Loading
1

0

32

Genre : Keluarga
Penulis : Dede M. Yunus
Bab : 30
Dibuat : 15 September 2022
Pembaca : 3
Nama : Dede Muchtar Yunus
Buku : 1

Warisan Bapak

Sinopsis

Ku pegang tangannya yang keriput. Masih kurasakan kehangatan di sana. Nafasnya terengah-engah. Keringat membanjiri tubuhnya. Tak henti-hentinya ia menyebut asma Allah swt. Masih kulihat ketegaran di raut wajahnya. Selang oksigen terpasang di hidungnya, hanya itu yang dapat membantunya saat ini. Infus? Jangan ditanya, sudah puluhan cairan infus masuk di tubuhnya. Tapi, malam ini cairan itu menolak memasuki tubuhnya. Menceritakan laki-laki tua berbama Pak Soebadri, seorang pensiunan pekerja tambang. Ia memiliki dua orang anak bernama Lala san Roni. Masa tuanya dihabiskan di pesantren sebagai santri, untuk memperdalam ilmu agama dan lebih mendekatkan diri pada Allah swt. Masa-masa tua yang dilaluinya dengan penuh kasih sayang dari anak dan isteri. Hingga suatu ketika ia mengalami sesuatu. bagaimana selanjutnya kisah Pak Soebadri? Dan hal apa yang membuat Lala sedih? Ikuti kisah lengkapnya di sini ????
Tags :
#sarapankata #sarkat

Bapak

1 1

-Sararapan Kata

-KMO Club Batch 49

-Kelompok 1

-Arutala

-Jumlah Kata 775


?Masih tergambar jelas sosok bapak yang selama ini menjadi payung bagi kami. Bapak, pria kuat, penyabar, bertanggung jawab dan penuh kasih sayang. Tak pernah bapak berkata kasar pada kami, sekali pun ia marah. Hanya saja, perawakan dan tatapannya membuat orang-orang segan dan takut padanya. Padahal, ia sosok yang ramah dan juga tak banyak bicara.

?Soebadri namanya, keturunan laki-laki satu-satunya dari kakek, bapak bungsu dari empat bersaudara, bapak memiliki tiga saudara perempuan. Masing-masing saudara bapak bersuamikan saudagar. bapak hanya pekerja tambang di kota Sumatera dan menikah dengan ibu yang asli keturunan Jawa. Dari pernikahannya dengan ibu, lahirlah aku dan kakakku. Kami hanya dua bersaudara, sepasang anak laki-laki dan perempuan. Kami lahir dan besar di Sumatera, tempat bapak mencari nafkah selama ini.

?Sejak bapak pensiun, bapak memutuskan untuk menetap di pondok pesantren, tempat bapak menghabiskan masa tuanya. Letaknya tiga puluh menit dari kota. Di sana, bapak banyak belajar ilmu agama, berkumpul dengan teman pengajian, dan berkebun. Kebun milik salah satu teman pengajian bapak, Pak Soleh namanya. Setiap akhir pekan atau hari-hari tertentu bapak akan pulang ke rumah. Untuk melepas rindu pada kami dan juga ibu. Sudah sering kali bapak mengajak ibu untuk ikut menetap di pesantren juga, tapi ibu menolak, belum siap alasannya.

?Pernah suatu hari, aku dan ibu berkunjung ke pesantren, sekedar melihat tempat tinggal bapak. Sedih rasanya, aku menahan tetesan air mata yang siap tumpah kapan saja. Sebuah gubuk sederhana, beralaskan tikar dan kasur tipis, tanpa penerangan yang cukup. Gelap dan lembab.

“Ayo, Pak! Kita pulang!” ajakku.

“Di sini, tempat Bapak. Gak apa, Bapak nyaman di sini” jawab Bapak tersenyam, melihatkan jajaran giginya yang sudah mulai ompong.

“Dengan keadaan seperti ini, Pak?” nyaris bulir kristal itu tumpah.

“Tapi, Bapak nyaman. Kan, Bapak bisa pulang kapan saja!” Bapak tetap tenang dan meyakinkan.

“Kalau aku kangen Bapak, gimana? Aku kan kuliah, kalau saat aku pulang, terus Bapak gak ada, gimana? Makan Bapak, gimana? Tidur Bapak, gimana?” banyak pertanyaan yang aku lontarkan pada bapak. Tak tega rasanya meninggalkan bapak di sini, namun bapak tetap saja meyakinkan dan bersihkeras pada keputusannya.

“Lala, pulang, Pak!” seketika gerombolan kristal yang dari tadi tertahan, tumpah. Kupeluk tubuh kekarnya yang mulai renta. Seraya mengahapus air mataku.

“Nanti Bapak pulang, Nak!”

?Kucium punggung tangannya dengan takzim. Aku pun berlalu pergi meninggalkan bapak dengan senyum khasnya. Sambil terus melambaikan tangan, kutatap tubuhnya yang mulai mengecil dari dalam mobil, hingga tak kudapati lagi sosok itu. Sepanjang jalan aku menahan tangis, membayangkan keadaan bapak di sana. Sehari-hari bapak berkebun, setelah subuh hingga menjelang zuhur bapak berada di sana. Letaknya tidak jauh dari pesantren, tapi jalan yang dilalui berkelok dan jika hujan akan licin. Kebun milik Pak Soleh yang dirawat bapak adalah kebun karet. Selain tambang batu bara, kebun karet merupakan mata pencarian masyarakat Sumatera. Dari merawat kebun karet, bapak mendapat penghasilan, usai pensiun sebagai pekerja tambang.

?Kudengar ibu berbincang dengan supir, mobil yang kami tumpangi adalah mobil milik Pakde, saudara ipar bapak. Ia suami Bude Salama, kakak tertua bapak. Suami budeku ini seorang pensiunan pegawai negeri sipil, Pakde Raharjo namanya. Kemarin ia menawari pinjaman mobil, saat kami berkunjung ke rumahnya mengantarkan buah pisang, hasil tanaman ibu. Kata Pakde kami bisa ikut mobilnya sekalian, karena supir Pakde harus mengambil dokumen di balai desa dekat pesantren. Sudah tiga puluh menit lebih perjalanan kami, akhirnya kami hampir tiba di rumah. Rumah sederhana namun nyaman. Di rumah hanya ada aku dan ibu, sejak bapak menetap di pondok pesantren. Mas Roni sudah berumah tangga dan memiliki dua orang anak yang lucu. Jarak rumahnya dan rumah kami tidak begitu jauh, hanya beberapa menit. Terkadang Mas Roni akan mengunjungi bapak di pondok saat ia libur kerja.

?Di depan halaman rumah sudah ada Mas Roni Menunggu dengan kedua anaknya, Sabil dan Rara. Sepasang anak laki-laki dan perempuan, Sabil yang berusia tujuh tahun dan dan Rara berusia sembilan tahun. Kucium punggung tanggannya dan berhambur kepelukan kedua ponakanku.

“Sudah lama, Mas?” tanyaku sambil membukkan pintu.

“Baru, kok!” jawabnya sambil mencium punggung tangan ibu.

“Sabil sama Rara, pulang sekolah, ya?” tanya ibu mencium kedua cucunya. Mereka berdua kompang mengangguk dan bergelayut manjah pada ibu. “Mana istrimu, le?” tanya ibu. “Dirumah, Bu. Tadi mau ikut tapi ada tamu.” Mas Reno mendudukan dirinya di sofa ruang tamu, “Ibu sama Lala dari mana?” lanjutnya.

“Dari nengokoin Bapak!” jawabku sambil menyodorkan es sirup padanya. Ia meminum es sirup hingga tandas, nampaknya Masku ini sangat haus. “Haus, Mas?” ledekku, ia hanya tersenyum malu.

“Bapak sehat?” tanyanya. “Mas, bujukin Bapak, toh, biar mau pulang” bujukku. “Kamu yang anak kesayangannya aja gak bisa bujuk, apalagi, Mas!” jawabnya enteng. Aku melengos dan berlalu mendekati Sabil dan Rara yang sedang asik nonton.

?Bapak, semoga selalu sehat dan dikelilingi orang baik. Baru saja berpisah dengannya, rasa rindu ini sudah memuncak.


user

18 September 2022 13:06 A.M. Ayume Lanjut, Kak! Semangat!

Bab 2 Cerita Bapak Tentang Jin dan Petir

0 0

Bab 2

-Sarapan Kata

-KMO Club Batch 49

-Kelompok 1

-Arutala

-Day 2

-Jumlah Kata 565

Saat berada di rumah, setiap malam bapak akan bercerita, entah itu dongeng atau kisah Nabi. Aku selalu senang mendengar cerita bapak, tidak hanya ilmu yang terselip tapi bapak juga menasihati. Bagiku, cerita yang bapak sampaikan seperti nyanyian pengantar tidur. Walaupun aku sudah dewasa, aku selalu meminta bapak bercerita kisah Nabi, kadang bapak berceramah dengan mengemasnya dalam bentuk dongeng. Aku tak pernah bosan mendengarkan kisah-kisah yang diceritakan bapak.

Malam itu listrik padam dan hujan deras. Di lantai berkeramik putih bermotif bunga, bapak dan aku duduk menikamti sepoi angin-menunggu listrik menyala. Lalu bapak menceritakan kisah jin dan petir.

 

“Lala, tahu gak kenapa saat hujan ada suara petir?” tanya bapak di kegelapan.

 

Aku menggeleng, sambil merebahkan kepala di pangkuannya. Bapak mengusap rambutku dengan lembut. Sambil tersenyum ia berkata, “coba Lala buka surah Al-Hijr ayat 18, di sana menjelaskan bahwa iblis yang mecuri dengar berita dari langit, maka malaikat mengejarnya dengan semburan api yang terang.”

 

 “Mencuri dengar berita apa?” tanyaku sambil mendongak menatap wajah Bapak.

 

“Rara juga mau dengar cerita, Eyang!” tiba-tiba Rara dan Sabil berlari ke pangkuan Bapak.

 

Aku yang merebahkan kepala di pangkuang bapak sontak beranjak. Rara dan Sabil malam ini menginap di rumah, sebab Mas Roni dan istrinya besok akan pergi keluar kota. Bapak langsung memangku cucunya. Rara di sebelah kanan dan Sabil di sebelah kiri. Bapak tersenyum melihat kami, lalu melanjutkan ceritanya.

 

 “Mencuri dengar apa saja yang akan disampaikan Allah kepada Malaikat dan Rasul. Dalam surah Al-Jinn juga ada, jadi kilatan petir yang kita lihat saat hujan itu adalah panah api dari malaikat yang sedang mengejar setan dan iblis. Tahu untuk apa mereka mencuri berita dari langit?”

 

“Untuk disampaikan pada dukun” jawabku.

 

“Benar! Iblis dan setan akan menyampaikan berita itu pada dukun dan tukang ramal. Padahal yang mereka dengar belum tentu benar semuanya, terkadang sebelum mereka mendengernya sudah kena panah api duluan, hahhaaaa.....”

 

Bapak bercerita layaknya pada anak kecil, “makanya, jangan percaya pada dukun dan sejenisnya, mereka hanya ditipu iblis” lanjut Bapak.

 

“Sudah.... sudah jangan cerita gitu lagi, bikin serem! Tidur! Sudah larut!” ibu berseru dari dalam kamar. “Rara... Sabil... ayo, tidur sini sama Eyangput!” panggil ibu.

 

“Kanapa toh, Bu? Aku kan Cuma mau ngajarin anak-anak, kalau nanti aku udah gak ada, siapa lagi yang akan ngajarin anak-anak ilmu agama!” Bapak menyahuti dengan lembut namun tegas.

 

“Wess... wess... toh, Pak! Kita lanjut aja ceritanya!” Aku mecoba melerai keduanya. Belum sempat Bapak melanjutkan ceritanya, lampu pun menyala.

 

“Nah...! Sudah terang, wes... besok lanjut lagi ceritanya!” Bapak beranjak dari duduknya dan melangkah masuk.

 

 “Rara, Sabil, ayo! Kita tidur!” aku mengandeng kedua ponakanku menuju kamar. Raut kecewa tampak dari keduanya, mereka yang belum puas mendengar cerita dari Bapak, protes pada Bapak, “ceritanya sebentar lagi, dong, Eyang!” rajuk Rara.

 

“Ceritanya sambung besok lagi, ya! Sekarang Mbak Rara sama Sabil tidur dulu!” bujuk Bapak. Dengan wajah ditekuk keduanya mengikutiku masuk kamar.

“Sudah sikat gigi dan cuci kaki belum?” tanyaku, mereka berdua mengangguk kompak. Aku tersenyum menganggung mengerti, “ayo! Baca doa dulu!” titahku. Setelah mereka beruda membaca doa dan terlelap, aku pun mematikan lampu dan ikut tidur.

Tenang rasanya saat mendengar cerita Bapak, banyak ilmu yang didapat dari setiap ceritanya. Bapak selalu tidur di ruang tengah, lebih nyaman katanya. Sedangkan Ibu, tidur di kamar bersamaku. Kulihat ia mulai merebahkan tubuhnya, sedih rasanya melihat tubuh kekarnya berangsur menyusut, dada bidang tempat aku bersandar kini mulai rentah. Sesekali kudengar Bapak batuk, entah sudah berapa banyak obat yang diminumnya tapi batuknya tak kunjung sembuh.


Bab 3 Uang dari Bapak

0 0

-Sarapan Kata

-KMO Batch 49

-Kelompok 1

-Arutala

-Day 3

-Jumlah Kata 644

BAB 3

Pagi itu kulihat bapak sedang duduk di teras, sambil membaca Al Quran kecil miliknya. Ia tersenyum, saat aku hendak beranjak kerja. Biasanya setiap sore bapak akan menungguku di depan pagar. Puluhan telepon masuk hingga pesan singkat dikirimnya, jika waktu pulangku sudah lewat.

“Jangan pulang sendirian kalau sudah hampir malam, mampir dulu tempat Mas mu, minta antar dia pulang” titah Bapak dari seberang sana. Aku hanya mengiyakan dan menutup sambungan darinya.

Perhatian-perhatian kecil dan senyum khasnya kala menyambutku pulang ke rumah, hal yang paling aku rindukan.

“Susah, Pak, kalau tidak ada tempat untuk menampung air!” keluhku pada Bapak, “tiap kali air PAM hidup gak pernah kebagian, apa lagi kalau berhari-hari air PAM gak nyala, bisa gak dapat air!” lanjutku.

“Bapak, ada sedikit tabungan. Kita beli tempat penampungan air, aja!” jawab Bapak sambil berlalu masuk, tak lama kemudia, ia menyerahkan sepuluh lembar uang merah. “Ayo, kita beli!”

Ah... Bapak selalu saja membuat aku terharu, tidak bisa kah, kau membuat aku sedikit mandiri?” aku membatin.

Gegas aku mengeluarkan motor metic berwarna biru, kubonceng Bapak dengan hati-hati. Saat-saat seperti ini adalah kenangan berharga bersama Bapak. Sejak lulus sekolah menenga pertama, aku langsung melanjutkan sekolah di kota hingga lulus kuliah. Kebersamaan kami hanya sesaat, tak banyak waktu yang kami habiskan, setelah aku lulus kuliah, Bapak lebih sering di pesantren dan mengurus kebun. Saat Bapak pulang adalah momen yang berharga, tak pernah melewati membersamainya.

“Pak, aku ada sedikit tabungan, kita beli yang agak besar, aja, ya?” ujarku saat motor kulajukan. Bapak mengangguk.

Sampai di toko bangunan aku dan bapak memilih tempat penampungan air yang besar. Kuserahkan uang sejumlah satu juta lima ratus pada pelayan kasir. Uang satu juta milik bapak dan tabunganku lima ratus ribu. Sore itu juga tempat penampungan air akan dikirim kerumah.

Bapak mendapatkan pengasilah dari merawat kebun Pak Soleh, setiap bulan uang yang Bapak terima akan diberikan pada Ibu, untuk bekal kami di rumah, dan sisanya akan Bapak simpan untuk bekalnya di pesantren. Bapak juga memelihara kebun milik juragan Karta salah satu orang kaya di kampung sebelah. Rumah Juragan Karta lima belas menit dari rumah kami, hanya beda kecamatan. Kebun Juragan Karta tidak jauh dari kebun milik Pak Soleh, karena Bapak juga yang mencarikan kebun untuk Juragan Karta. Saat itu Juragan Karta bertamu kerumah dan meminta tolong pada Bapak.

“Assalamu’allaikum, Pak Badri...” suara lantang tersengar dari depan rumah. Aku yang sedang berada di kamar gegas melihat keluar. Di depan pintu kulihat Juragan Karta dengan kumis tipisnya tersenyum.

“Wa’allaikumussalam, Juragan, ada perlu apa?” tanyaku sopan.

“Bapakmu ada, La?” tanyanya.

Aku mempersilahkan beliau duduk di bangku teras, “ada! Sebentar Lala panggil dulu, Pak!” aku berlalu menemui Bapak yang baru selesai salat ashar.

“Pak, ada Juragan Karta di depan,” aku memberitahu Bapak dari ambang pintu kamar. Bapak berjalan ke depan, menemui Juragan Karta yang menunggu di teras.

“Assalamu’allaiku, Juragan, ada perlu apa?” kudengar suara Bapak menyapa Juragan Karta yang sedang menghisap rokoknya.

 Aku menujuh dapur dan membuatkan minum untuk juragan Karta dan Bapak. Teh manis hangat dan gorenan bakwan kubawa kedepan, kulihat Bapak dan Juragan Karta masih berbincang-bincang. Hampir satu jam mereka ngobrol dan akhirnya juragan Karta pamit pulang.

“Tumben, Pak, juragan Karta main ke sini?” tanya ibu, ketika Bapak masuk. Aku dan Ibu sedang duduk menonton acara kuis di TV.

“Minta tolong cariin kebun,” jawab Bapak sambil meletakkan gelas dan piring yang tadi kusuguhkan untuk Juragan Karta.

“Juragan Karta mau beli kebun?” tanyaku sambil menyantap gorengan bakwan yang tersisa.

Bapak mengangguk, “nanti mau Bapak tanya sama Pak Soleh, mungkin ada yang mau jual kebun” jawab Bapak sambil berlalu ke kamar mandi.

Bapak yang memiliki banyak teman, kadang-kadang diminta membantu menjual atau membeli tanah dan kebun milik temannya. Seperti saat ini Juragan Karta meminta tolong dicarikan kebun. Terkadang orang-orang yang meminta bantuan Bapak akan memberikan uang, Bapak akan menyimpannya sebagai tabungan untukku. Dan kebun yang dicarikan Bapak untuk juragan Karta ini lah yang sekarang Bapak urus.

Bab 4 BApak Jatuh

0 0

-Sarapan Kata

-KMO Club Batch 49

-Kelompok 1

-Arutala

-Day 4

-Jumlah Kata 435

BAB 4

Siang itu, aku yang sedang asik menikmati drama Korea favorit di kejutkan oleh sebuah telepon. Seharusnya satu jam lagi jadwalku menjemput Ibu di pasar. Ibu membatu Bude berjualan di pasar, tapi siang itu Bude menelepon lebih awal. Bude memiliki kedai oleh-oleh khas Sumatera, sehari-hari Ibu akan membantu Bude menjaga kedai dari pukul 9 pagi hingga pukul 4 sore. Jarak pasar dan rumah hanya sepuluh menit jika berkendaraan. Ada rasa gunda menyelimuti saat Bude menelpon. Otakku berkelana, rasa was-was dan khawatir jadi satu. Gegas kupacu kuda besi menuju pasar. Alangkah terkejutnya kala kudapati Bapak pulang menggunakan tongkat, kuraih tanggannya dan kupeluk Bapak.

“Kenapa, Pak?” tanyaku panik.

“Bapakmu jatuh di kebun, sudah satu minggu sakit, tadi ikut Mas mu pulang, kebetulan lewat pondok. Mau ambil barang.” Jelas Bude

“Kok, gak ngabarin, toh, Pak?” tanyaku, “kalau ada apa-apa, telepon, kasih kabar! Jadi bisa di jemput, seminggu sakit gak ngabari!” omelku.

“Wes... ajak, Bapakmu pulang! Biar istirahat di rumah!” Ibu menimpali.

Kuboyong Bapak naik motor, kaki kirinya lemah, hingga membuat ia kesulitan berjalan. Selama perjalanan, sesekali kulirik Bapak dari kaca spion, Bapak tampak murung dan diam. Sesampainya di rumah, kubantu Bapak bebaring di kasur busa yang biasa ia gunakan.

“Nanti sore kita periksa, ya, Pak!” ajakku. Bapak hanya mengangguk pelan. “Gimana ceritanya bisa jatuh, sih, Pak?” tanyaku.

“Saat mau ke kebun, jalannya licin, habis hujan. Gak tau ban motornya oleng!” jawab Bapak, logatnya sedikit cadel, mungkin dampak dari jatuh. Bapak ada riwayat darah tinggi dan harus rutin minum obat. Kuperiksa tas ransel yang biasa digunakan Bapak.

“Loh, kok, obatnya utuh?” tanyaku penuh selidik, “Bapak, gak minum obat rutinnya?” Aku memicingkan mata.

“Minum, itu sisa bulan kemarin!” Bapak beralasan.

“Ya, udah! Istirahat, nanti sore kita ke klinik!”

“Mana ada sisa bulan kemarin tapi masih utuh, gak tersentuh” Aku mengerutu sendiri sambil berlalu meninggalkan Bapak.

Sore itu kelinik sudah padat pasien, kami menunggu giliran di ruang tunggu yang disediakan kelinik. Sudah ada tiga orang yang masuk ruang periksa, lima belas menit, tiba giliran Bapak di periksa. Dokter memerikasa dengan teliti, aku memperhatikan dari kursi yang berada di depan meja dokter. Kemudian dokter berjalan dan kembali mejanya.

