CINTA ANANDITA
Sinopsis
Tags :
#romance #youngadult #friendship
Hubungan seorang ayah dengan putrinya istimewa karena bagi seorang anak perempuan, ayah adalah laki-laki pertama dalam hidupnya dan cinta pertamanya. Ayah adalah sosok super protektif. Dia akan melindungi putrinya agar bebas dari gangguan. Tidak ada cinta kasih yang melebihi kasih seorang ayah kepada anak perempuannya. Seorang ayah memastikan tidak ada seorang pun menyakiti hati putrinya karena menyakiti anak gadisnya sama dengan menyakitinya.
Seorang ayah mengajarkan hal-hal baru penuh petualangan kepada anak gadisnya. Dia ingin anak perempuannya tumbuh kuat dan menjadi pemberani. Dia ingin anak gadisnya bisa bangkit saat terpuruk dan bergerak maju. Dan bagi seorang ayah, sampai kapan pun, putri kecilnya tetap akan menjadi putri kecilnya, meskipun dia sudah beranjak dewasa bahkan menikah.
Sayangnya semua hal tersebut tidak berlaku bagi Dita. Saat mengingat ayahnya, dia hanya merasakan sakit. Seperti saat ini. Pedih pipinya tidak seberapa dibandingkan perih hatinya.
“Jaga mulut kamu, Dita!” seru Hadi menahan emosi.
Dita memegang pipinya yang terasa panas. Napasnya memburu. Dadanya turun naik. Emosinya memuncak. “Hanya karena dia Ayah nampar aku!” teriaknya. “Ayo tampar lagi!” Dia maju ke hadapan ayahnya. Dia sudah tidak takut lagi kepada laki-laki itu. Ini bukan kali pertama mereka bertengkar, tetapi bisa jadi yang paling besar.
Hadi menggenggam kuat kedua tangannya di sisi sampai terasa sakit. Dia menyesal sudah lepas kendali dan tidak mau mengulanginya lagi.
“Dita. Sudah, Sayang.” Lastri menengahi dengan lembut. Dia merangkul Dita, menjauh dari Hadi.
“Biarin, Bun,” sergah Dita. Dia menepis rangkulan bundanya. Dia ingin tahu sejauh mana ayahnya akan bertindak.
Hadi menarik napas berat, lalu berlalu dari sana.
“Ayah mau ke mana? Aku belum selesai!” teriak Dita sambil mengejar ayahnya.
“Dita. Sudah.” Lastri kembali memeluk anak perempuan satu-satunya dengan cemas. “Jangan cari gara-gara lagi. Nanti ayahmu tambah marah.”
“Bunda pikir cuma Ayah yang bisa marah? Aku juga bisa, Bun. Aku juga bisa.” Dita terisak.
Lastri mengeratkan pelukannya dan membiarkan anaknya menangis di bahunya.
*****
“Kamu tetap mau sekolah hari ini?” tanya Lastri. Semalam dia menemani anaknya sampai terlelap setelah lelah menangis.
Dita mengangguk. Daripada suntuk di rumah.
“Bunda anterin, ya?”
Dita menggeleng. “Sama Pak Mono aja.” Dia lebih memilih diantar sopir keluarga mereka.
“Ya udah, hati-hati di jalan.” Lastri mengantarkan anaknya ke mobil.
Dita masuk di kursi belakang mobil sedan. Saat mobil berjalan, dia menatap ke luar jendela. “Pak, saya nggak mau ke sekolah,” beri tahunya.
“Loh, tadi Ibu bilang saya mengantar Mbak Dita ke sekolah kayak biasa,” kata Mono heran.
“Saya lagi nggak mood, Pak. Malas. Habis berantem sama Ayah,” aku Dita jujur. Persoalan keluarganya sudah menjadi rahasia umum. Orang-orang yang bekerja untuk keluarganya tentu tahu. Berita semacam itu mudah sekali menyebar.
“Jadi mau ke mana?” tanya Mono.
Dita menarik napas. Dia juga tidak tahu. Kalau ke mal, jelas tidak mungkin. Memakai seragam putih abu-abu seperti ini satpam tidak akan membolehkannya masuk. “Jalan aja dulu, Pak.”
Mono mengendarai mobilnya ke arah pusat.
Dita memperhatikan gedung-gedung kantor yang tinggi. Mereka melewati Monumen Selamat Datang di tengah bundaran Hotel Indonesia. “Patungnya pegang apa ya?” tanyanya kepada dirinya sendiri karena penasaran.
“Patungnya pegang bunga, Mbak,” balas Mono.
“Bunga? Kok random banget pegang bunga,” kata Dita kepada laki-laki setengah baya yang sudah menjadi sopir mereka sejak dia masih kecil.
Mono tertawa. “Jadi patung tersebut menyambut orang-orang yang datang dari arah Monas, Mbak. Coba kalau Mbak Dita perhatikan, patung itu melambaikan tangan dan menghadap ke utara.”
Memang, sih, patung itu menghadap ke Monas. Namun, apa iya seperti itu?
“Presiden Soekarno membangun Monumen Selamat Datang dalam rangka menyongsong Asian Games IV yang akan diadakan di Jakarta. Para atlet menginap di Hotel Indonesia. Jadi monumen ini dibangun untuk menyambut tamu-tamu kenegaraan di Hotel Indonesia,” jelas Mono.
Dita manggut-manggut. “Patungnya terbuat dari apa, Pak?”
“Patungnya dari perunggu, Mbak. Tingginya kurang lebih 7 meter.”
“Kok Pak Mono tahu banyak?” tanya Dita heran.
Mono tertawa. “Waktu saya lebih banyak di jalanan, Mbak. Saya sering melihat patung, monumen, bangunan, dan tempat-tempat yang membuat saya penasaran. Karena saya suka sejarah, makanya saya mencari tahu.”
Dita mengangguk-angguk.
“Kayak Mal Sarinah ini.” Mono menunjuk ke bangunan bertingkat di kanan. “Ini pusat perbelanjaan modern pertama di Indonesia. Dibangun tahun 1962 atas usulan Presiden Soekarno juga,” ceritanya. “Sarinah sendiri diambil dari nama salah satu pengasuh Presiden Soekarno. Sosok Sarinah begitu istimewa dalam pandangan beliau sehingga beliau menyematkan nama perempuan yang sudah dianggapnya sebagai keluarga itu menjadi nama mal.”
“Wah, saya baru tahu, Pak.” Dita menjadi tertarik.
“Mbak Dita sudah pernah ke Museum Sejarah Jakarta?” tanya Mono.
“Belum, Pak.”
“Kalau begitu kita ke sana ya.”
Dita tidak membantah. Asalkan bukan ke sekolah.
*****
Dita menggoreskan pensilnya di buku sketsa. Sesekali dia menatap bangunan peninggalan kolonial Belanda di hadapannya. Pak Mono benar. Setiap tempat punya cerita, termasuk museum ini. Dia mencari tahu di internet dan kisahnya membuatnya takjub.
“Ternyata kamu di sini.”
Dita menoleh ke arah suara. Matanya melebar karena kaget. “Kak Arga, kok bisa di sini?” Dia segera menutup bukunya dan berdiri.
“Kan kamu bilang sedang di sini,” balas Arga.
“Iya, tetapi, ngapain ke sini?” Dita memang mengirim pesan ke Arga saat kakak kelasnya itu menanyakan keberadaan dirinya karena cowok itu tidak melihatnya di sekolah.
“Kamu sendiri ngapain di sini?” Arga bertanya balik.
“Kakak nggak sekolah?”
“Kamu sendiri, nggak sekolah?”
Dita menarik napas dan duduk.
“Aku boleh duduk,” tanya Arga hati-hati saat melihat raut Dita berubah redup.
“Duduk aja.”
“Kamu marah aku menyusul kamu ke sini?”
Dita menggeleng. Dia hanya kaget.
“Lagi bikin sketsa?” tanya Arga saat melihat buku di pangkuan Dita. “Boleh lihat?”
Dita menggeleng. “Belum selesai.”
“Lanjutin aja, aku tungguin.” Arga mengeluarkan buku Fisika dari ranselnya.
Dita menoleh. “Belajar?”
Arga mengangguk. “Ada tugas.”
Hati Dita tersentuh. Dia tidak tahu motif Kak Arga mendatanginya ke sini. Namun, kakak kelasnya itu sudah bela-belain ‘kabur’ dari sekolah demi menemaninya. Kak Arga juga tidak bertanya macam-macam. Hanya duduk di sampingnya dan mengurusi urusannya sendiri. “Makasih, Kak,” katanya lembut.
Arga menoleh dan tersenyum kecil. “Sama-sama.” Dia melanjutkan membaca.
Dita tersenyum simpul, lalu membuka bukunya untuk mensketsa. Baru dua bulan dia mengenal Kak Arga, tetapi kakak kelasnya itu mampu menggugah hatinya yang keras.
*****
“Jangan pernah lakukan itu lagi!” ancam Lastri kepada suaminya.
“Aku sudah minta maaf. Aku benar-benar khilaf,” elak Hadi. “Dita memancing emosiku. Aku tidak bisa membiarkan dia menghina ....”
“Jangan sebut namanya,” potong Lastri tidak suka. “Dan jangan menyalahkan Dita. Ini semua nggak akan terjadi seandainya kamu ....”
“Aku benar-benar menyesal,” potong Hadi. “Aku akan bicara dengan Dita.”
Lastri menarik napas. Tidak ada gunanya. Dita pasti tidak mau.
“Lastri, apa kamu nggak capek berpura-pura terus seperti ini?” tanya Hadi setelah beberapa lama. “Bukankah sudah saatnya Dita tahu apa yang sebenarnya terjadi?”
Lastri menatap suaminya gusar. “Dita tidak perlu tahu.”
Hadi menarik napas berat. “Aku tidak bisa terus-menerus seperti ini. Kalau kamu tidak mau menceritakannya, aku yang akan memberi tahu.”
Mata Lastri melebar. Dia tidak akan membiarkan Hadi melakukan itu.
*****








Saat perempuan seusianya mulai dirisaukan dengan pertanyaan kapan nikah, Dita justru sedang menikmati kehidupan single-nya. Dia punya pekerjaan yang dicintainya, apartemen yang nyaman, dua sahabat yang bisa diandalkan, dan Bunda yang selalu menyetok penuh kulkasnya.
“Sudah lama kamu nggak main ke sini,” kata sebuah suara berasal dari ponsel.
Dita membuka kulkas, mengambil kotak plastik berisi buah potong, lalu menuju kursi meja makan dan duduk. “Memangnya di rumah mau ada acara apa, Bun?” Dita melihat ke layar ponsel yang terletak di meja. Wajah bundanya tampak di sana.
Pagi ini bundanya melakukan video call sebelum Dita berangkat ke kantor. “Mau ada pengajian di rumah?” Dita menyuap sepotong pepaya.
“Nggak,” jawab Lastri. “Oya, nanti agak siangan Bunda mau ke sana, ya. Kamu siapin aja kalau ada laundry-an. Ada yang mau dititip nggak? Bunda sekalian mau belanja.”
“Yaaay!” seru Dita senang. “Nanti aku WA ya, Bun.”
Dita dan bundanya mengobrol sebentar sampai buah di kotak habis.
“Ingat salat, ingat makan, ingat istirahat,” nasihat Lastri sebelum mengakhiri percakapan.
“Iya, Bun.” Dita tersenyum simpul. Semenjak dia pindah ke apartemen ini lima tahun lalu, bundanya menasihati banyak hal kepadanya. Namun, paling sering tiga hal ini. Salat, makan, dan tidur.
“Pekerjaan tidak boleh mengalahkan salat, Dita,” kata Lastri satu waktu saat Dita berkutat dengan gambar desain, padahal dia belum salat Zuhur dan sebentar lagi Asar.
Pekerjaannya sebagai arsitek menyita waktu. Kadang Dita telat salat, lalai makan, dan kurang tidur. Dita bersyukur memiliki bunda yang selalu mengingatkannya. Dita kerap berpikir bagaimana hidupnya tanpa bundanya karena di usianya yang 27 tahun ini masih saja diurusi oleh bundanya.
Bukannya Dita tidak bisa mengurus dirinya sendiri. Dia bisa mencuci, beres-beres, menyetrika, dan memasak. Namun, terasa lebih menyenangkan bila bundanya menawarkan untuk membantu. Sebagai anak satu-satunya, bundanya memanjakannya.
Setelah menyudahi video call, Dita ke kamar dan mengambil tas kerjanya. Saat hendak keluar kamar, Dita mengecek sekali lagi kalau-kalau ada yang tertinggal. Ketika yakin tidak melupakan sesuatu, dia menutup pintu dan menuju meja makan.
Ketika mengambil ponsel, sebuah panggilan video masuk dari Dimas, rekan kerja sekaligus sahabatnya sejak kuliah.
“Kenapa?” tanya Dita tanpa basa-basi setelah menerima panggilan.
“Jiaaah. Salam dulu, Neng,” canda Dimas.
“Assalamu’alaikum,” sahut Dita. Dia memperhatikan sekeliling apartemennya yang rapi. Perabotannya tidak banyak, jadi tidak terlalu sulit membenahinya. Satu sofa cukup untuk tiga orang, coffe table, karpet, rak televisi, dan meja makan empat kursi.
“Apartemen lo cewek banget,” komentar Dimas saat pertama kali main ke apartemennya.
“Maksud lo?” Jelas-jelas kalau Dita adalah perempuan.
“Pink!”
“Dusty pink,” sergah Dita.
“Mirip-mirip, lah,” balas Dimas.
Perabotannya memang didominasi permainan warna gelap dan terang dusty pink. Padahal dulu dia tidak suka warna terlalu girly. Baginya pink dan teman-temannya terlalu girly. Sampai suatu hari ketidaksukaannya itu berubah. Sampai sekarang.
“Sudah mau berangkat?” tanya Dimas setelah membalas salam Dita
“Ini mau berangkat.” Dita mengecek pintu balkon, memastikan dia sudah menguncinya, lalu mematikan televisi yang sedang memutarkan lagu di playlist-nya.
“Lo masih di rumah?”
“Iya, baru bangun gue,” balas Dimas.
Dita memutar matanya. Jelas sekali Dimas sudah rapi dengan kemeja abu-abunya. “Ngapain telepon?” Dita mengambil flat shoes dari rak dan memakainya.
“Mau ngingetin kalau pagi ini ada rapat,” kata Dimas.
“Udah tahu.” Dita mencatat hal itu di agendanya.
“Kirain lupa,” kata Dimas sambil tertawa kecil.
“Udah, ya. Gue mau turun, nih,” kata Dita.
“Oke, drive safely.” Dimas melambaikan tangannya lalu mengucapkan salam
Dita membalas salam, lalu mematikan sambungan. Dia menatap cermin besar di hadapannya. Cermin itu sengaja dia taruh di dekat pintu masuk agar bisa mengecek penampilan sebelum berangkat kerja.
Blus plisket soft peach, celana panjang beige, dan kerudung gradasi senada. Sudah oke. Dita melirik Fossil di pergelangan tangannya. Pukul 07.30 WIB, dia masih punya banyak waktu sebelum sampai di kantornya.
*****
“Acceptance. Kayaknya gampang, tetapi nggak semua orang bisa menerima apa yang sudah Allah takdirkan kepada dirinya,” kata Tamara. “Padahal setiap takdir Allah itu baik. Cuma kadang kita aja yang belum bisa mengambil kebaikan di dalamnya.”
Dita tercenung saat mendengarkan podcast dari aplikasi music streaming berbayar di ponsel yang tersambung ke audio mobil. Satu tahun belakangan Dita hobi mendengarkan podcast saat berkendara. Banyak topik menarik yang bisa dia pilih. Salah satu akun podcast kesukaannya adalah Cerita Tamara atau lebih dikenal dengan Cetar.
Host podcast ini adalah Tamara Lewinsky, seorang artis dengan masa lalu kelam. Tamara memutuskan hijrah enam bulan lalu. Podcast ini menjadi tempat Tamara berbagi cerita tentang proses hijrahnya. Perempuan berhijab itu juga kerap diundang menjadi pembicara di berbagai kegiatan keislaman.
“Gue menerima masa lalu gue yang gelap, itu acceptance. Gue menerima hujatan dari netizen yang bilang hijrah gue cuma gimik, itu acceptance,” lanjut Tamara. “Dan lo tahu, nggak. Setelah gue menerima semua itu dengan hati lapang, batin gue jadi tenang. Asli. Benaran kayak nggak ada beban lagi hidup gue.”
Dita menarik napas. Acceptance. Kadang beberapa peristiwa yang dia alami tidak bisa dia terima karena menyebabkan luka dalam dan bekasnya tidak pernah hilang. Mungkin tidak semua harus dia terima. Tidak semua perlu dia maafkan.
“Mbak!”
Dita terlonjak dari duduknya dan menoleh ke pengendara motor yang barusan mengetuk-ngetuk kaca jendela mobilnya. Saat ini mobilnya tengah berhenti karena lampu lalu lintas menyala merah.
Pengendara motor membuka kaca helmnya. “Bannya kempes,” katanya.
Dita tidak bisa mendengar dengan jelas. Dia mematikan audio mobil dan membuka sedikit kaca jendelanya. “Kenapa, Mas?”
“Ban belakang kempes,” katanya lagi sambil menunjuk ke ban belakang mobil.
Dita tidak bisa melihat kondisi ban belakang mobilnya dari sini. Dia tidak langsung turun karena ingat pesan Dimas agar berhati-hati saat berkendara. Terutama terhadap orang-orang yang berniat tidak baik dengan modus-modus tertentu. “Oya, terima kasih, Mas.” Dita segera menutup kaca mobil.
Saat lampu hijau, Dita menjalankan mobilnya perlahan. Setelah dirasa-rasa, memang ada yang ganjil dengan ban belakang sebelah kanan. Akhirnya Dita mencari tempat yang aman untuk berhenti. Pilihannya ruko sebuah minimarket.
Saat memeriksa kondisi ban belakang, Dita mendesah pelan. Sial, bannya benar kempes. Dia memiliki ban ganti dan dongkrak di bagasi, tetapi belum pernah mengganti ban selama hidupnya.
Akhirnya Dita menghubungi Dimas.
“Assalamu’alaikum,” salam Dimas.
Dita membalas salam Dimas. “Ban gue kempes, nggak tahu kena apa.” Dia mengarahkan kamera depan ke ban mobil. “Bakalan telat rapat kayaknya.”
“Lo di mana?” tanya Dimas dengan wajah khawatir.
“Di minimarket. Udah dekat sebenarnya, tetapi masa mobil gue tinggal di sini?” keluh Dita.
“Ya udah, lo tunggu aja, gue ke sana,” balas Dimas.
“Nggak usah, gue telepon bengkel aja,” tolak Dita halus.
“Nggak perlu telepon bengkel. Tunggu, ya. Lima menit lagi gue sampai sana,” kata Dimas.
Dita tersenyum senang. “Okay.”
Setelah mengakhiri pembicaraan, Dita mengirim pesan WhatsApp ke atasannya, mengatakan kalau dia bakalan terlambat karena bannya bocor dan perlu menggantinya dulu.
*****
“Thanks, Mas,” ujar Dita penuh syukur ketika sahabatnya itu selesai mengganti ban mobilnya. “Eh, mau dibawa ke mana ban mobil gue?” tanyanya heran saat melihat Dimas membawa ban bocor ke mobilnya.
“Ya mau gue tambal, dong, masa gue jual.” Dimas memasukkan ban mobil ke bagasi.
“Ooo, okay.” Dimas selalu ringan tangan dan gerak cepat membantu saat Dita butuh pertolongan. Dulu Dita merasa sungkan menerima kebaikan Dimas. Namun, setelah mereka berteman selama hampir 10 tahun, Dita lebih santai. “Nanti uangnya gue ganti, ya.”
“Boleh, traktir maksi, ya.” Dimas menghampiri Dita.
“Soto Pak Muh, ya,” balas Dita.
Dimas merengut. “Jiaaah. Soto doang,” protesnya.
Dita tertawa kecil. Soto Pak Muh adalah soto ayam gerobak di depan kantor mereka. Enak dan murah. “Akhir bulan, nih.”
“Gue lagi pengin makan steak,” kata Dimas.
“Mending gue aja yang nambal bannya.” Dita pura-pura hendak mengambil kembali bannya.
“Eits, iya soto aja nggak apa-apa.” Dimas menarik tangan Dita saat perempuan itu melangkah ke mobilnya.
Dita tersenyum lebar. Dimas mudah sekali diperdaya. “Lagian entar malam, kan, Maya mau traktir sushi. Lo bisa makan sepuasnya.”
“Iya, iya ....” Dimas mendorong Dita ke mobilnya. “Udah masuk sana.”
“Sampai ketemu di kantor.” Dita masuk ke mobil. Setelah menyalakan mesin, dia membuka lebar kaca jendelanya. “Sebelum ke sini lo udah izin ke kantor, kan?”
“Udah,” jawab Dimas.
Dita tersenyum lebar. “Okay, thanks again, gue duluan, ya.” Dia melambaikan tangan.
“Hati-hati,” pesan Dimas.
Dita memberikan jempolnya dan berlalu.
Dimas menatap mobil Dita yang menjauh, lalu tersenyum kecil sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Mau sampai kapan lo begini, Dimas,” kata Dimas kepada dirinya sendiri. Dia menarik napas, lalu masuk ke mobil.
*****








Dita memasukkan mobilnya ke pekarangan rumah berwarna hijau pupus yang dikelilingi tembok bata setinggi dua meter. Bukan rumah, sih, sebenarnya. Ini adalah studio arsitek tempatnya bekerja. Kantor berbentuk rumah.
Setelah parkir, Dita meraih tas dan turun. Dia melangkahkan kaki ke selasar lantai kayu, menuju pintu masuk. Di kanan dan kirinya terdapat kolam ikan, serasa berjalan di atas jembatan mengapung.
Kantor ini terdiri atas dua lantai. Lantai bawah merupakan area publik. Biasa digunakan untuk menerima tamu dan klien. Pada sayap kiri terdapat paviliun, difungsikan sebagai musala, pantry dan toilet. Lantai atas adalah area kantor.
Desain bangunannya unik. Industrialis minimalis dengan banyak kaca besar sehingga cahaya alami memiliki akses tidak terbatas. Ruangan tempat Dita dan teman-temannya bekerja berbentuk persegi panjang dengan komputer menghadap ke dinding.
Awalnya Dita berpikir akan asyik bila memiliki pemandangan di hadapannya saat bekerja. Sesekali bisa menyegarkan mata lelah karena terlalu lama berinteraksi dengan layar komputer. Namun, menurut Pak Bagas, bosnya, lebih efektif bekerja ketika tidak ada distraksi berupa pemandangan.
Alasannya bisa diterima, sih. Lagi pula kalau butuh penyegaran, Dita dan teman-teman lain bisa mengopi atau mengeteh di pantry sambil mengobrol atau melihat-lihat ikan koi di kolam.
“Pagi, Mbak Dita,” sapa Nisa ramah saat Dita masuk.
“Pagi, Mbak Nisa.” Dita membalas sapaan Nisa, staf front office.
Setelah absen, Dita menuju lantai dua dan langsung ke ruang rapat. Melalui dinding kaca, dia melihat kalau tidak ada siapa-siapa di sana, sepertinya sudah selesai.
“Dita!”
Dita menoleh dan melihat Pak Bagas, berdiri di depan ruangannya. “Iya, Pak.” Dia menghampiri Pak Bagas.
“Sudah beres semuanya?” tanya Bagas dengan alis terangkat.
Dita berpikir sebentar dengan dahi sedikit berkerut, mengingat-ingat apakah ada desain yang harus dia berikan pagi ini. Rasanya tidak ada. Apakah yang dimaksud proyek perumahan di Tangerang? Namun, desain tersebut untuk besok, bukan hari ini.
“Mobil kamu,” tambah Bagas.
Dita bernapas lega. “Ooo, itu ... sudah, Pak. Alhamdulillah.”
“Good.” Bagas tersenyum tipis, berbalik sekejap, lalu menoleh ke Dita. “Dimas sudah kembali?”
“Eh, Dimas ....” Dita menoleh ke belakangnya. Iya, Dimas mana, ya? Dia tidak terlalu memperhatikan. Seharusnya Dimas sudah sampai. “Coba nanti saya hubungi, Pak.”
“Oke, kalau Dimas kembali, suruh temui saya,” kata Bagas.
“Baik, Pak.” Dita kemudian menuju ruangan tempatnya dan enam orang rekannya bekerja.
“Baru datang,” kata Hadi saat Dita duduk.
“Iya, ban mobil gue bocor tadi di jalan.” Dita menyalakan komputernya, lalu mengambil ponsel di tas untuk menelepon Dimas.
“Terus?” tanya Hadi lagi.
“Udah beres,” balas Dita. “Tadi Dimas bantuin gue.”
“Ooo ....” Hadi kembali ke pekerjaannya dan tidak berkomentar lagi.
Dita menelepon Dimas. “Halo, lo di mana?”
“Wa’alaikumussalam,” sahut Dimas di ujung sana.
Mau tidak mau Dita mengucapkan salam yang ketinggalan. “Dicariin Pak Bagas, tuh.”
“Iya, bentar lagi nyampe. Gue mampir ke bengkel tadi buat nambal ban,” kata Dimas.
Dita tertegun. “Ngapain ke bengkel sekarang? Kan bisa nanti,” katanya.
“Mumpung lewat jadi sekalian,” balas Dimas.
Dita menarik napas. Antara geregetan dan senang. “Ya udah, cepatan.” Dia mematikan sambungan. Dia termenung sebentar, lalu tersenyum simpul. Dita beruntung memiliki Dimas sebagai sahabat. Apa yang dilakukannya bila Dimas tidak ada?
*****
“Selamat untuk pekerjaan baru. Selamat untuk gaji baru,” kata Dimas saat mengangkat gelas berisi jus jeruk. Gesturnya diikuti oleh Dita dan Maya. Denting gelas menambah semarak suasana.
“Congrats, May.” Dita merangkul Maya, lalu mencium keduanya pipi sahabatnya itu.
“Thanks.” Maya tersenyum lebar.
“Selamat, May.” Dimas sudah hendak merangkul Maya, tetapi tangan perempuan berhijab itu menahan bahunya dan mendorongnya sedikit.
“Nyari kesempatan, lo,” sergah Maya.
“Pilih kasih, lo,” protes Dimas.
Dita geleng-geleng kepala melihat kelakuan kedua sahabatnya. Dimas bukan sahabat Dita satu-satunya. Dita, Dimas, dan Maya sudah lama berteman. Mereka satu angkatan saat kuliah di Arsitek. Hari ini, sepulang kantor, mereka merayakan pekerjaan baru Maya di sebuah restoran Jepang.
“Jadi sekarang lo di perusahaan kontraktor?” tanya Dimas.
Maya mengangguk. “Sekarang lagi ngerjain apartemen.”
“Wah, keren!” seru Dita.
“Teman kerja gimana, asyik-asyik nggak?” tanya Dimas.
“Alhamdulillah, so far so good. Apalagi bos gue ganteng, jadi lumayan buat refreshing mata pas lagi mumet,” kata Maya sambil senyum-senyum.
Dimas memukul kening Maya pelan dengan sendok. “Fokus kerja, May. Inget cita-cita lo pengin beli rumah yang ada kolam renangnya. Lagian bos lo emang masih single? Kalo udah jadi bos biasanya udah married.”
Maya merengut sambil mengusap pelan keningnya. “Bos gue masih single, kali,” sergahnya.
“Ganteng dan single, pasti banyak penggemarnya, dong.” Dita ikut berkomentar.
“Ya ... gantengnya belum selevel sama artis sinteron atau selebgram, tetapi enak dilihat,” kata Maya. “Mana baik lagi orangnya.”
Dimas berdecak. “Cewek gampang banget luluh, sih, sama cowok baik. Biasanya cowok baik itu ada maunya.”
“Berarti lo ada maunya, dong!” seru Dita dan Maya bersamaan. Mereka beradu pandang, lalu tertawa.
“Sialan. Ya, udah, mulai sekarang gue nggak bakal mau bantuin lo berdua lagi,” gerutu Dimas.
“Canda, Mas, canda ....” Dita menepuk-nepuk bahu Dimas. Dia yakin selama ini laki-laki itu tulus dalam memberikan bantuan.
“Jangan ngambek, Dim. Lo boleh nambah sashimi sesuka hati, lo,” bujuk Maya. “Gue yang traktir.”
“Benaran, ya,” balas Dimas.
Dita tertawa kecil. Dimas mudah sekali dibujuk.
Tidak lama pesanan makanan datang. Mereka makan sambil mengobrol. Dimas menceritakan insiden ban mobil Dita tadi pagi. Maya menceritakan kosan barunya di dekat lokasi proyeknya sekarang.
Dita menatap kedua sahabatnya bergantian dengan suka cita. Kalau diingat-ingat lucu juga. Siapa yang menyangka ketika kuliah mereka sama sekali tidak akur.
Saat kuliah, Maya adalah sosok penyendiri dan jutek. Setidaknya itu yang ditangkap oleh Dita. Setiap berpapasan dengan Dita, Maya selalu membuang muka. Pernah mereka satu kelompok saat OSPEK dan sedang berdiskusi tentang peran arsitektur dalam membangun peradaban, Maya selalu berseberangan pendapat dengannya. Dita sampai mengira Maya punya persoalan pribadi dengannya.
Dita memang tidak suka bersosialisasi, rutinitasnya rumah-kampus-rumah, tetapi dia tidak pernah menyakiti hati orang lain. Makanya dia heran kenapa Maya sampai bersikap seperti itu kepadanya. Kalau tidak ada Dimas di antara mereka, bisa jadi mereka tidak akan menjadi sahabat seperti sekarang ini.
Karakter Dimas masa sekarang dengan masa kuliah tidak jauh berbeda. Dimas adalah sosok periang. Semua teman satu angkatan menyukai pribadi Dimas yang hangat dan ringan tangan.
Pada satu kesempatan mereka satu kelompok tatkala membuat maket. Dimas menjadi penengah saat Dita dan Maya sibuk berdebat dan tidak ada yang mau mengalah. Lama-kelamaan Dimas menjadi kesal.
“Udah terserah lo berdua, deh. Capek gue lama-lama dengerin lo berantem. Gue ngerjain sendiri aja.” Setelahnya Dimas keluar dari lab, meninggalkan Dita dan Maya yang terperangah.
Dimas tidak pernah marah sebelumnya. Hal itu membuat Dita dan Maya kaget. Setelahnya mereka saling pandang dengan wajah bingung.
“Gimana, nih?” Dita membuka pembicaraan.
Maya mengangkat bahunya. Mereka terdiam selama beberapa lama dan tidak melakukan apa-apa. Keesokannya baru Dita dan Maya menemui Dimas, mengatakan kalau mereka masih mau mengerjakan tugas bersama Dimas.
“Tetapi gue nggak mau dengar lo berdua bertengkar lagi cuma gara-gara milih warna dinding.” Dimas memberikan syarat.
Dita dan Maya sepakat. Dari sana pertemanan antara mereka mulai terbentuk. Butuh waktu cukup lama bagi Dita untuk bisa akrab karena dia lebih suka sendiri dan tidak bergantung kepada orang lain.
“Habis ini ke toko buku bentar, ya. Ada yang pengin gue beli.” Kalimat Dimas barusan menyeret Dita kembali dari lamunan.
“Gue juga mau beli buku,” kata Maya.
“Buku apa komik?” seloroh Dita. Dia tahu sahabatnya itu mengoleksi komik sejak dulu. Terutama komik Jepang.
Maya cengengesan. “Komik terbarunya udah keluar.”
Dita tahu betul komik kesukaan sahabatnya itu. Ceritanya tentang perjuangan seorang anak perempuan yang kehilangan orang tuanya sejak kecil. Sekarang anak perempuan yang menjadi tokoh utama cerita itu sudah besar dan tengah memperjuangkan cita-citanya memiliki restoran.
“Nyokap gimana kabarnya? Kapan, nih, kita berdua diajak ke sana dan ketemu sama nyokap lo,” kata Dimas.
“Entar, deh, kapan-kapan,” balas Maya datar. “Lagian jauh.”
“Aceh, nggak jauh-jauh amat, kali,” kata Dimas. “Masih di Indonesia.”
Maya tersenyum sedikit, tetapi tidak mengomentari lebih jauh.
*****
Lastri: Tadi Bunda beliin buah sama sayur, udah Bunda taruh di kulkas. Terus Bunda masakin saus spageti, daging yakiniku, sama ayam kemangi. Nanti tinggal dihangatkan saja pas mau makan.
Lastri: Bunda kemarin beli sepatu sandal, tetapi pas dipakai kayaknya nggak cocok. Kamu mau? Tadi Bunda taruh kotaknya di rak sepatu.
Dita membaca pesan WhatsApp dari bundanya, lalu membalas singkat.
“Nggak beli apa-apa?” tanya Dimas saat menghampiri Dita.
Dita menggeleng. Dia hanya melihat-lihat stasionery saja. “Maya mana?” Dia memperhatikan sekeliling.
“Maya lagi bayar di kasir,” beri tahu Dimas.
“Oh, udah, ya?” Dita mengikuti Dimas menuju kasir, lalu mendekati Maya yang sudah selesai membayar. “Borong?”
Maya tersenyum lebar sambil menunjukkan kantong belanjaannya.
“Gue bayar dulu, ya,” kata Dimas ke Dita.
“Oke,” balas Dita. Dia dan Maya menunggu tidak jauh dari sana.
“Dit,” panggil Maya.
Dita menoleh. “Kenapa?”
Maya berdeham. “Kalau diperhatiin ... Dimas ganteng juga, ya.” Maya memberikan gestur dengan dagunya ke arah Dimas.
Dita menatap Dimas sekilas, lalu tertawa kecil. “Lo ngomong apaan, sih, May. Jangan sampai Dimas dengar, bisa GR dia nanti.” Dia kembali melihat ke arah Dimas. Cowok itu tengah membayar belanjaannya. Tiba-tiba Dimas menoleh dan pandangan mereka beradu. Dimas tersenyum lebar, memperlihatkan kedua dekik di pipinya.
Maya benar. Ketampanan Dimas memang di atas rata-rata. Dita tidak terlalu mengacuhkan karena menganggap Dimas adalah sahabatnya. Tidak lebih.
“Kenapa lihat-lihat gue, naksir?” sergah Dimas ketika menghampiri Dita.
Dita memutar bola matanya. “Balik, yuk, udah malam. Besok kerja, kerja, kerja.” Dia berjalan mendahului Maya dan Dimas.
*****
“Jadi lo belum bilang ke Dita?” tanya Maya ke Dimas. Mereka tengah menunggu Dita yang sedang ke toilet.
Dimas menggeleng. “Gue takut dia nolak dan persahabatan kita jadi rusak.”
Maya menarik napas. “Itu namanya risiko. Lagian, belum tentu dia nolak, kan?”
Dimas mengangkat bahu sedikit. “Kayaknya dia cuma menganggap gue sahabat, deh.”
Maya melirik Dimas sekilas. Sudah lama dia mengetahui kalau Dimas menyukai Dita. Mungkin sejak zaman kuliah. Dimas memang baik kepada semua orang, tetapi perhatian laki-laki itu terhadap Dita berbeda. Maya bisa merasakannya. Sayangnya Dita tidak peka.
Beberapa bulan lalu, Maya berhasil membuat Dimas mengakui kalau laki-laki itu menyukai Dita lebih dari sahabat. Maya senang-senang saja karena menurutnya Dita dan Dimas cocok. Chemistry antara keduanya tampak jelas.
“Mungkin lebih baik seperti ini dulu,” lanjut Dimas. “Gue cuma mau bikin dia bahagia.”
“Kalau Dita naksir cowok lain gimana?” tantang Maya.
Dimas termenung sesaat. “Bukannya Dita nggak pernah naksir cowok mana pun, ya?”
“Iya juga, sih.” Seingat Maya, sahabatnya itu tidak pernah pacaran. Tidak juga curhat tentang laki-laki yang sedang disukainya. “Apa jangan-jangan Dita nggak suka cowok, ya?”
“Maksud, lo?” sergah Dimas.
Maya tertawa kecil. “Canda, Dim, canda. Nggak bisa diajak guyon, lo”
“Dasar, lo. Gue lagi serius,” protes Dimas.
“Asal jangan menyesal kemudian, Dim,” kata Maya. “Siapa tahu tiba-tiba ada pangeran yang datang untuk mengambil Dita dari lo.”
Dimas membelalakkan matanya ke Maya. “Lo ada di pihak siapa sebenarnya?”
“Seperti yang lo bilang, lo cuma pengin lihat Dita bahagia, kan?” Maya menoleh ke arah toilet. Dita sudah keluar. “Yuk pulang, Dita udah selesai, tuh.” Dia beranjak menghampiri sahabatnya itu.
Dimas menatap ke arah Dita. Bagaimana kalau apa yang dikatakan Maya benaran terjadi. Bagaimana bila suatu saat nanti Dita bertemu dengan laki-laki yang disukainya? Lalu ... bagaimana dengannya?
*****
Dita duduk dan menyandarkan tubuh lelahnya di sofa. Dia menarik napas dalam dengan mata terpejam. Beberapa lama dia dalam posisi seperti itu sebelum akhirnya duduk tegak.
Setelah ini dia berencana untuk mandi, salat, lalu tidur. Namun, tubuhnya malas bangun. Malahan kembali menyandarkan kepala ke sandaran sofa. Matanya menatap jam dinding. Sebentar lagi pukul sebelas.
Sepi.
Dulu sepi adalah teman setianya. Bahkan saat berada di keramaian, dia merasa sendiri. Dia selalu menarik diri dari pertemanan. Sampai teman-temannya merasa tidak perlu memedulikannya lagi.
Pelariannya adalah membuat sketsa. Dia bersyukur sketsa membuatnya tetap waras. Kalau tidak ... dia ngeri membayangkan kemungkinan yang bisa terjadi. Dia merasa tidak berharga dan keberadaannya di dunia ini tidak membawa pengaruh apa-apa. Bahkan orang tuanya mengabaikannya.
Sepinya mulai gaduh saat Dimas dan Maya hadir dan menjadi sahabatnya.
“Pokoknya kalau lo nggak ikut, kita nggak jadi pergi,” ultimatum Dimas saat mereka berencana nonton bersama dan Dita mengatakan tidak bisa ikut karena sedang malas pergi.
“Kita tungguin di food court. Gue sama Dimas nggak bakalan pulang sebelum lo datang,” kata Maya lain waktu saat Dita beralasan tidak jadi ikut berkumpul karena hujan dan jalanan macet.
Dimas dan Maya membuatnya merasa ada. Kehadirannya menjadi penting. Sesuatu yang tidak pernah Dita alami sebelumnya. Dia menyukai perasaan itu. Perasaan tidak sendiri lagi. Perlahan sepinya menjadi riuh.
Banyak hal yang berubah semenjak Dita menerima persahabatan tulus dari Dimas dan Maya. Salah satunya dia belajar menerima kehadiran orang lain dalam hidupnya. Namun, satu hal yang tidak berubah adalah, dia tidak mau bergantung kepada orang lain.
Pengalaman mengajarkannya bahwa dia hanya bisa bergantung kepada dirinya sendiri. Dia tidak mau menggantungkan harapan kepada orang lain karena akan berujung kecewa pada akhirnya. Dan dia sudah membuktikannya. Berkali-kali.
Dita menjengit sedikit saat sebuah notifikasi pesan masuk ke ponselnya. Dia membukanya. Dari Dimas.
Dimas: Udah di apartemen?
Dita: Udah.
Dimas: Oke, good night.
Dita: Nite.
Dita tersenyum lebar, lalu menarik napas. Kadang-kadang perhatian Dimas melebihi bundanya. Dia merasa senang sekaligus takut. Dia teringat ketika Maya menggodanya saat di toko buku tadi. Bukan pertama kali sahabatnya itu mengusilinya.
“Dimas tahu banget lo luar dalam, ya,” goda Maya saat mereka sedang pusing mengerjakan tugas kuliah di rumah Dimas dan memutuskan bermain kuis menebak seberapa tahu kamu. Dimas menebak benar semua tentang Dita. Warna kesukaannya, makanan kesukaannya, hal yang dia tidak suka, tempat liburan favoritnya, sampai hobinya.
“Kita, kan, sering bareng. Udah pasti tahu, lah,” elak Dita saat itu. Ternyata dia salah. Maya tidak tahu semua hal tentang dirinya dan dia juga tidak tahu semua hal tentang Dimas. “Dimas itu pemerhati yang cermat.” Dita memberikan alasan lain yang masuk akal.
Dita tahu dia sedang membohongi dirinya sendiri. Perhatian Dimas kepada dirinya terlalu kentara. Bahkan sampai sekarang atensi itu tidak pernah berkurang. Dia tahu, meskipun Dimas tidak pernah secara terang-terangan mengatakan kepadanya.
Satu hal yang Dita syukuri adalah Dimas tidak pernah mengungkapkan apa-apa kepadanya. Dia lebih menyukai mereka yang sekarang. Dia bisa dekat dengan Dimas tanpa pretensi apa pun. Just best friends.
Lagi pula, Dita tidak berencana untuk menjalin hubungan spesial dengan siapa pun. Setidaknya tidak dalam waktu dekat. Dia sedang menikmati kebebasannya. Sementara kehidupan cintanya bisa menunggu. Mungkin tiga atau lima tahun lagi. Atau, siapa yang tahu kapan?
*****



Berprofesi sebagai Arsitek membuat Dita terbiasa membuat perencanaan secara matang dalam setiap desain yang dikerjakan, termasuk desain hidupnya. Target menjadi arsitek junior yang dibuatnya saat mulai bekerja di biro ini sudah tercapai. Dia juga mulai menabung untuk rumah impiannya. Semua terencana dengan baik. Bukan hanya target belaka, tetapi juga usaha yang perlu dilakukan untuk mendapatkan impiannya. Namun, kadang-kadang sesuatu berjalan di luar rencana.
“Dita!”
Dita menoleh ketika namanya dipanggil. Pak Kevin, arsitek senior sekaligus kolega Pak Bagas di kantornya, berdiri kira-kira dua meter dari kursinya.
“Habis Zuhur, ya,” Kevin mengingatkan.
“Iya, Pak.” Dita mengangguk dan tersenyum.
“Kenapa?” tanya Dimas yang duduk di samping Dita setelah Pak Kevin berlalu.
“Pak Kevin minta gue gantiin Hadi untuk ketemu klien. Hadi nggak masuk hari ini, katanya sakit,” jelas Dita.
“Ooo, ketemuan di mana?” Dimas mengembalikan pandangan ke layar komputer.
“Murigume.” Dita menyebutkan salah satu restoran Jepang yang terkenal dengan masakan udonnyo.
“Wah, makan enak, dong,” seloroh Dimas sambil melirik Dita.
Dita tertawa pelan. “Rezeki gue.”
“Proyek apa?” tanya Dimas lagi.
“Katanya rumah tinggal, Pak Kevin belum ngasih rinciannya ke gue,” kata Dita. Dia sedang menunggu surel dari bosnya itu. “Renovasi kantor yang lo pegang udah kelar?”
“Desainnya udah, tinggal presentasi ke bos, entar,” jelas Dimas.
Tidak lama azan Zuhur berkumandang.
Dita mematikan komputer dan merapikan mejanya. “Gue salat duluan, ya.” Dia beranjak berdiri dan menenteng tasnya.
“Oleh-oleh!” seru Dimas dari kursinya.
Dita menoleh sekilas sembari memberikan jempolnya. Dia turun untuk salat di musala.
Musalanya cukup luas, bisa memuat enam orang. Lantainya terbuat dari parket kayu dan dinding berupa kisi-kisi kayu sehingga angin berembus masuk melalui celahnya. Satu hal yang dia suka dari musala ini adalah tempat wudu laki-laki dan perempuan terpisah.
Selesai salat Dita menunggu bosnya di lobi. Dia mengecek ponselnya. Belum ada surel masuk dari Pak Kevin.
“Sudah siap, Dit?” tanya Kevin sembari menghampiri Dita di lobi.
Dita mendongak. “Sudah, Pak.” Dia mencangklong tas kerjanya.
“Oke, pakai mobil saya saja, ya.” Kevin melangkahkan kaki ke pintu kaca.
“Baik, Pak.” Dita mengikuti bosnya.
*****
“Kliennya mau bikin apa, Pak?” tanya Dita saat mobil Pak Kevin melaju di jalan raya.
“Waduh, saya belum kirim e-mail-nya ke kamu, ya?” tanya Kevin.
“Belum, Pak.”
“Rencana mau bikin rumah tinggal. Dia kepingin desain rumah Betawi,” jelas Kevin.
Dita mengangguk-angguk mendengar penjelasan dari seniornya. Dia masih ingat pertama kalinya Pak Kevin mengajaknya bertemu dengan klien. Dag-dig-dug dan keringat dingin. Tangannya gemetar saat berjabat tangan dengan kliennya.
“Pekerjaan arsitek itu 40% teknis, selebihnya adalah komunikasi.” Dita teringat ucapan Pak Bagas. “Komunikasi itu adalah seni. Kita harus bisa membedakan cara berkomunikasi klien yang satu dengan lainnya karena karakter setiap orang berbeda.”
Bukan pekerjaan mudah berkomunikasi dengan klien. Kadang Dita bertemu dengan klien yang mudah, tetapi lebih sering bertemu dengan klien yang sulit, tidak tahu apa maunya, dan plin plan.
“Mbak Dita, istri saya kurang suka desainnya, masih bisa diganti, kan? Bikin American style, Mbak. Jangan modern minimalis,” kata klien. “Besok desainnya sudah ada bisa, kan, Mbak?”
Dita hanya bisa mengelus dada. Padahal desain sebelumnya sudah disepakati, kenapa berubah last minute, sih? Dan membuat desain yang sama sekali baru itu tidak semudah Bandung Bondowoso membuat 1000 candi untuk Roro Jonggrang. Dia tidak sesakti itu.
“Kok jadinya begini, Mbak Dita. Ruang keluarganya kok kecil?” protes klien.
Padahal hasil jadi sudah sesuai desain. Dita sudah memberi tahu kalau menginginkan kamar utama lebih luas maka terpaksa mengorbankan ruang keluarga menjadi lebih kecil. Kliennya bilang tidak apa-apa karena istrinya menginginkan walking closet yang luas.
Belum lagi ketemu klien yang sok paling tahu tentang arsitek—padahal mengerti juga tidak, mengeluhkan fee arsitek yang mahal, banyak maunya padahal budget mereka minim, dan tukang gonta-ganti desain.
“Saya bingung bagusnya temanya apa, ya, Mbak. Udah beberapa kali coba tema berbeda, kayaknya masih belum cocok,” kata klien.
Jiaaah. Bapak saja bingung, apa lagi saya.
Kalau menghadapi situasi pelik, Dita selalu ingat pesan Pak Bagas, “Pekerjaan kita adalah menolong orang agar mereka memiliki hunian fungsional juga nyaman. Insya Allah, hunian yang nyaman akan membawa pengaruh positif kepada keluaraga yang tinggal di dalamnya. Dan kita kebagian pahala karena sudah menyenangkan hati orang lain.”
Bosnya itu memang luar biasa. Selalu menemukan sisi positif dari segala sesuatu. Setelahnya Dita belajar dari seniornya bagaimana berkomunikasi dengan klien. Dia juga membaca buku-buku kominukasi dan mempraktikkannya. Hasilnya cukup bagus. Dia tidak hanya belajar bagaimana teknik berbicara, tetapi juga mempelajari karakter-karakter orang.
Tiga puluh menit kemudian mobil masuk ke parkiran restoran. Dita turun dan mengikuti Pak Kevin menuju pintu masuk.
“Makan dulu, Dit,” ujar Kevin ketika mereka di dalam.
“Nggak nunggu kliennya, Pak?”
“Janjiannya masih tiga puluh menit lagi,” jelas Kevin.
Setelah memesan makanan di konter, mereka memilih tempat duduk di sudut supaya leluasa untuk mengobrol. Selesai makan, Dita izin sebentar ke toilet. Ketika kembali, dia melihat seorang laki-laki duduk di kursinya. Pasti itu kliennya, batin Dita. Dia tidak bisa melihat wajah laki-laki itu karena posisinya membelakangi Dita. Dia merapikan kerudung dan melangkah ke meja.
“Nah, ini Dita,” Kevin memperkenalkan arsitek juniornya.
Laki-laki itu berdiri dan berbalik menghadap Dita.
Dita sudah mempersiapkan senyum terbaik untuk menyambut kliennya itu.
“Selamat siang, Bu Dita.”
Mata Dita melebar melihat sosok di hadapannya. Tubuhnya terasa kaku dan jantungnya terasa lepas dari tempatnya. Pikirannya membeku selama beberapa lama. Bagaimana bisa laki-laki itu berada di sini? Sejak kapan dia di Jakarta?
“Dita,” tegur Kevin saat melihat Dita bergeming.
“Eh, iya, Pak.” Pandangan Dita beralih ke Pak Kevin.
Kevin memberi isyarat dengan mata. Memberitahu Dita kalau laki-laki yang sekarang berdiri di hadapannya sedang mengulurkan tangan.
Dita menatap nanar tangan yang terulur, lalu kembali ke wajah laki-laki itu. Sedikit gemetar dia menyambut uluran tangan tersebut, lalu melepasnya dengan cepat.
Dita memutuskan duduk di samping Pak Kevin. Untunglah bosnya itu sudah mengevakuasi tasnya.
“Sudah makan, Pak?” tawar Kevin.
“Alhamdulillah, sudah,” jawab laki-laki itu.
Pak Kevin basa-basi sebentar, menanyakan kabar laki-laki itu.
“Baik, bisa kita mulai saja?” tanya Kevin.
“Tentu.”
Dita berusaha mengumpulkan konsentrasinya dan menampilkan poker face. Dia mendengarkan dengan saksama, sesekali memberikan pendapat. Tangannya sibuk mencari-cari contoh desain di iPad dan mencatat hal penting. Satu jam mereka berdiskusi. Satu jam terlama dalam hidupnya.
“Ini kontrak kerja sama seperti yang sudah saya e-mail ke Pak Arga sebelumnya. Silakan dibaca dulu, Pak.” Kevin mengulurkan surat perjanjian kepada Arga.
Arga menerima dan membacanya dengan teliti. Tidak lama dia membubuhkan tanda tangannya dan memberikan kontrak tersebut kepada Pak Kevin.
Gantian Kevin membubuhkan tanda tangannya. “Minggu depan kita ketemu lagi, Pak Arga,” katanya. “Contoh desain akan kami kirim secepatnya melalui e-mail.”
“Baik, insya Allah nanti saya berkabar lagi,” kata Arga.
“Pak Arga sudah punya nomor saya dan Dita, kan?” Kevin memastikan.
Arga tersenyum. “Sudah, Pak.”
Ponsel Kevin berbunyi, dia kepingin mengangkat karena yang menelepon adalah klien penting. Namun, ragu karena menurutnya tidak sopan.
“Silakan diterima saja, Pak. Tidak apa-apa. Saya tidak buru-buru, kok,” kata Arga.
Dita menjadi cemas. Dia tidak mau berdua saja dengan Arga di sini.
“Maaf, saya permisi sebentar, Pak.” Kevin beranjak berdiri dan mencari tempat yang lebih sepi.
Tubuh Dita menegang. Hal yang ditakutkannya terjadi. Dia pura-pura sibuk dengan ponselnya, berharap laki-laki itu tidak mengajaknya mengobrol.
“Rasanya sudah lama sekali, ya.” Arga membuka pembicaraan.
Gerakan tangan Dita terhenti. Dia mengabaikan Arga. Sebenarnya tidak sopan karena dia sedang bekerja, tetapi mengingat apa yang laki-laki itu lakukan kepadanya ....
“Kamu kelihatan sehat,” tambah Arga.
Dita masih tidak acuh.
“Sepertinya cita-cita kamu sudah terwujud sekarang,” kata Arga lagi.
Dita menatap Arga dan hendak membuka membuka mulut, tetapi ditahannya.
“A-aku minta maaf,” kata Arga dengan wajah menyesal.
Dita merasa sesak. Kalau saja sedang berada di kamarnya saat ini, pasti air matanya sudah mengalir. Dia menarik napas dalam. “Senang bertemu dengan Pak Arga,” jawabnya seformal mungkin. Dia mengembalikan pandangan ke ponselnya. Dia takut pertahanannya runtuh bila melihat laki-laki itu terlalu lama.
“Dita,” panggil Arga. “Bisa kita bicara sebentar?”
Dita bersyukur Pak Kevin kembali. Dia tidak perlu menanggapi kalimat Arga. Setelahnya mereka berpamitan. Dita mengikuti Kevin keluar restoran.
“Terima kasih, Pak Kevin.” Arga menjabat tangan Kevin.
“Sama-sama, Pak. Sampai ketemu minggu depan.”
“Bu Dita,” Arga mengulurkan tangannya kepada Dita.
Mau tidak mau Dita menjabat tangan Arga sambil memaksakan sebuah senyuman.
Laki-laki itu berlalu. Mata Dita tidak lepas menatap punggung Arga yang semakin menjauh.
“Dita,” panggil Kevin.
Dita menoleh ke seniornya. “Eh, iya, Pak.”
“Ayo.” Kevin beranjak menuju mobil.
Dita melihat Arga sekali lagi sebelum masuk ke mobil. Pikirannya mengembara jauh. Mengingat laki-laki yang barusan ditemui. Arga Karnata. Tidak mungkin dia melupakan nama itu.
Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam kepalanya. Kenapa Arga tiba-tiba muncul di hadapannya setelah menghilang dan tidak memberi kabar sama sekali? Dita sampai putus asa mencari keberadaan Arga. Dia bahkan mengira selamanya tidak akan pernah bertemu laki-laki itu lagi.
Ponsel Dita berdenting. Dia mengecek pesan yang masuk. Dari nomor tidak dikenal.
Assalamu’alaikum. Senang bisa bertemu kamu lagi setelah sekian lama. Kamu kelihatan baik-baik. Aku berharap ini bukan pertemuan terakhir kita. -Arga-
Dita mengabaikan pesan tersebut. Dia bersyukur setelah ini tidak harus bertemu lagi dengan Arga. Toh, dia hanya menggantikan Hadi. Pekan depan biar rekan kerjanya yang melanjutkan.
“Nanti tolong siapkan desainnya, ya, berikan beberapa pilihan,” kata Kevin ketika mobil berhenti di lampu merah.
Kening Dita berkerut. “Bukannya saya hanya menggantikan Hadi, Pak?”
“Hadi masuk rumah sakit, jadi kamu saja, ya,” pinta Kevin. “Proyek rumah Bu Nadia sudah selesai, kan?”
Iya, sih, sudah selesai. Tetapi .... “Baik, Pak.” Dita tidak punya pilihan lain.
“Kamu nggak perlu khawatir, sepertinya Pak Arga bukan tipe yang cerewet,” kata Kevin. “Dia setuju dengan setiap masukan yang kita berikan.”
Namun, bukan itu persoalannya. Dita belum siap bila harus bersemuka dengan Arga lagi. Apalagi kalau harus berduaan seperti tadi.
*****




Dita tidak suka diatur-atur. Apalagi diatur oleh senior sok penting dan sok berkuasa. Dia bebas melakukan apa pun yang dia suka dan menolak apa pun yang dia tidak suka. Toh dia tidak merugikan orang lain.
“Cinta Anandita?”
Dita menatap kakak kelas yang duduk di hadapannya dengan malas. “Iya.”
“Nama yang unik,” lanjutnya. “Panggilan kamu Cinta?”
Dita menggeleng. “Dita.”
“Kamu tahu nama saya?” tanyanya.
Dita menggeleng. Dia tahu cowok itu adalah ketua OSIS di sekolah ini karena pernah memberikan sambutan pada pembukaan MOS (Masa Orientasi Sekolah) di lapangan sekolah. Namun, dia tidak ingat siapa namanya dan kelas berapa. Bisa jadi kelas 11 atau 12.
“Nama saya Arga,” beri tahu Arga. “Kamu tahu kenapa dipanggil ke sini?”
Dita memperhatikan sekeliling ruang OSIS, lalu kembali menatap Arga. “Tidak tahu, Kak.” Dia sangat tahu kenapa dirinya dipanggil oleh Kak Arga. Beberapa kali dia melanggar aturan saat pelaksanaan MOS. Mulai dari datang terlambat, tidak memakai atribut, dan tidak mengerjakan tugas.
Arga tersenyum sedikit. “Kamu dipanggil ke sini karena tidak disiplin,” terangnya. “Dan ada sanksi untuk pelanggaran yang kamu lakukan.”
Dita bergeming. Tidak peduli.
Jeda beberapa lama sebelum Arga melanjutkan, “Kamu bisa menggambar?”
Alis Dita berkerut. Dari mana Kak Arga bisa mengambil kesimpulan seperti itu?
Arga mengambil kertas dan pensil, lalu meletakkannya di meja. “Sanksi kamu adalah membuat sebuah gambar.”
Dita semakin heran. Ada-ada saja. Namun, hukuman ini sangat mudah. Dia mengambil pensil dan membuat gambar secara asal. Tidak lama dia menyerahkan kertas ke Kak Arga.
Arga tertawa saat melihat gambar yang dibuat Dita. Gambar pemandangan gunung a la anak TK. “Ayolah, kamu bisa menggambar lebih bagus dari ini.”
“Saya tidak bisa menggambar, Kak,” kata Dita.
“Bukan itu yang saya dengar,” kata Arga. Dia mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya, lalu membuka lipatan kertas lecek itu dan menunjukkan isinya ke Dita. “Ini kamu yang bikin, kan?”
Dita memajukan badannya sedikit agar bisa melihat lebih jelas. Iya, itu adalah sketsa buatannya. Dari mana Kak Arga mendapatkannya? “Dari mana Kakak tahu kalau itu saya yang bikin?”
“Ada nama kamu di sini,” balas Arga.
Betul, ada namanya. Dita tidak bisa mengelak. Pasti waktu mengerjakan tugas MOS dan dia mensketsa karena bosan.
“Wajah orang yang kamu sketsa mirip sekali dengan Pak Burhan, salah satu guru di sini. Kamu membuat ini waktu Pak Burhan memberi materi, ya?” tebak Arga.
Dita mengangkat bahu. “Saya tidak ingat.”
Arga menatap Dita lekat. “Sanksi kamu adalah membuat sketsa seperti ini. Bedanya wajah yang harus kamu buat adalah wajah saya. Dan harus mirip.”
Mata Dita melebar. “Tetapi, Kak ....”
“Saya tidak menerima penolakan, mengingat kamu tidak mengikuti peraturan MOS yang kami buat,” kata Arga tegas.
Dita gentar mendengar kalimat Kak Arga. “Tetapi bikinnya lama, Kak.”
“Saya punya waktu banyak.” Arga menyandarkan punggung ke sandaran kursi.
Dita bingung alasan apa yang bisa dia pakai untuk menolak keputusan Kak Arga. “Kalau tidak selesai bagaimana, Kak? Nanti keburu waktu pulang.”
“Tidak harus selesai sekarang,” balas Arga. “Bisa kamu lanjutkan besok di sini.”
Dita menarik napas kesal. Ogah-ogahan dia meraih kertas dan mulai menarik garis mengikuti model di hadapannya. Sesekali dia melirik Kak Arga dan memindai wajah cowok itu. Menurut Dita wajah Kak Arga laki banget. Warna kulitnya khas Indonesia, bentuk rahangnya tegas, tulang hidungnya tinggi, alisnya tebal, dan ada titik-titik halus bekas cukuran di atas bibir dan dagunya.
“Bisa menghadap ke samping sedikit?” pinta Dita. Lama kelamaan dia jengah ditatap sedemikian rupa oleh Kak Arga. Konsentrasinya berkurang.
Arga mengikui perintah Dita. “Sebenarnya kenapa kamu sering terlambat saat MOS?” tanya Arga. “Rumah kamu jauh dari sini?”
“Saya nggak fokus gambar kalau diajak mengobrol,” kata Dita sambil terus menarikan pensilnya di kertas. Alasannnya saja agar Kak Arga tidak menanyakan macam-macam.
“Oh, oke,” kata Arga.
Dita melirik ke Arga, lalu tersenyum kecil. Kakak kelasnya itu penurut juga.
Lima belas menit berlalu. Dita kagum, Kak Arga sama sekali tidak mengeluh. Padahal bosan juga tidak bergerak terlalu lama.
“Sudah selesai?” tanya Arga. Badannya mulai terasa pegal karena berada dalam posisi sama untuk waktu cukup lama.
“Belum.” Dita sengaja melambat-lambatkan.
Arga meregangkan tubuhnya. Dia melihat sekilas hasil sketsa Dita. “Bagus,” komentarnya.
“Jangan banyak bergerak,” titah Dita.
“Oh, sori.” Arga kembali ke posisi semula.
Dita tersenyum-senyum sendiri. Niat Kak Arga ingin mengerjainya, malahan dia balik mengerjai kakak kelasnya itu.
*****
Dita mengempaskan tubuhnya di tempat tidur, lalu menatap langit-langit kamarnya lama. Pikirannya melayang ke pertemuan dengan Arga tadi siang. Sejak dari sana, pikirannya tidak fokus. Bahkan Dimas merasakannya.
“Woi! Ngelamun aja.” Dimas melambaikan tangan di depan wajah Dita yang sedang terbengong.
“Eh, kenapa?” Dita menoleh ke Dimas.
“Nggak ... ada tukang bakso lewat barusan,” balas Dimas cuek.
Dita berdecak. Beberapa detik kemudian, dia kembali menoleh ke Dimas. “Mas, kerjaan lo lagi banyak, nggak?”
“Kerjaan kita mana pernah nggak banyak, sih, Dit?” jawab Dimas.
