Serba-Serbi Ramadan
Sinopsis
Tags :
#sarapankata
Ramadhan adalah bulan yang dinanti setiap muslim, tak terkecuali Ula, seorang gadis kecil berusia 9 tahun yang tinggal di kampung Buleud, kampung yang jauh dari keramaian kota. Ia tinggal di sebuah kampung yang masih asri dengan hamparan sawah dan kebun di sekitar rumah penduduk, yang jumlahnya terhitung masih sedikit. Kampungnya juga memiliki banyak kolam ikan sehingga terkenal dengan budidaya ikan tawar yang rasanya khas dan lezat sekali bila dimasak. Aliran sungai yang berasal dari gunung Geulis, yang seakan tak pernah kering, membelah pemukiman penduduk, mengairi sawah dan kolam di sekitarnya. Jika cuaca cerah maka semua orang bisa menyaksikan lukisan alam yang indah berupa latar gunung Geulis berpadu dengan langit yang biru dan aneka lahan hijau yang ada di kakinya.
Di tempat tinggalnya itulah Ula kecil menjalani kesehariannya dengan penuh keseruan meski ia tak mengenal gadget atau tv sekalipun. Ya karena di masa itu, listrik belum masuk ke desanya, dan keluarganya belum memiliki televisi. Di kampungnya itu hanya ada dua rumah dari sekian banyak rumah yang ada, yang memiliki tv di rumahnya, itupun masih tv kotak hitam-putih bermodalkan aki bukan listrik. Adakalanya Ula dan teman-temannya ikut menonton di rumah itu, sesekali saja dengan tontonan yang terbatas dan tentunya sesuai dengan selera si empunya rumah.
Saat Ramadhan tiba, kebiasaan Ula sebenarnya tak jauh beda dengan kesehariannya di bulan lain yang biasa diisinya dengan kegiatan bermain, sekolah dan mengaji di surau dekat rumahnya, hanya saja biasanya durasi belajarnya di sekolah menjadi lebih singkat dan kegiatan mengaji di surau menjadi lebih banyak. Sekolah biasanya hanya berlangsung setengah hari, sedang kegiatan di surau menjadi bertambah. Di surau, selain ia mengaji sehabis dzuhur, ada juga kuliah subuh dan mengaji setelah ashar atau tarawih.
Saat puasa, sepulang sekolah Ula dengan setia menunggu ibu penjual sayur, yang menyunggi dagangannya di nyiru, datang ke rumahnya untuk menjajakan dagangannya. Di ibu pedagang itu, Ula menghabiskan jatah jajan hariannya dengan membeli camilan berupa penganan tradisional yang kemudian disimpannya buat bekal buka puasa nanti, sedang ibu Ula belanja sayur mayur untuk lauk dan bahan buat takjil.
Kebiasaan lain yang juga dilakukannya di bulan puasa adalah ngabuburit dengan berbagai permainan tradisional seperti main gatrik, main congklak, boi-boian, engklek, dan bebentengan. Selain permainan tradisional tersebut, ada juga board game semacam monopoli, halma dan ludo, yang biasa ia mainkan saat ngabuburit atau kalau sedang bosan dan tidak ada kegiatan. Adakalanya permainan board game itu menjadi tidak seru karena ia mainkan sendirian.
Di bulan puasa, selain tarawih dan tadarusan sebagaimana umumnya dilakukan semua umat islam, di kampung Ula juga ada tradisi membuat damar sewu. Damar sewu ini serupa obor tapi memiliki banyak sumbu, dibuat dari bambu yang dipasang secara mendatar dan memiliki banyak lubang. Di setiap lubang tersebut diisi dengan minyak tanah dan diberi sumbu berupa kain bekas untuk menyalakan api di atasnya. Damar sewu ini biasanya mulai ramai dibuat di sepuluh hari terakhir Ramadhan hingga lebaran. Keberadaan damar sewu ini membuat keseruan tersendiri buat semua orang terutama anak-anak. Malam-malam akhir puasa itu menjadi semakin semarak dan lebih terang tentunya karena hampir di setiap halaman rumah dan jalan-jalan dipasangi damar sewu ini.Hari-hari terakhir puasa, ibu dan keluarga Ula seringkali disibukkan dengan aktivitas memasak, mulai dari membuat berbagai kue kering, snack dan manisan, dan memasak untuk makan besar. Butuh waktu berhari-hari untuk membuat berbagai kue, snack dan manisan sehingga semua toples di rumahnya terisi penuh. Ula senang di momen ini karena jadi punya kesempatan untuk ikut bebikinan dan mengicip kue-kue tersebut saat berbuka. Di hari terakhir puasa, ibu Ula membeli banyak bahan makanan untuk dimasak dan dibagikan pada saudara-saudara dan tetangga jelang buka, dan memasak ketupat serta lapis daging untuk dinikmati di hari raya keesokan harinya.
