Loading
4

0

10

Genre : Keluarga
Penulis : Febby Aminoora
Bab : 11
Dibuat : 17 April 2022
Pembaca : 2
Nama : Febby Aminoora
Buku : 1

Anneisha Putriku!

Sinopsis

Gadis malang yang awalnya dikecam berbagai pihak, kini menjadi gadis yang amat diperebutkan. Mengapa? "Siapa yang kamu pilih, Nak?" "Ibu atau Mami?" Kebenaran terungkap. Gelimang dunia telah mengubah seseorang 180 derajat. Anneisha, gadis malang itu, hanya meringkuk dan membekap tubuhnya sendiri. Dia tidak menjawab, hanya membenamkan wajah manisnya. Semua terbungkam menyaksikan Anneisha yang sama-sama bergeming. Hanya sesak tangis yang keluar dari bibirnya. Matanya sembab, penuh bilur kesenduan. Apa yang menyebabkan Anneisha amat diperebutkan? Lantas, mengapa sampai Anneisha terhimpit sesak?
Tags :
#Sarapankata

Tugas Baru

1 1

- Sarapan Kata

- KMO Batch 44

- Kelompok 6

- Day 1

- Jumlah Kata 553

- Revisi


Di hadapanku sudah ada gadis malang dengan wajahnya yang kumal. Matanya sembab, selayaknya anak kecil yang habis menangis. Rambutnya acak-acakan. Pakaiannya lusuh dan berlubang. Apa maksudnya? Apa aku harus merawat anak yang tidak kuketahui asal usulnya? Bahkan aku belum memiliki pengalaman mengurus anak. 

"Pak, saya belum pernah punya anak, jadi tidak bisa mengurus gadis malang ini," ujarku.

"Ningsih, kamu itu cuma pembantu, ya. Rawat Aneisha atau saya pecat!" bisik Pak Fahroz. Aku hanya mengangguk. Kebutuhanku yang besar tidak mengizinkanku menolak permintaan Pak Fahroz. 

"Ikut saya. Saya mau bicara." Pak Fahroz bergegas menuju ruang kerjanya. Tanpa pikir panjang, aku membuntutinya.

Sebelum bicara, dengan tegas ia menutup pintu dan jendela. Korden pun dibalutkan untuk menutup rapat ruangan ini. Kurasa, ini sangat penting.

"Katakan Aneisha adalah anakmu di depan Mami."

Aku terkejut. Sebuah pernyataan yang tidak terduga itu menggema di telingaku. Napasku tercekat sebentar. Ritme jantungku mulai tak beraturan. Keringat pun berkucuran, membasahi tepian jilbabku. Aku tidak ingin berbohong kepada siapa pun, terutama dengan Mami—ibunda Pak Fahroz—yang memperlakukanku sangat baik. Jika suatu saat nanti kebenaran terungkap, Mami pasti kecewa.

"Pak, anak itu tidak jelas asal-usulnya. Lalu bapak meminta perawan tua ini mengakuinya sebagai anak?" Aku masih sesak dengan kalimat Pak Fahroz, apalagi dengan kondisi ruangan yang pengap. 

Lelaki mapan yang sebelumnya berdiri itu memilih duduk. Sesaat, ia menatap figura dengan foto gadis berjilbab. Wajahnya manis dengan binar mata yang memukau. Ia menghela napas berat.

***

Barangkali malam itu adalah malam terindah bagi seorang anak tunggal dari sosok kyai. Nadia menerima bingkisan bertubi-tubi. Isinya cokelat, lolipop, kue kering, boneka, puisi cinta, figura, dan buku diari. 

Akhirnya, penantian dua belah pihak yang saling cinta ini mwnemui titiknya. Dua minggu lagi Fahroz akan melamarnya. Rona kebahagiaan sangat mencolok. Walaupun usia mereka masih muda, tetapi orang tua Nadia dan Fahroz tidak mempermasalahkan pernikahan muda. 

"Umi, jika Nadia sudah menikah dengan Mas Fahroz, berarti Nadia harus tinggal dengan Mas Fahroz, ya?" ucap gadis polos itu sembari merebus kentang. Uapnya mengepul begitu tutup panci diangkat. Nadia menghindarkan mukanya. 

"Iya, to. Tapi kamu sering-sering main ke sini, lho. Umi kangen, Nduk."

Sebuah pelukan dari seorang anak merangsek ke tubuh ibunya. Keluarga Nadia memang harmonis. Umi dan Abinya selalu mendukung keputusan Nadia. Pertikaian tentu pernah terjadi, tetapi semuanya selesai sebelum tiga hari. 

"Aduh, Umi lupa beli garem. Ini penting, lho, Nduk," ujar Umi sembari memegangi jidatnya. Nadia hanya terkekeh. Dia memahami maksud Uminya.
Setelah mengambil beberapa lembar uang receh, Nadia bergegas ke warung terdekat.

Dua puluh menit, setengah jam, satu jam, dua jam. Nadia belum kembali dari warung sejak kepergiannya. Senja sudah bergulir menjadi malam. Kekhawatiran pun menyusup hati Umi dan Abi. 

"Telpon HP-nya." Abi memerintah Umi.
"HP-nya nggak dibawa."
"Aduh, ke mana ini Gendhuk?"
"Biar Umi jemput ke warung, ya, Bi," ucap Umi sembari memakai jilbabnya.
"Abi temani."

Kedua orang tua itu bergegas ke warung terdekat. Namun, gerai warung itu tutup. Umi dan Abi saling bertatapan. Kekhawatiran makin jelas tergambar. Kini, opsi ke dua adalah warung Bu Karni yang jaraknya sekitar tiga ratus meter.
Warung kelontong itu masih cukup ramai walaupun gelap sudah menjelajah. Mereka pun harus menunggu antrean sebelum mewawancarai penjual warung. 