Iya juga, sih. “Lo bisa gantiin gue di proyek rumah tinggal, nggak?” tanya Dita penuh harap.
“Kenapa memangnya? Lo sibuk banget?”
“Iya, proyek gue banyak yang belum selesai,” alasan Dita.
Dimas menoleh ke Dita dan memperhatikan perempuan itu beberapa lama. “Yakin?”
Dita mengangguk antusias.
Dimas tertawa kecil. “Muka lo nggak bisa bohong.” Dia kembali fokus ke layar komputer.
Dita menarik napas putus asa. Padahal Dimas satu-satunya harapannya untuk bisa lepas dari Arga. Sekarang dia tidak bisa melarikan diri. Hadi yang awalnya bertanggung jawab terhadap proyek ini ternyata mengalami kecelakaan motor. Rekan kerjanya itu masuk rumah sakit. Tangannya patah dan harus digips selama tiga bulan.
Dita bangkit duduk dan mengambil ponsel di nakas. Dia membuka-buka lagi percakapan antara dirinya dan Arga yang sempat dia screen shoot.
Arga: Sepi, ya, nggak ada aku di sekolah?
Dita: Iya, sepi, jadi lebih tenang belajarnya.
Arga: Ha ha.
Arga: Bagus, deh. Jadi makin rajin belajarnya.
Dita: Dari dulu, kali.
Arga: Ha ha. Iya, hafal, kok. Dari dulu memang siswa teladan.
Dita senyum-senyum sendiri saat membaca kalimat sindiran Arga. Laki-laki itu termasuk murid teladan, beda dengan dirinya yang malas belajar dan nilai seadanya.
Pesan itu Arga kirim setelah lulus SMA dan Dita kelas 11. Jujur dia kehilangan sosok Arga di sekolah, tetapi malu mengakuinya. Awal pertemuan mereka memang kurang menyenangkan, tetapi dari sana pertemanan mereka dimulai.
Setelah Arga mengetahui bakat terpendam Dita, kakak kelasnya itu membujuknya untuk ikut ekskul seni, padahal Dita tidak ingin aktif di kegiatan mana pun. Arga mengajaknya melihat latihan drama sekolah untuk pentas seni. Ketika dikenalkan dengan Kak Lukman, sutradara merangkap penulis naskah sekaligus aktor, Dita menjadi tertarik.
Mengenal Arga selama satu tahun membuat pandangan Dita terhadap laki-laki itu berubah. Awalnya menyebalkan, lama-kelamaan berubah suka. Pertama kalinya Dita menyukai seseorang.
Dia menyukai saat Arga menyapanya di selasar sekolah ketika mereka berpapasan. Dia menyukai Arga waktu melihat laki-laki itu berlatih karate di sekolah. Dia menyukai Arga kerap menghampirinya di depan gerbang sepulang sekolah dan menawarkan diri mengantarkannya pulang dengan motornya. Dia menyukai Arga yang selalu melambaikan tangan sembari tersenyum saat dirinya melintasi lapangan ketika kakak kelasnya itu bermain basket bersama teman-temannya.
Dita menyukai kala Arga memuji hasil dekorasi buatannya waktu pentas drama. Dia menyukai Arga menawarkan diri membantunya apabila mengalami kesulitan dengan pelajaraan sekolah. Dia menyukai Arga saat melihat kakak kelasnya itu tampil berbicara di depan umum. Tampak karismatik.
Dita menyukai Arga. Namun, dia hanya bisa menyimpan di dalam hati dan mencuri-curi pandang. Penggemar Arga di sekolah terlalu banyak dan semua cantik-cantik. Dita merasa tidak ada apa-apanya dibandingkan cewek-cewek yang mengejar Arga. Lagi pula Dita tidak mau di-bully. Pernah teman satu angkatannya pacaran dengan kakak kelas, dan temannya itu mengalami perundungan oleh kakak kelas cewek yang tidak suka.
Saat Arga lulus, mereka tidak lagi bertemu, hanya bertukar pesan di ponsel.
Dita mematikan ponsel. Sudah, buat apa mengenang masa lalu, hanya membuat hatinya sakit, batinnya.
Saat hendak meletakkan ponsel di nakas, notifikasi pesan masuk. Dita berharap itu dari Dimas, siapa tahu sahabatnya itu berubah pikiran dan mau menggantikannya mengerjakan proyek Arga.
Harapnya sirna ketika melihat pesan yang masuk. Dari Arga.
Arga: Assalamu’alaikum. Sori ganggu malam-malam.
Arga: Dita, aku tahu aku salah. Aku juga sadar kamu nggak akan memaafkan aku begitu saja.
Arga: Kamu pastinya kaget tiba-tiba saja aku muncul setelah lama tidak memberi kabar.
Arga: Kalau kamu mau memberi kesempatan, aku akan menjelaskan semuanya.
Dadanya terasa sesak saat membaca pesan dari Arga. Tiba-tiba saja gulungan masa lalu mengempasnya keras. Ingatannya melayang pada pertemuan terakhir mereka. Dita tidak pernah mengira setelahnya Arga akan menghilang begitu saja dari hidupnya. Tidak ada kalimat perpisahan atau kata pamit dari laki-laki itu.
Dita mengerjapkan matanya yang basah, lalu menarik napas panjang untuk menghilangkan nyeri di hatinya. Kenapa Arga kembali saat dirinya sudah melupakan laki-laki itu? Apakah Arga tahu jatuh bangunnya mencoba menghapus nama laki-laki itu dari hatinya?
Bertemu kembali dengan Arga adalah impiannya dulu. Sekarang? Dita tidak tahu apa yang diinginkannya. Dia juga tidak tahu bagaimana nanti bila harus bersemuka lagi dengan Arga. Satu hal yang jelas, dia tidak ingin terlihat lemah di hadapan Arga. Arga harus tahu kalau dia baik-baik saja tanpa laki-laki itu dalam hidupnya.
*****

Dita duduk di bawah pohon rindang. Menatap lurus gedung tua bercat putih di hadapannya. Bangunan peninggalam zaman Belanda yang masih terawat baik dan sekarang dijadikan museum.
Dita suka bepergian ke tempat-tempat bersejarah dan melihat bangunan autentik zaman dulu. Selalu ada kisah menarik di baliknya yang membuatnya merasa terhubung secara emosional. Seperti gedung yang satu ini.
Museum Sejarah Jakarta Kota Tua. Ada kisah tragis yang berhubungan dengan bangunan ini. Sejak tahun 1700-an gedung ini dijadikan kantor administrasi kota Batavia. Pada tahun 1740 terjadi pembataian etnis Tionghoa besar-besaran atas perintah Gubenur Batavia saat itu.
Tragedi mengerikan itu menjadikan museum tersebut terkesan angker pada malam hari. Belum lagi cerita-cerita horor dan penampakan di gedung tersebut. Mulai dari terdengar suara tangis anak kecil sampai sosok menyeramkan di jendela-jendela gedung.
Museum ini berdekatan dengan Taman Fatahillah. Nama Fatahillah diambil dari panglima perang yang juga seorang ulama dari Kesultanan Demak. Syarif Hidayatullah atau dikenal juga dengan sebutan Sunan Gunung Jati mengirim Fatahillah untuk membebaskan Sunda Kelapa dari Portugis.
Fatahillah berhasil merebut Sunda Kelapa dan mengganti namanya menjadi Jayakarta. Nama Jayakarta sendiri terinspirasi dari Al-Qur’an surat Al-Fath yang artinya kemenangan. Pada ayat pertama surat tersebut dikatakan, “Sungguh, Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata.” Ayat ini turun ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menaklukkan Makkah dari kaum Quraisy.
Fatahillah meyakini bahwa keberhasilannya menaklukkan musuh adalah kemenangan yang Allah berikan kepadanya. Dia menamakan kota tersebut sebagai kota kemenangan. Dalam bahasa lokal adalah Jayakarta. Kota kemenangan.
Dita mengetahui hal tersebut dari beberapa artikel yang dibacanya di internet. Ketertarikannya pada arsitektur sebuah gedung membawanya pada sebuah sejarah panjang.
Beberapa kali dia ke sini, terutama saat sedang suntuk.
Mengamati orang lalu lalang, anak kecil berlarian, pasangan kekasih bermain sepeda yang disewakan, dan anak muda berfoto bersama manusia patung dengan beragam kostum. Keramaian di taman ini biasanya membuat suasana hatinya membaik. Namun, kali ini tidak.
Dita menarik napas dalam. Kesepian kembali melandanya. Hari ini tepat sepuluh hari sejak kepergian ayahnya. Serangan jantung. Datang begitu tiba-tiba dan merenggut nyawa ayahnya dalam hitungan jam.
Dita memasang earPods dan memainkan musik dari iPod. Pensilnya menari lincah saat menggambar gedung di hadapannya. Tangannya hafal hampir setiap lekuknya.
Dita tidak dekat dengan ayahnya. Ayahnya sibuk di luar rumah, kadang tidak pulang sampai beberapa hari. Komunikasi di antara mereka canggung. Pertanyaan yang biasa diajukan ayahnya, “Bagaimana sekolah? Bagaimana nilai ujian?”
Hubungan mereka semakin merenggang saat Dita mulai bisa protes terhadap keputusan ayahnya yang tidak sesuai dengan kehendak hatinya. Tidak jarang mereka beradu argumen. “Selama kamu masih tinggal di rumah ini maka kamu harus ikut aturan Ayah.” Selalu kalimat itu yang ayahnya lontarkan. Membuat Dita ingin cepat-cepat keluar dari sana. Niatnya itu terpenuhi saat dia kuliah. Dita memilih mengekos di dekat kampusnya.
Suara lantunan ayat suci Al-Qur’an dari pengeras suara mengembalikan lamunan Dita. Dia melirik Fossil di pergelangan tangan, sebentar lagi Magrib. Waktu berlalu tanpa terasa. Ada baiknya dia pulang sekarang.
Saat hendak beranjak, dia dikagetkan dengan sosok tinggi yang tiba-tiba berdiri di hadapannya. Matanya melebar seketika. "Kak Arga?” bisiknya.
"Akhirnya ..." ujar Arga lega. "Aku udah mengira kamu bakalan ke sini."
Dita masih belum pulih dari keterkejutannya. Bagaimana Kak Arga bisa tahu dia ada di sini? Dia mematikan iPod dan melepas earPods.
Arga duduk di samping Dita. Jeda beberapa lama.
"Sori baru bisa ketemu kamu sekarang. Aku ikut berduka cita atas kepergian ayah kamu.” Arga memecah kesunyian.
Dita melirik Arga sekilas. Kenapa kakak kelasnya itu baru mengucapkan ucapan belasungkawa sekarang? Padahal dia sudah mengirimkan pesan ke Arga saat kepergiaan ayahnya, tetapi tidak ada balasan dari kakak kelasnya itu. “Nggak apa-apa,” jawabnya antara kesal dan senang. Kesal karena Arga tidak membalas pesannya. Senang karena cowok itu ada di sini menemaninya.
"Gimana kabar kamu?” Arga menatap Dita khawatir.
"Baik. Kak Arga tahu dari mana aku ada di sini?”
"Ra-ha-si-a,” kata Arga
Dita mencebik, tetapi tidak bertanya lebih jauh.
“Maaf aku jarang kirim kabar,” kata Arga. “Aku baru selesai kerja praktik dan sedang menyiapkan skripsi. Jadi ....”
“Iya, nggak apa-apa, Kak,” balas Dita. Meskipun dalam hatinya ingin bilang, apa susahnya mengetik sebaris pesan, tidak sampai satu menit. “Aku juga sibuk kuliah, banyak banget tugasnya, sampai nggak sempat makan dan tidur.”
Arga memperhatikan Dita saksama. “Kamu harus jaga kesehatan.” Dita terlihat lebih kurus dan wajahnya tampak lelah.
Dita tersenyum. “Sudah lama, ya, kita nggak ketemu. Terakhir setahun yang lalu waktu Kak Arga datang ke sekolah pas lulus-lulusan,” katanya. Tepatnya sewaktu Dita lulus SMA. Dia GR kalau Kak Arga datang untuk menghadiri wisudanya. Ternyata Kak Arga hadir untuk memberi kata sambutan pada acara wisuda sebagai alumni.
“Iya, udah lama, ya,” timpal Arga.
Hening beberapa lama.
Dita menoleh dan memperhatikan Arga. Cowok itu tampak lebih dewasa, tetapi mukanya sedikit tirus. Pasti kuliah menyita waktu dan tenaganya. Seketika hatinya terenyuh. Air matanya mendesak keluar untuk alasan yang dia sendiri tidak tahu.
Bisa jadi karena sebenarnya dia rindu bertemu Kak Arga setelah cowok itu tidak memberikan kabar selama ini. Bisa jadi juga karena dia membutuhkan seseorang yang dia kenal untuk sekadar menemaninya.
“Kenapa?” tanya Arga saat melihat mata Dita berkaca-kaca.
Dita menggeleng, lalu mengalihkan pandangannya. Buru-buru dia menyeka pipinya yang basah. Kenapa harus menangis di hadapan Kak Arga, sih? Malu-maluin.
“Kamu bisa cerita ke aku,” kata Arga lembut.
Dita menahan isaknya. Perhatian Arga membuat emosinya yang selama ini tertahan keluar. Persoalan keluarganya, kematian ayahnya .... Selama ini dia tidak punya teman cerita. Semua dia simpan sendiri. Dan sekarang semuanya menggesa untuk dicurahkan.
“Dita,” panggil Arga pelan.
Tangis Dita semakin terdengar saat Kak Arga merangkulnya lembut.
“Nangis aja, nggak apa-apa, kalau itu bisa bikin kamu lega,” bisik Arga.
Dita meluapkan semua emosi yang terkekang. Semakin lama pelukan Arga bertambah erat. Seolah mengatakan kalau dia tidak sendirian.
*****
“Semalam pulang jam berapa, Bang?” tanya ibunya Arga, lalu meletakkan dua piring berisi nasi goreng di meja.
“Jam sebelas sampai rumah, Bu.” Arga menarik kursi, lalu duduk. Dia menghidu uap yang mengepul dari nasi goreng. “Hmmm, wanginya enak, nih.” Dia mengambil sendok dan garpu.
Ibunya Arga ikut duduk. “Malam banget.”
Arga hanya tersenyum dan melanjutkan sarapannya. Ibunya sudah tahu kalau dia kerap lembur, tetapi masih saja belum terbiasa.
“Kemarin jadi ketemu Dita?” Ibunya Arga menyuap nasi gorengnya.
“Jadi.”
“Gimana kabarnya?”
“Baik. Dia jauh lebih dewasa.”
“Wah, pasti tambah cantik, ya.”
Arga tersenyum. Dita memang tampak cantik dengan kerudungnya.
“Terus kalian ngobrol apa aja?”
“Ngomongin desain rumah, lah, Bu,” kata Arga. “Aku, kan, ketemuan sama Dita untuk membahas proyek rumah kita yang baru.”
Ibunya Arga menarik napas masgul.
“Lagian pas ketemuan ada orang lain juga, nggak enak kalau bicara persoalan pribadi,” tambah Arga.
Ibunya Arga mengangguk-angguk. “Terus kapan kamu mengajak dia ketemu Ibu?”
“Sabar, ya, Bu. Nanti akan tiba waktunya,” kata Arga. Dia ingin secepatnya bertemu dengan Dita untuk meminta maaf dan menjelaskan beberapa hal penting.
Ibunya Arga meletakkan sendok dan garpunya. “Menurut kamu, Dita bakalan ....” Dia menggantung kalimatnya.
Arga tersenyum. “Sudah, Ibu nggak perlu mengkhawatirkan hal-hal yang belum terjadi. Kita berpikiran positif saja. Aku yakin semuanya akan baik-baik saja.”
Ibunya Arga menatap anak satu-satunya, lama. Dia butuh diyakinkan kalau semua akan baik-baik saja. Arga sepertinya percaya kalau semua akan berjalan sesuai rencana. Setelahnya dia tersenyum dan melanjutkan makan.
Arga balas tersenyum, walaupun di dalam hatinya dia tidak seyakin itu. Pesannya saja belum dibalas Dita.
*****
Dita memulai harinya dengan memutar Stronger (What Doesn’t Kill You) by Kelly Clarkson di mobil sebagai mood booster. Harus dia akui, Arga membuat hatinya gundah dan pikirannya tidak fokus. Dan itu tidak boleh terjadi. Dia bukan gadis labil yang baru mengenal cinta. Dia sekarang perempuan dewasa yang bisa mengendalikan emosinya.
Keep it proffesional. Dita merapalkan itu dalam pikirannya selama bekerja di kantor. Cukup berhasil karena pekerjaannya lancar sampai waktu istirahat tiba. Setelahnya dia makan siang bersama Dimas dan beberapa rekan kerjanya di pantry.
“Bawa apa?” Dita mengintip bekal makan siang Dimas saat mereka duduk.
“Tadaaa.” Dimas membuka kotak makan dengan sedikit dramatis. “Udang saus padang.”
Seketika mata Dita berbinar. “Minta!”
“Shhh, berisik,” tegur Dimas sambil melihat ke dua rekan kerjanya yang sama-sama sedang makan siang di pantry.
Dita cengengesan. “Tukaran, ya.” Dia mengangsurkan kotak makanan berisi spageti bolognese yang dia siapkan tadi pagi. Sausnya sudah jadi, tinggal merebus spageti saja.
“Ogah.” Dimas mulai makan.
Dita memasang wajah memelas. “Lo kan tahu itu makanan kesukaan gue.”
Dimas menarik napas. “Ya udah, sini spageti lo.” Dia menggeser kotak makanannya ke Dita.
“Yaaay,” sorak Dita. Dengan suka cita dia memberikan spagetinya ke Dimas.
“Cie cie,” goda salah satu rekan kerja mereka yang berbaju biru.
Dita mengabaikan dan lanjut makan. “Enak banget, Mas,” katanya lebay.
“Hmmm.” Dimas mulai makan. Enak, sih, spagetinya. Daging cincangnya juga banyak.
“Lo berdua udah kayak married couple lagi rebutan makanan, deh,” komentar rekan kerja yang lain.
Dita menatap Dimas, lalu tertawa kecil. “Artinya gue married sama anak kecil, dong.”
“Kita cuma beda beberapa bulan, kali,” protes Dimas. Dia paling malas kalau Dita mengungkit-ungkit perbedaan usia di antara mereka. Iya, dia lebih muda daripada Dita, so what?
“Sekarang banyak kok cewek nikah sama cowok yang lebih muda,” sahut laki-laki berbaju biru. “Tuh, kayak artis-artis yang ada di medsos.”
“Nah!” seru Dimas. “Age is just a number, Darling.”
Dita hanya bergumam sedikit.
“Besok enakan bawa bekal apa, ya, untuk makan siang?” tanya Dimas.
“Beef yakiniku, enak, kayaknya,” saran Dita. Dia tahu kalau Dimas suka masakan Jepang.
“Boleh juga, entar gue minta tolong Bik Imah masak buat besok,” kata Dimas.
“Yes. Bawa agak banyakan, ya. Gue juga mau,” kata Dita penuh harap.
“Emang stok makanan dari nyokap lo udah habis?” tanya Dimas. Dita sering cerita kalau bundanya seminggu sekali menyiapkan stok makanan untuknya.
“Masih ada, tetapi gue juga pengin beef yakiniku,” kata Dita. “Nanti gue yang bawa nasinya, deh.”
Dimas berdecak. “Ya udah.”
Dita tersenyum lebar, lalu menghabiskan makan siangnya.
Dua rekan kerja yang duduk di hadapan Dimas berdeham. Dimas melihat ke arah mereka. Kedua rekan kerjanya senyum-senyum sambil geleng-geleng kepala. Seolah mengatakan, “Bucin akut lo sama Dita.”
Dimas mengabaikan keduanya. Pandangannya beralih ke kotak makanannya yang tandas, lalu ke Dita. Asalkan Dita senang, dia akan melakukan apa pun.
*****
Dita terbengong sesaat. Bingung antara mau menolak dan mau ... menolak tentu saja. Namun, alasan apa yang bisa diberikannya?
“Dita,” panggil Bagas.
“Eh, iya, Pak.” Dita menatap bosnya itu ragu.
“Bisa, kan?”
“Bi-bisa, Pak.”
Bagas tersenyum. “Good, thanks Dita.”
“Sama-sama, Pak.” Dia memaksakan senyuman. “Saya permisi dulu, Pak.”
Dita keluar dari ruangan Pak Bagas dan menuju mejanya dengan lesu. Barusan bosnya itu memberi tahu kalau dia akan memegang proyek rumah Arga sendirian. Pak Kevin harus mengurus proyek lain. Ingin menolak, tetapi dia tidak punya alasan kuat.
“Kenapa?” tanya Dimas saat melihat wajah Dita tertekuk.
Dita duduk dan menyenderkan punggung ke sandaran kursi. “Pak Kevin ada proyek lain yang harus dikerjakan, jadi gue ngerjain proyek rumah Pak Arga sendirian.”
“Terus kenapa?” Dimas balik bertanya. “Ini bukan kali pertama lo ngerjain proyek sendirian, kan?”
Dita menarik napas. Dimas benar. Dia sudah mendapat STRA atau Surat Tanda Registrasi Arsitek dari DAI (Dewan Arsitek Indonesia). Dia adalah seorang arsitek, bukan sarjana arsitek yang baru lulus kuliah. Selama lima tahun bekerja di biro ini, sudah banyak proyek yang dipegangnya.
“Iya, sih, cuma ....” Dita menggantung kalimatnya. Bukan itu persoalannya.
“Lo mau gue bantu ngerjain proyek Pak Arga?” tanya Dimas.
Kepinginnya begitu, tetapi Dita ingat tadi Pak Bagas memberitahukan kalau Dimas akan membantu Pak Kevin untuk mengerjakan proyek apartemen. “Nggak, nggak usah. Gue bisa, kok,” katanya sambil tersenyum.
“Benaran?”
“Iya, nggak apa-apa.”
“Kalau lo berubah pikiran, gue bisa ngomong sama bokap,” kata Dimas.
Dita tersenyum. Pak Bagas adalah ayahnya Dimas. Bisa saja Dimas membujuk ayahnya agar bisa membantunya di proyek Arga. “It’s okay.”
“Are you sure?” Dimas belum yakin.
“Iya, Mas. Yakin pakai banget,” kata Dita. Dia kembali bekerja. Beberapa menit kemudian, notifikasi pesan masuk ke ponselnya. Dari Pak Kevin.
Dita, saya sudah memberi tahu Pak Arga kalau sekarang kamu yang bertanggung jawab untuk proyeknya. Beliau tidak keberatan sama sekali. Kemungkinan Pak Arga akan menghubungi kamu untuk membicarakan desain yang sudah jadi.
Dita menarik napas. This is it. Mau tidak mau dia harus berhadapan kembali dengan Arga. Mereka akan semakin sering bertemu. Baru saja hendak menutup aplikasi, pesan lain masuk. Kali ini dari Arga.
Assalamu’alaikum Bu Dita. Saya menerima info dari Pak Kevin kalau Bu Dita yang akan mengerjakan proyek rumah saya.
Kalau tidak merepotkan, saya minta desainnya dikirim dulu by e-mail sebelum pertemuan kita akhir pekan ini.
Untuk tempat saya serahkan kepada Bu Dita. Saya ikut saja.
Terima kasih.
Dita berdecak. Arga menggunakan bahasa formal dalam pesannya. Menandakan kalau mereka sedang dalam mode profesional. Mau tidak mau dia harus membalasnya. Padahal pesan Arga sebelumnya tidak ada yang dia balas.
Baik, Pak. Saya akan segera mengirim desainnya. Untuk tempat akan saya infokan lebih lanjut.
Setelahnya tidak ada pesan balasan. Dita meletakkan ponselnya. Kamu bisa Dita! Tetap menjaga profesionalitas saat bertemu Arga. Kalau laki-laki itu menyerempet persoalan pribadi, abaikan saja. Iya, seperti itu.
*****
Dita turun dari mobil dan memeriksa penampilannya sekali lagi melalui pantulan kaca jendela. Dia menarik napas panjang, lalu berbalik dan berjalan menuju pintu masuk restoran.
Jantungnya berdebar kencang, seperti habis lari jarak jauh. Kakinya sedikit gemetar dan tangannya terasa dingin. Beberapa kali Dita mengeluarkan napas dari mulutnya, mencoba menenangkan diri. Tidak ada jalan kembali. Dia harus menghadapinya.
“Silakan, Kak,” sapa petugas restoran yang membukakan pintu untuk Dita.
Dita tersenyum canggung. “Terima kasih,” balasnya. Dia menyapu pandangan ke seluruh restoran yang cukup ramai. Arga sebelumnya mengirim pesan kepadanya dan mengatakan sudah berada di restoran.
Seseorang berdiri dan melambai kepadanya. Deg! Arga. Jantung Dita serasa copot. Dia melangkah ke meja laki-laki itu sambil merapal doa dalam hati. Ya Allah, kuatkan hamba.
“Maaf saya terlambat, Pak,” kata Dita basa-basi. Sebenarnya dia tepat waktu, hanya saja Arga terlalu cepat datang.
“Nggak sama sekali, kamu tepat waktu,” kata Arga. “Silakan duduk.”
Dita tersenyum, lalu duduk di hadapan Arga.
“Mau pesan apa?” tawar Arga.
“Tidak perlu repot-repot, Pak. Saya sudah makan,” balas Dita. Setelah salat Zuhur dia sengaja makan dulu di apartemen.
“Kalau begitu minum?”
“Air putih saja, terima kasih,” jawab Dita. Dia perlu air untuk melegakan tenggorokannya yang kering.
“Oke.” Arga memesan air mineral kepada pelayan.
“Pak Arga sudah terima e-mail dari saya?” Dita mengeluarkan iPad dan meletakkan di meja.
“Sudah.”
“Apakah ada yang ingin ditanyakan, Pak?” Dita sengaja menyetel mode kerja sejak awal agar tidak ada celah bagi Arga memulai pembicaraan pribadi. Biasanya dia tidak sekaku ini ketika meeting dengan klien. Ada basa-basi dan menanyakan kabar klien. Namun, dengan Arga kondisinya berbeda.
“Secara garis besar saya setuju dengan desain yang diajukan, hanya ada beberapa usulan dari saya,” kata Arga.
“Baik.” Dita mengeluarkan beberapa lembar kertas berisi gambar desain dan mengangsurkannya ke Arga. “Kita mulai membahas usulan dari Pak Arga.”
Arga menatap Dita beberapa lama, lalu tersenyum. Dita sama sekali tidak ada basa-basi. Kelihatan perempuan di hadapannya ini sedikit gugup. “Oke,” balasnya.
*****
“Perbaikan desain akan segera saya e-mail, Pak.” Dita merapikan kertas-kertas penuh coretan dan memasukkan semua ke tas kerja. “Kalau tidak ada lagi yang perlu ditanyakan, saya permisi dulu, Pak.”
“Kamu sepertinya terburu-buru. Apakah ada janji lain setelah ini?” tanya Arga.
“Iya, saya ada keperluan lain setelah ini,” jawab Dita. Dia memang berencana ke tempat bundanya.
“Saya belum makan,” kata Arga.
Kening Dita sedikit berkerut. Terus apa hubungannya? “Maksud, Pak Arga?”
“Saya belum makan, bisa temani saya makan sebentar saja?” pinta Arga.
Dita tertegun. Arga barusan bilang apa? “Maaf, saya ....”
“Sebentar saja,” kata Arga lembut. “Ada yang ingin saya bicarakan. Penting.”
Dita mengalihkan pandangannya. Hal yang dia takutkan terjadi. “Tetapi, saya ....”
“Please ....” Arga menyentuh punggung tangan Dita pelan.
Tubuh Dita menjengit sedikit saat kulit mereka bersentuhan. Seperti ada aliran listrik. Dia segera menarik tangannya.
“Ma-maaf,” kata Arga. Dia menyadari kesalahannya. Seharusnya dia tidak bertindak seagresif itu. “Saya hanya minta waktu sepuluh menit, tidak lebih.”
“Kita nggak punya sesuatu untuk dibicarakan,” elak Dita.
“Kita punya banyak hal untuk dibicarakan,” kata Arga. “Aku ingin kamu tahu apa yang terjadi setelah pertemuan terakhir kita. Aku berutang maaf karena tidak pernah memberi kabar selama ini. Padahal ....”
“Aku nggak kepingin tahu,” potong Dita. “Buat aku nggak penting.” Dia sudah menanggalkan mode formal.
“Tetapi buat aku penting. Penting agar kamu tahu yang sebenarnya,” balas Arga.
Dita menarik napas, lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. “Well, bukannya kamu sudah terlambat delapan tahun untuk menjelaskan semuanya?” Dia menatap Arga berani.
Arga tertegun. Lidahnya kelu. Apakah tidak ada kesempatan baginya untuk memperbaiki apa yang sudah dia kacaukan?
*****
“Kakak berapa lama di Jakarta?” tanya Dita kepada Kak Arga yang tengah mengemudikan mobilnya.
“Besok sudah balik lagi ke Surabaya,” jelas Arga.
“Ooo ...” tanggap Dita, lalu jeda. Setelah salat Magrib, Kak Arga mengajaknya makan di restoran dekat sana. Setelahnya cowok itu mengatakan akan mengantarnya pulang. Kak Arga tidak membawa kendaraan, cowok itu ke Kota Tua menggunakan kereta.
Dita sempat menolak halus, walaupun dalam hatinya senang karena bisa bersama Kak Arga lebih lama lagi. Dia bersyukur memutuskan membawa mobil ke Kota Tua, padahal awalnya ingin naik taksi saja.
“Gimana kabar bunda kamu?” tanya Arga sambil melirik sekilas ke Dita.
“Sekarang sudah lebih baik,” jawab Dita. Walaupun ayah dan bundanya kerap terlihat tidak akur, tetapi bundanya kelihatan sedih saat ayahnya meninggal. Bahkan kemarin Dita sempat memergoki bundanya menangis tersedu-sedu di kamar sambil memeluk foto ayahnya.
Dita tidak tahu seberapa besar cinta bundanya untuk ayahnya. Apakah benar cinta itu buta? Bahkan setelah kejadian malam itu, bundanya masih berduka atas kepergiaan ayahnya. Bagaimana bisa? Dita saja masih marah dengan ayahnya, sampai sekarang.
“Insya Allah seiring waktu, semuanya akan menjadi lebih baik,” kata Arga.
Dita tidak menanggapi. Dia mengalihkan pandangan ke luar jendela. “Surabaya gimana? Ceweknya cantik-cantik, ya?” Dia menoleh ke Kak Arga.
“Surabaya seperti kota besar pada umumnya,” jawab Arga. “Banyak tempat wisata bersejarah, mirip Kota Tua-nya Jakarta. Aku yakin kamu pasti suka.” Dia mengabaikan kalimat terakhir Dita.
“Oya?” Mata Dita berbinar. “Kalau aku ke sana, Kak Arga bisa dong jadi tour guide.”
Arga tersenyum. “Boleh.”
Dita tersenyum lebar. Hatinya bersorak girang. Pikirannya langsung merencanakan berlibur ke Surabaya setelah ujian semester nanti.
Saat lampu lalu lintas menyala merah, Arga menoleh ke Dita. “Dita,” panggilnya.
Dita menoleh. “Ya?”
“Kamu tahu, kadang tidak semua keinginan kita bisa terpenuhi,” kata Arga. “Kadang takdir tidak selalu berpihak kepada kita. Kadang berpisah lebih baik daripada bertemu.”
Dita agak bingung dengan kalimat Kak Arga. Apakan cowok itu sedang membicarakan tentang kematian ayahnya?
“Kalau itu terjadi, aku pengin kamu bisa tetap kuat dan segera bangkit. Apa pun yang terjadi, pasti ada pelajaran di baliknya,” tambah Arga. “Kita hanya perlu mengusahakan yang terbaik dari kondisi yang terburuk.”
“Oke,” kata Dita ragu. Kenapa tiba-tiba jadi bicara serius?
Arga menatap Dita lekat, sampai lupa lampu sudah menyala hijau. Mobil di belakangnya dengan tidak sabar membunyikan klakson. Dia langsung memindahkan persneling dan melajukan kendaraan.
“Depan belok kiri, Kak,” beri tahu Dita saat mobil sudah mendekat ke gerbang rumahnya.
Arga mengikuti arahan Dita. Tidak lama mobil berhenti di depan pagar hitam setinggi dua meter.
“Mampir dulu, Kak,” tawar Dita. Dia tahu ini sudah terlalu malam untuk bertamu, tetapi siapa tahu Kak Arga ingin istirahat dulu setelah menyetir lebih dari satu jam lamanya.
“Nggak usah, aku langsug pulang aja,” kata Arga. “Mobil mau dimasukin ke garasi?”
“Nggak usah, nanti biar aku aja yang masukin,” jawab Dita.
Arga mematikan mesin, lalu turun. “Aku pulang dulu,” katanya sambil menghampiri Dita dan memberikan kunci.
Bagi Dita, waktu terasa cepat sekali berlalu saat bersama Kak Arga.
“Kak Arga pulang naik apa?” tanya Dita khawatir. Di sekitar perumahannya tidak ada kendaraan umum. Harus ke gerbang depan dulu. Jauh juga kalau berjalan kaki. Sekitar satu kilometer.
“Nggak perlu khawatir, aku bisa naik angkot di depan,” sahut Arga.
“Tetapi, kan, jauh.” Dita memasang wajah cemas. “Aku antar aja, ya.”
“Nggak apa-apa. Aku lagi kepingin jalan aja, sambil menyegarkan pikiran,” kata Arga.
“Benaran nggak apa-apa?” Dita masih merasa tidak enak.
Arga tesenyum. “Assalamu’alaikum,” pamitnya.
“Wa’alaikumussalam,” balas Dita.
Arga berbalik, lalu berjalan menjauh.
“Kak Arga,” panggil Dita. Refleks dia memanggil Kak Arga. Tidak rela melihat cowok itu pergi.
Arga berhenti dan menoleh. Dita berlari kecil menghampirinya. Dahinya berkerut sedikit. “Kenapa?”
Dita merasa gugup. Pikirannya berkecamuk antara ingin mengungkapkan perasaannya, tetapi takut. Namun, kapan lagi dia bisa bersemuka dengan Kak Arga, setelah ini cowok itu akan ke Surabaya dan tenggelam dengan skrpsinya. “A-aku ....”
Arga menunggu dengan sabar. “Ya?”
Ternyata nyali Dita tidak sebesar itu. Bagaimana kalau Kak Arga ternyata tidak memiliki perasan apa-apa terhadapnya? Bagaimana kalau cowok itu sudah punya pacar di Surabaya? Bagaimana kalau setelah ini Kak Arga malah menjauh? Dia tidak siap dengan konsekuensinya. “Itu ... hati-hati.”
Arga tertawa kecil. Selama beberapa lama mereka berdiri berhadapan. Dia mematri Dita dalam pikirannya karena setelah ini ... mereka tidak akan bertemu lagi. “Kamu juga ... jaga diri baik-baik.” Dia mengacak-acak rambut Dita lembut.
Tubuh Dita terasa kaku. Dadanya berdebar pelan. Rambutnya yang diacak-acak Kak Arga, tetapi kenapa hatinya yang berantakan. “Aku masih boleh mengirim pesan ke Kak Arga, kan?” tanyanya gugup.
Arga mengangguk. “Tentu, tetapi maaf kalau balasnya agak lama.”
“Nggak apa-apa.” Dita sudah senang cowok itu masih mau membalas pesannya.
“Udah malam, masuk sana,” kata Arga.
Dita bergeming. Kakinya tidak hendak bergerak. Dia ingin bersama-sama Kak Arga sedikit lebih lama.
*****
Bertandang ke rumah bundanya merupakan “healing” buat Dita. Dia bisa makan enak sambil mengobrol dengan bundanya seperti sekarang.
Dulu hubungan dengan bundanya tidak seharmonis ini. Bukan ayahnya saja yang abai terhadapnya saat dia masih sekolah, bundanya juga. Bundanya sibuk dengan bisnis butiknya dan teman-teman sosialitanya. Perhatian bundanya kepada Dita hanya seputar “sudah makan belum”, “sudah mengerjakan PR belum”, dan “nilai ulangan dapat berapa”.
Namun, semua berubah saat kepergian ayahnya. Bundanya mulai lebih memperhatikan Dita. Perhatian yang terlambat karena dia telanjur berjarak dengan bundanya. Bukan perkara mudah belajar memercayai bundanya. Apalagi saat itu Dita mengekos di dekat kampus.
Bundanya kerap mengunjunginya di tempat indekos. Lama kelamaan di antara mereka terjalin kedekatan. Dita mulai terbuka dan menceritakan persoalannya di kampus. Bundanya menjadi pendengar yang baik dan memberikan tanggapan positif.
Dita menyukai hubungannya dengan bundanya saat ini. Dia sadar, sejak ayahnya meninggal, mereka hanya memiliki satu sama lain. Alhamdulillah dia dan bundanya bisa menjalani kehidupan yang lebih baik.
“Kamu ada acara nggak weekend bulan depan?” tanya Lastri ke anak semata wayangnya.
“Belum tahu, Bun. Kenapa memangnya?” Dita menikmati pindang udang buatan bundanya dengan lahap. Bertemu dengan Arga membuat energinya terkuras habis. Sesampai di rumah bundanya dia merasa lapar.
“Komunitas ‘Bunda Hijrah’ mau ngadain seminar sehari dan kita mengundang artis hijrah. Kamu bisa datang, kan?” harap Lastri.
“Siapa pembicaranya, Bun?”
“Tamara Lewinsky.”
“Hah! Serius, Bun?” Mata Dita membesar. Dia tidak terlalu mengikuti gosip tanah air, tetapi kisah Tamara menyita perhatiannya. Perempuan itu tampak tegar di tengah pro dan kontra atas keputusannya hijrah. Sejauh pantauannya, Tamara komitmen dengan hijabnya. Bukan artis yang mencari sensasi, sekarang menutup aurat, besoknya membuka aurat. “Mau, dong.”
Lastri tersenyum lebar. “Nanti Bunda WA flyer-nya. Post di IG story kamu, ya. Biar semakin banyak yang tahu.”
Dita mengangguk antusias. “Kepingin foto bareng Tamara.”
“Kalau mau, Bunda bisa menugaskan kamu menjemput Tamara dari rumahnya ke lokasi acara,” kata Lastri.
Mulut Dita membuka sedikit. “Benaran, Bun?” tanyanya kaget.
“Kalau kamu mau.” Lastri bisa mengatur hal tersebut karena dia adalah ketua panitianya.
“Mau!” sorak Dita dengan wajah senang.
Lastri tertawa kecil. “Oke, nanti Bunda akan urus.”
Dita menghabiskan makanannya.
“Kamu Magrib di sini, kan?” tanya Lastri.
Dita mengangguk.
“Jamaah, ya.”
Dita memberikan tanda “oke” dengan jarinya.
“Bunda ke kamar dulu, ya. Mau lanjut tilawah.” Lastri beranjak berdiri.
Mata Dita mengikuti punggung mamanya yang menghilang di balik pintu kamar, lalu tersenyum kecil.
Setelah ayahnya meninggal bundanya menjadi rajin salat, sering ikut taklim ibu-ibu komplek, memakai hijab, sampai mendirikan komunitas “Bunda Hijrah” bersama beberapa temannya.
Pelan-pelan bundanya mengajak Dita untuk belajar Islam lebih intens. Mulai dari salat lima waktu sampai memakai kerudung. Beda dengan bundanya yang kerudungnya sudah menutupi dada, hijab Dita masih seadanya. Baginya yang penting sudah menutupi kepala dulu.
Saat membereskan meja makan, ponsel Dita berbunyi. Dia mengeceknya. Dari Arga.
Thanks udah mau dengerin aku tadi. Mungkin kamu belum bisa menerima semua yang aku katakan barusan. Tetapi, aku berharap suatu hari nanti kamu akan mengerti dan kita bisa menjadi teman lagi. Seperti dulu.
Dita menarik napas. Jadi dulu mereka “hanya” teman? Bodoh sekali dia pernah berharap lebih. Dia mematikan layar dan melangkah ke tangga, menuju kamarnya di lantai dua.
*****
Dita bisa merasakan jantungnya berdetak di atas normal. Sungguh dia deg-degan menanti kalimat yang akan keluar dari mulut Arga. Penjelasan yang dia tunggu-tunggu delapan tahun belakangan.
Kenapa? Ada apa? Dita berspekulasi dan mengira-ngira sampai frustasi. Namun, tidak menemukan jawaban rasional. Hal paling masuk akal yang bisa dia pikirkan adalah laki-laki itu sudah melupakannya. Tidak mau berurusan dengannya lagi.
“Sebenarnya, ada persoalan keluarga yang cukup besar dan perlu diselesaikan,” jelas Arga. “Maaf aku nggak bisa ceritakan permasalahannya karena menyangkut aib keluarga.
Dita bergeming.
“Aku juga mati-matian menyelesaikan skripsi karena targetku 4 tahun harus lulus agar bisa segera bekerja,” lanjut Arga. “Setelah bekerja, aku mendapat tugas di pedalaman Sulawesi. Dari Sulawesi aku pindah ke Kalimantan. Dan tahun ini, aku baru pindah ke Jakarta. Itu juga karena ibuku. Beliau yang memintaku tinggal di sini dan menemaninya.”
Dan Arga sama sekali tidak bisa mengirim satu pesan pun kepadanya di sela-sela waktu kerja? protes Dita dalam hati.
“Karena terlalu lama tidak memberi kabar, aku pikir kamu tidak ingat lagi denganku,” tambah Arga. “Aku tidak enak mau mengirim pesan.”
Dita tertawa dalam hati. Bagaimana mungkin dia tidak ingat dengan laki-laki yang pernah membuatnya jatuh hati? “Udah, itu aja?” tanggapnya.
“Aku mengatakan yang sebenarnya,” kata Arga. “Tidak ada yang aku buat-buat.”
“Baik, kalau udah selesai, aku boleh pulang?” Dita meraih tas kerjanya.
“Kamu bisa menerima semua penjelasanku?” tanya Arga penuh harap. “Kamu mau maafin aku?”
“Memangnya aku bisa apa lagi?” Dita balik bertanya. Dadanya mulai sesak. “Kamu menghilang tanpa kabar. Bukan setahun dua tahun aku menunggu kabar dari kamu. “Air matanya mulai menggenang. Dia mengerjap untuk mencegahnya jatuh. “Aku pikir kamu tulus. Aku pikir kamu peduli.” Dia menarik. Sudah cukup, Dita, jangan dilanjutkan atau kamu akan menangis di depan laki-laki ini.
Arga hendak membela diri, tetapi ditahannya. “Maaf.” Hanya kata itu yang terlontar dari lisannya. Dia salah. Dita benar.
Dita berdiri dan berlalu dari sana. Dia tidak merasa perlu pamit kepada laki-laki itu.
*****
“Baik, saya tunggu laporannya Senin, ya.” Arga mengembalikan kertas berisi ceklis pekerjaan hari ini kepada supervisor.
“Baik, Pak,” jawab supervisor.
“Saya duluan, Pak.” Arga berlalu menuju mobilnya.
Setelah bertemu Dita tadi siang, dia mampir ke proyek untuk melihat perkembangan pekerjaan pembangunan di proyek hari ini. Sejak dulu, bekerja dan menyibukkan diri adalah pelariannya. Saat fokus mengerjakan sesuatu, konsentrasinya terpusat dan tidak melamunkan hal lain.
Dalam perjalanan ke parkiran, beberapa pekerja menyapa Arga sopan. Arga membalas salam dan pamit pulang duluan. Walaupun belum lama bekerja di sini, tetapi dia bisa beradaptasi dengan cepat. Sekarang dia mengenal semua rekan kerja dan bawahannya.
Saat di mobil Arga menyalakan mesin, tetapi tidak langsung pergi. Dia menarik napas panjang. Ingatannya kembali ke restoran, saat bertemu dengan Dita. Meskipun hasilnya tidak seperti yang dia harapkan, tetapi Arga tidak putus harapan. Dia hanya perlu menunjukkan kesungguhannya untuk mendapatkan maaf dari Dita.
Arga membuka aplikasi WhatsApp. Pesannya ke Dita sudah dibaca, tetapi belum dibalas. Arga tersenyum sedih. Dita pantas mengabaikannya. Dia yang salah sudah mengabaikan Dita beberapa tahun belakangan.
Arga punya alasan yang kuat untuk tidak menghubungi Dita selama ini. Hal itu bukan hanya mengganggu Dita, tetapi juga dirinya. Entah berapa ratus kali Arga tergoda untuk mengirim pesan kepada Dita, atau sekadar memberi “like” pada unggahan Dita di media sosial.
Namun, semua ditahannya. Dan itu tidak mudah. Wajah Dita kerap hadir di pikirannya, terutama menjelang tidur. Bagaimana mungkin dia melupakan Dita, perempuan yang membuat hatinya terpikat.
Masih segar dalam benak Arga saat pertemuan pertama mereka di gerbang sekolah ketika MOS. Dita bisa jadi tidak memperhatikannya, tetapi Arga melihat Dita. Perempuan itu datang terlambat pada hari pertama MOS. Satu-satunya yang terlambat.
Dita berdiri dekat gerbang dengan wajah menunduk. Beberapa panitia MOS menginterogasinya.
“Kenapa terlambat?” tanya seorang senior.
“Macet, Kak,” jawab Dita takut-takut.
“Kamu pikir cuma kamu doang yang kena macet? Teman-teman kamu juga kena macet, tetapi mereka bisa datang tepat waktu,” sergah senior lain.
Dita menunduk dalam.
“Satu lagi, kenapa nggak pakai rok biru?” tanya seorang senior.
“Saya nggak punya rok biru, Kak. Adanya rok hitam, jadi saya pakai saja,” jawab Dita lugas.
Semua senior geleng-geleng kepala. “Perlengkapan MOS sudah kamu bawa semua?”
Dita menggeleng. “Saya nggak punya kacang kedelai, Kak. Kata bunda saya, mungkin mau buat tempe, jadi saya bawa saja tempenya.”
Beberapa senior tergelak. Begitu juga Arga yang berdiri tidak jauh dari sana. Arga bisa membaca gelagat Dita. Adik kelasnya itu sedang melawan dengan cara halus. Dita menggunakan kepolosannya. Dan ... bisa jadi kecantikannya.
Wajah Dita oval dengan tulang hidung tinggi dan mata bulat. Bibirnya yang memakai pelembab bibir kelihatan penuh. Ditambah wajahnya tampak mulus, mungkin kalau ada lalat yang iseng hinggap, bisa terpeleset.
Sampai sekarang, paras cantik Dita tidak berkurang, bahkan tambah memesona. Arga saja sampai pangling ketika pertama bertemu. Jauh lebih cantik aslinya dibanding foto yang dia lihat di IG perempuan itu.
Arga menarik napas. Dia mengambil risiko besar saat memutuskan menghubungi kantor arsitek Lunar, tempat Dita bekerja. Dia berharap bisa bertemu dengan perempuan itu di sana. Dan kalau dia beruntung, Dita yang mengerjakan proyek rumahnya.
Kedua keinginannya terkabul. Arga bertemu dengan Dita dan perempuan itu memegang proyek rumahnya. Dia berpikir, bisa jadi ini pertanda kalau Allah rida dengan rencananya untuk menyelesaikan persoalan yang belum selesai antara dirinya dan Dita.
Arga membuka folder Dita di galeri ponselnya dan mencari-cari sebuah foto. Dia tersenyum kecil saat menemukannya. Foto dirinya bersama Dita saat acara kelulusan SMA. Mereka berdiri berdampingan dan tersenyum lebar.
Arga masih ingat dengan jelas hari itu. Fotografer menyuruh berdiri lebih dekat lagi sampai bahu mereka bersentuhan. Awalnya rikuh, tetapi dia menguasai diri dengan cepat. Dia mencairkan suasana dengan menyuruh Dita untuk tersenyum. Dan hasil fotonya memuaskan. Mereka tampak seperti pasangan, meskipun sebenarnya tidak.
Arga menutup aplikasi dan meletakkan ponsel. Dia tidak bisa mengatakan perasaan hatinya kepada Dita. Tidak dulu, tidak sekarang. Konsekuensinya terlalu berat. Namun, mau tidak mau, Arga harus menghadapi kenyataan kalau dia perlu memberi tahu yang sebenarnya kepada Dita. Dia berharap Dita tidak pergi dari sisinya, seperti yang dia lakukan dulu kepada perempuan itu.
*****

“Pekan depan kamu bisa ke rumah?” tanya Lastri di telepon.
“Ada apa, Bun?” tanya Dita penasaran. Dia sedang makan siang di pantry kantor.
“Ada yang mau Bunda bicarakan. Penting.”
Penting. Ada apa, ya? “Insya Allah sore, ya, Bun, habis ketemu klien.” Sebelumnya Dita ada janji dengan Arga untuk membahas perbaikan desain rumah.
“Oke, Bunda tunggu, ya.” Setelahnya Lastri mengucapkan salam dan mematikan sambungan.
“Nyokap, lo?” tanya Dimas. Laki-laki itu duduk di hadapan Dita.
Dita menoleh. “Iya. Nyokap minta gue ke sana akhir pekan ini. Padahal baru pekan lalu gue ke sana.” Dia meletakkan ponsel di meja dan melanjutkan makannya. Kali ini dia tidak sempat menyiapkan bekal, jadinya beli nasi soto di depan kantor.
“Kangen kali nyokap. Lo jarang nelepon, sih,” kata Dimas.
Dita memang tidak menelepon bundanya setiap hari. Lebih sering bundanya duluan yang menelepon. Jarang-jarang bundanya mengatakan ada hal penting yang ingin dibicarakan. Apa jangan-jangan .... Dita mengusir pikiran itu jauh-jauh.
“Kenapa?” tanya Dimas saat melihat air muka Dita berubah.
“Nggak.” Dita menghindar.
Dimas tahu Dita tidak jujur, tetapi dia tidak mau memaksa. “Eh, klien lo itu ... siapa namanya?”
“Klien gue yang mana?”
“Yang dulu bareng Pak Kevin?”
“Arga? Eh, Pak Arga?” Dita kelepasan.
“Nah iya, Pak Arga. Dia temen SMA lo, ya?”
Deg! Dita terpaku sesaat. “Lo tahu dari siapa?” Dia menyembunyikan kekagetannya.
“Pak Kevin.”
“Ooo ....” Dari mana bosnya itu tahu, pikir Dita.
“Jadi beneran Pak Arga temen SMA lo?”
“Iya.”
“Kakak kelas lo?”
“Iya.” Dita menjawab singkat-singkat. Tidak berminat membahas terlalu jauh.
“Wah, kebetulan banget, dong,” sahut Dimas.
Kebetulan yang tidak Dita harapkan. “Iya, kebetulan.”
“Kok tampang lo galau gitu?” tanya Dimas. “Jangan-jangan mantan lo, ya? Atau lo pernah naksir dia pas SMA, tetapi ditolak?”
“Enak aja,” sergah Dita. “Sori, ya, yang naksir gue pas SMA banyak, cuma gue nggak mau aja.”
“Jadi dia nembak lo, terus lo tolak?” cecar Dimas.
“Resek, deh, Mas,” kata Dita sebal. “Gue udahan.” Dita menghabiskan minumnya lalu berdiri.
“Eh, lo marah?” tanya Dimas khawatir. Padahal dia hanya bercanda.
“Nggak.” Dita keluar dari pantry. Dia tidak marah ke Dimas. Hanya tidak mau membicarakan tentang Arga.
*****
“Nggak, gue nggak marah,” jawab Dita saat Dimas meneleponnya, sesampainya dia di apartemen.
“Habis muka lo ditekuk seharian,” kata Dimas.
Dita tertawa. “Masa?” Dia memang sengaja memasang mode serius di wajahnya. Semata-mata untuk menghindari Dimas mengajaknya mengobrol.
“Iya, serem gue liatnya,” balas Dimas. “Lo marah gara-gara gue nanya-nanya tentang Pak Arga, ya?”
“Nggak kok.” Tadi Dita hanya tidak siap memberikan jawaban karena tiba-tiba Dimas menanyakan Arga. “Dia kakak kelas gue. Emang nyebelin, sih, orangnya dulu.” Dia tertawa untuk meyakinkan Dimas kalau semua baik-baik saja.
“Terus kenapa lo marah sama gue?”
“Gue nggak marah Dimaaas!” seru Dita gemas.
“Gue bisa bedain saat lo marah sama nggak,” kata Dimas.
Dita menarik napas. “Gue lagi banyak pikiran aja,” alasannya.
“Mikirin apa, sih? Paling jodoh.”
“Dasar,” sergah Dita.
“Lo khawatir nyokap jodohin lo lagi?” tanya Dimas.
Sebenarnya Dita juga khawatir tentang hal itu. Bundanya ingin bicara sesuatu yang penting dengannya. Bisa jadi persoalan jodoh.
Menurut bundanya, perempuan seusia Dita sudah pantas untuk menikah. Namun, Dita berpandangan lain. Pernikahan bukan perlombaan, siapa yang duluan maka dia yang menang. Buat Dita pernikahan adalah masalah kesiapan. Dan dia belum siap.
“Lalu kapan siapnya?” tanya bundanya saat Dita bilang kalau dia belum siap menikah? “Kamu mau Bunda masukin ke sekolah pra nikah?”
Usulan yang langsung Dita tolak secara halus dengan mengatakan kalau dia sedang sibuk mengerjakan proyek. Sudah dua kali bundanya berusaha menjodohkannya.
Pertama dengan anak teman satu pengajiannya. Kedua dengan anak salah satu pelanggan tetap butik bundanya. Dita tidak pernah menunjukkan ketertarikan sedikit pun saat bundanya mengenalkannya kepada kedua laki-laki tersebut.
Kapan Dita siap untuk menikah?
Dita sendiri tidak tahu kapan. Tidak mau memikirkannya juga. Dia tidak butuh laki-laki untuk melengkapi hidupnya. Dia tidak butuh pelengkap. Dia bahagia dengan hidupnya sekarang.
“Dit! Masih di sana, lo?” tanya Dimas.
“Eh, apaan?”
“Lo tidur barusan?”
“Nggak.” Dia hanya memikirkan pertemuan dengan bundanya besok. “Udah, ya. Gue belum mandi, nih.”
“Ya udah, sampai besok.”
Setelah mengucapkan salam, Dita menutup sambungan. Hatinya jauh lebih baik setelah mengobrol dengan Dimas. Sahabatnya itu memang bisa diandalkan. Dimas selalu tahu kapan harus memberinya ruang, kapan harus mendekat. Dimas memberinya waktu dulu baru menanyakan keadaan dirinya. Saat Dita sudah lebih relaks.
Andai saja semua cowok seperti Dimas.
*****
“Untuk dapur sudah saya koreksi ukurannya menjadi lebih besar, juga penambahan kitchen island, sesuai dengan permintaan Pak Arga,” jelas Dita sambil menunjukkan gambar kerja.
“Iya, Ibu saya suka sekali membuat kue, kadang-kadang juga menerima pesanan,” kata Arga. “Kalau dapurnya lebih besar, pastinya lebih nyaman.”
Dita tersenyum. “Untuk pintu menuju taman belakang, pintunya jadinya pakai folding door?”
“Iya, apa Bu Dita punya masukan lain?” tanya Arga.
“Menurut saya lebih baik memakai sliding door,” kata Dita. “Selain ukuran pintunya tidak terlalu besar, harganya juga relatif lebih murah.”
“Saya ikut saja,” balas Arga.
“Baik.”
Pembicaraan terhenti saat pramusaji membawakan minuman mereka.
“Terima kasih,” kata Dita kepada pramusaji.
“Minum dulu,” tawar Arga.
“Nanti saja. Kalau Pak Arga mau minum, silakan.” Dita memberikan senyum sopan.
“Saya juga nanti saja.”
“Kalau begitu kita lanjut sebentar, Pak. Untuk fasad apakah ada pertanyaan?”
Arga tersenyum tipis. “Oke. Saya ada masukan untuk fasadnya.”
*****
Dita dan Arga membahas desain selama satu jam. Dita bangga dengan dirinya yang bisa menjaga pembicaraan tetap profesional.
“Insya Allah perbaikan desain akan saya e-mail nanti, Pak.” Dita membereskan gambar kerja dan memasukkan iPad ke tas.
“Oke. Oya, untuk instalasi listriknya nanti biar saya yang mengerjakan gambarnya. Nggak apa-apa, kan?” tanya Arga.
“Boleh, Pak. Nanti e-mail saja ke saya gambarnya.” Sebenarnya Dita bisa mengerjakannya, tetapi karena Arga adalah sarjana elektro, dia tentunya “merasa” lebih paham tentang kelistrikan.
“Diminum dulu,” tawar Arga.
Dita meraih gelas ice lemon tea-nya. Esnya sudah mencair. Pasti rasanya sudah berubah.
“Ada acara lain setelah ini?” tanya Arga.
Sebenarnya bukan urusan Arga. “Iya, saya ada keperluan lain, Pak.”
“Mau ke mana?”
Dita tersenyum. “Apa harus saya jawab?”
“Eh, maaf, bukan maksud saya kepo,” kata Arga tidak enak.
“Nggak apa-apa.” Dita tidak sanggup menghabiskan minumannya. Baru setengah dan dia sudah merasa kembung.
“Saya berencana mencari beberapa furniture untuk mengisi rumah. Kalau nggak keberatan, saya ingin meminta pendapat kamu,” kata Arga.
“Kalau Pak Arga berminat mencari interior desainer, kami punya beberapa rekanan yang kompeten di bidangnya,” elak Dita. Pergi berdua dengan Arga adalah hal yang dihindarinya.
Arga tertegun. Ternyata Dita masih menjaga jarak dengan dirinya. Namun, dia tidak bisa menyalahkan perempuan itu. Small step, Arga. “Oh, baik, nanti saya pikirkan.”
“Baik, kalau nggak ada lagi yang perlu dibicarakan, saya permisi dulu, Pak.” Dita bersiap berdiri.
“Lukman kirim salam,” beri tahu Arga. Dia berusaha membuat Dita tidak pergi.
“Lukman?” Dita urung bangkit.
“Iya, kamu ingat, Lukman Darsi, ketua teater pas SMA.”
“Oh, Kak Lukman.” Tentu Dita ingat. Mereka cukup dekat dulu. Dita kagum dengan bakat akting Kak Lukman. Laki-laki itu juga jago menyutradari pementasan drama. “Ketemu Kak Lukman di mana?”
Arga tersenyum. Dita mulai terpancing. “Aku sama Lukman satu kantor.” Dia mulai menanggalkan formalitas.
Mata Dita melebar. “Apa? Satu kantor? Memangnya Kak Lukman kerja di kontraktor juga?”
Arga mengangguk. “Dia lulusan Mesin.”
“Mesin?” Dita masih tidak percaya. “Aku pikir Kak Lukman bakal ngambil kuliah teater atau film.”
“Sayangnya nggak. Katanya orang tuanya nggak setuju,” kata Arga.
Dita menarik napas. Kalau saja para orang tua lebih banyak mendengarkan dan mencoba memahami keinginan anak-anak mereka, tentu akan lain ceritanya. “Padahal Kak Lukman bisa jadi sutradara hebat.”
“Dia engineer yang hebat, kok,” kata Arga.
“Tetapi akan lebih hebat lagi kalau Kak Lukman berkecimpung di dunia teater atau film,” bantah Dita.
“Dari mana kamu tahu itu?”
“Jelas-jelas waktu SMA Kak Lukman suka akting, dan aktingnya bagus. Ingat, kan, waktu pementasan drama, acaranya sukses besar,” tambah Dita.
“Siapa tahu cita-citanya berubah di tengah jalan,” sahut Arga.
“Kalau orang tuanya Kak Lukman nggak ngelarang Kak Lukman untuk kuliah teater, tentu ceritanya akan lain.”
“Tetapi Lukman kuliah di Mesin, dan sekarang dia seorang site manager yang luar biasa.”
“Tetapi Kak Lukman akan lebih sukses lagi kalau dia bekerja sesuai passion-nya.”
“Menurut kamu menjadi engineer bukan passion Lukman?”
“Bukan.”
“Bagaimana kalau kita tanya orangnya langsung?” Arga mengeluarkan ponselnya. Dia mencari nomor Lukman.
Dita tertegun. “Buat apa?”
“Memastikan apakah kamu benar atau nggak.” Arga menelepon Lukman.
“Eh, nggak perlu.” Refleks Dita mengambil ponsel dari tangan Arga.
Arga cukup kaget dengan gerakan Dita yang tiba-tiba.
“Halo.” Samar-samar suara dari ponsel Arga.
Dita serta-merta menyerahkan ponsel ke Arga dengan panik.
Arga menerimanya. “Halo. Assalamu’laikum.”
“Nggak ... gue cuma mau bilang kalau gue udah nyampein salam lo ke Dita,” kata Arga.
“Iya, tadi gue ketemu dia.”
“Oke.”
“Wa’alaikumussalam.”
Dita menunggu dengan tubuh kaku. Dia baru bisa bernapas lega saat Arga mematikan sambungan telepon.
Arga dengan santai meletakkan ponsel di meja. Dia menatap Dita sambil tersenyum. “Lukman lagi bawa mobil, jadi nggak bisa ngobrol lama,” jelasnya.
Huh. Kepingin marah, tetapi .... Dita menarik napas. Dia hanya bisa menggerutu di dalam hati.
“Pilihan orang tua nggak selalu buruk, jangan berburuk sangka terlebih dahulu,” kata Arga.
“Tetapi nggak seharusnya orang tua melarang-larang anaknya mengejar impiannya,” kritik Dita. “Seharusnya orang tua mendengarkan juga keinginan anaknya.”
“Kenapa bukan anak yang mendengarkan keinginan orang tuanya?”
