercabang-cabang, bagaikan ranting pohon. Semua muncul seketika dalam pikiranku, masalah dana, masalah kehidupan, ingin membantu orang tua, ingin menjadi orang yang sukses, otakku serasa penuh dengan itu semua, terkadang aku merasa pusing sendiri. Satu hal yang harus aku buktikan adalah, aku harus belajar dengan sungguh-sungguh, lulus dengan nilai yang memuaskan, dan membuat orang tuaku bangga. Kuliahku belum selesai, kakakku menemukan jodohnya. Dia juga seorang guru honorer, dan bekerja di Sekolah Dasar Negeri. Bukan dari sekolah yang sama, namun masih satu Kecamatan. Mungkin mereka sering bertemu lalu timbullah benih-benih cinta, dan memutuskan untuk menikah. Kedua orang tuaku menyetujuinya, karena usia kakakku sudah tidak muda lagi, sudah pantas untuk memiliki pendamping hidup. Berbeda denganku, aku merasa belum setuju kalau kakak menikah. Dalam benakku, kalau kakak menikah sekarang, nanti tidak ada yang membantu pembayaran dana kuliahku, waktu untukku pasti juga akan berkurang, belum lagi jika nanti kakak ipar mempunyai sifat cemburuan, tak bisa kubayangkan, bagaimana nasibku. Pikiranku mulai tidak karuan, tapi rasa-rasanya kurang bijak jika aku menentangnya. Dengan rasa terpaksa, aku pun menyetujuinya. Mau bagaimana lagi, hari pernikahan sudah ditentukan. Akhirnya kakakku pun menikah, mereka tinggal bersama kami, lima orang dalam satu rumah, terbayang kan, bagaimana ramainya. Di awal pernikahan semua berjalan biasa saja, kakak ipar tidak keberatan jika kakakku selalu membantuku. Namun, lama kelamaan semua berubah, apalagi semenjak dia hamil. Lebih sensitif dan posesif, kakakku tidak boleh jauh-jauh darinya, harus selalu ada di dekatnya. Masalah dana bantuan untuk kuliahku saja dihentikan, dengan alasan harus menabung untuk biaya melahirkan. Beruntung kuliahku tinggal satu semester lagi, jadi tidak masalah walaupun aku tidak mendapat bantuan. Sempat aku mengadu pada ibu, kalau kakak sekarang berubah, dia lebih menurut pada istrinya, mungkin kakak sudah tidak sayang lagi padaku. Namun, ibu berusaha menjelaskan dan menasihatiku. Ibu berkata, “Nak, orang yang sudah berumah tangga, pasti akan seperti itu, apalagi jika dia seorang laki-laki. Karena kakakmu mempunyai tanggung jawab penuh pada istri dan anaknya kelak. Kakak iparmu rela meninggalkan orang tuanya, hanya demi kakakmu, yang sudah berstatus sebagai suaminya. Tinggal di rumah suaminya, melayani suaminya, jadi sudah sepantasnya kalau dia berbuat seperti itu. Maryam harus memahaminya, nanti kalau Maryam sudah menikah, pasti akan merasakan juga”. “Oh... Seperti itu ya Bu. Baiklah, Maryam akan berusaha memakluminya. Mulai sekarang Maryam akan berusaha semandiri mungkin dan tidak akan merepotkan kakak lagi”. Jawab aku. Sejak hari itu, aku benar-benar berusaha untuk tidak merepotkan kakakku lagi. Masalah dalam rumah tangga kakak pun bisa berkurang. Tak lama kemudian, kakak ipar melahirkan anak laki-laki yang sangat lucu, dan kami semua bahagia menyambutnya. Bertambah lagi satu keluarga baru, yaitu keponakanku yang lucu.