"Nadia tadi beli di sini, Pak Yai, tapi sudah pulang dari tadi."
"Ke mana? Dia pulang ke arah mana?" Abi tidak pernah sepanik itu di hadapan orang lain.
"Ya ke arah pulang, to, Pak Yai. Memang ada apa?"

user

24 April 2022 09:30 Siti Munawaroh (Cik Muna) Hola Kak Febby, keren nih ceritanya. Cik mau lanjut baca, oiya krisan dikit. Kedua ya, bukan ke dua. SEMANGATTT

Menemukan, Tapi Kehilangan

1 1

- Sarapan Kata

- KMO Indonesia

- KMO Batch 44

- Kelompok 6

- Day 2

- Jumlah Kata 418


Bukan sombong. Mereka tidak menjawab karena kepanikan mengharuskannya segera ke rumah lagi. Harap-harap Nadia sudah sampai di rumah, jilbabnya sudah digantungkan ke cantolan, jaketnya pun sudah terlampir di sofa. 

Namun, semua itu hanya harapan kosong. Setibanya di rumah, tak ada tanda-tanda kedatangan Nadia. Dia belum sampai di rumah. Entah ke mana anak itu, orang tuanya yang sepuh jadi harus panik mencarinya. 

Bersama dengan terjaganya burung Hantu, mata tajam mereka memelototi setiap sudut jalanan. Tidak ada aspal yang tidak tergilas oleh ban sedan silver itu. Lajunya perlahan, mengelilingi satu per satu kompleks elit hingga kampong kumuh. Danau, alun-alun, taman, hingga mall dan pasar sudah dijelajahi Abi dan Umi dalam semalan. Namun, Nadia tidak dapat ditemukan. 

Terik matahari sudah menyetrum kulit siapa pun yang ada di bawahnya tanpa sebidang payung. Mereka sudah lelah mencari. Tubuh Umi terkapar di kasur Nadia yang masih tertata rapi. “Fahroz! Hubungui Fahroz.” Abi tersibak dari kekhawatirannya. Tangannya segera meraih ponsel dan menelepon calon menantunya. 

“Nadia sama kamu, Nak?” ujar Abi tergesa-gesa.
“Tidak, Abi. Memangnya Nadia tidak di rumah?”
“Nadia hilang. Bantu kami mencarinya, Nak.” Tubuh Abi seketika lemas. Ia hanya menyandarkan tubuh sepuhnya pada dinding. Mereka sangat khawatir. Nadia tidak pernah pergi tanpa izin. Pasti terjadi sesuatu padanya. 

Kami—Abi, Umi, dan keluargaku—tunggang langgang mencari Nadia. Kami belum bisa membuat laporan kehilangan di kepolisian sebelum 2x24 jam. Dalam detak yang tak nyaman itu, pikiran saya kacau. Pompa-pompa nadi tidak bekerja sesuai ritmenya. Darah seakan berhenti mengaliri jiwa saya. Tidak ada corak harapan yang bisa tergambarkan. Nadia, orang yang sangat saya cintai itu hilang tanpa kabar. Bukan, ini bukan soal ghosting. Ini sangat serius.
Berkutik sampai dua hari pun, Nadia tidak ditemukan. Semua pesuruh berbadan kekar itu, hanya tampangnya saja yang sangar. Namun, mereka nihil. Tidak ada satu pun yang dapat menemukan Nadia sampai akhirnya kami bisa melaporkan kasus Nadia ke kepolisian.

Entah, polisi yang berbadan lebih ramping daripada pesuruh saya itu justru bisa menemukan Nadia dalam waktu dua puluh jam saja. Nadia ditemukan terkapar di sebuah hutan heterogen. Kondisinya terluka parah dengan campuran tanah di sekujur tubuhnya. Darah masih menetes dari lubang hidung dan mulutnya. Luka lebam telah memenuhi wajah, lengan dan kakinya. Anehnya lagi, Nadia ditemukan dengan kondisi baju yang sudah sobek-sobek. Perempuan malang itu juga tidak bersama dengan jilbab yang biasanya membelai sampai menutupi dada. 

Nadia dibawa ke rumah sakit terdekat untuk menjalani perawatan dan proses autopsi. Setelah mendapatkan hasil autopsi, sepertinya tidak ada satu pun jantung kami yang aman. Kami tercekat bersamaan, tidak ada yang menyangka atas kejadian yang menimpa Nadia.

user

24 April 2022 09:42 Siti Munawaroh (Cik Muna) Ikut sedih, huwaaa. Ya Allah mesakke si Nadia ... btw hati-hati serangan typo ya, Kak

Keputusan Besar

1 1

- Sarapan Kata

- KMO Indonesia

- KMO Batch 44

- Kelompok 6

- Day 3

- Jumlah Kata 486

Sontak, Mami menarik lenganku untuk segera pergi dari rumah sakit.

“Mami, Nadia dirawat, Mi. aku harus di sana,” pinta saya.

“Enggak. Kamu nggak tau? Nadia itu sudah tidak suci. Jangan sesekali kamu berniat menikahi gadis bekas orang lain! Mami nggak sudi punya menantu bekas!” 

Mami sangat emosional mengatakannya. Baru kali ini saya melihat Mami terlihat sangat tidak suka dengan Nadia. Bukankah sebelumnya Mami sangat membanggakan Nadia? Kini, keadaan berbalik 180°. Raut wajah tak senang sudah menggerayangi Mami.

“Mami, tapi Nadia itu korban, Mi. itu bukan salah dia.”

“Siapa yang menyalahkan dia? Dia memang tidak salah, tapi dia sudah .... Intinya, Mami nggak mau, buah cintamu itu diberikan kepada tanah yang sudah ditanam orang lain!” 

Percekcokan kecil terjadi di dalam mobil Avanza itu. Secara mendadak, Mami tidak merestui hubungan kami seketika. 