“Saya kasih rujukan ke Rumah Sakit, ya! Nanti diperiksa lebih lanjut sama dokter syaraf!” jelas Dokter. Aku dan Bapak mengangguk.

Sampai rumah aku langsung menguhubungi kakaku yang bekerja di Rumah Sakit. Kujelaskan semuanya padanya memalui telepon. “Pak, besok pagi kita kerumah sakit, Lala sudah kasih tau Mas Roni, biar besok diurusnya dulu, jadi kita gak lama nunggunya.” Bapak menganguk dan berlalu ke Kamar mandi, bersiap menujuh masjid.

Aku hanya menatap Bapak yang tak bersuara sejak pulang tadi, “hmm... mungkin bapak lelah.” Aku berguman dalam hati


Bab 5 Prov Bapak

0 0

-Sarapan Kata

-KMO Club Batch 49

-Kelompok 1

-Arutala

-Day 5

-Jumlah Kata 930

BAB 5

Usai menyelesaikan salat subuh dan mengikuti majelis taklim di masjid, aku bergegas menujuh kebun. Aktifitas sehari-hari yang aku jalani di pesantren. Sejak berkenalan dengan salah satu Ustadz di kotaku, aku lebih mendekatkan diri lagi pada Sang Pencipta, terlebih saat itu waktu pensiun sudah tiba maka, aku putuskan untuk memperdalam lagi ilmu agama, sebagai bekal dan juga tentunya untuk mendidik anak-anakku. Arit, kapak, dan alat-alat lain untuk menyadap dan membersihkan kebun sudah siap kubawa. Aku menyalakan motor yang bersandar di diding biliku. Kendaraan keluaran lama yang sudah di modif khusus untuk ke kebun. Semalam hujan turun dengan deras, hingga pagi hari masih ditemani rintiknya. Keadaan yang tidak begitu bersahabat, namun harus tetap disyukuri, karena hujan adalah berkah dan rahmat yang diturunkan oleh Allah swt. Jalan menuju kebun tidak bersahabat, licin dan berlumpur membuat keseimbanganku oleng. Kendaraan yang aku kendarai tergelincir, membuat aku terjatuh, pandangan mulai tak jelas, aku putuskan untuk duduk sebentar di tepi jalan sampai keadaanku kembalih normal.

Siang hari ba’da zuhur, aku putuskan menemui temanku yang seorang mantri. Ia juga salah satu santri di sini, diperiksanya tekanan darah, “190/100, tinggi sekali, Pak!” tegasnya.

“Sebaiknya, Bapak istirahat dulu, gak usah ke kebun, tangan kiri dan kaki kiri bapak kelihatan lemah, saya takut Bapak terkena stroke ringan,” jelasnya.

Aku mengela nafas, aku teringat dulu saat bekerja di tambang, aku pernah terkena stroke ringan. Saat itu wajah sebelah kiriku terasa kebas dan mati rasa, mata kiri tidak bisa tertutup rapat, dan aku harus dirawat insentif selama satu minggu. Sekarang aku mengalaminya lagi, namun kali ini tangan dan kaki kiriku terasa sangat lemah, hingga sulit untuk beraktifitas. Aku pun beristirahat di bilik pesantren, tidak memberi kabar ke rumah, aku takut keluargaku khawatir, terlebih lagi Lala, anak permpuanku satu-satunya. Aku diberi obat herbal, selama satu minggu aku hanya berbaring. Kugunakan tongkat untuk menopang tubuh, karena sejak jatuh dari motor bagian tububuh selebah kiriku sulit digarakkan. Saat aku berada di halaman masjid, tiba-tiba keponakanku singgah, ia yang kebetulan lewat, untuk mengambil barang yang tak jauh dari pesantren. Melihat kondisiku yang tidak sehat, ia langsung mengajakku pulang.

Aku tidak langsung pulang ke rumah, ia mengajak singgah di pasar, menurunkan barang di kedai milik Ibunya, yang adalah saudara perempuanku. Aku duduk di teras kedai, di sana ada kursi dan meja tempat pelanggan menunggu pesanan yang sedang dikemas. Kudengar Mbakyu berbicara pada seseorang melalui sambungan telepon, sepertinya ia menghubungi Lala. Benar saja, tak lama kemudian Lala sudah tiba.

Dengan wajah kahwatir, ia mengahampiriku dan mengajak pulang, sesampainya dirumah ia langsung menghubungi Roni, anak laki-lakiku. Sore harinya aku sudah berada di kelinik bersama Lala. Tidak lama menunggu, tiba giliranku di periksa. Aku rebahan di atas bangkar klinik, dokter meriksa dengan teliti, bebapa kali kakiku di ayukan keatas dan kebawah. Lalu Dokter berjalan menghampiri Lala yang menunggu di depan mejanya.

“Saya kasih rujukan, ya, Pak! Kita periksa ke Dokter syaraf, sepertinya Bapak terkena stroke ringan.” jelas Dokter. Aku dan Lala mengangguk.

Besoknya aku diantar Lala ke Rumah Sakit tempat anak laki-lakiku bertugas. Sepulang dari kelinik kemarin Lala sudah mengubunginya. Semua prosedur di Rumah Sakit sudah diurusnya, mulai pendaftaran dan nomor antri ke bagian syaraf. Jadi kami tidak butuh lama waktu menunggu, aku ditemani kedua anakku memasuki ruangan Dokter syaraf. Beberapa pengecekan dilakukan, Dokter pun menyarankan agar tangan dan kaki kiriku diterapi.

“Hari selasa besok, Bapak terapi, nanti Roni yang urus semuanya. Bapak gak usak ke pondok dulu, istirahat di rumah, aja!” jelas Roni.

“Bapak, suka bandel dibilangin! Obat rutinnya aja gak pernah diminum!” adunya pada Roni. “Bapak minum, kok, kebetulan aja sisa bulan kemarin masi ada” elakku, “mana ada sisa bulan kemarin masih utuh!” omelnya lagi.

“Sudah... sudah... ajak Bapak pulang, nanti sore Roni ke rumah”

Sore sesuai janji, Roni dan kedua cucuku datang. Rara dan Sabil berlari kecil memelukku. “Cucu, Eyang, darimana?” tanyaku sambil memeluk mereka.

“Tadi Mbak Rara sama Sabil main ke taman kota. Eyang, kenapa? Kok, pake tongkat?” tanya Rara yang sedang duduk di pangkuanku.

“Eyang, kan, udah tua! Makanya pake tongkat! Masa gitu aja gak tau, sih, Mbak!” jawab si kecil Sabil. Aku terkekeh melihat tingkah kedua cucuku.

“Kata, Papa, Eyang jatuh, ya?” Rara yang berumur sembilan tahun sepertinya mengerti, karena aku yang tidak pernah menggunakan tongkat kini tiba-tiba ada tongkat di sebelahku.

Kami pun pindah ke dalam, Lala sudah menyiapkan gorengan untuk keponakannya dan teh manis untukku. “Pak, ini obatnya.” Roni memberikan beberapa obat untu kuminum.

“Mulai selasa besok, Bapak terapi, ya! Nanti Roni urus semuanya di Rumah Sakit, biar Bapak gak lama nunggu. Jadi nanti Roni daftarin pagi-pagi, biar Lala yang anter!” jelas Roni sambil meminum tehnya. Rara dan Sabil sudah asik nonton tayangan kartu kesukaannya.

“Diminum, Pak, obatnya! Jangan disimpen lagi, nanti gak sembuh-sembuh, mulai besok kita jalan pagi di depan sana!” sahut Lala dari dapur.

“Bapak, masih ngurus kebun Juragan Karta sama Pak Soleh?” Roni bertanya sambil berjalan menujuh dapur dan mengambil beberapa cemilan yang di goreng Lala.

“Masih, Pak Soleh gak mau orang lain yang urus, katanya gak percaya.” aku mengambil gorengan dan mememasukkannya ke mulut.

“Bapak, kan lagi sakit. Udah istirahat, aja! Gak usah ngurus kebun lagi. Sekarang juga kan Lala udah kerja!.” pinta Roni.

“ Gak apalah, kalau gak gerak, rasanya badan Bapak sakit semua. Ini aja udah satu minggu kebunnya gak Bapak tengok, entah sudah jadi apa.” aku beralasan.

“Bapak itu keras kepala, Masbro! Mana mau dilarang, aku udah capek ngelarangnya!” jawab Lala tiba-tiba dari arah dapur.

Aku hanya diam kala anak-anakku sudah mulai melarang. Aku yang sudah biasa beraktifitas, rasanya bosan jika harus diam saja di rumah. Entah mereka setujuh atau tidak jelas aku akan kembali ke sana. Bisa marah Juraga Karta kalau tahu kebunnya sudah ditumbuhi rumput.


Bab 6 Prov Lala

0 0

-Sarapan Kata

-KMO Club Batch 49

-Kelompok 1

-Arutala

Jumlah Kata 427


Bab 6

Sudah hampir dua minggu Bapak berdiam diri di rumah. Aktivitasnya tak jauh dari rumah dan masjid. Sesekali kulihat Bapak membersihkan rumput di halaman depan, terkadang Bapak juga membersikan selokan-selokan di depan rumah kosong. Sore itu kulihat Bapak sedang ngobrol dengan pak RT.

“Ngobrol apa, Pak? Kayaknya seru!” tanyaku saat Bapak memasuki rumah.

“Pak RT ngajak Bapak jadi pengurus masjid,” jawabnya sambil mendudukan diri di kursi ruang tamu.

“Bapak, mau?” tanyaku sambil memberikan teh hangat dan singkong goreng.

Bapak menggeleng, “Kenapa?” tanyaku penasaran.

“Bapak mau jadi warga biasa, aja! Belum siap diajak ngurus masjid” jawabnya sambil terkekeh kecil.

“Besok, Bapak mau ke persantren lagi, gak enak sudah dua minggu kebun di tinggal, nanti ditanya sama yang punya.”

“Tapi, Bapak, kan, belum sehat! Masih harus terapi!”

“Bapak, bosen! Di rumah gak ada kegiatan, malah rasanya badan sakit semua!” Bapak beralasan, “Nanti, Bapak pulang saat jadwal terapi,” lanjutnya sambil menyeruput teh manis.

Aku hanya menghela nafas, Bapak kalau sudah memutuskan suatu hal tidak pernah bisa ditolak. Aku hanya bisa diam.

“Assalamu’allaikum...” terdengar suara Ibu dari luar.

“Ibu dari mana?” tanyaku. “Dari rumah Bu Rini, besok mau nikahin anaknya, jadi bantu masak-masak dirumahnya” jelas Ibu sambil mendudukan diri di sebelah Bapak.

“Bu, besok Bapak mau ke pondok!” aduku pada Ibu.

Ibu menatap Bapak, “Iya, Pak?” Ibu bertanya pada bapak yang sedang menyantap ubi goreng, ia hanya mengangguk mantap.

Ibu melihatnya geleng-geleng. “Kan, belum sehat betul, nanti Roni marah.” terang ibu.

“Bapak ngeyel, Bu! Lala udah bilang, hari selasa depan, kan, jadwalnya terapi bapak.” aku mencoba meyakinkan ibu agar bapak tidak kembali ke pondok. Namun sia-sia bapak tetap cuek.

“Nanti bapak dimarah juragan Karta, tahu sendiri dia orangnya gimana, sudah dua minggu lebih kebunnya bapak tinggal, nanti tahu-tahu dia kesana, Bapak gak ada, gimana?” Bapak beralasan.

Pagi-pagi sekali Bapak sudah siap dengan tas ranselnya, “jadi ke pondoknya?” tanyaku sambil mengambil segelas air di atas meja. Bapak mengangguk, “Ayo! Antar Bapak ke terminal, kalau pagi-pagi kayak ini masih banyak bus yang kearah pondok, kalau sudah siang susah!” jelas Bapak.

 Dengan terpaksa aku harus mengantar Bapak yang sudah tidak bisa dicegah. Aku gegas mengeluarkan motor metik dan melaju perlahan mengantar Bapak ke terminal. Hanya lima belas menit jarak dari rumah ke terminal. Di sana sudah berjajar bus-bus yang akan berangkat. Kucium punggung tanggan Bapak dengan takzim. Dengan tongkat ditangannya, ia mulai masuk kedalam bus. Kupandangi Bapak yang sudah duduk di dalam bus. Rasa sesak selalu hadir tiap kali berpisah dengannya. Tak tega rasanya membiarkan Bapak pergi dengan keadaannya sekarang. “Semoga Bapak selalu sehat dan dilindungi Allah swt,” aku berdoa dalam hati dan berlalu pulang.


Bab 7 Pengorbanan Bapak

0 0

-Sarapan Kata

-KMO Club Batch 49

-Kelompok 1

-Arutala

-Jumlah Kata 789

BAB 7

Sejak Bapak mederita stroke, Bapak jadi sedikit pendiam. Perlahan-lahan kaki dan tanganya sudah membaik, tongkat yang biasa membantu menopang badan Bapak pun sudah jarang digunakan. Bapak sudah bisa bergerak leluasa walaupun tidak seperti dulu, sebelum terserang stroke. Sore ini aku pulang kerja lebih cepat, Ibu sedang berkutat di dapur. Entah ada saja yang ia olah, Ibu sama seperti Bapak, tidak bisa berdiam saja, di rumah ada saja yang mereka lakukan walau hanya sekedar menata bunga-bunga di halaman.

            “Assalamu’allaikum ... ” Aku megucapkan salam, Ibu masih sibuk dengan panci beserta alat-alat lainnya.

            “Wa’allaikumussala, cepat sekali pulangnya?” tanya ibu sambil mencuci beras.

            Aku hanya diam, tidak menjawab pertanyaan Ibu, berjalan menuju rak di sudut dapur dan meletakkan helm, “Ibu, masak apa?” tanyaku sambil mendudukan bokong di kursi makan.

            “Ibu, masak ikan goreng, sayur asem, sama sambel terasi. Kamu mau makan?”

            “Nanti, aja, Bu. Lala mau mandi dulu.” Aku beranjak meninggalkan ibu di dapur.

            Selesai mandi aku duduk di sebelah Ibu yang sedang menonton sinetron kesukaannya. Aku yang bosan dan memang tidak begitu suka menonton sinetron, beranjak dan duduk di teras, sambil memainkan gawai milikku. Beberapa kali kulihat pemberitahuan dari teman-teman kuliah. Sekarang entah dimana mereka, sudah sibuk dan jarang bertemu, hanya berkomunikasi melalui pesan singkat saja. Aku jadi teringat masa-masa sulit menjalani kuliah. Saat itu Bapak sudah mendekati waktu pensiun, sedangkan aku baru masuk tahun kedua kuliah. Beberapa kali aku meminta Bapak untuk berhenti kuliah, tak tega harus membebankan Bapak. Saat itu Mas Roni belum semapan sekarang, anak-ananknya masih kecil, hanya sesekali membantu uang kuliahku. Bapak sangat marah saat aku meminta izin cuti kuliah.

            “Pokoknya kamu kuliah terus!” dengan penuh penekanan Bapak berbicara. Di tatapnya wajahku dengan raut emosi.

            “Tapi nanti uangnya dari mana, Pak? Sebentar lagi Bapak pensiun, Lala gak mau bebani, Bapak!” ujarku sendu dengan sedikit tertunduk, tidak berani menatap bapak.

            “Itu urusan, Bapak! Mencari uang itu tanggung jawab, Bapak! Tugas kamu hanya sekolah, jadi anak pinter dan solihah! Gak usah mikirin dari mana uangnya!” tegas bapak dengan penuh penekanan. “Lala, gak perlu berhenti kuliah, Bapak gak mau anak-anak Bapak anti hidupnya kayak Bapak! Bapak, mau anak-anak Bapak hidupnya lebih baik dari Bapak!” Suara bapak mulai melembut, ia membelai rambutku.

            Aku yang sedari tadi duduk di hadapan bapak, bergeming. Menahan buliran kristal yang siap tumpah dalam sekali kedipan. Jika masalah pendidikan, Bapak memang tegas dan disiplin. Bapak mau anak-anaknya jadi orang yang berpendidikan tinggi, tidak seperti bapak yang hanya tamat sekolah menengan atas dan hanya sebagi pekerja tambang biasa. Bapak ingi kehidupan anaknya lebih layak darinya sekarang. Meski kami tidak pernah merasakan kekurangan, dari perkeja tambang Bapak sudah memiliki dua rumah dan satu buah kebun. Namun semuanya harus terjual untuk biaya sekolah Mas Roni dan modal usaha Mas Roni, walaupun ujung-ujungnya usaha Mas Roni gagal. Bagi bapak tidak apa-apa, karena harta hanya titipan.

            “Bapak, gak nyesel dan marah saat rumah dan kebun kita terjual. Malah, Bapak merasa bahagia dan enteng. Rasanya ada beban berat yang terlepas.” tutur Bapak.

Saat itu kami sedang berjalan-jalan di sekitar kampung, melatih kaki bapak. Dan entah mengapa aku tiba-tiba bertanya pada bapak perihal barang-barang yang terjual untuk membiayai Mas Roni.

“Bapak, gak tau apakah uang yang Bapak gunakan untuk membeli rumah dan kebun adalah uang hallal, mungkin saja saat itu ada uang “gaib” di sana.” lanjut bapak sambil terkekeh. Kepalanya yang pelontos ditumbuhi uban-uban halus, sudah mulai berkeringat.

“Bapak, ikhlas?” timpalku.

Kami masih berjalan mengelilingi kampung, kini jalan setapak menuju perkebunan karet yang kami lalui. Di sekitar kampung kami memang banyak kebun karet, karena sebagian besar masyrakat sini memang petani karet.

“Sangat ikhlas!” jawab bapak lantang, “belum pernah, Bapak merasa seiklhas ini!” ujar Bapak..

Saat ini kami sudah sampai di salah satu pondok yang ada di sekitar kebun karet milik warga. Kami mendudukan diri untuk beristirahat sebentar. Berbekal dua botol air mineral, Bapak duduk bersandar di bilik yang terbuat dari papan triplek. Terdengar suara nafas Bapak yang ngos-ngosan karena lelah. Aku memberikan botol minum milik bapak, lalu ia meminumnya hingga tandas. Lumayan lama kami duduk di sana, sambil melihat orang menyadap karet.

“Ayo! Pulang! Sudah mulai terik, nanti Ibu nyariin kita!” Bapak beranjak dan aku mengikuti dari belakang.

“Pak... tunggu!” Aku berlali mengejar Bapak yang mulai berjalan agak cepat meninggalkanku.

“Bruuukkk....!!” Bapak menoleh dan tertawa melihat aku tersungkur di semak-semak.

Lamunanku pecah saat Ibu memanggil dari dalam. Mengenang saat-saat tersulit kuliah dan perjalan dengan bapak yang diakhiri dengan aku yang terjatu di semak-semak, membuat aku terkekeh sendiri. Bapak memang tidak mau membiakan anak-anaknya kesulitan, meski harus kehilangan harta benda bapak ikhlas asal anaknya mampu menyelesaikan pendidikan. Kini hanya tersisa satu rumah milik Bapak. Rumah yang kami tinggali saat ini. Mas Roni pun sekarang sudah memiliki rumah sendiri. Bapak terima kasih untuk semua pengorbanan yang kau berikan untuk kami.

“Ya, Bu....” Aku beranjak menghampiri Ibu.


Bab 8 Bapak Terapi

0 0

-Sarapan Kata

-KMO Club Batch 49

-Kelompok 1

-Aratula

-Jumlah Kata 849

BAB 8

“Bu, enak kali, ya, makan gudek?” Sambil membawa gelas susu aku berjalan mendekati ibu yang sedang memetik kangkung di meja makan.

“Hari ini ibu mau masak tumis kangkung, tempe mendoan sama ikan nila goreng. Besok, aja! Besok, kan, Bapak pulang.” jawab ibu tanpa mengalihkan pandangannya. Aku mendengus sambil memonyongkan bibir.

“Kamu sudah kasih kartu berobat Bapak ke Mas mu?” tanya ibu yang kini mulai memotong tempe.

“Oh, iya! Lala lupa!” Aku menyeringai sambil menggaruk kapalaku yang tidak gatal, “bentar lagi Lala ke sana, Ibu mau ikut?” lanjutku.

“Selesai masak Ibu masak, aja! Ibu mau ketemu Rara sama Sabil, baru dua hari gak kesini sudah rindu, Ibu.”

Aku mulai membantu ibu menggoreng ikan dan tempe. Rara dan Sabil suka tempe mendoan, maka aku akan membawakannya untuk mereka. Setelah makan siang aku dan ibu bertolak ke rumah Mas Roni yang tidak begitu jauh. Kami menggunakan motor metik milikku, motor yang kubeli dengan gaji pertamaku sebagai guru honor. Hanya beberapa menit kami sudah tiba di rumah Mas Roni, Rara dan Sabil menyambut riang dan berhambur kepelukanku dan ibu bergantian.

“Tadi Eyangput buat tempe mendoan kesukaan Mbak Rara sama Sabil, nih, Anti bawain!” Aku memberikan bungkusan tempe mendoan pada kedua bocah itu, mereka sangat senang dan langsung melahapnya. Mereka memanggilku “Anti” karena aku tidak mau dipanggil tante atau bulek, aku merasa geli jika mereka menanggilku dengan kedua sebutan itu.

“Ini kartu, Bapak.” Aku memberikan kartu berobat Bapak pada Mas Roni.

“Lusa, ya, Bapak terapi?” tanya Mas Roni. Aku hanya mengangguk.

Hingga sore, aku dan ibu berada di rumah Mas Roni. Rara dan Sabil asik mengajakku main. Menjelang magrib aku dan Ibu pun beranjak pulang.