Bab 22

0 0

Keluarga adalah segalanya, rumahku semakin berwarna dengan kehadiran anggota baru. Setiap hari, ketika kakak dan kakak ipar pergi mengajar, aku dan ibu yang menjaga si bayi mungil. Namun, tak jarang pula aku sendirian yang menjaganya, karena ibu harus pergi ke ladang. Sudah serasa anak sendiri, rasa kasih dan sayang aku curahkan. Sekalian belajar juga, jika nanti aku punya anak, aku sudah pandai mengurusnya. Tak lama kemudian, aku pun lulus kuliah dengan nilai yang memuaskan tentunya, dan bisa membanggakan keluargaku kembali. Aku langsung bekerja di sebuah Sekolah Dasar Negeri, karena memang sedang membutuhkan karyawan baru, dan bukan sebagai guru. Namun, tidak satu atap dengan kakak dan kakak ipar. Untuk mengurangi prasangka orang-orang, aku tidak mau orang-orang beranggapan, jika aku bisa bekerja di sekolah karena bantuan kakak dan kakak ipar. Memang sekolahnya lumayan jauh, aku harus naik angkutan umum, untuk sampai di sekolah. Awalnya, aku hanya bekerja di perpustakaan sekolah, menjaga buku-buku, melayani anak-anak yang mau membaca buku ataupun yang mau meminjamnya, untuk dibawa pulang ke rumah mereka. Tak jarang pula, sebagai karyawan aku mengerjakan tugas yang lain, seperti membuatkan minuman untuk bapak dan ibu guru yang lain. Kadang juga membersihkan ruang kepala sekolah, ruang guru, kamar mandi dan ruangan-ruangan lainnya. Semua aku kerjakan, ketika tugas utamaku sudah selesai, atau ketika ada waktu senggang. Aku senang melakukannya, dari pada harus mengajar anak-anak, aku takut anak-anak tidak mengerti apa yang aku sampaikan, jika aku mengajar mereka. Memang gaji yang aku dapatkan tidak seberapa, namun aku berusaha ikhlas menerimanya, karena pemikiranku sudah berubah, uang bukanlah segalanya. Namun, semua itu tidak bertahan lama, karena ada guru yang dipindah tugaskan. Akhirnya ada kekurangan guru di sekolah, yaitu guru yang mengajar anak-anak kelas dua. Bapak kepala sekolah mengadakan rapat beserta seluruh guru dan karyawan termasuk aku, untuk membahas hal tersebut. Dan diperoleh suatu keputusan, bahwa akulah yang harus mengajar anak-anak kelas dua, untuk sementara waktu, sampai mendapatkan guru baru. Sebenarnya aku merasa sangat keberatan, karena dari awal masuk kerja, aku tidak mau menjadi guru, lagi pula ijazahku juga tidak sesuai karena bukan Sarjana Keguruan. Tetapi, bapak kepala sekolah dan guru-guru yang lain tetap memaksa, karena itu hanya untuk sementara dan mereka yakin jika aku bisa melakukannya. Kelas dua masih kelas bawah, jadi yang diutamakan masih membaca, menulis dan menghitung. Dengan penuh rasa terpaksa aku pun menerimanya, berbagai pikiran pun muncul. Apakah aku bisa, apakah anak-anak bisa mengerti dengan apa yang aku sampaikan, apakah orang tua mereka mau menerimaku, untuk mengajar anak-anak mereka, entahlah rasanya campur aduk menjadi satu, membuat kepalaku pusing. Namun, aku tetap berusaha melakukan yang terbaik. Sesampainya di rumah, aku bertanya pada kakak dan kakak ipar bagaimana cara mengajar yang baik, agar anak-anak mudah mengerti, apa yang harus aku sampaikan pada anak-anak. Mereka mengajariku dengan penuh kesabaran, menjelaskan semua materi yang harus disampaikan. Aku pun mulai belajar kembali, untuk menjadi guru yang baik dan benar. Melihat aku ada kemauan untuk mengajar dan belajar menjadi guru, orang tuaku merasa sangat senang. Mereka berharap aku benar-benar mau menjadi guru, tetapi untuk saat ini aku hanya menjalankan tugas yang diberikan dari sekolah, dan berusaha memberikan yang terbaik.

Bab 23

0 0

Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, pasti kita sering mendengar hal tersebut. Begitu mulianya tugas seorang guru, beliau mengajar anak-anak dari pagi sampai sore. Mengesampingkan diri dan keluarganya, hanya untuk anak-anak didiknya. Mampu mengubah anak-anak, yang awalnya sama sekali tidak tahu huruf dan angka, tidak bisa menulis bahkan membaca, apalagi menghitung, menjadi anak-anak yang pandai, cerdas, dan berakhlak mulia. Mengajar dengan penuh kesabaran dan kasih sayang, seperti mengajari anaknya sendiri. Dengan bayaran yang tidak seberapa, terutama untuk guru-guru honorer. Tetapi mereka tetap masih mau dan ikhlas mengajar anak-anak. Memang ada rasa tanggung jawab tersendiri, setelah aku merasakan menjadi seorang guru. Tanggung jawab pada anak-anak, tanggung jawab pada sekolah, dan tanggung jawab pada orang tua mereka. Semua itu tidak bisa diabaikan begitu saja. Ada rasa senang ketika aku mengajar mereka di dalam kelas, melihat kelakuan dan mendengar kata-kata mereka yang polos, sering aku tertawa ketika melihat dan mendengarnya. Namun, tetap tidak bisa dipungkiri, ada sedikit rasa tidak nyaman yang timbul, dan kemudian menjadi beban tersendiri untukku. Mungkin karena bukan benar-benar dari dalam lubuk hati yang paling dalam, aku menjadi seorang guru. Satu semester telah berlalu, aku merasa beban tersebut terasa semakin berat, aku merasa bahwa aku belum pantas menjadi seorang guru yang profesional, ditambah ijazahku yang memang bukan guru. Aku sempat mengajukan berhenti menjadi guru, dan ingin menjadi karyawan biasa saja seperti dahulu. Namun, semua itu tidak disetujui, dengan alasan belum mendapatkan guru baru. Rasa tidak nyaman tersebut semakin kuat, semua terasa penuh dengan keterpaksaan. Memang bukan suatu hal yang baik, jika kita bekerja tanpa ada rasa kenyamanan. Pasti rasa terpaksa dan penuh beban yang akan timbul dalam benak. Ketika suasana hati sedang kurang nyaman, aku mendapat informasi dari temanku, bahwa di Sekolah Dasar Negeri di seberang desaku, sedang membutuhkan karyawan khusus Sarjana Ilmu Perpustakaan untuk bekerja khusus di perpustakaan, betapa senangnya hatiku mendengarkan hal itu. Sekolah tersebut memang merupakan sekolah inti, jadi fasilitasnya sudah lumayan lengkap. Aku meminta ijin kepada keluarga terlebih dahulu, ayah dan ibuku mengizinkannya, karena jarak yang jauh ke tempat sekarang aku bekerja, sedangkan sekolah yang baru lumayan dekat, cukup ditempuh dengan jalan kaki. Begitu pula dengan kakak dan kakak iparku, mereka mendukungku dan mau membantu untuk proses perpindahannya. Semua berjalan dengan lancar, tentu saja dengan bantuan kakak-kakakku. Sekolah lama mengizinkan karena memang tidak ada kesesuaian antara profesi dan ijazah. Sekolah baru menerima dengan tangan terbuka, karena mereka memang sangat membutuhkannya. Dengan penuh semangat aku berangkat ke sekolah baru, berjalan dengan riang gembira. Hanya butuh waktu seperempat jam saja aku sudah tiba di sekolah. Anak-anak menyambut kedatanganku dengan bersalaman dan mencium tanganku, sejak aku tiba di gerbang sekolah. Anak-anak berkata setengah berbisik, “Lihat... Ada ibu guru baru, wajahnya cantik, ayo kita bersalaman”. Aku hanya bisa tersenyum mendengar itu semua, ada rasa senang yang muncul. Bapak Kepala Sekolah, guru-guru dan karyawan yang lain juga menyambutku dengan penuh kehangatan. Bapak Kepala Sekolah mengajakku berkeliling sekolah, beliau menjelaskan semua ruangan yang ada, termasuk ruang perpustakaan tempat aku bekerja, menjelaskan tentang tugas dan pekerjaanku. Semua berjalan tanpa ada halangan, perasaan yang nyaman saat bekerja, pekerjaan yang sesuai dengan keinginan hati, membuat semuanya terasa menyenangkan, dan tidak ada lagi beban pikiran yang menghantui, apalagi rasa keterpaksaan, yang ada hanyalah rasa tulus ikhlas.