Saya hancur dan patah. Sebenarnya, saya sendiri juga ingin menikahi gadis alim yang bersih dan suci. Namun, ini adalah kecelakaan. Kebesaran cinta saya pada Nadia membuat saya tidak pernah mengungkit masalah itu sedikit pun. Saya tahu, Nadia pasti sangat trauma. 

Selang satu pekan, gadis malang itu masih tidak mau bertemu dengan orang di luar mahramnya. Hanya dari jendela kamarnya, saya diizinkan mengintip keadaan Nadia. Sangat miris. Tubuhnya kurus dengan cekung mata yang cukup tajam. Ia hanya meringkuk sembari mendekapkan badannya. Ia menggenggam erat selimut yang dibalutkan ke badannya. Sesekali, ia memukuli bantal dengan kepalan tangannya. 

“Fahroz, Umi dengar, mamimu sudah tidak merestui hubungan kalian?” ucap Umi.

“Umi, Fahroz sayang sama Nadia. Kami pernah berjanji untuk hidup berdampingan, apa pun kekurangannya.”

“Kami juga berharap kamu masih mau menerima Nadia dengan baik, Nak. Tapi, kami baru mendapat surat dari rumah sakit yang menyatakan bahwa Nadia hamil.”

Saat itu, dunia seakan berhenti berputar. Napas saya sudah enggan keluar lagi. Jarum jam berhenti berdetak. Boneka yang saya bawakan untuk Nadia terjatuh ke lantai. Tidak ada daya, bahkan untuk memegang boneka seberat 400 gram saja. Tubuh saya lemas dan tersandar di jendela kamar Nadia.

 

“Monggo diminum tehnya.” Sesaat sebelum Abi menyeruput tehnya. Mami dan Papi tidak meneguk the buatan Umi sedikit pun. Suasana bertambah tegang ketika wajah Mami dan Papi menyulutkan aura tidak senang.

“Kita batalkan lamaran Fahroz dengan Nadia,” singkat Mami.

“Ya, kami turut berduka atas kejadian yang meinmpa putri bapak, tapi saya juga perlu menjaga martabat keluarga saya. Tidak mungkin jika Fahroz, anak satu-satunya, mendapatkan jodoh yang tidak pantas."

Saat itu, saya tidak mengerti harus berucap apa. Jujur, saya sendiri juga tidak ingin menikah dengan gadis yang sudah ternodai. 

Dengan tatapannya yang seduh, Umi memperhatikan saya. Saya mengerti apa maksudnya. Umi mau agar saya bilang ke orang tua saya agar bahwa saya tidak bisa meinggalkan Nadia. Sama seperti ucapan saya tadi pagi. Namun, itu sebelum dikabarkan jika Nadia hamil. Saya sendiri sudah tidak memiliki gairah terhadapnya. 

“Berita kehamilan Nadia belum tersebar, Pak. Kalau Fahroz jadi menikahi Nadia, anak itu tidak akan menjadikan keluarga kecil mereka terkena aib.” Abah meyakinkan.

“Loh, jadi Fahroz hanya diperalat untuk mengakui anak haram itu?” Mami mulai emosional.

user

24 April 2022 09:58 Siti Munawaroh (Cik Muna) Uwuww, makin seru ... ada catlog gak, Kak? Sepekan setelah kejadian udah dinyatakan hamil, cepet kali ... krisan sedikit serangan "saya".

Beri Saya Kesempatan, Mi

1 0

- Sarapan Kata
- KMO Indonesia
- KMO Batch 44
- Kelompok 6
- Day 4
- Jumlah Kata 420

“Bukan, bukan begitu. Pernikahan mereka akan tetap aman tanpa gunjingan tetangga, Pak, Bu.”

“Ini bukan soal gunjingan tetangga, Pak Yai. Ini soal derajat keluarga kami. Martabat bukan hanya dilihat dari orang lain saja, tetapi juga yang asli terjadi di dalamnya. Saya tidak mau kalau Fahrozi menikah dengan seorang—”

Umi terus melihati saya yang masih bergeming, tak ada satu pun kalimat pembelaan untuk Nadia keluar dari mulut saya. Melihatnya, Umi menghela napas kecewa. Dengan sikapku yang seperti itu. Abi pun menyetujui keputusan keluarga saya. 

“Baik, kalau begitu kami juga tidak akan menikahkan putri kami dengan laki-laki pengecut yang tidak mau memperjuangkan cintanya. Entah takut atau bagaimana, Anak Muda?” Tatapan Abi tiba-tiba mengarah pada saya. Rasanya, seakan tertembak dengan pernyataan.

“Maksudnya apa, ya?” Papi tersulut emosi sambil berdiri pongah di hadapan Abi. Namun, Abi hanya terkekeh meremehkan.

“Saya juga tidak mau putri kami menikah dengan sosok Fahroz yang plin-plan ini.”

Suasana bersitegang. Papi hendak melampiaskan amarahnya pada Abi. Namun, saya segera melerai. Mami pun juga mengelus dada Papi agar dia bersabar. Setelah Papi mengatur napas, Mami menyeret lengannya agar segera keluar dari sepetak ruang tamu itu. 

Wajah Umi yang kecewa berat membebani pikiran saya. Keluarga Nadia sudah risi dengan laki-laki pengecut ini. Saya tidak tahu kenapa saya bisa setega itu meninggalkan Nadia di titik terendahnya.

Tiga hari tiga malam, saya tidak bisa makan dan tidur. Ini bukan perasaan sedih dan terbebani, melainkan perasaan rindu pada Nadia, gadis yang selalu membawa candaan di sore hari dan menceritakan kisahnya di malam hari. Perangainya yang lugu, lucu, dan menggemaskan sangat memikat hati. Mata eksotik dan simpul senyumnya sangat saya tunggu. 