“Karena yang akan menjalani, kan, anaknya, bukan orang tuanya,” kata Dita. “Kadang cita-cita orang tuanya nggak kesampaian, malah menyuruh anaknya melanjutkan cita-citanya. Kan nggak make sense.”
“Kenapa nggak?” tanya Arga.
“Karena impian anak dan orang tua bisa jadi berbeda.”
“Bisa jadi si anak belum tahu impiannya dan orang tuanya yang menunjukkan jalannya?”
“Tetapi Kak Lukman, kan, udah tahu impiannya.” Kenapa bahasannya jadi melebar ke mana-mana, sih? Mereka sedang membicarakan seniornya di SMA itu, kan?
“Bukannya mengikuti keinginan orang tua termasuk bakti anak kepada orang tuanya?” pancing Arga.
“Berbakti, kan, bisa dengan banyak cara. Gimana kalau anaknya nggak bahagia setelah mengikuti keinginan orang tuanya?”
“Bahagia itu kan kita yang menentukan, bukan orang lain,” kata Arga. “Sesulit apa pun keadaan, kalau kita memilih untuk tetap bahagia, maka akan bahagia. Sama dengan passion. Pekerjaan apa pun yang kita lakukan sekarang, harus dilakukan dengan passion. Itu tandanya kita bersyukur.”
“Aku suka pekerjaanku yang sekarang. Aku nggak yakin akan menyukai pekerjaan lain yang nggak berhubungan dengan arsitektur. Dokter misalnya. Atau pengacara. Atau polisi,” kata Dita.
“Tetapi kamu seorang arsitek. And it fits you so well,” kata Arga.
“I know. Aku cuma mau bilang aku nggak akan bahagia seandainya aku nggak menjadi seorang arsitek.”
“Well ... you never know.” Arga menyenderkan punggung ke sandaran kursi sambil menatap Dita lekat.
Dita tertegun. Sebenarnya apa yang sedang diperdebatkannya dengan Arga. Sepertinya laki-laki di hadapannya ini sengaja memancing emosinya.
*****
Komunikasi adalah kunci dalam membina sebuah hubungan. Termasuk hubungan anak dan orang tua. Dita dan bundanya kerap bercerita satu sama lain, meskipun lebih banyak bundanya yang curhat. Dita menceritakan seperlunya, beberapa dia simpan untuk dirinya sendiri.
“Nanti makan malam di sini, kan?” Lastri meletakkan mangkok berisi serabi kuah durian di meja.
“Insya Allah, Bun.” Dita langsung menghidu aroma kuah serabi yang menguarkan harum durian. “Hmmm ... enak, nih, kayaknya. Dingin lagi.” Bundanya tahu kalau Dita lebih menyukai camilan dalam keadaan dingin. Seperti bubur kacang hijau dingin, kolak dingin, puding dingin, dan cake dingin.
“Bunda masak ayam goreng sama sayur asem,” kata Lastri. Dia menatap Dita yang tengah asyik menyantap serabi. Dadanya berdebar pelan. Bagaimana kalau Dita tidak setuju dengan rencananya?
“Wah, udah lama aku nggak makan sayur asem,” sahut Dita senang.
Lastri tersenyum. “Dita ....”
Dita menoleh. Bundanya pasti ingin memberitahukannya sesuatu yang “penting” itu.
“Bunda mau kasih tahu sesuatu.” Detak jantung Lastri bertambah cepat.
Dita mendengarkan. Kalau bundanya ingin menjodohkannya lagi, dia sudah menyiapkan beberapa alasan untuk menolaknya.
“Sudah delapan tahun ayah kamu meninggal,” kata Lastri.
Rasanya baru kemarin, batin Dita.
“Alhamdulillah, Allah berikan kita kekuatan menjalankan kehidupan sampai sekarang,” lanjut Lastri.
Dita bersyukur mereka tidak kekurangan suatu apa pun. Bundanya lulusan jurusan bisnis sebuah kampus di Boston, Amerika. Sebelum menikah dengan ayahnya, bundanya sudah bekerja di perusahaan orang tuanya yang bergerak di bidang pakaian ready to wear.
Usaha orang tua bundanya lebih fokus ke penjualan online dan berkembang pesat. Omset mencapai puluhan miliar rupiah per tahunnya. Bundanya sekarang membuat brand baru, pakaian ready to wear untuk muslimah. Alhamdulillah follower Instagram brand bundanya sudah mencapai 1 juta lebih. Sekali launching langsung sold out.
Kalau ditanya kenapa Dita tidak mengikuti jejak bundanya? Well, panjang ceritanya. Dita sama sekali tidak tertarik dengan pekerjaan yang ditekuni ayah dan bundanya. Dita tidak pernah menganggap orang tuanya sebagai idolanya karena dia tidak mendapatkan kehangatan sebuah keluarga dari ayah dan bundanya.
“Kamu juga sudah besar, sudah mandiri, sudah bisa menghidupi diri sendiri,” lanjut Lastri.
Dita memang mendapatkan gaji dari pekerjaannya. Namun, bulanan dari bundanya jauh lebih besar dibandingkan gajinya yang sekarang. Kata bundanya, uang itu adalah bagian Dita dari saham perusahaan. Dita tidak terlalu paham, tetapi dia menerimanya dengan senang hati.
“Usia kamu juga sudah matang, sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang tidak,” tambah Lastri.
Dita sudah tahu ke mana arah pembicaraan bundanya.
“Sudah pantas berumah tangga,” kata Lastri.
Nah, benar, kan! Lagi-lagi masalah perjodohan.
“Apa kamu sudah punya calon? Atau mau Bunda carikan calonnya?”
Dita menarik napas. “Jodoh, kan, rahasia Allah, Bun. Bunda dulu pernah bilang begitu, kan?” balas Dita. “Kalau sudah waktunya, pasti akan Allah kasih. Yang penting Dita terus memperbaiki diri supaya mendapatkan calon suami yang baik. Iya, kan, Bun?”
“Iya, benar. Tetapi kita, kan, harus usaha juga.”
“Usaha bagaimana lagi, Bun? Dita udah doa, kok. Supaya Allah berikan jodoh yang baik. Kalau belum datang, artinya belum Allah kasih.”
Lastri kehabisan kata-kata. “Tetapi, kamu berniat untuk menikah, kan?”
“Menikah, kan, sunah Rasulullah. Masa aku nggak ngikutin, sih, Bun?” elak Dita.
Lastri menarik napas. “Kamu punya target kapan menikah?”
“Belum tahu, Bun. Kapan dikasih Allah aja. Bisa jadi tiga atau lima tahun lagi.”
“Apa nggak kelamaan? Nanti usia kamu udah 30 tahun lebih,” kata Lastri.
“Memangnya dalam Islam ada syarat minimal usia menikah?” tanya Dita.
Lastri menggeleng. “Tetapi menyegerakan lebih baik.”
“Aku nggak mau tergesa-gesa, Bun. Dari pada cepat menikah terus menyesal.” Dita mengingat pernikahan orang tuanya. Dulu ayah dan bundanya menikah karena dijodohkan. Baru mengenal sebentar sudah langsung menikah.
“Pernikahan setiap orang beda-beda, Dita. Ada yang taaruf sebentar terus menikah, pernikahannya langgeng. Ada yang sudah lama pacaran terus menikah, pernikahannya nggak berlangsung lama,” jelas Lastri.
“Aku baik-baik saja, kok, Bun. Aku happy dengan kehidupanku yang sekarang. Bunda nggak perlu khawatir soal kapan aku menikah atau siapa jodohku. Insya Allah aku bisa jaga diri. Aku juga nggak berbuat yang aneh-aneh, kan? Temen dekat cowok aja nggak punya. Kecuali Dimas, sih,” jelas Dita panjang lebar. “Tetapi Dimas, kan, sahabat aku sejak kuliah. Bunda tahu Dimas gimana. Bunda juga kenal sama papanya Dimas. Insya Allah nggak ada yang perlu dikhawatirkan, Bun.”
Lastri terdiam cukup lama.
“Bunda sedih karena aku belum dapat jodoh?” tanya Dita pilu. Dia tidak mau membuat bundanya resah.
“Bukan itu ....”
“Terus, kok Bunda diam gitu?” Dita meraih tangan bundanya.
“Bunda cuma ....” Lastri ragu melanjutkan kalimatnya. Dia sudah menunggu cukup lama. Setahun lebih. “Bunda cuma khawatir.”
“Khawatir kenapa?”
“Khawatir kamu nggak setuju.” Lastri memberi jeda. “Kalau Bunda menikah lagi.”
Dita terpaku. Dia tidak salah dengar, kan? Bundanya barusan bilang mau menikah lagi? “Apa, Bun?”
“Bunda ingin menikah lagi.”
Benar. Dita tidak salah mendengar. “Menikah lagi?”
Lastri mengangguk dengan raut gamang.
Dita masih belum tersadar sepenuhnya. Dia masih memroses semuanya. Bundanya ... menikah lagi?
Bundanya memang terlihat awet muda di usia lima puluh tahun lebih. Namun, kenapa bundanya ingin menikah lagi di usia yang ... lebih setengah abad? Apakah bundanya masih memerlukan seorang laki-laki untuk mendampinginya? Bagaimana kalau pernikahan kedua tidak berhasil? Bukankah akan menambah beban saja?
“Kamu nggak suka Bunda menikah lagi?” tanya Lastri was-was.
“Eh, bukan begitu, Bun. Aku cuma kaget aja. Bunda nggak pernah membicarakan tentang hal ini sebelumnya ke aku.”
“Bunda inginnya kamu menikah duluan. Bunda khawatir ada omongan nggak enak dari keluarga atau kerabat lain. Anaknya belum nikah, bundanya malah mau nikah kedua kali,” jelas Lastri hati-hati.
“Bunda beneran mau nikah? Udah ada calonnya?” tanya Dita penasaran.
Lastri mengangguk.
“Siapa, Bun? Aku kenal?”
Lastri tersenyum. “Nanti Bunda kenalkan.”
Dita ikut tersenyum. Bundanya terlihat bahagia. Sudah seharusnya dia juga bahagia untuk bundanya. Bundanya menemukan laki-laki yang dicintainya pada usia yang tidak muda lagi. Siapa yang mengira? Jodoh memang rahasia Allah.
Dita bangkit dan memeluk bundanya. “Selamat, ya, Bun,” katanya penuh haru.
“Makasih, sayang.” Lastri balas memeluk anaknya. Matanya sudah basah. “Kamu nggak apa-apa, kan?”
Dita menggeleng. “I’m happy if you’re happy.”
Lastri menyeka air matanya. “Bunda mau mengenalkan kamu sama ... calon Bunda. Kapan kamu ada waktu?”
“Kapan aja insya Allah aku bisa.”
“Kalau besok kamu ada acara?”
Besok? Dita jadi deg-degan. “Nggak, Bun, insya Allah bisa.”
“Kalau begitu besok, insya Allah. Nanti Bunda kabari lagi.”
Dita tersenyum datar. Jadi ... dia akan punya ayah lagi?
*****
Dita merebahkan tubuhnya di kasur. Nikmat sekali melempengkan badan setelah beraktivitas seharian. Dia sudah sampai di apartemen dan sudah bersih-bersih. Setelah meregangkan otot tubuh, dia membalikkan tubuh dan meraih ponselnya.
Ada pesan dari Dimas. Dita langsung membukanya.
Dimas: Lo di mana?
Dita: Apartemen. Kenapa?
Dimas: Gue telepon, ya.
Dita: Oke.
“Kok gelap?” tanya Dimas ketika melihat layarnya gelap.
“Iya, gue males pake jilbab,” kata Dita. Dia sengaja menelungkupkan ponsel di kasur sehingga kamera depannya tertutup.
“Jiah, padahal gue pengin kasih lihat tempatnya, bagus,” protes Dimas.
“Ya udah, bentar.” Dita meraih bergo di sandaran kursi dan memakainya. “Emang lagi di mana? Kok berisik.” Dia mengambil ponselnya. Terlihat wajah Dimas di layar.
“Bandung.” Dimas mengeraskan suaranya agar tidak kalah dengan suara musik yang berdentum.
“Jauh banget. Ada acara apa di sana?”
“Anak-anak lagi manggung. Gue disuruh dateng.” Dimas mengedarkan kameranya ke sekeliling.
Pantas saja berisik. Ternyata Dimas sedang menonton konser musik. Anak-anak yang dimaksud adalah teman-teman SMA Dimas. Dulu Dimas tergabung dalam grup band di sekolahnya. Setelah kuliah Dimas tidak aktif lagi. Namun, mereka masih sering berkumpul.
Sahabatnya itu jago main kibor dan gitar. Kepiawaiannya bermain alat musik saat pentas seni Teknik banyak membuat cewek-cewek di kampus terpesona.
“Lo nginep di Bandung?” tanya Dita. Sebenarnya dia ingin curhat persoalan bundanya ke Dimas. Tetapi, sikon tidak memungkinkan.
“Iya, paling besok siang atau sore baru balik,” kata Dimas. “Lo mau gue bawain apa dari Bandung?”
“Batagor, aja.”
“Oke. Udah dulu, ya.”
“Oke.”
Setelah mengucapkan salam, Dita mematikan sambungan. Sudah pukul sepuluh, matanya mulai meredup. Saat hendak menaruh ponsel di nakas, Dita tergoda untuk membuka pesan dari Arga.
Dia membaca pesan terakhir dari laki-laki itu.
Insya Allah gambar saya berikan Kamis.
Dita belum membalas pesan tersebut. Apakah perlu dia balas. Arga, kan, hanya memberi info.
Dita teringat tadi siang saat mereka berdebat. Untung saja tidak berapa lama bundanya menelepon sehingga dia punya alasan untuk segera pergi dari sana.
“Bunda kamu?” tanya Arga saat mendengar percakapan singkat Dita dengan bundanya.
“Iya,” jawab Dita.
“Gimana kabar bunda kamu?”
“Alhamdulillah sehat.”
“Alhamdulillah. Salam, ya, untuk beliau.”
Dita tidak ingat kapan Arga pernah bertemu dengan bundanya. Rasanya tidak pernah. Atau pernah waktu dirinya lulus-lulusan. Waktu itu bundanya hadir, tetapi ayahnya tidak. Ayahnya lebih memilih ke luar kota untuk bekerja ketimbang menghadiri wisuda SMA-nya.
Dita mengiyakan dan langsung pamit. Dia belum menyampaikan salam Arga ke bundanya. Apakah perlu disampaikan? Toh bundanya juga tidak kenal dengan kakak kelasnya itu.
Dita menoleh ke nakas dan menatap jam beker dusty pink pemberian Arga.
“Biar kamu nggak terlambat bangun, jadi bisa datang ke sekolah tepat waktu,” kata Arga waktu itu.
Jam beker itu yang menemaninya semasa kuliah sampai sekarang. Jam beker itu yang membuatnya menyukai warna dusty pink. Kadang aneh. Betapa cepat kita berubah dari tidak menyukai sesuatu menjadi menyukainya, hanya karena alasan sepele. Seperti dirinya, karena jam beker itu pemberian Arga. Laki-laki yang disukainya.
Huh. Kenapa jadi memikirkan hal yang tidak penting, sih?
Dita berbaring telentang. Matanya menatap lurus langit-langit kamar. Ada hal lain yang lebih penting. Besok dia akan bertemu dengan calon suami bundanya. Di mana mereka bertemu? Apakah teman lama bundanya? Apakah dijodohkan oleh guru mengaji bundanya? Apakah rekan bisnis bundanya? Apakah mereka sudah kenal lama atau baru?
Banyak sekali pertanyaan di benak Dita. Bagaimana orangnya? Apakah laki-laki itu baik kepada bundanya? Apakah dia bisa dekat dengan laki-laki itu nantinya? Bagaimana kalau dia tidak suka dengan orang itu? Apakah bundanya akan menerima pendapatnya?
Dita menarik napas panjang. Apakah kali ini dia akan benar-benar memiliki seorang ayah dalam artian sebenarnya. Seorang laki-laki yang bisa dia look up to dan diandalkan? Tentu aneh rasanya karena dia tidak pernah benar-benar merasakan kasih sayang seorang ayah sebelumnya.
Semoga saja besok berjalan lancar. Dia hanya ingin bundanya bahagia di masa tuanya. Kalau laki-laki yang dipilih bundanya bisa memberikan itu, dia ikhlas.
*****
BAB 11
Dita tidak ingat kapan terakhir kalinya bundanya segugup ini ketika hendak bertemu seseorang. Rasanya tidak pernah. Bundanya adalah wanita mandiri dan percaya diri. Sering tampil di depan umum. Sering bertemu banyak orang baru.
“Jilbab Bunda miring nggak?”
Entah sudah berapa puluh kali bundanya menanyakan penampilannya ke Dita. Sebelumnya bundanya menanyakan apakah gamis yang dikenakannya tidak kusut, lalu apakah jilbab yang dikenakan cocok dengan warna gamisnya, terus apakah riasannya tidak terlalu berlebihan. “Udah bagus, Bun. Cantik, kok,” kata Dita menggoda bundanya. Mereka berjalan melewati lobi hotel dan menuju lift.
“Kamu bisa aja,” balas Lastri malu-malu.
Dita tersenyum melihat wajah bundanya bersemu. Bundanya sepertinya sedang jatuh cinta. Bagi orang yang sedang kasmaran, tentu menanti-nanti bertemu dengan orang yang dikasihinya.
Tiba-tiba wajah Arga melintas dalam benaknya. Dita segera mengusir bayangan itu jauh-jauh. Kenapa mesti teringat laki-laki itu, sih.
“Lantai sepuluh,” beri tahu Lastri saat mereka naik lift.
“Iya, tahu,” balas Dita. Restoran di hotel ini adalah favorit bundanya. Kalau ada perayaan spesial seperti ulang tahun atau lainnya, bundanya kerap mengajaknya ke sini.
Lastri menarik napas. Dadanya berdebar pelan. Dia melirik Dita. Bagaimana kalau anaknya tidak menyukai laki-laki yang dicintainya itu?
Saat pintu lift terbuka, mereka berjalan menuju restoran.
“Selamat malam, Bu,” sapa petugas resepsionis.
“Selamat malam,” jawab Lastri ramah.
“Ada yang bisa saya bantu?”
“Saya sudah booking, Mbak.”
“Baik, atas nama siapa, Bu?”
“Bagas Alamsyah.”
“Sebentar saya cek.” Petugas memeriksa di gadget-nya.
Bagas Alamsyah. Rasanya Dita pernah mendengar nama itu.
“Baik, Bu. Meja empat. Mari saya antar.” Petugas mempersilakan tamunya masuk ke area makan.
Tunggu dulu. Itu, kan, nama bosnya, batin Dita. Oh, tidak! Masih dalam keadaan kaget Dita mengikuti mamanya.
“Silakan, Bu.” Petugas mengantarkan tamunya ke meja empat.
“Terima kasih,” balas Lastri.
Dita terpaku. Benar. Itu Pak Bagas. Bosnya di kantor. Papanya Dimas.
“Halo.” Bagas bangkit menyambut Lastri dan Dita.
Pandangan Dita beralih ke Dimas yang duduk di samping papanya. Dari wajah Dimas, dia yakin laki-laki itu sama kagetnya dengan dirinya. Kok bisa?
*****
“Kamu nggak makan, Dita?” tanya Bagas.
“Eh, iya, Pak.” Udang saus padang di restoran ini adalah yang paling enak menurut Dita. Namun, saat ini dia sama sekali tidak bernafsu.
“Jangan panggil ‘Pak’, kita, kan, nggak lagi di kantor,” kata Bagas.
“Jadi saya harus manggil apa, Pak?” Masa panggil “Om”, batin Dita.
Bagas juga kebingungan. “Ya sudah, Pak, aja nggak apa-apa.”
“Jadi Papa sama Tante Lastri ketemu di mana?” tanya Dimas penasaran.
Dita melirik Dimas. Dari tadi mereka belum membahas tentang rencana pernikahan bundanya dan Pak Bagas. Mereka sempat berbasa-basi sebentar menanyakan kabar, lalu makanan datang.
“Kami teman satu SMA,” jawab Bagas. “Ketemu lagi pas reuni, ya kan, Lastri?” Dia menoleh ke Lastri.
“Iya, pas reuni,” balas Lastri. “Terus beberapa kali ketemu karena ada kegiatan bareng.”
“Kegiatan apa, Bun?” Dita gantian bertanya.
“CSR kantor kamu, ya, Mas?” Lastri menatap Bagas.
“Iya, kita ngadain kegiatan sosial dan kerja sama dengan komunitas ‘Bunda Hijrah’,” jelas Bagas.
“Ooo ....” Kalau itu Dita tahu. Waktu itu Pak Bagas menanyakan kepadanya apakah ada rekomendasi yayasan atau komunitas yang bisa diajak kerja sama untuk program CSR kantornya. Dita tentu saja merekomendasikan komunitas bundanya. Apakah itu tidak disengaja atau bosnya sudah merencanakannya sedemikian rupa?
“Kok Papa nggak pernah cerita kalau lagi dekat sama Tante Lastri?” tanya Dimas heran.
“Kamu nggak nanya,” jawab Bagas ringan.
Bundanya juga tidak pernah bilang apa-apa. Apakah bundanya dan Pak Bagas sengaja menyembunyikan semua ini?
Bagas berdeham. “Dita. Saya tahu kamu dan Dimas pasti kaget dengan semua ini,” jelasnya.
Tentu saja Dita kaget. Sangat kaget. Bukannya dia berkeberatan. Hanya tidak menyangka saja. Kalau calon suami bundanya adalah seseorang yang tidak dia kenal, mungkin Dita tidak akan seterkejut ini. Tetapi, di lain pihak, bukankah lebih baik apabila dia mengenal laki-laki yang akan dinikahi bundanya? Dita sudah kenal baik dengan bosnya.
“Kami hanya menunggu waktu yang pas untuk menceritakan semua ini kepada kamu dan Dimas,” lanjut Bagas. “Banyak hal yang kami pertimbangkan. Baik kesiapan kami sendiri dan kesiapan kalian.”
Dita melirik Dimas. Sesaat mereka bertukar pandang.
“Saya mencinta bunda kamu, Dita. Dan saya ingin menghabiskan sisa hidup saya bersamanya,” ikrar Bagas.
Dita rikuh mendengar pengakuan bosnya barusan. Sangat blak-blakan. Namun, juga sangat tepat sasaran. Tentu membutuhkan keberanian besar bagi seorang laki-laki mengatakan hal itu di depan orang lain.
Dita melirik bundanya yang tampak terharu dengan mata berkaca-kaca. Sudah jelas bundanya bahagia. Bukankah dia sudah berjanji akan melakukan apa saja untuk kebahagiaan bundanya?
“Saya tidak berkeberatan apabila bunda saya menikah lagi, Pak,” kata Dita. “Saya hanya ingin bunda saya bahagia.” Dia menggenggam tangan bundanya.
Bagas tersenyum, lalu menoleh ke Dimas.
“Aku setuju-setuju aja,” jawab Dimas.
Dita menatap Dimas. Sahabatnya itu tidak terlihat terlalu antusias.
*****
Dita menatap langit Jakarta yang mendung. Sayang sekali, tidak ada bintang yang terlihat.
“Lo nggak pernah cerita kalau nyokap lo mau nikah lagi?” tanya Dimas penasaran.
“Harus, ya?” Dita bertanya balik.
“Biasanya, kan, gitu.”
Dita tersenyum. Mereka tengah duduk di teras luar restoran sambil menikmati makanan penutup. “Nyokap baru ngasih tahu kemarin sore. Lagian pas gue mau cerita, lo lagi di konser. Mana kedengaran gue ngomong apa,” katanya. “Lo sendiri kenapa nggak cerita?”
“Ya sama, gue juga baru dikasih tahu bokap. Bokap nelepon, nyuruh gue balik cepet karena ada acara penting dan gue harus hadir. Pas sampe rumah bokap baru bilang kalau sekarang ada perempuan yang deket sama dia dan dia mau ngenalin ke gue,” jelas Dimas.
Jadi mereka sama-sama tidak tahu menahu tentang hal ini. Dita menoleh ke Dimas. “Lo setuju bokap lo nikah lagi?”
Dimas mengangkat bahu. “Gue nggak punya alasan untuk menolak. It’s his life. Bokap gue bisa stay single selama ini aja gue udah salut banget.”
“Nyokap gue juga udah lama sendiri,” kata Dita. “Delapan tahun.”
“Bokap gue lebih lama lagi,” kata Dimas. “Bokap sama nyokap pisah pas gue SMA. Jadi udah sepuluh tahun lebih kayaknya.”
“Boleh tahu nggak kenapa bokap sama nyokap pisah?” Dita tahu kedua orang tua Dimas bercerai, tetapi tidak pernah menanyakan alasannya.
Dimas menarik napas. “Yah ... gitu deh. Mereka nggak akur. Sering berantem. Akhirnya nyokap gue memilih pisah dan nggak lama dia nikah lagi sama bule. Sekarang mereka tinggal di Amerika,” jelas Dimas.
“Bokap lo pernah cerita ke lo tentang kenapa mereka pisah?”
“Nggak, sih. Tetapi, menurut gue, either bokap gue selingkuh, atau nyokap gue selingkuh, atau keduanya sama-sama selingkuh,” kata Dimas.
“Lo yakin?”
“Well, keliatan, sih, pas mereka bertengkar,” lanjut Dimas. “Can we please nggak bicarain ini lagi?” Dia tidak nyaman dengan masa lalu orang tuanya.
“Oh, sori, bukan maksud gue.” Dita merasa tidak enak.
“It’s okay. It’s just ... semua udah lewat. Now we live in the present. Not the past.”
“Lo benar,” kata Dita.
Jeda beberapa lama. Dita dan Dimas hanyut dalam pikiran masing-masing.
“What about you?” tanya Dimas.
“Gue?” tanya Dita heran.
“Iya, apa keluarga lo baik-baik aja sebelum bokap lo meninggal?”
“Well, nggak juga. Keluarga gue bisa dibilang kurang harmonis. Tetapi mereka bisa bertahan.” Dita belum siap menceritakan yang sebenarnya ke Dimas. “Semenjak bokap meninggal, nyokap gue mulai berubah, sih. Nyokap jadi rajin salat, ikut pengajian, sering ikut kegiatan sosial, dan pake jilbab. Nyokap mulai hijrah.”
“Sama dong kayak bokap gue. Pas gue sama bokap pindah dari Yogyakarta ke Jakarta, bokap mulai berubah. Tetapi paling kelihatan dua atau tiga tahun belakangan ini,” kata Dimas. “Awal-awal gue heran. Kok bokap jadi rajin salat lima waktu. Padahal dulu salat Jumat aja nggak.”
“Kayaknya emang jodoh ya bokap lo sama nyokap gue.” Dita melihat kemiripan antara Pak Bagas dan bundanya. Mereka pernah sama-sama gagal dalam berumah tangga dan jauh dari agama, sekarang mereka sudah hijrah dan berubah menjadi lebih baik. Kayak setting-an. Setting-annya Allah, mungkin.
“Lo sendiri benaran setuju nyokap lo nikah sama bokap gue?” tanya Dimas.
“Setuju setuju aja, sih. Bokap lo kan baik. Mudah-mudahan aja bokap lo bisa ngebahagiaan nyokap gue,” kata Dita. “Udah lama gue nggak ngeliat nyokap sesenang ini. Bokap lo keren juga ya ngomong terus terang di depan kita tadi.”
“Kalau nyokap lo nikah sama bokap gue ... kita jadi saudara tiri, dong,” kata Dimas datar.
“Iya. Kenapa, lo nggak mau sodaraan sama gue?” canda Dita.
Dimas tertawa sumbang. “Nggak, ogah gue sodaraan sama lo. Apa lagi serumah. Ngerepotin.”
“Dasar!” Dita memukul Dimas sebal. “Gue juga males kali ketemu sama lo terus. Udahlah satu kantor, masa harus satu rumah juga.”
Dimas tertawa. Jeda beberapa lama.
“Menurut lo, bokap gue sama nyokap lo udah berapa lama pacaran?” tanya Dimas.
“Pacaran? Emang mereka pacaran?”
“Yah, apa pun namanya. Sejak kapan mereka dekat?”
Dita mengangkat bahunya. “Seharusnya lo lebih tahu. Lo kan tinggal sama bokap lo.”
“Walaupun tinggal serumah, gue nggak mesti tahu semua urusan pribadi bokap kali,” sergah Dimas.
Gantian Dita tertawa. “Kalo menurut gue, nih, kayaknya mereka udah lama deket, deh.”
“Dapet insight dari mana lo?”
“Kemarin nyokap sempat nanya-nanya kapan gue nikah. Alasan nyokap nanya gitu ke gue karena dia penginnya gue nikah dulu, baru nyokap nikah,” jelas Dita. “Nyokap nggak mau ada omongan miring tentang gue, nyokap udah mau nikah lagi sedangkan gue belum nikah-nikah.”
Dimas menyimak dengan serius.
“Nyokap, kan, udah beberapa kali jodoh-jodohin gue. Bisa jadi pas nyokap mulai jodoh-jodohin gue, sebenernya mereka udah deket.” Dita mengambil kesimpulan.
“Teori yang bagus,” kata Dimas.
“Berarti udah lama juga, ya,” lanjut Dita. “Nyokap pertama kali jodohin pas gue 25 tahun, sekarang gue 27 tahun.”
“Dua tahun, dong,” sahut Dimas.
“Bisa jadi.”
“Jangan-jangan bokap gue jadi lebih sering ikut pengajian gara-gara lagi deket sama nyokap lo,” kata Dimas.
“Masa sih?”
“Bisa aja, kan? Dan menurut gue nggak salah, kok.”
Dita berpikir sejenak, lalu mengangguk-angguk. Dia menoleh ke bagian dalam restoran yang dibatasi kaca. Tampak bundanya sedang mengobrol dengan Pak Bagas. Bundanya tengah tertawa dan kelihatan bahagia. Mau tidak mau Dita tersenyum.
“Dita, gue boleh tahu kenapa lo belum nikah?” tanya Dimas hati-hati.
Dita menoleh. Cukup kaget dengan pertanyaan tidak biasa dari Dimas. “Belum ada jodohnya.”
“Kalau sudah ada jodohnya, lo mau nikah?”
“Tergantung siapa jodohnya.”
Dimas menatap Dita lekat. “Kalau gue,” katanya setelah beberapa lama. “Lo mau?”
Kening Dita berkerut. “Maksud lo?” tanyanya heran.
“Kalau orang itu gue, lo mau nikah sama gue?”
Dita tertegun. Dimas sedang bercanda, kan?
“Gue serius, Dit.”
Dita bisa melihat itu dari tatapan mata Dimas. Dan dia cemas. Hal yang dia takutkan terjadi. “Mas ... gue ....” Dia kehabisan kata-kata.
“Saudara tiri bukan mahram, kan? Jadi boleh nikah,” lanjut Dimas.
Bukan itu masalahnya Dimas. Aduh, bagaimana ini?
*****
BAB 12
Bagi Dita, menghindari persoalan merupakan solusi. Dia terbiasa mengabaikan masalah dan menganggapnya tidak ada. Menerapkan metode tersebut membuatnya tidak stres berkepanjangan. Dia mengalihkan fokusnya kepada pekerjaan dan membuat dirinya sibuk sehingga tidak sempat untuk merasa tertekan.
“Dita, bisa bicara sebentar di ruangan saya?”
Dita baru saja selesai salat Zuhur. Saat hendak kembali ke mejanya, Pak Bagas memanggilnya. “Bisa, Pak.” Dia masuk ke ruangan bosnya.
“Pintunya tolong ditutup,” pinta Bagas. Bukannya duduk di kursinya seperti biasa, dia duduk di sofa untuk tamu. “Silakan duduk.”
Dita canggung saat duduk di sofa. Tidak biasanya Pak Bagas duduk di sini saat ada perlu dengannya. “Iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” Meskipun status Pak Bagas sekarang adalah calon suami bundanya, tetapi Dita tetap berlaku profesional di tempat kerja.
“Maaf, saya tahu kita sedang di kantor, tetapi ada hal personal yang ingin saya tanyakan,” kata Bagas. “Is it okay?”
Dita mengangguk ragu.
“Kamu dan Dimas ... kalian baik-baik saja, kan?” tanya Bagas hati-hati.
“Saya dan Dimas, Pak?”
“Iya. Saya lihat belakangan ini Dimas ... I don’t know. He’s a bit off,” beri tahu Bagas. “Kamu dan Dimas juga tidak seperti biasanya. Seperti berjarak.”
Dita tersenyum canggung. Tidak menyangka Pak Bagas akan menanyakan hal ini kepadanya. Pengamatan bosnya boleh juga padahal baru tiga hari dia dan Dimas menjauh. Lebih tepatnya dia yang menjaga jarak.
Pak Bagas bukan orang pertama yang menanyakan hal itu ke Dita. Rekan-rekan kerja yang lain juga menanyakan apakah dirinya dan Dimas sedang “perang dingin” karena mereka saling diam-diaman.
“Are you guys okay? I mean ... apakah ini ada hubungan dengan rencana saya menikah dengan bunda kamu?” tanya Bagas.
Dita menggeleng. “Saya dan Dimas ... kami sedikit berselisih paham, but nothing big. Nanti juga baik lagi,” jelasnya. “Dan ini nggak ada hubungannya dengan rencana pernikahan Pak Bagas dengan bunda saya.”
Bagas sedikit lega. “Syukurlah. Eh, maksud saya, semoga kalian segera berbaikan lagi karena he doesn’t look too good. Dia tidak mau berbicara sama sekali dengan saya saat di rumah,” infonya. “Saya pikir karena dia tidak setuju dengan rencana pernikahan kami.”
“Bukan, kok, Pak.” Dita meyakinkan bosnya sekali lagi.
“Baiklah kalau begitu. Saya sekali lagi minta maaf karena menanyakan hal ini pada jam kantor.” Bagas merasa tidak enak karena dia tidak pernah melanggar privasi karyawannya. Namun, ini sedikit berbeda. Dimas anaknya dan Dita adalah calon anak tirinya. Dia khawatir pernikahannya menimbulkan masalah antara mereka berdua.
“Saya permisi dulu, Pak.” Dita pamit dan keluar. Saat menuju ke ruangannya, dia berpapasan dengan Dimas. Dadanya berdebar pelan. Dia mencoba melangkah seperti biasa dan berharap Dimas tidak mengacuhkannya.
“Dita, gue mau ngomong sebentar bisa?” Dimas menghentikan langkah Dita.
“Gue banyak kerjaan. Sori.”
“Lo nggak bisa selamanya menghindar,” kata Dimas tidak sabar.
“Gue nggak menghindar.”
“Yes you are,” tuduh Dimas. “Gue pikir lo hanya butuh waktu untuk berpikir, kayak biasanya, tetapi ini udah tiga hari, Dit. Lo mau kita kayak gini sampe kapan?”
Saved by the bell. Ponsel Dita berbunyi. Dari Arga.
“Sori, telepon dari klien.” Dita bergerak menjauh. “Halo, Pak Arga?” Dia sengaja mengeraskan suara agar Dimas tahu kalau dia benaran sedang menerima telepon dari klien.
“Halo, Bu Dita.”
“Iya, Pak, ada yang bisa saya bantu?” Dita melirik Dimas yang berdiri tidak jauh darinya.
“Gambar listriknya sudah jadi. Kebetulan saya sedang di dekat kantor Bu Dita. Saya pikir, saya mampir saja sebentar. Sekalian ada yang perlu saya jelaskan,” kata Arga. “Bu Dita sedang di kantor, kan?”
“Oh, baik, Pak.” Dari sudut matanya Dita tahu Dimas sedang memperhatikannya. “Iya, Pak, saya di kantor.”
“Baik, kira-kira lima menit lagi sampai.”
“Baik, Pak. Saya siap-siap dulu. Nanti saya tunggu di depan,” kata Dita. “Pakai mobil Pak Arga saja.”
“Eh, gimana maksudnya?”
“Wa’alaikumussalam.” Dita mematikan sambungan.
“Kapan lo ada waktu buat bicara?” Dimas langsung menghampiri Dita begitu sahabatnya itu selesai menelepon.
“I don’t know,” jawab Dita. “Sori gue mesti siap-siap. Ada janji ketemu klien di luar.” Dia meninggalkan Dimas begitu saja.
*****
Dita tahu dia bertindak seperti anak kecil. Tetapi, mau bagaimana lagi? Dia belum siap menghadapi Dimas. Sejak hari pertama mereka bertemu kembali ke kantor, Dita menjadi canggung saat berhadapan dengan Dimas. Padahal sahabatnya itu bersikap seperti biasa.
Dita menjawab singkat-singkat untuk setiap pertanyaan Dimas. Tidak menanggapi candaan Dimas. Tidak makan di pantry untuk menghindari bertemu Dimas. Termasuk tidak menjawab telepon Dimas saat dia berada di apartemen. Terlalu kentara memang, tetapi dia benar-benar ingin menyingkir dulu.
“Jadi kita mau ke mana?”
Dita menoleh ke sampingnya. “Oh, maaf, Pak. Kita ke ... terserah Pak Arga saja,” jawabnya rikuh. Arga pasti bingung dengan apa yang terjadi. Saat melihat mobil laki-laki itu masuk ke pekarangan kantor, Dita langsung menghampiri Arga.
“Kamu mau pergi?” tanya Arga setelah turun dari mobil dan mengucapkan salam.
“Iya, Pak. Kebetulan saya ada keperluan di luar, jadi sekalian saja,” alasan Dita.
“Jadi kita pergi pakai mobil saya?”
Dita tersenyum dan mengangguk. Selanjutnya Arga menyilakannya masuk.
“Terserah Pak Arga saja.” Sebenarnya Dita tidak punya tujuan.
“Terserah saya?” tanya Arga bingung. Bukannya tadi Dita bilang dia sedang ada keperluan ke suatu tempat? “Oke, terserah saya, ya.”
Dita mengangguk. Tidak penting ke mana selama dia bisa menghindar dari Dimas.
*****
“Gimana kabar kamu?” tanya Arga sambil berkendara. Mereka tidak sedang membicarakan pekerjaan. Dia lebih suka berbicara santai.
“Alhamdulillah, baik. Pak Arga gimana kabarnya?”
“Alhamdulillah,” jawab Arga. “Jangan panggil Pak, kita kan nggak lagi ngomongin kerjaan.”
Dita tidak menjawab.
“Salamku ke Bunda sudah kamu sampaikan?” tanya Arga.
“Lupa.”
“Perlu aku ingatkan?”
“Nggak perlu, Pak. Nanti saya sampaikan.” Kalau ingat, batin Dita.
Arga menarik napas. Dita masih saja memanggilnya dengan sebutan “Pak”. “Maaf tiba-tiba nelepon kamu. Kebetulan banget aku lagi di daerah sana, jadi sekalian mampir.”
Kebetulan, ya? “Nggak apa-apa, Pak. Saya juga kebetulan ada perlu ke luar sebentar, jadi sekalian saja.”
“Memangnya kamu mau ke mana? Aku antar,” tawar Arga.
“Eh, nggak perlu, Pak. Nanti saja setelah urusan kita selesai,” elak Dita.
“Oh, oke.”
Dita tidak tahu ke mana Arga membawanya. Mereka sudah melewati Monas dan sekarang berada di daerah Gajah Mada. Apakah Arga akan membawanya ke ....
“Pak Kevin gimana kabarnya?” tanya Arga.
“Baik.” Dita menjadi penasaran ingin bertanya satu hal ke Arga. “Kok Pak Kevin bisa tahu kalau Pak Arga satu SMA sama saya?”
“Oh, waktu itu Pak Kevin ngasih tahu kalau kamu yang akan pegang proyek rumah. Dia memastikan kalau aku nggak masalah dengan hal itu,” jelas Arga. “Aku bilang nggak apa-apa karena aku kenal dengan kamu. Aku bilang kalau kita dulu satu sekolah.”
“Ooo ....” Jadi begitu ceritanya.
“Kenapa memangnya?” Arga menoleh ke Dita.
“Nggak apa-apa.” Dita kembali memperhatikan bangunan di kanan dan kirinya. “Kita mau ke mana, Pak?”
“Tadi kamu bilang terserah aku, kan?”
Dita tidak bisa mengatakan tidak untuk hal itu.
“Kita mau ke Kota Tua,” beri tahu Arga.
Dita menoleh ke Arga. “Kota Tua?” ulangnya agak kaget.
“Iya, kenapa?” Arga balas menatap Dita.
Dita mengalihkan pandangannya. “Nggak apa-apa.” Kota Tua menyimpan kenangan antara dirinya dan Arga.
“Kamu masih sering ke sana?” tanya Arga.
“Pas kerja udah jarang.” Lagi pula orang yang Dita harapkan untuk hadir di sana tidak kunjung menampakkan dirinya. Buat apa dia ke sana lagi?
“Pasti udah banyak berubah, ya, sekarang.”
“Mungkin.”
“Kamu masih ingat terakhir kali kita ketemuan di sana?”
Dita mengangguk. Dia tidak mungkin lupa.
“Waktu itu ayah kamu baru meninggal,” kata Arga sedih.
Dita tidak perlu diingatkan.
“Aku yakin ayah kamu bangga dengan pencapaian kamu sekarang, walaupun beliau tidak bisa melihat secara langsung,” kata Arga.
“Nggak juga,” bisik Dita.
“Kenapa?” Arga tidak mendengar dengan jelas.
“Bukan apa-apa.” Dita menoleh ke Arga. “Bisa nggak kita nggak usah bicara masa lalu?”
“Maaf, aku nggak bermaksud ....” Arga merasa tidak enak. Sepertinya Dita masih belum benar-benar memaafkannya.
Jeda beberapa lama. Dita masih menatap ke luar jendela.
“Dita ... aku tahu kamu bosan mendengar ini,” kata Arga. “Tetapi aku benar-benar minta maaf atas semua kesalahanku dulu. Aku salah karena tidak memberi kabar. Seharusnya ....” Jeda sesaat. “Aku tahu perkataanku nggak bisa mengubah masa lalu, tetapi seharusnya aku nggak membuat kamu menunggu.”
“Aku nggak nungguin kamu,” potong Dita, lalu menoleh ke Arga. “It’s not always about you.”
“It’s not. It’s always about you,” gumam Arga.
“Apa?” Dita tidak mendengar jelas.
“Apa yang harus aku katakan supaya kamu mau memaafkan aku?”
“Kenapa kamu merasa perlu maaf dari aku?” tanya Dita ketus.
“Karena aku ingin kita memulai dari awal.”
“Memulai apa?”
“Berteman.”
Dita melirik ke Arga heran. “Berteman?”
“Iya, seperti dulu.”
Dita membuang wajah ke arah jendela. “Buat apa? Kamu kekurangan teman sehingga merasa perlu berteman dengan aku?” Kenapa setiap berbicara dengan Arga selalu membuat emosinya naik turun?
“Aku nggak meminta lebih. Aku cuma ingin berteman dengan kamu,” pinta Arga. “Beri aku kesempatan.”
Dita tidak menanggapi.
“Kamu salah kalau mengira aku nggak tulus dan nggak peduli,” lanjut Arga. “I care for you.” And I miss you so much. Namun, dia hanya bisa menelan kalimat itu. “Justru aku yang mengira kalau kamu nggak peduli sama aku karena saat SMA kamu terlihat cuek.”
Mata Dita mulai terasa hangat. Ingin dia mengatakan kalau prasangka Arga tentang dirinya keliru.
“Beberapa kali aku berniat untuk memberi kabar, tetapi ... aku nggak punya keberanian,” tambah Arga. “Aku takut kamu nggak balas pesan yang aku kirim. Sama seperti kamu nggak balas WhatsApp aku kemarin.”
“Well, sekarang kamu tahu gimana rasanya nggak mendapat balasan apa pun,” balas Dita.
“Jadi kamu sengaja nggak balas WhatsApp aku karena mau balas dendam?” tanya Arga.
“Kamu baru nggak aku balas sekali aja udah baper. Aku yang berkali-kali SMS dan nggak dapat balasan, biasa aja,” balas Dita.
Arga menarik napas. Dita sengaja mengungkit kembali kesalahannya di masa silam. “Aku minta maaf. Semua salah aku, tetapi aku nggak bisa mengubah masa lalu, kan? Yang bisa aku lakukan adalah memperbaiki masa depan,” katanya. “Kalau ada yang bisa aku lakukan untuk memperbaiki semuanya ....”
“Mungkin ada yang bisa kamu lakukan,” kata Dita.
“Apa pun. Just tell me.” Arga sudah senang duluan.
“Setelah proyek selesai, tolong jangan hubungi aku lagi,” kata Dita.
******
BAB 13
“Kenapa kebanyakan orang mengira nama museum ini Museum Fatahillah, ya?” tanya Arga.
“Karena lokasinya berdekatan dengan Taman Fatahillah,” jelas Dita.
“Ooo ... nama museumnya apa?”
“Museum Sejarah Jakarta,” kata Dita.
Arga mengangguk-angguk.
Mereka berjalan kaki memasuki kawasan Taman Fatahillah. Beberapa manusia patung tengah beraksi dalam diam mereka. Ada yang memakai kostum Jendral Sudirman, ada yang memakai kostum tentara lengkap dengan senjatanya, ada yang memakai kostum noni Belanda, ada juga yang berpakaian serba perak dan emas. Biasanya mereka mengecat seluruh tubuh mereka sesuai dengan warna kostum.
Bagi yang hendak berfoto bersama, disediakan properti seperti topi, senapan mainan, bunga, atau bambu runcing. Tidak ada patokan khusus harus membayar berapa. Mereka sudah menyiapkan tempat untuk menaruh uang.
Pernah satu kali Dita tertarik membuat sketsa manusia patung. Sebelumnya dia meminta izin kepada orangnya sebelum membuat sketsa. Dia takjub dengan dedikasi manusia patung menjalankan perannya. Sama sekali tidak bergerak ketika dia membuat sketsa selama tiga puluh menit.
Saking sering memperhatikan, Dita menjadi tahu tabiat wisatawan yang berfoto bersama manusia patung. Ada yang iseng menggelitik manusia patung, bisa jadi penasaran apakah benaran orang atau patung. Ada yang berfoto, tetapi tidak membayar setelahnya. Ada juga anak kecil yang menangis ingin membawa pulang manusia patung karena dianggap mainan.
Dita salut dengan perjuangan manusia patung. Kepanasan. Kehujanan. Mereka tetap di sana. Tidak bergerak atau berteduh.
“Lihat.” Arga menunjuk pada pelukis sketsa di pinggiran jalan pedestrian. Mereka memajang beberapa contoh foto sebagai contoh. Cukup menunggu lima belas menit dan sketsa sudah jadi. “Kamu ingat pernah membuat sketsa wajahku?”
Tentu saja Dita ingat. “Coba dulu aku jelek-jelekin pas bikin sketsa wajah kamu.”
Arga tertawa. “Jadi aslinya aku ganteng?”
Dita mencebik. “GR.”
Arga mengangguk-angguk. “Mau makan di mana?” Dia melihat beberapa kafe di sekitarnya.
“Boleh di mana aja,” jawab Dita.
“Kalau gitu, di sana aja.” Arga menunjuk sebuah kafe.
Dita menurut dan mereka masuk. Dia segera merasakan suasana zaman dulu dari interior yang digunakan di kafe ini.
“Pesan dulu.” Arga menyerahkan menu kepada Dita setelah mereka duduk.
“Aku minum aja.” Dita masih kenyang karena sudah makan di kantor. “Es teh manis.”
“Nggak makan?” tanya Arga.
Dita menggeleng.
“Oke.” Arga memanggil pramusaji dan memesan makanan.
“Gambarnya sudah ada?” Dita mengingatkan kembali kalau mereka bertemu untuk alasan pekerjaan. Bukan yang lain.
Arga tersenyum. “Habis makan aja bisa nggak?”
Kepingin bilang tidak bisa, tetapi Arga adalah kliennya. Dita selalu ingat pesan Pak Bagas. A satisfied customer is the best advertisement. Biasanya klien yang merasa puas dengan jasa yang diberikan akan menceritakannya ke teman-temannya. Itu yang dilakukan Pak Bagas saat memulai biro arsitek bersama Pak Kevin. Biro mereka banyak direkomendasikan oleh klien yang puas dengan hasil kerja mereka. The power of word of mouth marketing berlaku.
“Sure,” jawab Dita. Sambil menunggu, dia memperhatikan mural di dinding. Tempatnya cukup instagramable.
“Kamu sekarang tinggal di mana?” tanya Arga.
Dita menghentikan pengamatannya dan menatap Arga. Dia ragu menjawab. Untuk apa Arga bertanya di mana dia tinggal sekarang?
“It’s a common question, kan?” Arga merasa Dita terlalu overthinking untuk semua hal yang ditanyakannya.
“Apartemen.”
“Nggak sama bunda kamu lagi?”
Dita menggeleng.
“Sejak kapan?”
“Sejak kerja.”
Arga mengangguk. “Bunda tinggal sendiri?”
“Ada yang nemenin.”
“Siapa? Saudara juga?”
Dita mengerutkan dahinya. Arga terlalu banyak bertanya.
“Sorry, just curious,” kata Arga tidak enak.
“Curiousity killed the cat,” balas Dita.
Pembicaraan mereka terpotong saat pramusaji datang dan meletakkan makanan di meja.
“Aku makan dulu, ya. Laper,” kata Arga.
Dita tersenyum datar, lalu meminum es teh manisnya sedikit. Melihat Arga makan dengan lahap membuatnya tergoda untuk makan juga. Apalagi nasi gorengnya masih mengeluarkan asap panas. Aroma rempah masuk tanpa diundang ke dalam indra penciumannya.
“Kamu mau?” tawar Arga ketika melihat Dita memperhatikannya saat makan.
“Eh, nggak ... nggak usah,” kata Dita. Kayaknya enak. Apa lagi ditambah telor mata sapi yang agak gosong bagian pinggirnya.
“Aku pesenin, ya. Enak nasgornya. Mau cobain sedikit?” Arga mengangsurkan piringnya ke Dita.
Dita menjadi kikuk. “Nggak usah,” tolak Dita. “Aku udah makan tadi di kantor.”
“Oh, oke.” Arga mengambil kembali piringnya dan melanjutkan makan.
Dita meminum kembali es tehnya untuk menghilangkan rasa ingin mencicipi nasi goreng Arga.
*****
“Kayaknya kita harus nyari masjid untuk salat Magrib, deh,” beri tahu Arga.
Dita menatap pasrah jalanan di hadapannya. Hujan dan jam pulang kerja adalah kombinasi maut. Mereka terjebak macet. Kantornya masih jauh dari sini. Bisa-bisa sejam sampai sejam setengah baru sampai kalau kondisinya seperti ini.
“Sorry,” kata Arga. Dia merasa bersalah karena mencari tempat makan yang jauh dari kantor Dita.
“It’s okay.” Bukan salah Arga juga. Selesai makan dan membahas gambar kerja, Dita menjelajahi Kota Tua. Kangen juga sudah lama tidak ke sini. Mereka salat Asar sekitar pukul lima, lalu pulang.
“Kamu tetap mau kembali ke kantor?” tanya Arga.
“Mobilku, kan, di sana.” Sebenarnya bisa saja, sih, Dita langsung pulang. Dia bisa naik taksi online besok pagi.
“Nggak kemalaman?” tanya Arga khawatir.
“Insya Allah, nggak.” Dita tidak tahu apakah rekan kerjanya ada yang lembur atau tidak.
“Masih ada yang harus kamu kerjakan di kantor?”
“Iya, pekerjaanku belum selesai,” alasan Dita.
“Nggak bisa dikerjakan di apartemen aja?”
Bisa, sih. Pak Bagas tidak terlalu saklek. Asalkan pekerjaan selesai. “Nggak apa-apa, aku balik ke kantor aja.”
Arga mengalah. “Oke.”
*****
Bukannya mereda. Hujan bertambah deras. Mereka baru saja selesai salat Magrib di masjid. Dita menunggu di pekarangan masjid. Dia melongok ke area ikhwan. Kenapa Arga lama sekali salatnya.
Dita mengusap lengan dan tangannya yang dingin. Perutnya berbunyi karena minta diisi. Dingin-dingin begini cocok sekali makan mi rebus panas pakai sawi, rawit, dan telur, ditambah segelas teh manis hangat.
“Sori, nungu lama, ya?” Arga muncul di hadapan Dita.
“Nggak, kok. Kamu udah selesai?” Dita melihat Arga menenteng kantong plastik, tetapi tidak menanyakan apa yang dibawa laki-laki itu karena tidak mau dikira kepo.
“Udah, yuk.”
Dita mengikuti Arga ke mobil. Saat masuk, dia langsung mengenakan sabuk pengaman.
“Makan dulu, yuk.” Setelah menyalakan mobil, Arga mengeluarkan kotak kertas dari kantong plastik.
Dita menoleh ke Arga. Jadi laki-laki itu membeli makanan. Kapan Arga membelinya?
Arga mengangsurkan kotak ke Dita. “Buka dulu seat belt-nya.”
Dita mengikuti perintah Arga, lalu menaruh kotak di pangkuannya.
“Dingin-dingin begini enakan makan mi rebus, sih, tetapi nggak ada yang jualan di sekitar sini. Jadi aku beli nasi goreng,” kata Arga.
Mereka sepemikiran. Dita membuka kotaknya. Harum rempah langsung menguar. Seketika air liurnya menetes. Semoga saja perutnya tidak mengeluarkan bunyi lagi. Akan sangat memalukan kalau itu terjadi. “Thanks.”
“Makan,” kata Arga. Dia sendiri juga makan.
Dita meresapi suapan pertamanya. Enak banget. Akhirnya kesampaian juga makan nasi goreng setelah mengiler melihat Arga makan tadi siang.
Arga tersenyum melihat Dita menikmati makan malamnya. Dia tahu Dita kepingin mencicipi nasi goreng miliknya tadi siang, tetapi gengsi.
“Mobil kamu jadi bau makanan,” kata Dita tidak enak.
“Nggak apa-apa. Baunya enak, kok.”
Dita tersenyum. Dia makan dengan lahap. Sesekali melirik ke Arga. Kenapa dia mulai merasa nyaman bersama Arga? Rasanya hari ini mereka tidak terlalu banyak bertengkar.
“Aku antar kamu ke apartemen aja, ya?” kata Arga setelah mereka selesai makan. “Udah kemaleman.”
Sebenarnya Dita juga berencana seperti itu. “Nggak apa-apa.”
“Kenapa? Kamu nggak mau aku tahu apartemen kamu?” tanya Arga.
“Eh, nggak, bukan begitu,” elak Dita. Well, itu juga, sih.
“Kalau begitu aku antar, ya.”
“Nggak usah.”
“Kenapa?”
“Ya ... nggak usah aja. Apartemen aku dekat sama kantor, kok. Lagian mobiku masih di kantor. Besok pagi aku berangkat pakai apa?”
“Aku bisa antar kamu ke kantor.”
Dita tertegun. Apa?
“Kamu biasa berangkat jam berapa? Nanti aku jemput,” kata Arga.
Oh, tidak. “Nggak usah, aku bisa naik taksi online aja.”
“It’s okay. Kalau jam berangkat kerja, biasanya susah nyari taksi online.”
Dita mencari-cari alasan yang masuk akal agar Arga tidak menjemputnya. “Aku bisa booking malam ini.”
“Kenapa repot-repot pesan taksi online, aku bisa jemput kamu,” kata Arga kekeuh.
“Aku nggak mau kamu jemput.”
“Kenapa?”
“Ya ... nggak mau aja.”
“Harus ada alasannya, dong.”
“Karena aku nggak mau harus nungguin kamu. Lagi.” Dita mulai kesal.
Arga terpaku. Wajahnya muram. Dita masih belum bisa melupakan perlakuannya ke perempuan itu dulu. Akankah pernah ada maaf untuknya?
“Sori,” kata Arga pilu.
Dita tidak menjawab.
“At least, let me take you home,” lanjut Arga. “Sudah malam dan hujan. Jalanan juga macet. I’m worried.”
Dita menarik napas. Dia capek berselisih terus dengan Arga. Akhirnya dia mengangguk.
*****
“Berhenti di depan aja,” beri tahu Dita saat mobil Arga mendekati tower-nya.
Bukannya berhenti, Arga malah memarkirkan mobilnya di dekat sana.
“Kenapa parkir?” tanya Dita heran.
“Aku mau antar kamu masuk.”
“Nggak usah. Aku bisa sendiri.” Dita melepas sabuk pengamannya.
“Nggak apa-apa.” Arga juga melepas sabuk pengamannya.
“Kenapa, sih, kamu selalu mendebat apa yang aku bilang.” Dita mulai kesal. Selama perjalanan mereka tidak banyak bicara. Dia sibuk dengan ponselnya. Memberi tahu bosnya kalau dia langsung pulang dan membalas pesan dari Dimas yang mengkhawatirkan dirinya karena belum sampai di kantor saat Magrib.
“Aku nggak mendebat.”
“Lah, buktinya aku bilang nggak usah diantar, kamu maksa.”
“Aku cuma pengin mengantar sampai lobi aja. Apa salah?”
“Aku bukan anak kecil lagi. Nggak perlu diantar-antar. Ini apartemenku. Tiap hari aku juga pergi dan pulang sendiri.”
Jede beberapa lama. “Sori,” kata Arga. Entah sudah berapa kali kata itu diucapkannya.
Dita menarik napas. “Terima kasih udah nganterin aku.” Dia bersiap turun.
“Dit,” panggil Arga.
Dita menoleh. Menunggu.
“Tentang yang kamu bilang sama aku tadi siang,” kata Arga.
Alis Dita bertaut. Dia mengatakan banyak hal siang ini.
“Kamu minta aku untuk nggak menghubungi kamu setelah proyek selesai,” lanjut Arga.
Iya. Dita mengatakan itu.
“It’s a deal,” kata Arga.
Dita masih belum paham maksud Arga.
“Aku nggak akan menghubungi kamu lagi setelah proyek selesai. Tetapi ... ada syaratnya.”
Dita menyimak dengan was-was.
“Selama proyek berlangsung, kita tetap berteman,” kata Arga. “Setidaknya kamu memberikan kesempatan ke aku untuk jadi teman kamu. Don’t ignore me. Dan balas WhatsApp aku.”
Dita membuka mulutnya sedikit, hendak menjawab.
“Jangan bilang nggak dulu. Just give it a try,” pinta Arga.
Dita berpikir sejenak. Mencoba membaca rencana Arga terhadapnya.
“Aku cuma minta kamu mencoba,” tambah Arga.
“Oke,” balas Dita ragu. Sudah benarkah keputusannya? Mengerjakan proyek rumah tinggal bukan sebentar. Dia cemas hatinya akan mengkhianatinya dan kembali jatuh hati kepada Arga. Susah payah dia mengumpulkan kepingan hati yang terserak setelah dulu laki-laki itu pergi tanpa kabar.
Arga tersenyum lebar. “Thanks.”
Dita tersenyum canggung. Dia mengucapkan salam, lalu turun.
“Besok aku jemput, ya,” kata Arga. “Dan aku nggak menerima penolakan. Anggap aja sebagai pertanggungjawaban karena gara-gara aku kamu jadi pulang malam dan mobil kamu masih di kantor.”
Dita berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk.
“Oke, sampai ketemu besok.” Arga tersenyum senang. “Yakin nggak mau aku antar sampai ke lobi?” tanyanya saat Dita hendak menutup pintu.
Dita tidak menanggapi. Sebagai jawaban dia menutup pintu sedikit keras, lalu melangkah ke lobi. Dasar, gerutunya dalam hati.
Saat sampai di lobi, langkah kakinya terhenti. Tubuhnya kaku saat melihat sosok yang berdiri di dekat sofa lobi.
“Dari mana saja baru pulang?” tanya sosok itu.
Apa yang Dimas lakukan di sini?
*****
BAB 14
“Ngapain lo di sini?” tanya Dita refleks setelah kagetnya mereda.
“Gue bawain mobil lo.” Dimas bangkit dari duduknya dan menghampiri Dita.
“Mobil gue?”
“Iya.” Dimas mengangsurkan kunci mobil milik Dita.
Dita mengambil kunci tersebut dan tertegun sesaat. “Kenapa?” Dia tidak meminta Dimas untuk membawakan mobilnya ke apartemen.
“Lo bilang ke bokap kalo lo nggak balik ke kantor, kan?”
Tentu saja. Dia mengirim pesan ke Pak Bagas, mengatakan tidak kembali ke kantor. Tentu bosnya itu memberi tahu Dimas. “Oh, thanks.”
“Dari mana aja, kok lama banget meeting-nya?” tanya Dimas. Dia khawatir, tetapi juga kesal karena Dita tidak membalas pesannya sejak sore.
“Hujan, jadi jalanan macet,” alasan Dita.
“Lo naik taksi oline?”
Dita menggeleng. “Pak Arga yang nganter gue.”
Mereka berdiri di tengah lobi dalam keadaan canggung.
“Gue ke atas dulu,” kata Dita. Biasanya dia menawarkan Dimas untuk mampir, tetapi sekarang situasinya berbeda. “Sekali lagi makasih.” Dia memberi gestur ke kunci mobil di tangannya.
“Ada yang mau gue omongin.” Dimas mencegah Dita pergi.
Dita memperhatikan sekelilingnya. “Di sini?”
“Terserah lo. Bisa di sini atau di apartemen lo.”
“Sudah malam.”
“It’s not that late,” balas Dimas.
“Bisa besok aja?”
Dimas menggeleng. “Udah 3 hari kita begini, Dit. Gue capek lo cuekin terus.”
“Besok. Gue janji.”
Dimas bergeming. “Gue bakalan di sini terus sampe kita selesaikan persoalannya.”
Dita tahu Dimas sungguh-sungguh dengan ucapannya. Dia mengalah. “Oke.”
Dimas bernapas lega. Dia mengikuti Dita menuju lift.
“Lo udah makan?” tanya Dimas saat mereka berada di lift.
“Udah.”
“Gue belum.”
Terus kenapa, batin Dita.