Bab 24

0 0

Manusia hanya bisa berencana, ingin melakukan ini, ingin melakukan itu, semua sudah terkonsep dalam pikiran. Namun, pada kenyataannya semua tidak bisa berjalan mulus, sesuai dengan apa yang sudah direncanakan dan diharapkan. Bukan kita yang bisa menentukan jalan hidup yang akan dijalani, ada yang lebih berhak dan berkuasa, untuk menentukan setiap jalan kehidupan yang akan ditempuh oleh semua umat-Nya, yaitu Allah Subhanahu Wa Taala. Terkadang aku juga tidak menyangka, jika jalan hidupku akan seperti ini, sangat jauh berbeda dari apa yang aku harapkan waktu kecil. Penuh liku-liku, hambatan dan rintangan, suka dan duka. Tetapi, aku tetap bersyukur, karena sudah sampai dititik ini. Bisa sekolah tinggi sampai kuliah, badan yang sehat, keluarga yang bahagia, pekerjaan yang sudah didapat, dan keuangan yang cukup, Allah memang Maha Pemurah. Kini tinggal menjalani episode kehidupan selanjutnya, kalau boleh diminta aku ingin bertemu dengan jodohku, karena umurku memang sudah tidak muda lagi, sudah pantas untuk memiliki seorang pendamping hidup. Lagi pula semua teman-teman perempuan angkatanku sudah menikah semua, bahkan ada yang sudah mempunyai satu sampai dua anak. Termasuk temanku Mila, sahabat yang paling dekat, dia pun sudah menikah dan mempunyai satu anak. Biarlah semua menjadi harapan, untuk sementara waktu, karena aku yakin suatu saat nanti pasti semua akan terlaksana, hanya tinggal menunggu waktu, sampai Yang Maha Kuasa menentukan jalannya. Setiap hari aku berjalan kaki, menapaki jalan menuju ke sekolah tempat aku bekerja. Beruntung, sekarang sudah dibangun jembatan penghubung desa. Aku bisa sedikit lega, karena tidak perlu menyeberangi sungai yang berbahaya apabila sedang banjir. Senyum dan sapa selalu aku utamakan, jika bertemu atau berpapasan dengan orang lain. Karena itu yang keluargaku ajarkan. Ada satu rumah yang aku lewati, rumah tersebut sangat bagus dan mewah, menurutku itu adalah rumah termewah, aku selalu senang jika melewatinya. Aku juga berharap, semoga suatu saat nanti aku punya rumah mewah seperti itu, memang nampak seperti mimpi disiang bolong, namun aku yakin pasti bisa terwujud suatu saat nanti. Ketika aku memandangi rumah tersebut sambil berjalan melewatinya, tiba-tiba terdengar suara laki-laki dari dalam rumah. Dia bertanya, “Mau berangkat mengajar ya, Bu?” “Iya, Kak... Sambil menahan rasa malu. “ Jawab aku. Sebelumnya aku tidak melihat dia dari luar, tetapi dia tiba-tiba keluar dan bertanya. Mungkinkah dia selalu memerhatikanku, ketika aku selalu memandangi rumah mewahnya, ya Tuhan... malu sekali rasanya. Sesampainya di sekolah aku bertanya pada teman kerjaku, tentang rumah dan laki-laki tersebut. Ternyata rumah tersebut adalah rumah salah satu guru PNS, beliau bekerja di Sekolah Dasar Negeri di kota. Laki-laki tersebut adalah anak beliau, yang bekerja sebagai Perawat. Dulu dia bekerja di kota lain dan kos di sana, namun sekarang dia kerja di kota kami dan menetap di kampung. Rasa maluku belum hilang, rasa-rasanya aku tidak sanggup untuk melewati rumah tersebut lagi. Namun, temanku berusaha menghiburku. Dia berkata, “Jangan terlalu di pikirkan, kan kamu cuma melihat rumahnya, bukan mencuri isi rumahnya, jadi kenapa harus malu, cuek sajalah karena itu bukan masalah yang besar.“ “Baiklah, Kawan... Aku akan berusaha membuang rasa maluku.” Jawab aku. Aku berusaha sekuat tenaga untuk membuang rasa malu tersebut, dan berjalan seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Aku bersikap biasa saja, jika dia bertanya, aku pun menjawabnya, dan akhirnya semua berjalan biasa lagi seperti dahulu.