Pagi ini aku dan Bapak sudah duduk di ruang tunggu rumah sakit. Pukul sembilan biasanya Bapak sudah masuk ruang terapi. Kami masih menunggu Mas Roni menyelesaikan pendaftaran. Setelah beberapa menit kami berjalan menuju ruang fisioterapi. Di sana sudah ada beberapa orang yang menunggu giliran. Aku dan Bapak duduk di kursi bagian samping ruangan, kursinya langsung menghadap halaman Rumah Sakit, di sebrangnya ada beberapa ruang rawat inap anak-anak dan ruang bersalin. Di sisi sebelah kiri ada bangunan lain yang digunakan untuk rawat inap bagian penyakit dalam, sebelah kanan raung VIP dan kantin, tidak jauh dari sana bagunan laboraturium yang menyatu dengan apotek.

Kami menikmati pemandangan rumah sakit sambil menunggu giliran, beberapa orang dengan seragam putih-putih lalu lalang membawa pasien. Sesekali terdengar suara sirine ambulance dari arah ujung bangunan. Disana ruang UGD yang terhubung langsung ke ruang rongsen.

“Bapak jadi inget, dulu yang sering masuk rumah sakit Ibu. Sekarang yang sering kerumah sakit Bapak” ujar Bapak memecah keheningan diantara kami sambil sedikit tersenyum.

“Pak Soebadri...” suara suster dari arah dalam memanggil Bapak. kini tiba giliran bapak di terapi.

Kaki dan tangannya mulai dihangatkan mengunakan sinar X, ada juga alat setrum yang di pasang di kaki bapak, untuk memberikan getran atau sengatan listrik untuk merespon kakinya, dan beberapa alat lain. Selanjutnya, Bapak akan diterapi gerak untuk membantu menguatkan kembali fungsi otot dan menjaga keseimbangan serta kekuatan sendi, otot Bapak. Karena bagian kaki kiri yang terserang maka terapi gerak yang disarankan dokter adalah seperti mengayun sepeda dan berjalan. Dengan terapi rutin sekarang gerak kaki Bapak mulai pulih, walaupun tak sesempurna dulu. Setidaknya Bapak sekarang tidak memerlukan tongkat lagi untuk menopang tubuhnya. Dan ia bisa beraktifitas seperti dulu lagi.

Hampir satu jam menjalani proses terapi, Bapak terlihat letih. Beberapa kali kulihat ia menguap, kata dokter efek samping obat syaraf yang bapak konsumsi membuatnya mudah lelah dan sering mengantuk. Beberapa kali kutemui Bapak tertidur di teras rumah saat pagi hari, saat di tegur ia akan menggerutu. Sebelum Bapak memulai terapi tadi aku menyempatkan bertanya pada Dokter terapi dan Dokter syaraf yang ada di sana.

“Efek samping obatnya bukan hanya membuat beliau mengantuk, tetapi ada perubahan hormon juga pada beliau, sehingga beliau lebih sensitif dan mudah emosional” tutur Dokter

Akhir-akhir ini memang Bapak sedikit sensitif jika di tegur, terkadang kami hanya sekedar mengingatkannya untuk terapi jalan setiap pagi agar tidak tertidur, tapi Bapak akan menggerutu meski pun kadang ia melakukannya dengan ogah-ogahan. Pernah suatu pagi aku mengingatkannya untuk berjalan-jalan di sekitar lapangan kampung, ia dengan wajah ditekut berjalan ogah-ogahan kearah lapangan, saat kuintip ternyata ia hanya berdiri di simpang jalan menujuh lapangan, sepuluh menit kemudian ia sudah kembali.

Saat ditanya, “Loh, kok, cepet bener, Pak?”

“Ngapain lama-lama,” Sambil berjalan ke dalam ia menjawab santai.

Aku hanya geleng-geleng saja melihat tingkah Bapak yang seperti anak kecil. Belum lagi sekarang semua makanan yang ia konsumsi dibatasinya, padahal kami tidak pernah membatasi apa yang harus ia makan, malah kami selalu memberinya makanan yang bernutrisi agar ia cepat pulih.

“Pak, kok, telurnya gak dimakan?” Ibu menatap Bapak heran.

“Bapak lagi pantangan, gak makan telur.” Tuturnya.

“Ngawur, aja! Siapa yang nyuruh gitu?” cecer Ibu.

“Santri yang ngerawat Bapak di pondok, dia perawat, Bapak, kan lagi terapi sama dia juga, akupuntur juga.” jelas Bapak.

“Terus makan putih, tok, gitu, aja?” tanyaku kepo. Bapak bergeming tak menjawab.

“Mana ada gizinya, Pak! Sehat kagak, sakit iya!” omelku.

Bapak kadang maunya sendiri, beberapa kali diingatkan selalu saja ngeyel. Setelah seselai terapi, aku langsung mengajaknya pulang untuk beristirahat, karena setela terapi biasanya ia akan sangat lelah.

Bab 9 Uang Kuliah

0 0

-Sarapan Kata

-KMO Club Batch 49

-Kelompok 1

-Arutala

-Day 9

-Jumlah Kata 619


Bab 9

Prov Author

Beberapa bulan setelah pensiun, Soebadri mulai aktif di pesantren dan akhirnya mentap di sana. Selain itu dia juga ditawari untuk mengurus kebun karet milik Pak Soleh dan Juragan Karta. Dari situlah pengahasilan Soebadri untuk melanjutkan kuliah Lala. Pernah suatu hari Lala memerlukan uang untuk kuliah dan Pak Soleh hanya memberikannya secara ikhlas pada Soebadri, saat itu ia menolak pemberian Pak Soleh namun, pemilik kebun itu memaksanya. Sejak itulah Soebadri menjadi sungkan jika hendak meminjam uang pada Pak Soleh.

 “Pak, minggu depan terakhir bayaran kuliah.” Lala duduk di sebalah Soebadri yang sedang menatap tumbuhan bonsainya di teras.

“Minggu depan , ya?” tanya Soebadri tanpa mengalihkan pandangannya.

Lala menatap Soebadri dari samping, pandangannya hanya tertuju pada bonsai miliknya yang mulai rimbun. Soebadri beranjak masuk, sesaat kemudian ia sudah rapi dan mengeluarkan motor. Saat itu Soebadri masih kuat dan belum sakit, ia masih bisa mengendarai motor sendiri.

“Mau kemana, Pak?” tanya Lala.

“Ke rumah Juraga Karta.” jawabnya singkat. Seketika Soebadri sudah menghilang dari pandangan.

Beberapa menit mengndarai motor, Soebadri sudah sampai di rumah Juragan Karta. Rumah mereka hanya berbeda kecamatan jadi tidak begitu jauh untuk sampai kesana. Di teras rumah Juragan Karta sedang duduk sembari mengisap rokok.

“Assalamu’allaikum.” Soebadri mengucapkan salam. Ia melangkahkan kaki memasuki halaman rumah besar itu.

“Wa’allaikumussalam...” Juragan Karta bangkit menyambut Soebadri dan mempersilakan ia duduk.

“Ada perlu apa, Bad?” tanya Juraga Karta tanpa basa basi.

“Begini, Juragan, saya ke sini mau pinjam uang.” Soebadri langsung mengutarakan niat kedatangannya.

“Pinjam uang? Berapa?” ulang Juragan Karta sambil menghembuskan asap rokok ke udara.

“Dua juta, Lala mau bayaran kuliah, saya belum ada pegangan.”

“Badri... Badri... kalau gak mampu itu, ya, gak perlu lah anakmu disekolahkan tinggi-tinggi, toh, ujung-ujungnya juga bakal di dapur!” ejeknya.

Soebadri yang mendengarnya hanya diam menahan malu. Baginya pedidikan adalah hal yang utama, terlepas nanti mau di dapur atau tidak, yang jelas anak-anaknya harus memeliki pendidikan yang tinggi dengan harapan kelak bisa hidup sukses. Soebadri tersenyum simpul menatap Juragan Karta.

“Upahmu merawat kebunku juga tidak seberapa, kalau aku potong tiap bulan, mau makan apa kalian? Lagi pula bisa butuh waktu berbulan-bulan untuk melunasinya. Nanti belum lunas udah mau pinjem lagi.” Juragan Karta tertawa mengejek.

Soebadri masih dengan sabar mendengarkan ejekan dari Juragan Karta, kalau saja ia tidak ingat niatnya untuk meminjam uang, sudah lama orang yang duduk di hadapannya itu dipukulnya. Upah yang di terima Soebadri hanya delapan ratus ribu, jika dipotong setiap bulan setengahnya, berarti hutangnya bisa lunas hanya dalam wantu lima bulan. Hal itu sudah dipikirkan Soebadri dari rumah tadi dan itulah yang membuatnya berani menemui Juragan Karta saat ini. Jika ia meminjam pada Pak Soleh sudah pasti lelaki itu memberi pinjaman tanpa menghinanya namun, ia urungkan niatnya menemui Pak Soleh, ia teringat Pak Soleh pernah memberinya uang tanpa embel-embel meminjam. Ia merasa segan untuk ke sana lagi.

Juraga Karta melangkah kedalam, sesaat kemudian ia kembali, “Ambillah!” Juragan Karta melempakan amplok berisi uang ke meja yang berada tepat di hadapan Soebadri.

“Potong saja setengahnya setiap bula, Juragan.” ujar Soebadri.

“Baiklah, aku akan mulai memotong upahmu bulan depan.” Seobadri berterima kasih pada Juraga Karta lalu berpamitan pulang.

Lala masih di teras saat suara motor terdengar memasuki halaman rumah. Hampir satu jam ia duduk sendirian di sana, melihat orang-orang lewat.

“Assalamu’allaikum,” Soebadri memasuki teras dan duduk di sebelah Lala.

“Wa’allaikumussalam”

“Ibu mana?” Soebadri menoleh ke arah dalam.

“Lagi ke warung, Pak.”

Soebadri hanya menganguk-angguk mengerti. Soebadri memberikan amplok yang berisi uang itu, “Ini, besok bayar uang kuliahnya.”

Mata Lala berkaca-kaca menatap Soebardi, diambilnya amplok dari tangan keriput itu. “Lala janji akan belajar dengan giat, biar Bapak gak perlu lagi kerja dan cari pinjeman kayak ini!” suara Lala terdengar bergetar menahan tangis. Soebadri menatap Lala haru. Sambil membelai rambut anaknya, Soebadri tersenyum lebar memperlihatkan jajaran giginya yang mulai tanggal.


Bab 10 Perjanjian dengan Juragan Karta

0 0

-Sarapan Kata

-KMO Club Batch 49

-Kelompok 1

-Arutala

-Day 10

-Jumlah Kata 981

Bab 10

Soebadri sedang duduk di teras menikmati angin malam, ia bersyukur Juragan Karta mau membrikan ia pinjaman. Ia teringat saat Juragan Karta meminta bantuannya untuk mencarikan kebun.

“Assalamu’allaikum, Juragan,” Sapa Soebadri dari sambungan telepon. Ia memberi kabar pada Juragan Karta, ada seseorang yang akan menjual kebunnya di dekat pesantren. Setelah menyelesaikan sambungan telepon Soebadri langsung beranjak menemui Juragan Karta di rumahnya.

“Bu, Bapak ke rumah Juragan Karta dulu, mau mastiin kapan mau lihat kebunnya.” Soebadri berujar sambil mengeluarkan motor.

“Iya, Pak, nanti pulangnya sekalian jemput Rara dan Sabil, ya! Ibu sudah kangen sama mereka.” Soebadri mengangguk dan melajukan kendaraannya.

Sesampainya di rumah Juragan Karta, ia melihat sang empunya rumah sedang memberimakan ayam-ayamnya di halaman rumahnya yang luas. Disisi kiri rumah ada pohon mangga yang rimbun dan tak jauh dari sana ada beberapa kolam ikan lele dan gurame yang diternakan. Juragan Karta menoleh ke arah pagar rumah saat suara kendaraan Soebadri memasuki pekarangan.

“Assalamu’allaikum, Juragan,” sapa Soebadri sambil melangkahkan kaki menuju Juraga Karta berdiri.

“Wa’allaikumussalam, kirain sore mau kesininya, kalau soal uang cepet sekali kau datang, ya, Bad.” Kekeh Juragan Karta seolah mengejek.

“Kalau gak buru-buru kesini nanti kebunnya dibeli sama orang lain, Juragan! Saya kesini mau pastiin kapan Juragan mau liat kesana, biar saya bisa kasih kabar sama yang punya jadi, gak dikasih ke orang lain!” tekan Soebadri sedikit jengkel.

“Ayo! Duduk dulu!” ajaknya. Mereka pun berjalan menujuh teras samping rumah Juragan Karta yang langsung menghadap ke kolam ikan.

“Buka harga berapa, Bad?” tanyanya sambil medudukan bobot di salah satu kursi yang ada di teras.

“Seratus dua puluh juta, Juragan. Bisa goyang.” Soebadri ikut duduk di kuri yang bersebrangan dengan Juragan Karta. “Sudah ditanamin pohon karet, tapi belum terlalu tinggi, baru tiga tahun.” Lanjutnya.

“Tawar seratus juta, aja. Besok kita liat kesana.” Juragan Karta menyalakan rokok dan menghisapnya.

“Sebentar, Juragan. Saya hubungi dulu orangnya.” Soebadri mengeluarkan HP jadul miliknya, kemudian menghubungi sang empu kebun. Bebarapa menit berbincang, Soebadri sudah mengakhiri obrolannya dengan tuan kebun.

“Dia mau, Juragan. Besok dia tunggu di kebun.” Ucap Soebadri memecah keheningan diantara mereka.

“Jaraknya jauh, gak? Mobil bisa masuk?”

“Gak begitu jauh dari jalan besar, mobil bisa masuk, tapi jalannya gak bagus, sebaiknya naik motor saja ke kebunnya, Juragan.”tutur Soebadri.

“Nanti kau saja yang urus, ya, Bad. Hitung-hitung nambah penghasilan kau. Aku gak mau capek-capek cari orang lagi buat ngurus itu kebun.” pinta Juragan Karta. Soebadri terlihat sedikit berfikir.

“Nanti aku sediakan motor untuk kau ke kebun. Upah kau delapan ratus ribu sama beras setiap bulan, bagaimana?” tawar Juragan Karta. “Ayo, lah! Gak usah kelamaan mikir, kau itu butuh uang, butuh makan. Aku siapkan kau motor untu ke kebun. Ngeharapkan upah dari pengasilan kau sekarang gak cukup untuk kau dan keluarga, belum lagi anak kau yang kuliah.” Juragan Karta masih bersikeras membujuk Soebadri. Setelah berfikir sesaat, Soebadri pun menerima tawaran Juragan Karta. Ternyata ini adalah awal mula peghinaan yang akan di terima Soebadri selanjutnya.

Juragan Karta adalah orang kaya di desanya, ia memiliki banyak tanah dan kebun. Orangnya ketus dan pelit, kaalau pun ia memberi pastilah ada timbal balik yang harus ia terima. Tak jarang orang-orang datang untuk meminjam uang dengannya. Padahal ia adalah orang yang suka menghina jika ada yang mendatanginya dan akan berakhir tanah atau benda lainnya yang disita, jika mereka tidak bisa mengembalikan tepat waktu.

“Baiklah, besok pagi kau kujemput di rumah, kita kesana sama-sama.” Juragan Karta memberitahu dan Soebdrai beranjak pamit.

Setelah salat subuh di masjid, Soebadri sudah bersiap untuk pergi ke kebun yang sudah di janjikan bersama Juragan Karta. Pukul 06.00 pagi Juragan Karta berasama supirnya sudah berada di depan rumah Soebadri. Ia bergegas menuju mobil yang sedari tadi menunggu.

“Bapak berangkat, ya. Minggu depan Bapak pulang.” Pamitnya pada istri dan anaknya. Kedua orang itu begantian mencium punggung tangan Soebadri.

Setelah Juragan Karta dan Soebadri melihat kondisi kebun. Juragan Karta langsung menyelesaikan pembayaran hari itu juga. Uang seratus juta diserahkan pada tuan kebun yang kini kebunnya sudah beralih ke Juragan Karta. Setelah menyelesaikan proses pembayaran, Juragan Karta memberikan uang lima juta rupiah untuk Soebadri.

“Selanjutnya, aku serahkan kebun ini pada kau, Badri. Kau urus kebun itu, seperti perjanjian kita kemari, upahmu delapan ratus ribu, aku sediakan motor dan tambahan uang beras setiap bulannya.” ujar Juragan Karta mengingatkan.

“Iya, Juragan. Mulai besok saya akan mengurus kebun Juragan.” tutur Soebadri.

Setelah menerima uang dari Juragan Karta, mereka berpisah di pintu gerbang pesantren. Juragan Karta melanjutkan pulang ke desa dan Soebadri kembali ke pesantren. Tak lama Soebadri beristirahat di biliknya, suara salam terdengar dari arah luar.

“Assalamu’allaikum ....” terdengar suara pemilik kebun tadi.

Soebadri bangkit dari peristirahatannya dan melenggang ke luar, “Wa’allaikumussala ....” Soebdari membuka pintu.

“Pak Rahamat, ada apa? Ayo! Masuk.” Ajak Soebadri mempersilahkan masuk.

Di biliknya yang berukuran kecil ada ruangan yang biasa digunakan untuk menerima tamu, di sana ada dua buah kursi pelastik lengap dengan mejanya. Lantai yang beralaskan tanam dan penerangan yang tidak begitu memadai, mengaruskan Soebadri membuka pintu lebar-lebar agar mendapat penerangan dari matahari. Pak Rahmat pemilik kebun sebelumnya, medudukan diri di kursi pelastik, diikuti Soebadri yang duduk di sisi seblah kirinya.

“Maaf mengganggu, nih, Pak Badri,” ujarnya basa-basi.

“Gak, kok, Pak. Kebetulan saya lagi istirahat sambil nunggu azan ashar.”

“Ini, Pak, untuk Bapak karena sudah bantu saya menjual kebun.” Pak Ramhat menyodorkan sebuah amplok berisi uang.

“Gak usah, Pak! Saya ikhlas bantu, kebetulan di kampung saya ada yang cari kebun.” Dengan sungkan Soebadri menolak pemberian Pak Rahmat.

“Gak apa, Pak. Saya sudah niat mau kasih Bapak, lagian ini bukan upah, ini saya mau kasih buat Lala dan berterima kasih sama Bapak.” Pak Ramhat tetap memaksa Soebadri.

“Tapi ini terlalu banyak, Pak!”

“Terima saja, Pak. Itu rezeki untuk Bapak dan keluarga, itu juga gak banyak.” tegasnya.

Soebdari dengan sungkan menerima pemberian Pak Rahmat, diucapnya berkali-kali syukur pada Allah swt. Sepulangnya Pak Ramhat dari biliknya, ia menghitung uang tersebut, lima juta rupiah. Gegas ia menyimpan uang tersebut. Akan ia berikan pada Lala saat pulang nanti, sebagai tabungan biaya kuliah Lala, batinnya.


Bab 11 Uang Hasil Menjual Kebun

0 0

-Sarapan Kata

-KMO Club Batch 49

-Kelompok 1

-Arutala

-Day 11

-Jumlah Kata 889


BAB 11

Soebdari tidak mau memegang lama-lama uang pemberian Juragan Karta dan Pak Rahmat. Maka hari ini setelah ia memberihkan kebun milik Pak Soleh dan melihat kebun yang baru di beli Juragan Karta kemarin, ia langsung bertolak kembali ke rumahnya. Hampir satu jam perjalanan menggunakan bus, ia sudah sampai di terminal desa, ia mencari ojek untuk mengantarnya ke rumah, dua puluh menit kemudian, ia sudah tiba di rumah.

“Assalamu’allaikuu, Bu, Lala ....” Panggil Soebadri dari ambang pintu. Namun ia tidak mendengar jawaban dari dalam. Ia langsung menuju dapur, benar saja, anak dan istrinya sedang makan siang di sana.

“ Loh, Pak, katanya minggu depan pulang. Kok, ini udah balik lagi?” tanya istrinya langsung mencuci tangan.

“Alhamdulillah, kemarin Bapak dapat rezeki. Ini buat tambungan Lala kuliah.” Soebadri menyerahkan amplok berisi uang pada istri dan anaknya.

“Alhamdulillah ....” syukur keduanya.

“Dapet dari mana, Pak?” tanya istinya.

“Kemarin Jurangan Karta sama Pak Rahmat yang punya kebun ngasih ini. Makanya hari ini Bapak langsung pulang, takut hilang kalau lama-lama di Bapak.”

Istir dan anak Soebadri mengganguk paham. Lala langsung menyimpan uang dari Soebdari ke dalam kamar. Besok ia akan ke bank untuk menyimpan uang ini di sana, batinnya.

Malam itu, bulan bersinar terang, udara dingin menyusup hingga ke tulang. Soebadri dan keluarganya sedang bercengkrama di teras menikmati keindahan bulan dan tiupan angin. Terdengar suara motor memasuki halaman rumah. Roni beserta anak istrinya yang datang. Rara dan Sabil berhambur kepelukan Soebdari.

“Assalamu’allaikum ....” salam Roni dan istrinya bersamaan.

“Wa’allaikumussalam, dari mana, Le?” tanya Sobadri.

“Dari rumah, Pak. Sengaja ngajak anak-anak kesini. Kirain Bapak masih di pondok.” Tutur Roni memberikan bungkusan martabak kacang pada Lala.

“Wuuuiiihhhh, dari aromanya ini martabak kacang.” kekeh Lala sambil megedus-endus bungkusan itu.

“Pindahin ke piring, La!” titah Ibunya.

