Jejak-Jejak Perindu Syurga
Sinopsis
Tags :
#romanreligi #hidayah #persahabatan #cinta
JJPS 1
"Woy, itu dia lari ke sana! Ayo kejar!" teriak seorang lelaki bertubuh tinggi kekar pada teman-temannya.
Terlihat empat orang sedang berlari menuju sebuah mushalla kecil yang terletak di belakang gedung bertingkat.
Derap langkah mereka semakin kuat terdengar oleh seseorang yang sedang bersembunyi di balik tirai. Kedua ekor matanya memindai tempat berukuran lima kali enam meter itu dengan nafas memburu diiringi degup jantung yang semakin keras.
Lelaki dengan hiasan tato di lengannya itu, samar-samar mendengar seseorang sedang melantunkan ayat-ayat suci Al-quran. Suara itu berasal dari balik bilik di sebelah tempat ia bersembunyi.
"Ke mana nyarinya, Bos? Ini mushalla, tempat orang shalat, " ucap salah seorang anak muda bertubuh kecil dengan nafas tersengal.
"Udah cari aja! Siapa tahu dia ngumpet di situ," gertak lelaki bertubuh tinggi tadi. Dialah sang pemimpin pemburuan ini.
"Itu ada yang lagi ngaji, Bos! Gimana kalo kita tanya."
Pria yang dipanggil boss itu diam sejenak, menimbang saran dari salah satu anak buahnya.
Detik kemudian, ia pun setuju dengan kode kepalanya, mengangguk.
Tiga lelaki muda itu mulai membuka sepatu. Rupanya, meski perilaku mereka terbilang jahil tapi mereka masih bisa menghargai tempat suci.
"Permisi, Assalamualaikum," ucap lelaki yang memakai jaket kulit hitam dengan sedikit malu-malu.
"Wa'alaykumsalam. Ada apa anak muda?" jawab pria yang memakai peci hitam di kepalanya.
"Punten, saya mau tanya Pak Ustad. Apa Pak Ustad melihat seorang laki-laki lari ke sini. Dia tinggi, hitam, rambut belah tengah. Tadi dia pake baju ... apa ya? Eh, lu inget ga, Togar pake baju apa?" Pria yang bertanya itu malah balik bertanya pada teman di sebelahnya.
"Gue ga inget. Kalo gak salah pake kaos item," jawab temannya dengan raut tak meyakinkan.
"Pokoknya begitu, Pak Ustad. Hehe.." lanjutnya sambil terkekeh, menggaruk tengkuk kepalanya.
Pria berpeci tadi yang sedang duduk membaca quran, tersenyum. Lalu menjawab "Maaf, anak muda. Sejak saya duduk mengaji di sini, saya belum melihat ada yang datang ke mushalla. Baru kamu dan teman-teman kamu yg saya lihat."
"Tuh, kan gak ada. Apa gue bilang. Ustad mana mungkin bohong," kesal anak muda bertubuh pendek tadi sambil memukul lengan teman di sebelahnya.
"Oke, kalo begitu. Terima kasih, Pak Ustad. Maaf mengganggu. Silakan dilanjut lagi ngajinya! Hehe ...."
Keempat orang itu pun pergi sambil sesekali terdengar saling menyalahkan akan kecerobohan mereka yang tidak pandai mencari buruan.
Keadaan mulai tenang kembali, barulah sang ustad itu memanggil lelaki yang bersembunyi di balik tirai hitam.
Ya, ia mengetahui ada seseorang yang sedang bersembunyi di balik tirai hitam di sebelahnya.
"Keluarlah! Insya Allah, semua sudah aman," ucapnya dengan tenang dan lembut.
Terlihat sedikit pergerakan lalu muncullah sosok pria bertubuh tinggi besar, berkulit dan berwajah hitam.
Pria itu masih berdiri, malu untuk berkata atau bingung ingin berbuat apa.
"Kemarilah, Bang. Duduk di sini. Kita bisa bicara baik-baik." Pria berpeci dengan sorban di lehernya, menepuk karpet hijau yang dijadikan alas duduk.
Lelaki yang memakai kaos hitam itu mengangguk lalu menuruti permintaan. Ia duduk sambil menunduk, di depan pria yang telah menolongnya tadi.
"Siapa namamu?"
"Togar, Pak Ustad."
"Panggil saja, saya Ilham. Sepertinya kita seumuran tapi jika dilihat dari tampang, Bang Togar lebih tua sedikit dari saya. Jadi saya manggilnya Bang Togar, ya," imbuhnya seraya tersenyum, mencoba mencairkan suasana.
"Iya, Ustad. Tapi... Kenapa tadi Ustad Ilham menolong saya. Padahal Pak Ustad tadi tahu kalau saya sedang bersembunyi di sini." Akhirnya, pertanyaan yang ada dibenaknya sejak tadi keluar dari mulutnya.