Bab 25

0 0

Ketika apa yang kita inginkan belum terwujud, sering kita merasakan kecewa yang begitu mendalam. Apalagi jika keinginan tersebut kita harapkan pada sesama manusia, niscaya rasa kecewa pasti didapat. Karena sesungguhnya hanya Allah-lah, satu-satunya tempat manusia berharap dan bergantung.

Layaknya diri ini, masih ada satu keinginan dan harapan yang belum terwujud, penantian yang masih panjang, harus selalu sabar dan ikhlas menanti. Begitu pun keluargaku, sudah tak terhitung, anjuran, permintaan bahkan perintah untuk segera menikah. Namun, mau bagaimana lagi, jodohnya yang belum ada. Bukannya aku tidak mau menikah, aku sudah berusaha menjalani suatu hubungan, tetapi semuanya selalu kandas di tengah jalan. Aku hanya bisa memberi penjelasan, jika sudah waktunya pasti semua akan terlaksana.

Begitu seringnya aku lewat di depan rumahnya, sehingga kami tidak canggung lagi. Siapa saja yang pertama melihat, entah aku ataupun dia, kami selalu berusaha saling sapa, dan lama-lama menjadi akrab. Kebetulan juga, dia mau dipanggil ke rumah, jika salah satu anggota keluarga ada yang sakit. Ya, karena profesinya sebagai perawat, walaupun bukan dokter nyatanya dia bisa memeriksa, menyuntik, dan memberi obat. Pasien tersebut pun bisa sembuh dari penyakitnya, tentu saja atas izin Allah SWT.

Keluargaku juga sering berobat padanya, kadang kami yang datang ke rumahnya untuk berobat, jika penyakit yang diderita tidak terlalu parah dan masih kuat berjalan. Tak jarang juga, dia yang datang ke rumahku, karena memang kondisi yang sudah tidak memungkinkan untuk berjalan. Dia laki-laki yang baik dan sopan, tidak membeda-bedakan orang lain, mau itu orang kaya atau yang kurang mampu, dia tetap mau membantu dan mengobati. Keluargaku juga senang padanya, bahkan ibuku sempat berkata,

“Seandainya dia adalah jodohmu, pasti ibu sangat senang, punya menantu seorang perawat“.

“Ah, ibu... Jangan bermimpi terlalu tinggi, Bu. Apakah dia mau sama aku, yang hanya seorang guru honorer. Tapi, ya doakan saja ya, Bu... “. Jawab aku, sambil tersipu malu.

“Tentu saja, Nak... Di setiap sujudku, ibu selalu mendoakan yang terbaik untukmu, karena ibu sayang sekali sama Maryam”. Ibu menjawab.

“Maryam juga sangat sayang sama ibu, kami berdua berpelukan”. Jawab aku.

Aku tidak pernah berpikir sampai ke sana, karena aku sadar, diri ini bukan siapa-siapa. Pekerjaanku hanyalah seorang guru honorer, keluargaku bukanlah keluarga terpandang. Bahkan aku berasal dari keluarga yang kurang mampu. Aku pun tidak berharap banyak, karena aku takut kecewa. Biarlah seperti ini dan waktu yang menentukan, kalau memang jodoh pasti tidak akan ke mana.

Kakakku juga semakin akrab dengannya, karena mereka mempunyai hobi yang sama, mereka sama-sama senang pada barang-barang elektronik. Kebetulan kakakku bisa memperbaiki dan merakit barang-barang tersebut. Sekarang mereka sedang membuat radio rakitan, yang bisa menerima pesan suara, seperti handphone tapi hanya bisa di jangkau jarak dekat saja, jadi dia semakin sering datang ke rumahku untuk mengerjakan hobi mereka tersebut. Kakakku juga sama seperti ibuku, mereka mempunyai harapan yang sama untukku. Aku hanya berharap pada Yang Maha Kuasa, agar diberikan jodoh yang terbaik.


Bab 26

0 0

Doa orang tua adalah segalanya, apalagi doa ibu tercinta. Doa yang beliau ucapkan, dalam salat di sepertiga malamnya telah menembus langit, dan dikabulkan oleh Sang Maha Kuasa. Semua diluar dugaan, tiba-tiba dia mengajakku jalan-jalan ke kota, dengan menggunakan sepeda motor miliknya. Dalam perjalanan kami mengobrol dan bercanda seperti biasa, aku pun sering meledeknya, karena dia juga belum menikah, usianya sudah dua puluh delapan tahun, lima tahun lebih tua dariku. Tak ada obrolan yang serius selama di perjalanan.

Akhirnya kami berhenti di sebuah warung bakso, dia langsung memesan dua porsi bakso untuk kami berdua. Aku sih senang-senang saja bisa makan gratis, karena ada yang menraktir. Kami makan dengan lahap, karena memang waktunya tepat, di saat jam makan siang. Setelah bakso di dalam mangkok kami habis tak bersisa,

Tiba-tiba dia berkata, “Neng, mau tidak kalau neng menikah sama aku?”