Lala mengajak kedua keponakannya masuk untuk menindahkan martabak yang dibawa kakaknya dan membuatkan minum untuk mereka.

“Pak, Bu, Roni mau minta tolong.” ujar Roni memecah keheningan.
            “Apa, Le?” tanya Ibunya.

“Begini, Pak, Bu, rencananya Laras mau buka warung di rumah, tapi tabungan Roni kurang. Bapak sama Ibu ada simpenan gak? Roni mau pinjem buat modal Laras.” Sambil menunduk dan meremas jari-jarinya Roni menyampaikan niatnya. Soebdari dan istrinya Wati saling berpandangan sesaat.

“Perlu berapa, Le?” tanya Wati.

“Sekitar lima juta aja, Bu. Untuk beli dagangan, yang lain-lain sudah ada tapi uangnya kurang lima juta.” jawab Laras.

Lala datang dengan nampan berisi martabak kacang dan teh manis hangat. Setelah meletakkannya di meja, Lala duduk di lantai tepat di sebelah Laras.

“Bapak sama Ibu ada simpenan sedikit, tapi itu untuk adikmu kuliah. Kalau dia gak keberatan, ya, silahkan aja.” tutur Soebadri menatap istinya.

“Nanti Roni kembalikan, Pak!”

“Gimana, La? Mas mu mau pinjem uang yang tadi, boleh?” Wati menoleh ke aras Lala.

“Ya, terserah Bapak sama Ibu, Lala nurut aja, kan, uangnya punya Bapak sama Ibu.”

“Yowes ... kalau gitu, kasih, kan, sama mas mu lima juta.” titah Soebadri. Lala melangkah ke dalam kamar dan mengambil uang, lalu ia menyerahkannya pada Wati.

“Ini lima jutanya, tapi beneran dikembalikan, yo, Le?” tegas Wati.

“Ibu ini apaan, sih, sama anak, kok, gitu!” tegur Soebadri.

“Ibu itu trauma, Pak, sama Roni ini! Sudah berapa kali dikasih uang buat modal tapi mana hasilnya, gak ada, uangnya juga gak tahu kemana! Wajar kali ini Ibu wanti-wanti, apa lagi ini uang buat kuliah Lala, Bapak itu udah gak kerja kayak dulu lagi, penghasilan kita, ya, pas-pasan aja, wajar kalau ada uang sedikit mau ibu simpen untu tabungan Lala!” cecer Wati.

Roni dan Laras istrinya hanya menunduk diam. Bukan hanya kali ini Roni meminta atau meminjam uang pada orang tuanya untu modal usahan. Tapi semua uang yang diberikan orang tuanya entah kemana dan usahanya pun tak ada yang maju.

“Kalau gak, ikhlas, ya, gak usah, Bu!” rajuk Roni.

“Bukan gak ikhlas, tapi ini uang sakit, Bapak dapet dari nolong orang jual kebun, jadi kali ini ibu harap kalian benar-benar untuk usaha.” terang Wati dengan penuh penekanan.

“Sudah-sudah, Bu. Kasih uangnya.” perintah Soebadri.

Wati memberikan uang tersebut pada Laras. Menantunya itu pun menerima dengan tertunduk diam.

“Nanti Laras kembalikan, Bu, uangnya.” Ujar Laras.

“Sudah, toh, Nduk! Gak usah diperpanjang, ibu kalian itu Cuma khawatir. Kalian kembalikan juga pasti gak bakal diterima ibu. Iya, toh, Bu?” Soebadri meyaknkan. Wati hanya diam dan membuang pandangan ke arah jalan.

“Minum Mas-Mbak.” Lala memecah ketegangan antara ibu dan kakaknya. Terlihat raut wajah ibunya merah menahan kesal.

Setelah Roni dan anak istrinya pulang, Wati tak henti-hentinya mengerutu pada Soebadri, “Ibu itu bukan gak ikhlas sama anak sendiri, Pak! Tapi Bapak lihat sendiri, dari dulu kita selalu bantu mereka, sampai kebun dan rumah terjual, akhirnya apa? Nihil, Pak! Gak ada satu pun usahanya berhasil dan uangnya juga gak tau kemana, Ibu Cuma wanti-wanti aja, kasihan Lala selalu ngalah, bahkan uang untuknya kuliah pun jadi korban, kalau uang itu gak kembali gimana Lala sekolah, Pak?” cecer Wati.

“Ya, rezekinya Roni, Bu. Kalau mereka gak bisa kembaliin juga biar, toh, Bu. Untuk cucu kita juga, sekarang mereka masih kekurangan. Kita gak tau nasib kedepan siapa tau Roni bisa lebih mapan.” tutur Soebadri bijaksana.

“Terserah Bapak saja, lah! Kalau Ibu gak sayang dan gak ikhlas sama Roni sudah dari dulu Ibu kejam sama mereka!” Wati mengomel sambil berlalu ke kamarnya.

Lala yang dari tadi di kamar mendengar pembicaraan orang tuanya  hanya menutup kuping dengan bantal. Ternyata perkara uang tak akan pernah ada habisnya, uang bukan hanya membuat orang damai tapi juga membuat orang terpecah.


Bab 12 Motor yang Dijanjikan

0 0

-Sarapan Kata

-KMO Club Batch 49

-Kelompok 1

-Arutala

-Day 12

-Jumlah Kata 867

BAB 12

“Badri, dimana kau?” suara dari sebrang telepon.

“Saya lagi di rumah, Juragan.”

“Mengenai motor yang aku janjikan, kau cari saja kalau ada yang jual, nanti kau kasih tau aku. Berapa harganya, nanti kau ambil uang kesini.”

“Gak perlu yang bagus, Juragan. Yang penting untuk transportasi ke kebun aja.”

“Terserah kau, atur aja, lah. Kan, kau yang mau pakai.” ujarnya dari ujung sana. setelah beberapa menit berbicara dengan Juragan Karta melalui sambungan telepon, Soebadri menghubungi orang di pesantren, meminta carikan info jika ada yang mau menjual motor untuk ke kebun.

“Juragan Karta mau kasih Bapak motor?” tanya Lala dari dalam sambil membawa teh manis hangat dan ubi goreng sebagai makanan pembuka pagi itu. Soebadri yang sedang menata bonsai-bonsainya menoleh ke arah sumber suara.

“Untuk ke kebun.” jawab Soebadri singkat lalu kembali fokus pada tanamannya.

“Ibu masih marah, Pak?” Lala kembali bertanya.

“Entahlah, pagi-pagi sudah ke warung.” Tangannya lihai membentuk bonsai-bonsai kesayangannya. “Nanti siang Bapak mau ke pondok lagi, mau cari-cari motor di sana.” lanjut Soebadri.

Siang itu Wati sudah memasak lauk untuk makan siang, ikan goreng, sayur asem, sambal terasi, dan tempe goreng. Menu sederhana kesukaan Lala. Setelah makan siang, Soebadri sudah siap dengan tas ranselnya. Ba’da salat zuhur, bersama salah satu santri, ia sudah berangkat menuju pesantren menggunakan sepeda motor milik santri tersebut. Tepat sebelum ashar mereka sudah sampai di pondok, Soebadri beristirahat beberapa menit sebelum pergi ke masjid pesantren. Biasanya setelah salat ashar berjamaah, di masjid akan mengadakan majelis taklim hingga waktu magrib tiba. Setiap sore Soebadri akan menghabiskan waktunya di sana bersama santri-santri lainnya.

Ba’da magrib Soebadri sudah berada di biliknya, biasanya ia akan memasak makan malam untuknya dan teman-teman satu kamarnya. Terkadang ada beberapa santri dari luar kota yang akan menginap di pondoknya dan santri-santri lain yang berada di sekeliling pondoknya akan meminta bantu memasakkan makan malam untuk mereka. Soebadri paling tertua di antara mereka, umurnya sudah memasuku usia 58 tahun, maka dari itu mereka sudah menganggap Soebadri sebagai Ayah mereka.

Malam itu selesai makan malam, Soebadri dan beberapa santri duduk di depan pondok mereka, udara malam itu sangat panas, jadi mereka memutuskan untuk menikmati angin di luar sambil menunggu azan isya’.

“Yu, ada kenalan yang mau jual motor gak?” tanya Soebadri pada Bayu, ia santri dari kota yang ,malam ini menginap di biliknya.

“Belum ada, Pak. Bapak mau beli motor?” tanya Bayu.

“Bukan saya, tapi orang di kampung saya lagi cari motor buat ke kebun.”

“Coba tanya Salman, Pak. Dia kan suka ke kalangan desa, siapa tau ada kenalan.” saran Bayu.

“Besok, deh, aku coba tanya Salman.”

“Malam ini panas bene, ya, Pak. Kayaknya mau hujan.” Bayu menipas-ngipas tangannya.

“Ia kayaknya, aku malam ini jadwal ronda, kamu berdua sama Bagus aja, di kamar gak apa kan?” tutur Soebadri.

“Gak apa, Pak. Aku juga ada jadwal tilawah di pondok putra malam ini. Nanti kalau selesainya cepat aku temenin Bapak ngeronda, ya?”

Soebadri mengangguk, “Nah, sudah azan, ayo, kita ke masjid!” Soebadri berjalan mendahului, Bayu mengekor di belakang Soebadri.

“Nanti kamu mau langsung ke pondok putra?” tanya Soebadri.

“Iya, Pak. Sudah janji sama Ustadz Bakhri.” Mereka berdua berjalan beriiringan menuju masjid.

Suasanya di pesantren yang sunyi dan banyak di tumbuhi pepohonan, membuat udara hangat terasa sejuk. Soebadri dan beberapa santri sedang duduk di pos ronda di dekat gerbang pesantren. Beberapa meter dari pintu masuk pesantren adalah jalan raya yang lansung menuju kota, di seblah kiri dan kanan gerbang ada beberapa ruko satu pintu milik warga dan ustadz yang menetap tinggal di pesantren, di sebrang jalan raya ada jalan kecil menuju kebun Juragan Karta sedangkan di ujung ruko sebelah kanan ada beberapa kebun milik santri dan agak masuk kedalam milik Pak Soleh, yang juga di rawat Soebadri.

Malam kian larut, beberapa kali terdengar suara kelentungan dari arah pos ronda, setelah Soebdari dan yang lain berkeliling pesantren, ia undur diri terlebih dulu. Fisiknya yang tak lagi muda membuat ia tak bisa berlama-lama bermain dengan angin malam, apalagi malam itu hujan akan turun. Suara gemuru guntur dan angin sudah saling berahutan. Sebelum beranjak tiba-tiba salah seorang santri memanggilnya.

“Pak Badri lagi cari motor, ya?” Soebadri yang akan beranjak mengurukannya dan kembali duduk di sebelah santri yang bertanya padanya.

“Iya, Mat, kamu ada temen yang mau jual motor?”

“Ponakannya Pak Kades kemarin mau jual motor, tapi gak begitu bagus, Pak.” Terangnya.

“Gak perlu bagus, yang penting bisa dipake ke kebun.” ujarnya.

“Coba besok kita kesana, Bapak lihat dulu kondisinya.”

“Baiklah, besok temani saya tempat Pak Kades, ya. Saya ke pondok duluan.” Soebadri pamit dan berlalu setelah yang lain mengiyakan.

Sesuai janjinya semalam, ba’da zuhur Somat sudah berada di pondok Soebadri. Mereka berdua menuju rumah Pak Kades mengendarai motor milik Somat. Sesampainya di sana Pak Kades mengajak mereka menemui keponakannya di rumah. Jarak antara rumah Pak Kades dengan keponakannya tidak jauh, hanya beselang tiga rumah. Soebadri melihat kondisi motor yang akan dibelinya, setelah prose tawa menawar akhirnya Soebadri menyepakati harga yang diberikan. Ia pun langsung menghubungi Juragan Karta, memberi tahu perihal motor yang dijanjikan. Tak butuh waktu lama, Juragan Karta langsung mentrasfer uang sejumlah tiga juta pada rekening keponakan Pak Kades. Motor bebek keluaran tahun 1996 yang sudah dimodif untuk keperluan kebun itu telah berpidah tangan pada Soebadri. Ia merasa lega, karena besok tak perlu lagi berjalan kaki ke kebun.


Bab 13 Ada yang Menemui Bapak

0 0

-Sarapan Kata

-KMO Club Batch 49

-Kelompok 1

-Arutala

-Day 13

-Jumlah Kata 982

BAB 13

“Harus dengan cara apa aku membalas kasih sayang dan pengorbanan, Bapak?” kalimat itu seringkali muncul dalam otakku tanpa permisi. Melihat kondisi Bapak yang semakin hari semakin lemah, tubuhnya yang kekar berangsur mengecil, tak tega rasanya selalu membebankan Bapak. Aku yang hanya karyawan kontrak, dengan gaji dibawah rata-rata rasanya sangat sedih belum bisa membantu keperluan sehari-hari, malah lebih sering aku yang meminta pada Ibu dan Bapak. Sejak mengundurkan diri sebagai guru honor, aku beralih profesi menjadi admin di salah satu anak perusahaan milik pemerintah yang masih baru berkembang.

Siang ini aku duduk di salah satu kursi food cour, menunggu pesanan makan siangku datang. Aku sengaja makan siang di sini sambil menikmati pemandangan yang sedikit gersang. Halaman food court yang luas tanpa tanaman ataupun pohon rindang membuat sinar sang surya langsung menusuk ke pelatarannya. Bagi siapa pun yang duduk di sana dan menatap ke depan akan selalu memicingkan mata karena silau mentari. Suasana di sini tidak begitu ramai kalau siang, berbanding terbalik saat pagi hari. Biasanya karyawan akan makan saing di luar kantor atau pun memesan melalui ojek online, karena itulah saat siang hari sudah sedikit pedagang yang berada di food court.

Lamunanku mengilang saat pelayan menghampiri dan memberikan pesananku. Satu porsi nasi rames dan segelas es teh manis. Kurasa bisa melegahkan tenggorokan yang terasa amat kering. Aku masih duduk sendiri menikmati hidangan yang ada di hadapanku. Beberapa kali kupicingkan mata memperjelas pandangan yang ada di depanku. Seorang laki-laki yang sangat kukenal, berasama seorang perempuan yang begelayut manja di pundaknya. Itu Sham, laki-laki dari fungsi keuangan yang aku sukai. Beberapa kali kami jalan bersama dan berbalas pesan singkat. Sikapnya yang perhatian dan juga ramah, membuatku jatuh hati padanya. Aku menghentikan kunyahanku, beberapa saat aku menatap lekat pada sosok laki-laki itu, hingga ia menyadari ada aku yang menatap nanar padanya. Ia telihat salah tingga dan melepaskan gandengan perempuan disebelahnya. Ia berjalan mengampiri aku yang masih duduk manis menikmati makan siangku.

“Sendiri, La?” tanyanya ragu. Aku hanya mengangguk dan terus mengunyah.

Saat ia hendak menduduka dirinya, aku langsung menyudahi kegiatan makan siangku. Nasi rames yang masih setengah porsi kutinggalkan begitu saja, bersama Sham yang menatapku menjauh. Aku kembali keruangan kerja, duduk di bawah pendingin ruangan yang kuharap bisa mendinginkan hawa panas di dada. Tak berselang lama, kudapati Sham berdiri di ambang pintu, tepat di hadapan aku duduk. Ia melangkah mendekat, mencoba meraih tanganku, namun kutepiskan.

“La, aku bisa jelaskan!” ujarnya.

“Apa? Aku sudah lihat, kok!” Mataku melotot menatap Sham. “Ternyata benar rumor yang beredar selama ini, bodohnya aku yang hanya percaya dengan sikap manismu!” tekanku.

“Salah, La! Dia itu salah satu model yang mau colab sama sepupu aku.” Sham beralasan.

“Mesra dan harus datang ke sini? Bukan, kah, dia kerja di luar kota? Kanapa harus di sini? Kenapa gak sama dia yang sekarang berada di kota?” cecarku.

“Kamu itu gak liat, ada dia di mobil, sejak tadi perempuan itu memang medekatiku, sudah beberapa kali aku tepis tapi dia aja yang ganjen.” Sham mencoba meyakinkanku.

“Sudahlah, aku gak lagi males berdebat denganmu, sebentar lagi jam istirahat selesai, kembali lah keruanganmu!” Kuacungkan telunjukku kearah pintu, Sham berjalan gontai keluar.

Jam pulang kerja aku cepat melangka ke parkiran, malas saja bertemu dengan Sham. Dengan cepat kulajukan kuda besi milikku. Di jalan aku melihat pedagang kue pancong, makanan kesukaan Bapak. Aku menepikan motor dan memesannya. Asap yang mengepul dan aromanya yang wangi mengugah perutku untuk segera menyantapnya bersama Bapak dan Ibu. Kutambah kecepatan laju motor, agar cepat sampai di rumah. Saat memasuki halaman rumah, aku dikejutkan oleh keberadaan Sham yang sudah duduk bersama Bapak. Ia tersenyum melihat aku mendekat.

“Assalamu’allaikum .... “ Aku mencium punggung tangan Bapak. “Ngapain di sini?” tanyaku pada Sham.

“Hush ..., gak boleh gitu, ada tamu, kok, nanyanya gitu!” omel Bapak. Aku melenggang masuk ke dalam, meninggalkan Bapak dan Sham yang duduk di teras.

“Nduk, itu ada temennya, kok, ditinggal?” tanya Ibu saat aku berjalan menuju rak yang ada di dapur, Ibu sedang membuatkan minuman untu Sham dan Bapak.

“Ini bawa kedepan!” titah Ibu.

“Males, ah. Ibu, aja!” jawabku ogah-ogahan. “Lala mau mandi, gerah.” Lanjutku.

Aku mengambil handuk yang tersangkut di belakang pintu kamar dan berjalan ke kamar mandi. Aku mendengar suara ibu yang memanggil dari arah luar, tak kuhiraukan panggilan ibu dan terus melanjutkan aktivitas mandi.

“Dipanggil tu, jawab!” Toyor Ibu saat aku keluar kamar mandi.

“Orang lagi mandi, masa harus teriak-teriak.” Kilahku.

“Lagian ada tamu malah dicuekin.” gerutu ibu. “Cepetan kedepan, Bapak nungguin.” Ibu berjalan meninggalkan aku.

Aku duduk di sebelah Ibu, di teras masih ada Sham dan Bapak yang sedang bicara serius.

“Sham mau ngelamar kamu.” Bapak menatapku tajam. Aku terperanga dengan ucapan Bapak.

“Ngawur! Gak lucu becandanya, Pak!” kilahku sambil berdecih.

“Sham gak becanda, tadi Sham sudah mengutasakan niatnya pada Bapak.” Wajah Bapak yang serius membuat aku takut. Aku menatap Sham, ia mengangguk mantap.

“Sham, ini gak lucu! Nikah itu bukan mainan, yang bisa kapan aja kamu lakukan, aku belum siap!” jawabku tegas.

“Fikirkan dulu, mantapkan dulu hati kalian. Bapak gak ngelarang kamu mendekati Lala, tapi kalau kamu memang sudah yakin, ajaklah orang tuamu kesini.” tegas Bapak. Sham hanya menunduk. Aku yakin dia tidak akan bisa mengajak keluarganya kemari.

“Kalau begitu, Sham permisi, Pak.” Laki-laki itu mencium punggung tangan Bapak dan Ibu lalu menghilang.

Malam ini ibu masak, sambal terong, telur ceplok dan sayur sup. Kami sedang menikmati hidangan tanpa suara, hanya ada dentingan sendok dan piring yang beradu.
            “Sudah berapa lama kenal Sham?” Bapak memcah keheningan.

“Belum lama, Pak. Dia teman kerja Lala, tapi beda fungsi.” Aku menuguk air yang ada di depanku.

“Bapak gak ngelarang kamu berhubungan dengan siapa saja. Tapi jika memang jodohmu sudah menjemput, Bapak bisa apa?” suara Bapak terdengar lirih.

“Gak lah, Pak. Lala belum terlalu mengenal Sham. Bagaimana orangnya dan keluarganya, Lala belum tahu. Lala hanya kenal sebatas teman kerja, memang sih, kita beberapa kali jalan, tapi gak berdua.” terangku pada Bapak.

Aktivitas di meja makan pun kembali hening. Aku dan Bapak larut dalam pikiran masing-masing.


Bab 14 Luka Lala

0 0

-Sarapan Kata

-KMO Club Batch 49

-Kelompok 1

-Arutala

-Day 14

-Jumlah Kata 431

BAB 14

“Sham! Aku gak suka, ya, kalau kamu nemuin Bapak lagi!” Aku menatap tajam kearah Sham yang sedang berkutik di depan komputernya.

“Lala? Bisa gak kalau masuk itu ketuk pintu dulu!” ujuarnya sinis.

“Maksud kamu apa nemuin Bapak?”

“Aku mau serius sama kamu!” jawabnya mengiba, ada keseriusan di balik manik

hitamnya. Aku memalingkan pandangan.

“Tapi gak gitu caranya!” bentakku. “Aku belum siap.” Lanjutku lirih.

Sham menatapku lekat, matanya berbinar menunjukkan sebuah pengharapan. Aku bergeming, menundukkan pandangan darinya. Aku beranjak dan meninggalkannya dalam diam. Tatapannya terus mengikuti langkahku keluar, ia masih duduk di sana saat aku menutup pintu ruangannya.

Maaf Sham, saat ini aku belum siap, aku masih ingin menikmati waktuku bersama Bapak dan Ibu.” Aku bergumam dalam hati.