Hari raya tiba, dan Ula bersuka ria mengenakan baju lebaran yang dibelikan orang tuanya beberapa hari sebelum lebaran tiba. Semua orang dirumahnya berkumpul, sungkem dan bersalaman satu sama lain selepas shalat Id. Kemudian mereka berkeliling ke rumah tetangganya untuk silaturahmi dan bersalaman, saling bermaaf-maafan. Adakalanya Ula mendapat angpao dari beberapa saudaranya yang bermurah hati. Ia kumpulkan angpao-angpao itu dan siangnya ia makan bakso dengan kakak-kakaknya dari uang angpao itu.
Hari kedua lebaran, Ula dan keluarganya biasanya pergi mengunjungi kerabatnya di beberapa tempat yang cukup jauh dari rumahnya, terkadang mereka juga menyambangi saudaranya di kota yang berbeda. Momen tersebut sangat Ula nikmati karena ia memang senang dan menikmati perjalanan jauh. Ia juga bisa bertemu dengan kerabat yang hanya ditemuinya setahun sekali, terutama dari pihak ibunya.
Hari ketiga lebaran, ada tradisi bani dari keluarga besar nenek dari ayah Ula. Semua saudara ayahnya berkumpul di tempat yang ditentukan, biasanya dilaksanakan bergiliran dari rumah anak tertua hingga yang termuda. Di sana, ia bisa bertemu dengan uwak, paman dan bibinya, yang juga datang membawa anak dan cucunya. Dalam pertemuan itu, setiap keluarga mendapat kesempatan untuk tampil dan berfoto di panggung acara. Mereka diperkenalkan dan dilaporkan pula jika ada penambahan anggota keluarganya masing-masing. Sebaliknya, berita duka juga disampaikan, semisal ada anggota keluarga yang meninggal. Ula senang menghadiri acara ini karena selain jadi ajang silaturahmi dengan saudara yang jarang ditemuinya, ia juga bisa mengetahui siapa saja saudara atau kerabatnya dan dari mana asal usulnya karena tak jarang saudaranya itu ternyata adalah orang yang kerap ditemui tanpa dia tahu kalau mereka sebenarnya berkerabat. Ula makin senang kalau mendapati acara ini diselenggarakan di rumahnya, karena rumahnya secara otomatis menjadi ramai dan seolah sedang ada hajatan besar. Ia menikmati segala kehebohan yang dilihatnya di rumah bahkan sehari sebelum pelaksanaan acara tersebut. Ia melihat ada banyak orang datang berkunjung dan ibunya sibuk belanja dan memasak untuk hidangan di acara tersebut dibantu oleh saudara atau kadang oleh tetangganya.
Keseruan lebaran Ula rasakan menghilang di hari-hari berikutnya pasca acara bani. Saat itu, orang-orang mulai kembali beraktivitas sebagaimana biasa. Acara silaturahmi atau berkunjung sudah tidak lagi dilakukan meski kadang satu dua tamu datang berkunjung ke rumah. Seiring dengan itu, kue-kue di rumah juga mulai habis dan Ula mulai jajan kembali di warung, dan hilanglah sudah suasana lebaran berganti hari biasa.Di usianya yang ke-10, Ula mulai tinggal bersama ketiga kakaknya saja, di kota yang berbeda dengan orang tua dan juga adiknya. Ia tinggal di rumah orang tuanya di kampung Buleud, sedang orang tuanya tinggal mengontrak dan mencari nafkah di Cipaku, salah satu kampung di kota yang berbeda yang berjarak sejauh 4 jam perjalanan jika menggunakan bis. Di rumah itu, Ula hidup seatap dengan kakak tertuanya yang belum lama menikah dan dua kakaknya yang lain yang masih sekolah.
Sejak kepindahan orang tuanya, Ula mulai membiasakan diri menjalani hari tanpa kedua orang tuanya. Segala kegiatannya dibantu dan diarahkan kakak-kakaknya dan dibantu oleh salah seorang kerabat yang diamanahi orang tuanya untuk membantu mereka sekedar beres-beres rumah atau mencuci. Beruntung sejak sebelum ibunya pergi, Ula sudah mulai belajar mandiri, menyiapkan segala keperluan belajarnya sendiri, mencuci seragam sekolah sendiri dan hal lain selain memasak dan pekerjaan rumah yang terhitung berat. Alhasil untuk hal kemandirian Ula tidak mengalami kendala yang berarti, hanya saja rasa rindu dan sepi seringkali datang hingga membuatnya sedih dan kadang jadi murung. Kerinduannya itu biasanya terobati saat orang tuanya pulang dan menengoknya tiap akhir pekan tapi tidak di bulan puasa karena biasanya ia baru akan bertemu mereka di penghujung Ramadhan, tepatnya di malam takbiran.
Ramadhan itu ia berusia 11 tahun, saat ia duduk di kelas 5 SD. Hari demi hari puasa ia lalui dengan rutinitasnya berupa sekolah dan mengaji di pesantren yang tak jauh dari rumahnya. Selepas sahur dan shalat Subuh ia berjalan kaki menuju ke mesjid pesantren untuk mendengarkan kuliah subuh. Sekira pukul 6 ia pulang lalu bersiap-siap berangkat ke sekolahnya. Ia pergi sekolah dengan berjalan kaki selama kurang lebih dua puluh menitan, melewati pesawahan dan pinggiran sungai yang mengapit sawah-sawah itu.