Namun, beberapa hari terakhir, hiasan dunia itu hilang seketika. Gadis yang selalu saya puji sifat, kecantikan, dan kecerdasannya itu lenyap dalam bayangan. Jika saya membayangkan senyum manisnya dalam tidur saya, yang terbayang adalah wajah murung Nadia. Saya tidak bisa membayangkan senyuman di wajah Nadia, bahkan untuk sekadar dalam mimpi.

Saya sudah tidak kuasa menahan kegelisahan ini. Gila, tetapi saya benar-benar melakukannya. Nomor itu masih bordering, tandanya Umi belum memblokir kontak saya. 

“Mau cari masalah apa lagi, Nak?” Dari nada bicaranya, Umi mulai mengubur harapannya pada saya. Tidak ada keramahan seperti dulu. Namun, masih beruntung karena Umi mau mengangkat telepon saya. 

“Umi. Aku rindu dengan Nadia. Bisa aku bicara dengannya?”
“tolong bantu aku, Umi.”

Saya cukup cemas. Akankah Umi berbaik hati untuk kedua kalinya? Umi tak menjawab. Beliau terus bergeming tanpa mengucap sepatah kata pun. 

"Umi, aku sayang Nadia. Kemarin aku cuma terjebak keadaan, Mi. Apa Umi nggak mau ngasih kesempatan kedua? Tolong, Mi."

Sebuah Pilihan

0 0

- Sarapan Kata
- KMO Indonesia
- KMO Batch 44
- Kelompok 6
- Pijar
- Day 5
- Jumlah Kata 423

Kelembutan hatinya membuat Umi mengizinkan saya berbicara dengan Nadia. Kondisinya membaik, dia sudah bisa diajak mengobrol.
“Nadia, kamu udah baikan?”
“Lumayan, Mas.”
“Alhamdulillah, senang dengarnya, Nad.”
Beberapa detik di telepon kami terdiam. Tidak ada sepatah kata dari Nadia. Ia seakan tidak ingin membuka almari ceritanya. Aura bicaranya sangat menyedihkan, tetapi tidak tidak ia tumpahkan pada saya.
“A—aku minta maaf, Nad.”
“Kenapa harus minta maaf? Mas Fahrozi tidak harus menikahi gadis yang sial sepertiku.”
“Nad, bukan begitu. Aku masih mencintaimu.”
“Aku tidak butuh kata-kata dan aku tidak memaksamu, Mas. Pergilah dan cari yang lebih beruntung nasibnya dari aku.”
Itu adalah pembicaraan terakhir saya dengan Nadia. Setelah menutup teleponnya, Nadia tidak menangis. Ia terlihat lebih tegar dan siap menjalani harinya. Dalam sendirinya, ia mengelus perutnya dan mendoakan hal-hal baik pada jabang bayinya. Walaupun jabang bayi itu terbuat dari benih bejat.
Setelah menenangkan diri, Umi dan Abi datang kepada Nadia. Wajah mereka sendu penuh kepahitan. Sepertinya, ada yang hendak mereka bicarakan kepada Nadia. Rasa segan mulai tercipta dari Abi. Namun, mau tidak mau, mereka harus menyampaikannya pada Nadia.
“Nak, sebelum kandunganmu menua dan menjadi embrio, kita gugurkan dia, ya, Nak.” Abi memulainya dengan perasaan yang berat.
Nadia cukup tercekat dengan permintaan Abinya yang seorang kyai. Bagaimana bisa, seorang pemuka agama menyarankan hal yang keji.
“Tidak, Abi. Sampai kapan pun, aku tidak akan membunuhnya.”
“Kandunganmu baru berusia dua minggu. Embrio bahkan belum terbentuk, Nak.” Kali ini Umi yang angkat bicara.
“Umi, tapi Allah sudah meniupkan nyawa di dalam rahimku. Aku tidak ingin menjadi pembunuh anakku sendiri.”
“Nak, ini demi masa depanmu dan masa depan anakmu. Dia akan lahir tanpa seorang ayah. Tetangga akan menggunjingimu. Juga, tidak ada laki-laki yang akan menikahimu, Nak.”
“Betul kata Umi. Banyak sekali dampak buruknya. Selain itu, dari sisi hukum dan agama, aborsi untuk korban pemerkosaan diperbolehkan, Nak. Jika anak itu lahir, pikirkan semua dampaknya. Sangat memalukan.”
“Pertama, soal status, aku bisa mengurusnya karena aku punya keterangan kasus dari kepolisian. Kedua, aku tidak peduli omongan tetangga. Ketiga, laki-laki yang tulus akan menerima kekuranganku apa adanya, Mi. Dan, Abi, memang boleh, tetapi aku tidak mau. Masalahnya ada di mana?”
“Jangan membantah, Nadia! Gugurkan saja. Itu hanya akna menjadikan aibmu dan aib keluargamu.” Abi mulai tegas.
“Tidak! Aku tidak akan membunh anakku sendiri!”
“Pilih anak itu atau Abi dan Umi!”
Nadia tercekat akan pertanyaan. Dia benar benar tak mengetahui harus menjawab apa. Ia menundukkan mata, menghadap ke perutnya yang sudah berisi nyawa, walaupun masih kempis. Setelah beberapa lama, Nadia menatap lekat ke wajah Umi dan Abi. Ia sudah memantapkan hati, pada siapa pilihannya dituju.