Mereka keluar lift dan berjalan ke apartemen Dita.
“Ada makanan, kan?” tanya Dimas.
“Liat aja nanti di kulkas.” Dita membuka pintu dan mengucapkan salam saat masuk, lalu langsung ke kamar.
Setelah membuka sepatunya, Dimas langsung menuju kulkas. “Bunda lo nggak ngirim makanan apa gitu?”
“Ada, tuh, buah. Sama ... ayam goreng,” kata Dita dari kamar. Dia bersih-bersih dan berganti baju. Gerah juga jalan-jalan di Kota Tua tadi.
“Mana ayamnya.” Dimas mencari-cari di kulkas.
“Ada di freezer.”
“Yaaa, beku dong.” Dimas menutup kulkas putus asa.
“Ada mi instan.” Dita memasukkan baju kotor ke keranjang, memakai bergo, lalu keluar kamar.
“Boleh, deh.” Dimas memeriksa kitchen set dan menemukan mi instan yang dimaksud. “Lo mau juga?” Dia menoleh ke Dita yang berjalan menuju sofa.
“Boleh.” Sebenarnya Dita masih kenyang, tetapi kepingin mi rebus instan pedas.
“Oke.” Dimas mengambil panci, mengisinya dengan air, lalu merebusnya.
“Mobil lo masih di kantor?” tanya Dita. Dia menyandarkan punggung ke sofa, lalu menyalakan televisi.
“Iya.” Dimas menuangkan bumbu-bumbu ke mangkuk. Dia menambahkan chilli oil untuk menambah rasa pedas dan gurih. Sebelum memasukkan mi ke dalam panci, dia menuangkan sedikit air yang sudah mendidih ke mangkuk.
“Terus besok lo naik apa?” Dita merasa sedikit bersalah.
“Palingan bareng bokap.”
“Ooo.” Dita memilih saluran jalan-jalan di YouTube.
Tidak berapa lama mi rebus buatan Dimas selesai.
“Makan, yuk,” ajak Dimas. Dia menaruh mangkuk di meja makan.
Sedikit melompat, Dita menuju meja makan. “Hmmm, wangiiii.” Dia melihat mangkuk milik Dimas. “Kok punya lo lebih banyak?”
“Gue bikin dua. Laper. Udah jangan protes. Udah bagus gue bikinin buat lo,” sergah Dimas.
Dita duduk, lalu mengambil sumpit. “Bismillah.” Pedasnya pas. Dimas tahu kalau dia tidak bisa makan makanan yang terlalu pedas.
“Tadi emang meeting di mana sama Pak Arga?” tanya Dimas.
“Ooo ... di daerah Jakarta Pusat.” Dita tidak menyebutkan lokasi persisnya. Bisa-bisa Dimas bertanya lebih jauh. Kenapa harus ke Kota Tua?
Dita melihat Dimas menikmati mi rebus dengan lahap. Mau tidak mau dia tersenyum sediri. Padahal sedang “musuhan”, tetapi sekarang malah seperti tidak ada masalah di antara mereka. Dia juga lelah terus-terusan menghindari Dimas. Biasanya paling lama mereka tidak bertegur sapa selama satu hari. Besoknya pasti baikan lagi.
“Kenapa?” Dimas memergoki Dita tersenyum sambil menatapnya.
“Lo udah nggak makan berapa hari?” ejek Dita.
“Gua nggak nafsu makan gara-gara lo cuekin,” jawab Dimas asal.
Dita mencebik. Mustahil.
Selesai makan, Dita mencuci piring dan Dimas membersihkan meja.
“Duduk, Dit,” kata Dimas saat melihat Dita selesai mencuci piring.
Dita mengelap tangannya, lalu menarik napas. This is it. Dia mengikuti permintaan Dimas dan duduk di hadapan laki-laki itu.
“Pertama-tama gue mau minta maaf karena nggak ada hujan, nggak ada angin, gue ngajak lo nikah,” kata Dimas. “Lo pasti kaget.”
Dita menghindari menatap mata Dimas.
Dimas berdeham. “Gue mau jujur sama lo kalo selama ini ... gue suka sama lo.”
Dita tahu itu, tetapi pura-pura tidak tahu.
“Nggak tahu pastinya sejak kapan, mungkin sejak kuliah,” lanjut Dimas. “Kalau ditanya kenapa ... ya karena gue nyaman aja berteman sama lo. Dan, gue sayang sama lo.”
Dada Dita berdebar pelan. Dia semakin tidak berani melihat wajah Dimas.
“Gue nggak berani ngomong ke lo karena nggak mau merusak persahabatan kita. Kalo lo nggak suka sama gue, it’s okay. Tetapi gue takutnya lo jadi menjauh. Dan gue nggak suka kalau harus menjauh dari lo,” kata Dimas.
Jeda beberapa lama.
“Ngomong, dong, Dita. Dari tadi diem aja,” protes Dimas.
“Gue mesti ngomong apa?”
“Ya ... apa kek.”
Dita kelabakan. “Gu-gue tahu selama ini lo baik dan perhatian ke gue. Gue juga sayang sama lo, Mas. Tetapi, sebagai sahabat. Gue nggak pernah memikirkan kemungkinan kalau kita bakal lebih dari itu,” katanya. “Rasanya ... aneh aja.”
“Aneh gimana?”
“Ya ... aneh aja. Kalau kita pacaran, jadi awkward nggak, sih?”
“Bukannya jadi seru, ya, karena kita selama ini udah deket?”
“Tetapi, kalau putus, jadi putus juga persahabatannya.”
“Makanya jangan putus, dong.”
“Kita, kan, nggak tahu ke depannya gimana.”
“Makanya dicoba dulu.”
Dita menarik napas. “Tetapi, kita lebih cocok sahabatan, Mas.”
“Tetapi, aku maunya kita lebih dari itu.”
Mereka saling beradu pandang selama beberapa lama.
“There’s no sparks between us,” aku Dita.
“We can work itu out,” balas Dimas.
“Gue penginnya kita tetap seperti ini.”
Dimas menarik napas masgul. “Tetapi, lo suka sama gue, kan? Lo cuma takut kalau kita pacaran dan berakhir putus?”
“Mas, gue cuma bisa jadi sahabat lo. Titik,” putus Dita.
“I love you, Cinta Anandita. Please be my girlfriend,” pinta Dimas tulus.
Mata Dita melebar. Kaget dengan pengakuan Dimas yang straight to the point.
“Gue janji bakalan bikin lo the happiest girl in the world. Dan gue nggak akan nyakitin hati lo,” janji Dimas.
“Mas ... please ....” Mata Dita terasa hangat. Dia menyayangi Dimas. Hanya saja bukan seperti yang laki-laki inginkan. “Jangan paksa gue.”
Wajah Dimas berubah muram. Tidak ada kesempatan untuknya.
“Sori,” kata Dita.
“Nggak apa-apa.” Tentu saja hati Dimas patah. “Sori udah bikin lo nggak nyaman. Tetapi, gue nggak akan pernah tahu sebelum mencoba, kan?”
Dita tersenyum tipis. “At least lo bakal jadi saudara tiri gue.”
Dimas tertawa sumbang. “Yes, can’t wait till the day.”
Dita belum tahu kapan bundanya dan Pak Bagas akan menikah. Mereka belum membicarakannya. “Kalau orang tua kita udah nikah, kira-kira bakal tinggal di mana, ya? Rumah bokap lo atau nyokap gue?”
“Rumah bokap gue, lah,” kata Dimas.
“Emangnya kenapa kalau di rumah nyokap gue?”
“Ya di mana-mana istri ikut suami, kali.”
“Terus lo bakal tinggal sama mereka?”
Dimas berpikir sejenak. “Gue tinggal di sini aja kali, ya. Bareng lo.”
“Bukan mahram, Mas, haram,” sergah Dita.
“Kalau bukan mahram, artinya boleh nikah, dong,” canda Dimas.
Dita mengambil lap di meja dan melemparnya ke wajah Dimas.
*****
Dita mengerjapkan matanya. Bunyi ponsel membuatnya terbangun. Masih setengah tersadar dia bangkit duduk. Dia memperhatikan sekitar, lalu meraih ponsel di nakas. Ada apa Dimas menelepon pagi-pagi begini, pikirnya saat melihat nama laki-laki itu tertera di layar.
“Hmmm,” jawab Dita, lalu menguap.
“Baru bangun lo? Sepuluh menit lagi gue nyampe, ya,” kata Dimas.
Dahi Dita berkerut. Sepuluh menit lagi? Dia melihat jam dinding. Seketika matanya terbuka lebar. Sudah pukul 07.20 WIB. “Iya. Udah, ya.” Dia mematikan sambungan. Segera Dita mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi.
Dita tidur lagi setelah salat Subuh karena mengantuk. Semalam dia susah tidur gara-gara memikirkan pengakuan Dimas. Jujur dia cemas apakah hari ini dan hari-hari berikutnya mereka tetap bisa bersikap seperti biasanya. Dia tidak mau mereka menjadi canggung satu sama lain.
Saat Dita sedang berpakaian, ponselnya kembali berbunyi. Pasti Dimas.
“Iya, bentar,” kata Dita.
“Gue udah di parkiran. Apa gue perlu naik?” tanya Dimas.
“Nggak usah. Lima menit lagi, ya.” Dita mematikan sambungan dan mengenakan kerudungnya. Dia tidak sempat memilih-milih pakaiannya untuk hari ini. Blus krem polos, celana khaki, dan kerudung motif. Cukup okelah.
Setelah mengecek tidak ada yang tertinggal dan kondisi rumah aman, Dita segera memakai sepatunya. Sekali lagi dia memperhatikan penampilan di cermin besar. Wajahnya masih polos. Dia belum sempat berdandan. Nanti saja di mobil.
Ponsel Dita kembali berbunyi ketika dia masuk ke lift.
“Iya, gue turun,” kata Dita.
“Katanya lima menit,” balas Dimas. “Udah sepuluh menit ini.”
“Iya, bentar.” Dita mematikan sambungan.
Sampai di lantai dasar dia berlari-lari kecil menuju pintu. Langkahnya terhenti ketika seseorang memanggilnya.
“Dita.”
Dita menoleh. Matanya melebar seketika. “Arga,” bisiknya. Apa yang laki-laki itu lakukan di apartemennya pagi-pagi begini.
“Sudah siap?” Arga menghampiri Dita.
Dita kebingungan. Dia menatap Arga, lalu menoleh ke arah luar. Dimas sedang menunggunya di mobil.
“Aku udah bilang bakalan jemput kamu, kan?” Arga mengingatkan.
Dita ingat sekarang. Kemarin Arga memang mengatakan akan menjemputnya. Namun, semalam dia sama sekali tidak ingat. Saat Dimas hendak pulang, dia menyuruh sahabatnya itu membawa mobilnya dari pada harus naik taksi online. Dimas akan menjemputnya pagi ini dan bersama-sama ke kantor.
Haduh. Bagaimana ini?
“Kenapa, kamu lupa?” tanya Arga. “Kamu udah pesan taksi online?”
“Eh, bukan. Itu ....” Dita tidak tahu bagaimana menjelaskannya.
“Dita.”
Dita menoleh ke arah pintu. Dimas tengah menghampirinya. Oh, bagus sekali.
*****

BAB 15
Keberuntungan itu bermacam-macam bentuknya. Bisa berupa materi seperti memiliki pekerjaan bagus, rumah nyaman, gaji besar, mobil mewah, dan lainnya. Bisa juga berupa non materi seperti keluarga harmonis, pasangan setia, sahabat baik, dan lainnya. Dalam kasus Dita, dia beruntung memiliki Maya sebagai tempat berbagi ketika hatinya gundah.
“Tumben lo ngajak ketemuan pas weekdays,” kata Maya.
“Hitungannya udah weekend, kali. Kan besok libur,” balas Dita.
“Lo kali libur, gue besok jadwal masuk,” seloroh Maya.
Dita tersenyum lebar. “Thanks, ya, udah nyempetin dateng.”
“Gue nggak bisa nolak traktiran,” canda Maya.
“Dasar!” Dita pura-pura kesal. Padahal dia bersyukur Maya menyanggupi saat dia menelepon sahabatnya itu tadi siang dan mengajaknya ketemuan.
“Sore ini banget?” tanya Maya.
“Iya, lo bisa, kan?” harap Dita.
“Habis Magrib, gimana? Gue sore masih ada kerjaan.”
“Oke, nggak apa-apa. Tempatnya lo aja yang tentuin, nanti gue ke sana.”
Bukan tanpa alasan Dita memprakarsai pertemuan ini. Dia perlu teman bicara dan Maya adalah orang yang tepat.
“So ... lo mau cerita apa?” Maya menggigit burgernya.
Dita tertawa kecil. “Ketahuan banget, ya?”
Maya tersenyum. “Kita udah sahabatan lama, Dit.”
Dita menarik napas. Tentu saja Maya tahu. Tidak mungkin dirinya tiba-tiba mengajak ketemuan tanpa alasan mendesak. Apalagi dia juga memberi tahu kalau Dimas tidak ikut. Pastinya ada sesuatu yang sifatnya personal. “Ini tentang Dimas.”
Tangan Maya yang hendak menyuap burger, berhenti di udara. “Dimas?”
“Dia nembak gue,” kata Dita.
Maya meletakkan makanannya. “It’s about time.”
Dita menatap Maya lekat. Jadi sahabatnya itu sudah tahu perasaan Dimas terhadap dirinya? Namun, tidak heran karena Maya beberapa kali menggodanya dengan Dimas. “Dia emangnya pernah bilang ke lo?” koreknya.
Maya menggeleng. “Lebih tepatnya gue yang bikin dia ngaku,” akunya. “Perlakuan Dimas ke lo selalu ekstra. Bahkan cara dia mandang lo juga beda. Lo ngerasa, kan?”
Tentu saja Dita tahu. “Gue cuma menganggap Dimas sebagai sahabat. Gue nggak mau persahabatan kita jadi rusak gara-gara cinta yang mungkin suatu hari bisa hilang.”
“Terus lo bilang apa pas Dimas nembak lo?” tanya Maya penasaran.
“Dia bukan sekadar nembak gue, May. Dia ngajak gue nikah,” kata Dita.
Mata Maya melebar. Dia terpaku sesaat. “Dimas ngelamar lo?”
Dita mengangguk.
“Gila tuh anak. Berani juga dia,” kata Maya. “Ceritain dari awal. Gue mau tahu detailnya.”
*****
“Wow.” Maya takjub setelah Dita menceritakan semuanya. “Hidup lo benar-benar berubah dalam waktu satu minggu, ya.”
“You tell me.” Dita menghabiskan minumannya. Tenggorokannya kering karena banyak bercerita.
“Jadi nyokap lo mau nikah sama bokapnya Dimas. Itu artinya lo sama Dimas bakal jadi saudara tiri. Dan Dimas ngelamar lo karena pengin lo sama dia nikah sebelum nyokap lo nikah.” Maya membuat rangkuman. “Begitu?”
“Kurang lebih. Gue juga nggak tahu pasti kenapa Dimas tiba-tiba ngajak nikah.”
“Because he loves you,” kata Maya. “Dia bilang, kan, kalau dia cinta sama lo?”
Iya, Dimas mengatakan hal itu ke Dita dengan jelas. “Tetapi, gue udah bilang ke Dimas kalau gue maunya kita tetap sahabatan aja.”
“Terus dia bilang apa?”
“Ya ... awalnya dia kekeuh, sih. Tetapi, akhirnya dia mau nerima pendapat gue.”
“Jadi kalian berdua baik-baik aja sekarang?”
Dita mengangguk. “Cuma gue nggak enak, aja, secara gue udah tahu perasaan dia ke gue. Kesannya gue memanfaatkan kebaikan dia.”
“Dimas dari dulu emang baik, kan?”
“Iya, sih.” Mereka tetap dekat seperti sebelumnya, hanya saja Dita khawatir Dimas menyalahartikan sikapnya. Bagaimana kalau Dimas berpikir dia memberi harapan kepada laki-laki itu?
“Dit, lo nggak perlu khawatir. Dimas udah tahu risikonya. Dia tetap baik sama lo karena dia tulus. Jadi terima aja,” kata Maya. “Kalau dia berharap lebih, ya ... tanggung sendiri akibatnya. Lo nggak perlu kasihan sama dia. Cowok pantang dikasihani, Dit.”
“Gitu, ya?” tanya Dita ragu.
Maya mengangguk. “Mending sekarang lo fokus ke persiapan pernikahan nyokap lo. Nyokap pasti seneng kalo lo ikut antusias. Gue rasa nyokap merasa bersalah karena ngeduluin lo nikah.”
“Kok lo pinter, sih, May?”
Maya tertawa. “Gue cuma lebih peka aja.”
“Makasih Maya cantik. What can I do without you.” Dita merangkul sahabatnya.
“Kayaknya lo nggak bakal bisa hidup tanpa gue,” canda Maya.
“True.”
Maya melihat jam tangannya. “Udah jam delapan, pulang yuk.”
“Waduh, nggak apa-apa lo naik motor malem-malem?” tanya Dita khawatir. “Apa gue anter aja?”
“Terus motor gue mau ditaro di mana?” tanya Maya. “Insya Allah nggak apa-apa. Dekat ini.”
“Sori.” Dita memasang wajah menyesal.
“It’s okay. Lumayan dapet makan malam gratis.” Maya tersenyum semringah.
“Gue yang makasih. Lo udah mau dengerin curhatan gue.” Dita meraih tasnya dan bangkit.
“Lain kali lo yang denger curhatan gue.” Maya ikut berdiri.
“Eh, lo belom cerita soal bos lo yang ganteng itu,” kata Dita sambil berjalan ke luar restoran.
Maya tertawa. “Emang mau cerita apa? Dia masih ganteng, kok.”
“Lo nggak coba deketin gitu?” Dita melangkah menuju parkiran bersebelahan dengan Maya.
“Nggak, lah. Ngapain?” elak Maya.
“Kata lo dia ganteng.”
“Terus kenapa kalo gue bilang dia ganteng. Emang ganteng, kok, tetapi bukan berarti gue suka, kan?”
“Jadi lo nggak suka sama dia?” cecar Dita.
“Nggak.”
“Nggak salah lagi maksud lo?” Dita senang bisa menggoda Maya.
“Dita,” panggil sebuah suara berat.
Dita menoleh saat ada yang memanggil namanya. Loh? “Arga?” bisiknya terkejut.
“Kebetulan sekali ketemu di sini,” kata Arga senang.
“Eh, Pak Arga. Iya, Pak.” Dita berdiri canggung. Dia merasakan pinggangnya disikut oleh Maya. “Oh, iya. Pak, kenalin, ini Maya, teman saya.” Dia menoleh ke sahabatnya.
“Maya.”
“Arga.” Arga menjabat tangan Maya. “Sudah mau pulang?” tanya Arga ke Dita.
“Iya, Pak, sudah malam,” kata Dita.
“Hati-hati.”
Dita mengangguk. “Saya duluan, Pak.” Dita pamit dan mengucapkan salam.
“Siapa?” tanya Maya penasaran ketika mereka sudah jauh.
“Klien gue.”
“Klien apa klien?”
“Klien,” kata Dita sewot.
“What ever you say, lah,” balas Maya.
*****
Sebelum masuk ke restoran, Arga menyempatkan sekali lagi melihat Dita. Perempuan itu sudah masuk ke mobilnya. Dia menarik napas, lalu masuk. Setelah memesan makanan lewat mesin kiosk, dia mengambil nomor antrean dan duduk.
Sambil menunggu dia membuka kembali chat dirinya dan Dita beberapa hari yang lalu.
Maaf, Pak, saya benar-benar lupa. Saya juga nggak buka-buka handphone sejak semalam jadi pesan Pak Arga nggak terbaca.
Maaf sekali lagi, Pak.
Arga tersenyum. Malam sebelum menjemput Dita, dia nyaris tidak bisa tidur. Terlalu excited memikirkan akan mengantarkan perempuan itu ke kantor. Namun, rencananya bubar jalan.
Arga menganggap Dita sudah setuju untuk pergi bersamanya karena perempuan itu tidak membatalkan setelahnya. Dita memang tidak membalas pesan yang dikirimnya setelah subuh, tetapi dia percaya diri saja.
Arga tidak tahu Dita biasa berangkat kerja pukul berapa dari apartemennya. Namun, mengingat lokasi apartemen dan kantor berdekatan, pastinya tidak terlalu pagi. Pukul tujuh dia sudah stand by di lobi. Sampai akhirnya empat puluh menit kemudian Dita menampakkan batang hidungnya dan kelihatan terburu-buru.
Dita kelihatan kaget saat melihat dirinya. Sepertinya perempuan itu mengatakan yang sebenarnya saat mengatakan lupa akan janji mereka. Namun, yang tidak Arga duga adalah kemunculan Dimas, rekan kerja Dita.
“Lama banget, sih?” Dimas berdiri di samping Dita, lalu menoleh ke laki-laki yang berada di hadapan sahabatnya itu.
“Mas, sori ....” Dita menoleh ke Arga dan Dimas bergantian. “Mas, kenalin ini Pak Arga. Pak Arga, ini Dimas.”
Arga dan Dimas beradu pandang. Arga lebih dulu mengulurkan tangannya. “Arga.”
“Dimas.” Dimas balas menjabat tangan Arga.
Arga bisa merasakan Dimas menjabat tangannya sedikit lebih erat.
“Pak Arga, maaf, saya lupa memberi tahu kalau mobil saya udah ada di apartemen. Dimas,” kata Dita sambil menunjuk ke laki-laki itu, “yang bawa mobil saya ke apartemen.”
“Oh. Bagus kalau begitu. Saya pikir mobil kamu masih di kantor,” kata Arga.
Wajah Dita kelihatan menyesal. “Maaf sekali lagi, Pak. Jadi merepotkan,” katanya tidak enak.
“It’s okay.” Arga tersenyum tipis. “Baik, kalau begitu aku duluan.” Dia mengucapkan salam dan berlalu.
Kecewa?
Tentu Arga kecewa karena dia berharap bisa lebih dekat lagi dengan Dita. Misinya untuk membuat perempuan itu kembali mempercayainya harus berhasil. Kalau Dita masih menjaga jarak maka sia-sia rencananya ke depan.
“Makanannya, Kak.” Pramusaji meletakkan pesanan Arga di meja.
Arga mengucapkan terima kasih, lalu mulai makan. Tidak lama ponselnya berbunyi. Ibunya menelepon.
“Assalamu’alaikum.”
“Abang, lembur malam ini?” tanya ibunya Arga setelah menjawab salam anaknya.
“Sebentar lagi pulang, Bu. Kenapa?” Biasanya ibunya suka menitip sesuatu saat dia pulang.
“Kalau nggak kemaleman, tolong beliin sekoteng di depan gerbang, ya.”
“Insya Allah, Bu.”
Arga mematikan sambungan setelah ibunya menyuruhnya berhati-hati di jalan. Dia teringat janjinya kepada ibunya untuk mengajak Dita menemui ibunya. Apakah hari itu akan benar-benar terjadi?
Dia menarik napas. Saat hari itu tiba, Arga berharap itu bukan pertemuan mereka yang terakhir.
*****
Sebelum bersiap tidur, Dita menyempatkan mengirim pesan WhatsApp ke Maya.
Dita: Udah sampe kosan?
Sambil menunggu balasan, Dita membuka pesan dari Dimas.
Dimas: Udah nyampe apartemen?
Dimas: Halooo.
Dimas: Lo udah tidur?
Pesan terakhir dari Dimas masuk satu jam yang lalu.
Dita: Udah mau tidur.
Tidak lama masuk balasan dari Dimas.
Dimas: Oh, ya udah. Tidur, gih.
Dita: Hmmm. Bye.
Tidak berapa lama Maya membalas pesannya.
Maya: Udah. Ini siap-siap mau tidur.
Dita: Ha ha. Sama dong. Ya, udah, nite nite. And thanks for today.
Maya: Gue dong yang makasih, udah ditraktir.
Dita: Sama-sama.
Maya: Btw, klien lo tadi ... siapa namanya?
Dita: Pak Arga.
Maya: Iya. Kayaknya masih single, ya?
Dita: Sok tahu.
Maya: Gue bisa bedain cowok single sama udah married.
Dita: Iya kali. Gue nggak nanya-nanya.
Dita jadi kepikiran. Benar juga. Selama ini dia tidak pernah bertanya apakah Arga sudah menikah atau belum.
Maya: Tanya dong. Ya ... hati-hati aja. Kalau udah married, jangan kasih kesempatan kalau dia modus.
Dita: Gue udah mumet sama Dimas, jangan nambah-nambah masalah lagi, deh.
Maya: Ha ha. Tetapi Pak Arga ganteng juga. Berapa, sih, umurnya. Nggak beda jauh sama kita, kan?
Dita: Nggak, beda dua tahun doang.
Maya: Heh. Kok lo tahu?
Waduh. Dita terpancing.
Dita: Gue lihat dari KTP-nya.
Maya: Lo nggak akan sedetail itu perhatiin KTP orang.
Dita menarik napas. Maya benar.
Dita: Dia kakak kelas gue pas SMA.
Maya: What? Ditaaa ceritaaa. Nggak mau tahu.
*****
BAB 16
Anugerah itu ketika mendapatkan klien yang tahu benar apa maunya. Sehingga sebagai arsitek, Dita bisa mengejawantahkannya dalam bentuk gambar kerja. Tidak sebentar-sebentar berubah pikiran begitu melihat gambar di Pinterest yang menarik perhatian klien.
“Desainnya sudah final, ya, Pak,” kata Dita. “Karena Pak Arga setuju dengan kontraktor yang kami pilih, maka untuk pembayaran sesuai kontrak. Pembayaran pertama bisa langsung ditransfer ke rekening yang tertera di surat perjanjian.”
“Oke. Insya Allah akan saya transfer segera,” kata Arga. “Kapan kira-kira pembangunannya dimulai?”
“Kalau tidak halangan, insya Allah minggu depan, Pak.” Untunglah semua urusan administrasi, termasuk izin mendirikan bangunan, sudah selesai sebelum pembangunan dimulai.
Arga mengangguk-angguk. “Untuk seterusnya, kamu yang akan melakukan pengawasan di lapangan?"
“Untuk pengawasan harian sudah ada mandornya, Pak, tetapi saya tetap akan meninjau ke lokasi secara berkala,” jelas Dita.
“Kalau saya mau mengecek ke lokasi, kamu bisa temani saya, kan?” tanya Arga.
“Bisa, Pak. Nanti kabari saja kapan Pak Arga meninjau ke lokasi,” balas Dita.
“Oke.” Arga tersenyum.
Ponsel Dita berbunyi. Dia meraih ponsel di meja. Ternyata bundanya menelepon. Dia menoleh ke Arga, meminta izin.
“Nggak apa-apa, terima saja,” kata Arga.
Dita mengangkat teleponnya. “Assalamu’alaikum, Bun.”
“Aku lagi ada meeting sama klien, Bun.”
“Nggak apa-apa. Kenapa, Bun?”
“Oh. Oke.”
“Iya, minggu depan, kan? Insya Allah bisa.”
“Oke, nanti aku telepon lagi, Bun.” Dita mengucapkan salam lalu mematikan sambungan.
“Bunda sehat?” tanya Arga setelah Dita meletakkan ponselnya.
“Alhamdulillah, sehat,” kata Dita.
“Minggu depan ada apa?” tanya Arga ingin tahu.
“Ooo ... itu, Bunda dan komunitasnya mengadakan kegiatan seminar sehari Gebyar Muslimah. Aku kebagian jadi seksi transportasi, bertugas menjemput pembicara,” jelas Dita. Dia langsung berganti menggunakan bahasa informal ketika sedang tidak membahas pekerjaan dengan Arga.
“Jemput ke daerah mana?” tanya Arga.
“Karawaci.”
“Wow. Dari apartemen kamu di Jaksel ke Karawaci? Apa nggak terlalu jauh?”
Dita tersenyum. “Nggak apa-apa, kok. Lagian aku yang mau soalnya pembicaranya ini artis hijrah yang lagi naik daun.”
“Siapa?” Alis Arga sedikit bertaut.
“Tamara Lewinsky.”
“Oh,” tanggap Arga.
“Kamu tahu?”
Arga mengangguk. Dia tahu karena Tamara Lewinsky viral di sosial media akhir-akhir ini.
“Aku dari dulu kepingin banget ketemu dia. Kisah hidupnya jadi inspirasi buat aku,” kata Dita antusias. “Seru, kan, bisa ketemu langsung, foto-foto, dan ngobrol selama perjalanan. Previllage banget.”
“Aku antar, ya,” kata Arga.
Dita tertegun. Arga mau mengantaranya menjemput Tamara? “Gimana?” Dia khawatir salah tangkap maksud perkataan Arga barusan.
“Aku yang mengantar kamu menjemput Tamara,” kata Arga.
“Kenapa? Kamu mau ketemu sama Tamara juga?”
Arga tertawa kecil. “Kalau iya, memangnya nggak boleh.”
Dita mengangkat bahunya sedikit. Kok kesal, ya?
“Aku cuma nggak mau kamu menyetir terlalu jauh. Lagi pula kamu belum pernah ke rumah Tamara, kan? Kalau nyasar gimana?”
“Aku bisa lihat peta. Lagian bukan pertama kalinya aku nyetir jarak jauh,” balas Dita.
“Jadi aku nggak boleh mengantar kamu?” tanya Arga.
“Aku tanya bundaku dulu,” jawab Dita ragu. Dia yakin bundanya malah senang kalau ada yang menemaninya menjemput Tamara karena jarak tempuh cukup jauh.
“Oke.” Arga menyandarkan punggung ke sandaran kursi dan bersedekap. Menunggu.
Jeda beberapa lama. Dita menjadi kikuk karena Arga menatap lurus kepadanya. “Oke.”
“Katanya kamu mau bertanya ke bunda kamu?” tanya Arga.
“Iya, nanti aku tanyakan.”
“Kenapa nggak sekarang aja?”
“Sekarang?”
“Iya.”
Dita meraih ponsel dan menelepon bundanya. Tidak sampai satu menit dia menelepon.
“Gimana?” tanya Arga penasaran.
“Bunda nggak keberatan.” Koreksi. Bundanya sangat senang karena ada yang menemaninya. Seperti dugaannya semula.
Arga tersenyum lebar. “Acaranya kapan?”
“Minggu ini,” jawab Dita. “Jam delapan.”
“Oke. Kalau begitu aku stand by di apartemen jam enam. Insya Allah lancar kalau pagi,” kata Arga.
Dita menatap Arga sejenak. “Beneran kamu mau nganter aku?”
Arga mengangguk mantap.
“Nggak ngerepotin?” tanya Dita tidak enak.
“Aku malah senang. Bisa ketemu kamu lagi minggu ini.”
Dita ingin tersenyum, tetapi ditahannya. Kehangatan menjalari hatinya. Tenang Dita, jangan over excited. “Jauh loh perjalanannya.”
“Makin jauh makin bagus dong.”
“Kenapa?”
Arga ingin mengatakan kalau dia ingin meluangkan lebih banyak waktu bersama Dita, tetapi ditahannya karena khawatir terlalu straight to the point. “Ya ... nggak apa-apa. Jadi seru aja. Jalan-jalan.” Dia meminum sedikit iced lemon tea-nya untuk mengusir gugup.
Kening Dita berkerut sedikit. Alasan yang tidak masuk akal.
“Jadi jam enam, ya.” Arga mengalihkan pembicaraan.
Dita mengangguk. “Oke, jam enam.”
“Tetapi, kamu nggak akan membatalkan tiba-tiba, kan?” canda Arga.
Sudah dua pekan lebih berlalu sejak insiden pagi itu, Arga masih saja mengingat-ingat. “Nggak,” jawab Dita.
Arga tersenyum. “Dimas itu rekan kerja kamu di kantor?”
Dita mengangguk.
“Udah kenal lama?”
“Dimas teman kuliah aku. Sama kayak Maya,” jelas Dita. “Kamu ingat, kan, Maya? Kamu pernah ketemu dia pas di restoran malam-malam.”
Arga mengangguk.
Maya benar-benar menginterogasi habis dirinya di WhatsApp malam itu. Dita menceritakan apa adanya, minus perasaan hatinya kepada Arga. Tidak ada yang tahu kisah cintanya kecuali dirinya sendiri.
“Kamu dekat sama Dimas?” tanya Arga hati-hati. Dia tidak mau terlalu kentara mengintervensi kehidupan pribadi Dita.
“Dekat. Apalagi tiap hari ketemu.” Namun, tidak sedekat dulu. Dita sedikit menjaga jarak dari Dimas. Dia tidak mau laki-laki itu menyalahartikan kedekatan mereka sebagai sesuatu yang bersifat romantis.
“Ooo .... Tetapi, kamu dan Dimas nggak ....” Jeda beberapa waktu. “Nggak pacaran, kan?” Arga mengumpulkan segenap keberaniannya demi mengucapkan kata terakhir. Dia menyetel wajahnya sedatar mungkin agar Dita tidak bisa membaca ekspresinya.
Dita tertegun. Kenapa tiba-tiba Arga bertanya tentang hal itu?
“Sori. Bukan maksud aku mau ikut campur urusan pribadi kamu.” Arga tidak mau Dita salah sangka. “Lupain aja.”
Dita dengan cepat menguasai dirinya. “Nggak. Aku sama Dimas nggak pacaran. Kita sahabatan aja.”
“Ooo,” tanggap Arga lega. Syukurlah. Namun, Arga masih bertanya-tanya dengan sikap Dimas pagi itu kepadanya. Tampak sekali kalau laki-laki itu terganggu dengan kehadiran dirinya di sana.
“Kalau kamu?” tanya Dita berani. Ini kesempatannya untuk mencari tahu. Gantian dia yang bertanya tentang kehidupan asmara Arga. “Sudah punya pacar?”
Arga cukup kaget, tetapi dengan cepat menguasai diri. Dia tersenyum kecil. “Menurut kamu?”
*****
Hati Dita tengah berbunga-bunga. Pipinya bersemu dan bibirnya senyum-senyum sendiri. Mission accomplished. Dia berhasil tahu kalau status Arga adalah single. Laki-laki itu memberitahukannya dengan jelas satu jam yang lalu.
“Nggak lagi dekat dengan siapa pun?” Dita memperjelas saat Arga mengatakan kalau dia tidak punya kekasih.
Arga menggeleng.
Tidak tahu kenapa, tetapi Dita senang mendengarnya.
Dita menarik napas. Dia kembali fokus berkemudi dan memperhatikan jalanan di depannya. Apakah boleh dia merasa bahagia seperti ini? Lalu bagaimana dengan sakit hatinya dulu? Apakah dia akan melupakan pedih itu begitu saja? Apakah dia lupa kalau Arga pernah menghilang tanpa kabar dan menorehkan luka di hatinya?
Saat lampu lalu lintas menyaala merah, Dita menyalakan podcast Cerita Tamara.
“Setiap orang berhak untuk memperbaiki diri,” kata Tamara. “Contohnya gue. Kurang maksiat apa gue dulu? Tetapi, Allah kasih gue kesempatan untuk memperbaiki diri. Dan kesempatan itu gue ambil.
“Setiap orang punya masa lalu, kan? Tetapi, setiap orang juga punya masa depan. Dulu gue salah, tetapi gue nggak mau mengulangi kebodohan yang sama ke depannya,” kata Tamara. “Kasih kesempatan untuk orang-orang kayak gue untuk berubah menjadi lebih baik. Kalau lo nggak mau bantu dan lo nggak percaya sama gue, it’s fine. At least jangan hina atau caci maki gue.”
Dita tertegun. Apakah artinya dia perlu memberikan kesempatan untuk Arga? Sepertinya laki-laki benar-benar menyesali perbuatannya dulu. Dia bisa merasakan ketulusan Arga dari sikap dan tutur katanya.
Dita tidak tahu pasti maksud Arga bertemu dengan dirinya lagi. Apakah laki-laki itu jujur saat berkata ingin dekat seperti dulu? Ingin berteman dengannya?
Helaan napas keluar dari mulut Dita. Apakah dia menginginkan hal yang sama, hanya sekadar teman? Namun, setiap bertemu dengan Arga jantungnya selalu berdetak lebih cepat.
*****
“Bokap bilang Minggu ini ada acara, ya?” tanya Dimas ke Dita.
Dita yang tengah serius bekerja, menoleh. “Minggu ini?” Memangnya mereka ada acara apa? Bundanya tidak mengatakan akan bertemu dengan Pak Bagas dan Dimas.
“Iya, acara seminar nyokap lo,” lanjut Dimas.
“Ooo ... Gebyar Muslimah komunitas Bunda Hijrah?”
“Kabarnya ngundang Tamara Lewinsky, ya?”
“Kok lo tahu?” tanya Dita heran.
“Bokap ngasih tahu.”
Dita membentuk huruf “O” dengan mulutnya. Tentu saja bundanya cerita ke Pak Bagas. Sebentar lagi mereka menikah. Tentu hubungan mereka sudah sedekat itu. Dia kembali memusatkan perhatian ke layar komputer.
“Kata bokap, lo bertugas jemput Tamara ke rumahnya, ya?” tanya Dimas lagi.
“Iya.” Benar, kan. Bundanya menceritakan semua hal ke Pak Bagas. “Kenapa?”
“Rumahnya kan jauh, di Karawaci,” kata Dimas.
Dita kembali menoleh. “Lo kok tahu?” tanyanya heran.
“Bokap yang bilang.”
Dita menghela napas. “Ooo,” tanggapnya, lalu kembali fokus bekerja.
“Lo pergi sama siapa ke sana? Gue antar aja.” Dimas menawarkan diri. “Lagian lo belum pernah ke sana, kan? Entar nyasar lagi.”
“Ada peta, kok. Nggak perlu khawatir,” balas Dita. Kenapa laki-laki menganggap perempuan itu tidak bisa membaca peta?
“Nggak apa-apa, gue antar aja.”
“Nggak usah.”
“Nggak apa-apa,” paksa Dimas. “Biar ada temannya. Lebih aman daripada sendirian.”
“Gue nggak sendirian, kok,” seloroh Dita.
“Sama siapa?” tanya Dimas heran.
Deg. Dita keceplosan. “Eh, itu ... sama panitia.”
Dahi Dimas berkerut. “Kok bokap bilangnya lo jemput ke rumah Tamara sendirian, ya?”
Dita menutupi kegugupannya. “Iya, gue baru aja semalam minta temani sama panitianya.”
Dimas ragu. “Ooo ... oke, deh.”
“Emang lo dateng nanti pas acara Minggu?” tanya Dita was-was.
“Datang. Bokap nyuruh gue bantu-bantu nyokap lo di sana,” kata Dimas.
Gawat. “Gitu, ya. Nyokap nggak bilang apa-apa ke gue.” Mudah-mudahan saja Dimas tidak bertemu dengan Arga di sana.
*****
BAB 17
Usia Dita tidak muda lagi, tetapi dia merasa seperti anak SMA sedang kasmaran. Senang rasanya bisa berdua saja dan mengobrol seperti ini. Dia jadi lupa kalau berdua-duaan dengan lawan jenis maka yang ketiganya adalah setan. Dia menganggap tidak apa-apa karena mereka cuma teman. Dia mengira tidak akan terjadi apa-apa di antara mereka. Dia merasa bisa menjaga diri dan Arga adalah laki-laki yang baik.
“So ... semalam aku sempat searching tentang Tamara,” kata Arga.
“Oya?” Dita menatap Arga tidak percaya.
“Iya.” Arga melirik Dita sekilas, lalu kembali fokus berkendara.
“Terus, apa yang kamu dapatkan?”
“Dia dulunya artis cilik. Sudah main film sejak usia lima tahun. Pernah coba menjadi penyanyi juga, tetapi tidak sesukses karier aktingnya,” kata Arga. “Dia mendapatkan peran utamanya saat usia 17 tahun waktu bermain di film Renjana. Dia mendapat nominasi sebagai pemeran utama wanita terbaik pertamanya di film itu.”
Dita menatap Arga takjub. Laki-laki benar-benar melakukan riset dengan baik.
“Sayangnya kehidupan pribadinya tidak secemerlang kariernya di dunia perfilman. Dia dua kali masuk rehabilitasi karena kecanduan narkoba dan sering masuk infotainment karena sensasi,” tambah Arga. “Dia mulai berubah saat mengalami sakit yang cukup lama, nggak dijelaskan sakitnya apa karena keluarga memilih nggak memublikasikan. Perubahan yang tiba-tiba membuat banyak orang-orang berasumsi semua cuma gimik.”
“Wow,” kata Dita takjub. “Ada lagi yang kamu tahu?”
“Dia membuktikan ke semua orang kalau dia benar-benar konsisten berubah menjadi lebih baik. Kegiatannya sekarang menjadi pembicara dan motivator di berbagai komunitas,” kata Arga. “Aku nggak tahu apakah dia masih main film atau nggak.” Dia menoleh ke Dita saat berhenti di lampu merah.
Dita salah tingkah saat mereka beradu pandang. Jantungnya kembali berdebar pelan. “Aku juga nggak tahu,” katanya sambil mengalihkan pandangan. “Mungkin bisa kamu tanyakan nanti waktu ketemu orangnya.”
“Kamu kenal sama dia atau pernah bertemu sebelumnya?” tanya Arga. Dia melajukan kendaraan saat lampu menyala hijau.
“Nggak. Tahu dari sosial media aja. Aku suka dengar podcast-nya dia. Inspiratif,” kata Dita.
“Oya?”
“Iya, menurut aku dia sungguh-sungguh hijrah. Kamu bisa lihat itu dari isi pembicaraannya yang jujur,” jelas Dita. “Dia juga menjadi inspirasi buat orang-orang yang mau berubah, tetapi nggak mendapat dukungan dari sekitarnya.”
“Ada, ya, yang seperti itu? Nggak mau orang berubah jadi lebih baik?” komentar Arga.
“Ada aja, sih,” kata Dita. “Bisa jadi karena mereka nggak mau ditinggalkan atau nggak suka aja melihat temannya lebih dari mereka.”
“Tipe orang yang senang melihat orang lain susah dan susah melihat orang lain senang?” tanya Arga.
“Persis.”
“Kalau begitu mereka bukan benar-benar teman kamu,” tambah Arga.
“Kamu pernah ketemu teman kayak begitu?”
“Pernah, tetapi untungnya aku jadi tahu sifat mereka sesungguhnya. Saat terpuruk, aku jadi tahu mana yang benar-benar teman sejati,” kata Arga.
“Memang kamu pernah seterpuruk apa, sih?” tanya Dita penasaran.
Arga tertawa kecil. “Namanya hidup, ada aja ujiannya. Di keluarga, di lingkungan kerja, atau di circle pertemanan.” Dia melirik Dita. “Kalau kamu?”
Dita tersenyum. “Kamu kan tahu, dari dulu aku orangnya menyebalkan, jadi nggak ada yang mau temanan sama aku,” katanya. “Untungnya pas kuliah aku bertemu Dimas dan Maya. Bisa dibilang mereka adalah orang-orang yang membuat aku mengerti makna pertemanan. Aku mengira nggak butuh orang lain dalam hidupku. Mereka membuktikan kalau aku salah. Ternyata menyenangkan memiliki orang yang care sama kita.”
“I’m glad you have them,” kata Arga.
“So do I.” Apalagi saat itu Dita tengah galau kala Arga pergi tanpa kabar. Dia bersyukur ada Dimas dan Maya yang menjadi pengalih perhatiannya.
Arga membelokkan mobil ke arah gerbang perumahan. “Bisa tolong lihat petanya, habis ini ke mana?”
Dita sigap melihat peta di ponselnya. “Dari gerbang masih lurus aja. Setelah 300 meter masuk ke klaster Rosehill sebelah kiri,” jelasnya.
“Oke.”
“Kok aku deg-degan ya mau ketemu Tamara,” kata Dita.
Arga tersenyum. “Kayak mau ketemu pacar?” godanya.
Refleks Dita memukul lengan Arga pelan.
“Hei, aku lagi nyetir,” protes Arga.
Dita tidak acuh. “Depan kiri, nanti kelewatan.”
“Iya, Bu.” Mobil Arga masuk ke klaster perumahan. “Dari sini ke mana?”
“Kanan, terus belokan kedua belok kiri. Rumahnya nomor A28 sebelah kanan,” jelas Dita.
Arga mengikuti petunjuk Dita. Tidak lama mereka berhenti di depan sebuah rumah tingkat dua bercat gading. “Alhamdulillah,” katanya. “Sampai.”
“Aku WhatsApp Tamara dulu.” Dita mengetik di ponselnya.
“Nggak usah.” Arga menahan tangan Dita. “Kita masuk aja. Aku yakin dia udah menunggu kita.”
Dita merasa seperti disengat listrik saat tangan Arga menyentuhnya lembut. “Oh, oke.” Dia segara memasukkan ponsel ke tas sambil menyembunyikan pipinya yang terasa hangat.
Arga turun dari mobil dan Dita mengikutinya. Rumah di kawasan ini tidak berpagar, mereka langsung menuju teras dan menekan bel. Arga mengucapkan salam. Tidak lama terdengar jawaban dari dalam. Dia melirik Dita dan tersenyum saat melihat perempuan itu tampak gugup. “Kamu kenapa?”
“Eh, nggak,” kata Dita. Tangannya terasa dingin dan jantungnya berdetak di atas normal. Mungkin seperti ini rasanya bertemu seorang idola. Excited sekaligus was-was.
“Relaks aja. Selebrita itu manusia biasa kayak kita juga kok.”
Dita menarik napas pelan. Dia berhasil meredakan gelisahnya, tetapi hanya beberapa detik sampai seseorang membuka pintu rumah. Dia langsung grogi karena Tamara sendiri yang membukakan pintu.
Tamara memakai gamis polos krem dengan outer motif batik yang trendi. Kerudung yang menutupi dada senada dengan gamisnya. Riasan tipis menambah pesona kecantikannya yang berwajah blasteran.
“Halo,” sapa Tamara ramah dan riang. “Dari panitia Gebyar Muslimah, ya?”
Dita merasa lidahnya kelu. Dia menoleh ke Arga, meminta bantuan.
“Iya betul, Mbak.” Arga mengambil alih.
“Maaf, lama menunggu, ya? Saya ambil tas sebentar. Mau masuk dulu?” tawar Tamara.
“Nggak usah, Mbak,” kata Arga. “Kami menunggu di sini saja.”
“Oh, oke. Sebentar, ya.” Tamara masuk ke dalam.
Dita membuang napas yang ditahannya sedari tadi.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya Arga.
“Nggak.” Dita menyembunyikan gugupnya dengan tersenyum kecil.
Tidak lama Tamara kembali. “Maaf, belum sempat kenalan. Saya Tamara.” Dia memperkenalkan diri.
“Saya Arga, ini Dita.” Arga memberikan gestur dengan tangannya.
“Oh, halo Dita. Kita udah chat di WA, kan.” Tamara menjabat tangan Dita dan mencium pipi kanan dan kiri perempuan berjilbab dusty pink itu antusias. “Kamu Dita anaknya Bunda Lastri, ya?”
“Eh, iya, Mbak.” Dita tidak menyangka Tamara bersikap seakrab ini dengannya.
“Wah, senang sekali akhirnya bisa ketemu sama kamu,” kata Tamara. “You have a great mother.”
Dita tersenyum kecil. Bundanya memang perempuan tangguh dan hebat.
“Kita mau langsung atau gimana?” tanya Tamara.
“Langsung boleh, Mbak, karena perjalanan cukup jauh juga,” kata Arga.
Arga berjalan ke mobil terlebih dahulu diikuti Dita dan Tamara.
“Mbak Tamara, maaf sebelumnya. Boleh berfoto sebentar?” pinta Arga. “Dita ini penggemar Mbak Tamara cuma terlalu sungkan untuk minta foto bareng.”
Mata Dita melebar. Dia menyikut Arga pelan.
“Oh, boleh dong. Yuk.” Tamara menggamit lengan Dita untuk mendekat.
Dita menjadi salah tingkah. Namun, dia senang karena bisa berfoto dengan Tamara. Kalau sudah di tempat acara bisa jadi dia tidak punya kesempatan untuk foto berdua karena banyak yang antre berfoto dengan Tamara.
Arga sudah siap dengan ponselnya. “Oke, satu dua tiga.” Dia memberi aba-aba. “Sekali lagi. Satu dua tiga.”
“Makasih, Mbak,” kata Dita seraya tersenyum lebar. Dia masih grogi, tetapi tidak segugup sebelumnya. Ternyata Tamara benar-benar baik dan ramah. Membuatnya menjadi nyaman berada di dekat perempuan itu.
“Sama-sama,” balas Tamara. “Nggak mau foto bertiga, nih? Kita selfie aja, yuk.”
“Boleh,” sambut Dita antusias. Dia menoleh ke Arga. “Kamu yang ambil, ya.”
Arga berdiri paling depan dan mengambil posisi agar mereka bertiga masuk di dalam frame.
“Potrait, Ga. Buat Instagram story,” beri tahu Dita.
Arga mengikuti permintaan Dita. Mereka mengambil beberapa foto, lalu masuk ke mobil.
*****
“Mas Arga panitia juga, ya?” tanya Tamara ketika mobil sudah meluncur keluar klaster perumahan.
“Bukan, Mbak. Saya cuma bantu-bantu aja,” kata Arga. “Dita belum pernah ke daerah sini, jadi dia minta saya buat menemani.”
Dita melirik Arga sambil menautkan alisnya. Nggak kebalik, batinnya.
“Ooo ... memangnya Mbak Dita tinggal di mana?” tanya Tamara.
“Saya di Jakarta Selatan, Mbak.” Dita menoleh sedikit ke belakang, tempat Tamara duduk.
“Untung ada yang menemani, kalau nggak bisa nyasar,” tambah Tamara.
Dita tersenyum kecil. Dia menoleh ke Arga dan melihat laki-laki itu tersenyum semringah. Arga melirik Dita. Dita langsung melengos.
“Oya, nanti pulangnya kalian berdua juga yang mengantar saya?” tanya Tamara.
“Insya Allah, Mbak,” kata Arga.
“Nanti boleh antar saya ke daerah Bekasi? Kebetulan ada acara lain di sana setelah ini,” kata Tamara.
“Insya Allah bisa, Mbak,” balas Dita.
“Alhamdulillah. Makasih, ya.”
“Lagi sibuk ya, Mbak?” tanya Arga.
“Alhamdulillah. Kalau weekend banyak undangan mengisi acara,” jawab Tamara.
“Masih aktif di dunia film juga, Mbak?” tanya Arga.
“Kalau film belum ada.” Tamara tertawa kecil. “Semenjak saya pakai hijab, ada beberapa tawaran yang datang. Cuma sekarang saya lebih selektif memilih peran. Kalau nggak sesuai dengan visi misi saya, ya nggak saya terima.”
Dita mengangguk-angguk.
“Saya pikir setelah hijrah, hidup saya lebih tenang,” tambah Tamara. “Ternyata nggak. Malah semakin banyak ujiannya.” Dia tertawa pelan
“Allah lagi sayang sama Mbak Tamara,” kata Arga.
“Benar banget. Kalau nggak ada tantangannya nggak seru. Saya juga menjadi lebih dekat dengan Allah. Setiap ada gosip tidak sedap menghampiri, saya ngadunya langsung sama Allah. Hati jadi lebih tenang.”
“Masya Allah. Mbak Tamara tegar banget,” kata Dita. Dia mengingat kisahnya sendiri. Apa yang dulu dilakukannya saat Allah memberinya ujian? Marah dan menyalahkan takdir. Astagfirullah.
“Saya bersyukur karena bertemu dengan komunitas teman-teman hijrah,” tambah Tamara. “Hijrah nggak bisa sendirian. Saat banyak hujatan terhadap pilihan saya untuk hijrah, saya mendapat banyak dukungan dari teman-teman di komunitas. Mereka menguatkan saya untuk istikamah. Guru-guru saya juga memberi nasihat yang membuat saya semakin mantap berada di jalan ini.”
Bertambah-tambah kekaguman Dita kepada Tamara. Allah Maha Membolak-balikkan hati manusia. Dia salut Tamara tetap teguh pendirian meskipun banyak halangan merintang.
“Ngomong-ngomong, Mbak Dita usianya berapa, ya? Jangan-jangan kita sepantaran,” tanya Tamara.
“Saya 27 tahun, Mbak.”
“Wah, sama dong. Kalau begitu panggil nama aja,” kata Tamara. “Kalau Mas Arga?”
“Dia lebih tua dua tahun, Mbak.” Dita langsung menjawab untuk Arga.
“Wah, kalau gitu tetap harus pakai ‘Mas’ dong manggilnya,” canda Tamara.
“Panggil nama juga nggak apa-apa,” jawab Arga.
“Jangan, dong, nggak sopan,” kata Tamara.
Mereka tertawa bersama.
“Dita, kalau kamu kegiatannya apa?” tanya Tamara.
“Saya arsitek, Mbak,” jelas Dita. Lidahnya masih kagok memanggil nama Tamara tanpa embel-embel “Mbak”.
“Panggil Ara, aja,” kata Tamara. “Wah, keren dong arsitek. Kalau saya mau bikin rumah atau renov bisa, dong.”
“Bisa banget, Mbak,” kata Arga. “Saya juga lagi bangun rumah dan Dita arsiteknya.”
“Ara, aja, Mas Arga.” Tamara mengingatkan lagi. “Kalau Mas Arga, kegiatannya apa?”
“Saya bekerja di perusahaan kontraktor, Mbak,” kata Arga.
“Wah, anak Teknik semua. Pada pintar-pintar sekolahnya dulu,” kata Tamara.
“Nggak juga. Saya pas kuliah banyak juga mengulang mata kuliah,” kata Dita.
“Saya dulu malah nggak kuliah. Keasyikan nyari duit.” Tamara tertawa pelan.
“Tetapi Mbak Ara kuliah di universitas kehidupan,” balas Arga. “Ilmunya lebih banyak dari kita-kita.”
“Mas Arga kalo ngomong suka benar,” seloroh Tamara.
Mereka kembali tertawa.
Dita tidak lagi merasa canggung berada di dekat Tamara. She’s really an outgoing person and humble.
*****
“Makasih banyak loh, Dit. Jazakillah khair,” kata Tamara saat Dita mengantarkannya ke ruang tunggu pembicara.
“Wa iyyaki, Mbak Ara,” balas Dita.
“Ara aja.”
Dita tersenyum. “Iya, Ara.” Akhirnya dia memanggil Tamara tanpa embel-embel “Mbak”.
“Mas Arga, makasih, ya. Nanti aku mau ngerepotin lagi pas acara udah selesai,” kata Tamara.
“Siap, Ra. Saya stand by di sini, kok,” kata Arga.
Saat tiba di ruangan, bundanya dan panitia lain menyambut kehadiran Tamara. Dita ikutan masuk sedangkan Arga menunggu di luar.
“Makasih ya, Sayang. Kamu mau di sini dulu menemani Tamara atau gimana?” tanya Lastri.
“Aku di luar aja, Bun,” kata Dita. Dia tidak enak meninggalkan Arga sendirian.
“Oh, oke. Nanti kamu ikutan, kan, pas acaranya. Sepuluh menit lagi kita mau masuk. Sekarang masih pembukaan,” kata Lastri.
“Insya Allah, Bun.”
“Oya, tadi Dimas nyariin kamu,” beri tahu Lastri.
Deg. Dimas. Dita hampir melupakan sahabatnya itu. “Nanti aku WhatsApp dia.”
Setelah berpamitan dengan bundanya dan Tamara, Dita keluar. Betapa kagetnya dia ketika melihat siapa yang berdiri di dekat pintu. Arga tengah berbincang bersama Dimas. Keduanya menoleh ke arah Dita bersamaan.
Waduh. Bagus sekali.
BAB 18
“Makasih udah nemanin aku hari ini,” kata Dita.
“Sama-sama,” jawab Arga.
Walaupun Arga yang memaksa meminta untuk menemani Dita, tetapi dia bersyukur karena tidak harus menyetir jarak jauh. Arga pasti lelah. Pagi-pagi sudah datang ke apartemennya, menjemput Tamara ke rumahnya, lalu ke lokasi. Setelahnya mengantar Tamara ke Bekasi. “Kalau mau nambah boleh, kok. Aku yang traktir.” Sehabis mengantar Tamara, mereka singgah di sebuah restoran fast food.
Arga tertawa. “Ini aja belum habis.” Dia menunjuk ke burger dan kentang goreng di hadapannya.
Dita menatap Arga yang tengah mengunyah makanannya. Seutas senyum tercetak di wajahnya. She’s so happy today. Seharian ini Dita bersama Arga dan laki-laki itu begitu perhatian kepadanya. Hal-hal kecil seperti membantunya saat dia gugup menghadapi Tamara, meminta Tamara berfoto bersamanya sebelum mereka berangkat ke lokasi, menunggunya saat dia mengantarkan Tamara ke ruang tunggu pembicara, membawakan tas belanjaannya saat mereka berkeliling di bazar Gebyar Muslimah—bahkan tidak protes ketika Dita berlama-lama di satu stan saat memilih-milih kerudung, dan mengusulkan untuk mampir ke restoran setelah mengantar Tamara karena dia pegal duduk lama di mobil.
“Kenapa?” Arga merasa Dita memperhatikannya sedari tadi. “Aku makannya berlepotan, ya?” Dia segera mengambil tisu dan mengelap sekitar mulutnya.
Dita tersenyum. Kali ini dia tidak mengalihkan pandangannya dari Arga. “Nggak apa-apa.”
Arga menautkan alisnya. Sedikit heran, tetapi tidak bertanya lebih lanjut. “Punya kamu nggak dihabisin?”
Dita menyuap es krimnya yang tinggal setengah. “Habis ini mau ke mana?”
“Nganterin kamu pulang. Memangnya kamu rencana mau ke mana?” tanya Arga.
Dita tidak punya rencana ke mana-mana, tetapi ingin lebih lama bersama Arga. “Nggak tahu. Lagi kepingin jalan-jalan aja.”
Arga tertegun sejenak. “Jalan-jalan?”
Dita mengangguk. “Kamu punya ide?”
*****
“Monas?” Dita menoleh ke Arga saat mobil masuk ke parkiran Monumen Nasional.
“Kamu nggak bilang mau ke mana, kan?” balas Arga. “Kenapa, kamu nggak mau ke Monas?”
“Nggak, kok. Udah lama aku nggak ke sini. Terakhir waktu kuliah, pas dapat tugas bikin sketsa tugu Monas,” kata Dita.
Setelah mendapat parkiran, mereka turun dan menuju area Monas.
“Kalau malam adem juga, ya,” kata Dita.
“Paling enak ke Monas itu sore,” kata Arga. “Selain nggak terlalu panas, malamnya bisa lihat pertunjukan lampu di tugu Monas dan pertunjukan air mancur.”
Dita mengangguk-angguk. Mereka sudah salat Magrib sebelum ke sini jadi lebih tenang kalau mau berlama-lama di Monas.
“Mau jajan?” tanya Arga saat melihat Dita memperhatikan penjual kerak telor yang sedang mangkal.
Dita menoleh. “Nggak.” Dia hanya tertarik saja dengan tukang jajanan yang berjejer sebelum masuk area Monas. Kerak telor, es cendol, kue pancong, es podeng, rujak, gorengan, mainan tradisional, dan masih banyak lagi.
Malam ini Monas ramai oleh keluarga yang membawa anak-anak mereka, remaja yang berkumpul dengan teman-temannya, dan pasangan tua dan muda. Ada yang bermain mobil-mobilan, skuter, sepeda, atau sekadar mengobrol sambil menikmati suasana.
Dita dan Arga terus berjalan di area pedestrian. “Lampunya sudah menyala,” kata Dita sambil menunjuk ke tugu Monas. Tugu Monas yang dari kejauhan berwarna broken white, secara bergantian berubah menjadi merah, oranye, dan ungu.
“Duduk di sana, yuk.” Arga menunjuk pada spot yang bisa diduduki karena tidak ada tempat khusus untuk duduk di dekat sini.
Dita duduk di sebelah Arga. “Bagus, ya,” katanya.
“Kamu suka?” tanya Arga.
Dita menoleh ke Arga dan tersenyum. “Suka.”
“Syukurlah.” Arga ikut tersenyum.
Dita jengah melihat senyuman Arga. Senyuman yang membuat jantungnya dag-dig-dug. Dia mengalihkan pandangan dan kembali menatap lampu-lampu.
Jeda beberapa lama. Mereka menikmati indahnya permainan lampu dalam hening.
“Arga.” Dita menoleh ke laki-laki yang berjarak sejengkal darinya. Saat menoleh, wajah mereka sangat dekat. “Aku boleh tanya sesuatu?”
“Boleh.” Arga memutar sedikit badannya ke arah Dita dan membuat jarak keduanya semakin sempit.
Dita sempat memundurkan tubuhnya sedikit karena kaget dengan gerakan Arga yang tiba-tiba. Hatinya bertambah deg-degan. “Kenapa memilih biro arsitek tempat aku bekerja untuk mengerjakan rumah kamu?”
Arga tersenyum simpul. “Memangnya nggak boleh.”
Dita ternyata tidak sekuat itu. Dia kembali mengalihkan pandangannya. “Ya ... boleh, sih. Aku kepingin tahu aja, kamu tahu biro aku dari mana?”
“Dari IG kamu,” kata Arga.
Dita melirik Arga. Laki-laki masih menatapnya. “Oh. Terus?”
“Terus aku memutuskan untuk memakai jasa biro arsitek tersebut ... supaya bisa ketemu kamu,” kata Arga.
Dita tidak tahu harus berkata apa. Jadi Arga sudah merencanakan semua ini agar bisa bertemu dengannya.
“Aku sedikit kecewa karena awalnya bukan kamu yang mengerjakan proyek rumahku,” tambah Arga. “Seharusnya aku nggak mengatakan ini, tetapi aku bersyukur Hadi sakit sehingga kamu menggantikan dia.”