Masih terasa luka yang pernah digoreskan oleh seseorang di masa lalu. Luka itu masih menganga jelas dan aku belum siap untuk mengukirnya lagi. Aku pernah ditinggalkan saat laki-laki itu benar-benar ,meyakinkan kedua orang tuaku. Aku tau ada rasa khawatir pada diri Bapak saat Sham datang menemuinya. Ia takut kejadian itu terulang padaku. Hati orang tua mana yang tidak sakit melihat putrinya dikecewakan dan dicampaka begitu saja. Bapak tidak ingin hal itu terjadi lagi.

Sham laki-laki yang baik, perhatian, bertanggung jawab, dan soleh. Kuakui jika aku menyukainya. Beberapa kali berjalan dengannya membuatku nyaman, namun aku belum siap untuk menerimanya dalam hidupku. Aku tidak bermaksud untuk membohonginya, hanya saja aku butuk waktu.

Pulang kerja tak kuhiraukan Sham yang memanggil dan berlari kearahku. Kupercepat langkah menuju parkiran, dengan cepat kutinggalkan ia yang masih berteriak memanggil.

“Kapan jadwal Bapak terapi, lagi?” tanyaku pada Mas Roni yang sedang duduk di teras bersama Bapak. Saat aku sampai, kakakku itu sudah lama berbincang dengan laki-laki tua di hadapannya itu.

“Lusa, nama kartu berobatnya? Ini terapi terakhir, nanti setelahnya ke Dokter syaraf lagi, minta rujukan.” terangnya. Aku mengangguk dan masuk.

“Tumben Mas Roni sendirian, Bu?” Ibu sedang berbaring di depan TV sambil menonton acara kuis yang dipandu oleh Tukul Arwana.

“Gak tau, berantem kali sama Laras.” Pandangan ibu masih pada layar televisi.

“Bu, kalau Sham beneran mau serius sama Lala gimana?” aku duduk di sebelah ibu, ia bangkit dan duduk, menatap wajahku dengan raut wajah serius.

“Apa yang dikatakan hatimu, Nduk?” tanya ibu pelan.

Aku menggeleng, “Entah lah, Bu. Lala bingung.”

“Tanyakan hatimu, salat istikhara seperti kata Bapak semalam. Ibu dan Bapak gak mau kamu sakit lagi. Semua hanya kamu yang bisa jawab.” Ibu menatapku nanar, manik hitamnya sedikit berbinar, ada embun terselip di sana. Aku bergeming menelaah kata-kata ibu.

Mencoba berdamai pada hati ternyata tidak lah mudah. Hampir tiga tahun lebih aku berusaha mengobatinya, namun rasa nyerih itu kadang datang tiba-tiba.


Bab 15 Uang Pinjaman Mas Roni

0 0

-Sarapan Kata

-KMO Club Batch 49

-Kelompok 1

-Arutala

-Day 15

-Jumlah Kata 616


BAB 15

Sudah hampir satu pekan bapak di rumah, jadwal terapinya membuat ia lebih banyak waktu bersama kami. Malam ini kulihat bapak sedang duduk di kasur lipatnya, ia bersiap-siap untuk tidur. Sedih rasanyanya melihat tubuh bapak yang kian hari kian mengecil. Beberapa bulan yang lalu tubuhnya masih berisi dan kuat. Kini nafasnya sudah terengah-engah dan mudah lelah. Ku dengar beberapa kali bapak batuk, tetapi matanya masih terpejam.

Bapak aku sangat ingin membahgiakanmu, tunggu aku, Pak sampai saat itu tiba, aku pasti bisa membahagiakan Bapak.” Lala bergumam dalam hati.

Pagi itu bapak sudah siap berjalan keliling kampung, kakinya sudah jauh lebih kuat, ia pun sudah bisa mengendarai motor lagi.

“Lala ... mau ikut gak?” teriak bapak.

“Iya, Pak, tunggu sebentar.” Aku berlali menghampiri bapak yang sudah berdiri di depan pagar.

Seperti biasa kami akan mengelilingi kebun-kebun karet milik warga, tetapi kali ini bapak terlihat lebih cepat lelah dari biasanya. Nafasnya ngos-ngosan dan batuk terus menerus. Kuberikan botol air minum yang kami bawa, ya ... aku selalu membawa air minum untuk bapak, karena kampung yang kami kelilingi cukup luas dan jauh. Beberapa kebun kami lalui barulah kembali ke rumah.

“Istirahat dulu, Pak.” Aku mengajak bapak duduk di pos ronda. Bapak meneguk air minum yang kami bawa hingga setengahnya.

“Bapak sakit?” tanyaku sambil menatap wajahnya yang terlihat lelah.

“Bapak hanya batuk, nanti sore antar bapak ke klinik, ya,” pintanya. Aku mengangguk.

Nafas bapak sudah mulai normal, “Kalau Sham ingin mengajakmu menikah, bapak gak keberatan.” Tiba-tiba bapak berbicara. Aku menatap bapak.

“Tapi dia harus bisa membimbing kamu, menjadi imam salatmu, dan bisa mengingatkan jika kamu berbelok arah.” Bapak membalas tatapanku.

“Lala belum siap, Pak. Lala masih mau sama Bapak dan Ibu.” Aku tersenyum menatap Bapak. “Tunggu Lala, ya, Pak. Jika waktunya tiba, Lala mau Bapak yang memegang tangan imam Lala.” Lanjutku.

Bapak balas senyum, “Ayo, kita pulang! Hari ini gak usah jauh-jauh, rasanya Bapak sekarang mudah lelah.” Bapak berdiri dan melanjutkan jalannya, aku berlari menggandeng bapak.

“Udaranya sejuk, ya, Pak.” Ujarku memeluk bapak.

Kami sudah tiba di depan rumah, aroma nasi goreng dan sambal tumis menyambut kami, perutku mulai memberontak minta di isi. Ibu duduk di meja makan menunggu kedatangan kami. Tak lama terdengar suara Rara dan Sabil dari arah luar.

“Dari mana keponakan anti? Sudah sarapan belum?” sambutku saat mereka berlari ke arah dapur.

Rara dan Sabil di temani Mas Roni dan istrinya, pagi ini mereka ikut sarapan bersama kami. Usaha warung Mbak Laras semakin maju, kini Mas Roni pun sudah merenovasinya menjadi lebih besar.

“Pak, Bu, ini Roni kembalikan uang modal yang tempo hari kami pinjam. Maaf lama, padahal itu untu Lala kuliah tapi hingga Lala selesai baru sekarang bisa Roni kembalikan.” Mas Roni memberikan amplok berisi uang kepada bapak dan ibu.

“Ambillah, ini untu Rara dan Sabil.” Bapak mengembalikan uang yang diberikan Mas Roni.

“Tapi, Pak ....” Ia menatap ibu.

“Kamu masih ingat kata-kata ibu? Masih marah dan dendam?” cecar ibu. “Kalau kamu tersinggung pada kata-kata ibu dulu, maka kembalikan yang semua ibu beri sejak kamu didalam perut,” tegas ibu. Matanya melotot pada Mas Roni dan istrinya.

Mas Roni dan Mbak Laras tertunduk malu.

“Kalau kamu masih menganggap kami orang tua, tidak begini caranya. Kalau ibu mau minta kembalikan sudah sejak dulu ibu lakukan. Gak akan kebun dan rumah terjual jika ibu mau jahat sama kalian.” suara ibu meninggi.

“Sudah, Bu. Nanti tekanan darahnya naik.” Bapak menenangkan ibu. “Simpan uang ini untuk Rara dan Sabil.” Bapak menyodorkan amplok itu pada Mas Roni.

Aku dan kedua anak mereka duduk diam di tepi meja makan, melihat ketegangan di antara mereka. Mas Roni mengangguk ke arah istrinya, kemudian mengambil amplok berisi uang tersebut.

“Maafin Roni sama Laras, Bu.” Lirih Mas Roni sambil meraih tangan ibu dan menciumnya, diikuti juga oleh Mbak Laras.


Bab 16 Lala Wisuda

0 0

-Sarapan Kata

-KMO Club Batch 49

-Kelompok 1

-Arutala

-Day 16

-Jumlah Kata 622


BAB 16

Kalau mengingat masa sulit saat aku kuliah dulu rasanya tidak mungkin aku bisa menyelesaikannya. Tetapi, perjuangan dan kerja keras bapak juga ibu membuat aku harus membalasnya dengan hasil yang bisa mereka banggakan. Semalam mas Roni datang untuk mengembalikan uang yang ia pinjam dulu, padahal harusnya uang itu untuk tabungan kuliahku, biarlah toh, semua sudah selesai, aku pun ikhlas jika uang itu diberikan bapak dan ibu untuk mas Roni dan keluarganya. Aku jadi teringat bapak yang harus mencari tambahan untuk uang wisudaku kala itu.

Dulu bapak meminjam uang pada Juragan Karta untu biaya kuliah, dalam waktu lima bulan uang pinjaman itu lunas, tetapi bapak harus meminjam lagi pada Juragan Karta untuk tambahan biaya wisuda. Uang yang bapakk dapat dari upah mengurus kebun Pak Soleh dan Juragan Karta tidak lah cukup, karena tahap terakhir aku banyak memerlukan biaya, bukan hanya baju toga, biaya jilit skipsi, dan lain-lainnya semakin bertambah. Aku harus bolak-balik perpustakaan daerah untuk mencari tambahan refrensi serta rental komputer, karena saat itu aku belum memiliki perangkat yang menunjang untuk aku menulis skripsi, belum lagi buku-buku dan modul-modul yang harus aku potokopi. Lelah memang, tetapi hasil yang aku dapat bisa membuat bapak bahagia.

“Maaf, ya, Pak. Bapak harus pinjam uang lagi sama Juragan Karta,” ujarku kala itu. Bapak hanya tersenyum.

“Bapak harusnya minta maaf, belum bisa jadi orang tua yang baik untuk Lala, bapak belum bisa mencukupi kebutuhan Lala,” suara bapak sendu, tetapi tetap berusaha tersenyum.

“Lala janji nanti akan buat bahagia Bapak, Lala akan kerja keras biar Bapak gak perlu capek-capek kerja lag.” Aku memeluk bapak erat.

Hari yang dinanti tiba, akhirnya aku memakai baju kebangsaan khas mahasiswa akhir. Dengan menggunakan kebaya warna coklat dipadukan dengan kain songket khas Palembang serta jilbab warna senada dengan kebaya, sedikit make up natural, serta sendal hak setinggi tiga centi, membuat aku tampak menawan hari itu. Pagi-pagi kami semua sudah menuju gedung kampus tempat dilaksanakannya acara wisuda.

Bapak menggunkan jubah berwarna putih dipadukan dengan jas milik bapak saat Mas Roni menikah dulu, sepatu kulit model lama berwana hitam dan sorban putih. Postur tubuhnya yang tinggi, membuat bapak tampak tampan dan gagah. Mata bapak terlihat berkaca-kaca saat memasuki area gedung. Ada raut bahagia yang terpancar dari wajah bapak. Sebelum aku masuk ke ruangan khusus mahasiswa, aku memeluk erat bapak, bersamaan itu aku bertemu Rani- teman satu kelas dan juga sahabatku, ia dan keluarganya juga baru sampai. Bapak berpelukan dengan ayah Rani, air mata haru keluar tanpa diperintah dari mata kedua orang laki-laki itu.

“Alhamdulillah, Pak. Akhirnya anak kita selesai juga,” ujar bapak pada ayah Rani.

Darman namanya, aku memanggilnya Ayah, laki-laki yang tadi digandeng Rani itu pun menangis haru bersama bapak, ia mengangguk, “Iya, Pak. Alhamdulillah,” mereka berdua masuk ke ruangan khusus orang tua di bagian belakang. Aku bersama Rani berjalan berdua menghampiri teman-teman yang lain.

Acara dimulai tepat pukul 09:00 pagi, setelah kata pembuka, doa, dan beberapa sambutan lainnya, tibalah giliran nama kami satu persatu dipanggil ke atas panggung guna pemindahan tali toga. Setelah beberapa nama dari berbagai fakultas dipanggil kini giliran aku dan teman-teman fakultasku. Aku dapat mendengar teriakan bapak kala aku berjalan ke arah panggung saat namaku dipanggil, jarang tempat duduk orang tua dan mahasiswa hanya dibatasi oleh pagar pengaman, sehingga kami yang duduk dibelakang saat berjalan menuju panggung bisa mendengar suara orang tua kami yang kami lalui.

“Crala Muhtana dengan predikat sangat memuaskan,” suara dari ibu dekan terdengar mengelegar di ruangan.

Dari arah belakang aku bisa mendengar bapak berseru, “Itu, anak saya!”

Aku jadi terharu saat mengenang masa itu, diusianya yang sudah renta harus banting tulang demi menggapai cita-citaku. Entah apa yang dilalu bapak selama di pesantrennya, disana lah ia menghabiskan masa tuanya sembari mencari nafkah untuk kami. Ah ... gerombolan keristal selalu saja keluar disaat tidak tepat jika aku mengenang perjuangan bapak.


Bab 17 ke Rumah Juragan Karta

0 0

-Sarapan Kata

-KMO Club Batch 49

-Kelompok 1

-Arutala

-Day 17

-Jumlah Kata 725


BAB 17

“Bu, Alhamdulillah, bapak dapat rezeki, kemarin ada yang beli tanah, ini bapak dikasih bagian sepuluh juta,” ujan Soebadri pada istrinya

“Alhamdulillah,” Wati yang sedang mencuci piring tersenyum bahagai mendengar berita dari suaminya.

“Nanti malam bapak mau ke rumah Juragan Karta untuk bayar hutang yang kita pinjam untuk biaya wisuda Lala,” terang Soebadri. Istrinya mengangguk setujuh.

Beberapa hari yang lalu ada seorang teman kerja Soebadri yang ingin menjual tanah, tak butuh waktu lama baginya untu menawarkan pada orang, dalam waktu tiga hari Soebadri berhasil menjualkan tanah milik temannya. Dari sana ia mendapatkan bagian sebesar sepuluh juta, dengan uang itu Soebadri bisa melunasi sisa hutangnya pada Juragan Karta.

Selesai salat magrib dan makan malam Soebadri sudah bersiap-siap untuk kerumah Juragan karta. Di teras, Lala sedang mengenang saat haru ia mejalani kuliahnya sampai ia wisuda. Lala yang terbuai dalam lamunan terperanjat kaget ketika Soebadri menepuk pundakku, “Bapak ...!“ Lala menoleh kearah Bapak yang sudah berdiri di samping Lala

“Mau kemana sudah rapi?” tanya Lala pada Soebadri yang sedang mengeluarkan motor.

“Mau kerumah Juragan Karta,” jawab Soebadri.

Soebadri sekarang sudah bisa mengendarai motor lagi seperti dulu, kaki dan tangannya yang terkena stroke sudah lebih baik, ia juga tidak perlu terapi lagi tetapi, tetap harus minum obat rutin agar tekanan darahnya tetap normal. Soebdari sudah melajukan motornya dan seketika menghilang. Lala beranjak dan berjalan masuk menemui Wati yang sedang berada di ruang tengah. Wati sedang melipat baju sambil menonton TV.

“Ngapain Bapak ke rumah Juragan Karta, Bu?” tanya Lala pada Wati.

“Mau bayar hutang,” jawab Wati sekenanya.

Di rumah Juragan Karta, Soebadri sudah duduk di sofa empuk yang berada di ruang tamu. Di hadapannya sudah ada Juragan Karta dengan asap rokok yang mengepul di udara.

“Saya kesini mau menyelesaikan pinjaman tempo hari juragan, jadi masih berapa sisa hutang yang harus saya lunasi?” tanya Soebdari pada Juragan Karta.

“Hutangmu lima juta sudah diangsur sisa satu juta, kemarin motor sudah aku potong juga dari upahmu, masih sisa satu juta, jadi sisa hutangmu seluruhnya masih dua juta.” Juragan Karta menjelaskan dengan santai.

Soebdari yang mendengarkan menjadi bingung, bagaimana bisa motor yang dulu Juragan Karta janjikan untuk membantunya ke kebun malah harus dipotong dari upahnya selama ini, bukan kah ia dulu memberi bukan menyuruhnya membeli.

“Maaf Juragan, bagaimana bisa motor itu Juragan potong dari upah saya? Bukan kah, tempo hari Juragan memberikan fasilitas motor untuk saya ke kebun, bukan menyuruh saya membelinya dengan mencicil upah saya?” tanya Soebadri.

“Oh, tidak! Motor itu memang dibeli menggunakan uangku tapi selama ini aku potong upahmu untuk mencicil motor itu,” terang Juragan Karta dengan pongahnya.

“Bagaimana bisa? Juragan tidak membicarakannya terlebih dahulu pada saya, kenapa tiba-tiba seperti ini?” Soebadri mulai tersulut emosi, wajahnya merah menahan amarah.

“Tentu bisa, dan beras yang selama ini aku beri anggap saja itu sedekah dariku, kau tidak perlu menggantinya, jadi bayar saja dua juta untuk sisa hutangmu!” Juragan Karta terkekeh.

“Juragan tidak bisa seenaknya seperti itu, perjanjian kita adalah Juragan memberikan aku motor, upah delapan ratus ribu, dan beras setiap bulannya. Kenapa tiba-tiba aku harus mencicil motor itu?” Soebdari berdecih, “Pantas saja upahku selama ini menjadi enam ratus ribu,” lirihnya.

Juragan Karta hanya diam sambil menghisap rokoknya, dihiraukannya Soebdari yang sedari tadi mengomel tak terima.

“Baiklah, kalau begitu ini saya bayar sisa hutangnya dua juta rupiah, dan mulai hari ini saya tidak lagi mengurus kebun Juragan! Saya permisi, assalamu’allaikum,” Soebadri beranjak pulang meninggalkan rumah Juragan Karta.

Juragan Karta tersenyum sinis ke arah Soebdari yang meninggalkannya sendiria di ruang tamu. Sampai di rumah, Soebadri dengan kesalnya mendudukan tubuh di kursi plastik yang berada di ruang tengah.

“Kenapa, Pak? Kok, kayaknya kesel banget?” tanya Lala yang melihat amarah di wajah Soebadri.

“Juraga Karta memang keterlaluan, bagaimana bisa ia mengatakan kalau upah bapak selama ini dipotongnya untuk mencicil motor yang ia berikan, pantas saja upah yang bapak terima akhir-akhir ini berkurang,” jelas Soebdari, napasnya memburu, dadanya turun naik karena menahan amarah.

Lala dan ibunya tampak heran mendengar penjelasan Soebdari, mereka berdua saling pandang,  bingung ingin berkata apa.

“Lalu bagaimana, Pak?” tanya Wati pada Soebadri.

“Bapak bayar sisa hutang padanya dua juta rupiah, bapak suda bilang gak lagi mengurus kebunnya,” ujar Soebdari sambil meraih gelas berisi air minum yang berada di hadapannya.

Juraga Karta memang terkenal pelit dan sombong, ia orang yang licik dan menghalalkan segala cara. Bahkan ia tak segan hanya memanfaatkan orang demi kepentingannya sendiri, seperti halnya Soebadri yang terbujuk janji palsu demi kepentingannya sendiri.


Bab 18 Ma Roni dan Keluarga Pulang Kampung

0 0

-Sarapan Kata

-KMO Club Batch 49

-Kelompok 1

-Arutala

Day 18

-Jumlah Kata 613

BAB 18

Aku dan Ibu menatap Bapak bergantian, sungguh tega Juragan Karta mempermainka Bapak. Meski pun akhirnya motor itu menjadi milik Bapak tetapi, cara Juragan Bapak yang mencurangi patut disalahkan, seharusnya ia berkata jujur jika saat pembelian motor tersebut ia hanya meminjamkan uang, bukan dengan mengiming-imingi Bapak dengan janji busuknya. Aku sangat kesal mendengar cerita Bapak, padahal Bapak tidak pernah berbuat curang padanya, Bapak selalu jujur mengurus kebunnya. Benar kata Bapak orang licik seperti Juragan Karta memang tidak bisa dipercaya.

“Assalamu’allaikum ...,” suara salam terdengar dari luar, Mas Roni dan keluarganya masuk dan mencium punggung tangan Bapak serta Ibu.

“Kenapa, Pak?” tanya Mas Roni sambil mendudukkan dirinya di lantai tepat disebelah Ibu.

Ibu menceritakan apa yang terjadi di rumah Juragan Karta tadi, raut wajah Mas Roni terlihat marah tetapi, berusaha tetap tenang di depan Bapak dan Ibu.

“Ya, sudah, Bapak gak usah kerja sama Juragan Karta lagi, alhmadulillah Bapak dapet motor,” ujar Mas Roni.

“Bukan dapet, Mas! Lebih tepatnya mencicil dengan Juragan Karta,” godaku pada Bapak.

“Huuffhh ... alhamdulillah bapak jadi ada kendaraan untuk ke kebun Pak Soleh,” Bapak menghela napas panjang dan bersandar pada kursi yang ia duduki.

“Pak, Bu, lusa Roni sama Laras mau ke Solo, Ibunya Laras ngajakin kami silahturahmi ke tempat si Mbah, soalnya Ibu sudah lima tahun ini gak pulang,” tutur Mas Roni.

Orang tua Mbak Laras memang asli keturunan Solo, Kakek dan Neneknya pun menetap di sana, maka tak heran jika mertua Mas Roni mengajak mereka untuk pulang kampung.

“Anak-anak ikut?” tanya Ibu.

“Pasti dong, Bu. Masak iya Rara sama Sabil ditinggal, “ kekehku.

“Ya, kali aja!” Ibu menonyongkan bibirnya.

“Cuma sepuluh hari sama perjalanan, Bu! Gak lama, kok,” ujar Mbak Laras seolah mengerti isi hati Ibu.

“Eh, ngomong-ngomong calon mantu Bapak kemarin kok, gak pernah main kesini lagi?” Mas Roni menggodaku, ia tahu kalau waktu itu Sham pernah menghadap Bapak untuk meminangku.