Pertimbangan Besar

0 0

- Sarapan Kata
- KMO Indonesia
- KMO Batch 44
- Kelompok 6
- Pijar
- Day 6
- Jumlah Kata 421

Abi sangat tersulut emosi. Amarahnya membakar seisi kepala dengan dadanya yang bergejolak. Besarnya hantaman napas membuat asmanya kambuh.
Setelah pertikaian itu, kabarnya Nadia pergi dari rumah. Ia lebih memilih melindungi anaknya itu. Ia pun rela merantau di Klaten agar jauh dari orang tuanya. Beruntung, tabungannya masih bisa digunakan untuk bertahan hidup selama tiga bulan di sana. Namun, karena dia pandai bernegosiasi dan tangannya memang cekatan, hanya butuh tiga hari sampai di sana, Nadia sudah bekerja di sebuah warung makan.
Untuk mencukupi kebutuhan lain dan persiapan bayinya kelak, ia perlu mencari penghasilan lain. Ia memproduksi donat dan menitipkannya di warung-warung, termasuk warung tempatnya bekerja.
Tangan ajaib itu mampu memikat puluhan lidah pembeli. Mereka banyak memesan donat dari Nadia karena lebih terjangkau dan rasanya sangat nikmat.
Lima tahun berlalu, saya tidak mendengar sedikit pun kabar burung tentangnya, sampai akhirnya Rio, rekan kerja saya yang dahulunya adalah sahabat di masa kuliah saya, mengabari tentang keberadaan Nadia.
Nadia terkapar lemas di ruang ICU lantaran kecelakaan parah saat bekerja. Bahkan, Nadia mengalami koma. Di saat yang memilukan itu, tidak ada sanak saudaranya yang datang menjenguk. Orang tuanya pun juga tidak hadir. Entah sengaja, atau karena mereka bahkan tidak mengetahui keadaan Nadia.
Dari jendela di bilik ICU, saya memandangi wajah Nadia yang tersulang beberapa selang oksigen. Wajahnya masih teduh untuk dipandang walaupun bengkak di bebeapa bagiannya. Senyumnya masih manis di balik tempurung transparan itu.
Memandanginya, saya teringat pada dosa lima tahun silam. Saya meninggalkan orang sangat saya cintai, bahkan di kondisi terburuk. Banyak perasaan bersalah yang tersirat. Namun, saat melihatnya, perasaan cinta itu tumbuh lagi. Nadia tidak bisa tergantikan oleh siapa pun.
Rio menyikut lenganku sebagai kode. Selanjutnya, ia menunjuk seorang gadis dengan dagunya. Tatapanku pun beralih. Gadis berusia lima tahun dengan rambut yang ikal. Wajah Nadia mendominasi gadis itu. Tidak salah lagi, dia pasti anak Nadia.
“Loh, kok nangis, Dek? Mamanya mana?” Saya mencoba mendekati gadis yang menangis di pelukannya sendiri.
“Mama.” Hanya sepatah kata itulah yang diucapkan sembari menunjuk ruang ICU.
“Namanya siapa?”
“Aneisha.” Ia menjawab sambil sesenggukan.
Saya melihat Aneisha cukup tidak terawat. Anak kecil yang manis dan lugu itu itu saya bawa ke rumah.
***
"Mana hati nuranimu, Ningsih? Jika Mami tau Aneisha adalah anak Nadia, dia tidak akan diizinkan tinggal di sini," Pak Fahroz membenarkan posisi duduknya, "kamu tidak kasihan?"
Mengingat wajah polos dan lugunya Aneisha, hatiku terketuk. Bukan masalah berat jika hanya mengakui Aneisha sebagai anakku di depan Mami. Namun, tetap saja, aku enggan berbohong di depan Mami. Mami sudah kuanggap sebagai orang tuaku sendiri. Apalagi, Mami selalu memperlakukanku seperti anaknya.

Keputusanku

0 0

- Sarapan Kata

- KMO Indonesia

- KMO Batch 44

- Kelompok 6

- Pijar

- Day 7

- Jumlah Kata 424


"Mana hati nuranimu, Ningsih? Jika Mami tau Aneisha adalah anak Nadia, dia tidak akan diizinkan tinggal di sini," Pak Fahroz membenarkan posisi duduknya, "kamu tidak kasihan?"

Mengingat wajah polos dan lugunya Aneisha, hatiku terketuk. Bukan masalah berat jika hanya mengakui Aneisha sebagai anakku di depan Mami. Namun, tetap saja, aku enggan berbohong di depan Mami. Mami sudah kuanggap sebagai orang tuaku sendiri. Apalagi, Mami selalu memperlakukanku seperti anaknya. 

Aku sendiri memahami, setiap kebohongan pasti akan terungkap, entah cepat atau lambat. Aku tentu tidak ingin menyakiti perasaan Mami. 

"Maaf, Pak Fahroz, saya tidak bisa. Kebenaran akan terungkap. Saya tidak mau menyakiti hati Mami."

Pak Fahroz diam sejenak. Ia memandangiku dan menghela napas berat. Ia berpaling sejenak, diam memperhatikan figura-figura yang tertempel di dinding belakang. 

"Bapakmu terlilit hutang sama rentenir, ya, Ningsih?" 

Terkejut, aku memelototinya. Bagaimana dia tahu tentang masalah keluargaku? "saya bisa melunasi seluruh hutangnya, atau membayar dua kali lipat pada rentenir bernama Bang Jhon," lanjutnya. 

"Maaf, bapak tau dari mana?"

Setelah pertanyaanku itu, Pak Fahroz mengalihkan tatapannya. Ia mendekat ke kursiku. Jantungku berdegup lebih kencang, apakah aku meninggalkan kesalahan?

Pak Fahroz membuka laci mejanya dan mengeluarkan secarik kertas. 

"Untuk Ningsih, dari Bapak."

"Siapa yang menaruhnya di dapur?" tanyanya sembari mengangkat kertas itu di depan wajahku.

Ah, iya. Itu adalah surat dari bapakku. Beliau meminta agar aku mentransfer uang untuk membayar utangnya pada Bang Jhon. Aku membaca suratnya di dapur sembari menunggu ikan tergoreng matang. Saat ikan itu kecoklatan, kutinggalkan suratnya sejenak. Namun, aku lupa memungutnya kembali sampai Pak Fahroz yang menemukannya. 

"Penawaran terakhir, gaji kamu naik dan utang bapakmu lunas. Mau tidak?"