Dita tersenyum sedikit kalau mengingat hal itu. Sampai hari ini Hadi masih bekerja dari rumah karena gips belum dilepas.
“Kenapa kamu merasa perlu menemui aku sekarang?” tanya Dita. Dia masih belum berani menatap Arga dengan jarak sedekat itu.
“Karena aku pikir sudah saatnya,” jawab Arga.
“Kamu perlu waktu selama itu untuk mempersiapkan diri?” Dita menoleh ke Arga. Laki-laki itu masih saja menatapnya. Namun, kali ini matanya terlihat sedih.
“Maaf.” Arga mengembalikan posisi duduknya ke semula dan mengalihkan pandangan.
Dita merasakan dadanya sesak dan matanya menghangat. Dia menarik napas pelan. “Malam itu waktu kita ketemu terakhir di Kota Tua, aku kirim pesan ke kamu. Tetapi kamu nggak balas-balas,” katanya. “Aku pikir kamu masih di jalan ... atau sudah tidur. Tetapi aku tunggu sampai seminggu kemudian, tetap nggak ada balasan.”
Arga menunduk sedih.
“Aku nggak tahu mesti nyari kamu ke mana. Aku nggak tahu rumah kamu. Aku nggak tahu nomor handphone teman kamu. Kamu nggak punya sosial media.” Dita mengatur suaranya agar tidak pecah. Sesak di dadanya mendesak keluar. “Aku benaran bingung sampai nggak fokus ngapa-ngapain. Bahkan sempat kepikiran untuk nyusulin ke kampus kamu di Surabaya.”
“Dita,” panggil Arga lembut. “Aku ....”
“Bodohnya, aku terus berharap kalau suatu saat kamu bakalan menghubungi aku atau muncul tiba-tiba di hadapanku, seperti di Kota Tua,” lanjut Dita. Kali ini dia tidak bisa menahan air matanya mengalir. “Kamu memang kembali. Tetapi kamu datang saat aku udah move on. Hidupku udah tenang. Aku udah nggak lagi memikirkan kamu atau berharap kamu kembali.”
“Maaf ... aku ....” Arga merasa sangat bersalah.
“Kamu tahu gimana rasanya waktu melihat kamu pertama kali di restoran itu? Kamu mengobrak-abrik kembali hatiku yang sudah tenang,” kata Dita sambil terisak. “Aku udah bahagia dengan hidupku. Aku punya pekerjaan yang bagus. Tempat tinggal yang nyaman. Sahabat-sahabat yang perhatian. Bahkan sebentar lagi aku akan punya keluarga baru karena bundaku akan menikah.” Dia menyeka pipinya.
Rasanya Arga ingin merangkul Dita dan menenangkannya, tetapi ini tempat umum. Bisa-bisa mereka menjadi pusat perhatian orang yang lalu lalang.
“Aku nggak tahu apakah lebih baik kita nggak usah bertemu aja sekalian atau ....”
“Aku memilih untuk tetap bertemu.” Arga memotong kalimat Dita. “Aku ingin memperbaiki kesalahanku di masa lalu dan mulai kembali dengan yang baru.”
Dita menatap Arga dengan matanya yang basah. “Apa yang kamu mau dari aku, Ga?”
Arga gelagapan. “A-aku mau kita bisa menjadi teman lagi seperti dulu.”
Mereka saling pandang selama beberapa lama. “Teman?” tanya Dita. “Hanya teman?”
“Kamu mau kita lebih dari teman?” Arga bertanya balik.
Dita tersenyum sedih dan mengalihkan pandangannya. “Kamu tahu kalau puncak tugu Monas yang dinamakan lidah api itu terbuat dari perunggu,” katanya selang beberapa lama. “Jadi emas murni hanya melapisi bagian luarnya saja. Keren, ya.”
Dita tahu sedikit sejarah tugu Monas. Saat mendapat tugas kuliah, dia melakukan sedikit riset sebelum membuat sketsa bangunan bersejarah tersebut. Monumen Nasional atau lebih populer dengan Monas dibangun pada Agustus 1959. Monas sendiri dibuka untuk umum pada Juli 1975 setelah sebelumnya diresmikan oleh Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1961.
Pemilihan arsitektur monumen pun tidak main-main. Sebuah tim bernama Tim Yuri dibentuk dan diketuai langsung oleh Presiden Soekarno. Setelahnya tim mengadakan sayembara untuk mendapatkan tugu yang menunjukkan kepribadian bangsa Indonesia. Tugu yang menjulang ke langit, dibuat dari beton dan batu pualam tahan gempa, desainnya abadi, dan dapat menimbulkan semangat kepahlawanan. Sebuah kriteria yang cukup sulit. Bahkan sampai dua kali sayembara dilakukan, tim belum menemukan pemenang yang pas.
Akhirnya Tim Yuri menunjuk langsung dua orang arsitek untuk membuat rancangan gambarnya. Rancangan milik Soedarsono terpilih. Bentuk tugu yang menjulang tinggi mngandung falsafah “Lingga dan Yoni”, menyerupai “Alu dan Lumpang”, dua alat penting yang pada saat itu dimiliki hampir semua keluarga Indonesia di pedesaan.
Setiap bangunan punya cerita. Dita menjadi lebih mengapresiasi sebuah bangaunan saat mengetahui cerita panjang di baliknya. Perjuangan dan pengorbanan panjang pembuatnya.
Dita berharap bisa mengetahui cerita Arga, tetapi laki-laki itu belum mau terbuka kepadanya. Akhirnya dia bangkit dari duduknya.
Arga heran kenapa Dita tiba-tiba berdiri. Dia ikutan bangkit. “Mau ke mana?”
“Air mancurnya mulai jam berapa?” tanya Dita sambil melihat jam tangannya. “Kita nunggu di sana aja.” Tidak memberikan Arga kesempatan untuk bicara, dia langsung berjalan mendahului laki-laki itu. Arga berhasil meruntuhkan pertahanannya. Sepertinya dia kembali jatuh hati kepada laki-laki itu.
*****
“Kamu masih ingat apa yang dibilang Ara tadi?” tanya Arga saat mereka berkendara. Setelah menyaksikan pertunjukkan air mancur, mereka langsung pulang.
“Ara?” tanya Dita heran.
“Tamara.”
“Ooo ....” Jadi sekarang Arga memanggil Tamara dengan Ara? Dita merasa sedikit terganggu dengan hal itu. “Perkataan dia yang mana?”
“Waktu dia mengisi materi di Gebyar Muslimah. Tentang semua orang punya masa lalu. Kadang mereka khilaf, tetapi menyesalinya kemudian dan berniat berubah ke depannya.” Arga mengingatkan. “Tentang memaafkan dan membuka lembaran baru.”
Dita menatap lampu-lampu jalan melalui jendela mobil. Lampu-lampu itu tampak seperti bayangan yang bergerak. “Iya, aku ingat.” Dia duduk paling depan, bagaimana mungkin lupa.
“Orang-orang seperti saya yang punya masa lalu kelam, sangat sulit mendapat kepercayaan,” kata Tamara. “Mereka selalu menilai saya dari masa lalu saya. Padahal sebagai manusia saya berhak untuk mendapat kesempatan dan menjadi lebih baik ke depannya.
“Saya menunjukkan keseriusan dengan berusaha istikamah di jalan ini. Saya menunjukkan kalau hijrah saya dan jilbab yang saya pakai ini bukan gimik. Saya sungguh-sungguh ingin menjadi muslimah yang lebih baik,” tambah Tamara. “Saya tahu ada yang belum bisa menerima karena khilaf saya di masa lalu karena terlalu besar bagi mereka untuk dimaafkan. Saya nggak minta banyak. Saya cuma mau diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan saya dulu. Setidaknya, kalau tidak mau membantu, jangan tambah beban saya dengan caci maki dan hinaan. Cukup biarkan saya hijrah dengan tenang.”
Dita menoleh ke Arga. “Kenapa memangnya?” Dia tahu Arga hendak menghubungkan hal ini dengan situasi mereka. Arga sudah mengakui kesalahannya dulu dan sekarang hendak memperbaiki semuanya.
“Aku tahu kamu pasti bosan mendengar hal ini dariku. Tetapi, aku sungguh-sungguh meminta maaf untuk semua yang aku lalukan dulu. Aku minta maaf kalau pernah membuat kamu marah, sedih, dan sakit hati,” aku Arga. “Aku akan melakukan apa pun untuk mendapat maaf dari kamu dan hubungan kita menjadi lebih baik.”
Dita tersenyum tipis. “Aku sudah maafin kamu,” katanya.
“Tetapi kamu masih menjaga jarak.”
Dita menarik napas. “Kamu meninggalkan aku tanpa kabar itu delapan tahun, loh, Ga,” katanya. “Wajar kalau aku menjaga jarak. Memangnya kamu berharap apa? Kamu berharap kita tiba-tiba langsung akrab, gitu? Atau berharap aku merayakan kepulanganmu?”
“Bukan begitu ....” Arga kehabisan kata-kata.
“Aku nggak tahu alasan sebenarnya kamu kembali.” Dita menoleh ke Arga. “Tetapi aku senang mengetahui kalau kamu baik-baik saja.”
Arga melirik Dita. “Aku kembali karena kamu. Aku sudah bilang, kan?”
Dita sangat ingin mempercayai itu. Namun, dia takut. Dia takut Arga akan meninggalkannya lagi.
“Kamu percaya, kan?” tanya Arga.
Dita tidak segera menjawab. Dia ingin percaya, tetapi ....
Arga memberhentikan mobilnya di tepi jalan. Dia menoleh ke Dita dan menatap perempuan itu lekat.
Dita kaget saat Arga menepikan mobilnya tiba-tiba dan berhenti. “Kenapa berhenti?” Dia menoleh dan menemukan sepasang mata Arga menatapnya intens. Bulu kuduknya langsung berdiri.
*****
BAB 19
“Kamu percaya, kan?” Arga mengulang pertanyaannya sungguh-sungguh.
Dita tertegun sejenak. “A-aku percaya.”
Arga menatap Dita dengan pandangan menyelidik beberapa lama, lalu tersenyum. Setelahnya dia kembali melajukan mobilnya.
Dita menghela napas yang sedari tadi ditahannya. Apa yang baru saja terjadi? Kenapa dia menjadi tegang begini?
“Jadi bunda kamu akan menikah?” tanya Arga.
“Iya.” Dita seharusnya tidak menceritakan hal pribadinya ke Arga, tetapi mau bagaimana lagi? Dia telanjur mengatakannya.
“Kalau boleh tahu, kapan pernikahannya?”
“Masih lama, beberapa bulan lagi.”
“Aku diundang, nggak?” tanya Arga bercanda.
“Kamu mau datang?”
“Kalau diundang, insya Allah aku datang.”
Dita menoleh sekilas. “Nanti aku tanya bundaku dulu, kalau masih ada lowong untuk daftar tamu.”
Arga tersenyum. “Mudah-mudahan masih ada.”
Dita ikut tersenyum, lalu kembali hening.
“Nggak apa-apa kalau aku nyalakan radionya?” tanya Arga sebelum menekan tombol power di perangkat audio mobilnya.
“Nggap apa-apa,” jawab Dita. Musik bisa mengurangi kecanggungan di antara mereka.
Arga menyalakan radio. Tidak lama mengalun Fight Song milik Rachel Platten.
Dita mendengarkan sambil meresapi liriknya. “Ini lagu favoritku,” beri tahunya.
“Oya?” Arga menoleh sekilas. “Kenapa?”
Dita agak kaget dengan dirinya yang bicara jujur ke Arga. “Liriknya bagus.”
“Dalam hidup, kita melalui banyak rintangan dan memiliki perjuangan masing-masing dalam menghadapi persoalan,” kata Arga. “Kadang nggak semua orang bisa memahami itu karena nggak merasakannya. Istirahat sebentar nggak apa-apa, asalkan jangan menyerah.”
“Kerja di tempat yang jauh berat, ya?” tanya Dita.
“Nggak ada pekerjaan yang mudah, bahkan bekerja di ibu kota tingkat stres bisa tinggi,” kata Arga.
“So true,” kata Dita. “Lalu apa perjuangan hidup kamu?”
“Mendapatkan maaf kamu,” canda Arga.
Refleks Dita memukul lengan Arga pelan. Membuat laki-laki itu protes karena dia sedang menyetir. Namun, Dita hanya tertawa pelan. “Serius, Ga.”
Arga menarik napas. “Jauh dari Ibu,” katanya. “Kalau dulu di Surabaya aku masih bisa pulang karena jarak dekat. Komunikasi juga lancar karena nggak ada kendala sinyal. Kalau di pedalaman agak sulit.”
Dita bisa mengerti. Dia beruntung tinggal satu kota dengan bundanya dan mereka bisa berkomunikasi kapan saja. “Kalau ayah kamu?” tanya Dita.
“Ayah sudah lama meninggal,” jawab Arga.
“Oh, sori, aku nggak tahu,” kata Dita menyesal.
“It’s okay.” Arga tersenyum. “Kita sama. Sama-sama yatim. Tetapi sebentar lagi kamu akan punya ayah tiri.”
“Aku juga nggak nyangka Bunda akan menikah lagi,” kata Dita. “Dan tahu apa yang lebih mengejutkan lagi?”
Arga menoleh ke Dita. “Apa?”
“Calon suami bundaku adalah bosku di kantor.”
“Oya, bisa kebetulan seperti itu,” kata Arga kaget.
Dita mengangguk. Dia sendiri sangat kaget ketika pertama kali tahu. “Aku sama sekali nggak tahu kalau bundaku sedang dekat dengan Pak Bagas, bosku. Heran bisa serapi itu bundaku dan Pak Bagas menyimpan kedekatan mereka.”
Dita bercerita dengan lancar. Sama sekali tidak merasa berat mengisahkan cerita pribadinya ke Arga. Semua mengalir seperti air. Dia menceritakan tentang kekhawatiran bundanya karena menikah yang kedua kali sebelum Dita menikah lebih dulu. Dia juga menceritakan tentang kelapangan hatinya menerima pernikahan bundanya karena jodoh sudah Allah atur.
“Aku bicara terlalu banyak, ya?” tanya Dita merasa tidak enak.
“Nggak kok, aku senang mendengarkan cerita kamu,” kata Arga. “Banyak hal yang kepingin aku tahu tentang kamu. Aku berusaha mengejar ketertinggalanku.”
Hati Dita menghangat seketika. Pipinya terasa panas. Tiba-tiba ponsel Dita berbunyi. Dita mengambil ponselnya di tas dan melihat siapa yang menelepon. Ternyata Dimas.
“Angkat aja, nggak apa-apa, kok,” kata Arga saat melihat Dita ragu untuk menerima panggilan.
“Nggak apa-apa, nanti aku telepon balik aja,” balas Dita. Dia mengirim pesan singkat ke Dimas supaya laki-laki itu tidak menelepon lagi. Biasanya Dimas akan menelepon terus sampai dia mengangkatnya.
Dimas: Kamu sudah sampai apartemen?
Dita: Sebentar lagi.
Dimas: Kamu masih di jalan?
Dita: Iya, nanti aku telepon kalau sudah sampai.
Setelahnya Dita menyetel mode diam di ponsel dan memasukannya ke tas.
“Bunda kamu?” tanya Arga.
“Bukan. Dimas,” jawab Dita.
“Oh.”
Hening beberapa lama.
“Dimas kelihatannya nggak suka sama aku, ya?” tanya Arga blak-blakan.
“Masa? Kayaknya biasa aja, deh,” balas Dita. Dia juga merasakan hal yang sama. Perlakuan Dimas ke Arga tampak kaku dan dingin. Dia sempat khawatir akan terjadi pertikaian antara Arga dan Dimas saat mereka menunggunya di luar ruang tunggu tadi pagi.
“Gue pikir lo jemput Tamara sama panitia,” kata Dimas ke Dita saat melihat perempuan itu keluar dari ruang tunggu pembicara.
Dita langsung gelagapan. Dari mana Dimas tahu. Apakah Arga yang memberi tahu? “Oh, iya, panitianya nggak bisa. Untung ada Arga. Eh, Pak Arga.”
“Kenapa nggak nelepon gue aja kalo panitianya nggak bisa,” balas Dimas.
“I-itu ....” Dita bingung harus menjawab apa.
“Kebetulan saya sedang menelepon Dita waktu itu, jadi saya langsung menawarkan diri untuk mengantar dia,” kata Arga. “Betul begitu, kan?” Dia menoleh ke Dita.
“Eh, iya, betul,” jawab Dita. “Kata nyokap lo nyariin gue, ada apa?” Dia mengalihkan pembicaraan.
“Bukan apa-apa, entar aja.” Dimas menatap Arga sekilas, lalu kembali menatap Dita. “Lo ikut acaranya Tamara, kan?”
“Iya, nanti gue masuk. Masih ada perlu sebentar sama Pak Arga. Lo duluan aja,” kata Dita.
Dimas tertegun. “Oke. Nanti lo yang nganter Tamara pulang?”
Dita mengangguk.
“Nanti kabarin gue aja. Biar gue yang nyetir,” kata Dimas.
“Nggak usah. Gue sama Pak Arga.” Dita menoleh ke Arga dengan pandangan meminta maaf. Laki-laki itu pasti merasa tidak nyaman berada dalam situasi seperti ini.
Dimas menaikkan alisnya. Dia melirik Arga. “Oh, oke.”
“Sori,” kata Dita ke Dimas.
“It’s okay. Yuk, gue duluan.” Dimas mengangguk singkat ke Arga sebelum berlalu.
Dimas memang agak tidak ramah ke Arga saat itu. Namun, Dita tidak bisa menyalahkan Dimas sepenuhnya karena dia tidak jujur kepada sahabatnya itu perihal Arga menemaninya menjemput Tamara.
“Kamu tahu nggak,” kata Arga. “Kata orang cowok sama cewek itu nggak bisa sahabatan. Salah satunya pasti punya perasaan lebih ke sahabatnya.”
“Itu hasil penelitian?” canda Dita.
“Kebanyakan seperti itu.”
Well, Arga benar. Dimas punya perasaan lebih kepadanya. Sedangkan Dita tidak. “Mungkin untuk aku dan Dimas, teori itu nggak berlaku.”
Arga tersenyum. “Dimas kelihatannya protektif ya sama kamu.”
“Dia sahabat yang baik. Selalu ada saat aku butuh. Teman yang asyik untuk diajak ngobrol dan diskusi.” Dita menoleh ke Arga. “Tetapi aku cuma menganggap dia sahabat. Nggak lebih.” Dia ingin Arga tahu bagaimana perasaannya ke Dimas supaya laki-laki itu tidak salah sangka.
“Dimas beruntung bisa selalu berada di dekat kamu,” balas Arga.
“Aku, Dimas, dan Maya. Kami beruntung memiliki satu sama lain. Terutama saat ayah aku udah nggak ada,” kata Dita. “Kalau nggak ada mereka ... nggak tahu deh.”
Arga menarik napas masgul. “Maaf aku nggak ada di sana untuk menemani kamu melalui semua itu.”
“It’s okay. Udah lewat juga,” kata Dita. Dia tidak mau mengingat-ingat lagi masa sedih itu.
Arga mengerem saat lampu lalu lintas menyala merah. Setelahnya dia memiringkan sedikit duduknya menghadap Dita. “Dita ...” panggilnya sedih. “Aku benar-benar minta maaf.” Arga menahan emosinya agar tidak keluar. “Seharusnya aku nggak pergi begitu saja saat kamu baru kehilangan ayah kamu. Seharusnya aku ada di samping kamu.” Matanya mulai terasa hangat.
Dita terpaku melihat mata Arga yang berkaca-kaca. Laki-laki kelihatan sangat menyesal. Ingin rasanya dia memegang tangan Arga dan mengatakan semua baik-baik saja. Dulu dia sedih dan galau karena Arga tidak memedulikan pesan-pesan yang dikirimnya, tetapi sekarang ... melihat kegetiran di wajah laki-laki itu, dia tidak sampai hati. Lara Arga menular kepadanya. Hatinya terenyuh. “It’s okay. I’m fine now. Nggak apa-apa, Ga.”
“No, it’s not okay. It’s not okay, Dita,” kata Arga penuh tekanan.
Dita mengerjap untuk mengusir air di pelupuk matanya. Arga benar. Saat itu dia sedang tidak baik-baik saja.
*****
“Kamu nggak perlu mengantar aku masuk, Ga,” kata Dita saat melihat Arga melepas sabuk pengamannya setelah memarkirkan mobilnya di parkiran apartemennya.
“Nggak apa-apa,” kata Arga. “Yuk, turun.” Dia membuka pintu mobil.
Mau tidak mau Dita mengikutinya.
“Sori kamu jadi pulang kemalaman padahal besok mau kerja,” kata Arga saat berjalan di samping Dita menuju lobi.
“Belum terlalu malam,” kata Dita. Arga terus mengantarnya sampai ke pintu kaca akses masuk ke lift menuju apartemen. Dia membalikkan tubuh sehingga mereka berhadapan. “Thanks untuk hari ini.”
“Aku yang terima kasih,” balas Arga.
Dita tersenyum lebar. “Aku masuk dulu.”
Arga balas tersenyum dan mengangguk.
Dita menempelkan kartu aksesnya ke mesin scanner. Bunyi “tek” terdengar, tanda kunci pintu terbuka. Dia baru saja hendak membuka pintu saat Arga memanggilnya.
“Dita,” panggil Arga.
Dita menoleh. “Ya?”
“Tadi kamu tanya apa perjuangan hidup aku,” kata Arga. “Selain jauh dari Ibu, hal paling berat adalah jauh dari kamu.”
Deg! Jantung Dita serasa copot. Dia perlu berpegangan erat pada handel pintu agar tidak jatuh. Kakinya terasa lemas.
*****
BAB 20
“Oke, insya Allah minggu depan,” kata Dita di telepon sembari tersenyum lebar. Dia mengucapkan salam lalu mematikan sambungan. Setelahnya dia kembali ke ruang tengah dan duduk di samping bundanya.
“Siapa?” tanya Lastri ketika Dita menaruh ponselnya di coffe table.
“Oh, itu ... klien,” jawab Dita canggung. Arga baru saja meneleponnya dan mereka membuat temu janji pekan depan. Dia melirik Dimas yang duduk tidak jauh darinya. Sahabatnya tampak asyik dengan ponselnya. Mudah-mudahan saja Dimas tidak terlalu memperhatikannya.
“Benaran klien? Kayaknya senang banget,” canda Lastri.
Dita berdeham. Apakah wajahnya seceria itu? “Benaran klien, Bun.” Dita mengambil undangan pernikahan bundanya yang sudah jadi di meja. “Bagus, Bun, hasilnya,” katanya mengalihkan pembicaraan. Minggu ini mereka berkumpul di rumah bundanya untuk mengadakan rapat keluarga kecil-kecilan berkaitan dengan pernikahan yang akan digelar dua bulan lagi. Alhamdulillah semua persiapan sudah 80%.
Dita tidak banyak terlibat karena bundanya memakai jasa wedding organizer. Palingan dia menemani bundanya saat food test dan memberikan masukan untuk undangan, suvenir pernikahan, baju untuk akad dan resepsi, dan gedung pernikahan.
Lastri geleng-geleng kepala sambil tersenyum simpul. “Mas, kapan ada waktu untuk fitting baju?” tanyanya ke Bagas yang duduk di sebelahnya.
“Besok bisa,” jawab Bagas. Dia mematikan ponsel dan menaruhnya di meja sebelum menjawab pertanyaan calon istrinya.
Lastri tersenyum senang. “Oke, aku info ke penjahitnya.”
Dita memperhatikan bundanya yang tampak berbunga-bunga. Mau tidak mau hatinya ikut sukacita. Bundanya berhak bahagia. Dia bersyukur bundanya menemukan tambatan hatinya.
“Aku cek makanan dulu sebentar, Mas,” kata Lastri ke Bagas. Saat laki-laki itu mengangguk, dia beranjak menuju dapur.
Dita ikutan bangkit untuk membantu bundanya menyiapkan makan siang, tetapi Pak Bagas mencegahnya.
“Dita, bisa bicara sebentar?” tanya Bagas.
Dita tertegun. “Eh, boleh, Pak,” jawabnya sedikit bingung. Dia menoleh ke Dimas, tetapi sahabatnya itu masih saja fokus ke ponselnya.
Bagas tersenyum. “Kenapa masih manggil saya Pak, sih? Panggil Papa saja.”
Dita tersenyum canggung. Dia belum terbiasa padahal Pak Bagas sudah menyuruhnya memanggil dengan sebutan Papa saat mereka tidak di kantor.
“Kita bicara di teras belakang?” ajak Bagas.
Dita mengangguk dan mengikuti Bagas. Mereka duduk di kursi taman.
“Dita, saya mau mengucapkan terima kasih karena sudah banyak membantu persiapan pernikahan saya dan bunda kamu,” kata Bagas langsung. “Maaf kalau saya belum sempat bicara berdua dengan kamu terkait pernikahan saya dan bunda kamu.”
Dita menggeleng. “Nggak apa-apa, Pak, eh, Pa.” Lidahnya terasa kaku saat memanggil Pak Bagas dengan sebutan Papa.
“Seharusnya saya menanyakan pendapat kamu tentang pernikahan kami,” lanjut Bagas. “Saya ingin mendengar langsung dari kamu. Kamu benaran setuju saya menikah dengan bunda kamu, kan?”
Dita tersenyum lebar. “Sudah sejauh ini, Pak, nggak mungkin saya nggak setuju.” Huh, lagi-lagi salah nama panggilan. Untunglah bosnya itu tidak protes.
Bagas tertawa kecil. “Saya hanya ingin memastikan. Kalau ada hal-hal yang ingin kamu katakan atau tanyakan ke saya, silakan saja. Kamu mau kasih syarat apa pun, saya siap.”
Dita menarik napas. “Just make her happy,” katanya serak. “Saya ingin di sisa hidupnya, bunda saya bahagia. Saya harap Pak Bagas bisa menjadi suami yang baik untuk bunda saya.”
Bagas tersenyum. “Insya Allah. Saya juga ingin memiliki pernikahan yang bahagia dengan Lastri. Saya dan bunda kamu sudah sama-sama tua. Kami menikah untuk mendapatkan ketenangan hati.”
“Belum setua itu, kok, Pak,” balas Dita.
Hening beberapa saat. “Dita, kamu mungkin tahu kalau pernikahan saya sebelumnya ... kurang baik.” Bagas memberi jeda sejenak. “Saya dan mamanya Dimas berpisah. Saya nggak perlu menjelaskan detailnya, tetapi kami sama-sama salah. Saya belajar banyak dari pernikahan sebelumnya. Dan saya ingin pernikahan saya dengan bunda kamu selamanya, sampai ke surga-Nya.”
Dita mendengarkan dengan baik.
“Saya bukan pengganti ayah kamu. Ayah kamu selamanya tetap akan menjadi ayah kamu. Saya hanya ingin memberikan yang terbaik untuk kamu. Saya ingin nantinya kita bisa menjalin hubungan yang baik sebagai sebuah keluarga,” lanjut Bagas. “Dari dulu saya kepingin memiliki seorang anak perempuan. Alhamdulillah, insya Allah sebentar lagi keinginan saya terkabul. Kamu akan menjadi anak saya, dan kita akan menjadi sebuah keluarga.”
“Anak tiri,” koreksi Dita.
Bagas tersenyum. “Saat saya sudah menikahi bunda kamu nanti, maka kamu adalah anak saya.”
Hati Dita terasa hangat. Pak Bagas belum sah menjadi ayah tirinya, tetapi dia sudah merasakan ketulusan kasih sayang seorang ayah dari diri laki-laki itu. Kasih sayang yang tidak dia dapatkan dari ayah kandungnya. Hatinya seketika terenyuh. Air matanya menggenang di pelupuk. “Makasih, Pa,” katanya. Dia bersyukur bundanya akan menikahi Pak Bagas.
“Nah, gitu dong dari tadi,” seloroh Bagas.
Dita tersenyum lebar. Dia menyeka sudut matanya.
“Yuk, kita masuk. Nanti bunda kamu nyariin, lagi,” kata Bagas.
Dita bangkit berdiri dan mengikuti Pak Bagas masuk.
“Kalau ada yang ingin kamu bicarakan ke saya, jangan sungkan. Saya siap 24/7 untuk kamu,” canda Bagas.
“Siap, Pa,” balas Dita. Pertama kalinya dia bisa sesantai ini bersama bosnya.
*****
“Dari tadi main handphone melulu.” Dita duduk di samping Dimas. Mereka baru saja selesai makan siang. Dimas pamit ke ruang depan untuk menerima telepon. Dia menyusul sahabatnya itu dan memberikan ruang kepada bundanya dan Pak Bagas untuk mengobrol berdua.
“Masa?” Dimas masih membalas pesan di WhatsApp.
“Siapa, sih?” Dita menggeser duduknya lebih dekat ke Dimas dan melongok.
“Anak-anak,” jawab Dimas. Dia tidak keberatan Dita ikutan melihat.
“Kenapa? Mereka ngadain konser lagi?”
Dimas mengangguk.
“Di mana? Ikutan dong,” balas Dita antusias.
“Bali.”
“Wah, Bali. Kapan?”
“Dua minggu lagi.”
“Lo ke sana?”
“Penginnya, sih. Tetapi kerjaan lagi banyak.” Dimas menutup aplikasi dan menaruh ponselnya di meja. “Ngobrol apa lo sama bokap tadi?”
Dita tersenyum. “Mau tahu aja.”
“Udah fasih lo manggil bokap gue dengan sebutan Papa,” canda Dimas.
Dita memukul Dimas dengan bantal di pangkuannya. “Dasar. Sama. Lo juga manggil nyokap gue Bunda.”
Dimas tertawa.
Dita senang hubungannya dengan Dimas tetap baik-baik saja meskipun sempat konflik beberapa waktu lalu saat Gebyar Muslimah. Keesokannya, saat waktu istirahat di kantor, dia langsung meminta maaf ke sahabatnya itu karena tidak memberi tahu pergi dengan Arga.
“Gue nggak enak sama Pak Arga,” kata Dita. “Dia udah menawarkan diri untuk menemani gue menjemput Tamara.”
“Bukan karena dia lagi ngedeketin lo?” tanya Dimas to the point.
“Nggak, lah,” bantah Dita.
“Cowok kalau nggak ada maunya, jarang banget dia baik sama cewek,” kata Dimas.
Dita tersenyum. Dimas itu perhatian dan peduli, tetapi kadang-kadang menyebalkan. “Mungkin dia memang baik aja, tulus kayak lo.”
Dimas mendengkus. “Lo sama gue udah lama sahabatan, wajar gue perhatian dan peduli,” tukasnya. “Nah, dia baru beberapa bulan, pasti ada maunya. Bisa jadi dia lagi PDKT ke lo.”
“Memangnya kalau dia lagi PDKT ke gue kenapa? Nggak boleh?”
Dimas tertegun.
“Canda, Dimas. Canda.” Dia menepuk bahu Dimas pelan.
“Jangan suka bercanda kalau menyangkut perasaan hati seseorang,” kata Dimas datar. “Udah, ya, kerjaan gue banyak.” Dia meninggalkan Dita.
Setelahnya Dita merasa bersalah. Dia khawatir persahabatan mereka akan rusak. Namun, perkiraannya keliru. Dimas masih seperti biasa. Sahabatnya itu tidak lagi mengungkit-ungkit tentang Arga. Mereka mengobrol normal. Dimas masih suka mengganggunya. Melakukan video call saat pagi atau malam hari, sekadar bertanya lagi ngapain. Bertukar lauk makan siang. Kadang dia merasa bersalah kepada sahabatnya itu. Namun, perasaan bukan sesuatu yang bisa dipaksakan. Hatinya tidak berdebar saat berhadapan dengan Dimas. Dia sayang kepada Dimas, tetapi sebatas sahabat. Tidak bisa lebih. Berbeda dengan Arga. Membaca pesan-pesan dari Arga saja sudah membuat hatinya berbunga-bunga. Apalagi menerima telepon dari laki-laki itu. Langsung ketar-ketir.
Satu bulan ini Dita dan Arga bertemu tiga kali. Selain membicarakan pekerjaan, laki-laki itu juga mengajaknya pergi ke beberapa tempat. Mereka mengunjungi perpustakaan nasional, Jakarta Aquarium Safari, dan terakhir mereka menonton film di bioskop. Dita senang karena bisa lebih dekat dengan Arga. Banyak hal baru yang dia pelajari tentang laki-laki itu.
Arga yang pertama kali mengusulkan bermain tebak-tebakan di mobil saat mereka dalam perjalanan menuju suatu tempat.
“Pink?” tebak Arga.
“Close enough,” kata Dita saat Arga mencoba menebak warna kesukaannya.
“Dusty pink?”
“Benar,” jawab Dita senang.
“Yes.” Arga tersenyum lebar. Senang karena berhasil menebak.
“Hitam.” Gantian Dita menebak warna kesukaan Arga.
“Benar. Kamu tahu dari mana?”
“Kamu suka pakai kaus warna hitam,” kata Dita. Beberapa kali bertemu Arga selalu memakai kaus hitam dengan tulisan atau gambar berbeda di bagian depan.
“Kamu pemerhati yang baik,” balas Arga. “Oke, sekarang makanan favorit. Aku dulu, ya. Seafood.”
“Tahu dari mana?”
“Kemarin waktu makan kamu memesan udang saus padang dan sebelumnya lagi kamu memesan sapo tahu,” kata Arga.
“Well, benar. Makanan favoritku udang saus padang.”
Arga tersenyum bangga karena berhasil menebak.
“Kalau makanan favorit kamu ....” Dita agak bingung karena tidak menemukan kemiripan antara makanan yang pernah dipesan Arga. “Masakan Indonesia.”
Arga tertawa kecil. “Semuanya dong.”
“Hmmm ... apa, ya?” Dia menatap Arga penuh selidik.
Arga melirik Dita sekilas. “Udang saus padang.”
Dita menaikkan alisnya. “Masa. Kok ikut-ikutan.” Dia tidak percaya begitu saja. “Sejak kapan?”
“Sejak sekarang.” Arga menoleh dan tersenyum lebar.
Dita tidak tahu apakah Arga sedang bercanda atau sungguh-sungguh. Namun, wajahnya sedikit memanas membayangkan laki-laki itu sengaja menggodanya. Tebak-tebakan itu terus berlanjut. Dia jadi tahu kalau Arga suka memakai sneakers karena nyaman dipakai berjalan jauh. Olahraga kesukaan laki-laki itu joging setelah subuh dan berenang. Arga bisa bermain gitar. Lagu yang sering dimainkan adalah lagu-lagu Wali karena saat dia belajar bermain gitar, grup band itu sedang tenar.
Arga serius saat mengatakan ingin mengejar ketertinggalannya dan mengetahui segala hal tentang dirinya. Dita merasa tersanjung. Hanya saja ada yang mengganjal. Dimas benar. Untuk apa Arga mendekatinya sedemikian rupa. Pasti ada sesuatu di sebaliknya. Bukannya dia berprasangka, hanya saja ... apakah Arga benar-benar hanya ingin berteman dan tidak menginginkan sesuatu yang lebih? Jujur Dita tidak berkeberatan bila laki-laki itu ingin serius berhubungan dengan dirinya. Justru itu harapannya.
Dita merasa aman berada di dekat Arga. Keberadaan laki-laki itu juga sanggup membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Pandangan mata Arga membuatnya gugup dan deg-degan. Perlakuan manis laki-laki itu membawanya terbang tinggi.
Kata orang-orang, terbangnya jangan terlalu tinggi, nanti jatuhnya sakit pakai banget. Namun, kalau tidak terbang tinggi, bagaimana bisa melihat indahnya dunia dari atas sana?
“Dita,” panggil Lastri dari ruang makan. “Ini ada es krim buat kamu sama Dimas.”
“Asiiik.” Dita segera beranjak berdiri dan melangkah ke ruang makan. Setelah mengucapkan terima kasih kepada bundanya, dia membawa dua cup es krim cokelat untuk dirinya dan Dimas.
“Thanks.” Dimas menerima es krimnya.
Dita duduk dan menikmati es krimnya. Tidak lama ponselnya berbunyi. Sebelum mengangkatnya dia sudah tahu siapa yang menelepon. Dia menyetel ring tone khusus untuk Arga. Iya. Sampai segitunya.
“Halo,” salam Dita.
“Sori, aku ganggu, nggak?” tanya Arga setelah mengucapkan salam.
“Nggak.” Dita melirik Dimas yang sedang menikmati es krimnya. Dia bangkit dan menuju teras depan untuk mendapatkan privasi. “Kenapa, Ga?”
“Tentang acara minggu depan,” kata Arga, “Sepertinya ada perubahan rencana.”
“Kenapa, nggak bisa, ya? Kamu harus masuk kerja?” tanya Dita kecewa.
“Bukan.” Arga memberi jeda. “Ibuku ....”
“Ibu kamu kenapa. Sakit?” Dita berubah cemas.
“Bukan.” Arga menarik napas. “Ibuku pengin ketemu kamu.”
Deg! Dita kaget sampai tidak bisa berkata-kata. Dadanya berdebar pelan. Ibunya Arga ingin bertemu dengannya?
*****
BAB 21
“Gue lagi dekat sama seseorang,” aku Dita di telepon.
“Seriusan?” Maya kaget. “Siapa? Arga, ya?”
Tebakan Maya tepat sasaran, tetapi Dita tidak mau mengungkapkan siapa orangnya. “Kenapa lo langsung kepikiran Arga?”
“Yah, habis sama siapa lagi? Lo sama Arga, kan, sering ketemu. Dia juga kakak kelas lo pas SMA. Biasanya kalo udah kenal lama lebih mudah dekatnya,” kata Maya.
“Nanti gue kenalin sama orangnya.” Dita mengalihkan perhatian. “Soalnya gue sama dia baru dekat. Gue juga nggak tahu dia serius sama gue apa nggak.”
“Lo suka sama dia?” tanya Maya.
“Suka, sih. Dia baik. Perhatian. Sabar,” kata Dita.
“Kalau kata Dimas, cowok baik itu ada maunya.”
“Kecuali dia,” tambah Dita, lalu mereka tertawa.
“Jadi lo sama dia udah ngapain aja?” tanya Maya.
“Maksud lo.” Dita pura-pura tersinggung.
“Ha ha, biasa aja dong. Udah jalan ke mana aja?”
Dita menceritakan mereka sudah pergi ke mana saja dan mengobrol apa saja. Dia juga menceritakan sikap Arga selama mereka bersama.
“Udah pegangan tangan?” goda Maya.
“Nggak lah. Kan gue udah bilang, kita temanan doang.”
“Dia yang nganggep lo teman sedangkan lo ngarep?”
“Dasar!” rutuk Dita.
Maya tertawa. “Jadi lo galau?”
Dita menarik napas. “Nggak ngerti, deh. Dia bilangnya kita cuma temanan, tetapi sikap yang dia tunjukin ke gue ... kayak lebih dari teman. Gue merasa spesial aja dengan perhatian yang dia kasih.”
“Terus rencana lo sekarang apa?”
“Tadinya gue mau jalanin aja. Let see gimana ke depannya,” kata Dita. “Tetapi tiba-tiba dia ngajak gue ketemu sama nyokapnya.”
“What! Seriusan?” Maya kaget.
“Masa gue bohong.”
“Kenapa dia ngajakin lo untuk ketemu sama nyokapnya? Lo nggak tanya?”
Herannya saat Arga mengatakan kalau ibunya ingin bertemu, Dita tidak bertanya. Saking kagetnya.
“Dita ... kamu masih di sana?” tanya Arga karena Dita diam saja.
“Eh, iya,” jawab Dita.
“Kamu bisa?” tanya Arga. “Kalau nggak bisa nggak apa-apa. Aku ....”
“Insya Allah bisa,” balas Dita cepat.
Jeda beberapa lama. “Benaran?” Arga memastikan.
“Iya.”
Arga bernapas lega. “Oke. Minggu aku jemput kamu, ya.”
Dita setuju begitu saja. Maya benar. Kenapa Arga mengajaknya bertemu dengan ibunya. Mereka hanya teman. Setidaknya itu yang dikatakan Arga tentang mereka. Rasanya tidak ada teman-teman cowoknya yang tiba-tiba mengajaknya bertemu dengan orang tua mereka secara khusus.
“Gue nggak nanya,” jawab Dita.
“Terus lo iya-in aja?”
“Iya.”
Maya menarik napas. “Emang lo udah siap ketemu sama nyokapnya dia?”
“Cuma ketemuan doang, kan?”
“Dit, cowok nggak mungkin ngenalin lo ke nyokapnya tanpa maksud tertentu. Maksud gue, ngapain juga gitu loh,” kata Maya.
“Menurut lo apa dia mulai menunjukkan keseriusannya?”
“Bisa jadi.”
“Tetapi sebelumnya dia nggak pernah bilang apa-apa ke gue,” kata Dita. “Kenapa tiba-tiba aja, ya?”
“Bisa jadi dia dapat pencerahan kalau lo adalah cewek terbaik untuk menjadi pendamping hidupnya.”
Dita tersenyum simpul. “Kesambet?”
Mereka tertawa. Dita lega sudah menceritakan persoalan cintanya kepada Maya.
“Gue ikutan senang akhirnya lo bisa ngebuka hati untuk seseorang,” kata Maya tulus.
“Thanks,” balas Dita. “Aduh, kenapa gue jadi deg-degan ya? Apa gue batalin aja? Kok jadi takut.”
“Udah, jalanin aja. Insya Allah semua akan baik-baik aja.” Maya menenangkan sahabatnya.
Dita menarik napas. “What can I do without you, May.”
Maya tertawa. “Udah jelas lo nggak akan bisa hidup tanpa gue.”
Dan mereka kembali tertawa.
*****
“Minggu jalan, yuk,” ajak Dimas ke Dita saat mereka sedang makan siang di pantry. “Ajak Maya sekalian. Refreshing. Lagi mumet gue.”
“Gue nggak bisa Minggu ini.” Dita mengambil egg roll milik Dimas dan menaruhnya di kotak makanannya. “Coba aja ajak Maya, siapa tahu dia bisa.”
“Emang Minggu mau ke mana?”
“Mau ke lokasi.” Dita menjadi gugup. “Janjian sama klien.”
“Ooo.” Dimas tidak bertanya lebih jauh. Dia tahu siapa klien yang Dita maksud.
“Lo jadi ke Bali?” Dita mengalihkan pembicaraan.
“Tahu, deh. Kalau cuma dua hari satu malam, malas juga. Lagian Sabtu gue harus ketemu klien bareng bokap,” kata Dimas.
“Padahal asyik juga ke Bali.”
“Lo mau ikut? Kalau iya, gue bela-belain cuti, nih. Bokap pasti acc kalau lo ikut.”
“Apa hubungannya sama gue?”
“Lo kan ‘calon anak’ kesayangannya,” seloroh Dimas.
Dita memukul pelan lengan Dimas.
“Sakit, Dit.”
Dita cuek. Pukulannya tidak sekeras itu. Saat selesai makan, sebuah notifikasi pesan masuk ke ponselnya. Dia segera membukanya.
Arga: Minggu jadi, kan? Aku jemput kamu ke apartemen, ya.
Dita tersenyum senang saat menerima pesan dari Arga. Cepat dia membalasnya.
Insya Allah jadi. Oke. Aku tunggu.
Dimas memperhatikan Dita. Dari senyum di wajah Dita, dia tahu siapa yang barusan mengirimi pesan ke sahabatnya itu.
*****
Arga tersenyum lebar saat mendapat balasan dari Dita. Minggu ini akan menjadi hari yang dia tunggu-tunggu. Namun, dia deg-degan memperkirakan bagaimana penerimaan Dita saat bertemu dengan ibunya nanti. Dia menarik napas. Sudahlah, tidak perlu memikirkan hal-hal yang belum terjadi. Jalani saja dulu. Dia sudah melakukan yang terbaik yang dia bisa.
“Udah makan, Pak?” tanya supervisor kepada Arga.
“Iya, Pak. Ini mau ke kantin,” kata Arga. Dia baru saja selesai salat di musala proyek. Setelah ini hendak makan.
Mereka berjalan beriringan ke kantin proyek. Sampai di sana Arga memesan nasi campur dan teh tawar, lalu mencari-cari kursi kosong. Dia melihat seseorang yang dia kenal tengah santap siang dan ada kursi kosong di sana.
“Udah mau selesai aja.” Arga meletakkan piringnya di meja, lalu duduk.
“Eh, Pak Arga. Iya, nih, Pak. Laper soalnya,” seloroh Maya.
Arga tersenyum. “Laper apa doyan.”
“Dua-duanya, Pak,” balas Maya.
Arga geleng-geleng. “Minggu ini kamu masuk?”
“Masuk, Pak. Bos saya nggak bisa ngapa-ngapain kalau nggak ada saya,” canda Maya. “Bapak masuk juga?”
Arga menggeleng.
“Mau kencan, ya, Pak?”
Arga tersenyum kecil. “Sok tahu kamu,” balasnya.
“Kenalin dong, Pak.”
“Kalau diajak ngobrol terus, kapan saya makannya?” protes Arga.
“Eh, iya maaf, Pak,” kata Maya.
Arga tersenyum kecil dan melanjutkan makannya.
*****
“Aku beli hadiah sama kue buat ibu kamu,” kata Dita saat Arga menanyakan barang bawaannya yang ditaruh di kursi belakang mobil. “Aku belum PD bikin sendiri, jadi beli aja. Ibu kamu suka klepon cake, nggak?”
Arga memakai sabuk pengamannya, lalu tersenyum. “Suka. Apa yang kamu kasih ibuku pasti suka.”
“Yakin?” Dita masih bimbang.
Arga menatap mata Dita lekat. “Yakin. Percaya sama aku.”
Dita malahan salah tingkah ditatap sedemikan rupa oleh Arga. “Oke,” balasnya.
Arga tersenyum lebar. “Kita jalan sekarang?”
Dita mengangguk.
*****
Arga tidak pernah segelisah ini dalam hidupnya. Hari yang dia tunggu akhirnya tiba, tetapi hatinya was-was. Semalam dia Tahajud dan berharap rencananya hari ini berjalan sesuai rencana. Kalau tidak. Hancur semuanya.
“Ibu kamu sudah usaha bikin kue sejak kapan?” tanya Dita.
“Sejak aku kecil,” jawab Arga.
“Kalau aku nggak bisa bikin kue gimana?”
Arga tersenyum. “Ya nggak apa-apa. Nggak harus kok,” katanya. “Kamu kan jagonya gambar.” Dia bisa merasakan kerisauan Dita. Dari tadi perempuan itu bertanya banyak hal tentang ibunya. Namun, dia senang karena tandanya Dita peduli.
Dita menarik napas dengan wajah khawatir.
Arga menoleh sekilas ke Dita. Belum pernah Dita tampak sekalut ini. Dia menjadi iba. Salahnya tiba-tiba mengajak Dita bertemu dengan ibunya. Walaupun mereka semakin dekat satu sama lain, tetapi status dirinya dan Dita hanya teman. Dita pasti kaget saat dia mengajak perempuan itu bertemu ibunya. “Hei.” Dia meraih tangan Dita yang terjalin di pangkuan perempuan itu. Tangan Dita terasa dingin. “It’s okay.”
Dita menjengit sedikit. Dia menatap tangan Arga yang meremas tangannya pelan. Tangan laki-laki itu terasa hangat. Bukannya menjadi tenang, dadanya kian berdebar kencang. Dia menatap Arga dan tersenyum gugup.
Arga melepaskan tangannya setelah beberapa detik. Niatnya untuk menenangkan Dita, malahan sekarang dia yang tidak tenang. Dia berdeham untuk mengusir kecanggungan.
*****
Mobil Arga berbelok ke sebuah perumahan. Dita menegakkan tubuhnya. Badannya menjadi kaku.
“Sebentar lagi sampai,” beri tahu Arga.
Ya Allah. Kenapa jadi tegang begini. Dadanya terus berdebar pelan. Saat Arga menepikan mobilnya dekat sebuah rumah berpagar putih, jantungnya berhenti berdetak.
“Sudah sampai.” Arga membuka sabuk pengamannya, lalu menoleh ke Dita. “Turun, yuk.”
Tangan Dita sedikit gemetar saat membuka sabuk pengamannya.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya Arga khawatir.
Dita menggeleng dan tersenyum simpul.
Arga menggeser posisi tubuhnya sehingga menghadap Dita. Perlahan dia membawa tangan Dita ke pangkuannya dan menggenggamnya lembut. “Dit, aku tahu kita baru bertemu lagi setelah bertahun-tahun. Kita juga baru dekat beberapa bulan belakangan,” katanya, lalu memberi jeda. “Aku cuma mau bilang terima kasih udah memberi kesempatan kedua. Aku bersyukur bisa menjadi teman kamu lagi.”
Jantung Dita serasa lepas dari tempatnya. Dia tidak bisa berkata-kata. Tangannya berada dalam genggaman Arga sekali lagi. Apakah laki-laki ini ingin membuatnya jantungan?
“Aku ingin kamu percaya sama aku. Apa pun yang terjadi, tolong terus percaya sama aku. Kamu bisa, kan?” tanya Arga sungguh-sungguh.
Bagai robot Dita mengangguk pelan.
Arga tersenyum. “Aku sayang kamu, Cinta Anandita.”
Mata Dita melebar. Apakah itu sebuah pernyataan cinta? Secepat laki-laki mengungkapkan perasaannya, secepat itu pula Arga melepas genggaman tangannya dan mematikan mesin mobil.
“Kita turun,” beri tahu Arga, lalu membuka pintu.
Dita segera tersadar. Dia ikut turun. Arga membawa tas hadiah yang dibawanya. Dia menunggu di depan pagar dengan canggung.
“Ayo masuk, nggak dikunci, kok, pagarnya,” kata Arga, lalu membuka pagar.
Dita menatap rumah bercat gading itu ragu. Tiba-tiba saja Arga menggandeng tangannya. Dia menatap laki-laki itu terkejut. Wajah Arga tersenyum lembut menatapnya. Lagi-lagi jantungnya ketar-ketir.
“Ayo.” Arga menggandeng tangan Dita dan mengajaknya masuk.
Dita mengikuti Arga dengan perasaan was-was. Tenang Dita, semuanya akan baik-baik saja. Ada Arga bersama kamu.
Arga mengucapkan salam, lalu membuka pintu. “Masuk, Dit. Duduk dulu.”
Dita masuk, lalu duduk di kursi kayu panjang beralas busa tipis.
“Aku ke dalam sebentar, ya, mau manggil Ibu. Kayaknya Ibu lagi sibuk di dapur, deh,” kata Arga.
Dita tersenyum sedikit. “Oke.”
Sepeninggal Arga, Dita melihat-lihat ke sekeliling. Di dinding sebelah kanan terdapat sebuah foto besar. Seorang perempuan dan laki-laki yang sudah tua. Dia menebak itu foto kakek dan neneknya Arga. Di dinding di hadapannya terdapat beberapa foto berukuran sedang. Ada foto Arga saat wisuda juga beberapa foto keluarga lainnya. Saat melihat foto-foto itu dari kejauhan, Dita menangkap sesosok yang dikenalinya. Dahinya berkerut sedikit. Dia bangkit untuk melihat foto-foto tersebut lebih dekat lagi.
Perhatian Dita teralih sedikit saat mendengar suara-suara dari dalam. Sepertinya Arga sedang berbicara dengan ibunya, tetapi dia tidak mendengar jelas. Dia kembali melihat foto-foto di dinding. Apakah ini seperti apa yang dia pikirkan? Sosok laki-laki yang berfoto bersama Arga itu ... ayahnya? Jantung Dita berdetak kencang. Dia memperhatikan baik-baik foto tersebut. Tiba-tiba sebuah memori memukulnya sangat keras. Perempuan itu, perempuan yang berfoto bersama Arga dan laki-laki yang sangat mirip dengan ayahnya itu. Dia kenal dengan perempuan itu. Walaupun perempuan di dalam foto itu menggunakan jilbab, berbeda dengan yang pernah dilihatnya, tetapi dia tidak mungkin melupakan wajah itu. Wajah yang dilihatnya malam saat kepergian ayahnya.
*****
BAB 22
Dita tidak tahu pasti apa yang dirasakannya sekarang. Semua berlangsung sangat cepat. Tadi sore saat di kampus dia menerima berita kalau ayahnya masuk rumah sakit. Serangan jantung. Bundanya menyuruhnya ke rumah sakit. Dia sampai di sana malam hari, sekitar pukul delapan. Dan ayahnya sudah dinyatakan meninggal oleh dokter. Pukul sebelas malam jenazah ayahnya sudah kembali ke rumah dalam keadaan sudah dimandikan dan dipakaikan kain kafan.
Tidak ada air mata yang keluar. Hanya perasaan kosong. Hampa. Dita tidak memiliki memori menyenangkan bersama ayahnya. Tidak ada hal yang membuatnya mengenang laki-laki itu saat kepergiannya.
Dita ingat saat terakhir kali ke rumah orang tuanya. Dia menemukan ayah dan bundanya tengah bertengkar. Bukan pertama kalinya, tetapi saat itu berbeda.
“Aku mau kita cerai,” kata Hadi.
“Gila kamu. Aku nggak mau pisah,” balas Lastri sengit.
“Aku udah capek Lastri. Untuk apa kita mempertahankan pernikahan yang berantakan?” kata Hadi. “Lebih baik kita pisah dan kamu bisa kembali ke laki-laki brengsek itu.”
“Berapa kali aku harus bilang ke kamu kalau aku sama dia nggak ada hubungan apa-apa. Terakhir kali aku ketemu dia itu waktu hamil Dita. Kami nggak pernah komunikasi lagi,” kata Lastri setengah berteriak.
“Aku nggak percaya,” balas Hadi. Dia menarik napas untuk meredakan emosinya.
“Aku nggak mau pisah. Kamu pikir aku bodoh, huh. Kamu ingin pisah dari aku supaya bisa bersenang-senang dengan perempuan nggak tahu malu itu, kan?” Lastri semakin kalap.
“Jaga mulut kamu. Dia istri sahku,” kata Hadi marah. “Dan ini nggak ada hubungannya sama dia. Ini tentang aku dan kamu. Perbedaan di antara kita udah nggak bisa disatukan. Kita hanya saling menyakiti satu sama lain.”
Dita mendengarkan semua itu dari balik pintu kamar orang tuanya. Mereka bicara sangat keras. Dia yakin orang-orang yang bekerja di rumahnya tahu kondisi pernikahan ayah dan bundanya.
“Kamu nggak memikirkan perasaan Dita. Selama ini dia sedih karena kamu nggak pernah memperhatikan dia. Dia pasti bertambah down kalau tahu kita bercerai,” kata Lastri.
“Dita akan baik-baik saja,” balas Hadi. “Dan bukankah menurut kamu sudah waktunya dia tahu yang sebenarnya?”
“Aku nggak perlu nasihat dari kamu. Save it for yourself,” kata Lastri.
“Whatever. Aku tetap akan mengajukan perceraian. Kalau kamu nggak setuju, itu urusan kamu.” Hadi keluar kamar. Saat membuka pintu, dia menemukan Dita berdiri di dekat sana. “Dita?” Dia kaget. “Kapan kamu pulang?”
“Barusan,” jawab Dita datar. Setelahnya dia berlalu ke kamarnya.
Dita sudah terbiasa dengan drama keluarganya. Suasana rumah yang dingin dan sepi membuatnya malas pulang ke rumah. Saat SMA, dia lebih sering kelayapan sehabis pulang sekolah diantar sopir keluarganya.
“Mbak Dita mau ke mana saja saya antar. Saya janji nggak akan bilang ke Ibu dan Bapak, asal jangan ke tempat-tempat nggak benar,” kata Pak Mono.
Bisa jadi kerena Pak Mono, Dita tidak pernah clubbing atau mencoba dunia malam. Sopir keluarganya itu banyak mengenalkannya pada bangunan bersejarah dan unik di seputar Jakarta dan sekitarnya. Hal itu lebih menarik perhatiannya. Dia berterima kasih kepada Pak Mono telah menemaninya selama ini. Mudah-mudahan saja sopir keluarganya itu baik-baik saja. Pak Mono berhenti bekerja saat Dita masuk kuliah. Laki-laki itu pulang ke kampungnya untuk merawa istrinya yang sakit sambil membuka usaha di sana.
Satu orang lagi yang membuatnya tetap semangat sekolah dan menjalani hari-hari adalah Arga. Bertemu dengan cowok itu di sekolah mampu membuat suasana hatinya membaik. Padahal mereka hanya bertukar sapa di lorong sekolah atau diam-diam dia memperhatikan Arga saat istirahat. Dari seluruh cowok yang mendekatinya di sekolah, hanya Arga yang menarik perhatiannya. Padahal cowok itu tidak pernah menyatakan suka kepadanya. Namun, Dita bisa merasakan kebaikan yang tulus dari sikap Arga kepadanya.
Dita mengambil ponsel dan mengetikkan sesuatu. Dia mengirim pesan ke Arga. Memberi tahu ke cowok itu kalau ayahnya meninggal. Arga adalah orang pertama yang dia beri tahu. Tidak tahu kenapa padahal sudah lama mereka tidak komunikasi. Dia tahu cowok itu sibuk dengan kuliahnya. Pesan terakhir cowok itu mengatakan kalau dia sedang mengerjakan tugas akhir.
Saat meletakkan ponsel di kasur, Dita mendengar suara ribut-ribut dari luar. Penasaran dia keluar kamar dan mengintip dari mezanin. Dari atas dia bisa melihat jenazah ayahnya di ruang tengah, tetapi tidak ada bundanya di sana.
“Keluar kamu!” teriak Lastri.
Dita segera turun ketika mendengar teriakan bundanya. Dia bergegas ke ruang depan. Di sana ada beberapa orang keluarga ayah dan bundanya berkumpul.
“Saya mau melihat Mas Hadi untuk terakhir kalinya, Mbak. Tolong izinkan saya,” kata seorang perempuan dengan terisak-isak.
Dita melihat om dan tantenya menenangkan bundanya yang tampak marah. Ada apa ini. Siapa perempuan itu?
“Gara-gara kamu keluarga saya hancur. Dan gara-gara kamu Mas Hadi meninggal,” bentak Lastri. “Sekarang kamu ke sini mau apa. Mau mengambil harta suami saya saat dia sudah nggak ada. Belum cukup uang yang Mas Hadi kasih ke kamu?”
“Saya cuma kepingin melihat Mas Hadi, Mbak. Itu saja. Saya nggak menuntut apa pun.” Perempuan itu menangis.
“Saya istri sahnya. Kamu cuma simpanan,” kata Lastri. “Sampai mati saya nggak mengizinkan kamu masuk ke rumah saya apalagi melihat jenazah suami saya. Pergi kamu.”
Dita mendengarkan semua pertengkaran dengan tegang. Dadanya berdebar pelan. Dia melihat perempuan yang dikatakan bundanya sebagai simpanan ayahnya itu dengan perasaan campur aduk. Jadi ini perempuan yang sering disebutkan dalam pertengkaran kedua orang tuanya.
Bukan sekali dua kali Dita berusaha menyelidiki siapa perempuan yang menyebabkan pernikahan orang tuanya tidak harmonis. Namun, tidak pernah berhasil. Satu kali dia pernah mengikuti ayahnya sampai ke sebuah apartemen mewah dengan penjagaan ketat. Hanya pemilik yang bisa masuk. Dia tidak memiliki petunjuk sama sekali. Dan sekarang dia bisa melihat wajah perempuan itu dengan sangat jelas. Berani juga perempuan itu datang ke sini seorang diri.
“Tolong Mbak, saya akan lakukan apa saja asalkan dibolehkan melihat Mas Hadi untuk terakhir kali,” pinta perempuan itu penuh iba.
“Sekar, sudah. Pulanglah.” Salah seorang keluarga ayahnya membujuk perempuan itu. “Tidak enak dilihat tetangga nanti.”
Jadi namanya Sekar. Sepertinya keluarga ayah dan bundanya sudah mengetahui skandal ayahnya dengan baik. Sudah menjadi rahasia semua orang kalau ayahnya menikah lagi tanpa sepengetahuan bundanya.
Wajah perempuan itu. Sekar. Dita tidak akan pernah melupakannya.
*****
“Dita. Kenalkan ini ibuku,” kata Arga.
Dita menoleh dan menemukan wajah yang baru dilihatnya di foto barusan. Wajah itu masih sama. Hanya tampak lebih tua dan dipenuhi kerutan. Dia menggigit bibirnya kuat-kuat untuk mencegah air matanya jatuh. Tangannya terasa sakit karena dia menggenggamnya terlalu kuat. Bergantian dia menatap Arga dan ibunya. Kenapa harus Arga. Kenapa?
“Dita.” Arga mendekat ke Dita. Perempuan itu mundur selangkah. Dita sudah tahu. Dia pasti melihat foto-foto itu. “Aku bisa jelaskan semuanya. Aku minta kita membicarakan semua ini dengan kepala dingin. Aku janji ini nggak seperti yang kamu pikirkan.”
“Tahu apa kamu tentang apa yang aku pikirkan.” Dita tidak mampu menahan air matanya. “Tahu apa kamu tentang apa yang aku rasakan. Kamu dan ibu kamu. Kalian berbahagia di atas penderitaan orang lain. Kamu nggak tahu rasanya jadi aku. Kamu nggak tahu rasanya diabaikan sama ayah sendiri.” Dia menyeka pipinya yang basah.
“Nak Dita. Tolong dengarkan penjelasan Arga dulu,” kata ibunya Arga. “Kamu akan mengerti setelah mendengar cerita yang sebenarnya.”
“Maaf, saya nggak mau membicarakan hal ini lagi. Sudah cukup saya merasakan sakit hati,” kata Dita. “Permisi.” Dia segera keluar.
“Dita.” Arga mengejar Dita dan mencegah perempuan itu pergi.
“Lepas!” Dita menepis tangan Arga yang menahan lengannya.