“Mas bercanda ya... Hahaha, nggak lucu tau mas.” Jawab aku, dengan perasaan yang penuh dengan rasa penasaran.

“Aku serius, Neng. Soalnya aku merasa nyaman sama neng.”

“Memangnya mas mau nikah sama Maryam, Maryam bukan orang kaya mas, Maryam orang tidak mampu, sementara mas dari keluarga yang berada. Apakah nanti orang tua mas akan menyetujuinya?” jawab aku, dengan hati yang berbunga-bunga.

“Justru orang tuaku yang menyuruh aku untuk segera menikah, memang ada beberapa calon yang mereka tawarkan. Namun, aku  tidak menyukai mereka, entah mengapa aku tidak mendapatkan kemistrinya dari mereka.” Jawab dia.

“Kalau sama Maryam, dapat kemistrinya ya mas.” Jawab aku sambil tertawa kecil.

“Kalau aku sudah berkata seperti itu, artinya sudah dapat, terus bagaimana mau atau tidak.”

“Bagaimana ya, Mas. Sebenarnya Maryam mau-mau saja, kebetulan Maryam juga selalu gagal dalam suatu hubungan. Tetapi, Maryam harus membicarakannya dulu pada keluarga Maryam.” Jawab aku.

“Baiklah, aku kasih waktu untuk Maryam dan keluarga, mudah-mudahan mereka menyetujuinya.” Jawab dia dengan penuh harap.

“Terima kasih ya, Mas. Atas pengertiannya, mohon maaf sebelumnya.” Jawab aku.

Kami pun segera beranjak pergi dan melanjutkan perjalanan, aku merasa malu setelah pembicaraan tadi, dan aku lebih sering diam. Aku merasa masih tidak percaya, semuanya serasa dalam mimpi, pikiranku berjalan ke sana kemari. Apakah nanti kalau jadi menikah, pernikahan kami akan baik-baik saja, karena kami memang tidak pacaran seperti orang lain. Memang ada sedikit rasa kagum padanya, tapi aku tak tahu apakah itu cinta atau bukan. Aku merasa masih belum yakin pada diriku sendiri, walaupun sebenarnya keluargaku sangat mendukung. Karena menurutku, pernikahan bukanlah suatu permainan, yang bisa dimulai dan diakhiri begitu saja. Pernikahan adalah perjalanan hidup yang harus ditempuh sekali seumur hidup dan untuk selamanya.

Aku mengira kami akan langsung pulang, tetapi dia mengajakku ke toko handphone, lalu dia membeli satu buah handphone, kemudian kami pun pulang. Setibanya di depan rumah dia memberikan handphone itu padaku. Aku berusaha menolaknya, karena aku merasa tidak enak, handphone bukanlah barang yang murah, aku saja tidak sanggup untuk membelinya. Namun, dia terus berusaha memberikannya, dengan berbagai alasan. Supaya dia lebih mudah menghubungiku, dan sudah terlanjur dibeli. Akhirnya aku menerimanya, walaupun merasa sedikit keberatan, lalu dia pun pulang ke rumahnya.

Aku langsung menceritakan hal tersebut pada keluargaku, mereka semua sangat senang mendengarnya, apalagi ibuku. Dia merasa sangat bahagia, karena doanya selama ini dikabulkan oleh Allah SWT. Memang Allah SWT Yang Maha membolak-balikan hati manusia, aku hanya bisa berharap semoga dia jodoh terbaik untukku menurut Allah SWT.


Bab 27

0 0

Jodoh, Rizki, dan Umur adalah takdir yang sudah Allah tentukan dan tidak bisa diubah oleh manusia. Aku berusaha menerima jodoh yang sudah Allah gariskan untukku, semoga itu merupakan jodoh yang terbaik. Hari demi hari kami semakin akrab, apalagi dengan adanya handphone, kami lebih mudah dan lebih sering berkomunikasi. Tak jarang pula ketika dia bekerja di rumah sakit, disela-sela waktu istirahatnya dia menelepon aku hanya untuk menanyakan kabar.

Tidak banyak yang tahu tentang hubungan kami, kecuali keluargaku. Namun, yang sangat mengagetkanku ketika di sekolah, tiba-tiba bapak Kepala Sekolah memintaku untuk datang ke ruangannya. Aku sempat merasa takut, apakah ada kesalahan yang sudah aku perbuat, sehingga aku disuruh menghadap. Sesampainya di ruangan bapak Kepala Sekolah menyuruhku duduk, lalu dia membahas tentang hubungan kami. Aku kaget bukan kepalang, rasanya malu sekali, aku sempat menanyakan kenapa beliau bisa mengetahuinya.

Beliau menjawab, “Saya tahu dari bapaknya mas Rahmat, dan dia meminta saya untuk menanyakannya padamu, apakah kamu mau menikah dengan anaknya? Ya sebelum keluarganya datang meminangmu, mungkin dia ingin tahu jawaban dari kamu dulu.”

Ya laki-laki itu bernama Rahmat Yusuf Gunawan.

“Sebenarnya saya masih bingung, Pak. Tapi kalau menurut keluarga, terutama orang tua saya itu yang terbaik, Insya Allah saya mau pak.” Jawab aku sambil menahan rasa malu.

“Baiklah... Nanti malam bapak akan berkunjung ke rumahmu, untuk membicarakan hal ini dengan orang tua dan keluargamu, supaya semuanya cepat jelas.” Jawab beliau.

“Baik, Pak. Nanti saya sampaikan pada mereka.” Jawab aku.