“Apaan sih, Mas!” rajukku.

Obrolan malam ini berakhir dengan tawa, setelah tadi kekesalan yang dirasakan Bapak setelah pulang dari rumah Juragan Karta. Tingkah lucu Sabil membuat suasana rumah makin penuh dengan tawa, rasanya sudah lama sekali kami tidak berkumpul dan tertawa seperti ini.

“Rara, Sabil, ini Yangkung kasih bekal buat kalian jajan, nanti jangan nakal ya, jadi anak pinter, nurut sama kakek, jangan ngerepotin Ayah sama Bunda di jalan, kalau sudah sampai kabarain Yangkung, ya!” Bapak memberi wejangan pada kedua cucunya, seolah tidak akan bertemu lagi, Bapak juga memberikan beberapa lembar uang merah pada kedua bocak kesayanganku itu.

 

***

Baru beberapa hari Rara dan Sabil ikut kedua rang tuanya ke Solo, tapi Bapak tak terus saja menelpon kedua cucu kesangannya itu. Ada saja hal yangg ditanyakannya pada kedua bocah itu, Rara dan Sabil memang pelita di keluarga kami, sehari saja tidak bertemu, rasanya rumah sepih.

“Mbak Rara sudah sampai?” tanya Bapak dari sambungan telepon.

Hampir setiap jam ia menguhubungi cucu kesanyangannya, celoteh kedua bocah itu pun mampu mengusir kerinduan Bapak.

“Kapan Mbak Rara sama Adek pulang? Yangkung sudah kangen,” ujar Bapak sore itu saat menelpon cucunya.

“Yaelah, Pak. Baru aja mereka sampe Solo udah ditanya kapan pulang!” ujarku sekenanya.

“Ya, orang kangen sama cucu wajar lah nanyain kapan pulang,” rajuk Bapak.

“Kalau ditanyain terus nanti cucunya gak betah, loh, Mas Roni nanti sewot ditelpon terus!”

Bapak hanya diam dengan wajah ditekuk, kedekatannta dengan Rara dan Sabil memang membuat Bapak susah untuk lama-lama berpisah. Sejak Bapak tinggal di pondok pesantren pun, Bapak selalu menghubungi kedua cucunya. Ketika pulang Bapak juga pasti akan mampir dulu melihat kedua cucunya, tak jarang Bapak mengajak mereka menginap di rumah. Mas Roni pun paham akan kecintaan Bapak pada cucunya, maka tiap kali Bapak pulan,g, Rara dan Sabil pasti akan diantarnya ke rumah untuk bermain bersama Bapak, atau hanya sekedar mendengar cerita Bapak.

 


Bab 19

0 0

-Sarapan Kata

-KMO Club Batch 49

-Kelompok 1

-Arutala

-Day 19


-Jumlah Kata 535

BAB 19

Sudah hampir dua minggu Mas Roni dan keluarganya pergi ke Solo, selama itu pula tak hentinya bapak menelpon Rara dan Sabil. Tiga hari lagi mereka pulang, bapak tidak sabar menanti kedua cucunya. Sebelum kedua cucunya pulang, bapak menyempatkan diri untuk ke pesantren sekalian melihat kebun Pak Soleh. Sehari sebelum Rara dan Sabil pulang, bapak sudah kembali lagi ke rumah.

“Bapak mau ke rumah Pak Soleh dulu, ya, Bu,” ujar Bapak sambil berjalan keluar.

“Dianter Lala, Pak?” tanya Ibu.

Aku saat itu sedang duduk di teras sambil memainkan gawaiku, bisa mendenga percakapan kedua orang tuaku.

“Gak, Bu, bapak pergi sendiri aja!” Bapak mengeluarkan motor dan mulai meninggalkan rumah.

Jarak rumah kami dan Pak Soleh lumayan jauh, tapi hanya butuh beberapa menit jika mengendarai motor. Sebelum ashar, Bapak sudah kembali. Ia menenteng satu kantung kecil yang entah apa isinya. Aku yang masih duduk di teras, menyambut kedatangan Bapak.

“Apa itu, Pak?”

“Oh, ini jajanan untuk Rara dan Sabil, kalau besok mereka sampai pasti seneng ada jajanan untuk mereka,” ujar Bapak sambil tersenyum dan melangkah masuk.

Aku mengekor bapak dari belakang, “Untuk Lala gak ada, Pak?” tanyaku.

“Kamu udah tua masih mau jajanan,” kata Bapak cuek

“Huuu ... sudah punya cucu, anaknya diluapain,” rajukku.

Bapak duduk di depan meja makan, beberapa bungkus makanan ringan dan permen di masukkannya kedalam toples. Ibu baru saja menyelesaikan ibadah salatnya, duduk di sebelah bapak, aku pun mengikutinya.

“La, Bu, ini uang terakhir bapak, kayaknya bapak udah lelah, bapak mau istirahat.” Bapak memberikan beberapa lembar uang kepada Ibu.

“Bapak kayaknya mau di rumah aja, bapak gak mau ke kebun lagi,” lanjut Bapak.

Aku menatap haru bapak, “Kan, sudah dari dulu Lala sama Mas Roni bilang gak usah kerja lagi, alhamdulillah kalau Bapak mau pulang,” jawabku.

“Terserah uangnya mau diapain, bulan depan bapak udah gak bisa kasih uang lagi, untuk makan dan lainnya nanti kita usahain lagi,” tutur bapak.

“Gak apa, Pak, toh, Lala sekarang sudah kerja, untuk makan nanti ada aja rezekinya,” sambung ibu, aku mengangguk.

“Uang ini mau ibu beliin emas aja untuk Lala, Pak! Kenang-kenangan, selama ini dia belum pernah kita beliin barang,” saran Ibu.

“Terserah ibu saja, yang penting uangnya sudah bapak serahin ke Ibu,”

Aku dan ibu tersenyum haru, akhirnya bapak mau pulang sendiri ke rumah, tanpa ada drama paksaan lagi. Mungkin karena ia sudah lelah dan mulai sakit-sakitan, jadi Bapak ingin beristirahat di rumah.

“Besok pagi, kita ke pasar ya, La! Mumpung minggu, kamu kan gak kerja,” tutur Ibu.

Pagi ini aku dan ibu sudah berada di pasar tradisional, kami memasuki salah satu toko emas. Aku melihat-lihat emas yang tertata indah di etalase toko, pandanganku tertuju pada satu cincin emas putih yang menarik. Bentuknya sederhana tetapi, elegan. Setelah mencoba dan bernegoisasi pada penjual, akhirnya kami menyepakati harga yang diberikan. Aku dan ibu membawa pulang cincin yang kupilih itu, benda itu telah melingkar indah di jari manisku.

Sesampainya di rumah, aku memprlihatkan cincin yang kami beli tadi pada Bapak. Ia tersenyum melihatku menari-narikan tangan di hadapannya.

“Cantik gak, Pak?” tanyaku pada Bapak.

Bapak mengangguk dan kembail tersenyum, aku sangat suka saat melihat senyum Bapak yang dihiasi gigi ompongnya. Uang terakhir yang bapak beri untuk kami, kini sudah menjadi cincin sebagai kenang-kenangan dari hasil kerja Bapak mengurus kebun Pak Soleh.


Bab 20 Obat yang Diminum Bapak

0 0

-Sarapan Kata

-KMO Club Batch 49

-Kelompok 1

-Arutala

-Day 20

-Jumlah Kata 805


BAB 20

Semakin hari badan bapak makin kurus, batuk yang dideritanya pun tak kunjung sembuh. Tiap kali ke klinik hanya obat batuk yang diberi, terkadang ia mengeluh sesak dan sakit di dada. Kemarin saat pulang dari pesantren bapak membawa obat herbal dari temannya di pondok.

“Apa itu, Pak?” tanyaku saat Bapak memasukkan sebuah bungkusan kedalam kantung kresek.

“Oh, ini obat herbal untuk sakit kanker,” jelas Bapak.

“Untuk siapa? Kan, Bapak sehat,” tanyaku heran.

“Untuk Doni suami Mbak Susi, kali aja bisa sembuh,” terang Bapak.

Mbak Susi adalah sepupuku, dia anak Bule Sri—saudara Bapak yang nomer dua. Suami Mbak Susi menderita kangker stadium empat, menurut Dokter kemungkinan sembuh sangat kecil karena, sel kankernya sudah menjalar. Sebagian wajahnya pun sudah rusak karena digerogoti penyakit tersebut.

“Bapak mau ke rumah Mbak Susi? Mau Lala anter?” Aku menawarkan diri untuk mengantar Bapak. Rumah Mbak Susi lumayan jauh—dekar pasar tradisional.

“Gak usah, bapak naik ojek aja,” tuturnya sambil melangkah keluar.

“Gak bawa motor aja, Pak?” tanyaku lagi dengan sedikit bereriak karena bapak sudah berada di teras.

“Gak!” teriak Bapak.

“Nanti telepon aja kalau mau pulang, biar Lala jemput!” Aku berjalan mendekati Bapak yang sedak duduk menunggu Mang Ujang—ojek langganan Ibu kalau mau kepasar. Bapak hanya mengangguk.

Hampir jam lima sore belum ada tanda-tanda bapak menelepon minta dijemput. Aku dan Ibu saat ini sedang berada di teras, Ibu sibuk menyapu daun-daun kering yang mengotori halaman, sedangkan aku sedang asik duduk di teras sambil menikmati semangkuk bakso. Dari luar pagar terlihat Bapak pulang diantar Mamang ojek.

“Loh, kok gak telepon, sih, Pak?” Aku mendengus kearah Bapak.

“Tadi sekalian mampir ke apotek ngambil obat rutin,” jelas Bapak sambil mendudukan bokongnya di kursi seblahku.

“Gak jalan kaki lagi kan, ke apoteknya?” tanyaku penuh selidik.

Bapak terkadang suka berjalan kaki saat mengambil obat. Aku mengetahui itu dari sepupuhku yang rumahnya berdekatan dengan kelinik tempat bapak mengambil resep bulanan. Mbak Lia pernah memergoki bapak berjalan kaki saat keluar kelinik. Saat ditanyai, Bapak bilang mau ke apotek. Jarak dari klinik sampai ke apotek lumayan jauh sekitar 2 sampai 3km. Mbak Lia kebetulan yang mau ke pasar langsung mengajak Bapak dan mengantarnya ke Apotek.

Pernah juga saat itu aku sedang bekerja, biasanya obat rupin Bapak akan aku ambil tiap pulang bekerja. Saat itu aku lupa megambilnya, alhasil ia mengambil sendiri dan lagi-lagi berjalan kaki. Saat malam hari kulihat ia memijat kakinya, ia tampak lelah dan meringis. Saat aku tanya kakinya kenapa, ia menjawab, “Tadi bapak jalan dari apotek ke depan pom bensin yang di alun-alun.” Bapak sambil memijat kakinya.

Aku kaget dan marah, “Kenapa gak telepon, jadi bisa dijemput, lagian kenapa jalan, gak naik ojek aja?” tanyaku kesal.

“Kalau naik ojek dari apotek sampai kerumah mahal, jadi bapak nail ojeknya dari depan pom bensin, bisa setengah harga,” jawabnya enteng.

Ya Allah Bapak ... jarak dari apotek ke pom besin alun-alun hampir 3km, dengan kaki pincang akibat stroke kemarin, aku membayangkan ia yang berjalan terseok-seok. Sedih dan kesal saat mendengar penuturannya, aku merasa sebagai anak yang tak berbakti dan kejam membiarkan orang tua berjalan sejauh itu. Tetapi, bukan Bapak namanya kalau di beritahu tetap ngeyel dan keras kepala. Bapak maafkan kami yang belum bisa membahagiakanmu dan membalas semua jasamu.

Aku kaget saat Bapak meletakkan bungkusan yang tadi dibawanya. Ibu sudah selesai menyapu halaman, dan sudah duduk diantara kami.

“Loh, kok, dibawa lagi , Pak?” tanya Ibu.

“Susi menolaknya, katanya mau fokus sama obat Dokter gak mau coba herbal, takut gak steril, suaminya nanti malah kena bakteri,” ujar Bapak dengan wajah kecewa dan sendu.

Aku sedih melihatnya kecewa, pasti Mbak Susi berkata ketus dan sombong. Keponakan Bapak yang satu ini memang terkenal judes dan sombong pada siapa saja , termasuk Bapak. Padahal Bapak adalah pamannya dan usia Bapak jauh diatasnya, tetapi dia seperti tidak ada tata kerama.

“Terus mau diapain obatnya, Pak?” tanya Ibu.

“Ya, bapak aja yang minum,” ujarnya sambil tersenyum.

“Jangan aneh-aneh, Pak! Ini obat untuk kanker!” omel Ibu.

“Bapak udah beli, kan, mubazir, Bu, kalau gak diminum,” ujar Bapak.

Mbak Susi memang keterlaluan, tidak bisa menghargai pemberian orang setidaknya jika ia tidak mau memerikan untuk suaminya, ambil saja pemberian Bapak dan simpan, dari pada orang harus merasakan kecewa. Aku menggerutui Mbak Susi dalam hati, tak henti-hentinya aku mengupat tingkahnya.

Esok paginya saat aku hendak ke kamar mandi, aku mendengar Bapak berbincnag pada Ibu yang sedang memetik sayur.

“Hidung bapak rasanya plong, Bu, habis minum obat itu,” ujar Bapak. “Semalam sebelum bapak tidur minum obat itu dulu, ini hidung bapak rasanya gak mampet saat napas, biasanya kalau napas kayak ada yang ganjel, terus gak begitu sesak,” jelas Bapak.

“Sudah, toh, Pak, jangan aneh-aneh! Itu obat untuk kanker! Bapak kan, gak kena kanker kok, minum obat itu, nanti malah sakit,” tutur Ibu,

“Gak, Bu, ini buktinya bapak malah lebih plong saat bernapas.” Bapak tak mendengarkan ucapan Ibu.

Sejak saat itu Bapak terus mengkonsumsi obat herbal tersebut hingga habis.


Bab 21 Pesan Bapak

0 0

-Sarapan Kata

-KMO Club Batch 49

-Kelompok 1

-Arutala

-Day 21

-Jumlah Kata 667


BAB 21

“Pak, jangan diminum lagi obatnya, ibu takut loh, nanti Bapak kenapa-kenapa!” tegas Ibu saat melihat Bapak menuangkan serbuk herbal kedalam gelas berisi air hangat.

“Ini juga sudah habis, Bu,” jawab Bapak sambil meminum obat yang dibuatnya hingga tandas.

“Udah gak usah minum yang gituan lagi, tuh batuk Bapak gak sembuh-sembuh nanti malah tambah penyakit,” omel Ibu.

Aku yang berada di kamar masih bisa mendengar jelas obrolah kedua orangtuaku. Bapak hanya diam tiap kali Ibu mengomelinya. Aku keluar kamar dan duduk di sebelah Bapak yang sedang mengaji.

“Masih batuk, Pak?” tanyaku. Bapak hanya mengangguk dan terus menatap Al Quran kecil yang ada di tangannya.

Sejak Bapak memutuskan untuk kembali ke rumah dan tidak lagi mengurus kebun Pak Soleh dan Juragan Karta, ia banyak menghabiskan waktunya dengan duduk di teras atau di ruang tengah sambil mengaji. Sesekali Bapak akan ke pesntren, ia tidak bisa meninggalkan majelis taklim yang dikikutinya.

“Apa kabar Sham?” tanya Bapak tiba-tiba tanpa mengalihkan pandangannya.

“Baik,” jawabku singkat.

“Sejak waktu itu dia belum kesini lagi,” tutur Bapak yang masih fokus dengan barisan huruf hijayah.

“Lala yang melarang, Pak, Lala belum siap!” tegasku.

Bapak menutup Al Quran, ia menatapaku, “Jika ada yang mau serius sama kamu jangan ditolak, gak baik! Mumpung bapak masih sehat dan punya umur, kita gak tahu sampai umur berapa bapak bisa bertahan,” ujarnya.

Aku yang mendengar ucapan Bapak jadi sedih, terbanyang hal yang tak aku inginkan. Ketakutan dan belum siap untuk menerima Sham, jauh lebih menakutkan lagi jika aku harus kehilangan cinta pertamaku.

“Kalau ada laki-laki yang ingin menjadi suamimu, bapak akan tes dia dulu,” ujar Bapak sambil terkekeh. Aku mengerutkan kening, tanda heran dan bingung akan maksud Bapak.

“Iya, bapak akan tes dia. Salatnya dan ngajinya, karena tugas seorang suami adalah membimbing istrinya dan anak-anak. Bapak mau suamimu kelak bisa mengajarkan agama dan membimbingmu. Bertanggung jawab serta menyayangimu,” jelas Bapak, seolah mengerti dengan reaksiku.

“Kalau dia gak bisa salat dan mengaji, bagaimana dia bisa membimbingmu. Jadi hal pertama yang harus bapak tes adalah salat dan mengaji,” kekeh Bapak.

“Dan harus tahu makna surat At Tahrim ayat 6!” Bapak mengalihkan pandangannya lagi ke kitab yang masih di peganggnya.

Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” Bapak membacakan isi surat tersebut.

“Seperti halnya Mas mu yang bapak ajarkan untuk memahami ayat ini, maka calon suamimu juga harus memahami arti ayat ini. Baik Roni atau pun Lala, bapak ingin anak-anak bapak selalu berada di jalan Allah swt. Bapak ingin Roni bisa membimbing keluarganya, begitun Lala, Bapak ingin Lala bisa menjadi istri yang mampu menjaga kerhormatan suami dan keluarga, serta taat kepada suami. Karena setelah menikah Lala bukan lagi milik bapak dan ibu tetapi, milik suami. Lala harus patuh pada suami dan surga Lala sudah berpindah padanya. Bapak sudah tidak hak dan kewajiban lagi pada Lala, kelak bapak hanya bisa menjadi penasehat kalian,” jelas Bapak sambil sedikit menunduk.

Entah apa yang sedang dirasakan cinta pertamaku saat ini, ada sedikit raut sendu di wajahnya. Aku menatapnya dalam, seolah ia tahu kalau aku sedang menatapnya, Bapak pun mengalihkan pandangannya ke arahku dan tersenyum. Ia mengelus kepalaku dengan lembut, lalu bangkit.

“Mau kemana, Pak?” tanyaku yang masih duduk diam.

“Sudah mau magrib, bapak mau siap-siap ke masjid.” Bapak berjalan kerah belakang, beriap mengambil wudhu dan pergi kemasjid.

Sudah lama aku tidak mendengar dongeng Bapak, sejak terakhir kali aku dan kedua keponakanku mendengarkan kisah jin dan petir. Hari ini Bapak memberikan pesan untukku, seolah ia sedang berdongen. Bapak aku takut jika harus kehilangan dirimu, semoga Allah swt selalu melidungi dan memberi kesehatan untuk Bapak.

Terdengar lagi suara batuk Bapak dari arah kamar mandi. Hampir dua bulan ini ia mendrita oleh penyakit itu, entah sudah berapa banyak obat yang ia minum tapi batuknya tak kunjung sembuh. Semakin hari tubuhnya pun semakin mengecil. Tubuh yang dulu kekar tempat aku bersandar kini mulai terlihat tulang rusuk yang menonjol.


Bab 22 Bapak Sakit

0 0

-Sarapan Kata

-KMO Club Batch 49

-Kelompok 1

-Arutala

-Day 22

-Jumlah Kata 631


BAB 22

“Langsung ke UGD!” sambungan telepon terputus.

Lala yang sedang berada di klinik bersama Soebdari langsung tancap gas menuju rumah sakit. Soebadri duduk di tengah diapit oleh istrinya dan Lala yang mengendarai motor. Kondisi Seobadri yang kian hari memburuk membuat Lala berinisiatif membawanya untuk cek up seluruh tubuh. Di ambang pintu UGD Roni sudah menunggu mereka dengan wajah serius. Di dudukkannya Soebdari pada kursi roda yang disediakan oleh rumah sakit.

“Tadi gak dikasih rujukan, katanya bapak masih bisa jalan, jadi dikasih obat batuk lagi, tapi dari kemarin Bapak ngeluh dadanya sakit dan sesak,” jelas Lala sambil mengekor di belakang Roni.

Soebadri dipindahkan di bangkar, ia terkulai lemah. Alat-alat sudah terapasang di tubuhnya, mulai dari rekam jantung, deteksi tekanan darah, oksigen dan infus sudah terpasang.

“Rawat inap, ya, Pak!” ujar Dokter jaga, “Nanti langsung rongsen, ya, Ron!” titah Dokter itu pada Roni.

Setelah observasi satu jam di UGD dan Roni memperisapkan kamar inap untuk Soebadri, meraka pun langsung memindahkannya ke ruang rawat inap. Sebelum ke ruang inap, Soebadri dibawa dulu keruang rongsen, untuk memeriksa paru-parunya, apa yang menyebabkan ia sesak napas dan batuk. Setelahnya barulah ia dibawa ke ruang inap. Sengaja Roni menyiapkan kamar di ruangan tempat ia di tugaskan.

Soebadri sudah tertidur ini kali pertama ia dirawat lagi sejak sebelumnya ia terkena stroke, ia pernah dirawat karena hipertensi. Kini keadaannya sedikit lebih tenang karena sebelumnya ia merasakan sangat sulit bernapas. Selang oksigen masig terpasang di hidungnya.

“Bu, Lala tinggal ke kantin dulu, ya, mau cari cemilan buat Ibu,” ujar Lala sambil melangkah keluar.