Dengan tawaran yang menggiurkan, siapa yang bisa menolak? Lagi pula, bukan urusan penting bagiku jika pada akhirnya Mami tahu yang sebenarnya. Bukankah yang menggajiku adalah Pak Fahroz? Jadi, harusnya aku memang lebih patuh pada Pak Fahroz. 

“Iya, Pak, saya bersedia, deh.”

Aku meragu. Namun, ucapanku barusan terlanjur membuat Pak Fahroz kegirangan. Ia mengeluarkan selembar cek, lalu menuliskan nominal yang cukup besar di sana. “Bayarkan utang bapakmu sekarang.”

Siapa yang tidak bahagia? Sepuluh juta untuk membayar utang Bapak yang jumlahnya hanya empat juta. Ini lebih dari dua kali lipat. 

“Sudah, kamu bisa keluar dan urus Aneisha yang malang itu.”

Aku hanya mengangguk kecil dan keluar dari ruangan yang pengap itu, lalu berjalan menuju gadis yang dipanggil Anneisha. Pikiranku sudah mengacau ke mana-mana. Rasanya, ingin sekali menolak permintaan Pak Fahroz tadi. Namun, siapa yang bisa menolak uang ketika kondisi keuangan sedang sulit? Toh, hal yang dilakukannya ini tidaklah terlalu dosa. Sedikit berbohong pada Mami atas permintaan Pak Fahroz, semoga tidak ada yang salah dariku. 

Mama Pengganti

0 0

- Sarapan Kata
- KMO Indonesia
- KMO Batch 44
- Kelompok 6
- Pijar
- Day 7
- Jumlah Kata 408

Masih dengan sekelumit ragu, aku menghampiri Anneisha. Kugandeng tangannya untuk menuju kamar kosong dirumah Pak Fahroz. Ini kali pertama aku akan merawat bocah, bahkan yang asal usulnya kurang jelas. Sebenarnya, terlontar perasaan jijik dan risau. Namun, lagi lagi akun harus mengingat bahwa setiap anak yang terlahir di dunia memanglah suci.
Aku memandang wajah polosnya. Berantakan, kumal, rambut acak acakan. Namun, kulitnya putih bersih dan bercahaya. Wajahnya manis, hidungnya mancung, dan pipinya tembam. Matanya berbinar dengan warna pupil cokelat yang eksotik.
Aku menarik lengannya. "Mulai sekarang, panggil bibi 'mama'. Ann, panggil 'mama'."
Gadis itu hanya bergeming. Dia memandangiku lekat. Lantas, aku mengusap rambutnya perlahan. Kurapikan rambut yang berantakan dengan jemariku. Kemudian, kuseka bekas air mata yang masih membasahi pipinya.
"Ann, panggil bibi 'ma–'"
"Bukan Mama. Mama bukan bibi."
Sekarang, aku mengerti. Anak kecil bukanlah orang dewasa yang bisa diajak bekerja sama. Aku pun tak bisa memaksa anak ini memanggilku sebagai ibunya. Aku mengembuskan napas perlahan. "Iya, Ann. Bibi memang bukan Mama. Tapi, Bibi akan jadi Mama buat kamu. Ann punya dua Mama."
Gadis itu hanya menggeleng. Kini, aku makin mengerti lagi bahwa meyakinkan anak kecil memanglah sulit. Bukan sekadar ucapan.
Kududukkan Anneisha di kasur yang belum dilapisi sprei. "Ann, jangan ke mana-mana, Mama mau cari baju dulu, ya." Walaupun gadis itu masih memanggilku "Bibi", tetapi aku akan tetap menyebutku "Mama" baginya. Tujuannya agar Anneisha terbiasa dan mulai mengikutiku memanggil "Mama".
Aku bergegas menemui Pak Fahroz. Dia sedang sibuk dengan teleponnya. Aku pun menunggu beberapa saat di belakangnya.
"Waalaikumussalam–" Pak Fahroz berbalik badan dan langsung melangkahkan kakinya. Dia tak mengetahui keberadaanku. Kami hampir saling bertabrakan, tetapi tidak jadi karena refleks dari mata yang saling berpandangan.
"Ningsih, kenapa di belakang gitu, sih?"
"Maaf, Pak. Anu ... Anneisha."
"Kenapa?"
"Di sini kan nggak pernah ada anak kecil, jadi nggak ada baju buat Anneisha, Pak."
Pak Fahroz menepuk kening seketika. Tanpa pikir panjang, dia mengeluarkan beberapa lembar uang merah dari dompetnya dan memberikannya padaku. Tak perlu diperintah, aku pun sudah mengerti untuk apa yang itu.

"Ini untuk–"
"Ya," potong Pak Fahroz yang langsung berlalu. Sepertinya dia memang sedang terburu buru.

Aku memesankan baju untuk Anneisha di tetangga sebelah. Selain lokasinya dekat, apa salahnya membantu usaha tetangga sendiri, kan?

Tak sampai setengah jam, beberapa baju pesananku tiba. Baju-baju itu masih harus kucuci agar bersih dari kuman di pabrik produksinya. Beruntung, Pak Fahroz punya mesin cuci keluaran Jepang yang bisa mengeringkan pakaian dalam sekejap. Anneisha tak perlu menunggu lama untuk membersihkan badannya.

Menyembunyikan Anneisha?

0 0

- Sarapan Kata
- KMO INDONESIA
- KMO BATCH 44
- Kelompok 6
- Day 9
- Jumlah Kata 422

Tak sampai setengah jam, beberapa baju pesananku tiba. Baju-baju itu masih harus kucuci agar bersih dari kuman di pabrik produksinya. Beruntung, Pak Fahroz punya mesin cuci keluaran Jepang yang bisa mengeringkan pakaian dalam sekejap. Anneisha tak perlu menunggu lama untuk membersihkan badannya.

"Ann, mandi sama Mama, ya." Aku membuka satu per satu kancing bajunya. Kuangkat kain itu ke atas sampai badannya terlucuti.