Benar saja malam harinya, bapak Kepala Sekolah datang ke rumahku, beliau, orang tuaku dan kakak-kakakku tampak serius membicarakannya. Aku hanya bisa diam mendengarkannya, keluargaku sudah menyetujuinya, dan aku pun menerimanya, semoga semuanya berjalan sesuai harapan. Orang tuaku merasa lega, karena aku sudah menemukan jodohku.

Satu minggu berlalu, tiba-tiba dia meneleponku dan memberi kabar, jika esok malam dia dan keluarganya akan datang ke rumahku untuk meminangku. Senang, gugup, takut, malu semua rasa bercampur aduk menjadi satu. Aku langsung memberi tahu keluargaku, agar mereka bisa mempersiapkan segala kebutuhan untuk acara tersebut.

Waktu berjalan begitu cepat, malam pun datang dia dan keluarganya tiba di rumahku. Keluargaku menyambut kedatangan mereka semua, dia, bapak, ibu, dan kakeknya, bapak Kepala Sekolah juga ikut bersama mereka. Acara demi acara berjalan dengan lancar, kedua belah pihak telah menyetujuinya.

Tiba waktunya dia memakaikan cincin di jari manisku, tanganku gemetar dan dia tersenyum melihatnya. Malu dan deg-degan yang aku rasakan, tetapi ada pula rasa senang yang muncul. Pembicaraan pun dilanjutkan, mereka membicarakan dan menentukan hari yang baik, untuk melangsungkan akad dan resepsi pernikahan. Keputusan sudah didapat, dia dan keluarganya pamit untuk pulang.

Di saat yang lain sudah tertidur lelap, aku tidak bisa memejamkan mataku. Semua pikiran muncul dalam benakku, aku merasa semua itu hanya mimpi, aku merasa tak percaya jika sebentar lagi aku akan menikah. Apakah setelah menikah nanti aku akan hidup bahagia, apalagi nanti aku akan ikut bersamanya dan tinggal bersama keluarganya, sesuai dengan hasil pembicaraan tempo hari. Entahlah, aku serahkan semuanya pada Allah SWT, semoga semuanya adalah yang terbaik untukku.


Bab 28

0 0

Persiapan demi persiapan untuk acara pernikahanku mulai dilaksanakan, permintaanku tidak muluk-muluk. Aku hanya ingin ada sedikit dokumentasi, baik berupa foto atau pun video, agar semua bisa menjadi kenangan yang tak akan pernah terlupakan, di saat kami sudah tua nanti. Kenangan yang indah, masa di mana kami menjadi raja dan ratu walau hanya satu hari. Dengan harapan semua itu hanya terjadi sekali seumur hidup. Tidak perlu ada resepsi yang mewah, cukup syukuran kecil untuk mengikrarkan bahwa kami sudah resmi menikah, agar semua orang mengetahuinya, sehingga tidak ada lagi prasangka negatif.

Di samping itu aku juga tidak mau menjadi beban yang berat, untuk orang tua dan keluargaku, jika permintaanku terlalu berlebihan. Namun, ternyata orang tuaku berbeda pikiran denganku. Semua sudah mereka persiapkan, dari tempat resepsi, akad dan barang bawaan, karena aku akan ikut suami, jadi harus membawa barang-barang yang lumayan banyak, ya sesuai adat yang ada di desa kami. Apalagi calon suamiku adalah orang yang berada, jadi orang tuaku merasa malu kalau aku tidak membawa apa-apa. Mereka juga ingin membahagiakan anak perempuan satu-satunya sebelum dibawa pergi oleh suaminya.

Terkadang aku merasa sedih, karena aku akan meninggalkan mereka. Dari aku lahir hingga sekarang, aku selalu bersama mereka. Namun, setelah menikah nanti aku akan pergi meninggalkan mereka, mengikuti laki-laki lain yang bernama suami. Hidup bersama keluarganya, yang tadinya bukan siapa-siapa. Sering aku merasa takut, tapi orang tuaku selalu menasihatiku, semua tidak seseram yang aku bayangkan, dan semua akan baik-baik saja. Sebaliknya mereka merasa sangat senang karena aku akan segera menikah dan mempunyai pendamping hidup.

Waktu berjalan begitu cepat, acara pernikahan kami pun dilaksanakan, semua berjalan sesuai rencana. Mulai dari resepsi, akad nikah, foto-foto dan yang lainnya. Acara selesai, tiba saatnya aku pergi meninggalkan keluargaku tercinta. Aku tidak kuat menahan air mata yang sudah tak terbendung lagi, tangisku pun pecah dan semua ikut menitikkan air mata, tak terkecuali kakak-kakakku, apa lagi kakak dan keponakanku yang setiap hari tinggal bersama, sebaliknya kedua orang tuaku nampak biasa saja. Raut wajah mereka menandakan kebahagiaan.

Ibuku berkata, “Jangan bersedih, Nak. Hari ini adalah hari bahagiamu, ayah dan ibu sangat bahagia menyaksikan pernikahanmu. Jangan mengkhawatirkan yang belum terjadi, anggap saja mereka adalah orang tuamu sendiri, dan anggaplah rumah itu adalah rumah sendiri, apalagi jarak rumah kita berdekatan, kapan saja kami bisa dengan mudah ke rumahmu, begitu juga sebaliknya, jadi jangan terlalu bersedih. Turuti apa pun yang diperintahkan suamimu, selama itu dalam kebaikan, tersenyumlah, Nak... !”