“Please, jangan pergi dalam keadaan seperti ini,” pinta Arga memelas.
“Jadi ini alasan kenapa dulu kamu menghilang setelah ayahku meninggal?” tuduh Dita.
“Kamu belum mendengar seluruh ceritanya. Jangan mengambil kesimpulan dulu,” kata Arga. “Ini sama sekali nggak seperti yang kamu pikirkan.”
Dita mendengkus.
“Aku cuma minta waktu kamu sebentar. Lima menit saja,” pinta Arga.
“Nggak ada yang perlu dijelaskan. Aku sudah tahu semuanya. Bundaku sudah cerita semuanya. Tentang perempuan yang dinikahi oleh ayahku. Perempuan yang menyebabkan kehancuran keluargaku,” kata Dita. Dia membuka pagar dan terus berjalan. Mengabaikan Arga yang terus mengejarnya.
“Kamu mau ke mana?” tanya Arga.
“Pulang.”
“Biarkan aku mengantarmu pulang,” kata Arga.
“Aku bukan anak kecil yang bisa kamu bohongi. Aku bisa pulang sendiri.”
“Aku nggak pernah bohong sama kamu.”
“Iya, kamu cuma nggak jujur.”
“Please, Dita.
Dita mengabaikan Arga dan terus berjalan. Sampai dia menemukan taksi yang sedang mangkal.
“Dita, please,” bujuk Arga. “Aku nggak mau kita berpisah dalam keadaan marah seperti ini.”
“Jangan pernah hubungi aku lagi.” Dita masuk ke taksi. “Jalan, Pak,” katanya ke supir taksi. Taksi berjalan perlahan. Dan Dita tidak pernah menoleh ke belakang.
*****
“Dita mana?” tanya ibunya Arga saat melihat anaknya kembali seorang diri.
Arga menarik napas, lalu menggeleng. “Sudah pergi, Bu.”
“Kamu harus cari dia. Temui dia dan jelaskan duduk perkaranya.”
“Percuma, Bu. Dita lagi marah. Dia nggak mau mendengar perkataanku.”
“Kalau begitu temui dia lagi besok. Atau besoknya lagi. Sampai dia mau mendengarkan kamu.”
Arga mengangguk ragu. Saat ini tidak ada yang bisa dia lakukan kecuali menunggu.
*****
BAB 23
Dita mencuci wajahnya di wastafel kamar mandi, menatap pantulan dirinya di cermin, lalu berhenti sejenak. Matanya bengkak karena semalam terlalu banyak menangis. Wajahnya sembap. Rambutnya awut-awutan. Berantakan adalah kata yang tepat untuk menggambarkan dirinya saat ini.
Dia mengambil handuk yang tergantung, mengelap sisa-sisa air di wajah, lalu keluar kamar mandi. Saat melintasi tempat tidur, ponselnya yang berada di kasur berdering. Dita merutuk dalam hati. Dia lupa mematikan kembali ponselnya. Sejak kembali ke apartemen kemarin, Dita mematikan ponselnya. Baru dihidupkan kembali tadi pagi untuk memberi tahu bosnya kalau dia tidak masuk hari ini.
Dita mengabaikan deringan ponselnya. Dia menjemur handuk, lalu menuju dapur. Sebenarnya malas sarapan, tetapi perutnya meminta diisi. Kemarin dia nyaris tidak makan apa-apa kecuali pagi hari. Tidak nafsu. Selain menangis dan tidur, Dita tidak melakukan apa-apa. Dia hanya menatap langit-langit kamarnya sambil mengulang-ulang kejadian di rumah ibunya Arga dalam kepalanya.
Sekar. Ibunya Arga. Wanita simpanan ayahnya. Penghancur kebahagiaan keluarganya. Apa yang diinginkan ibunya Arga kali ini? Untuk apa wanita itu ingin menemuinya? Dan ... kenapa harus Arga? Laki-laki yang dipercayainya. Kenapa Arga melakukan semua ini kepadanya? Apakah Arga sudah mengetahui rahasia ini sejak lama? Banyak pertanyaan tidak terjawab. Dia bisa saja meminta Arga menjelaskan semuanya, tetapi tidak. Dia sudah berjanji untuk tidak menemui laki-laki itu lagi.
Saat membuka kulkas, Dita menemukan sisa piza yang dibelinya kemarin. Dia mengeluarkan piza dan menghangatkannya di microwave. Sambil menunggu dia membuat teh hangat. Sayup-sayup dia mendengar ponselnya kembali berdering. Dia tidak acuh dan membawa sarapannya ke ruang televisi, menyalakan tv, lalu menikmati sarapannya.
Setelah sarapan, Dita mengantuk dan tertidur di sofa. Dia terbangun ketika jam menunjukkan pukul sebelas. Lama juga dia tertidur. Dia duduk sebentar untuk mengumpulkan nyawanya. Dia pikir apa yang dialaminya kemarin mimpi. Ternyata bukan. Setelahnya dia bangkit dan ke kamar mandi untuk bersih-bersih. Lagi-lagi ponselnya berdering saat dia keluar kamar mandi. Kali ini Dita meraih ponselnya dan melihat nama penelepon di layar. Dimas. Dia menolak panggilan dan mengirim pesan ke sahabatnya itu sebagai gantinya.
Kenapa? Gue baru bangun tidur.
Selesai mengirim pesan, Dimas langsung mengetikkan balasan.
Dimas: Gue telepon, ya.
Dita: WA aja.
Dimas: Lo sakit apa? Bokap bilang lo izin sakit. Gue teleponin dari pagi lo nggak angkat. Parah sakit lo?
Dita: Demam. Gue tidur dari tadi. Ini baru bangun.
Dimas: Habis Magrib gue ke sana.
Dita: Nggak usah. Gue nggak apa-apa.
Dimas: Lo mau dibawain apa?
Dita menarik napas. Percuma dia melarang Dimas.
Dita: Apa aja boleh.
Dimas: Udang saus padang, mau?
Dita: Boleh.
Setelahnya mereka berpamitan. Dita mengecek pesan WhatsApp yang masuk. Arga sudah pasti, tetapi Dita mengabaikannya. Kemudian ada pesan dari Maya, bundanya, dan bosnya. Dita membuka pesan dari bundanya terlebih dulu.
Lastri: Assalamu’alaikum. Dita, kata papanya Dimas, kamu sakit dan nggak masuk kerja hari ini? Sakit apa? Kenapa nggak bilang bunda?
Dita: Demam aja, Bun. Nggak apa-apa, kok. Udah mendingan sekarang. Besok juga udah masuk kerja lagi.
Selanjutnya dia membuka pesan dari Pak Bagas.
Bagas: Dita, desain kafe nggak perlu kamu serahkan hari ini. Besok saja kamu kerjakan kalau sudah sehat. Untuk janji dengan supplier ditunda saja. Kalau kamu butuh ke rumah sakit, kamu bisa minta antar sama Dimas. Istirahat yang cukup dan makan yang banyak.
Dita tersenyum mendapat perhatian ekstra dari bosnya. Dimas benar, bisa jadi sekarang dia sudah menjadi anak kesayangan Pak Bagas. Kemudian dia membuka pesan dari Maya. Sebenarnya sahabatnya itu sudah mengiriminya pesan sejak kemarin. Menanyakan bagaiman pertemuannya dengan keluarga Arga. Namun, Dita belum memberikan jawaban.
Maya: Dit, cerita dong.
Maya: Missed call.
Maya: Missed call.
Maya: Dit, lo udah bangun?
Maya: Lo baik-baik, aja, kan?
Dita belum siap membagikan ceritanya ke Maya.
Dita: Gue lagi kurang enak badan. Hari ini nggak masuk kerja. Udah mendingan sekarang. Nanti, ya gue ceritanya.
Ponsel Dita berdering. Dia sempat kaget. Ternyata bundanya menelepon.
“Kamu sakit apa?” tanya Lastri cemas ketika anaknya mengangkat teleponnya.
“Nggak apa-apa, Bun. Demam aja,” kata Dita. “Udah mendingan, kok.”
“Kenapa nggak bilang? Kan, Bunda bisa ke sana,” protes Lastri. “Kamu mau makan apa? Bunda beliin, ya.”
“Nggak usah, Bun.” Bisa repot kalau bundanya melihat wajah Dita yang sembap. “Dimas udah mau ke sini, kok. Dia juga bawa makanan buat aku,” cegahnya.
“Benaran?”
“Iya, Bun. Kecapekan aja. Tadi aku udah tiduran dan makan. Udah enakan,” kata Dita meyakinkan bundanya.
Lastri menarik napas. “Ya udah. Nanti bilang sama Dimas sekalian beli buah.”
“Iya, nanti aku bilang ke Dimas.” Dita mematikan sambungan setelah pamitan dengan bundanya. Dia mengeluarkan napas lega. Untung bundanya tidak jadi ke sini.
Baru saja Dita hendak menaruh ponselnya di meja, ponselnya kembali berdering. Kali ini dari Arga. Dia segera mematikan ponselnya. Lebih baik dia memblokir Arga dari daftar kontaknya agar tidak terganggu oleh laki-laki itu.
*****
Dita meneteskan air mata dan terisak pelan saat di taksi. Bahkan supirnya sempat menanyakan apakah dia baik-baik saja. Tidak ada kata yang bisa menggambarkan betapa kacau hatinya saat ini. Dia merasa sangat dikhianati oleh Arga dan ibunya. Hatinya kecewa. Kepercayaan yang dia bangun kembali untuk laki-laki itu kembali hancur. Melihat wajah Arga dan ibunya sama saja dengan membuka luka lama yang ingin dikuburnya. Dia tidak ingin kembali ke masa itu.
“Ayah nggak sayang sama Bunda, sama aku?” Dita terisak. Dia baru saja mengonfrontasi ayahnya. Dia capek menerima perlakuan tidak adil dari ayahnya. Rumah hanya persinggahan sementara dan semaunya.
“Kamu ngomong apa, sih?” balas Hadi.
“Kenapa Ayah lebih memilih bersama wanita itu. Padahal istri sah Ayah itu Bunda,” kata Dita. Dia menyeka pipinya yang basah. “Aku sebagai anak Ayah aja nggak pernah Ayah perhatiin. Apa yang Ayah tahu tentang aku? Ayah tahu makanan kesukaanku? Hobi aku? Apa yang aku suka? Apa yang aku nggak suka?”
“Kamu masih kecil, nggak ngerti apa-apa,” kata Hadi menahan emosi.
“Aku udah tujuh belas tahun, Yah. Aku udah cukup mengerti. Ayah selingkuh dari Bunda,” kata Dita setengah berteriak. Ayahnya tidak membalas ucapan Dita. Laki-laki itu menarik napas panjang, lalu pergi. Seperti biasanya.
Dita sadar berdebat dengan ayahnya tidak menyelesaikan apa-apa. Hubungan mereka malah bertambah renggang. Setelahnya dia mulai abai. Mereka berpapasan di rumah, tetapi tidak bertegur sapa. Bagai dua orang asing.
Suara ketukan di pintu mengagetkan Dita. Cepat dia meraih bergo di kasur dan keluar kamar. Dia melihat ke door viewer untuk memastikan benar Dimas yang datang, lalu membuka pintu.
“Muka lo kok sembap?” tanya Dimas setelah masuk dan mengucapkan salam.
Dita tidak menanggapi. Dia mengambil kantung plastik yang dibawa Dimas dan membawanya ke dapur.
“Lo abis nangis?” Dimas mengikuti Dita.
“Nggak,” jawab Dita bohong. Dia mengeluarkan piring, menaruh makanan yang dibeli Dimas, lalu membawanya ke meja.
“Gue juga udah beli buah, tadi nyokap lo WA nyuruh beli buah,” beri tahu Dimas.
Dita tersenyum. Dia lupa memberi tahu Dimas. Ternyata bundanya lebih sigap. “Thanks.”
“Salam dari bokap, cepat sembuh katanya.”
Hati Dita menjadi hangat oleh perhatian bosnya.
“Lo benaran demam?” Dimas meletakkan punggung tangannya di kening Dita. “Kok nggak panas?”
“Udah turun panasnya.” Dita menepis halus tangan Dimas. “Mau makan sekarang?” tawarnya.
“Boleh.”
Dita menyiapkan peralatan makan. Dia mengambilkan nasi untuk mereka berdua. “Beli makanan di mana?”
“Restoran seafood dekat sini,” kata Dimas.
Dita duduk di hadapan Dimas. Selain udang saus padang, sahabatnya itu juga membeli fuyunghai dan sapo tahu.
“Makan yang banyak,” canda Dimas.
Dita mengambil udang dan mulai makan. Ternyata lebih semangat makan bila ada temannya. Dia menikmati makan malamnya bersama Dimas.
“Hadi udah masuk hari ini,” beri tahu Dimas.
“Oya? Sudah masuk kerja lagi?” Dita terpikir sesuatu. “Mas, kalau proyek Pak Arga gue kasihin ke Hadi lagi, kira-kira bisa nggak, ya?”
Dahi Dimas berkerut. “Kenapa emangnya?”
“Eh, nggak apa-apa.” Dita kelepasan bicara. Dia menjadi khawatir Dimas mengetahui ada sesuatu.
“Kenapa lo mau kasih proyek Pak Arga ke Hadi?”
Dita tersenyum kecil. “Lupain aja.”
Dimas meletakkan sendoknya. “Something happened?”
“Nggak ada apa-apa.”
“Dita,” panggil Dimas. Sahabatnya itu kelihatan tidak sedang baik-baik saja. “Ada masalah dengan proyeknya Pak Arga?”
Dita menggeleng. “Lancar, kok. Pembangunannya udah dimulai.”
“Terus kenapa proyeknya mau dikasih ke Hadi.”
“Gue nggak ngasih proyeknya ke Hadi.”
“Tetapi lo sempat berpikir untuk ngasih proyeknya ke Hadi,” balas Dimas.
Dita menarik napas. Dimas akan terus mencecarnya sampai mendapatkan jawaban yang masuk akal. “Ya ... awalnya kan ini proyeknya dia.”
Dimas berpikir sejenak sambil menatap Dita lekat. “Bisa aja, sih, kalau memang lo pengin kasih proyek Pak Arga ke Hadi.”
“Benaran?” tanya Dita antusias. “Tetapi ... apa Pak Bagas bakal setuju? Kesannya nggak profesional kalau gue berhenti di tengah jalan.”
“Asal alasannya tepat, gue pikir bokap bakal setuju-setuju aja,” kata Dimas.
“Begitu, ya?” Dita tidak ingin bertemu dengan Arga lagi. Itu alasannya ingin mengalihkan proyek ini ke Hadi.
“Kapan lo mau ngomong ke bokap, nanti gue temani,” kata Dimas. Sebenarnya dia senang kalau Dita tidak memegang proyek Arga lagi. Tebakannya sesuatu terjadi antara Dita dan Arga, tetapi sahabatnya itu belum mau jujur.
“Tetapi, gue kasih alasan apa ke Pak Bagas?”
“Terserah alasan apa aja. Ngarang bebas juga boleh,” balas Dimas.
Dita menimbang-nimbang beberapa lama. Ada beberapa hal yang dia khawatirkan terjadi. Pertama, Arga datang ke apartemennya. Kedua, Arga datang ke kantornya. Dan ketiga, bertemu Arga di proyek. Dia terpikir untuk menceritakan yang sebenarnya terjadi ke Dimas. Tidak semuanya, sebagian saja. Dimas bisa membantunya untuk menghindari dari Arga. “Mas, gue mau cerita sesuatu.”
*****
BAB 24
“Pak Arga kakak kelas gue waktu SMA. Dua tahun di atas gue. Kami cukup dekat, sebagai teman,” cerita Dita. “Setelah lulus, dia kuliah di Surabaya. Gue nggak pernah ketemu lagi sama dia. Beberapa kali aja kirim pesan lewat handphone. Itu juga jarang karena dia sibuk kuliah.
“Terus kita ketemu lagi setelah bokap meninggal. Tiba-tiba aja dia muncul di hadapan gue waktu lagi di Kota Tua. Dan setelah itu dia menghilang. Handphone-nya nggak bisa dihubungi,” lanjut Dita. “Setelahnya lo tahu, kan. Sesudah delapan tahun tanpa kabar, dia mendadak kembali.”
Dimas menyimak dengan saksama.
“Gue sama dia jadi dekat lagi karena proyek rumahnya. Waktu dia ngajak gue untuk ketemuan sama ibunya, gue pikir dia benaran serius sama gue, tetapi gue salah.” Dita menarik napasnya. Dia tidak boleh bersedih lagi. “Gue nggak bisa cerita detailnya, tetapi dia udah mengkhianati kepercayaan gue. Dan gue nggak yakin bisa ketemu lagi sama dia. It hurt me so much.” Suaranya mulai serak. Mengingat kenangan buruk itu membuatnya terasa sesak. Dia kembali menarik napas panjang dan mengerjap untuk mencegah air matanya keluar.
“Kalau boleh memilih, gue nggak kepingin melanjutkan proyek rumahnya. Gue tahu dia pasti berusaha memberikan seribu satu alasan supaya gue bisa menerima dia lagi. Dan gue nggak mau itu terjadi.” Dita menoleh ke Dimas yang duduk di sampingnya untuk melihat reaksi sahabatnya itu. Setelah makan mereka pindah duduk di sofa ruang televisi untuk mengobrol.
“Lo nggak perlu khawatir. Gue nggak akan membiarkan hal itu terjadi,” kata Dimas sungguh-sungguh. “You are safe with me.”
Dita menyentuh punggung tangan Dimas dan memberikan sedikit penekanan. “Thank you.” Hatinya langsung terenyuh. Dimas begitu peduli kepadanya. Dan sahabatnya itu tidak banyak bertanya tentang apa yang terjadi antara dirinya dan Arga. Tanpa bisa dicegah air matanya turun. Cepat dia menyekanya. “Lo nggak pulang? Udah malam.” Dia mengalihkan pembicaraan.
Dimas tersenyum sedikit. “Rencana malah mau nginep di sini. Siapa tahu Arga tiba-tiba silaturahim ke apartemen lo,” candanya.
Dita ikut-ikutan tersenyum. “Lo bisa jemput gue besok pagi.”
“Siap, Bu!” Dimas meletakkan tangannya di dekat pelipis, melakukan gerakan hormat.
*****
“Lo cerita apa ke Pak Bagas?” tanya Dita kaget. Pagi ini Dimas menjemputnya ke apartemen dengan mobilnya dan mereka tengah menuju kantor. Begitu saja sahabatnya itu mengatakan kalau papanya setuju untuk mengalihkan proyek rumah Arga ke Hadi.
“Cukup untuk membuat bokap setuju,” kata Dimas.
“Dimas!” Dita memukul pelan lengan Dimas. Sahabatnya itu mengaduh sakit. “Lo nggak bilang macam-macam, kan, ke Pak Bagas?”
“Semacam doang.”
Dita merengut. “Gue malu tahu sama Pak Bagas. Ini persoalan pribadi. Nggak ada hubungan sama kerjaan.”
“You’re welcome,” seloroh Dimas.
Dita menjadi tidak enak hati. “Sori.”
Dimas tertawa. “Gue bilang ke bokap kalau lo pengin Hadi yang handle proyeknya Arga. Terus bokap tanya alasannya. Gue bilang ada persoalan pribadi antara lo sama Arga,” jelas Dimas. “Dan seperti biasa, bokap lebay kalau menyangkut lo. Jadi gue mesti jelasin detail. Bokap malah sempat mengira lo mengalami sexual harrasment.”
Dita menutup mukanya malu. “Gue mesti gimana kalau nanti ketemu sama Pak Bagas?”
“Biasa aja kali.”
“Lo enak ngomong begitu karena dia bokap lo.”
“Kan bentar lagi juga bakalan jadi bokap lo.”
“Bokap tiri.”
“Sama aja.”
Dita menarik napas. Sesungguhnya dia tersentuh dengan perhatian Pak Bagas yang besar. Namun, tetap saja dia segan karena Pak Bagas adalah bosnya di kantor.
*****
“Tangan lo udah baik-baik aja?” tanya Dita saat bertemu Hadi pertama kali di ruang kerja mereka.
“Alhamdulillah.” Hadi menggerakkan jemarinya. “Oya, kata Pak Bagas, proyek Pak Arga bakal gue handle. Nanti gue minta semua file-nya, ya.”
Dita tertegun. Dia menoleh ke Dimas yang duduk di sebelahnya. Dimas melirik sekilas, lalu kembali ke komputernya. “Oke, nanti gue kirim,” katanya ke Hadi. “Thanks, ya.”
Dita melanjutkan pekerjaannya. Dalam hati masih bertanya-tanya alasan apa yang diberikan Pak Bagas ke Hadi sehingga proyek Arga diberikan kepada rekannya itu.
“Dita.”
Dita menjengit sedikit. Dadanya berdebar pelan. “Iya, Pak.” Dia menoleh ke Pak Bagas yang berdiri di dekat pintu masuk ruangannya.
“Bisa ke ruangan saya sebentar?” tanya Bagas.
“Bisa, Pak.” Dita masih terpaku di kursinya.
“Sekarang,” tambah Bagas.
“Eh, iya, Pak.” Gugup dia bangkit. Sebelum keluar dia sempat menoleh ke Dimas sekilas, tetapi sahabatnya itu sibuk memperhatikan layar komputerya. Segera dia mengikuti bosnya.
“Duduk, Dita,” kata Bagas saat sampai di ruangannya.
Dita duduk dengan perasaan cemas.
“Kamu sudah sehat?” tanya Bagas. “Kalau masih kurang enak badan sebaiknya istirahat di rumah.”
“Alhamdulillah sudah mendingan, Pak.”
“Sudah cek ke dokter?”
Dita menggeleng. “Cuma demam biasa, Pak.”
Bagas memperhatikan Dita lama. “Saya memberikan proyek rumah Pak Arga ke Hadi,” katanya. “Saya bilang ke Hadi kalau kamu akan mengerjakan proyek lain.”
Dita mengangguk. “Baik, Pak. Terima kasih.”
“Apakah kamu ingin mengambil cuti selama beberapa hari?” tanya Bagas. “Just to cool everything down?”
“Nggak, Pak. Pekerjaan saya banyak.” Bekerja bisa mengalihkan perhatian Dita dari persoalannya.
“Oke. Kalau kamu perlu sesuatu. Apa pun itu, bilang ke saya,” kata Bagas.
“Baik, Pak.” Jeda sejenak. “Sebenarnya saya mau minta tolong satu hal, Pak.”
“Apa itu?”
Dita berdeham. “Kalau bisa, jangan beri tahu bunda saya tentang hal ini dulu, Pak. Nanti biar saya sendiri yang cerita.”
Bagas menatap Dita beberapa lama. “Baiklah.”
“Terima kasih, Pak.” Dita tersenyum lega. “Maaf, apakah ada yang lain, Pak?” tanyanya karena bosnya tidak mengatakan apa pun setelahnya.
“Untuk sekarang tidak ada.”
Dita pamit dan keluar ruangan. Dia mengeluarkan napas lega. Perasaannya cukup tegang barusan. Untunglah Pak Bagas tidak menanyakan hal-hal yang bersifat pribadi. Jengah juga kalau mesti membicarakan tentang hubungan Arga dan dirinya dengan bosnya.
*****
Menyenangkan kembali bekerja. Dita menjadi fokus memikirkan pekerjaan. Lebih baik dia pusing mengerjakan deadline desain daripada mengingat persoalan pribadinya.
“Jadi tadi bokap ngomong apa?” tanya Dimas penasaran.
“Biasa,” balas Dita santai. Mereka sedang makan siang di pantry. Dita tidak sempat menyiapkan makan siang sehingga dia memesan lewat aplikasi online. Lagi kepingin makan gado-gado di restoran favoritnya.
“Biasanya gimana?”
“Ya gitu. Udah sehat belum. Kalau belum sehat istirahat di rumah aja. Apa gue perlu cuti sementara waktu,” jelas Dita.
“Nah, bener banget, tuh. Cuti sementara waktu,” kata Dimas antusias.
“Kerjaan gue lagi banyak. Apalagi gue mesti ngerjain proyek baru. Lagian mau ngapain cuti kalau bengong di rumah doang?”
“Emang proyek baru apa?”
Dita tertegun. Pak Bagas belum memberitahunya. Dia juga belum mendapatkan e-mail. “Nggak tahu.”
Dimas tersenyum kecil. “Beneran ada proyek baru atau bisa-bisanya bokap gue aja?”
Dita menoleh ke Dimas dengan dahi berkerut. “Maksud lo?”
Dimas mengangkat bahu dan melanjutkan makannya.
Apakah Pak Bagas membuat alasan mengerjakan proyek baru sehingga proyek rumah Arga bisa dialihkan ke Hadi?
“Kayaknya lo perlu pikirkan ide untuk cuti selama beberapa hari, deh,” kata Dimas. “Menghilang untuk sementara waktu.”
Dita menatap Dimas selama beberapa saat. Setelah dipikir-pikir lagi, bukan ide buruk untuk ke luar kota selama beberapa lama. Toh, dia memang ingin menghindari Arga.
*****
“Jalan, yuk,” cetus Dita tiba-tiba saat dia dan Dimas menuju parkiran mobil. “Lagi males gue pulang ke apartemen.”
“Boleh. Ajak Maya sekalian, siapa tahu dia bisa.” Dimas membuka pintu mobil dan masuk.
Setelah mengenakan sabuk pengaman, Dita mengirim pesan ke Maya. Mudah-mudahan saja sahabatnya itu tidak sedang lembur hari ini. Normalnya Maya pulang pukul lima, tetapi lebih sering keluar dari proyek setelah isya. Sebenarnya kalau sedang banyak pekerjaan, Dita sama seperti Maya. Lebih nyaman bekerja di kantor bersama teman-teman yang lain. Bisa sambil mengobrol dan diskusi. Lagipula mereka masih single, tidak ada keharusan pulang cepat karena ada keluarga yang menunggu.
“Apa kata Maya?” tanya Dimas saat mobil keluar pekarangan kantor. Dia menurunkan sun visor agar tidak silau.
“Belum dibalas.”
“Mau ke mana, nih?”
“Gue udah bilang ke Maya di tempat biasa, supaya dia nggak kejauhan dari proyeknya,” kata Dita. Tidak lama dia mendapat balasan dari Maya. Seketika wajahnya murung. “Yah, Maya nggak bisa. Dia malam ini ada dinner meeting proyek.”
“Ya udah, kita berdua aja.”
Dita berpikir sejenak. “Kalau begitu, kita ke mal dekat sini aja.”
“Oke.”
*****
Sesampainya di mal, Dita dan Dimas salat Magrib terlebih dahulu. Setelahnya mereka menuju area food court di lantai 4 mal.
“Lo kalap?” tanya Dimas saat melihat meja mereka penuh dengan makanan. Dia sendiri hanya memesan sop buntut dan es jeruk.
“Mumpung,” elak Dita. Banyak jajanan tradisional di sini. Dia memesan toge goreng, lumpia basah, tahu gejrot, dan es doger. “Lagian ini buat sama-sama.” Dia memotret meja yang penuh makanan dan mengirimnya ke Maya. Tidak lama sahabatnya itu membalas.
Maya: Enak banget. Mauuu.
Dita: Ha ha. Hayuk ke sini.
Maya: Udah sehat? Udah kelayapan lagi aja.
Dita: Sumpek kalau di apartemen terus.
Maya: Kapan cerita?
Dita: Weekend, ya. Biar panjang waktunya.
Maya: Oke.
“Siapa?” tanya Dimas penasaran saat melihat Dita senyum-senyum sendiri ketika mengetik di ponselnya.
“Maya.” Dita menaruh ponselnya di tas.
“Ooo.” Dimas melanjutkan makannya. “Arga nggak WA lo lagi?”
“Nggak tahu. Udah gue blokir.”
“Satu hari dia pasti bakal nyamperin lo ke apartemen atau kantor,” kata Dimas.
“Mungkin,” balas Dita. “Tetapi kan ada lo.”
Dimas tersenyum. “Habisin makanan yang lo pesan. Jangan mubazir.”
“Siap, Pak,” canda Dita, lalu mereka tertawa.
*****
“Ada lagi yang mau dibeli?” tanya Dimas. Selesai makan mereka mampir ke toko buku, lalu belanja ke supermarket. Kedua tangannya penuh dengan kantung belanja.
“Pengin beli es kopi sama donat,” kata Dita.
Dimas menatap sahabatnya tidak percaya. “Masih belum kenyang?”
“Donatnya buat sarapan besok, Mas,” jawab Dita.
Akhirnya mereka mampir di sebuah booth yang menjual minuman kopi dan aneka kue. Selesai memesan, mereka menunggu sebentar. Dita melihat suasana di sekitarnya. Walaupun bukan akhir pekan, mal ini tetap ramai. Perhatiannya teralih ketika melihat segerombolan orang keluar dari sebuah restoran berjarak sepuluh meter dari tempatnya berdiri. Mereka terlihat mencolok karena berkerumun dan mengobrol cukup keras. Dia memperhatikan orang-orang tersebut selama beberapa lama. Tiba-tiba matanya melebar.
Dimas memperhatikan perubahan pada air muka Dita. Dia ikut-ikutan melihat ke arah pandang sahabatnya itu. Arga. Dia menyenggol bahu Dita pelan, membuat sahabatnya itu menoleh ke arahnya. “Kita pergi,” katanya.
Dada Dita berdebar pelan. Debar yang berbeda. Dia takut bertemu dengan Arga. Tidak tahu kenapa, tetapi takut saja. Arga yang sekarang bukanlah Arga yang dikenalnya dulu. Laki-laki itu saat ini menjadi bagian buruk dari masa lalu keluarganya.
Dimas mengambil pesanan, lalu menggandeng tangan Dita untuk segera pergi dari sana.
Sebelum pergi Dita menoleh sekali lagi ke belakang untuk melihat Arga. Tiba-tiba dia mendapat kejutan lain. Dia melihat sosok yang sangat dikenalnya. Perempuan itu keluar dari restoran dan langsung menghampiri Arga. Gestur tubuhnya menandakan kalau perempuan itu tidak asing dengan Arga. Mereka tampak mengobrol dan kelihatan dekat.
“Maya?” Dita tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Maya dan Arga.
*****
BAB 25
Setelah kebohongan yang dilakukan Arga, Dita mengira dia tidak akan mengalami kebohongan lain. Ternyata dia salah. Dan rasanya lebih sakit. Sahabat yang selama ini dia percaya mengkhianatinya.
Maya: Tadi jadi ke mal sama Dimas?
Dita: Jadi. Lo jadi makan malam sama orang kantor.
Maya: Jadi. Tadi kita makan di mal Gandaria.
Dita: Asyik dong bisa makan bareng bos lo yang ganteng itu.
Maya: Ha ha. Tentu saja.
Dita: Siapa, sih, nama bos lo yang ganteng itu? Penasaran gue.
Maya: Ada deh. Entar gue kenalin.
Maya: Dit, cerita dong gimana pas lo ketemu sama nyokapnya Arga. Penasaran gue.
Dita: Nggak enak kalau cerita di WA. Mending entar aja pas ketemuan akhir pekan.
Maya: Yah, masih lama.
Dita: He he. Bentar lagi, kok.
Maya: Hubungan lo sama Arga baik-baik aja, kan?
Dita: Baik. Kenapa emangnya?
Maya: Nggak, kirain lagi berantem gitu. He he.
Dita: Nggak kok.
Dita: May, lo sama Arga, kan, kerja di perusahaan kontraktor. Kalian nggak pernah kerja bareng?
Maya: Jumlah perusahaan kontraktor di Jakarta banyak banget, Dit.
Dita: Siapa tahu aja perusahaan kalian pernah kerja sama.
Maya: Nggak lah. Pertama kali ketemu dia pas kita pulang dari resto itu, kan?
Dita: Setelahnya nggak pernah ketemu dia lagi? Nggak sengaja ketemu di mana gitu?
Maya: Nggak.
Dari satu jawaban itu, Dita tahu sahabatnya itu sudah berbohong. Bisa jadi ini bukan satu-satunya kebohongan yang dilakukannya. Sekarang siapa yang bisa dia percaya?
Dita menarik napas panjang. Dia bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke arah pintu kaca yang menghubungkan kamarnya dengan kolam renang di teras belakang. Dia duduk di pinggir kolam dan memasukkan kakinya ke air.
Sejak kemarin Dita dan Dimas menginap di salah satu resort di Nusa Dua, Bali. Akhirnya dia memutuskan mengambil cuti hari Jumat dan mengatur ulang jadwal akhir pekan untuk bertemu klien di pekan berikutnya. Untungnya tidak ada kendala, kliennya tidak berkeberatan.
Dimas mengatur semuanya. Mulai dari tiket pesawat sampai akomodasi. Kemarin, setelah check in di tempat menginap, sorenya mereka menghabiskan waktu di private beach resort tersebut. Setelah sunset baru pulang. Malamnya mereka menikmati seafood segar di area kolam renang.
Tadi pagi Dita dan Dimas berjalan-jalan dan berbelanja oleh-oleh khas Bali. Dia membeli kain pantai untuk bundanya dan kaus joger untuk Pak Bagas. Selain itu juga membeli pai susu, cokelat, dan bubuk kopi.
Bel vilanya berbunyi. Dita segera bangkit berdiri dan mengganti pakaiannya. Barusan dia hanya memakai kaus oblong dan celana pendek. “Sebentar,” katanya sambil memakai bergo dan berjalan ke depan. Pasti Dimas. Malam ini setelah magrib mereka berencana menonton konser musik teman sahabatnya itu. Namun, Dimas datang terlalu cepat. Sekarang baru pukul lima sore.
“Baru bangun tidur?” tanya Dimas saat Dita membukakan pintu untuknya.
“Nggak, udah dari tadi.” Setelah pulang dari jalan-jalan, Dita sempat tidur karena lelah dan baru bangun satu jam yang lalu.
“Lagi ngapain?” Dimas berjalan ke ruang televisi, lalu duduk di sofa. Dari sini dia bisa melihat kolam renang kecil di bagian belakang melalui pintu kaca.
“Nggak lagi ngapa-ngapain.” Dita duduk di samping Dimas.
“Jangan kebanyakan bengong, nanti kesambet,” canda Dimas.
Dita memukul lengan Dimas cukup keras. Sahabatnya itu mengaduh pelan sambil mengusap lengannya.
“Udah mandi? Siap-siap sana,” kata Dimas.
Dita tidak beranjak. Sebenarnya dia malas untuk pergi ke konser musik. Penginnya di kamar saja. Rasanya tubuhnya tidak bertenaga. Lagipula suasana hatinya sedang tidak begitu baik. Sudah tentu dia tidak akan bisa menikmati pertunjukan musiknya. Namun, dia merasa tidak enak kepada sahabatnya itu. Dimas memilih Bali sebagai tempat liburan, selain untuk refreshing, juga untuk melihat konser musik teman-temannya.
“Kalau lo aja yang pergi gimana?” tanya Dita tidak galau.
“Kenapa, lo nggak enak badan?” Dimas khawatir.
“Gue nggak apa-apa. Lagi malas aja.”
“Kalau lo nggak pergi, gue juga nggak pergi.”
“Jangan gitu, dong.” Dita merasa bersalah. “Lo ke sini kan kepingin ketemu teman-teman lo.”
“Gue ke sini karena mau nemanin lo,” balas Dimas.
Dita menarik napas. “Ya udah, gue siap-siap dulu.” Dia beranjak.
“Dit,” panggil Dimas. “Kalau lo kepingin di villa aja, gue nggak apa-apa, kok.”
Dita tersenyum. “It’s okay. Gue lagi butuh hiburan, kok.” Dia merasa sungkan dengan Dimas. Sahabatnya itu sudah berkorban banyak dan melakukan banyak hal untuk mewujudkan perjalanan kali ini. Padahal pekerjaan Dimas sedang banyak, tetapi dia memaksakan diri dan mengerjakan desainnya di sini. Setidaknya yang bisa dia lakukan adalah tidak merusak suasana.
*****
Sudah sepuluh menit yang lalu Dita selesai mandi. Dia masih mengenakan jubah mandi dan duduk di pinggir kasur. Termenung. Hatinya mendadak sedih sekali dan air matanya mengalir. Dia menarik napas dan menggigit bibirnya untuk menahan isak yang berada di ujung tenggorokan.
Selama di sini dia berusaha memasang topeng bahagia untuk menutupi kepedihannya. Dia berpura-pura gembira agar perjalanan kali ini menyenangkan. Namun, pertahanannya jebol juga. Dia tidak mampu lagi berpura-pura. Sesak yang ditahannya semenjak beberapa hari lalu lepas begitu saja. Seperti karet yang putus karena ditarik terlalu regang.
“Dit, gue minta minum, ya,” kata Dimas dari luar.
Dita menyeka pipinya. “Iya,” jawabnya setelah berdeham agar suaranya tidak terdengar serak. Dia menarik napas panjang, lalu beranjak ke lemari untuk memilih baju. Air matanya masih terus mengalir. Bagai robot dia bersiap-siap. Dia tidak tahu apakah pakaian yang dikenakannya cocok atau tidak. Pikirannya sedang tidak pada tempatnya. Dia mengambil asal saja.
Saat duduk di depan meja rias, Dita termangu menatap matanya yang sembab. Dia mengambil tisu dan menghapus air matanya. Namun, butiran air itu tidak berhenti mengalir. Dia menjadi kesal, lalu melempar tisu sembarang. Sambil terisak, dia menelungkupkan wajahnya di meja. Dia tersengguk-sengguk. Matanya basah. Hidungnya basah.
“Dit, nyokap telepon, nih,” kata Dimas di luar.
Dita mengabaikan dan larut dalam kesedihannya.
*****
Dita bertanya-tanya. Kenapa semua ini terjadi kepadanya. Dua orang yang dipercayainya berbuat curang di belakangnya. Sakitnya lebih parah dibanding perlakuan ayahnya dulu kepadanya. Dia berharap lebih kepada Arga dan Maya. Dan rasanya pedih saat kenyataan menamparnya dengan keras.
Dita tidak memberikan kesempatan kepada dirinya sendiri untuk berduka. Malam saat dia memergoki Arga dan Maya bersama, Dimas mengantarkannya ke apartemen untuk membereskan pakaiannya.
“Lebih baik sementara ini lo nginep di rumah nyokap,” saran Dimas.
“Gue nggak apa-apa, Mas,” kata Dita membohongi dirinya sendiri. Sejak di mobil tadi dia tidak banyak bicara. Setiap Dimas bertanya apakah dirinya baik-baik saja maka dia akan berkata, “Gue nggak apa-apa”. Kalimat sakti yang membuat sahabatnya itu tidak bertanya-tanya lagi.
“Pilihannya gue yang nginep di apartemen lo, atau lo nginep di rumah nyokap lo,” ultimatum Dimas.
“Nanti gue mesti bilang apa kalau nyokap nanya?” tanyanya khawatir.
“Dit, rumah nyokap lo, kan, rumah lo juga. Kenapa mesti pakai alasan segala mau nginep di sana?”
“Mulai besok, deh, gue nginep di nyokap. Sekarang udah malam.”
“Ya udah, kalau gitu gue nginep di apartemen lo malam ini.”
“Gue nggak apa-apa, Mas.” Sekali lagi Dita mengucapkan kalimat itu untuk meyakinkan Dimas.
“Lo baru aja memergoki Arga dan Maya bersama. Gue aja nggak percaya dan kaget setengah mati, apalagi lo,” kata Dimas. “Lo nggak sedang baik-baik saja, Dit. Dan gue nggak bisa ninggalin lo sendirian di saat seperti ini.”
Akhirnya malam itu Dita bersiap. Dimas benar. Bundanya tidak bertanya apa-apa, malahan senang.
“Dimas mau menginap di sini juga malam ini?” tawar Lastri saat Dita dan Dimas tiba di rumahnya.
“Penginnya, sih, Bun. Tetapi aku nggak bawa baju ganti,” jawab Dimas. “Insya Allah besok pagi aku ke sini lagi untuk jemput Dita.”
Malam itu, di rumah bundanya, Dita sulit tidur. Namun, dia juga menahan diri untuk menangis. Dia tidak mau bangun tidur dengan wajah sembap dan harus menjelaskannya ke bundanya. Dia menyetel playlist di aplikasi music streaming berbayar di ponselnya. Playlist yang sengaja dia susun untuk membuat perasaannya lebih baik saat merasa down. Dia sempat merasa baikan, tetapi hanya sementara. Hatinya tetap tidak tenang.
Dita bekerja seperti biasa. Menenggelamkan dirinya dalam kesibukan sehingga tidak ada kesempatan memikirkan persoalannya. Sampai Dimas mengusulkan untuk liburan ke Bali.
“Wajah lo udah kayak zombi, tahu,” kata Dimas. “Lo butuh liburan.”
“Lebay.” Dita memang kurang tidur, tetapi kondisinya tidak separah itu.
“Ayolah, it’s going to be fun,” bujuk Dimas.
Awalnya Dita menolak, tetapi sahabatnya itu persisten. Apalagi waktu Pak Bagas ikut-ikutan mendukung hal tersebut.
“Dimas bilang kamu mau cuti akhir pekan ini?” tanya Bagas. “Good for you. Refreshing sebentar untuk menyegarkan pikiran. Nanti kita jadwal ulang untuk semua pekerjaan kamu.”
Dita mensyukuri keputusannya bepergian ke Bali. Dia bisa menjernihkan pikiran dan memikirkan ulang atas semua yang terjadi belakangan. Dia mengira bisa menggunakan logikanya untuk memroses semua persoalan, tetapi sulit. Perasaannya selalu maju lebih dulu dan mengendalikan dirinya. Dia hanya mampu menangis karena tidak kuat lagi menahan emosi yang terbendung lama.
“Dit, Dita,” panggil Dimas dari balik pintu. Dia mengetuk pintu pelan.
Dita masih terisak dengan wajah tertelungkup di meja.
“Dita, lo udah selesai?”
Dita mengangkat wajah dan menyeka pipinya. Dia melihat pantulan dirinya di cermin. Kacau sekali. Mata sembab. Rambut kusut. Wajahnya penuh jejak air mata. Dia bangkit dan beranjak ke kamar mandi untuk mencuci muka.
“Dita!” panggil Dimas lebih keras. “Lo nggak apa-apa?”
Dita keluar dari kamar mandi, memakai bergonya, lalu membuka pintu.
Dimas kaget melihat wajah Dita yang sembap. “Lo habis nangis?”
Dita mengangguk.
“Lo nggak apa-apa?”
Pertama kalinya Dita jujur dengan dirinya sendiri di hadapan Dimas. Dia menggeleng. “Nggak, gue nggak baik-baik aja,” katanya.
*****
BAB 26
Dita tidak ingin terlihat rapuh di hadapan Dimas. Selama bersama sahabatnya itu dia selalu menampakkan sikap baik-baik saja. Mengobrol, bercanda, dan tersenyum. Sesungguhnya hatinya terasa hambar. Kesenangannya semu. Namun, dia tidak bisa selamanya berpura-pura. Dia perlu mengeluarkan sesak yang ditahannya lama. Kalau tidak, dia bisa stres berlebihan. Sungguh dia tidak mau lagi merasakan depresi seperti yang pernah dialaminya dulu. Dia butuh seseorang sebagai tempat bersandar. Dia perlu membagikan kegelisahannya. Dan Dimas adalah orangnya.
Dita tahu Dimas selalu tulus kepadanya. Perhatian laki-laki itu adalah bentuk rasa sayang kepadanya. Dia bisa merasakan itu.
“Gue dari keluarga broken home.” Dita mengawali ceritanya ke Dimas saat mereka duduk di sofa ruang televisi. “Bokap gue menikah lagi tanpa sepengetahuan nyokap dan gue nggak pernah mendapatkan kasih sayang dari orang tua gue.”
Dita menceritakan apa adanya. Semuanya. Perihal keluarganya. Kesepiannya. Ketakutannya. Dan perjuangannya untuk memiliki kehidupan sosial yang baik. Dia juga menceritakan pertemuan pertamanya dengan Arga, bagaimana akhirnya dia bisa jatuh hati dengan kakak kelasnya itu, masa mereka lost contact, sampai akhirnya mereka dekat lagi seperti sekarang.
“Gue waktu itu bilang ke lo kalau Arga mengkhianati gue, tetapi gue nggak cerita sebabnya.” Dita menarik napas. “Ternyata benar, di dunia ini nggak ada yang namanya kebetulan. Gue dulu sempat berpikir kenapa pas SMA Arga baik dan perhatian sama gue. Gue sempat GR kalau dia suka sama gue. Ternyata gue salah.” Dia menoleh ke Dimas dan tersenyum getir. “Tahu kenapa Arga selama ini ngedeketin gue?” Dia memberi jeda. “Karena ternyata dia adalah anak dari wanita simpanan bokap gue.”
Dimas yang sedang menyimak langsung kaget. Mulutnya terbuka sedikit. Tidak menyangka dengan fakta yang barusan diberikan oleh Dita. “Arga anak siapa?”
“Dia anak wanita yang diam-diam dinikahin sama bokap gue,” jelas Dita.
“Lo tahu dari mana?”
“Gue pernah lihat wanita itu datang ke rumah pas bokap meninggal,” kata Dita. “Dan gue melihat wajah itu kembali beberapa hari yang lalu, waktu Arga ngajak gue ketemuan sama nyokapnya.”
Dahi Dimas berkerut. Dia masih memroses informasi yang diberikan Dita. “Lo yakin?”
“Gue lihat foto-foto mereka di rumah nyokapnya Arga. Ada foto mereka bertiga. Arga, bokap gue, dan nyokapnya dia.”
“Jadi ... Arga itu masih saudara lo, saudara seayah?”
Dita mengangkat bahunya tidak peduli. Dia sudah kenyang menangis. Mengisahkan ini kembali tidak membuatnya terlalu sedih lagi.
“Jadi, tujuan Arga mendekati lo untuk apa?”
“Nggak tahu, nggak mau tahu juga,” jawab Dita malas. “Gue nggak mau berusan dengan wanita itu. Dia udah merusak masa kecil gue, masa remaja gue, dan bisa jadi masa depan gue.” Tanpa terasa air mata Dita mulai menggenang. Trauma yang diberikan berdampak besar pada kehidupannya. “Gue nggak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah. Bokap gue nggak pernah peduli sama gue. Dan kadang, gue merasa kalau bokap nggak pernah menganggap gue sebagai anaknya.” Dita menyeka pipinya yang basah. Suaranya tertahan karena menahan isak.
“I’m so sorry, Dita. I’m so sorry.” Dimas meraih tangan Dita dan menggenggamnya hangat. “Tetapi sekarang lo punya gue. Dan sebentar lagi bokap gue juga bakalan jadi bokap lo. And he’s a good father.”
Dita tersenyum. “Iya, gue tahu. Makanya gue terharu banget dengan perhatian bokap lo. Gue nggak pernah merasa seistimewa itu sebelumnya.”
“You are special,” kata Dimas sungguh-sungguh.
“Thanks.” Dita tahu perkataan Dimas berasal dari hatinya. “Dan tentang Maya,” lanjutnya setelah beberapa lama.
Dimas menarik napas. “Gue tahu lo pasti marah dan kesal. Awalnya gue juga kaget. Tetapi, setelah gue pikir-pikir, sebaiknya kita membicarakan ini baik-baik dengan Maya. Dia sahabat kita. Gue tahu dia perempuan baik. Feeling gue biasanya benar. Gue yakin Maya punya alasan yang kuat kenapa dia nggak ngasih tahu kita kalau dia kenal dengan Arga.”
“Alasan logis apa yang bisa dia berikan?” sergah Dita.
“Hanya Maya yang tahu jawabannya,” kata Dimas. “Kita udah sahabatan lama. Jangan biarkan persoalan seperti ini merusak apa yang udah kita jalani selama ini.”
“Terus kenapa dia nggak jujur sama gue? Kalau memang dia suka sama Arga, harusnya dia ngasih tahu gue.”
“Jadi lo pikir Maya suka sama Arga, terus dia nggak ngasih tahu lo dan memutuskan menikung lo dari belakang. Begitu?”
Dita tidak menjawab.
“Lo tahu Maya bukan perempuan seperti itu. Ini Maya, loh, yang kita omongin. Bukan orang yang baru kita kenal satu dua hari,” kata Dimas. “Gue nggak ngebelain dia, tetapi setidaknya beri dia kesempatan untuk menjelaskan. That’s it.”
“I don’t know,” elak Dita. Dia masih sakit hati.
“Dia WA gue. Kayaknya dia khawatir banget sama lo,” tambah Dimas. “Menurut gue, dia bisa merasakan apa yang sedang lo rasakan. Mungkin dia sama seperti gue, punya sixth sense. We can read people. Dan lo itu mudah banget dibaca.”
“Oya. Coba tebak apa yang lagi gue pikirin sekarang?” tantang Dita.
“Makan.”
Dita mengerutkan keningnya. Dia bahkan tidak nafsu makan.
“Yang lo butuhkan saat ini adalah makan. Gimana kalau kita makan di sini aja? Gue pesan ke restoran, ya.” Dimas beranjak berdiri dan menuju meja televisi untuk memesan makanan melalui telepon resort.
“Konser musiknya?” tanya Dita.
“Kita bisa lihat konser musiknya kapan-kapan.” Setelahnya Dimas memesan makanan.
Dita tersenyum penuh haru. Matanya menjadi berkaca-kaca. Dia beruntung punya sahabat sebaik Dimas.
*****
Pagi ini suasana hati Dita lebih baik. Perasaannya tidak segundah sebelumnya. Semalam sekitar pukul dua dini hari dia terbangun dan buang air kecil. Saat kembali ke tempat tidur, matanya melihat sajadah tersampir di sandaran kursi. Dia jadi ingat salah satu tausiah Tamara saat mendapatkan ujian dari Allah.
“Kadang kita lupa bahwa yang memiliki solusi setiap persoalan itu Allah. Dia yang memberikan ujian, Dia juga yang memiliki jalan keluarnya,” kata Tamara. “Kita lebih memilih ‘healing’ dengan mendengarkan musik, menonton film, jalan-jalan, atau bicara dengan makhluk.
“Saya tidak mengatakan semua hal itu tidak boleh, tetapi seharusnya Allah yang kita datangi lebih dulu karena percayalah ketenangan hati hanya bisa didapat dengan mendekat kepada-Nya,” lanjut Tamara. “Allah memberikan ujian karena Dia rindu kepada hamba-Nya. Dia ingin hamba-Nya datang kepada-Nya. Kapan terakhir kali kita berdua-duaan di sepertiga malam bersama-Nya? Padahal setiap malam Allah turun ke langit dunia, mencari hamba-Nya yang berdoa kepada-Nya. Setiap malam. Namun, kita kerap absen.
“Coba, deh, saat mendapat persoalan, prioritaskan datang ke Allah lebih dulu,” tutup Tamara.
Dita mengambil wudu, menggelar sajadah, dan memakai mukenanya. Air matanya sudah mengalir saat takbiratulihram dan bertambah deras saat sujud. Waktu di mana dia merasa begitu dekat dengan Rabb-nya. Tangisnya kali ini berbeda. Dia menangis bukan karena ingat persoalannya. Dia sesenggukan mengingat dosa-dosanya. Dia merasa masih kurang bersyukur di tengah limpahan nikmat Allah yang diterimanya. Kesibukannya mengejar dunia kerap melalaikannya dari menyiapkan akhiratnya.
Setelahnya dia membaca Al-Qur’an di ponselnya sambil menunggu waktu subuh. Baterai hatinya terisi kembali. Dia merasa lega dan damai. Setelah salat subuh dia mengingat-ingat kembali pembicaraannya dengan Dimas semalam. Sebenarnya lebih banyak sahabatnya itu yang berbicara. Meskipun suka usil, tetapi Dimas lebih bijaksana dalam memandang sebuah persoalan.
“Di dunia ini banyak hal-hal yang tidak bisa kita kontrol. Seperti bagaimana sikap orang lain terhadap diri kita. Apa yang orang lain pikirkan tentang kita. Apa yang akan terjadi di masa depan,” kata Dimas. “Daripada sibuk memikirkan hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan, lebih baik fokus kepada hal-hal yang berada di bawah kekuasaan kita.
“Respon terhadap sesuatu, itu berada di bawah kendali kita. Gue mau pilih marah, kesal, sedih, sabar, menerima, menolak, itu sepenuhnya berada di bawah kendali gue. Itu yang bisa gue kontrol,” lanjut Dimas. “Setiap orang punya masa lalu. Lo punya masa lalu yang buruk. Gue juga punya masa lalu yang buruk. Lo pernah disakitin. Sama, gue juga pernah disakitin. Tetapi, sekarang pilihan kita, apakah mau terjebak selamanya di masa lalu atau move on dan membuat memori yang lebih baik.
“Kita nggak akan pernah bisa mengubah masa lalu. Yang bisa kita perbaiki adalah masa depan. You deserve to be happy, Dita,” kata Dimas. “Saatnya melepaskan dan memulai chapter baru dalam kehidupan lo. Don’t live in the past.”
Dita yakin Dimas terlalu banyak membaca buku motivasi. Kata-katanya penuh semangat.
*****
“Langitnya cerah,” kata Dimas.
Dita ikut-ikutan melihat ke atas. “Iya, bersih.” Sebelum sarapan, mereka menyempatkan berjalan-jalan di pantai. Pagi ini tidak terlalu ramai.
“Dit, lo inget pembicaraan kita semalam tentang hal-hal yang bisa kita kontrol dan nggak bisa kita kontrol?”
“Inget, kenapa?”
“Lo tahu ada satu lagi yang berada di luar kendali kita,” kata Dimas.
“Oya, apa itu?”
Dimas berhenti dan menatap Dita lekat.
Dita ikut-ikutan berhenti dan menoleh ke Dimas.
“Lo nggak bisa mencegah orang lain untuk jatuh cinta sama lo,” kata Dimas.
Dita tertegun.
“Gue tahu lo pasti bosan mendengar ini, tetapi gue nggak bisa mencegah hati gue untuk jatuh hati kepada siapa,” kata Dimas sungguh-sungguh. “Dan gue jatuh cinta sama lo, Cinta Anandita. Dari dulu.”
Dita tidak tahu harus berkata apa. Dia bingung dan tidak siap.
“Gue tahu lo juga sayang sama gue. Atau bisa jadi sebenarnya lo juga bingung dengan perasaan lo sekarang. Kita udah nyaman dengan satu sama lain. Lo kepingin kita seperti ini selamanya. Lo nggak mau kehilangan gue sebagai sahabat. Gue tahu,” kata Dimas. “Tetapi gue kepingin lo merasakan suatu perasaan yang lain. Yang bisa jadi lebih baik dari sekadar sahabatan.”
“Gu-gue ....” Lidah Dita kelu.
“Gue cuma kepingin kita mencoba. Let see how it goes. Gue nggak akan memaksa karena gue tahu cinta bukan sesuatu yang bisa dipaksa,” kata Dimas. “Gue pengin lo membuka diri untuk setiap kemungkinan.”
“I don’t know,” kata Dita bingung.
“Lo nggak perlu khawatir. Gue tetap sahabat lo, kok. Kita jalani ini pelan-pelan.”
Dita menatap Dimas lekat. Seharusnya dia merasa beruntung karena laki-laki itu memiliki semua yang diinginkan kebanyakan perempuan. Wajah yang ganteng. Perilaku yang baik. Pekerjaan yang bagus. Dan bertanggung jawab. Apalagi yang dia cari dari seorang laki-laki? Cinta Dimas kepadanya sudah teruji. Laki-laki itu bahkan tidak mempermasalahkan masa lalunya.
“Kalau ini nggak berhasil?” tanya Dita takut.
“Ini akan berhasil,” kata Dimas dengan senyum menyakinkan.
“Kalau nggak berhasil?”
“Kemarin gue udah bilang, kan, nggak perlu memikirkan hal-hal yang berada di luar kendali kita. Salah satunya masa depan. Nggak ada yang tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Kita hanya perlu melakukan yang terbaik yang kita bisa untuk saat ini,” kata Dimas.
“Tetapi nanti bokap lo sama nyokap gue gimana? Mereka kan mau menikah sebentar lagi.” Dita masih ragu. “Apa mereka bakalan setuju dengan hubungan kita?”
Dimas meraih kedua tangan Dita dan menggenggamnya lembut. “Yang penting sekarang buat gue adalah keputusan lo. Lo mau jadi pacar gue?”
Dita bergeming.
“Apa gue perlu berlutut?” Dimas langsung mengambil posisi berlutut.
“Mas, apa-apaan sih,” kata Dita panik. Dia melihat ke kanan dan kiri. Malu apabila ada yang melihat. “Bangun, nggak!”
“Sebelum lo bilang iya, gue akan seperti ini terus.”
“Ya udah, gitu aja terus.” Dita menepis tangan Dimas.
Dimas tertawa. “Please, be my girlfriend, ya.”
Dita menarik napas panjang dan memejamkan matanya beberapa lama. Hatinya tidak seyakin itu. Dia tidak mau membuat keputusan gegabah dan menjadikan Dimas sebagai pelarian sementaranya.
“Gue akan bawa udang saus padang setiap hari ke kantor untuk makan siang lo,” bujuk Dimas.
Dita tersenyum kecil. Tentu menyenangkan bila dia bisa jatuh hati kepada Dimas. “Oke, tetapi gue nggak bisa menjanjikan apa-apa.”
Dimas bangkit dan membersihkan pasir di lututnya. Wajahnya semringah. “That’s all I ask.”
Dita ikut tersenyum. Semoga saja keputusannya sudah benar.
*****
“Maaf, Pak. Boleh saya tanya sesuatu?” tanya Arga ke satpam yang berjaga di sana.
“Iya, Pak.” Satpam itu tersenyum sopan. “Ada yang bisa saya bantu?”
“Saya mau tanya tentang salah satu penghuni di apartemen ini, namanya Bu Dita. Cinta Anandita. Apakah Bapak tahu?”
“Maaf dengan Bapak siapa kalau saya boleh tahu?”
“Saya Arga, Pak.”
“Bapak ada keperluan dengan Bu Dita?”
Arga mengangguk. Dia tidak bisa menghubungi Dita. Kemungkinan Dita sudah menge-blocked-nya. Rasanya sudah cukup Arga memberikan ruang bagi Dita selama satu pekan ini. Sekarang waktunya untuk berbicara dengan Dita dan menjelaskan semuanya. Dia tidak punya pilihan lain selain mendatangi apartemen Dita. Kemarin seharian dia di sini, menunggu di mobil. Memperhatikan setiap orang yang keluar masuk apartemen dari parkiran. Hasilnya nihil. Hari ini pun sama. Dia menunggu dari pagi sampai sore, tetapi Dita tidak memperlihatkan dirinya. “Saya pernah ke sini beberapa kali mengantar Bu Dita, mungkin Bapak ingat?” Arga ingin meyakinkan si satpam kalau dia bukan stalker yang berniat tidak baik terhadap Dita.
Pak Satpam memperhatikan Arga penuh selidik. “Mungkin Pak Arga bisa menelepon Bu Dita. Siapa tahu Bu Dita ada di kamarnya.”
“Sudah saya coba, tetapi teleponnya tidak aktif, Pak.”
“Setahu saya Bu Dita sedang tidak ada di tempat,” kata Satpam. Dia ingat malam itu Bu Dita keluar apartemen membawa koper. “Tetapi saya kurang tahu apakah sekarang Bu Dita sudah kembali atau belum, Pak.”
“Bapak tahu Bu Dita pergi ke mana?”
Pak Satpam menggeleng. Kalaupun dia tahu, dia tidak akan membagikan informasi itu begitu saja karena terkait privasi penghuni apartemen. “Maaf saya tidak tahu, Pak.”
Arga tersenyum sopan. “Baik, terima kasih, Pak.” Dia berlalu, lalu menarik napas masgul. Satu-satunya cara untuk bertemu dengan Dita adalah mendatangi kantornya. Besok dia akan ke sana.
Sesampainya di mobil, sebuah notifikasi pesan masuk ke ponselnya. Arga segera membukanya. Pesan dari Pak Kevin. Dahinya sedikit berkerut. Sudah lama dia tidak berkomunikasi dengan laki-laki itu karena selama ini Dita yang menangani proyek rumahnya. Perasaannya menjadi tidak enak.
Selamat sore, Pak Arga. Maaf mengganggu akhir pekan Bapak.
Saya ingin menginformasikan bahwa saya baru saja mengirim e-mail kepada Pak Arga terkait proyek rumah. Kami meminta maaf karena ada pergantian arsitek yang akan menangani proyek Pak Arga terkait persoalan internal kantor. Ke depannya proyek rumah Pak Arga akan di-handle oleh Pak Hadi Sasongko, beliau yang awalnya menangani proyek Pak Arga, tetapi berhalangan karena sakit.
Apabila ada yang perlu dibicarakan terkait pergantian tersebut, kami sangat terbuka, Pak. Nanti bisa kita jadwalkan waktu untuk bertemu dan membicarakan hal ini secara langsug.
Terima kasih untuk waktunya, Pak.
Selamat berakhir pekan.
Arga mengeluarkan napas berat. Dita benar-benar tidak ingin bertemu lagi dengannya. Dia mencari-cari nama kontak di ponselnya dan melakukan panggilan telepon.
“Halo, Maya. Aku perlu bantuan kamu,” kata Arga.
*****
BAB 27
“Tidur nyenyak tadi malam?” tanya Dimas.
Dita mengangguk. Meskipun kemarin mereka sampai di Jakarta malam hari, tetapi dia tidak merasa capek paginya. Malahan semangat untuk masuk kerja. Padahal Pak Bagas mengizinkannya cuti satu hari lagi kalau dia mau.
Pagi ini Dimas menjemputnya di rumah bundanya. Mereka sempat sarapan bersama sebelum berangkat ke kantor.
“Sesuai janji gue, hari ini gue bawain lo udang saus padang,” beri tahu Dimas.