"Yuk, mandi."
"Iya, Bi."
Aku mengguyurkan satu per satu gayung berisi air hangat ke kepalanya. Kugosokkan sabun di sekujur badannya. Lantas, kubilas dengan air beserta usapan lembut. Oh, inikah rasanya memandikan seorang putri?

"Bi, sudah dingin."
"Sebentar, sebentar. Ini kakinya masih ada sabunnya. Harus digosok dulu," ujarku sembari menggosok sela-sela jari kaki Anneisha.

Setelah bersih, kusingkap anak itu dengan handuk. Kupakaikan baju yang sudah bersih dan wangi. Ku sisir rambutnya, lalu kupakaikan bandana. Kulihat dia di kaca, ini bukan seperti Anneisha yang tadi aku lihat. Dia benar benar berubah 180 derajat.

Aku mengajaknya ke dapur untuk makan di sana. Wajahnya masih murung, sepertinya teringat ibunya.

"Ann, makan, yuk. Aaa," ucapku.
"Nggak, Bi. Ann mau makan sama Mama."
"Mama–"
Ucapanku terpotong oleh Pak Fahroz yang tiba-tiba masuk ke dapur. Dia melihati kami agak keheranan. Apa yang salah dari kami?

"Ningsih, ikut saya sebentar."
Aku keluar membuntuti Pak Fahroz.
"Kenapa Anneisha masih manggil kamu 'Bibi'?"
"Pak, dia bukan orang besar yang bisa diajak kompromi. Dia mana paham, Pak. Saya udah coba buat dia manggil saya ibunya, tapi dia nggak paham, Pak."
"Aduh!" Pak Fahroz menepuk keningnya lagi. Dia berjalan panik, mondar mandir gelisah.

"Kenapa, Pak?"
"Sebentar lagi Mami mau ke sini, Sih. Kalau dia sampe tau, Anneisha manggil kamu 'Bibi', habislah saya. Mau dikemanakan statusnya?"
Aku hanya menunduk bingung. Kami memang tak pernah mengurus anak kecil, dan kami sama sama tak mengerti bagaimana tentang anak kecil. Kami kira, semua akan berjalan dengan baik atas rencana yang sudah dibuat.

"Kenapa Anneisha manggil kamu 'Bibi'? Kalo ketahuan Mami gimana, Sih?"
"Ma– maaf, Pak."

Aku ikut panik dan berpikir sejenak. "Berarti gimana, dong, ini, Pak?"
"Satu satunya jalan, ya sembunyiin Anneisha dari Mami. Jangan sampe Mami tahu!"
"Sembunyiin? Pak, Anneisha bukan permen yang bisa disembuyiin, Pak."

Lagi lagi, Pak Fahroz menepuk jidatnya. Kali ini lebih keras. "Itu urusan kamu, ya, Sih. Siapa suruh Anneisha nggak bisa manggil 'Mama' ke kamu. Pokoknya, saya tau beres aja. Besok jam dia belas Mami bakal sampe di bandara. Sekali lagi, itu urusan kamu. Sekarang, saya mau ke kantor dulu."

"Pak ...."
Tanpa menjawab panggilanku, Pak Fahroz langsung berlalu tanpa sebuah pamit. Hanya meninggalkan ucapannya yang panjang lebar itu.


Negosiasi

0 0

- Sarapan Kata
- KMO Indonesia
- KMO Batch 44
- Kelompok 6
- Pijar
- Day 10
- Jumlah Kata 487

Aku berlari kecil menghampiri Anneisha. Kulihat gadis malang tak berdosa sedang duduk manis sembari memainkan vas bunga. Anneisha menarik beberapa bunga lalu memutar dengan jari jari manisnya.

Dia lugu. Kini, pikirku melayang jauh. Harus kuapakan gadis lugu itu? Sedangkan besok aku harus mengamankan identitas gadis ini.

"Ann, main apa?" sapaku.
"Bunga."
"Bagus, ya?"
"Mama suka bunga."

Pikirku terkesiap sejenak. Aku mengelus rambut anak lugu itu. Rambutnya yang terurai lepas membuat beberapa jemariku terbalut dengan uraian rambutnya. Tidak mengilap, tapi masih tergolong rambut yang baik.

Aku beranjak melihat ke jendela. Mungkin inilah jawaban Tuhan yang diberikan melalui penglihatanku.
"Bu Anjar!"
Aku buru-buru turun ke bawah dan menghampiri Bu Anjar yang sedang memunguti sampah. Dia adalah tetangga lamaku yang kini jadi tukang pembersih sampah di kompleks ini.

"Assalamu'alaikum, Bu Anjar. Pagi-pagi udah rajin aja, Bu." Aku menyapanya setelah keluar dari pintu rumah gedongan milik Pak Fahroz.
"Katanya, kerja harus pagi biar rejeki nggak dipatuk ayam, Mbak."
Aku terkekeh sejenak. Namun, setelah aku kembali memusatkan niatku. Sedikit ragu, akankah Bu Anjar mau membantuku? Yang kutahu, Bj Anjar adalah orang yang penyabar. Dia tak pernah sekali pun menolak permintaan tolongku. Namun, jika minta tolong padanya di saat beliau juga bekerja, apakah tidak memberatkan baginya? Entahlah, tetapi aku ingin tetap mencoba mengutarakannya.

"Bu, boleh saya minta tolong?"
"Heem, tolong apa, Mbak?"
"Anu–" Ucapanku terpotong. Kata-kata yang sudah kusiapkan dalam hati, tiba-tiba menghilang dari benak. Aku lupa akan mengatakan apa pada Bu Anjar.

"Mbak?"
"Eh, eh. Iya, Bu. Anu, mau minta tolong."
Bu Anjar terkekeh geli. "Iya, tolong apa, Mbak?"