Siangnya ia pulang sekira jam 12-an, melalui jalanan yang sama. Sesampainya di rumah, ia istirahat sebentar kemudian shalat dan bersiap berangkat mengaji ke pesantren. Di sana ia mengaji dengan teman sekelas yang usianya jauh lebih tua dari teman-teman di sekolahnya dan berasal dari kota yang berlainan dengannya. Namun demikian ia senang dan menikmati kegiatan ini sehingga ia rajin dan seakan sayang jika ketinggalan aktivitasnya ini.
Adzan Ashar berkumandang dan ia baru pulang mengaji di pesantren. Ia kemudian shalat, tilawah beberapa halaman dan bersiap ngabuburit. Biasanya dia isi waktu ngabuburitnya dengan main galah di halaman, main monopoli di teras, atau sekedar jalan-jalan mencari jejamuran di sekeliling sawah dan kolam dekat rumahnya. Jam 5 sore barulah ia pulang dan membantu kakaknya menyiapkan hidangan buat buka puasa.
Di hari kesepuluh Ramadhan ia mendengar candaan kakak-kakaknya kalau orang tuanya tidak akan pulang lebaran nanti. Ia kaget dan berpikir seandainya itu terjadi, artinya ia akan berlebaran tanpa seru-seruan berkumpul dengan orang tua dan adiknya, dan tanpa baju baru tentunya. “Ah itu hanya keisengan kakak-kakak aja” tukas pikir kekanakannya yang memang kerap diisengi kakaknya, dan rutinitasnya membuat ia tidak banyak mengingat hal tersebut.
Tibalah hari ke-20 puasa, sekolah dan pengajian mulai diliburkan. Para santri pulang ke kotanya masing-masing dan pesantren yang biasanya riuh ramai oleh suara santri mengaji atau sekedara berkelakar, kini menjadi terasa sepi. Sejak saat itu, waktu Lula berada di rumah menjadi lebih panjang dan terasa cukup membosankan. Kadang ia hanya bertemu dengan kakak-kakaknya saja seharian, dari mulai bangun tidur, main board game, masak bahkan hingga tidur kembali. Waktu Ula yang biasa ia habiskan di sekolah dan tempat ngajinya kini menjadi luang bahkan kerap membuat ia mengantuk dan tidur berlama-lama.
Waktu berlalu dan tak terasa puasa tinggal tiga hari. Beberapa tetangga yang biasa tinggal di kota perantauannya mulai berdatangan untuk merayakan lebaran di kampung. Lula mulai harap-harap cemas dan bertanya dalam hati “kapan ya Mamah-Apa pulang?” hingga akhirnya ia menanyakan langsung hal tersebut pada kakaknya. Di luar dugaan ternyata kakaknya memberi jawaban yang membuatnya kaget bercampur sedih karena ternyata orang tuanya tidak akan pulang untuk merayakan lebaran bersama. Kakaknya mengatakan bahwa Apa mendapat amanah untuk menjadi Khatib saat pelaksanaan Salat Id di masjid besar Cipaku lebaran itu sehingga tidak mungkin Apa pulang sebelum salat Id berlangsung. Maka penghujung Ramadhan itu menjadi terasa kelabu bagi Ula.
Malam takbir tiba, namun suasana berbeda, yang biasanya terasa seru dan hangat karena semua berkumpul kini berubah menjadi kesepian dan kepiluan bagi Ula. Malam itu, tak ada sajian uli panas dan kopi hitam yang biasa disodorkan ibu Ula untuk diantarkan ke masjid, menemani para pelantun takbir yang biasanya dipimpin ayah Ula. Ula juga tak merasakan keramaian di area dapur tempat ibunya biasa memasak ketupat dan berbagai sajian untuk hari raya karena malam takbir itu dapur rumahnya sepi tak ada kesibukan.
Keesokan harinya rasa sepi itu jauh lebih terasa bagi Ula karena ia melihat orang lain berbahagia bersuka cita berkumpul dengan keluarganya, sedang ia hanya kumpul bersama kakak-kakaknya, tanpa orang tua dan adiknya. Ia berusaha sebisa mungkin menikmati momen lebaran meski sulit. Hari raya itupun berlalu dan Ula makin sedih karena ternyata hingga malam orang tuanya tak kunjung datang, dan ternyata mereka baru datang keesokan harinya, hari kedua lebaran. Rasanya Ula ingin teriak dan menghambur menangis saat ibunya menghampiri dan memeluknya sambil berkata “duh kasian ya lebarannya ga pake baju baru”, namun ia hanya bisa memendam itu dan menggantinya dengan rasa bahagia karena akhirnya suasana lebaran itu ia rasakan meskipun telat sehari. Ia bisa berkumpul dengan semua orang yang dikasihinya di hari kedua lebaran itu, dan tentunya ia bahagia juga karena dibawakan banyak makanan dan baju baru.