Dita tersenyum. “Nggak harus, kok, Mas. Gue bosen juga tiap hari makan itu melulu.”
“Kalau lo bosen, tinggal bilang mau makan, entar gue bawain.”
Hati Dita menghangat dengan perlakuan manis Dimas. “Thanks, Mas.”
“Apa, sih, yang nggak buat pacar.” Dimas tersenyum lebar.
Refleks Dita memukul lengan Dimas. Tidak peduli laki-laki itu sedang meyetir. “Mas, apaan, sih. Geli tahu dengernya,” protesnya.
“Jangan galak-galak, entar jatuh cinta,” tambah Dimas.
“Dimas!” Dita makin sebal.
Dimas tertawa. “Canda, Dita. Canda.”
Dita merengut.
“Gitu aja ngambek.” Dimas mengelus kepala Dita yang berbalut kerudung hijau pupus.
Dita mengelak. Masih kesal.
“Hei, jangan marah, nanti tambah cantik.” Dimas meraih tangan Dita untuk membujuknya.
“Bukan mahram, nggak boleh pegang-pegang.” Dita menepis tangan Dimas.
“Kok kemarin boleh?”
“Kemarin kapan?”
“Itu pas kita di pantai?”
Dita mengingat-ingat. “Itu nggak sengaja.” Padahal kala itu dia sedang terbawa suasana saja. Saat Dimas memintanya menjadi pacarnya.
“Jadi kalau nggak sengaja boleh?” canda Dimas.
“Nggak tahu, ah.” Dita mengalihkan perhatiannya dan membuka podcast Cerita Tamara di ponsel.
“Sambungin ke audio aja,” kata Dimas saat melihat Dita membuka aplikasi podcast di ponselnya, lalu menyalakan audio mobil.
Tidak lama suara Tamara Lewinsky terdengar.
“Gini, deh. Sekarang gue tanya. Emang ada orang pacaran, tetapi nggak ngapa-ngapain?” tanya Tamara.
“Maksud ngapa-ngapain apa, nih? Entar gue salah tanggep, lagi,” canda tamunya.
Tamara tertawa. “Lo pernah pacaran, kan? Gue juga dulu pernah pacaran. Dan buat gue, pacaran tanpa sentuhan fisik itu hampir nggak mungkin. Ngaku, deh, lo.”
Tamunya ikut tertawa. “Okay, fair enough.”
“Maksud gue, kalo lo pacaran nggak ngapa-ngapain, terus ngapain pacaran,” kata Tamara. “Itu kenapa nggak ada yang namanya pacaran dalam Islam. Apalagi istilah pacaran islami. I mean, lo pacaran diawali dengan basmalah dan ditutup dengan hamdalah, gitu? Pacaran itu mendekati zina. Berdua-duaan, pegangan tangan, pelukan, ciuman, terus bablas. Apalagi cowok, dikasih hati minta jantung.”
“Wah, lo nggak bisa menyamakan semua cowok, dong,” protes sang tamu membela kaumnya.
“Oh, oke, jadi lo tahan pacaran 3 tahun pegangan tangan doang?”
Tamunya tertawa terbahak-bahak.
“Lo boleh kasih 101 alasan manfaat pacaran, tetapi pada akhirnya, pasangan lo yang sekarang itu bukan mahram lo. Jadi seharusnya berlaku adab terhadap lawan jenis. Nggak boleh ber-kholwat. Nggak boleh bersentuhan,” kata Tamara.
“Jadi kalau LDR boleh, dong,” kata tamunya.
“Ber-kholwat itu nggak mesti face to face, loh. Zaman sekarang kholwat-nya online. Sama aja,” kata Tamara.
“Tetapi, kan, mendingan. Nggak sentuhan fisik.”
“Gini, deh. Segala sesuatu itu, kan, tergantung niat. Seseorang akan mendapatkan apa yang dia niatkan,” kata Tamara. “Lo pacaran niatnya karena apa? Karena Allah? Kalau iya karena Allah, cara-cara yang ditempuh harus dengan jalan yang Allah rida. Yakin Allah rida dengan hamba-Nya yang mendekati zina?”
Dita mematikan podcast-nya dan berdeham. Suasana di mobil menjadi canggung.
*****
“Maya WA ngajak ketemuan malam ini,” beri tahu Dita ke Dimas saat mereka sedang makan siang di pantry.
“Terus gimana? Lo mau ketemuan malam ini?”
Dita menggeleng. “Bukannya malam ini kita mau makan malam di rumah nyokap gue?” Waktu sarapan bundanya memberi tahu kalau malam ini beliau mengundang Pak Bagas dan Dimas untuk makan malam di rumah.
Dimas memukul dahinya pelan. “Oh, iya. Kok bisa lupa,” katanya. “Terus lo jawab apa?”
“Gue bilang ada acara malam ini dan ketemuannya pas weekend aja,” balas Dita. “Tetapi Maya belum jawab, lagi nggak online.”
Dimas tersenyum. “Take your time. Kalau belum siap, tunda aja dulu.”
“Tetapi lo bilang lebih cepat lebih baik. Jadi gue nggak berprasangka sama Maya.”
“Nah, itu pinter.”
Dita memutar matanya. Dasar. “Gue salat duluan.” Dia membereskan kotak makanannya.
“Jamaah, ya.” Dimas buru-buru menyelesaikan makannya.
Dita bergumam, lalu berlalu. Dia ke toilet terlebih dahulu sebelum berwudu di tempat akhwat. Saat hendak masuk ke musala, dia dikagetkan oleh seseorang yang baru keluar dari sana. Tubuhnya langsung menegang. Dia terpaku beberapa lama dengan dada berdebar pelan. Hal yang ditakutkannya terjadi. Dia pernah memikirkan, andai bertemu dengan Arga, apa yang akan dilakukannya?
“Dita,” sapa Arga sopan.
Dita sama sekali tidak memiliki prediksi mereka akan bersemuka secepat ini. Dia tidak punya rencana cadangan. Dia bergeming. Lidahnya kelu. Dia yakin suaranya akan gemetar bila berbicara. Belum sempat dia membalas Arga, Dimas sudah berdiri di sampingnya. Dia bisa sedikit bernapas lega karena tidak harus menghadapi laki-laki itu seorang diri.
“Pak Arga,” sapa Dimas sopan. “Kebetulan sekali bertemu di sini.”
“Pak Dimas.” Arga menjabat tangan Dimas. “Saya ada perlu dengan Pak Kevin. Saya diberi tahu kalau Bu Dita tidak bisa menangani proyek rumah saya lagi.” Dia menoleh ke Dita. Masih tampak sisa-sisa keterkejutan di wajah perempuan itu.
“Iya, betul. Kebetulan Bu Dita harus mengerjakan proyek lain.” Dimas menekankan pada kata “harus”. “Saya yakin Pak Hadi bisa meneruskan proyek Pak Arga dengan baik.”
“Apakah saya bisa bicara sebentar dengan Bu Dita?” tanya Arga sopan ke Dita.
“Maaf, tidak bisa,” balas Dimas.
Arga menatap Dimas tidak suka. “Saya yakin Bu Dita bisa berbicara untuk dirinya sendiri.”
Dimas bergeser dan berdiri di antara Arga dan Dita. “Bu Dita sedang tidak ingin berbicara dengan Anda.” Dia mulai kehilangan sopan santunnya.
Dita membiarkan Dimas menangani situasi. Dia masih syok bertemu Arga di sini.
Beberapa lama Arga dan Dimas beradu pandang. “Dita, aku hanya minta lima menit.” Arga menanggalkan sikap formalnya.
“Pak Arga, kalau Anda memaksa, saya akan panggilkan sekuriti,” ancam Dimas.
Arga menarik napas. Dia harus menjaga sikap. Ini tempat umum, akan sangat memalukan apabila mereka bersitegang di sini.
“Pak Arga, sudah selesai salatnya?” Kevin menghampiri Arga. Dia menerima pesan dari Arga, mengatakan kalau laki-laki itu sudah sampai di kantor dan izin salat dulu.
“Sudah, Pak,” jawab Arga sopan.
“Baik, mari, Pak. Kita bicara di dalam saja,” kata Kevin.
Arga menoleh ke Dimas. “Saya permisi dulu, Pak Dimas.” Dia menjabat tangan Dimas, lalu menoleh ke Dita dan mengulurkan tangannya. “Bu Dita, saya duluan.”
Dita menatap tangan Arga yang terulur. “Ma-maaf, saya sudah wudu,” katanya sambil mengatupkan tangan di depan dada.
“Oh, maaf.” Arga langsung menarik tangannya. Mau tidak mau dia berlalu dari sana dan mengikuti Kevin.
“Are you okay?” tanya Dimas khawatir.
“No, but it’s okay. Cepat atau lambat gue sama dia pasti bakalan ketemu, kan?” kata Dita. “Lo udah wudu. Wudu dulu, gih. Gue duluan.” Dia mengalihkan perhatian dan masuk ke musala.
Pandangan Dimas mengikuti Dita. Dia menarik napas. Cemas dengan perempuan yang disayanginya itu.
*****
“Gimana, enak, nggak?” tanya Lastri ke Dimas saat mereka sedang menikmati makan malam. Dia membuat masakan gudeg lengkap. Selain gudeg ada opor ayam, telur pindang, sambal goreng krecek, dan tempe bacem.
“Semuanya enak, Bun. Aku mau dimasakin tiap hari sama Bunda,” canda Dimas.
“Maunya,” seloroh Dita yang duduk di samping Dimas.
“Bilang aja iri.” Dimas menyenggol bahu Dita dengan bahunya.
“Ih, siapa yang iri,” balas Dita.
Lastri tersenyum. “Boleh, nanti Bunda masakin, ya.”
“Bikin dua porsi sekalian, ya,” timpal Bagas.
“Papa nggak mau kalah,” canda Dimas.
Senyum lebar tercetak di wajah Dita. Semasa hidupnya dia tidak pernah merasakan kehangatan seperti ini di meja makan. Sejenak dia melupakan persoalannya dan menikmati kebersamaan bersama calon keluarga barunya.
“Dimas, Dita, ada yang ingin Papa sampaikan,” kata Bagas. Mereka sudah selesai santap malam dan sekarang pindah duduk di ruang tengah.
Dita menoleh ke bundanya yang duduk di sampingnya. Sepertinya ada hal penting yang ingin dibicarakan. Bundanya tersenyum penuh arti, membuat Dita penasaran.
“Jadi, kami sebenarnya sudah lama mendiskusikan hal ini, tetapi baru kami beri tahukan sekarang.” Bagas menatap Lastri sekilas. “Kami sepakat untuk membangun rumah baru untuk tempat tinggal kita nanti.”
Mata Dita melebar dengan mulut terbuka sedikit. “Serius?” Dia menoleh ke Dimas. Laki-laki itu sama kagetnya dengan dirinya.
Bagas mengangguk. “Rumah yang sekarang kurang representatif untuk keluarga kita nanti. Lokasi alhamdulillah sudah ketemu.” Dia menoleh ke Dita. “Papa tahu kamu tinggal di apartemen, tetapi tetap saja kami akan menyediakan kamar buat kamu di rumah baru nanti. Juga untuk Dimas.” Dia menoleh ke anaknya. “Dia ikut-ikutan kepingin tinggal di apartemen sama kayak kamu.”
Dimas tersenyum. “Biar Papa sama Bunda bisa bulan madu terus,” candanya.
“Jadi kalian setuju, kan, dengan rencana rumah baru?” tanya Bagas.
“Setuju-setuju aja, Pa.” Dia merangkul bundanya. “Asalkan Papa sama Bunda bahagia.”
“Fine with me,” sahut Dimas.
“Alhamdulillah,” kata Lastri.
“Pa, Bunda, aku juga ingin menyampaikan sesuatu,” kata Dimas. Dia menoleh ke Dita yang duduk agak berjauhan darinya.
Dita heran kenapa Dimas melihat ke arahnya. Tiba-tiba perasaannya menjadi tidak enak. Oh, tidak. Dimas tidak hendak mengumumkan tentang itu, kan? Dadanya berdebar pelan ketika melihat laki-laki itu bangkit dari duduknya dan berjalan menghampirinya.
“Dita.” Dimas berdiri di dekat perempuan itu dan mengulurkan tangannya.
Dita menelan ludahnya. Kenapa Dimas terburu-buru memberitahukan tentang hubungan mereka? Mau tidak mau dia meraih tangan Dimas dan ikut bangkit. Wajahnya tertunduk, tidak berani menatap bundanya.
“Aku mau ngasih tahu kalau aku sama Dita.” Dimas melirik kekasihnya itu sekilas. “Kami resmi pacaran.”
Dita menjengit sedikit saat mendengar kalimat itu keluar dari mulut Dimas. Terdengar aneh di pendengarannya.
“Apa?” Bagas kaget bukan kepalang. “Papa kira kamu sama Dita sahabatan.”
“Nggak ada yang salah dari sahabatan menjadi pacaran, kan?” bela Dimas.
“Tetapi ....” Lastri menatap cemas ke Bagas. “Kalian, kan, akan menjadi saudara tiri.”
“Iya, aku tahu, Bun, tetapi saudara tiri boleh menikah. Bukan mahram,” jelas Dimas.
Dita berubah was-was saat melihat perubahan air muka bundanya. Jelas sekali kalau bundanya tidak setuju.
“Aku sama Dita juga baru, kok,” tambah Dimas. “Kita nggak tahu ke depannya akan seperti apa, tetapi aku serius dengan Dita dan berharap kami bisa menikah nanti.”
Deg! Rencana Dimas sudah terlalu jauh. Dita bahkan tidak pernah membayangkan menikah dengan laki-laki di sampingnya itu. Dia hanya mengikuti arus saja. Menjalani hari demi hari dan melihat ke mana semua ini mengarah.
Lastri hendak mengatakan sesuatu, tetapi segera ditelannya. Dia menoleh ke Bagas. “Mas,” panggilnya gelisah.
“Kalian sudah memikirkan bagaimana reaksi dan pandangan orang-orang nanti?” tanya Bagas. “Papa tahu kalau agama membolehkan, tetapi kita hidup di tengah masyarakat yang judgemental. Bagaiman dengan Dita?”
Belum sempat Dimas menjawab, Lastri bangkit dan menghampiri Bagas. “Bisa kita bicara sebentar?” pintanya dengan nada mendesak.
Bagas menatap Lastri beberapa lama, lalu menarik napas. “Oke.”
“Kami perlu bicara sebentar,” kata Lastri ke Dita dan Dimas.
Dita langsung terduduk lemas ketika bundanya dan Pak Bagas berlalu. “Harus sekarang banget, ya, ngasih tahunya,” protesnya.
Dimas duduk di samping Dita. “Gue pikir situasinya pas. Bokap lagi membicarakan tentang rumah dan di mana kita tinggal nanti,” jelasnya.
“Gimana kalau gara-gara ini nyokap gue sama bokap lo nggak jadi nikah?”
“Loh, apa hubungannya?”
“Lo nggak dengar tadi bokap lo bilang apa? Bokap lo khwatir tentang pendapat orang-orang kalau misal nantinya kita jadi menikah,” kata Dita. “Bisa jadi mereka memilih mengalah dan menunda pernikahan mereka.”
Dimas menarik napas. “Sori, gue nggak kepikiran sampai ke sana.”
Dita dan Dimas menunggu selama beberapa lama. Mereka tidak bisa mendengar pembicaraan keduanya karena Lastri dan Bagas berbicara di kamar.
Dita menoleh saat mendengar langkah bundanya. Tidak tahu kenapa, tetapi dia menjadi deg-degan. Dari wajah bundanya, dia bisa menebak bahwa keadaannya sedang tidak baik-baik saja.
*****
BAB 28
Dita menatap bundanya dan Pak Bagas yang duduk berdampingan dengan gamang. Raut wajah keduanya tampak tegang. Hal ini membuat dada Dita berdebar pelan. Was-was dengan apa yang akan dikatakan oleh bundanya dan Pak Bagas.
Bagas berdeham. “Ada beberapa hal yang ingin kami sampaikan, Papa harap kalian mendengarkan sampai selesai. Bagaimana?”
Dimas dan Dita saling pandang dengan wajah heran. “Oke, Pa,” kata Dimas.
Bagas melirik Lastri sekilas. “Ini tentang Papa dan bunda kalian. Kami satu SMA, hanya beda angkatan. Waktu sekolah kami dekat karena sama-sama di OSIS. Setelah kuliah kami jarang berkomunikasi karena bunda kalian kuliah di Amerika sedangkan Papa di Yogya,” ceritanya. “Setelah menikah kami punya kehidupan masing-masing. Sampai akhirnya kami bertemu kembali saat reuni SMA di Jakarta. Dari sana kami mulai berkomunikasi kembali.
“Saat itu pernikahan bunda kalian sedang ada persoalan, rumah tangga Papa juga begitu, lalu kami sering sharing,” lanjut Bagas. “Kami merasa menemukan tempat berbagi dan teman yang bisa dipercaya. Kami menjadi terbawa perasaan dan ... bertindak terlalu jauh.”
Deg! Perasaan tidak nyaman menjalari hati Dita. Dia menatap bundanya yang dari tadi terus menunduk. Kapan hal ini terjadi?
“Terlalu jauh bagaimana?” tanya Dimas gamang. Dalam kepalanya, dia sudah memikirkan hal terburuk yang bisa terjadi. Dan dia berharap pikirannya salah.
“Kami sering bertemu dan ... menjadi sangat dekat,” jelas Bagas.
Segala sesuatunya menjadi jelas bagi Dita. Jadi Pak Bagas adalah laki-laki yang disebutkan oleh ayahnya setiap bertengkar dengan bundanya? Dia tahu bukan hanya ayahnya saja yang selingkuh, tetapi bundanya juga. Tetapi dia tidak menyangka kalau orang itu Pak Bagas. Bosnya sendiri.
Dita memperhatikan bundanya yang menyeka pipi. Bundanya menangis? Dia menoleh ke Dimas dan mendapati laki-laki itu tampak risau.
Dimas menoleh ke Dita sejenak, lalu mengembalikan pandangan ke papanya. Dia tidak tahu bagaimana harus menanggapi pengakuan papanya. Baginya laki-laki yang selingkuh adalah laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Perempuan yang bersedia dijadikan selingkuhan juga sama saja. Kenapa mau dijadikan simpanan. Pilihan kedua. Namun, mengetahui bahwa perempuan itu adalah bundanya Dita, dia benar-benar bingung. Bundanya Dita adalah wanita baik-baik di mata Dimas. Tidak terbayang kalau dulu bundanya Dita pernah menjadi pengganggu rumah tangga papa dan mamanya.
“Kami melakukan hal-hal yang seharusnya tidak kami lakukan,” kata Bagas. “Lalu Lastri hamil.”
Deg! Tubuh Dita menegang. Jantungnya bedetak lebih kencang. Bundanya hamil ... hamil dengan Pak Bagas? Dia tidak salah dengar, kan?
“Bunda hamil? Anak Papa?” tanya Dimas kalut.
Lastri menggigit bibirnya kuat-kuat agar isaknya tidak keluar. Wajahnya tertunduk pasrah. Perlahan buliran bening jatuh dari dagu, mengenai tangannya yang terjalin erat di pangkuan.
“Awalnya Papa nggak tahu karena bunda kalian nggak pernah memberi tahu. Saat Papa tahu, Papa minta bunda kalian untuk bercerai dan menikah dengan Papa. Papa waktu itu sudah berniat berpisah dengan mama kamu,” jelas Bagas sedih. “Tetapi bunda kalian tetap nggak mau. Dia tetap ingin mempertahankan pernikahannya.”
Air mata Dita menggenang. Dadanya terasa sesak. Dia tidak lagi mendengarkan perkataan Pak Bagas. Ini bohong, kan? Pak Bagas sedang mengarang cerita, kan?
“Dita,” panggil Bagas. “Papa minta maaf kamu harus mengetahui semuanya dengan cara seperti ini. Papa dan bunda kalian berniat menyimpan aib ini dari kamu karena nggak mau membuat kamu kecewa. Ini bukan salah kamu. Ini salah Papa dan bunda kalian.”
Dita bergeming. Dia membiarkan air matanya mengalir deras melewati dagunya.
“Dita, Sayang,” panggil Lastri menahan isak. “Bunda minta maaf, ya, Nak. Bunda salah. Waktu itu Bunda nggak ngerti dosa.” Lastri ingin mengungkapkan semua penyesalan yang disimpannya selama ini, tetapi dia tidak bisa menahan tangisnya. Dia menutup mulutnya dan tergugu-gugu.
Dimas tahu semuanya sudah lewat. Masa lalu tidak bisa diubah, tetapi tetap sakit rasanya mengetahui hal ini. Bagaimana bisa papanya bertindak sebejat itu dulu? Rasanya ingin marah, tetapi kepada siapa? Dia menoleh ke Dita dan hatinya seketika hancur. Perempuan yang disayanginya menangis tanpa suara. Dia merangkul Dita dan memeluknya erat. “It’s okay Dita. Bukan salah lo.”
“Aku mau sendiri dulu.” Dita beranjak dari duduknya. Dia mengabaikan panggilan bundanya dan Pak Bagas.
“Biar aku aja.” Dimas mengejar Dita.
*****
Dita duduk di kasur sambil memeluk bantalnya kuat-kuat dan menenggelamkan sebagian wajahnya di sana. “Please, gue pengin sendiri dulu.”
Dimas duduk di tepi tempat tidur. “Gue nggak bisa ninggalin lo sendirian.”
Dita menggeleng. “Gue lagi pengin sendiri,” ulangnya serak. “Please.”
Dimas menarik napas. “Kita perlu bicara.”
“Mau bicara apa lagi? Semua udah jelas, kan? Gue anak haram.” Dia adalah anak hasil perzinaan antara bundanya dengan Pak Bagas. Terbersit olehnya apakah ayahnya mengetahui hal tersebut?
“Don’t say that. Gue udah bilang, kan, ini bukan salah lo. Ini salah mereka,” bela Dimas.
“Tetapi tetap aja.” Dita menyeka pipi dan hidungnya yang basah dengan bantal.
Dimas tertawa sedih. “Tadinya gue pikir nyokap lo sama bokap gue nggak setuju karena takut dengan omongan orang. Ternyata ....” Dia menatap Dita. “Kita saudara seayah.”
Dita balas menatap Dimas. Benar, mereka saudara seayah. Kalau begitu status mereka mahram, tidak boleh menikah satu sama lain. “Apa benar gue anak bokap lo? Gue nggak merasa pernah tes DNA atau semacamnya. Bisa jadi gue anak Ayah, kan?”
Dimas mengangkat bahunya. Dia juga tidak tahu.
Dita memeluk bantal dan menatap kosong ke depan. Apakah ini yang menjadi penyebab ayahnya mengabaikannya? Ayahnya tahu kalau dia bukan anak kandungnya. Melainkan anak hasil selingkuhan bundanya dengan Pak Bagas.
“Hei, jangan dipikirin.” Dimas duduk di samping Dita.
“Lo enak ngomong begitu karena bukan lo yang anak di luar nikah,” sergah Dita. Air matanya kembali menggenang.
“Lo pikir gue nggak syok?” balas Dimas. “Padahal gue berencana nikah sama lo, tetapi, sekarang kandas.”
“Mikirnya malah ke sana,” kata Dita kesal.
“Apa gue perlu tes DNA, ya, untuk ngebuktiin kalau bokap gue benaran bokap kandung gue,” kata Dimas. “Siapa tahu bukan. Secara orang tua gue dulu sama-sama selingkuh.”
Dita memukul bahu Dimas. “Gila lo!”
“Canda, Dit. Canda.” Dimas mengusap bahunya. Sakit juga.
Suasana hati Dita berubah dari sedih menjadi sebal. “Udah keluar sana.” Dia menarik selimut dan membaringkan tubuhnya.
“Gue temenin, ya. Entar lo nangis lagi,” kata Dimas.
“Nggak. Udah mangkel gue gara-gara lo.”
Dimas tersenyum. “Kalau butuh apa-apa, telepon gue, ya. Jangan mikir yang aneh-aneh. Besok pagi gue ke sini lagi.”
Dita mengabaikan Dimas dan pura-pura tidur.
“Dit. Lo denger gue, kan?” Dimas melihat kedua mata Dita terpejam. “Dita.” Dia menggoyang-goyangkan kaki Dita pelan.
Dita menggumam.
“Jawab dulu,” kata Dimas.
“Iya,” jawabnya tanpa membuka mata.
“Good night.” Dimas keluar kamar.
Tidak lama Dita mendengar pintu ditutup. Dia menoleh ke arah pintu. Dimas sudah pergi. Dia mengunci pintu, lalu tidur kembali. Sayangnya, dia tidak bisa tidur. Matanya terpejam, tetapi pikirannya terjaga. Dia terbayang kembali pertengkaran kedua orang tuanya. Tatapan pedih ayahnya saat melihatnya. Perdebatan dirinya dengan ayahnya. Semuanya karena dirinya. Seketika hatinya menjadi sedih. Perlahan air matanya kembali mengalir.
*****
Dita masih terjaga. Sejak dua jam yang lalu dia mencari-cari artikel dan video di internet tentang anak hasil zina atau di luar pernikahan di laptopnya. Dia baru tahu betapa mengerikan azab yang Allah berikan kepada laki-laki dan perempuan yang melakukan zina.
“Dalam Islam, bagi pelaku zina yang belum menikah dan baru melakukannya untuk pertama kali, maka hukumannya dicambuk 100 kali dan diasingkan selama satu tahun,” kata Ustaz. “Bagi pelaku zina yang sudah pernah menikah atau sedang menikah maka hukumannya adalah rajam. Dilempari batu sampai mati.”
Dita seketika bergedik ngeri.
“Pertama dibuat lubang seukuran tubuh orang yang akan dirajam, lalu mereka dimasukkan ke lubang tersebut sebatas dada sehingga tertinggal bagian kepalanya saja. Setelahnya mereka dilempari oleh batu berukuran sedang sampai mati,” lanjut Ustaz. “Kenapa dilempari batu berukuran sedang, kenapa tidak batu berukuran besar saja sehingga mereka bisa langsung mati?
“Menurut para ulama, alasan memakai batu berukuran sedang agar orang yang dirajam merasakan kesakitan di setiap sel saraf tubuhnya sebagaimana dia merasakan kenikmatan saat melakukan zina. Karena dosa yang mendapatkan kenikmatan di setiap aliran darahnya adalah zina,” tambah Ustaz. “Hukuman bagi pezina sebesar dan seberat itu karena tidak ada kenikmatan yang Allah murkai kecuali kenikmatan yang diperoleh seorang hamba karena zina.
“Berbeda dengan hukuman kisas yang disembunyikan pelaksanaannya, maka untuk rajam tidak boleh ditutup. Semua harus menyaksikan agar mereka tahu betapa mengerikannya hukuman bagi pezina. Agar mereka berpikir ratusan bahkan ribuan kali saat hendak melakukan dosa zina.
“Dan satu lagi, jangan biarkan rasa kasihan membuat kita terhalang dari menegakkan hukum Allah,” kata Ustaz. “Namun, bukan berarti kita main hakim sendiri karena hukum ini hanya boleh dilakukan oleh amirul mukminin, pemimpin atau khalifah muslim.”
Dita membuka video lain.
“Seorang anak yang lahir di luar nikah, maka dia tidak bisa dinisbahkan kepada ayahnya. Nasabnya mengikuti ibunya dan dia tidak berhak mendapatkan waris dari ayahnya. Apabila anaknya perempuan maka ayahnya tidak berhak menjadi wali nikah saat dia menikah nanti.” jelas Ustazah. “Bukan itu saja, anak hasil zina akan mendapat cap jelek di masyarakat dan menghubung-hubungkan dirinya dengan perbuatan zina orang tuanya. Na’udzubillahi mindzalik.”
Dita menarik napas. Air matanya kembali mengalir. Betapa berat ya Allah dosa ini. Dan sekarang dia harus menanggung aib yang dilakukan bundanya dan Pak Bagas. Dari hasil membaca beberapa artikel, Dita tahu kalau dirinya tidak bersalah. Dia tidak memikul dosa karena bukan dia yang melakukan zina. Dia tidak memiliki hak untuk memilih dari orang tua siapa dilahirkan dan dengan cara seperti apa. Semua takdir Allah. Setiap bayi yang lahir adalah suci. Namun, tetap saja, dia merasa hina karena lahir dari perbuatan zina.
“Imam Syafi’i pernah ditanya kenapa hukuman bagi pezina begitu berat. Beliau menjawab dengan wajah memerah bahwa zina adalah dosa yang bala akibatnya mengenai semesta keluarganya, tetangganya, keturunannya hingga tikus di rumahnya dan semut di liangnya,” kata Ustaz. “Dosa zina selalu disebutkan setelah dosa membunuh atau dosa syirik. Sebesar itulah dosa zina.
“Sekarang zina sudah dianggap sebagai tren dan hal biasa. Sah-sah saja melakukan zina bagi mereka yang pacaran dan sama-sama mau. Zina seringkali datang dari cinta dan cinta selalu membuat kita iba. Dan setan datang untuk membuat kita lebih mengasihi manusia daripada mencintai-Nya. Na’udzubillahi mindzalik. Jaga diri kita dan anak keturunan kita dari dosa zina.”
*****
“Mau ke mana?” tanya Lastri ketika melihat Dita sudah berpakaian rapi dan membawa koper. Dia sedang di dapur menyiapkan sarapan saat Dita melewati ruang makan.
Dita membawa kopernya ke ruang depan, tidak mengacuhkan bundanya.
“Dita.” Lastri menghampiri anaknya. “Kenapa bawa koper segala?”
“Aku mau tinggal di apartemen aja, Bun. Aku berangkat dulu.”
“Tetapi ini baru jam enam. Bukannya Dimas mau ke sini pagi ini? Kalian nggak berangkat bareng?” tanya Lastri heran.
Dita menggeleng. “Aku udah pesan taksi online.” Mobil Dita masih di apartemen. Dia belum sempat membawa mobilnya ke sini.
“Kamu mau berangkat sekarang? Sarapan dulu, Dita,” kata Lastri. “Bunda juga udah bikinin bekal makan siang.”
“Sarapan di kantor aja, Bun. Makan siang aku bisa beli, nanti.”
Dari luar terdengar suara klakson mobil.
“Itu taksinya udah datang. Aku pergi dulu.” Dia menyeret kopernya ke luar.
“Dita.” Lastri mencegah anaknya pergi. “Bunda tahu kamu marah sama Bunda, tetapi lari dari persoalan bukan jawabannya.” Semalam dia mengetuk pintu kamar Dita, tetapi tidak ada jawaban. Dia sampai tidak bisa tidur memikirkan keadaan anaknya. Pastinya Dita sedih, marah, dan kecewa kepadanya.
Dita memaksakan senyuman. “Kita ngobrol lagi nanti, ya, Bun,” elaknya.
Lastri memeluk anaknya erat. “Bunda minta maaf, ya, Sayang. Bunda minta maaf,” isaknya. “Sampai kapan pun kamu adalah anak kesayangan Bunda. Kamu harus ingat itu. Kamu nggak salah apa-apa. Bunda yang salah. Kalau mau marah sama Bunda, marah aja. Lebih baik melihat kamu marah sama Bunda daripada kamu mendiamkan Bunda.”
Hati Dita menjadi sedih. Dia sayang kepadanya bundanya. Dia hanya perlu waktu menerima semua ini. “Aku pergi dulu, Bun.” Dia melepas rangkulan bundanya dan masuk ke mobil.
“Sudah semua, Bu?” tanya sopir setelah memasukkan koper ke bagasi.
“Sudah, Pak.” Dita melambai singkat kepada bundanya saat mobil berjalan. Setelah mobil berjalan beberapa lama, dia berubah pikiran. “Pak, maaf, saya bisa mengubah tujuan saya?” tanyanya ke sopir.
*****
Dita membaca sekali lagi surat yang diketiknya di laptop. Dia menarik napas panjang. Galau. Haruskan dia mengambil sikap sejauh ini? Perhatiannya teralih saat ponselnya berbunyi. Dia sudah bisa menebak siapa yang menelepon. Pasti Dimas. Sejak dia di taksi tadi Dimas sudah meneleponnya menanyakan kenapa pergi tanpa dirinya. Dita menebak bundanya yang memberi tahu laki-laki itu perihal kepergiannya pagi-pagi sekali dari rumah. Dita mengatakan kalau dia ingin pulang ke apartemen terlebih dahulu untuk menaruh barang-barangnya. Dimas tidak mengatakan banyak hal, laki-laki itu memintanya untuk memberi tahu bila sudah sampai di apartemen. Sayangnya dia tidak pulang ke apartemen. Dita memutuskan singgah di sebuah kafe sebelum kembali ke apartemennya.
Dita mengabaikan panggilan Dimas. Dia membuka akun e-mail dan mengirimkan surat yang baru diketiknya ke bosnya. Surat pengunduran dirinya.
*****
BAB 29
Dita terlalu meremehkan Dimas. Seharusnya dia tahu kalau laki-laki itu persisten. Dia sengaja kembali ke apartemen menjelang siang dengan harapan Dimas tidak lagi menunggunya di apartemen. Ternyata dia keliru.
“Lo dari mana aja? Kita semua khawatir,” kata Dimas. Dia menunggu di lobi apartemen semenjak pukul tujuh pagi. Ketika Bunda Lastri memberitahukan kalau Dita pergi dari rumah membawa koper, dia langsung bersiap-siap dan menuju apartemen Dita.
“Sarapan,” jawab Dita asal. Dia menyeret kopernya ke lift.
“Seenggaknya lo bisa, kan, jawab telepon gue.” Dimas mengikuti Dita dan mengambil koper dari tangan perempuan itu. “Biar gue aja.”
Dita membiarkan Dimas naik lift bersamanya. Saat sampai di depan pintu apartemen, Dita membuka kunci dan masuk.
“Gue belum sarapan,” kata Dimas saat menaruh koper di dekat meja makan.
Dita membawa kopernya ke kamar. “Gue nggak beli apa-apa.”
Dimas berinisiatif memeriksa isi kulkas. Tidak ada yang bisa dia makan. “Lo punya mi instan?”
Dita keluar kamar dan menghampiri Dimas. “Ada kali, gue nggak inget.” Dia mengecek lemari tempat menyimpan belanjaan. Masih ada tiga lagi. Dia mengambil satu dan menyerahkannya ke Dimas. “Bikin sendiri.” Dia mengeloyor ke ruang televisi.
“Tadi ke mana aja, jam segini baru nyampe?” tanya Dimas sambil mengisi panci dengan air untuk memasak.
“Sarapan.” Dita mengulang jawaban yang diberikannya ke Dimas sebelumnya.
“Sarapan aja?”
Dita menggumam, lalu menyalakan televisi sebagai pengalih perhatian. Tidak lama Dimas selesai memasak. Laki-laki itu membawa mangkuk berisi mi rebus dan duduk di sampingnya. “Jangan makan di sini. Makan di meja makan,” protes Dita. Dia tidak mau sofanya kotor terkena tumpahan kuah mi.
“Elah, gue hati-hati, kok,” balas Dimas.
Dita tetap tidak membolehkan, akhirnya Dimas mengalah dan makan di meja makan. “Udah balas WA Bunda?” tanya Dimas.
Dita tidak menjawab. Dia belum membuka-buka semua pesan di WhatsApp.
“Balas, dong, Dit. Kasihan Bunda,” kata Dimas.
“Iya, nanti gue balas.”
Dimas makan dengan cepat, membereskan meja, lalu menghampiri Dita dan duduk di sebelahnya. “Ini apa?” Dia menunjukkan sebuah surel di layar ponselnya.
Dita melihat sekilas. “Surat resign.”
“Iya, gue tahu, tetapi maksudnya apa? Lo mau berhenti kerja cuma karena persoalan kemarin?”
Dita tidak menjawab. Dia malah mengganti-ganti saluran televisi.
Dimas mengambil remote dari tangan Dita dan mematikan televisi.
“Mas, apaan, sih,” protes Dita.
“Lo nggak bisa kayak gini terus. Setiap ada persoalan, lo selalu menghindar,” kata Dimas. “Resign nggak akan menyelesaikan persoalan. Gue yakin bokap juga nggak akan menerima permintaan resign lo.”
Dita memeluk bantal kecil dan mengabaikan Dimas. Laki-laki itu benar, tetapi dia tidak mau mengakuinya. Dia hanya ingin menyendiri sementara waktu.
“Jadi apa rencana lo sekarang?” tanya Dimas.
“Nggak tahu.”
“Gimana kalau sore ini kita ke rumah nyokap lo dan lo minta maaf sama Bunda,” kata Dimas.
Dita menautkan alisnya dan menoleh ke Dimas. “Maksud lo? Gue nggak salah apa-apa, kenapa harus minta maaf.”
Dimas tersenyum sedih. “Lo udah bikin nyokap lo sedih. Lo sengaja nggak jawab telepon Bunda dan nggak balas chat-nya juga,” katanya. “Iya, gue tahu lo marah dengan keadaan, tetapi bukan berarti lo bisa seenaknya aja. Bunda tetap nyokap lo. Kewajiban lo tetap berbakti sama Bunda.”
Dita mengalihkan pandangannya. Masih belum menerima kekhilafannya.
“Nyokap lo sama bokap gue udah menyesali perbuatan mereka dulu. Mereka udah tobat, Dit. Lo liat sendiri, kan, gimana nyokap lo membesarkan komunitas ‘Bunda Hijrah’ dan membantu orang lain untuk hijrah juga,” kata Dimas. “Lo juga tahu gimana nyokap lo royal banget dalam bersedekah, bahkan acara seminar kemarin juga dananya dari kantung nyokap lo sendiri.”
Dita menoleh ke Dimas. Benarkah?
“Gue juga tahu info itu dari bokap gue,” tambah Dimas. Dia memberi jeda. “It’s all in the past, Dit. Lo mau nangis seminggu penuh juga nggak akan mengubah takdir yang sudah terjadi.”
Dita tahu itu. Dia hanya syok dan butuh waktu.
“Kenapa nggak menerima aja, sih, Dit. Akan lebih baik buat diri lo sendiri. Hati lo nggak akan merasa sakit lagi kalo lo menerima semua ini dengan lapang dada,” kata Dimas. “Maafin, deh, kesalahan nyokap lo yang lalu. Lo pikir cuma lo yang sakit? Gue yakin nyokap lo lebih sakit lagi karena dia dan bokap gue yang melakukan dosanya. Nyokap lo pasti sekarang sedang menyesali semua perbuatan buruknya dulu. Menyesal karena masa lalunya membuat lo harus menanggung akibatnya.”
Air mata Dita menggenang. Hatinya sekejap merasa terenyuh.
“Halo, Bun,” salam Dimas.
Dita seketika menoleh ke Dimas dengan pandangan kaget. Ternyata laki-laki itu menelepon bundanya.
“Iya, Dita udah di apartemen.” Dimas menyalakan pengeras suara di ponselnya agar Dita bisa mendengar suara bundanya.
“Alhamdulillah. Alhamdulillah, ya Allah,” isak Lastri. “Bunda udah takut banget. Dita belum balas WA Bunda. Telepon Bunda juga nggak diangkat. Dita baik-baik aja, kan? Dia nggak kenapa-kenapa, kan?”
“Dita baik-baik aja, Bun. Tadi dia nyari sarapan dulu sebelum pulang ke apartemen.” Dimas melirik Dita yang tengah menatapkan lekat.
“Alhamdulillah. Tolong jagain Dita, ya, Mas. Nggak apa-apa kalau Dita belum mau ketemu Bunda, Bunda ngerti kok. Dia butuh waktu untuk ....” Kalimat Lastri terputus karena tidak kuat menahan tangis. Dia terisak beberapa lama. “To-tolong bilang ke Dita, Bunda minta maaf.” Jeda beberapa lama. “Tolong bilang Bunda sayang sama dia. Bunda nggak pernah menyesal memiliki dia. Bunda bukan ibu yang baik, tetapi Bunda mencoba memperbaiki semua itu sekarang. Semoga saja belum terlambat, ya, Mas.”
Dita mengatupkan bibirnya dan menahan tangis. Air matanya sudah membasahi pipinya. Hatinya pilu. Dia merasa sudah menjadi anak yang durhaka. Pengorbanan bundanya. Kebaikan bundanya. Kasih sayang bundanya. Perih yang dirasakan bundanya saat mengandung, melahirkan, menyusui, dan membesarkannya. Semua hal baik tentang bundanya hilang dari hati dan pikirannya karena aib di masa lalu.
“Insya Allah nggak, Bun. Aku yakin Dita hanya perlu waktu sebentar. Aku yakin, kok, Dita sayang sama Bunda,” kata Dimas. “Bunda sabar sebentar lagi, ya. Nanti aku bujuk Dita untuk ketemu sama Bunda.”
“Jangan dipaksa, Mas. Bunda insya Allah akan menunggu sampai kapan pun,” isak Lastri. “Sejak kecil Dita sudah banyak bersabar dan mengalah dengan bunda dan ayahnya. Bunda dulu kurang memperhatikan Dita. Bunda nggak menjalankan tugas seorang ibu yang baik.” Dia kembali menangis. “Semoga Allah mengampuni dosa-dosa Bunda ke Dita, ya Mas.”
Air mata Dita semakin deras mengalir. Dia membenamkan wajahnya di bantal.
“Insya Allah, Bun. Bunda sekarang sudah jadi ibu yang baik untuk Dita. Dan sebentar lagi Bunda juga bakalan jadi ibu yang baik buat aku,” kata Dimas.
“Amin, insya Allah, Mas.”
Setelahnya Dimas berpamitan dan menutup sambungan. Dia melihat Dita masih menangis dengan bahu terguncang. Hatinya menjadi iba. Dia merangkul Dita lembut dan membiarkannya menangis.
*****
“Lo nggak ke kantor?” tanya Dita saat melihat Dimas masih berada di apartemennya. Dia tidur sebentar karena lelah sehabis menangis dan baru bangun menjelang asar.
“Kerjaan kantor bisa gue kerjain di sini.” Dimas menoleh sekejap ke Dita dan melanjutkan pekerjaan di laptopnya.
Dita menghampiri Dimas yang sedang bekerja di meja makan, lalu duduk di hadapannya. “Udah makan?”
Dimas mengangguk. “Tadi gue pesan sup ayam. Itu ada di panci.” Dia memberikan gestur dengan dagunya. “Kalau mau makan tinggal dipanasin aja. Gue juga beli nasi tadi, ada di dapur.”
Dita ke dapur dan menyiapkan makanan untuknya. Perutnya lapar karena belum makan siang. Beberapa menit kemudian dia membawa piring berisi makanan ke meja makan.
“Tadi bokap nanyaian kabar lo,” kata Dimas ketika Dita duduk di hadapannya.
“Oya?” Dita mulai makan.
“Kata bokap, lo boleh cuti selama yang lo mau dan masuk lagi setelah lo siap.”
“Mas, lo nggak marah atau kecewa sama bokap lo? Atau lo nggak marah sama nyokap gue? Gara-gara nyokap gue pernikahan nyokap sama bokap lo berantakan.” Dita penasaran dengan isi hati Dimas. Laki-laki tampak tenang menghadapi semuanya.
Dimas tersenyum pedih. “Been there, done that. Apa perlu gue ceritain udah ngapain aja gue dulu?”
“Apa?” tanya Dita penasaran.
Dimas tertawa. “Oke, gue kasih tahu sedikit aja, ya. Dulu waktu SD gue sering bolos, kena setrap, skors, langganan guru BK, merokok, dan pacaran.”
Mata Dita melebar. “Benaran?”
“Itu waktu SD, bayangin pas gue SMP dan SMA.”
“Oke, cukup, gue nggak mau dengar,” kata Dita. Nafsu makannya menjadi hilang karena curhat Dimas. “Terus, kapan lo mulai berubah?”
“Waktu gue gabung sama teman-teman band pas SMA. Dari sana mata gue baru terbuka. Ternyata banyak teman-teman gue yang hidupnya lebih parah dari gue, tetapi mereka enjoy their life,” cerita Dimas. “Let it go. Semua akan berlalu. Terima masa lalu lo. Hidup lo ke depan tergantung dari pilihan yang lo ambil sekarang. Hidup ini tentang reaksi dan pilihan yang lo ambil terhadap persoalan yang menimpa lo. Dan banyak kalimat motivasi lain yang mereka kasih ke gue. Dari sana gue mulai memandang persoalan melalui cara pandang berbeda.”
Dita akui dia takjub dengan kedewasaan Dimas menerima semua persoalan yang datang kepadanya.
“Hidup itu pilihan. Gue pernah dengar ceramah seorang ustaz. Dia bilang kita nggak akan diminta pertanggungjawaban atas takdir yang menimpa kita, karena takdir itu ketetapan Allah,” kata Dimas. “Tetapi kita akan diminta pertanggungjawaban terhadap pilihan yang kita ambil atas takdir yang menimpa kita.”
Dita mengerutkan keninganya. “Gimana?”
“Bingung, ya?” Dimas tertawa. “Pokoknya gitu, deh.”
Dita termenung. Sebenarnya tadi sebelum tidur dia sempat mendengarkan podcast Tamara tentang berbakti kepada orang tua.
“Berbakti kepada ayah dan ibu bukan hanya di saat senang, tetapi juga di saat susah,” kata Tamara. “Beberapa dari kita Allah uji diberikan orang tua yang belum baik, tetapi, hal tersebut tidak membatalkan kewajiban kita untuk tetap berbakti kepada mereka. Jangan sampai kebencian kita terhadap mereka membuat kita menjadi anak durhaka.
“Di dalam Al-Qur’an beberapa kali Allah menyuruh kita untuk berbuat baik kepada kedua orang tua. Bahkan dalam sebuah hadis riwayat Bukhari dan Muslim, ketika seorang sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah, amalan apa yang paling Allah cintai. Maka Rasul menjawab salat lima waktu. Lalu apa lagi, tanya Ibnu Mas’ud. Rasul menjawab birrul walidain. Lalu apa lagi, tanya Ibnu Mas’ud. Rasul menjawab jihad fisabilillah.
“Sudah jelas betapa kedudukan birrul walidain atau berbakti kepada orang tua ini sangat tinggi. Jangan sampai satu, dua, tiga, atau seribu khilaf orang tua membuat kita sebagai anak berhenti berbakti kepada mereka, selama apa yang mereka kerjakan tidak bertentangan dengan syariat Islam,” lanjut Tamara. “Apabila mereka melakukan maksiat maka yang kita benci adalah perbuatannya. Sebagai anak kita harus membantu mereka kembali kepada jalan Allah yang lurus. Perlakukan kedua orang tua dengan baik karena mereka adalah pintu surga bagi kita.”
Kata-kata Tamara menohok hati Dita. Dia menyesal sudah membuat bundanya bersedih hati. Dia merasa menjadi anak yang tidak berbakti. Dia berencana untuk segera meminta maaf kepada bundanya.
“Mas. Habis Asar temani gue ke rumah Bunda, ya,” kata Dita.
Dimas kaget sekaligus senang. “Sure.”
*****
“Turun, Dit,” kata Dimas.
Dita masih terpaku di jok mobil. Dia bahkan belum membuka sabuk pengamannya padahal Dimas sudah mematikan mesin mobil. Hatinya ketar-ketir tidak keruan. Dia cemas hendak bertemu bundanya.
“Dit, ayo turun. Kita udah lima menit, loh, di mobil,” tambah Dimas.
Dita menatap rumahnya dengan pandangan ragu.
“Apa perlu gue panggil Bunda?”
“Jangan,” cegah Dita. Dia menarik napas sekali lagi sebelum memberanikan turun. Saat berada di garasi, dia melihat bundanya berdiri di teras, menunggu dengan wajah tegang. Dita berhenti sesaat. Dia memegang lengan Dimas untuk mendapat kekuatan.
“It’s okay. It’s gonna be fine,” bisik Dimas.
“Assalamualaikum, Bun,” salam Dimas.
“Wa’alaikumussalam,” jawab Lastri haru.
Dimas mendorong Dita sedikit sehingga berdiri di hadapan bundanya.
Lastri merentangkan tangannya. Serta merta Dita merangkul bundanya.
“Maafin Dita, ya, Bun,” kata Dita di sela isaknya. Dia mempererat pelukannya seolah hidupnya bergantung kepadanya.
*****
Dita tidak tahu berapa lama dia menangis di pelukan bundanya. Pipinya basah sampai mengenai kerudung bundanya. Masih dalam keadaan terisak dia masuk ke rumah. Bundanya membawanya ke ruang tengah dan mereka duduk di sofa. Dia menenangkan diri, lalu bundanya memberinya minum.
“Udah jangan nangis lagi,” kata Lastri. Padahal dirinya sendiri juga masih sedih.
Dita mengambil tisu dan mengelap wajahnya.
“Kamu udah makan?” tanya Lastri. “Mau Bunda bikinin apa?”
Dita menggeleng. “Udah makan, kok, Bun. Bunda udah makan?” Gantian dia bertanya.
Lastri tersentuh dengan perhatian anaknya. “Udah,” katanya. Sebenarnya dia belum makan sejak pagi karena cemas memikirkan keadaan Dita. Hanya minum teh saja tadi pagi.
“Kok muka Bunda pucat?” Dita memegang tangan bundanya. “Tangan Bunda juga dingin. Bunda makan dulu, ya.”
Lastri mengangguk. “Temani Bunda, ya.”
Dita mengikuti bundanya ke ruang makan, lalu duduk. “Dimas ke mana, Bun?” Dia melihat ke sekeliling dan tidak melihat sahabatnya itu. Oh, Dimas bukan sahabatnya lagi, tetapi saudara laki-lakinya.
“Tadi katanya mau ke kantor sebentar karena ada janji sama supplier,” jawab Lastri.
“Oh.” Kenapa Dimas tidak bilang kepadanya.
“Dimas baik, ya?” Lastri mengambil makroni panggang di kulkas dan menghangatkannya di microwave.
“Iya.”
“Kalian baik-baik saja, kan?” tanya Lastri hati-hati. “Maksud Bunda ... kalian kan sebelumnya sangat dekat.”
Dita tersenyum. “Aku sama Dimas baik-baik aja, kok, Bun.”
“Syukurlah kalau kalian baik-baik saja. Soalnya Dimas kelihatan banget sayang sama kamu.” Lastri mengeluarkan makroni dari microwave dan mengambil dua piring kecil.
Dita tertegun. Sesungguhnya dia tidak tahu bagaimana perasaan Dimas terhadap dirinya sekarang. Dia melihat laki-laki itu tegar mengetahui fakta bahwa bundanya dan papanya selingkuh sampai hamil dirinya. Apakah Dimas masih mencintainya seperti seorang laki-laki mencintai seorang perempuan?
*****
BAB 30
Rasanya sudah lama Dita tidak salat berjamaah dengan bundanya. Dia kangen mendengar lantunan ayat suci yang dibacakan bundanya saat salat. Bacaan bundanya merdu di telinganya. Apalagi bundanya sudah belajar tahsin Al-Qur’an. Pas makhraj huruf hijaiah dan tajwidnya.
“Aku jadi malu hafalan Al-Qur’annya masih itu-itu aja,” kata Dita selesai salat sunah setelah Magrib. “Pengin belajar tahsin kayak Bunda.”
“Masya Allah. Boleh, ada kok kelas Sabtu dan Ahad,” kata Lastri senang.
“Belajar sama Bunda aja.”
“Ilmu Bunda belum cukup untuk mengajar. Lebih baik belajar langsung sama ahlinya,” balas Lastri. “Nanti Bunda temani.”
Dita tersenyum senang. Kesibukannya memang menyita waktu, tetapi dia ingin belajar membaca Al-Qur’an dengan baik. Malu, kan, kalah sama anak-anak sekarang yang hafalan Al-Qur’annya sudah banyak. Sudah sebesar ini, tetapi dia belum menamatkan juz 30.
“Dita.” Lastri mendekat ke arah anaknya. “Ada yang Bunda ingin ceritakan ke kamu.” Dia memberi jeda. “Bunda pikir kamu perlu tahu tentang hal ini. Ini tentang ayah kamu.”
Deg! Dadanya langsung berdebar pelan. “Ayah kenapa, Bun?” tanya Dita penasaran.
Lastri menarik napas. “Dulu Bunda mengira ayahmu selingkuh dari Bunda. Ternyata nggak. Justru ayahmu sudah menikah lebih dulu dengan perempuan itu sebelum menikah dengan Bunda. Mereka menikah siri,” cerita Lastri.
“Apa?” Dita tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Bundanya tidak pernah menceritakan detail tentang pernikahan ayahnya dengan perempuan itu. Dia juga tidak bertanya banyak karena tidak mau membuat bundanya mengingat hal yang menyakitkan. “Terus kenapa Ayah menikahi Bunda?”
“Keluarga ayahmu nggak setuju dengan pernikahan siri itu, mereka ingin memiliki menantu yang setara dengan mereka. Akhirnya mereka menjodohkan ayahmu dengan Bunda,” jelas Lastri. “Bunda nggak tahu pasti kenapa ayahmu setuju menikah dengan Bunda karena dia nggak pernah cerita.”
“Terus?” Dita semakin penasaran.
“Akhirnya, ketika Bunda mengetahui perselingkuhan ayahmu dengan perempuan itu, baru ayahmu cerita kalau sebenarnya dia sudah menikah siri dengan Sekar sebelum menikah dengan Bunda.” Lastri memberi jeda. “Bunda marah dan meminta ayahmu menceraikan Sekar, tetapi ayahmu nggak mau. Malah ayahmu menyuruh Bunda menggugat cerai saja kalau Bunda nggak suka.”
Dita tertegun. Ternyata banyak hal yang tidak diketahuinya tentang rumah tangga orang tuanya.
“Bunda jelas nggak mau bercerai. Aib bagi keluarga kami kalau sampai bercerai,” lanjut Lastri. “Dari sana kami mulai sering bertengkar dan ... Bunda mulai dekat dengan papanya Dimas. Sampai akhirnya Bunda hamil.”
Dita meraih tangan bundanya lembut. Dia harus menerima semua masa lalu bundanya yang buruk. Bundanya yang sekarang adalah orang yang berbeda. Bundanya sudah tobat dan istikamah dalam menjalankan syariat agama.
Lastri menarik napas. “Bunda tahu cepat atau lambat ayahmu akan mengetahui kehamilan itu. Saat ayahmu tahu, dia langsung tidak mengakui kalau janin yang ada di kandungan Bunda adalah anaknya karena kami sudah pisah kamar sejak lama. Bunda waktu itu memohon agar ayahmu nggak membongkar rahasia ini ke kelurga besar,” lanjutnya. "Akhirnya ayahmu membuat kesepakatan. Dia akan mengakui anak yang sedang Bunda kandung sebagai anaknya, asalkan Bunda mengizinkannya untuk menikahi Sekar secara sah di mata hukum. Ayahmu juga meminta Bunda untuk tidak lagi mencampuri urusannya dengan Sekar.”
Dita menatap bundanya pilu. Hatinya sedih saat melihat air mata bundanya mengalir.
“Bisa jadi ayahmu bukan ayah yang baik, tetapi dia sudah menolong Bunda menjaga rahasia ini. Sampai sekarang nggak ada yang tahu kalau kamu bukan anak kandung ayahmu. Sampai kapan pun Bunda berterima kasih kepada ayahmu karena sudah menjaga aib Bunda,” lanjut Lastri sambil menyeka pipinya.
Dita teremenung. Di balik ketidakpedulian ayahnya, ternyata ayahnya sudah menjaga harga dirinya di depan keluarga besar mereka. Tidak ada yang memberinya label anak haram atau anak hasil zina. Dia memang tidak mendapat cukup kasih sayang dari ayahnya, tetapi tentu akan lebih mengenaskan lagi apabila dia harus menanggung aib sejak kecil.
“Bunda minta maaf baru menceritakan ini sekarang,” sesal Lastri. “Beberapa kali Bunda ingin cerita, tetapi maju mundur. Bunda belum memiliki keberanian untuk membuka semuanya.”
Dita menepuk-nepuk punggung tangan bundanya lembut. “Nggak apa-apa, Bun.” Dia tahu tidak mudah bagi bundanya membagikan kisah masa lalu yang menyakitkan. “Bunda nggak pernah lagi mencari tahu tentang keluarga Ibu Sekar?” tanyanya penasaran.
Lastri menggeleng. “Bunda takut kalau ayahmu tahu, jadi Bunda nggak pernah lagi cari tahu tentang mereka. Terakhir Bunda bertemu Sekar waktu ayahmu meninggal.”
Dita ingat malam itu. Jadi, bundanya tidak tahu kalau Sekar dan ayahnya punya anak laki-laki bernama Arga? “Bun, aku juga mau cerita sesuatu,” katanya. “Bunda ingat waktu itu malam-malam aku menginap di rumah Bunda dan setelahnya aku liburan ke Bali bersama Dimas?”
Lastri mengangguk. Dia tahu Dita sedang ada persoalan, tetapi tidak mau memaksa anaknya bercerita. Dia lebih suka Dita berinisiatif curhat.
“Aku bertemu dengan perempuan itu, Bun. Ibu Sekar dan anaknya,” kata Dita.
*****
Kali ini Dita bercerita apa adanya. Dia tidak menutup-nutupi lagi. Dia menceritakan awal bertemu Arga saat SMA sampai dia bertemu dengan ibunya Arga.
“Kamu yakin kalau itu benaran Sekar?” tanya Lastri memastikan.
Dita mengangguk. “Aku pernah melihat dia sekali waktu ayah meninggal. Terus aku juga lihat foto mereka bertiga. Arga, ibunya Arga, dan Ayah.”
“Terus mereka bilang apa ke kamu? Arga cerita kenapa dia membawa kamu bertemu ibunya?” Lastri sudah lama mengubur masa lalu suaminya, tetapi penasaran juga.
Dita menggeleng. “Arga bilang dia ingin menjelaskan semuanya ke aku, tetapi aku nggak mau mendengarkan. Kami belum sempat bicara lagi.”
“Kamu nggak kepingin tahu apa yang mau dibicarakan oleh Arga?”
Setelah mengetahui cerita sebenarnya tentang kisah antaranya bundanya, ayahnya, dan Sekar, jujur rasa penasaran Dita tergelitik.
“Arga nggak pernah menghubungi kamu lagi?” tanya Lastri.
“Aku nggak pernah balas, Bun,” kata Dita. “Lagipula aku sudah blocked dia.”
“Kalau kamu nggak mau, ya, nggak apa-apa. Nggak usah dipaksakan,” kata Lastri.
“Nanti aku pikir-pikir dulu, Bun,” balas Dita.
*****
“Kamu nggak menginap di sini saja?” bujuk Lastri. Dia kepingin bersama dengan anaknya sedikit lebih lama. Dia merasa lebih dekat dengan Dita dari sebelumnya.
“Insya Allah weekend aku ke sini, Bun,” kata Dita.
“Ya udah, hati-hati di jalan.” Dia menoleh ke Dimas. “Jangan ngebut, Mas.”
“Jam segini mana bisa ngebut, Bun,” balas Dimas.
Lastri tersenyum. Sekarang jalanan masih ramai.
“Pulang dulu, Bun.” Dita mencium tangan bundanya, lalu berpamitan.
“Thanks, ya,” kata Dita kepada Dimas saat mereka sudah berada di mobil. “Padahal gue bisa pulang naik taksi online.”
“Nggak gratis, Dit. Minimal sushi all I can eat,” canda Dimas.
“Dasar! Tahu gitu mending naik taksi online.”
Dimas tertawa. “Nggak, lah. Masa tega gue ngebiarin lo pulang sendirian naik taksi online.”
Dita terenyuh dengan perhatian Dimas. “Mas, are you okay with us?” tanyanya.
“Maksud lo?” Dimas belum paham.
“Maksud gue ... kita, kan, sekarang kakak adik benaran.” Usia mereka terpaut beberapa bulan. Dia lahir lebih dulu dari Dimas.
Dimas menarik napas. “Nggak mudah untuk mengubah perasaan gue ke lo,” akunya. “I have this feeling for you since we’re in college.”
“Mungkin lo bingung aja. Rasa sayang lo ke gue itu sebenarnya rasa ingin melindungi,” kata Dita.
“Gue tahu apa yang gue rasakan, Dit. I love you. Seperti cinta seorang laki-laki kepada seorang perempuan.”
Dita terdiam. Dia merasa bersalah kepada Dimas. “I’m sorry.”
“Bukan salah lo. Emang bukan takdir gue aja,” kata Dimas. “Lo nggak perlu khawatir. I can handle it.”
Dita menyentuh punggung tangan Dimas lembut. “Mas, lo tahu, kan, gue sayang sama lo. Lo bisa cerita apa aja ke gue. Jangan dihadapi sendiri. Gantian gue yang bantu lo kali ini.”
Dimas tersenyum. “Siap, Bu.”
Dita memukul lengan Dimas. Dasar. Padahal dia sedang serius, malah dibalas bercanda. Namun, mau tidak mau dia tersenyum ketika laki-laki itu mengaduh sakit. Dimas selalu mencairkan suasana agar berubah santai.
“Gimana perasaan lo sekarang, setelah ngobrol sama Bunda?” tanya Dimas.
“Lebih baik,” jawab Dita. “Gue jadi tahu apa yang Bunda rasakan dulu.”
“So everything is good?”
Dita mengangguk. Hanya saja ada yang mengganjal dalam pikirannya.
“Kenapa?” tanya Dimas.
Dita menoleh. “Eh, kenapa?”
“Kok muka lo kayak nggak yakin gitu?”
“Kepikiran sesuatu aja.”
“Kepikiran apa?”
Dita menatap Dimas ragu. “Sebagai anak di luar nikah, nasab gue ikut ke nyokap dan bokap lo nggak bisa jadi wali nikah gue.” Hatinya seketika menjadi galau. “Emang, sih, gue belum mau menikah dalam waktu dekat. Cuma kepikiran aja. Orang-orang nanti bakal tahu kalau gue ... ya gitu deh.”