Baiklah, Bu... Sambil berusaha untuk tersenyum lebar.” Jawab aku.

Aku dan suamiku naik ke dalam mobil bak bersama barang bawaan, mobil pun mulai melaju. Kulihat lambaian tangan keluargaku, air mataku keluar semakin deras, suamiku memelukku dan berusaha menguatkanku. Kami pun tiba di rumah suamiku, dan disambut oleh semua keluarga, kerabat dan tetangga, ternyata di rumah suamiku juga diadakan acara syukuran yang lumayan mewah. Bahkan lebih mewah dari resepsi di rumahku.

Hari demi hari berlalu begitu saja, ternyata memang benar apa yang dikatakan ibuku, semua tidak seseram yang aku bayangkan, aku terlalu mengkhawatirkan sesuatu yang belum terjadi. Kedua mertuaku sangat baik, mereka memperlakukanku seperti anak kandung mereka sendiri. Tidak ada yang di beda-bedakan, dan aku pun hidup bahagia.

Di sinilah aku sadar, bahwa aku mengalami titik balik kehidupanku. Dulu aku bukan siapa-siapa, hanyalah perempuan biasa yang berasal dari keluarga tidak mampu. Berjuang untuk bekerja dan mengumpulkan pundi-pundi rupiah, hanya untuk makan dan memenuhi kebutuhan hidup. Namun, sekarang sangat berbanding terbalik, aku mulai dikenal dan dihargai sebagai seorang guru. Di tambah lagi, menikah dengan seorang perawat, yang berasal dari keluarga berada. Allah menang Maha Baik dan Pemurah, pada setiap hamba-Nya yang mau berubah dan bersabar. Rasa syukur kuucapkan tiada henti dalam setiap sujudku, karena Allah telah mengangkat derajatku dan keluargaku.


Bab 29

0 0

Roda kehidupan memang selalu berputar, kadang kala kita berada di bawah, ada kalanya juga kita berada di atas. Yakinlah, kita tidak akan selalu berada di bawah, selama kita mau berusaha dan terus berdoa, meminta pada Allah SWT. Dan janganlah kita sombong ketika sedang berada di atas, karena roda pasti akan kembali berputar, jadi kita tak akan selamanya berada di atas. Titik balik kehidupanku adalah pembuktian nyata, dari kisah kehidupan yang sudah Allah gariskan. Bergulir layaknya roda yang berputar, hanya tinggal menunggu waktu dengan penuh kesabaran, keikhlasan, doa dan usaha yang kita lakukan.

Kehidupan yang aku impikan, rumah tangga yang bahagia, keluarga yang sejahtera, rumah mewah yang aku dambakan, semua menjadi kenyataan. Rasa syukur selalu aku panjatkan ke Hadirat Illahi Robbi, dalam setiap hela nafasku. Allah memang Maha Pemurah, belum genap tiga bulan usia pernikahanku, Allah telah menitipkan calon penerus keturunan dalam rahimku. Semua keluarga sangat bahagia mendengarnya, baik keluarga dari suamiku, maupun keluarga dariku, semua antusias menunggu kehadiran si bayi mungil.

Memang tak semudah yang terlihat, yang namanya biduk rumah tangga pasti ada saja masalah yang menerpa. Termasuk rumah tanggaku, apa lagi aku dan suamiku tidak pacaran lebih dulu, belum lama kenal kami langsung menikah. Sering terjadi percekcokkan di antara kami, hanya karena masalah sepele. Ya, karena kami belum mengenal sifat masing-masing, aku sering merasa kaget, kenapa sifat suamiku seperti ini? Sangat jauh berbeda dengan yang aku harapkan. Namun, aku tidak menuntut kesempurnaan darinya, karena aku sadar, aku juga bukanlah perempuan yang sempurna, aku sadar siapa aku dahulu.

Aku hanya berusaha memahami sifat-sifatnya, jika memang terlalu menyimpang aku pasti berusaha untuk membicarakannya, lalu kami mencari solusinya, begitu juga sebaliknya. Inilah yang menjadikan kami tetap bertahan dalam menjalani biduk kehidupan rumah tangga, yang penuh dengan ombak dan gelombang. Satu hal yang aku harapkan, semoga kami tetap bisa bertahan, menjalani bahtera kehidupan rumah tangga ini. Menjadi keluarga yang Sakinah, Mawaddah, Warohmah dan Barokah. Langgeng sampai menua bersama, dan hanya maut yang akan memisahkan.

Penantian si bayi mungil selama sembilan bulan akhirnya terbayarkan dengan kelahirannya. Pada hari Jumat, tanggal enam belas, bulan Mei aku melahirkan bayi perempuan yang cantik jelita. Kami resmi menjadi orang tua untuk bayi kami, menjadi seorang ayah dan ibu. Aku tidak menyangka, kehidupanku sampai di titik ini. Begitu luar biasa menjadi seorang ibu penuh dengan perjuangan, mengandung buah hati selama sembilan bulan, mau apa-apa susah, tidak bisa sesuka hati. Jika malam rasanya panas sekali, keringat bercucuran, tidur pun tak nyaman.

Saat melahirkan pun serasa bertaruh nyawa, rasa sakit yang tidak bisa digambarkan dengan kata-kata, tulang-tulang serasa remuk, sakit perut yang sangat luar biasa. Rasanya tidak akan bisa untuk dilupakan, namun setelah si bayi mungil lahir, muncul kebahagiaan yang tak terkira. Melihat wajahnya yang begitu mungil dan tanpa dosa, Masya Allah... Begitu indah ciptaan-Mu ya Robb. Lengkap sudah kebahagiaan dalam hidupku, dengan kehadiran putri tercinta.