Bertepatan saat Lala keluar, Roni memasuki ruangan Soebadri. Ia membawa amplok coklat besar yang berisi hasil rongsen. Raut wajahnya tampak sedih, ia memanggil ibunya agak sedikit menjauh dari Soebadri. Ia tidak mau laki-laki tua itu mendengar pembicaraan mereka dan tidurnya terganggu.

“Ada apa, Le? Kayaknya kamu sedih?” tanya Wati.

“Ini hasil rongsen Bapak, Bu.” Roni memberikan amplok coklat bertuliskan nama Soebadri.

“Bapak kenapa, Le?” tanya Wati khawatir.

“Bapak sakit paru-paru, Bu, nanti Dokter yang akan jelaskan sama Roni dan Ibu. Kita tunggu Lala dulu, ya, Bu, baru kita ketemu Dokter Alex,” ujar Roni. Wati mengangguk.

Setelah Lala kembali dari kantin, Roni dan ibunya pun menemui Dokter Alex yang sudah menunggu di ruangannya. Ia menyambut ramah kedua orang itu. Di persilahkannya mereka duduk di kursi yang berada di depannya.

“Ibu apa kabar?” Dokter Alex berbasa-basi.

Wati hanya tersenyum menanggapinya, “Alhamdulillah baik, Dok.”

“Jadi begini, Bu, Ron. Dari hasil rongsen yang sudah saya baca, paru-paru bapak mengalami kerusakan, dan ini yang menyebabkan aliran udara tidak dapat masuk sempurna pada paru-paru bapak, hal ini lah yang menyebabkan ia sesak napas. Dan dapat disimpulkan bapak terkena Tuberkulosis atau TB. Untuk mengetahuinya lebih jelas nanti kita cek darah dan liur bapak, apakah benar bapak menderita TB atau tidak, untuk saat ini semua peralatan yang digunakan bapak harap dipisahkan dan saat ia batuk sebisa mungkin dihindari. Tutup mulutnya dengan tisu atau sapu tangan dan hindari kontak dengan bapak, terutama liur.” Dokter mejelaskan panjang lebar.

Seketika wajah Wati berubah pucat, kakinya lemas dan bergetar. Air matanya mengalir tanpa diperintah, butitan kristal itu semakin deras saat Dokter meminta mereka jaga jarak dengan Soebdari. Sore itu langit seolah runtuh, Wati berjalan lunglai digandeng Roni, ia masih terisak saat berada di depan ruangan Soebdari. Mereka berdua berusaha tegar saat memasuki ruangan, tidak ingin Soebadri tahu akan penyakit yang di deritanya.

Di luar ruangan Roni dan Lala sedang duduk di tepi teras. Roni terus menggerutu dan mengupat, ia marah pada petugas klinik yang tidak mau memberi rujukan dan hanya memberi obat batu pada Soebdari selama dua bulan ini, tidak ada tindakan yang diambil saat pasiennya tidak kunjung sembuh. Roni yang juga seorang perawat merasa sedih dengan tindakan petugas dan Dokter disana.

“Mas mau ke klinik itu dulu, mereka harus ditegur, biar mereka bisa lebih peka dan teliti lagi!” hardik Roni.


Bab 23 Mendatangi Klinik Tempat Bapak Berobat

0 0

-Sarapan Kata

-KMO Club Batch 49

-Kelompk 1

-Arutala

-Day 23

-Jumlah Kata 499


BAB 23

“Ibu tungguin Bapak dulu, ya, nanti Mbak Laras ke sini, Lala mau pergi dulu sama Mas Roni.” Aku bergegas mengejar kakakku yang hendak melabrak klinik tempat biasa bapak berobat.

Mas Roni yang tempramen dan dalam keadaan emosi saat mengetahui penyakit yang di derita bapak, aku takut di sana akan terjadi hal yang tidak diinginkan. Aku gegeas menyusulnya yang sudah ada di area parkir. Dia sudah berada di atas motornya saat aku sampai parkiran. Kutarik lengan bajunya saat ia hendak menyalakan motor.

“Mas, tunggu! Aku ikut!” dengan napas terengah-engah aku berdiri di sebelahnya.

Mas Roni mengerutkan keningnya. “Nanti kamu ngamuk di sana bisa bahaya!” terangku sambil duduk di boncengan. Ia hanya mendengus dan melajukan motornya.

Beberapa menit kami sampai di klinik, jarak antara klinik dan rumah sakit tidak begitu jauh, sehingga tidak membutuhkan waktu yang lama untuk tiba di sana. Tidak begitu banyak pasien saat kami tiba, hanya ada dua petugas dan seorang dokter jaga yang berada di ruangannya.

“Saya mau komplain, mana perawat yang tugas pagi tadi?” ujar Mas Roni dengan sedikit emosi.

Kedua perawat yang sedang bertugas hanya bengong saat Ma Roni datang dengan amarah yang terpancar di wajahnya.

“Maaf, Pak ada apa, ya?” tanya salah satu perawat.

“Pagi tadi Ayah saya kesini minta rujukan tapi gak dikasih dengan alasan masih bisa berjalan. Sudah dua bulan ini ayah saya berobat di sini karena batuk dan gak sembuh, saat kami mau minta rujukan untuk pemerikasaan lebih lanjut kalian tolak. Kalian tau ayah saya menderita apa? Tuberkulosis! Kalau sampai terjadi apa-apa pada ayah saya, kalian saya tuntut!” cecar Mas Roni.

“Sudah, Mas, ayo, pulang!” ajakku.

“Maaf, Pak, kami hanya menjalankan prosedur,” kilah perawat di sana.

“Prosedur seperti apa? Kalian pikir saya gak ngerti! Saya juga sama seperti kalian, seorang tenaga kesehatan. Kalian itu lambat bertindak, apa harus menunggu pasien meninggal dulu baru ditindak?” Mas Roni bertambah emosi saat salah satu petugas itu menjawabnya.

“Saya tuntut kalian! Saya akan laporkan kalian, saya akan bawa wartawan kemari!” ancam Mas Roni.

Tiba-tiba dokter jaga yang sedari tadi berada di ruangannya pun keluar, “Mohon maaf sebelumnya, Pak, kita bisa selesaikan baik-baik. Bagaimana kita langsung ketemu sama direktur dan managemen. Sebelumnya kami mohon maaf atas kelalaian petugas kami,” Dokter itu mengajak Mas Roni ke gedung sebelahnya untuk bertemu direktur dan tim managemen klinik.

Hampir dua jam aku menunggu Mas Roni di ruang tunggu, akhirnya ia kelura juga dari ruang pertemuan itu. Syukurlah tidak terjadi hal yang aku takuti. Sebelum kami pamit semua dokter, direktur dan tim managemen meminta maaf pada kami atas kelalaian mereka dan lambatnya mereka mengambil tindakan. Dengan bermodal rongsen milik bapak, Mas Roni meminta keadilan kepada pihak klinik.

“Sekali lagi mohon maaf, ya, Pak,” ujar laki-laki paruh baya, di dadanya tertuliskan nama Roesli, ia seorag dokter sinior dan juga direktur klinik.

Setelah berbasa-basi sebentar, kami pun pamit. Aku dan Mas Roni kembali menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan tak ada pembicaraan diantara kami, aku lega Mas Roni tidak bertindak bar-bar di sana. Dan beruntung pihak klinik mau mengakui kesalahan mereka dan meminta maaf.


Bab 24 Bapak Dibesuk

0 0

-Sarapan Kata

-KMO Club Batch 49

-Kelompok 1

-Arutala

-Day 24

-Jumlah Kata 657


BAB 24

Hasil lab bapak sudah di dapat, Mas Roni harus mengulang berkali-kali untuk meyakinkan diri, kerena hasil la yang di terima lagi-lagi negtif. Mas Roni dan temannya yang bertugas di lab juga merasa bingung. Bapak dinyatakan positif TB namun hasil pemerikasaan lab selalu negatif. Semakin hari kondisi bapak semakin menurun, ia kini hanya bisa terbaring lemak di atas tempat tidur. Sudah hampir satu minggu bapak di rawat di rumah sakit tetapi, belum ada perubhana. Mulutnya pun kini dipenuhi banyak sariawan, sejak masuk rumah sakir bapak juga tidak mau makan, hanya beberapa suapan yang masuk.

Bapak menggeleng saat aku memberikan satu suapan lagi. “Sedikit lagi, Pak, biar gak lemes,” bujukku.

Namun bapak mengingkirkan piring yang aku pegang. Bapak sekarang sudah tidak bisa bicara banyak, ia hanya bisa menggunakan isyarat. Bibirnya seolah kelu. Bapak membalingkan punggung, ia kemudian memejamkan matanya. Sejak mengetahui penyakitnya bapak menghindari cucu dan anak-anaknya. Ia tidak mau banyak berineraksi pada kami. Pagi itu saat dokter memeriksa keadaan bapak, ia memberitahukan tentang kondisi dan penyakit yang diderita bapak.

Bapak yang mendengar perkataan dokter langsung menitikan air matanya, ia merasa terpukul dan sedih. Aku langsung memeluk dan mengusap air matanya. Ia mengeleng agar aku tidak mendekatinya tetapi aku terus memeluknya.

“Bapak jangan sedih, gak apa-apa pasti bapak sembuh. Gak perlu takut kami tertular, kami kuat, Bapak juga harus kuat!” Aku memeberi semangat pada bapak.

Isak tangisnya makin menjadi, ia sesegukan. Di ujung bangkar ibu juga terisak melihat separuh jiwanya terkulai lemah. Aku tersenak saat bapak menarik tanganku, ingatanku pagi itu hilang seketika.

“Bapak mau apa?” tanyaku sambil mendekatkan diri pada bapak.

“Anggur,” jawabnya terbata-bata.

“Nanti Lala beliin, ya, Pak!” ucapku. Bapak menganguk.

Setiap hari aku dan ibu akan bergantian menjaga bapak, kami tidak pernah pulang ke rumah. Pagi hingga sore ibu bersama Mbak Laras berada di rumah sakit, saat malam aku dan ibu yang menjaga, karena pagi hingga sore aku harus bekerja. Ibu tidak mau pulang barang sebentar saja, ia ingin menemani bapak jadi setiap hari aku dan ibu akan menginap di rumah sakit.

Siang itu aku permisi untuk pulang lebih awal, karena aku tak tega meninggalkan ibu, sedangkan Mbak Laras harus mengurus kedua anaknya dan memasak untuk di rumah dan bekal kami. Sengaja aku tidak membawa motor, agar Mbak Laras bisa menggunkannya, tidak harus bergantian dengan Mas Roni.

“La, kamu mau pulang?” tanya Sham tiba-tiba. Aku mengangguk.

“Aku antar, ya? Kebetulan teman-teman yang lain juga mau ke rumah sakit besuk bapak,” ujarnya.

Di balik punggung Sham sudah nampak Bu Sari, Vani, dan Pak Robi yang berjalan ke arah kami. “Baik lah,” jawabku sekenanya.

Kami menggunakan mobil Pak Robi, sebelum ke rumah sakit aku meminta izin untuk mampir ke toko buah dan rumah makan padang. Tadi bapak mengirim pesan agar dibelikan sayur tunjang.

“Tunggu sebentar, ya, Pak,” ujarku pada Pak Robi.

Di luar rintik hujan mulai turun aku harus berlari kecil untuk sampai ke rumah makan padang, beruntung di sebelahnya ada kedai penjual buah jadi aku tidak harus merepotkan Pak Robi dan yang lain untuk mampir membeli anggur pesanan Bapak semalam. Tiba-tiba Sham sudah berada di sebelahku menunggu sayur tunjang yang sedang di bungkus.

“La, sabar, ya, bapak past sehat lagi, kamu jangan sedih terus, aku gak tega liat kamu sedih,” ujarnya. Aku hanya diam tanpa menoleh sedikit pun.

Setelah semuanya aku beli, kami gegas menuju rumah sakit. Sampai di sana ada Ibu dan Mbak Laras, bapak terlihat haru karena teman-teman kantor membesuk, matanya terlihat berkaca-kaca. Bapak memegang tangan Sham, entah apa yang ada dalam pikiran Bapak saat ini. Sham mencium punggung tangan Bapak dengan takzim, tak nampak rasa jijik atau takut tertular bapak. Tak begitu lama mereka di sini karena jam makan siang hampir habis, maka mereka berempat permisi kembali ke kantor. Bu Sari menyelipkan sesuatu pada ibu. Haru melihat teman-teman kantor mau memesuk bapak, terutama Sham. Aku mengira ia akan menjauhiku setelah perkataanku tempo hari tetapi, nyatanya ia tak menghindariku. Malah sejak tahu Bapak sakit ia selalu memberi semangat untukku melalui pesan, walau kadang aku abaikan.


Bab 25 Bapak Pulang

0 0

-Sarapan Kata

-KMO Club Batch 49

-Kelompok 1

-Arutala

-Day 25

-Jumlah Kata 563

BAB 25

Sudah hampir dua minggu lebih bapak di rawat di rumah sakit, tapi kondisi bapak tidak ada perubahan. Kini semua mulut bapak dipenuhi oleh sariawan sehingga untuk makan dan minum pun sulit. Bapak harus makan-makanan yang lembut seperti bubur atau roti yang dicepukan ke air dulu agar lemut. Kemarin bapak minta dibelikan buah anggur dan sayur tunjang, tapi yang masuk hanya sedikit.

“Lagi, Pak, anggurnya?” tanyaku sambil menyuapi bapak.

“Asam, ini pasti angggur lokal,” ujar batak terbata-bata.

Aku tertawa geli melihat raut wajah bapak yang menolak untuk melanjutkan makan anggurnya. Seleranya masih aja mau yang enak padahal lagi sakit, aku terkekeh sendiri. Saat aku tawarkan lauk yang dipintanya, ia begitu semangat ingin menyantapnya, tetapi lagi-lagi hanya dua sendok yang masuk selanjutnya ia menolak.

“Mungkin perih,” duga ibu saat bapak menolak makan.

“Pengen makan yang enak di lidah, tapi mulutnya yang penuh sariawan jadi gak bikin napsu,” lanjut ibu menduga-duga. Aku tersenyum getir.

Makin hari tubuh bapak semakin kecil, tidak ada lagi dada bidang dan tangan kekarnya. Kini hanya ada tulang berbalut kulit. Mas Roni pun semakin bingung dengan kondisi bapak, sejak dinyatkan bapak menderita TB, Mas Roni tak hentinya melakukan perawatan intensif pada bapak, hingga beberapa kali harus mengambil darah bapak untuk di tes. Tetap saja hasilnya negatif, tidak mungkin dokter salah diaknosa keluhnya saat itu. Tetapi ia yakin pasti ada penyebab lain dan bapak bukan menderita TB.

Setiap hari aku harus melihat bapak tersisa memakan obat besarnya seperti biji kurma. Ia merasakan sulit saat menelan obat dan perih di mulutnya. Pernah beberapa kali bapak menolak minum obat dan aku harus membujuknya, sudah seprti membujuk Sabil saat minum obat, akhirnya bapak mau juga. Hari ini bapak sudah di perbolehkan pulang. Aku dan ibu sedang bersiap-siap, Mbak Laras pun di rumah sudah menyiapkan tempat untuk bapak.

Sesampainya di rumah Rara dan Sabil menyambut bapak dengan bahagia, rindu yang sudah lama mereka bendung akhirnya bisa terobati. Namun bapak menolak saat mereka hendak memeluk, bapak langsung lambaikan tangannya memberi isyarat agak kedua cucunya tidak mendekat. Tampak sekali raut wajah sedih dari kedua bocah terseut. Bapak yang dipapah Mas Roni pun tak kalah sedih, dari raut wajahnya ia menahan bendungan yang hampir roboh di matanya itu. Bapak di baringkan pada kasur yang biasa ia pakai.

“Bu, gimana kalau bapak kita periksa ke dokter spesialis paru-paru. Roni pernah nemenin saudaranya temen, dia dulu pernah kontrol sama dokter itu. Kalau ibu setuju nanti Roni minta no klikinya sama temen biar kita bisa langsung bawa bapak ke sana,” saran Mas Roni.

“Ibu nurut mana bagusnya aja, kalau kata kamu bapak harus di periksa lagi, ya, silakan. Kamu lebih paham, ibu gak tau harus bagaimana,” jawab ibu putus asa.

“Roni curiga kalau bapak gak sakit TB, karena hasil lab bapak negatif terus, kalau bapak benar menderita TB harusnya hasil lab bapak positif, ini gak seperti itu, Bu!” Mas Roni berjuang meyakinkan Ibu.

“Lala setuju sama Mas Roni, apa pun dan bagaimana pun caranya Lala mau Bapak sehat lagi, Mas! Lala gak mau lihat bapak gak berdaya kayak itu, kalau boleh ditukar biar Lala aja yang sakit jangan Bapak!” Air mataku berderai tanpa dikomado, seketika pipiku basah oleh tangis.

Mas Roni menatapku nelayang, dipeluknya tubuhku yang mungil, “Bapak pasti sembuh, Dik!” Suara Mas Roni bergetar, aku tahu saat ini pun ia merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan.

“Kita harus optimis, kita harus sama-sama berjuang agar bapak sehat lagi!” harap Mas Roni.


Bab 26 Bapak Diawat Lagi

0 0

-Sarapan Kata

-KMO Club Batch 49

-Kelompok 1

-Arutala

-Day 26

-Jumlah Kata 455


BAB 26

“Mas, kondisi bapak makin menurun, dari kemarin gak mau makan,” aduku pada Mas Roni melalui sambungan telepon.

Saat jam makan siang, Mas Roni menyempatkan diri untu ke rumah melihat kondisi bapak. Jarum infus pun terpasang di tangan kanannya, lagi-lagi bapak harus di infus karena tidak ada asupan yang masuk ke lambungnya, membuat keadaan bapak kian melemah. Obat yang diminum setiap hari pun tak menunjukkan perubahan pada bapak, batuknya makin parah. Setiap malam ia akan terjaga karena batuk yang menganggu, begitu pun aku dan ibu selalu bergantian menemani bapak kala ia terjaga. Kondisi bapak yang semakin turun drastis membuat kami selalu berjaga-jaga, khawatir kalau tiba-tiba bapak tak sarkan diri.

Baru satu minggu bapak di rumah, malam ini bapak harus dilarikan kemali ke rumah sakit. Bapak tiba-tiba tak sadarkan diri. Beruntung Mas Roni beberapa hari ini menginap di rumah untuk merawat bapak. Saudara bapak yang lain sudah aku hubungi, mereka satu per satu datang ke rumah sakit untuk menjenguk bapak.

“Bu, kita bawa bapak ke dokter spesialis aja, ya?” tanya Mas Roni lagi meyakinkan ibu.

“Iya gak apa, lebih cepat lebih baik, ibu gak sanggup liat bapak kayak ini,” suara isak tangis terdengar dari mulut ibu.

Mas Roni mulai menghubungi temannya yang bekerja di klinik dokter spesialis tersebut. Syukur Mas Roni memiliki teman di sana, hingga tak sulit mendapatkan nomer antriannya.

“Bu, minggu depan udah mau lebaran haji. Kalau bapak masih di rumah sakit gimana?” tanyaku bimbang.

“Kita solat di masjid depan aja, yang deket minimarket itu,” timpal ibu.

“Bapak di tinggal?” tanyaku.

“Sebentar, nanti kita titip sama perawatya, kalau sudah salat langsung ke ruangan lagi, gak usah denger ceramah, dari sini juga kedengeran,” terang ibu. Aku mengangguk.

“Gak apa ya, Pak, kalau nanti lebaran bapak masih di rumah sakit kita tinggal sebentar buat salat?” tanyaku pada bapak.

Bapak tak menyahut, pandangannya kosong, sedetik kemudian ia mengangguk, entah apa yang mengganggu pikirannya. Apa bapak tidak mau ditinggal sendirian di ruangan ini, entah lah, tetapi akhir-akhir ini bapak lebih banyak diam, pandangan kosong, dan ia sudah tak bisa benyak bergeka. Ia hanya bisa salat di atas tempat tidur dan susuk di sana pula. Setiap pagi hingga siang aku akan memasangkan murotal i Hp lama miliknya. Kuletakkan benda itu di samping bantalnya agar ia tetap bisa mendengar dan ikut melantunkannya walau hanya dalam hhati.

Aku menyalakan TV yang berada di depan tempat tidur bapak, karena aku takut ia merasa bosan, maka aku mencoba mencarikannya hiburan. Namun, sayang bukannya terhibur bapak malah melotot padaku. Dilemparkannya bantal ke arahku yang dari tadi duduk di lantai sisi kanan Bapak. Aku menoleh ke arahnya, ia mengisayratkan menutup telinga dan meminta tutup gorden hijau yang ada di hadapannya. Gorden ini bisanya di gunakan dokter untuk menutupi pasien saat melakukan pemeriksaan. Ia berbalik dan membelakangiku.


Bab 27 Diagnosa Dokter Spesialis

0 0

-Sarapan Kata

-KMO Club Batch 49

-Kelompok 1

-Arutala

-Day 27

-Jumlah Kalimat 901


BAB 27

“Bu, besok kita bawa bapak ke dokter spesialis di kota, ya! Teman Roni sudah kasih jadwal dan nomor antri bapak,” ujar Mas Roni.

Ibu mengangguk, “Kita berangkat langsung dari rumah sakit atau pulang dulu?” tanya Ibu.

“Langsung dari sini aja, Bu, gak usah pulang. Roni sudah bilang sama dokter, besok pagi setelah ganti shif kita langsung berangkat,” terang Mas Roni.

Aku dan Ibu mengangguk paham. “Pak, besok pagi kita ke kota, ya? Bapak kuat, kan?” tanyaku pada Bapak.

Bapak hanya diam tak lama kemudia ia bersuara dengan terbata-bata, sejak sakit hipertensinya kambuh dan mengalami stroke lagi. Kali ini bapak benar-benar tidak isa bergerak dan berbicara pun sulit.