Dimas menarik napas. “Gue yakin ada cara yang bisa kita usahakan supaya orang-orang nggak tahu yang sebenarnya,” katanya. “Kita bisa konsultasikan hal ini ke ahli fikih.”
Dita tersenyum sedih.
“Hei.” Dimas mengusap pelan kepala Dita. “Jangan terlalu dipikirin. Ini semua bukan salah lo dan kita semua akan menjaga agar tidak ada orang lain yang tahu.”
“Thanks, Mas.” Dita tidak mau memperpanjang. Dia tidak ingin menambah beban pikiran Dimas.
“Nggak usah parkir. Berhenti di depan aja,” kata Dita ketika mereka sampai di apartemen.
“Nggak apa-apa,” kata Dimas.
“Udah malam, Mas. Gue tinggal masuk doang.” Dita kekeuh. “Lagian nyari parkiran jam segini susah.”
“Benaran?”
“Iya, nggak apa-apa.”
Dimas mengalah. Dia memberhentikan mobilnya di dekat menara apartemen Dita.
“Gue jemput besok, ya,” kata Dimas, lalu membuka sabuk pengamannya agar bisa lebih leluasa.
“Oke.” Dita membuka sabuk pengamannya. “Hati-hati di jalan, kalau mengantuk berhenti dulu.”
“Yes, Mam,” canda Dimas.
Dita menatap Dimas sambil tersenyum. Saat hendak turun, Dimas mencegahnya. Dita menoleh. “Kenapa?”
Dimas menatap Dita beberapa lama. “Can I get a hug?”
Dita tertegun beberapa saat.
“Sorry, lupain aja,” kata Dimas.
“Sure,” kata Dita. Dia mendekatkan dirinya ke Dimas dan memeluk laki-laki itu.
Dimas sedikit kaget, tetapi langsung menguasai diri dan membalas rangkulan Dita.
“Makasih udah selalu ada buat gue, Mas,” kata Dita haru. “Gue akan selalu ada buat lo.”
“I know,” balas Dimas. Matanya berkaca-kaca saat mengucapkannya.
*****
Dimas tidak langsung pergi. Lebih dulu dia memastikan Dita masuk ke pintu menuju lobi. Setelahnya dia menarik napas lega. Masih terasa hangat pelukan Dita barusan. Dia tahu status mereka sekarang adalah suadara seayah, meskipun ayahnya belum menikahi bundanya Dita. Namun, dari beberapa artikel yang dia baca, status mereka tetap mahram. Artinya dia tidak bisa menikahi Dita.
Dimas menatap ke depan dengan pandangan kosong. Tidak mudah menghilangkan rasa cinta yang dia punya untuk Dita. Dia mencintai perempuan itu. Bukan cinta antara saudara, tetapi cinta yang disertai dengan nafsu syahwat. Namun, mau tidak mau dia harus mengendalikan dirinya.
Dimas menyalakan mobilnya. Apa yang dirasakannya tidak penting. Paling penting saat ini adalah Dita. Dia ingin perempuan itu bisa melalui semua ujian ini dengan baik. Dia rela mengorbankan perasaannya agar Dita merasa aman saat bersamanya.
Saat hendak melajukan kendaraan, ponselnya berdering. Dia pikir Dita, ternyata Bunda. Dia mengangkatnya.
“Lagi di mana, Mas?” tanya Lastri setelah menjawab salam Dimas.
“Masih di parkiran apartemen Dita, Bun. Dita barusan aja turun. Kenapa, Bun?”
“Alhamdulillah,” balas Lastri. “Mas, Bunda boleh bicara sebentar?”
“Boleh, Bun.” Dimas menjadi penasaran.
*****
Dita baru saja selesai mandi dan hendak bersiap tidur saat sebuah notifkasi pesan masuk ke ponselnya. Pesan dari Maya.
Maya: Assalamu’alaikum. Dit, weekend ini jadi, kan?
Dita: Wa’alaikumussalam. Insya Allah jadi.
Setelah beberapa lama Dita berubah pikiran.
Dita: May, kalau besok habis pulang kerja gimana? Lo bisa?
Dita menunggu selama beberapa lama.
Maya: Insya Allah bisa.
Dita: Oke, sampai ketemu besok.
Dita menarik napas. Lebih cepat lebih baik. Dia belajar dari pengalaman. Semakin cepat persoalan diselesaikan, maka hatinya akan menjadi lebih tenang.
*****
BAB 31
Dita bukan orang yang kepo dengan urusan orang lain. Apalagi menyangkut proyek yang sedang dikerjakan rekan-rekannya. Namun, dia penasaran dengan perkembangan proyek rumah Arga.
"Sudah sampai mana proyeknya?" tanya Dita ke Hadi.
"Baru pondasi," jawab Hadi.
"Oh. Lo udah ketemu sama Pak Arga?"
"Udah, waktu itu dia ke sini. Ketemuan bertiga sama Pak Kevin."
Dita mengangguk. Waktu itu dia juga bertemu dengan Arga. "Dia nggak keberatan, kan, ganti arsitek?"
"Nggak, sih. Kita nggak bahas masalah itu," jelas Hadi. "Pak Kevin langsung ngenalin gue ke Pak Arga dan kita langsung bahas perkembangan proyek."
Baguslah, pikir Dita. Entah kenapa, setelah tahu kalau dia bukan anak kandung ayahnya, Dita memikirkan kemungkinan kalau dirinya dan Arga memiliki peluang untuk bersama. Namun, akan terasa janggal karena dalam pandangan keluarga besarnya dirinya dan Arga adalah saudara seayah. Dita memukul keningnya pelan. Kenapa jadi berpikir ke arah sana, sih? Dia terlalu percaya diri menganggap Arga mencintainya. Laki-laki itu peduli padanya karena dia pikir mereka memiliki hubungan darah. Hanya itu. Bukan bentuk cinta yang lain.
"Udah selesai?" tanya Dita saat melihat Dimas masuk ke ruangan. Barusan Dimas menemui Pak Bagas untuk membahas desain.
"Iya," jawab Dimas datar.
"Kenapa, banyak revisi, ya?" tanya Dita ketika melihat wajah kusut Dimas.
"Lumayan," kata Dimas.
"Entar gue bantu," kata Dita. "Kerjaan gue udah mau kelar, kok."
Dimas tersenyum kecil. "It's okay."
"Dita," panggil Bagas.
Dita menoleh ke arah pintu tempat Pak Bagas berdiri. "Iya, Pak."
"Bisa ke ruangan saya sebentar?"
Dita segera beranjak. "Iya, Pak." Dia mengikuti Pak Bagas ke ruangannya.
"Duduk, Dita," kata Bagas. Setelah Dita duduk, dia menatap anaknya beberapa lama. "Sore ini bisa temani saya ketemu klien?"
"Sore ini, Pak?" Dita teringat janjinya dengan Maya.
"Iya, kenapa, kamu sudah ada janji lain?"
"Eh, nggak, Pak. Insya Allah bisa." Dia bisa ketemuan dengan Maya setelahnya.
"Kalau kamu ada keperluan lain, saya bisa menjadwal ulang."
"Nggak ada, Pak."
"Oke, habis salat Asar kita berangkat, ya. Pakai mobil saya saja."
"Maaf, Pak, kalau saya naik mobil sendiri saja, boleh?" tanya Dita hati-hati.
Bagas berpikir beberapa lama. "Oke, nggak apa-apa."
"Baik, Pak." Dita tersenyum senang. "Apa ada lagi yang lain, Pak?" tanyanya setelah beberapa lama. Bosnya dari tadi diam saja.
"Itu saja," kata Bagas.
"Baik, saya permisi, Pak." Dita bangkit dari duduknya.
"Dita," panggil Bagas.
Dita langsung duduk kembali. "Iya, Pak."
Bagas menatap Dita lekat. "Kamu baik-baik saja, kan?"
Dita tidak terlalu paham maksud pertanyaan bosnya. Apakah Pak Bagas menanyakan tentang kabarnya setelah berita mengejutkan beberapa hari yang lalu? Dia dan Pak Bagas memang belum membicarakan hal itu lagi karena belum ada kesempatan. Rasanya kurang pantas membahas persoalan pribadi di kantor. Lagipula dia yakin Dimas sudah memberitahu papanya tentang dirinya yang sudah berdamai dengan bundanya. "Saya baik-baik saja, Pak."
"Kalau kamu marah dengan saya, it's okay. Saya tahu saya salah," kata Bagas. Dia tahu kurang pantas membicarakan hal ini di kantor, tetapi sejak lama dia ingin mengatakan ini ke Dita.
Dita menjadi gugup. "Eh, sa-saya ...."
"Sebentar." Bagas beranjak, menutup pintu, lalu kembali duduk. "Saya ingin menjelaskan sesuatu. Saya pikir kamu perlu tahu yang terjadi."
Dita menelan ludahnya. "Baik, Pak."
*****
Dita mendengarkan cerita Pak Bagas dengan saksama. Bosnya itu mengatakan kalau saat bundanya hamil, dia sedang mengerjakan proyek di luar kota sehingga tidak tahu tentang kehamilan bundanya. Bundanya juga tidak cerita kalau sedang hamil. Setelah proyek selesai, Pak Bagas terbang ke Jakarta untuk menemui bundanya. Bosnya itu sama sekali tidak tahu kalau saat itu bundanya tengah hamil karena tidak terlihat tanda-tandanya.
Setelah pertemuan itu bundanya sedikit menjauh dari Pak Bagas. Bundanya bilang dia ingin kembali memperbaiki pernikahannya. Bosnya waktu itu membujuk bundanya untuk mempertahankan hubungan mereka karena dia sudah jatuh cinta dengan bundanya. Namun, bundanya tidak mau. Selanjutnya komunikasi mereka semakin berkurang.
Sampai setelah kandungan bundanya masuk trimester akhir, mereka bertemu tanpa sengaja di sebuah mal. Pak Bagas sedang meeting dengan kliennya di Jakarta. Bosnya itu kaget ketika tahu bundanya tengah hamil besar. Bundanya sama sekali tidak pernah memberitahukan perihal kehamilannya.
Pak Bagas bicara empat mata dengan bundanya dan menanyakan apakah anak yang dikandung bundanya adalah anaknya. Bundanya terus mengelak. Bosnya mengatakan akan melakukan tes DNA setelah anak itu lahir. Dia sangat yakin kalau itu adalah anaknya. Akhirnya bundanya mengakui kalau itu adalah anak Pak Bagas. Bosnya itu senang bukan main. Dia memaksa bundanya untuk bercerai dengan ayahnya dan menikah dengannya. Bundanya langsung menolak karena tidak ingin membuat kehebohan di keluarga besarnya.
"Setelah kamu lahir, Lastri tidak pernah membiarkan saya dekat dengan kamu," cerita Bagas. "Saya nggak tahu apakah setiap hadiah yang saya belikan saat ulang tahun kamu dia berikan ke kamu."
Dita tidak ingat. Dia memang menerima hadiah setiap ulang tahunnya, tetapi tidak tahu apakah di antara hadiah itu terselip milik Pak Bagas.
"Saya nggak tahu kamu sukanya apa, jadi saya belikan hadiah yang saya suka," kata Bagas sambil tersenyum. "Waktu itu saya belikan kamu krayon dan buku mewarnai. Lalu cat air dan buku sketsa. Perlengkapan melukis. Buku-buku yang berkaitan dengan melukis dan gambar bangunan."
Dada Dita menjadi sesak. Dia pernah menerima hadiah-hadiah yang disebutkan Pak Bagas barusan. Apakah benar hadiah yang dia terima itu dari bosnya?
"Setelah berpisah dengan mamanya Dimas saya memutuskan untuk pindah ke Jakarta dan mendirikan biro arsitek bersama Kevin. Saya berharap suatu hari nanti bisa bertemu langsung dengan kamu," lanjutnya. "Doa saya terkabul. Saya tidak menyangka kalau kamu satu kampus dengan Dimas. Bahkan setelahnya kamu bekerja di biro ini. Saya bersyukur bisa bertemu dengan kamu setiap harinya."
Tanpa sadar air mata Dita menetes.
"Saya tahu apa yang saya lakukan dulu salah, tetapi saya ingin memperbaikinya. Kalau kamu mau memberikan kesempatan, saya akan menjadi ayah yang bertanggung jawab," tambahnya. "Saya akan melakukan apa pun untuk mendapat maaf dari kamu. Apa yang saya lakukan dulu tidak sebanding dengan akibat yang harus kamu tanggung. Saya sangat sangat menyesal."
Dita menunduk dan menyeka pipinya.
"Kalau kamu butuh ruang dan waktu, saya akan memberikannya. Kamu mau cuti selama yang kamu mau, silakan. Kamu bisa kembali lagi kapan pun saat kamu siap," kata Bagas. "Harapan saya cuma satu. Kita bisa kumpul sebagai satu keluarga. Saya, kamu, bunda kamu, dan Dimas."
Dita menarik napas panjang. Bingung bagaimana harus menanggapinya.
"Kamu nggak perlu mengatakan apa pun," kata Bagas. Dia paham Dita masih belum siap. "Kamu masih mau bertemu dengan saya saja, saya sudah bersyukur."
Dita tersenyum. "Terima kasih sudah menceritakan semua ini ke saya, Pak."
"Baiklah, saya nggak mau menyita waktu kamu lebih banyak lagi."
Dita beranjak berdiri.
"Nanti sore bisa, kan?" tanya Bagas lagi.
"Bisa, Pak."
"Kenapa kamu tidak mau naik mobil saya?" tanya Bagas random. Dia penasaran.
"Eh, itu ... saya ada janji dengan teman, Pak. Rencananya habis ketemu klien langsung ketemuan dengan teman saya," jelas Dita.
"Oh," kata Bagas lega. Dia sudah berpikir jauh dan mengira Dita merasa tidak nyaman bersamanya. "Oke. Nanti saya kirimkan lokasinya ke kamu."
Dita pamit dan keluar. Dia bernapas lega sudah membicarakan hal ini dengan Pak Bagas. Dia berharap setelah ini semuanya akan membaik.
*****
"Sori, gue telat banget, ya?" Maya menghampiri Dita dengan wajah menyesal.
"Nggak apa-apa," kaat Dita. Dia sudah menunggu selama satu jam lebih. Mereka janjian pukul tujuh dan sahabatnya itu baru datang pukul delapan.
"Soriii," kata Maya menyesal. Dia duduk di hadapan Dita.
"Lo udah makan? Pesan dulu, gih."
"Nanti aja."
"Nanti perut lo sakit kalau terlambat makan." Dita melambaikan tangan, memanggil pramusaji. "Mau pesan apa?" tanyanya ke Maya. "Tadi aku makan curry ramennya enak."
"Oke itu aja. Sama ocha," kata Maya.
"Sama siapa ke sini?" tanya Dita setelah selesai memesan.
"Sendiri, naik motor," jawab Maya.
Dita tersenyum. "Nggak apa-apa, kan, makan di sini. Sekali-kali ganti suasana." Dia sengaja mencari tempat yang tidak terlalu ramai agar bisa leluasa bercerita.
"Nggak apa-apa," balas Maya. "Gimana, gue udah nggak sabar, nih, pengin dengar cerita lo pas ketemuan sama ibunya Arga."
"Ibunya Arga baik. Kita ngobrol banyak. Dia cerita tentang usaha kuenya," kata Dita sambil memperhatikan perubahan raut Maya. Hanya beberapa saat, tetapi dia tahu sahabatnya itu kelihatan tidak mempercayai ceritanya.
"Jadi semua berjalan lancar?" tanya Maya.
Dita mengangguk. Tidak lama pesanan Maya datang. "Makan dulu," kata Dita.
"May, gue boleh tanya sesuatu?" tanya Dita ketika sahabatnya itu tengah makan. Dadanya berdebar pelan. Perasaannya campur aduk antara gentar dan penasaran.
"Boleh."
"Bos lo yang di proyek, namanya siapa?"
Maya tersenyum. "Kenapa emangnya?"
"Pengin tahu aja." Dita menjaga agar suaranya tidak bergetar.
"Ada deh, nggak penting juga, Dit. Lo nggak kenal sama dia." Maya melanjutkan makannya.
"Bos lu ... bukan Arga, kan?" Jantung Dita semakin berdetak kencang. Tangan di pangkuannya sedikit gemetar.
Maya terbatuk. Dia minum sedikit. "Bukanlah, kan gue udah pernah bilang."
Here we go. Dita menarik napas panjang sebelum mengungkapkan faktanya. "Gue lihat lo sama Arga di Gandaria. Malam itu. Waktu lo bilang lagi makan malam bareng teman kantor."
Maya menghentikan makannya. Dia kaget setengah mati. Bukannya malam itu Dita bilang mereka akan makan di tempat biasa? "Lo salah lihat, kali," elaknya gugup.
"Gue nggak mungkin salah mengenali lo sama Arga, May. Dimas juga lihat, kok. Lo mau tanya sama dia?" Dita mengambil ponselnya di meja.
"Nggak perlu." Maya sudah ketahuan. "Gu-gue bisa jelasin."
Dita tersenyum sedih. Apakah ini akhir dari persahabatannya dengan Maya?
*****
Dita berusaha mengedepankan asas praduga tidak bersalah. Dia ingat perkataan Dimas. Dengarkan dulu penjelasan Maya. Sahabatnya itu pasti memiliki alasan yang kuat untuk tidak menceritakan hal ini kepadanya. Mereka sudah bersahabat lama. Tidak mungkin Maya melakukan hal buruk terhadapnya.
"Sebelum cerita, gue mau lo tahu kalau gue nggak pernah bermaksud jahat ke lo atau Dimas," kata Maya gamang. "Kalian adalah sahabat terbaik yang pernah gue punya. Nggak mungkin gue sengaja merusak apa yang selama ini gue jaga."
Dita tidak menanggapi. Sekarang giliran Maya yang menjelaskan.
Maya menarik napas. "Iya betul. Malam itu gue makan malam bersama teman kantor gue, termasuk Arga. Gue sama Arga kerja di perusahaan yang sama. Kami juga satu proyek, hanya saja beda divisi. Gue Sipil, dia ME," jelasnya. "Tetapi bukan Arga orang yang sering gue sebut sebagai bos ganteng. Benaran ada orang lain lagi. Namanya Pak Lukman. Dia juga teman SMA Arga. Mungkin lo kenal."
Dita kenal dengan Lukman. Ternyata dia orang yang dimaksud Maya. Namun, dia tidak mau hilang fokus. Sekarang mereka tengah membahas Arga dan Maya. "Berarti pas gue kenalin Arga ke lo waktu itu, sebenarnya lo sama dia udah saling kenal?" potong Dita.
Maya mengangguk.
Dita mendengkus. Artinya Maya dan Arga berakting di depannya. Bagus sekali. Pasti dia tampak seperti orang bodoh waktu itu. "Kenpa lo nggak cerita ke gue, May? Apa tujuan lo menyembunyikan ini semua dari gue?" Air matanya menggenang.
Maya terdiam beberapa lama, lalu menatap Dita. "Gue akan jujur sama lo. Gue akan ceritain semuanya." Dia tahu pengakuannya ini akan berakibat buruk bagi persahabatan mereka. Bisa jadi setelah ini Dita tidak mau lagi berhubungan dengannya.
Dita menunggu Maya mengatakan yang sesungguhnya terjadi.
*****
BAB 32
Dita mengira dia tidak akan mendapatkan kejutan yang lebih dahsyat lagi setelah pengakuan bundanya dan Pak Bagas. Namun, dia salah. Maya membawa satu rahasia lagi kepadanya.
"Gue udah kenal lama sama Arga. Dia sepupu gue," kata Maya.
Deg! Mata Dita seketika melebar dengan mulut terbuka. "Sepupu?" Dia tidak salah dengar, kan?
Maya mengangguk.
Dita masih belum memercayai informasi yang barusan diberikan sahabatnya. Maya dan Arga sepupuan? Dia sama sekali tidak pernah membayangkannya. Kalau mereka sepupuan, seberapa dekat hubungan keduanya. Apakah Maya mengetahui kalau ibunya Arga adalah istri kedua ayahnya? Apakah Maya tahu kalau ayahnya juga ayahnya Arga? Well, secara teknis seperti itu. Dita menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Apakah Maya mengetahui semuanya? Kalau iya, sejak kapan? Begitu banyak pertanyaan berkecamuk di kepalanya.
"Arga yang minta gue merahasiakan semua ini," jelas Maya. "Awalnya dia kepingin ngasih tahu sendiri ke lo. Makanya dia ngajak lo untuk ketemuan dengan ibunya, tetapi sepertinya nggak berjalan sesuai rencana."
"Jadi lo tahu tentang nyokapnya Arga dan bokap gue?"
Maya menatap heran. "Nyokapnya Arga dan bokap lo? Maksudnya?"
"Lo tahu kalau mereka menikah."
Maya tertegun beberapa lama. "Dita, bukan nyokap Arga yang nikah sama bokap lo, tetapi nyokap gue."
Kali ini Dita benar-benar tidak bisa berkata-kata. Berapa banyak lagi rahasia yang dia tidak ketahui?
*****
Dita membaringkan tubuhnya di kasur. Rasanya seluruh tubuhnya remuk redam. Tenaganya habis. Kepalanya penuh. Hari ini sangat melelahkan. Lebih-lebih lagi psikisnya. Terlalu banyak informasi yang diterimanya. Membuatnya pusing.
"Gue baru tahu kalau bokap punya istri selain nyokap gue itu pas SMA."
"Gue hancur. Bokap yang selama ini jadi panutan gue ternyata mengkhianati cinta nyokap gue."
"Setelah nyokap menceritakan yang sebenarnya dari awal, gue mulai bisa menerima."
"Diam-diam gue mencari tahu tentang lo dan nyokap lo."
"Gue nggak nyangka bisa satu kampus sama lo. Jujur pertama kali kita ketemu gue nggak suka sama lo. Meskipun gue tahu kalau semua ini bukan salah lo, tetapi tetap aja gue nggak suka."
"Setelah bokap meninggal, gue banyak introspeksi diri dan belajar menerima takdir yang sudah Allah gariskan. Dari sana gue mulai membuka diri dan berteman sama lo."
"Ibunya Arga namanya Seruni, dia kakak nyokap gue. Mereka beda satu tahun 2 bulan. Banyak yang bilang kalau wajah mereka mirip, bahkan sering dibilang kembar."
"Foto yang lo lihat itu foto sewaktu Arga lulus SMA. Lo tahu, kan, bokapnya Arga sudah meninggal. Jadi bokap gue menggantikan bokapnya Arga dan mereka berfoto bersama."
"Sebenarnya nyokap gue bukan di Aceh, tetapi di Karawang. Gue sengaja membuat cerita itu supaya lo sama Dimas nggak nanyain nyokap gue melulu."
Dita menutup matanya dengan bantal. Kepalanya terasa mau pecah.
"Arga nggak mau menyimpan rahasia ini lebih lama lagi. Dia bilang nggak baik untuk kita berdua. Menurut dia, lo berhak tahu yang sebenarnya," jelas Maya.
"Hanya itu alasannya?" tanya Dita penasaran. Dia berharap Arga memiliki alasan lain yang lebih pribadi.
Maya mengangkat bahu. "Lo harus tanya sendiri ke dia."
Dita belum memiliki keberanian untuk menanyakan langsung ke Arga. Dia melihat jam dinding. Sudah hampir pukul sebelas. Dia memaksakan tubuhnya untuk duduk. Dia harus bersih-bersih dan salat Isya dulu sebelum tidur. Ketika hendak bangkit, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Maya.
Maya: Gue lega akhirnya bisa cerita semuanya ke lo. Gue berharap ke depannya kita nggak saling menjauh. Gue senang bisa punya saudara perempuan. Dari dulu gue selalu berharap punya seseorang yang bisa gue ajak berbagi.
Maya: Gue tahu berat buat lo mengetahui kebenaran ini, tetapi gue harap lo nggak menganggap ini sebagai sesuatu yang buruk. Sudah takdir kita mempunyai ayah yang sama.
Dita tidak tahu apa yang harus ditulisnya. Dia memilih meletakkan ponselnya dan berencana membalasnya besok.
*****
"Sebentar." Dita mengambil bergonya dan bergegas menuju pintu. Dia melihat melalui door viewer untuk memastikan kalau yang datang adalah Dimas. Setelahnya dia membuka pintu.
"Assalamu'alaikum," salam Dimas.
"Wa'alaikumussalam." Dita melihat wajah Dimas tampak lelah. Tidak seperti biasanya. "Masuk, Mas." Dita menuju kulkas, mengeluarkan roti kopi yang dibelinya kemarin di mal, lalu menghangatkannya di microwave.
"Sori pagi-pagi ke sini," kata Dimas. Dia menuju ruang makan dan duduk.
"Nggak apa-apa." Sehabis subuh Dimas meneleponnya dan mengatakan akan ke apartemennya pagi ini. Namun, Dita tidak menyangka sepagi ini. Dia saja belum mandi. Satu menit berlalu. Dia mengeluarkan roti dari microwave dan meletakkannya di meja makan. Aroma kopi memenuhi apartemennya. "Mau kopi atau teh?" tawarnya ke Dimas.
"Kopi aja," jawab Dimas.
Dita menuju dapur dan menjerang air panas. "Begadang lo semalam?"
"Gitu deh."
Dita membuat kopi untuk mereka berdua lalu meletakkannya di meja. "Jangan dibiasain begadang," nasihatnya.
Dimas tersenyum, lalu meminum kopinya sedikit. "Gimana ketemuan sama Maya kemarin?"
Dita menarik napas panjang. "It's a very long story. Gue yakin lo bakalan kaget kalau dengar ceritanya."
*****
"Wow!" seru Dimas takjub. "Kenapa kisah hidup lo kayak sinetron, sih. Cocok di bikin web series."
Dita tersenyum kecil.
"Maya pinter banget, ya, bisa menyimpan rahasia serapi itu. Benaran nggak nyangka," kata Dimas. "Terus lo sama Maya gimana? All good?"
Dita sudah membalas pesan Maya sebelum Dimas ke sini. Dia mengatakan kalau di antara mereka baik-baik saja. Dia mencoba melihat persoalan dari kacamata Maya. Tentu tidak mudah bagi sahabatnya itu menyimpan rahasia ini sendirian. "Baik," jawabnya. Meskipun dia sedikit iri kepada sahabatnya itu karena sepertinya Maya begitu mencintai ayahnya. Pasti ayahnya memperlakukan Maya dan ibunya dengan baik. Seketika dadanya sesak.
"Terus Arga gimana?" tanya Dimas penasaran.
"Arga kenapa?"
"Ya ... hubungan lo sama Arga gimana?"
"Nggak tahu. Gue belum ngomong lagi sama dia."
"Menurut gue sebaiknya lo hubungi Arga dan bicara baik-baik. Biarkan Arga memberikan penjelasan."
Dita menatap Dimas penus selidik. "Menurut lo begitu?"
Dimas mengangguk. "Dia sepertinya laki-laki baik."
Dita tersenyum. "Lo suka sama dia?"
Dimas langsung istigfar. "Gue bukan kaum Nabi Luth penyuka sesama jenis yang Allah azab dengan menjungkirbalikkan negeri tempat mereka tinggal dan melempari mereka dengan batu dari tanah yang terbakar." Dia langsung bergidik ngeri.
"Canda, Mas! Udah ah, gue mau mandi dulu." Dita bangkit dari duduknya.
"Dit, bentar dulu," panggil Dimas. "Ada yang mau omongin." Dia ingat tujuannya ke apartemen Dita pagi-pagi begini.
Dita menoleh. "Ada apa?"
"Duduk dulu," pinta Dimas.
Dita kembali duduk.
Dimas berdeham. "Gue punya berita kurang menyenangkan."
Dita menjadi was-was. Ya Allah, ujian apa lagi kali ini?
"Semalam bokap bilang ke gue kalau ...." Dimas memberi jeda. "Pernikahan mereka dibatalkan."
"Dibatalkan? Pernikahan siapa? Pernikahan nyokap gue sama bokap lo?" tanya Dita panik.
Dimas mengangguk.
"Tetapi ... kenapa? Mereka bertengkar?"
Dimas meraih tangan Dita untuk menenangkannya. "Mereka nggak bertengkar."
"Terus?" Dita masih cemas.
Dimas menarik napas. "Ini keinginan nyokap lo."
"Nyokap gue? Tetapi kenapa?"
"Mungkin lebih baik lo tanya langsung ke nyokap lo," kata Dimas. "Tetapi ... perkiraan gue ini ada hubungannya dengan apa yang gue ceritain ke nyokap lo."
"Lo cerita apa?"
Dimas menceritakan kalau bundanya Dita meneleponnya dan menanyakan tentang Dita. Bundanya ingin tahu apa yang menjadi beban pikiran Dita. Bisa jadi Dita segan menceritakan kepada bundanya, tetapi terbuka kepada Dimas.
"Gue cerita kalau lo kepikiran tentang wali nikah dan nasab lo pas nikah nanti," jelas Dimas.
Dita mengembuskan napas masgul. Sepertinya persoalannya tidak pernah selesai-selesai.
*****
Dita tidak bisa bekerja dalam keadaan tidak fokus. Pikirannya terpusat pada persoalan bundanya. Dia memutuskan langsung menemui bundanya pagi ini bersama Dimas. Ternyata apa yang dikatakan Dimas benar. Ini semua keputusan bundanya dan Pak Bagas menerimanya.
"Bunda nggak perlu khawatir sama aku," kata Dita kepada bundanya. "Lagian aku masih belum berencana menikah dalam waktu dekat. Nanti saja kita pikirkan siapa yang akan menjadi wali nikahku."
Lastri menyeka air matanya. "Maafin Bunda, ya. Gara-gara Bunda kamu yang harus menanggung akibatnya." Dia dulu terbawa hawa nafsu dan tidak memikirkan dampak buruk yang akan terjadi setelahnya. Setan sudah menguasainya. Dia tidak bisa membedakan mana yang salah dan benar. Penyesalan selalu hadir belakangan. Tidak ada lagi yang bisa dilakukannya sekarang kecuali banyak-banyak minta ampun kepada Allah untuk dosa-dosanya dulu.
"Aku udah maafin Bunda dan aku mau Bunda tetap menikah dengan papanya Dimas," tegas Dita.
"Tetapi nanti apa kata orang-orang ...."
"Nggak usah mikirim kata orang, Bun," potong Dita.
"Bunda ikhlas kalau orang-orang menghujat Bunda, tetapi Bunda nggak rela kalau mereka ikut-ikutan menjelek-jelekkan kamu." Lastri terisak. Tambah lagi Dita tidak bisa menyandang nama ayahnya di belakang namanya. Apa kata orang-orang ketika disebutkan nama Dita memakai binti nama ibunya. Cinta Anandita binti Lastri Kusumaningrum. Dia tidak sampai hati.
"Bun." Dita menggenggam tangan bundanya. "Aku nggak mau kalau bunda sampai nggak menikah dengan Pak Bagas. Bunda harus menikah dengan Pak Bagas. Sekali ini tolong dengarkan aku. Kebahagiaanku adalah melihat Bunda bahagia. Dan aku tahu Bunda akan bahagia menikah dengan Pak Bagas. Please, Bun."
Lastri menatap Dita sedih. "Tetapi, kamu ...."
"Dimas janji akan menemukan jalannya. Dia akan menjaga aib keluarga kita agar tidak sampai ke orang lain," kata Dita yakin. "Bukankah Allah menyuruh kita untuk menutup aib saudara sesama muslim. Bunda nggak perlu khawatir."
Lastri terpekur.
"Bunda harus janji sama aku kalau Bunda akan tetap menikah dengan Pak Bagas," tegas Dita.
Lastri menatap anak semata wayangnya. Siapa yang akan dipilihnya?
*****
BAB 33
Dita tidak tahu apa yang membawanya ke sini. Mungkin karena dia baru saja meninjau proyek rumah yang lokasinya tidak jauh dari sini. Jadi, kenapa tidak.
Kehidupannya selama satu bulan ini mulai normal kembali. Persoalannya satu per satu terselesaikan. Bundanya dan Pak Bagas tetap akan menikah. Pekan depan akadnya. Persahabatannya dengan Maya juga baik-baik saja. Mereka masih berkomuniasi walaupun tidak setiap hari. Namun, mereka belum bersemuka kembali karena kesibukan masing-masing.
Dulu Dita berpikir kehidupan Maya beserta keluarganya menyenangkan, ternyata tidak. Maya bercerita mereka beberapa kali harus pindah rumah untuk menghindari keluarga ayahnya yang tidak suka dengan keluarga mereka. Maya malah merasa iri dengan Dita karena keluarga besar ayahnya hanya menganggap Dita sebagai cucu sah mereka. Dita akhirnya sadar kalau dirinya dan Maya sama-sama mempunyai pengalaman buruk di masa lalu. Mereka sama-sama menerima semua dan memulai kembali dari awal.
Maya: Nggak nanyain Arga?
Dita: Nggak.
Maya: Nanyain juga nggak apa-apa, kok.
Maya: Supaya lo nggak penasaran, dia baik-baik aja. Mau gue kirim fotonya, nggak?
Dita: Nggak usah.
Maya: Sebentar.
Dita menunggu dengan dada berdebar pelan. Dia selalu berpura-pura cuek setiap kali Maya menggodanya. Dia masih gengsi untuk menghubungi Arga terlebih dulu. Tidak lama sebuah gambar dari Maya masuk. Sahabatnya itu benaran mengirim foto Arga kepadanya. Dia tersenyum menatap foto Arga. Laki-laki itu sepertinya tidak sadar kalau Maya sudah mengambil gambarnya. Arga sedang berada di mejanya dan fokus mengetik di laptopnya. Laki-laki itu terlihat ... baik-baik saja. Dia menarik napas. Siapa yang hendak dibohonginya? Arga tampak gagah. Dia sempat terpesona selama beberapa lama.
Maya: Gimana, ganteng, kan? Cukup buat asupan lo selama seminggu? Atau perlu gue kirim lagi yang banyak?
Dita: Dasar!
Sebenarnya Dita senang Maya berada di pihaknya. Dia sudah jujur menceritakan perasaannya terhadap Arga kepada sahabatnya itu. Hanya saja dia merasa belum siap bertemu dengan Arga kembali.
"Kenapa memangnya?" tanya Maya waktu itu di telepon.
"Belum tentu dia suka sama gue," alasan Dita.
"Ya ampun, Dit. Dia nanyain lo setiap hari," kata Maya gemas. "Well, nggak setiap hari juga, sih, tetapi lo paham, kan maksud gue. Dan gue tahu sepupu gue. Dia suka sama lo."
Sebenarnaya Dita takut kalau Arga mengetahui kenyataan bahwa dirinya adalah anak di luar nikah. Anak hasil zina. Tidak semua orang bisa menerima hal itu. Misalkan Arga bisa menerima, belum tentu keluarga besarnya akan menerima. Dita bisa saja menyembunyikan hal itu, tetapi dia lebih memilih jujur agar tidak ada persoalan yang muncul di kemudian hari.
"Dia nggak pernah WA gue," kata Dita.
"Oke, nanti gue bilangin dia untuk WA lo."
"Eh, jangan. Biar dia inisiatif sendiri aja."
"Lo nggak blocked dia lagi, kan?"
"Nggak." Sudah lama dia unblocked Arga. Sebetulnya dia sedikit menyesal sudah menge-blocked Arga karena akibatnya semua pesan-pesan Arga sebelumnya terhapus secara otomatis. Tidak ada lagi jejak Arga di ponselnya.
"Oke, nanti gue bilang ke dia," kata Maya.
Namun, tidak pernah ada pesan yang masuk dari Arga. Dita tidak mau menanyakannya lagi ke Maya, kesannya terlalu berharap. Padahal iya. Huh. Susah sekali perkara hati ini. Dia mau, tetapi gengsi.
Dita melangkah hati-hati dan menghindari tumpukan pasir di halaman depan. "Sore, Pak Jaka." Dita menyapa mandor yang bertugas.
"Eh, Bu Dita. Tumben ke sini." Jaka menyambut Dita. "Sendirian aja, Bu, nggak bareng Pak Hadi?"
"Kebetulan lagi lewat di daerah sini, Pak." Dita memberi alasan. "Lancar, Pak?"
"Alhamdulillah, Bu."
Dita melihat ke sekeliling. Bentuk rumah belum tampak karena pembangunan baru berjalan belum lama. "Pemiliknya, Pak Arga, sudah pernah ke sini, Pak?" tanyanya penasaran.
"Baru sekali, Bu. Udah lama juga, kira-kira tiga minggu yang lalu. Setelahnya belum ke sini lagi," jelasnya.
"Oh begitu. Saya boleh lihat-lihat, Pak?" Dita meminta izin.
"Silakan, Bu."
Dita mengucapkan terima kasih lalu berjalan ke dalam. Dia tahu proyek rumah Arga bukan lagi menjadi tanggung jawabnya. Dia sebenarnya tidak ada urusan di sini. Setelah berkeliling, Dita kembali ke depan untuk menemui Pak Jaka. Namun, betapa kagetnya Dita saat melihat sosok yang berdiri di samping Pak Jaka.
"Sudah selesai, Bu?" tanya Jaka ke Dita.
"Eh, sudah, Pak. Terima kasih." Dita menjadi gugup. Jantungnya langsung berdetak di atas normal.
"Pak Arga, maaf, ini Bu ...."
"Dita," potong Arga. "Saya sudah kenal." Dia tersenyum lebar. "Kebetulan sekali bertemu dengan Bu Dita di sini."
"Iya, kebetulan saya sedang berada di sekitar sini," jelas Dita. Sungguh sebuah alasan yang mengada-ada. "Baik, saya permisi dulu. Mari Pak Jaka, Pak Arga." Dita berlalu dan menuju mobilnya.
"Dita," panggil Arga.
Langkah Dita terhenti. Dia menoleh dan mendapati Arga tengah berjalan ke arahnya. Hatinya deg-degan. "Iya, Pak?" tanyanya dengan nada formal.
"Kamu langsung ke kantor atau langsung pulang?" tanya Arga.
"Saya ke kantor dulu, Pak. Pekerjaan saya masih menunggu," jawab Dita sopan.
"Oh, baik. Kalau begitu bisa kita bicara sebentar?"
"Maaf, saya ...."
"Aku memaksa," potong Arga.
"Tetapi ...."
"Mobil aku atau mobil kamu?"
Dita tidak berkutik.
*****
"Maya udah cerita semua ke aku," kata Arga.
"Maya sepupu kamu?" Dita menekankan pada kata "sepupu".
Arga berdeham. "Maaf aku nggak memberi tahu ke kamu sebelumnya."
"Memangnya kamu berencana memberi tahu aku?"
"Rencananya aku akan menceritakan semuanya ke kamu sewaktu di rumah Ibu, tetapi kamu malah pergi," jelas Arga.
"Jadi semua salah aku?"
"Bukan. Bukan salah kamu. Salah aku." Arga segera mengoreksi.
Dita menarik napas. Ada banyak hal yang perlu mereka bicarakan. Arga harus menjawab semua pertanyaan yang selama ini bermain di kepalanya. Perbincangan mereka terhenti ketika pramusaji mengantarkan pesanan makanan. Dia hanya membeli minuman. Sedangkan Arga membeli paket burger.
"Apa yang mau kamu jelaskan ke aku waktu itu?" tanya Dita.
"Seperti yang Maya ceritakan ke kamu. Kalau Maya sepupu aku dan ayah Maya adalah ayah kamu juga," kata Arga. "Dan ibuku kepingin ketemu kamu."
"Kenapa ibumu pengin ketemu aku?"
"Mungkin karena aku terlalu sering bercerita tentang kamu jadi ibuku penasaran."
Dita merasakan wajahnya menghangat seketika. Dia mengalihkan perhatiannya dengan meminum lemon tea-nya.
"Dan untuk mengatakan kalau aku mencintai kamu," kata Arga percaya diri.
Dita terbatuk. Untung saja tidak sampai menyembur. Dia menoleh ke Arga dan menemukan mata itu tengah menatapnya lembut. Dia menjadi salah tingkah dan membuang pandangannya ke gelas yang berada di genggamannya.
"Aku minta maaf karena butuh waktu lama untuk mengatakan ini ke kamu." Arga ingin ketika mengatakan isi hatinya ke Dita saat perempuan itu sudah mengetahui hubungan keluarganya dengan ayahnya. Awalnya dia berniat melupakan Dita, tetapi sulit karena selama delapan tahun tidak bertemu dengan perempuan yang disayangi itu, rasa cintanya kepada Dita tidak berkurang. Jarak yang memisahkan hanya membuat rindunya menggunung. Salahnya juga kenapa masih memelihara rasa sayang itu di hatinya. Tidak ada pengganti Dita.
Hal lain yang membuat Arga ragu adalah keberadaan Dimas. Dia tahu kalau laki-laki itu menyukai Dita. Namun, dia tidak tahu pasti apakah Dita memiliki perasaan yang sama atau tidak. Makanya dia maju mundur. Bahkan ketika Maya mengatakan kalau hubungan Dita dan Dimas hanya sebatas sahabat, dia tetap skeptis. Satu hal yang membuatnya mantap adalah salat Istikharah. Setelah beberapa kali salat, hatinya cenderung ke Dita. Dia menjadi yakin kalau Dita adalah jodohnya.
"Aku punya pertanyaan buat kamu," kata Dita.
"Kamu bisa tanya apa saja."
"Kapan kamu tahu tentang aku?"
"Aku tahu kalau Om Hadi punya istri selain Tante Sekar itu waktu SMA. Waktu itu aku sempat mendengar pembicaraan ibuku dan Tante Sekar tentang apakah perlu memberi tahukan kepada Maya kalau papanya punya istri selain mamanya. Dan kalau dia punya saudara tiri," cerita Arga. "Setelah itu aku mencari tahu sendiri. Tidak terlalu sulit, sih, karena ada sosial media. Selain itu aku juga tanya-tanya ke ibuku. Ibuku mau memberi tahu dengan syarat tidak boleh cerita ke orang lain. Dan aku langsung mengenali wajahmu saat OSPEK."
"Jadi kamu mendekati aku karena penasaran?" tanya Dita.
"Dan karena kamu cantik," tambah Arga. "Sebelum aku sempat menyadarinya, aku sudah jatuh hati sama kamu."
Pipi Dita memerah karena malu. Arga yang berada di hadapannya sekarang straight to the point.
"Tetapi aku belum berani mengatakannya terang-terangan karena bisa jadi kamu benci denganku saat mengetahui kebenaran tentang keluargaku," kata Arga. "Aku memilih menjauh dan mencoba melupakan kamu. Sayangnya usahaku nggak berhasil."
Arga benar. Andai saja dulu Arga mengatakan kebenaran tentang keluarganya, bisa jadi Dita akan membencinya. "Aku sudah bisa menerima masa lalu keluargaku," kata Dita. "Semua sudah berlalu. Lagipula ini bukan salah aku, kamu, atau Maya. Memang takdirnya seperti ini."
Arga tersenyum senang. "Apakah itu artinya kamu mau menerimaku?"
Dita tidak langsung menjawab. "Ibuku mau menikah pekan depan."
"Aku tahu, Maya cerita."
"Kamu bisa datang?"
"Insya Allah aku akan datang kalau kamu undang."
"Datang, ya. Aku akan memberikan jawabanku di sana. Nggak apa-apa, kan?"
"Aku sudah menunggu kamu selama ini. Insya Allah aku bisa menunggu selama satu pekan," kata Arga.
Dita tersenyum sedikit. Apakah Arga akan berpikiran sama kalau tahu dia bukan anak ayahnya?
*****
Dita menatap pantulan dirinya di cermin rias ruang ganti pengantin wanita. Kebaya kutu baru dusty pink dengan aksesoris bros tembaga dipadu dengan kain batik parang senada. Untuk riasan dia meminta "no make up" make up look kepada perias pengantinnya. Wajahnya menjadi terlihat segar dan glowing.
"Sayang, tolong cek ke depan, Tamara sudah datang belum," pinta Lastri. "Nanti minta dia duduk di depan, ya."
Dita menoleh ke bundanya yang sedang duduk di meja rias. Seorang penata rias tengah merapikan kerudung bundanya dan memakaikan aksesoris. "Baik, Bun." Dia keluar ruangan dan menuju aula masjid tempat akad nikah bundanya dan Pak Bagas berlangsung. Di tengah jalan dia bertemu dengan Dimas.
"Wow," kata Dimas antuasias saat melihat Dita. "You look gorgeous."
"Thank you. You look not bad yourself," canda Dita. Dimas terlihat gagah dengan beskap hitam dan kain batik parang seperti miliknya. Dia juga memakai blangkon di kepalanya.
"Mau ke mana?" tanya Dimas.
"Mau lihat Tamara sudah datang atau belum," jawabnya. "Lo mau ke mana?"
"Sama, gue juga mau ke dalam. Mau cek persiapan akad."
Dita mengangguk. Dia dan Dimas berdampingan masuk ke aula. Mata Dita mencari-cari sosok Tamara, tetapi tidak ketemu. "Gue keluar bentar, ya," katanya ke Dimas. Dia berniat menunggu Tamara di pintu masuk.
"Oke," balas Dimas. Dia melanjutkan berbicara dengan WO yang bertugas.
Baru saja Dita sampai di luar, Tamara tengah berjalan ke arahnya. Dia melambai ke arah perempuan itu. Tamara balas melambai.
Dita memberi salam dan memuji penampilan Tamara yang terlihat anggun mengenakan gamis biru muda dan kerudung motif senada. Sederhana tetapi memesona. "Makasih udah datang, Mbak. Datang sendiri?" tanyanya.
"Ada sama asisten aku." Tamara menunjuk ke arah perempuan berhijab yang berada di belakangnya.
Dita tersenyum sopan dan menjabat tangan perempuan itu. "Ayo masuk, Mbak." Dia mengarahkan Tamara dan asistennya untuk duduk di kursi bagian depan.
"Gimana kabarnya, Mbak?" tanya Dita. Dia ingin berbincang sebentar dengan Tamara sebelum acara dimulai. Mereka bertukar kabar sebentar
"Saya senang akhirnya bunda kamu menemukan jodohnya," kata Tamara. "Bunda kamu dan komunitas "Bunda Hijrah" banyak membantu ketika saya mulai hijrah. Bunda kamu wanita hebat. Saya belajar banyak dari beliau. Ketegaran beliau dalam menghadapi berbagai ujian membuat saya kuat. Insya Allah bunda kamu mendapat balasan kebaikan yang banyak dari Allah."
Dita tersenyum. "Amin, insya Allah. Saya juga mau mengucapkan terima kasih karena Mbak Tamara sudah menjadi sumber inspirasi saya dalam memperbaiki diri."
"Masya Allah, saya masih belajar, Dita. Belum ada apa-apanya," elak Tamara.
"Saya lihat di IG, Mbak Tamara bikin komunitas 'Muslimah Hijrah', ya?" tanya Dita. "Saya boleh ikutan, Mbak?"
"Masya Allah, boleh banget, Dita. Insya Allah kita akan mengadakan kajian rutin bulanan di masjid dengan pembicara dan tema berbeda. Kita sama-sama belajar Islam lagi dari awal," terang Tamara antusias.
Dita tersenyum senang. "Insya Allah, Mbak. Nanti aku datang." Setelahnya dia pamit karena acara sebentar lagi dimulai. Saat dia berjalan menuju ruangan bundanya, dia melihat Arga dan Maya masuk ke ruangan. Dia tertegun selama beberapa saat. Kemudian pandangannya dan Arga bertemu. Mereka bertukar pandang selama beberapa lama. Arga tersenyum kepadanya dan Dita balas tersenyum.
*****
Dita menyeka air di sudut matanya hati-hati dengan tisu. Tidak mau riasannya rusak. Hatinya penuh sukacita. Dia terharu saat ijab kabul dilangsungkan. Pak Bagas dengan lancar mengucapkan bagiannya. Sekarang bunda dan papanya sedang berfoto dengan mahar dan buku nikah mereka.
"Mereka kelihatan bahagia, ya," kata Dimas.
Dita menoleh ke Dimas yang duduk di sampingnya. Dia membenarkan dan memeluk lengan laki-laki itu erat saking antusiasnya. "Akhirnya."
Setelahnya mereka berfoto bersama sekeluarga. Dita memberikan pelukan hangat kepada bunda dan papa barunya. "Selamat, ya, Bun, Pa, insya Allah samara,"
"Makasih, Sayang," balas Lastri.
Akad nikah keduanya hanya dihadiri pihak keluarga dan undangan sekitar 50 orang. Bunda dan papanya sepakat untuk mengadakan akad yang sederhana dan khidmat. Selesai berfoto bersama, Dita melihat Arga dan Maya duduk di sisi sebelah kanan. Dia pamit kepada bunda dan papanya, lalu menghampiri mereka.
"Cantik banget," puji Maya saat Dita berada di hadapannya. Dia menoleh ke Arga. "Cantik, kan, Bang?"
"Cantik," jawab Arga.
Dita tersenyum malu-malu. Harus dia akui kebaya yang dipakainya membuatnya terlihat anggun.
"Tuh, apa gue bilang," kata Maya.
Dita menyikut pinggang sahabatnya itu pelan.
"Hai," sapa Dimas.
"Wah, tambah ganteng aja lo, Dim," puji Maya saat melihat Dimas memakai beskap.
"Sori nggak ada receh," balas Dimas cuek. "Halo Pak Arga, kita ketemu lagi."
"Arga aja." Arga menjabat tangan Dimas erat.
"Udah pada makan belum?" tanya Dimas. "Makan dulu."
"Entar aja, gue mau salaman dulu sama orang tua lo," kata Maya.
"Maaf, saya ada perlu sebentar dengan Dita." Arga menoleh ke Dita. "Saya pinjam Dita sebentar, ya."
Butuh beberapa detik sampai Dita mengerti maksud perkataan Arga. "Oh, iya, aku ada perlu sebentar sama Arga," katanya.
"Mau ke mana?" Dimas memainkan peran sebagai saudara laki-laki yang protektif.
"Ke taman belakang," kata Dita. Aula masjid ini mempunyai taman di bagian belakang.
"Jangan lama-lama," pesan Dimas, lalu menatap Arga penuh arti.
Dita tersenyum simpul, lalu menggamit lengan Arga. "Sori, Dimas memang begitu orangnya," kata Dita setelah mereka agak jauh. "Tetapi dia baik."
"Aku tahu, Maya sering cerita," kata Arga maklum.
Dita mengambil dua gelas es krim di booth, lalu mencari tempat duduk. "Di sana aja." Dia mendapat kursi di pinggir taman.
"Makasih," kata Arga saat menerima gelas es krim dari Dita. "Apakah aku bisa mendapat jawabannya sekarang?"
Dita tersenyum. "Nggak sabar banget," katanya, lalu duduk. "Ada satu hal lagi yang ingin aku katakan sebelum aku memberikan jawaban."
"Apa itu?"
Dita menarik napas. Dia mengatakan ini untuk mengetahui apakah Arga akan berubah pikiran apabila mengetahui yang sebenarnya. "Aku bukan anak ayahku," katanya.
Arga mengernyit heran. "Maksudnya?"
"Ayah Hadi, dia bukan ayah kandungku," jelas Dita.
Arga tertegun beberapa lama. "Om Hadi bukan ayah kandung kamu?" ulangnya masih tidak yakin.
Dita menggeleng.
"Terus ... siapa ayah kandung kamu?"
"Aku nggak bisa ngasih tahu kamu," jawab Dita.
Arga berpikir sejenak. "Kamu tahu tentang ini sejak lama?"
"Belum lama ini."
"Kamu okay dengan semua ini?"
"Awalnya nggak, tetapi sekarang aku sudah bisa menerima. Seperti yang aku bilang. Semua yang terjadi adalah takdir Allah. Yang penting bagaimana aku menyikapinya," kata Dita. "Kalau kamu sendiri bagaimana. Kamu nggak apa-apa kalau aku ...." Dia memberi jeda. Berat baginya mengatakan ini. "Anak di luar nikah."
"Bukan salah kamu," kata Arga mantap.
"Kalau ibu kamu nggak setuju bagaimana?"
"Kamu mau aku cerita tentang hal ini ke ibuku?"
Dita menggeleng.
"Kalau begitu ibuku nggak perlu tahu."
Dita terharu dengan sikap Arga yang tidak mempermasalahkan status nasabnya.
"Itu saja yang ingin kamu katakan?" tanya Arga.
"Ada satu lagi," lanjut Dita. "A-aku nggak mau pacaran." Dia dan Arga belum resmi berpacaran, tetapi selama satu pekan ini Dita tidak bisa mengendalikan hatinya. Setiap hari pasti mereka saling mengirim pesan dan mengatakan hal-hal tidak penting.
Dita: Kamu makan apa hari ini? Pagi ini aku nggak sempat masak jadi beli soto di depan kantor.
Arga: Makan ketoprak di kantin proyek.
Arga: Udah tidur?
Dita: Belum
Arga: Tidur, gih. Besok, kan, kerja.
Arga: Weekend masih lama, ya.
Dita: Dua hari lagi.
Arga: Can't wait.
Dita merasa kembali ke masa SMA. Masa cinta remaja. Mungkin karena dia tidak pernah mengalami cinta monyet, jadinya sekarang terkesan norak. Waktu di apartemen dia habiskan untuk melihat-lihat IG milik Arga dan berlama-lama memandangi foto laki-laki itu. Dia seperti orang sedang kasmaran. Rindu untuk bertemu.
"Zina itu selalu kredit," kata Tamara di podcast-nya. "Dicicil sedikit demi sedikit. Hari ini cuma lirik-lirikan. Besok mulai duduk berduaan. Besoknya lagi pegangan tangan. Terus pelukan, ciuman, baru melakukan zina.
"Itulah kenapa Allah melarang kita mendekati zina. Mendekatinya saja dilarang. Ini Allah, loh, yang melarang. Pemilik langit dan bumi. Pemilik diri kita," tambahnya. "Tutup pintu-pintu yang membuat kita terjerumus ke dalam zina. Dan salah satu pintunya adalah pacaran.
"Kalau ada laki-laki baik yang datang kepada kita untuk melamar, maka segerakan menikah. Lebih utamakan menjaga diri dari zina. Jangan ikut kata setan yang selalu mengulur-ulur untuk melakukan kebaikan dan menggenapkan sebagai din."
Dita tahu benar akibat yang ditimbulkan oleh zina, termasuk hukuman yang Allah berikan terhadap orang-orang yang berzina. Dia tidak mau mengulangi kesalahan yang sama seperti bundanya. Dia tidak mau merasa sombong dan mengatakan tidak akan mungkin berbuat zina. Setan selalu mempunyai tipu daya untuk mengelabui manusia. Dia memilih menghindar dan menjalani dengan cara-cara yang Allah rida.
"Jadi kamu penginnya langsung menikah?" tanya Arga.
Dita menjadi ragu. Apakah dia siap untuk menikah.
"Kalau memang itu mau kamu, aku siap melamar kamu sekarang. Mumpung ada orang tua kamu di sini," lanjut Arga.
Dita tertegun. Dia termakan kalimatnya sendiri.
*****
BAB 34
Menikah adalah sunah Rasul yang mulia. Rasul menyuruh umatnya menikah, karena sesungguhnya beliau akan membangga-banggakan jumlah umatnya kepada umat-umat lain di hari kiamat. Allah menyuruh hamba-Nya menikah dan tidak menjadikan kemiskinan sebagai penghalang karena Allah sendiri yang akan memampukan dengan karunia-Nya. Allah Maha luas pemberian-Nya dan Allah Maha Mengetahui.
Apabila seseorang telah menikah maka dia telah menyempurnakan separuh agamanya. Rusaknya agama seseorang salah satunya diakibatkan oleh kemaluannya. Dia melakukan dosa zina. Bersyukurlah bagi orang-orang yang menyucikan dirinya dengan menikah.
"Berat bagi seorang ayah menyerahkan anak perempuannya untuk menikah dengan seorang laki-laki yang baru dikenalnya," kata Bagas. "Baru beberapa bulan ini saya benar-benar menjadi seorang 'ayah' bagi Dita dan saya tidak ingin kehilangan dia secepat ini." Bagas menoleh ke Dita yang duduk di sampingnya dengan mata berkaca-kaca.
Dita menahan tangisnya sembari menggenggam tangan papanya lembut.
"Sebagai papanya, saya khawatir apakah suaminya kelak akan memperlakukannya dengan baik. Apakah dia tidak akan menyakiti fisik dan hatinya karena menyakiti anak saya sama dengan menyakiti saya," lanjut Bagas.
Air mata Dita menetes. Dia sungguh terharu dengan kasih sayang papanya kepada dirinya. Dia melirik bundanya yang duduk di sebelahnya. Bundanya menyeka air matanya yang mengallir.
"Apakah suaminya kelak akan memberikan yang terbaik untuk anak saya. Apakah dia akan menyayangi anak saya seperti saya mencintainya? Apakah dia akan membawa anak saya ke jalan surga-Nya?" kata Bagas menahan isak.
Dita tidak kuat menahan tangis. Dia tertunduk dan terisak. Bundanya merangkulnya.
"Kekhawatiran itu akan terus saya bawa selama dia menjadi istri seseorang. Tolong perlakukan Dita dengan baik. Apabila Nak Arga tidak bisa lagi memperlakukan anak saya dengan sepenuh hati, maka Nak Arga bisa mengembalikan Dita kepada kami dengan cara yang baik, tetapi jangan pernah sakiti hatinya. Saya tidak akan pernah rida," kata Bagas.
Dita menyeka pipinya yang basah dengan ujung kerudung.
"Insya Allah, Pak. Saya akan memperlakukan Dita dengan baik. Ibu saya selalu berpesan kepada saya untuk memperlakukan istri saya kelak dengan baik karena begitu perintah Rasulullah. Sebaik-baik laki-laki adalah yang paling baik perlakuannya kepada perempuannya," kata Arga tegas.
Bagas mengangguk-angguk. "Saya percaya kepada kamu. Tolong jangan khianati kepercayaan saya."
"Insya Allah, Pak," balas Arga.
Dita mengangkat wajahnya sedikit dan menatap Arga. Laki-laki itu tampak meyakinkan. Aura itu menular kepadanya. Keraguannya memudar. Dia percaya kepada Arga. Hatinya menjadi mantap.
*****
"Aku sempat gemetaran tadi," aku Arga.
Dita tersenyum. "Lumayan kena OSPEK," candanya. Pekan depan keluarga Arga akan datang menemui keluarganya untuk melamar secara resmi. Arga ingin menemui ayah dan bundanya terlebih dahulu untuk meminta restu.
Bukan perkara mudah bagi Dita menerima lamaran Arga. Masih tersisa trauma karena pernikahan orang tuanya. Bagaimana kalau pernikahannya berakhir tidak baik?
"Jangan mendahului takdir Allah. Jangan berprasangka buruk terhadap takdir Allah yang belum terjadi. Allah itu sesuai persangkaan hamba-Nya," kata Ustazah. "Setiap orang memiliki takdir yang berbeda. Apa yang menimpa seseorang, belum tentu akan terjadi kepada kita. Tugas kita taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta terus memperbaiki diri. Takdir itu urusan Allah. Kita harus yakin kalau takdir Allah itu yang terbaik. Apa pun itu. Takdir Allah selalu yang terbaik."
Dita merasa bersyukur menemukan komunitas Muslimah Hijrah sehingga dia memiliki teman dalam perjalanan hijrahnya.
"Hijrah itu perjalanan panjang penuh rintangan. Hijrah tidak bisa sendirian. Kita perlu teman. Perlu bimbingan. Perlu berkumpul dengan orang-orang saleh dan salihah agar tidak kembali jahil," kata Tamara.
Selama beberapa bulan ini begitu banyak ilmu yang Dita dapatkan dari kajian yang diikutinya. Dia mulai memanjangkan kerudungnya sampai ke dada. Seperti yang Allah perintahkan dalam Al-Qur'an. Dulu dia masih naif dan sok tahu, merasa bisa membuat aturan untuk dirinya sendiri. Padahal sudah Allah berikan aturan paling benar.
"Apa yang Allah larang, maka harus kita jauhi, tetapi untuk yang Allah perintahkan, maka kerjakan semampu kita," kata Tamara. "Allah tahu kita sedang berproses. Tidak perlu terburu-buru ingin mengerjakan semua hal. Step by step. Allah lebih menyukai amalan yang berkelanjutan, meskipun sedikit."
Dita sedang mengamalkan hal itu. Dia ingin istikamah memperbaiki diri sedikit demi sedikit.
"Kalau kita nikah bulan depan gimana?" tanya Arga.
Dita menoleh. "Bulan depan? Nggak kecepatan?" Dia bercermin pada persiapan pernikahan bundanya yang membutuhkan waktu berbulan-bulan.
"Nikah kan nggak perlu ribet. Asalkan syarat dan rukunnya terpenuhi," kata Arga.
"Iya, tetapi kan kita juga punya keluarga. Kita perlu mendengarkan pendapat mereka." Dita dan Arga tengah berbincang berdua di ruang tamu.
Arga menarik napas. "Apa kita nikah di KUA aja, ya?"
Dita melebarkan matanya dan menatap Arga tidak percaya.
"Canda, Dita," katanya, lalu tertawa. "Aku cuma kepingin menyegerakan aja. Nggak mudah menjaga hatiku saat bersamamu."
Wajah Dita menjadi hangat. Sebenarnya dia juga merasakan hal yang sama. Mereka hanya perlu banyak bersabar dan ... menjaga pandangan.
"Ehem." Dimas sengaja berdeham cukup keras saat menuju ruang tamu. "Dilarang berdua-duaan. Nanti yang ketiganya setan." Dia duduk di samping Dita.
"Lo dong," sergah Dita
"Sialan," rutuk Dimas.
Dita menoleh ke Arga. Laki-laki itu benar juga. Menyegerakan lebih baik. Selain itu dia bisa lepas dari Dimas yang selalu menggodanya.
*****