Bab 30

0 0

Kebahagiaan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya, yaitu kebahagiaan yang sempurna untukku. Keluarga yang harmonis, suami yang bertanggung jawab, harta yang cukup dan buah hati yang mungil dan menggemaskan. Rasanya aku tidak pantas jika meminta dan terus meminta, untuk keinginan-keinginan yang lebih dari itu pada Yang Maha Kuasa.

Kondisiku yang masih bekerja, membuat aku tidak bisa melihat tumbuh kembang putriku setiap hari. Berangkat pagi pulang sore, untuk mengasihi saja hanya bisa pada malam hari, karena kesibukan di tempat kerja. Setiap pagi aku mengantarkan putriku ke rumah ibuku, karena suamiku juga bekerja di rumah sakit. Sementara ibu mertuaku sibuk mengurus ladang, karena ayah mertua juga bekerja sebagai PNS di sebuah sekolah negeri, jadi tidak sempat mengurus ladang.

Sebenarnya aku merasa berdosa, dari kecil aku selalu merepotkan ibu dan keluargaku, sekarang di saat usia mereka sudah mulai senja, aku masih saja merepotkan ibuku dengan menitipkan putriku padanya. Memang dia merasa sangat senang, karena bisa menjaga cucunya tercinta. Kadang dia mengatakan, rasanya lebih sayang pada cucunya, dari pada anaknya sendiri. Mungkin naluri seorang nenek memang seperti itu, tetapi aku tetap merasa tidak enak hati pada ibuku. Tak jarang juga, suamiku yang menjaganya jika dia sedang libur bekerja. Mau bagaimana lagi, sementara aku hanya bisa menjalani itu semua, jika harus membayar pengasuh anak rasa-rasanya masih belum mampu.

Masalah rumah tangga yang bertambah rumit seperti itu, tiba-tiba muncul masalah baru di sekolah. Kejadian dahulu terulang kembali, karena ada guru yang dipindah tugaskan akhirnya aku disuruh mengajar anak-anak kelas dua lagi. Mau tidak mau aku harus menerimanya karena belum ada guru pengganti. Rasanya aku ingin berhenti bekerja, karena aku merasa beban kerja dan kesibukanku semakin bertambah. Anak dan keluarga jarang terurus, namun suamiku masih menerimanya, dia juga sering mengatakan sayang jika ijazahku tidak dipakai.

Namun, aku merasa semakin tidak nyaman dalam bekerja, aku merasa bebanku semakin berat, karena memang dari dulu aku tidak mau menjadi guru. Di saat situasi seperti ini, Allah selalu menolongku. Kali ini aku ditawari temanku yang bekerja di SMK Swasta di kota, untuk bekerja di sana sebagai karyawan perpustakaan. Aku berpikir sepertinya tawaran yang sangat bagus, karena yang nanti meminjam dan membaca buku bukanlah anak-anak SD melainkan anak-anak SMK, jadi tugasku pasti semakin ringan. Namun, di samping itu jarak ke kota sangat jauh, membutuhkan waktu setengah jam untuk sampai di tempat kerja baru. Aku meminta pertimbangan dari suamiku, dia mengizinkan dengan alasan nanti bisa berangkat dan pulang bersama, karena suamiku juga bekerja di rumah sakit di kota.

Berbeda dengan kakakku, menurut dia lebih baik tetap bekerja di Sekolah Dasar Negeri, karena jika aku pindah bekerja ke sekolah swasta maka masa baktiku yang sudah sepuluh tahun akan hilang begitu saja, dan mulai lagi dari nol. Aku sempat merasa bingung, tetapi jika aku tetap bekerja di Sekolah Dasar, aku harus kuliah lagi mengambil jurusan Sarjana Keguruan, karena memang ijazahku tidak sesuai jika aku bekerja menjadi guru dan mengajar anak-anak. Dengan berbagai pertimbangan aku memutuskan untuk pindah kerja, karena aku sudah mempunyai anak, jadi rasanya kurang pas jika harus kuliah lagi. Lebih baik uangnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan putriku tercinta.

Akhirnya aku pun pindah, dan mulai bekerja di tempat baru. Rasanya begitu nyaman, Bapak Kepala Sekolah, guru-guru, dan karyawan-karyawan yang lain semua begitu baik. Selain itu anak-anak yang datang ke perpustakaan, mereka begitu menyenangkan. Aku bisa bercanda dan bersenda gurau dengan mereka, karena mereka memang sudah dewasa. Tak jarang juga mereka sering mencurahkan isi hatinya padaku. Pekerjaan dan tugas yang santai, ruangan yang luas, dan buku-buku yang lengkap, sesuai dengan pekerjaan yang selama ini aku inginkan, hanya fokus pada satu tugas dan kewajibanku sebagai karyawan perpustakaan. Ah, semua sangat menenangkan, semoga semua berjalan baik-baik saja tidak ada masalah yang datang menerpa.


Mungkin saja kamu suka

Nunung Nurhasan...
Isteriku Tukang Tidur
Muthi Mozla
Rina Noisy
Anastia Rahmi
Diary Lili
Ai Pipin Sumiat...
Kepingan cinta

Home

Baca Yuk

Tulis

Beli Yuk

Profil