Aku jadi merasa aneh. Sepertinya aku banyak melamun dan membuatku kikuk.
"Iya, Bu. Anu, tolong jagain Anneisha sementara selama Maminya Pak Fahroz di sini, boleh, Bu?"
Harap harap cemas, aku meminta tolong pada Bu Anjar. Jantungku berdegup tak karuan dengan ritme yang kacau. Sepertinya, tidak salah jika Bu Anjar akan menolaknya. Permintaan tolongku ini sangat merepotkan. Siapa yang mau mengurus anak tanpa asal usul walau beberapa hari saja? Lagi pula, Bu Anjar harus bekerja setiap pagi sampai siang untuk memungut sampah di kompleks ini.

"Anneisha? Siapa itu, Mbak?"

Bagai tertembak oleh sebuah pertanyaan, aku bergeming sejenak. Aku tak mungkin membocorkan privasi Pak Fahroz, tetapi jika aki berbohong dengan skema yang berbeda dengan perjanjian bersama Pak Fahroz, takutnya berita itu akan sampai ke telinga Mami.

"I–itu keponakan Ningsih."
"Keponakan? Bukannya ibu bapakmu anak tunggal?"
Aku panik setelah ditembak pertanyaan kedua. Sepertinya aku memang tidak bisa berbohong dengan rencanaku sendiri. Yang paling masuk akal memang lah mengakui Anneisha sebagai anakku. Tak ada yang tahu kehidupanku sejak pindah kerja di rumah Pak Fahroz.

"Keponakan? Bu–bukan. Anak saya maksudnya. Aduh, salah ngomong." Aku pura pura bodoh.
"Ya ampun, Mbak Ningsih udah punya anak? Kok nggak bilang bilang?"
"Masa saya harus bilang, Bu?" Malu malu aku menjawabnya.

"Loh, sebelumnya Anneisha ke mana? Dan, kok nggak tinggal sama Mbak aja di rumah Pak Fahroz?"

Tentang Anak Kecil

0 0

- Sarapan Kata
- KMO Batch 44
- KMO Indonesia
- Kelompok 6
- Day 11
- Jumlah Kata 403

"Anneisha? Siapa itu, Mbak?"

Bagai tertembak oleh sebuah pertanyaan, aku bergeming sejenak. Aku tak mungkin membocorkan privasi Pak Fahroz, tetapi jika aki berbohong dengan skema yang berbeda dengan perjanjian bersama Pak Fahroz, takutnya berita itu akan sampai ke telinga Mami.

"I–itu keponakan Ningsih."
"Keponakan? Bukannya ibu bapakmu anak tunggal?"
Aku panik setelah ditembak pertanyaan kedua. Sepertinya aku memang tidak bisa berbohong dengan rencanaku sendiri. Yang paling masuk akal memang lah mengakui Anneisha sebagai anakku. Tak ada yang tahu kehidupanku sejak pindah kerja di rumah Pak Fahroz.

"Keponakan? Bu–bukan. Anak saya maksudnya. Aduh, salah ngomong." Aku pura pura bodoh.
"Ya ampun, Mbak Ningsih udah punya anak? Kok nggak bilang bilang?"
"Masa saya harus bilang, Bu?" Malu malu aku menjawabnya.

"Loh, sebelumnya Anneisha ke mana? Dan, kok nggak tinggal sama Mbak aja di rumah Pak Fahroz?"
Aduh, Bu Anjar ini memang baik, tapi kenapa dia jadi kepo begini?
"Em, i– iya. Saya mau izin dulu sama Pak Fahroz. Tapi Pak Fahroz belum izinin, Bu. Jadi, saya bisa nitip Anneisha sambil saya bujuk bujuk Pak Fahroz, Bu?"
"Oalah gitu to. Bisa, bisa. Pak Fahroz apa orangnya emang pelit gitu, ya? Wong orang sugih, kok pelit, to, yo!"

Aku tak ingin melanjutkan perghibahan Bu Anjar. Aku segera mengakhiri pembicaraan pagi ini.
"Nanti sore saya antar ke rumah Ibu nggih. Permisi, saya masuk dulu. Matur nuwun, lho, Bu." Setelah satu anggukan kepala sebagai tanda hormat, aku segera masuk ke rumah.

Lagi lagi, aku menghampiri Anneisha yang kali ini memainkan taplak meja. Jemarinya menggulung gulung kecil, lalu dilepaskan. Lagi, diulangi terus menerus.
"Ann," sapaku. Gadis itu tak menjawab hanya menatapku dengan binar matanya. Setelah memandang mataku, sebuah suara aneh lamat lamat terdengar. Ia segera mengalihkan tatapannya ke perut. Masih tak bicara dengan ucapan, dia hanya mengodeku dengan memegangi perutnya.

"Ann, mau makan apa?"
Gadis itu terus bergeming, tak sepatah kata pun menjawab. Dia hanya menggelengkan kepala. Apa artinya? Dia sebenarnya lapar atau tidak? Kenapa dia menggeleng?

"Ann, Mama nggak ngerti kamu maunya apa."
"Nggak suka makan."
"Loh, laper tapi nggak mau makan. Gimana maunya, Ann?"
"Nggak mau apa apa."

Mendengar ucapannya, aku tak terlalu risau. Namun, suara keroncongan itu menggema lagi.
"Ann, kamu laper, kan? Ya berarti harus makan."
Tanpa menunggu jawaban darinya, aku langsung ke dapur dan mengambilkan semangkuk nasi. Kutuangkan sayur sop lalu kububuhkan sate ayam. Kutaruh mangkuk itu di atas nampan, tak lupa juga dengan segelas air putih. Lantas, segera kubawa ke kamar Anneisha.

Mungkin saja kamu suka

Demia Laviona
May Be-lah Penulis
Muhamad Tamimi ...
Sisi Sunyi
Nur Afni El-Fai...
Jalan cerita kita
Yasmina Rosalin...
Jihadnya Jihan

Home

Baca Yuk

Tulis

Beli Yuk

Profil