“Bapak ngerepotin kalian,” lirihnya.

“Gak ngerepotin, Pak!” jawab Mas Roni sambil membelai pipi bapak.

“Bapak mau, ya, berobat di kota? Nanti Roni pinjem mobil Pakde, kita jalannya pelan aja, kalau bapak gak sanggup kita pulang,” bujuk Mas Roni.

“Bapak mau sehat, kan? Kata bapak mau nikahin Lala, mau pegang tangan calon imam Lala, kalau bapak gak sehat gimana Lala nikah nanti?” Aku ikut membujuk bapak. Sesak rasanya dada ini menahan diri agar air mata tak tumpah di hadapannya.

“Dulu bapak yang ngerawat Lala dan Mas Roni, saat Lala sakit bapak yang gendong, sekarang gantian waktunya Lala dan Mas Roni ngerawat bapak,” ujarku pada bapak. Sesak rasanya dada ini menahan air mata agar tak jatuh di hadapannya.

Bapak memegang tanganku dan Mas Roni, ia menitikan air mata, pipinya basah. Bapak menangis seperti anak kecil, bibirnya bergetas seolah ingin bicara, tetapi mulutnya tak mampu berucap.

“Bapak mau jadi wali nikah Lala, kan? Kalau bapak sakit siapa yang mau jadi wali Lala?” ujarku sendu. Air mataku tumpah, tak mampu lagi menahannya.

Pagi ini persiapan untuk ke kota sudah selesai, tinggal menunggu Mas Rino pergantian shif dan menyelesaikan urusan di rumah sakit, lalu kami akan langsung bertolak ke kota. Mobil Pakde sudah menunggu di parkiran bersama supirnya. Perjalan dari desa kami ke kota memakan waktu dua hingga tiga jam, jika tidak terkendala macet.

Mas Roni telah selesai dengan semuanya, kami pun berangkat. Mas Roni menyiapkan mobil senyaman mungkin untuk bapak. Tabung oksigen duduk manis di bangku belakang. Bangku tengah tigak begitu tegak agar bapak bisa menyender nyaman. Mas Roni duduk di sebelah supir. Aku dan ibu duduk di bangku tengah, di anatara bapak.

Jam satu siang kami sudah sampai di kota, jadwal bapak bertemu dokter pukul 04.00 WIB. Masih ada waktu untuk bapak beristirahat dan makan siang. Kami mampir ke salah satu rumah makan di dekat praktik dokter tersebut. Bapak masih menyempatkan salat di dalam mobil. Ya, kondisi bapak yang lemah tidak memungkinkan untuknya turun dari mobil. Aku menemani bapak di dalam mobil selama Mas Roni dan yang lain makan serta salat. Setelah semua selesai kami langsung ke tempat praktik dokter, di dalam ruangan kecil itu ada petugas yang menyambut kami. Setelah Mas Roni mengkonfirmasi nomor antri bapak, tak butuh waktu lama, bapak langsung dipersilakan masuk ke ruang periksa. Bapak yang menunggu di dalam mobil lalu di gendong Mas Roni sampai ke ruang periksa. Dokter mempersilakan agar bapak dibaringkan di bangkar. Aku, ibu dan Mas Roni duduk mengahdap dokter.

Dengan ramah dokter itu menyambut kami, dari perawakannya terlihat bahwa ia adalah dokter senior. Tubuhnya yang gempal dengan rambut yang dipenuhi uban, tetapi tetap terlihat segar. Di mejanya ada papan bertuliskan Prof. DR. Irawan, SP.p., ia tersenyum pada kami. Lalu menanyakan keadaan bapak, kemudian ia berjalan ke arah bapak dan memeriksanya. Mata dan mulutnya ia senter, lalu kembali lagi duduk sambil melihat hasil rongsen bapak. Mas Roni menjelaskan padanya kalau bapak didiagnosa Tuberculosis. Dokter meminta agar bapak menunggu di luar. Ibu pun menemani bapak di ruang tunggu. Aku dan Mas Roni masih berada di ruangan bersama Dokter.

“Sejak kapan minum obat TB?” tanya Dokter.

“Sudah hampir satu bulan, Dok,” jawab Mas Roni.

Keningnya berkerut, “Ini bukan TB!” serunya.

“Ini bukan TB, tetapi ini kanke. Lihat! Yang putih ini jamur, paru-paru bapak bagus gak ada yang rusak,” jelas Dokter.

“Apa perlu kita rongsen ulang, Dok?” tanya Mas Roni.

“Gak perlu! Ini sudah jelas kanker, paru-paru bapak sudah dipenuhi jamur dan sudah sampai ke kerongkongan, jadi sariawan yang ada di mulut bapak itu infeksi bakteri dari jamur ini,” terangnya

“Kalau boleh tahu, penyebabnya apa, Dok?” tanyaku.

“Lembab, mungking bapak sering berada di tempat lembab dan dingin, apa bapak merokak?” tanya Dokter.

“Iya, Dok, dulu perokok kuat, tapi sudah berhenti beberapa tahun yang lalu,” jelas Mas Roni.

“Sudah ada bibitnya dari rokok, ditambah bapak yang suka berada di tempat lembab dan dingin, maka bakterinya berkembang,” jelasnya.

“Kemungkinan sembuh, Dok?” tanya Mas Roni.

“Kecil! Sangat kecil, bapak bisa bertahan lebih dari tiga hari saja itu sudah mukjizat,” ujarnya.

Bak disambar petir, rasanya tubuh ini lemas tak ada aliran darah. Seketika air mataku menetes mendengar penuturan dokter. Cinta pertamaku harus mengalami sakit ini, membayangkannya pun aku takut, tetapi ini lah kenyataannya. Ya Allah bagaimana aku bisa mengadapinya nanti. Mas Roni memelukku, mencoba menguatkan, aku tahu ia juga sama sakitnya seperti yang aku rasakan.

“Semoga saja Tuhan membrikan mukjizatnya untuk bapak. Kita bersihkan dulu jamurnya, setelahnya kita obati kankernya. Ini saya berikan bekal untuk bapak cek lab, besok pagi ambil liur pertama bapak sebelum makan dan minum, bawa ke lab pusat agar kita tahu sudah satdium berapa kanker yang bersarang itu,” lanjut Dokter.

Aku dan Mas Roni keluar menghampiri Ibu dan Bapak. Malam itu juga ba’da magrib kami langsung pulang ke desa. Sebelumnya kami mempir ke apotek untuk menebus resep yang sudah dokter berikan tadi.


Bab 28 Payung Itu Pergi

0 0

-Sarapan Kata

-KMO Club Batch 49

-Kelompok 1

-Arutala

-DAy 28

-Jumlah Kata 730


BAB 28

Kupegang tangannya yang keriput. Masih kurasakan kehangatan di sana. Napasnya terengah-engah, keringat membanjiri tubuh bapak. Tak henti-hentinya ia menyebut asma Allah swt. Masih kulihat ketegaran di raut wajah bapak. Selang oksigen terpasang di hidungnya, hanya itu yang dapat membantu bapak saat ini. Infus? Jangan ditanya, sudah puluhan cairan infus masuk di tubuhnya. Tapi, malam ini cairan itu menolak memasuki tubuh bapak.

Ba’da isya saat Mas Roni hendak memasang selang infus yang terlepas, tiba-tiba saja cairan itu menyemburkan isinya, tangan bapak yang lebam karena tusukan jarum infus, enggan menerima cairan itu masuk lagi. Wajah Mas Roni basah karena semburan air itu. Raut wajahnya berubah pasrah. Aku dan ibu masih berada sisi kiri dan kanan bapak, kami tak henti membisikkan nama Allah di telinganya.

Sejak dua hari setelah pemerikasaan bapak di kota, kondisinya semakin turun tak ada lagi asupan yang masuk di lambungnya. Terakhir kali bapak makan ialah saat perjalan pulang dari kota, saat itu bapak makan bubur yang ibu bawa dengan lahap setelah meminum obat yang di resepkan dokter. Dan setelah itu bapak memuntahkan cairan hitam kental seperti gumpalan-gumpalan. Mas Roni bilang itu adalah jamur yang bersarang di tubuh bapak. Kami amat bersyukur saat itu. Namun, esoknya bapak tidak mau makan dan minum obat. Hanya air zamzam yang disemprotkan ke mulutnya.

“Alhamdulillah...” syukurnya kala air zamzam melewati kerongkongannya yang kering.

“Bapak lelah, Bapak gak mau minm obat lagi,” ujarnya saat itu sambil terbata-bata.

“Hanya ada satu obat yang bisa, sembuhin bapak,” lanjutnya lagi

“Apa, Pak?” tanyaku.

“Allah swt!” Jari bapak menunjuk ke atas.

Sejak saat itu kondisi bapak benar-benar drop, keluarga pun sudah banyak yang berkumpul, bapak sudah tidak mau diajak ke rumah sakit lagi. Sore itu sebelum ashar, Mas Adam, salah satu santri yang merupakan teman setu pondok bapak datang menjenguk. Bapak pun ingin salat berjamaah dengannya, dengan Mas Roni sebagai imamnya. Bapak dibimbing Mas Adam. Bapak salat sambil berbaring terlihat sangat khusuk tetapi, sesekali napasnya seperti kelelahan dan tak mampu mengangkat tanangan, Mas Adam terus membantunya.

Setelah bapak salat, Mbak Rini, anak Pakde, pamit pulang. Bapak memberikan isyarat padanya, sambil sedikit berbisik. Kondisi bapak yang sangat lemah dan tak mampu lagi berbicara hanya bisa mengunakan isyarat, terkadang aku harus mengartikan pada orang-orang yang diberinya isyarat.

“Besok ke sini lagi, ya,” ujar bapak terengah-engah dan cadel.

“Iya, Paklek, besok Rini ke sini lagi, tapi Paklek harus makan, ya, biar cepet sembuh!” tutur Mbak Rini. Bapak hanya mengangguk pelan kemudian memejamkan matanya.

Dini hari, tubuh bapak terasa sangat dingin, tetapi ia terus meminta di kompres air dingin, katanya gerah.

“Bu...” panggilnya lirih.

Ku lihat jam di dinding, pukul tiga dini hari.

“Tolong, buatkan teh.”

Gegas wanita paruh baya itu ke dapur. Menyalakan kompor dan mulai meracik teh manis yang di pinta. Kududukan setengah badannya yang semakin lemah. Mencoba menikmati teh manis permintaannya, tetapi hanya bebera tetes yang masuk. Ia pun kembali berbaring. Ku dengar sayup suara azan subuh. Aku langsung beranjak mengambil air wudu dan menunaikan salat. Lelaki tua itu masih terpejam dengan napas yang masih terengah-engah. Setelah salat, ku ambil tangannya, ku pegang erat .

“Bapak, masih kuat?” bisikku

Ia mengangguk pelan.

“Kalau bapak gak kuat, gak apa, Lala ikhlas.” Bulir bening menetes disudut mata tanpa sadar.

Masih ku dekap erat tubuhnya. Terus kutuntun mengucap asmaNya. Napasnya kian menjadi, terengah-engah, dan mulai perlahan normal. Ada kelegahan yang aku rasakan. Jum’at pagi, pukul enam pagi lewat empat puluh menit. Napasnya mulai memelan, tubuhnya makin lemah, dari kakinya mulai terasa dingin. Ia membalikkan badannya menghadap kiblat, memejamkan mata perlahan.

“Mas....! Mas....!” teriakku memanggil ibu.

Mas Roni yang baru beberapa menit tertidur, gegas berlari mendengar teriakkanku. Dipeluknya tubuh ringkih itu.

“'ashhaduu lilah washahiduu ana muhamad rasul allah.” Mas Roni membimbing bapak

Napas bapak mulai berhenti.

“Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un,” lirih Mas Roni.

Lemas kaki ini. Tangis pun pecah. Aku berlali ke depan menghampiri ibu yang tadi ke warung untuk membeli lauk dan sayur

“Bapak, pulang ....” lirihku dan berurai air mata.

Kantung belanjaan ditangannya terlepas. Berlari ia dan terpaku, melihat tubuh tua itu tak bergerak. Bapak, lelaki kuat dan penyabar. Payung di kala badai menghantam dan terik menyapa. Kini, payung itu berpulang kepada Sang Pencipta. Bapak, terima kasih atas semua kasih sayang dan pengorbananmu. Aku akan selalu merindukan bapak, janji kita untuk mengenggam tangan calon imamku sudah tuntas. Kau lebih memilih menepati janji pada Allah. Bapak, bahagialah dalam pangkuan Allah, aku yakin kita akan bertemu lagi di tempat yang Allah janjikan.


Bab 29 Takbir Pilu Idul Adha

0 0

-Sarapan Kata

-KMO Club Batch 49

-Kelompok 1

-Arutala

-Day 29

-Jumlah Kata 509


BAB 29

Suara Ambulace memcah jalan. Pilu rasanya, ada hati yang pecah diantara bunyi sirine itu. Kalimat tahlil tak henti-hentinya mengiringi. Derai air mata membanjiri pipi. Ku peluk erat keranda itu. Cinta pertamaku terbaring kaku di sana. Enggan rasanya berpisah. Tapi Sang Pemilik telah menagih janjinya. Ba’da Jumat, salat janazah dilangsungkan. Sesuai keingin bapak, ia ingin dimakamkan di pondok pesantren tempat bapak menimbah ilmu.

Ambulance mulai memasuki gerbang pesantren. Satri dan para Ustazd menyambut kedatangan kami. Rumah sederhana, hanya ada gorden sebagai pembatas ruangan, aku duduk mengedarkan pandangan. Ada bangunan lain di sebelah kanan rumah. Ruangan itu digunakan untuk menerima tamu laki-laki.

“Aku mau ikut!” bentakku pada Mas Roni

“Gak boleh! Hanya Ikhwat yang boleh mengantar!” Mas Roni menjelaskan.

“Terakhir, hanya terakhir kali...” pintaku.

“Doa! Hanya doa yang bapak butuh sekarang, tunggu di sini!” ujarnya sambil membelai pucuk kepalaku.

Pasrah, semakin pilu rasanya. Aku menatap dari kejauhan. Keranda itu semakin tak terlihat. Di sini, aku meninggalkan cinta pertamaku. Menyerahkan seutuhnya pada Sang Pemilik. Rumah milik Mas Adam tempat kami menunggu, tak ada perabot hanya ada kursi plastik di ruangn tengah dan ruangan tempat menerima tamu laki-laki. Aku dan ibu duduk di lantai ruang tamu khusus perempuan. Pemilik rumah telah menyiapkan hidangan untuk kami santap. Menu sederhana, sambal telur dan sayur sop. Mbak Lilis, istri Mas Adam, mengambilkan sepiring nasi untuk aku dan ibu. Ibu menolak, derai air mata seolah tak ingin kering dari matanya.

“Bu, makan dulu, nanti ibu sakit,” bujuk Mbak Lilis.

Ibu menolak dan mendorong piring nasinya.

“Ibu gak laper,” lirihnya.

Tersengar suara ramai menujuh rumah Mas Adam. Bapak-bapak dan para Uastaz sudah kembali dari pemakaman. Kami pun pamit pulang setelah Mas Roni berbincang sesaat pada Mas Adam. Di mobil, aku masin menerawang, mengumpulkan memori saat membersamai bapak. Tawa khasnya yang dibingkai gigi ompong, janggut putih yang menjuntai, serta kepala plontos yang sedikit di tumbuhi uban. Tak ada lagi pemandangan itu. Lenyap bersama hangat peluknya. Tak ada lagi cerita yang selalu ku dengar setiap malam.

“Nanti kalau bapak sudah gak ada, gak perlu ke kuburan. Ngapain lihat gundukan tanah. Doa aja! Itu yang bapak perlu.” Ujarnya kala itu.

Semua sudah bapak siapkan. Tanpa harus membebani kami.

“Ribuan dek! Ribuan yang nganter bapak!” ujar Mas Roni membuyarkan lamunanku.

“Di lapangan tadi salat janazah lagi, di makam juga. Temen-temen bapak, santri, ustad, ada semua dek, in syaa allah,ya,  dek!” lanjutnya.

Mas Roni menatapku, “Besok kita liat bapak,” bujuknya. Tangisku semakin deras.

Lima belas tahun, bukan waktu yang lama untuk membersamainya. Kuedarkan anganku, mengenang mimpi kami. Kala cinta pertamaku menjabat laki-laki pilihan, memindahkan tanggung jawabnya kepada seseorang. Semua sirna, anganku terbang tinggi, meninggalkan aku dan kenangannya. Ku titipkan rindu ini padaMu.

Sesuai janji Mas Roni, hari ini kami pergi ke makam bapak. Pemakaman yang rapi dan terawat, di sana lah bapak sekarang tinggal. Malam hari bersaaman kami mengirimkan doa untuk bapak, saat itu pulah suara takbir saling bersahutan di setiap masjid. Ya, Tepat tiga hari sebelum Idul Adha, bapak meninggalkan kami.

“Allahu Akbar ... Allahu Akbar ....” Takbir mengalun dan riuh dikumandangkan

“Bapak sudah sehat, bapak ndak mau ngerepotin kita,” lirih ibu.


Bab 30 Setelah Bapak Tiada

0 0

-Sarapan Kata

-KMO Club Batch 49

-Kelompok 1

-Arutala

-Day 30

-Jumlah Kata 519

BAb 30

Beberapa hari, setelah bapak meninggal, aku, Mas Roni, dan Mas Budi, anak Bude Rini, berangkat ke persantren dimana bapak menghabiskan waktu tuanya. Kami ditemani  Hanya butuh waktu 45 menit kami sampai. Terlihat gerbang pesantren di jaga oleh beberapa santri.

“Assalamu’allaikum”, salam Mas oni dan Mas Budi kepada para santri.

Lalu ia turun dari mobil pick up yang kami kendarai. Aku masih duduk di dalam mobil. Kami berniat mengambil barang-barang bapak yang masih ada di pesantren. Termasuk barang berharga itu, penemanan hari-harinya ke kebun. MAS Roni terlihat berbicang-bincang bersama Mas Adam yang kemarin mengurus jenazah Bapak.

“Kalau bapak ada hutang piutang, kasih tahu kami, Mas, biar segera diselesaikan,” kudengar Mas Roni berbicara pada Mas Adam.

Barang-barang peninggalan milik bapak sudah diangkut semua ke atas mobil pic up milik Mas Budi, ada beberapa kardus buku, alat mandi, alat-alat perkebunan bapak, dan harta paling berharga milik bapak, benda usang yang di dapatkannya dengan cara tak sengaja dan menyakitkan.

Kami menyempatkan diri untuk mampir ke pemakanan bapak sesaat, hanya sekedar menengok dan mendoakannya. Ini kali ke dua dan terakhir aku menemui bapak di tempat peristirahatannya. Sejak saat itu aku dan Mas Roni tidak pernah lagi ke sana.   “Doa kan, saja dari rumah!” ujar Mas Roni saat diajak ke sana.

Bapak juga berpesan saat ia masih sehat, tidak perlu repot-repot melihat gundukan tanah bapak, hanya doa saja yang bapak perlu saat bapak telah tiada. Hingga saat ini aku tidak tahu bagaimana keadaan tempat bapak sekarang. Namun aku yakin di sana adalah tempat terbaik untuk bapak dan dari terakhir kali aku mengunjunginya, tempat itu benar-benar terawat dan rapih. Jah berebeda dengan pemakaman kami di kampung, tak terawat dan padat.

Semoga bapak bahagia dalam pelukan Sang Pencipta, aku selalu berdoa agar bapak hadir dalam mimpiku. Benar kata orang hal yang paling menyakitkan untuk seorang perempuan adalah kehilangan cinta pertamanya yaitu seorang ayah. Sejak bapak meninggal, aku selalu merindukannya, hari-hari yang biasa kami lalui terasa hampa. Tak ada lagi telepon setiap sore yang berdeing ratusan kali kala aku pulang ketja hampir magrib tiba, tak ada lagi senyum khas dengan gigi ompong yang menungguku di depan teras. Tak ada lagi teman berkelilingku setiap pagi, dan tak ada lagi yang bisa aku cereweti saat obatnya masih utuh.

Di rumah, benda usang bapak sudah tersandar di halaman. Mas Roni memindahkannya ke dalam rumah. Ruangan cukup luas untuk sekedar menyandarkan saksi ketangguhan bapak semasa hidup. Sambil duduk di lantai, aku dan Mas Roni memeluk lutut, memandangi peninggalan bapak satu-satunya.

“Dik, benda ini banyak sejarah! Ini yang membawa mu menyelesaikan kuliah!”

Tatapan kami tetap fokus pada benda usang itu. Ada sesak di dada menahan tangis. Bulir-bulir kristal siap menetes dari sudut mata.

“Sampai kapan pun jangan sampai terjual, hanya ini kenangan dari bapak,” suara Mas Roni bergetar menahan tangis.

Aku hanya diam sambil menatap warisan bapak. Tak banyak harta yang ditinggalkannya untuk kami. Hanya, motor usang dan kenangan. Ilmu agama yang selama ini ditanamkannya untuk kami. Itulah warisan bapak, bukan harta dan uang yang banyak. Ataupun emas yang tertata di berangkas, layaknya orang-orang kebanyakan.

Sampai saat ini, 7 tahun sudah bapak meninggalkan kami. Motor usang itu masih tersandar di sana, besama kenangannya.


Mungkin saja kamu suka

Safa'ah Nurasia...
Jodoh Sulit Ditebak
Ety Ervina
Pemimpi Ulung
Ravelline Airen...
Bisakah Aku...?
Yesi Susanti
Ayah, Cintai Aku

Home

Baca Yuk

Tulis

Beli Yuk

Profil