"Apa ucapan saya pada mereka tadi ada yang salah?" Ilham malah balik bertanya, membuat Togar menjadi kebingungan.
"Saya tahu ada Bang Togar lagi ngumpet di situ, tapi sejak saya duduk di sini, memang saya belum lihat. Bang togar kan datang dari tempat akhwat. Eh, maksudnya dari pintu ibu-ibu. Jadi, omongan saya tadi benar. Saya ga bohong."
Togar manggut-manggut sambil tersenyum hingga terlihat deretan giginya yang kecokelatan.
"Makasih, Pak Ustad. Saya hutang nyawa sama pak ustad," ucapnya terdengar lirih.
"Berterimakasihlah sama Allah. Dialah yang menolong kamu. Bukan saya. Bisa saja, kan, pemburu tadi memaksa masuk terus ketemu Bang Togar. Tapi Allah menggerakkan hati mereka untuk segera pergi. Kalo saya gak bisa berbuat apa-apa, hanya duduk di sini."
"Mereka debt colletor, Ustad. Uang dan harta yang saya punya sudah habis untuk membayar hutang sana sini."
"Bang Togar sudah berkeluarga?"
"Sudah. Anak saya tiga, masih kecil-kecil. Isteri saya juga ngomel terus di rumah. Dia pasti lelah dengan saya, Ustad." Lelaki bertato itu mulai menangis, membuat suasana malam ini semakin syahdu.
Ilham terdiam, jadi teringat pula dengan kondisi rumah tangganya yang sudah sepuluh tahun belum juga dikaruniai seorang anak.
Tuntutan dari kedua pihak keluarga ia dan isterinya, yang belum bisa mereka penuhi.
Manusia memiliki takdirnya masing-masing. Kita tidak bisa meminta untuk berperan sebagai apa hanya bisa memainkan peran itu dengan sebaik mungkin.



JJPS 2
“Saya ijin pulang dulu, Ustad. Isteri saya pasti nyariin saya.” Suara Togar yang begitu ngebass, menghentakkan lamunan Ilham.
“Ya, saya juga mau balik.”
Mereka berdua berdiri dan beranjak pergi dari mushalla kecil yang terletak di pinggian kota. Setelah memastikan semua jendela dan pintu terkunci, Ilham ke luar dari ruangan itu dan berjalan bersisian bersama Togar yang menunggnya di depan pintu gerbang kayu.
Tiba-tiba ...
BRUGH!
Sebuah gerobak yang didorong oleh seseorang menabrak Togar di depannya. Gerobak kayu itu pun sempat oleng dan hampir terjatuh. Beruntung dengan sigap Ilham menahan gerobak itu dengan kedua tangannya.
“Makasih, Pak Ustad.”
“Hey, kalo jalan lihat-lihat! Mau nyari masalah lo!” tukas Togar, geram dengan sikap abang penjual yang dengan tergesa-gesa mendorong gerobaknya tadi.
“M-maaf, Bang. Saya lagi buru-buru. Itu ada petugas trantib lagi sidak. Makanya saya lari,” jawab pria penjual cilok itu dengan terbata.
“O ... lu jualan di tempat illegal, hah! Pantas aja di kejar-kejar.”
“Enggak, Bang. Saya tadi jualan di rumah Pak RT. Di sana lagi rame ada hajatan.”
“Sudah sudah. Kalo begitu, saya aja yang beli ciloknya, Kang Edo.”
“Siap, Pak Ustad. Alhamdulillah.” Dengan binar, pria bernama Edo itu langsung menyiapkan dua plastik cilok untuk Ilham yang memang sudah menjadi pelanggan.
Makanan berbentuk bulat-bulat kecil yang dilumuri bumbu kacang itu menggugah air liur Togar. Apalagi dirinya belum makan sejak tadi sore.
“Enak, lho, cilok Kang Edo ini. Bumbunya meresap sampai ke dalam. Nikmatnya, maasya Allah,” ucap Ilham sambil melirik Togar yang sedap menatap tumpukan cilok tanpa berkedip.
“Ustad bisa aja. promo terselubung ini namanya,” sahut Togar yang tak terima dengan candaan pria berpeci hitam itu. Seketika Ilham dan Edo tertawa melihat tingkah Togar yang terlihat lucu.
“Ini buat antum sekeluarga.” Ilham memberkan satu kantong plastik hitam kecil, berisi dua bungkus cilok yang tadi dipesannya untuk Togar.
“Hah! Ini buat saya, Pak Ustad?”
“Iya, saya pesan memang buat Bang Togar. Kang Edo, bikinin lagi dua bungkus buat saya.”
“Siap.”
“Makasih, Pak Ustad. Kalau begitu, saya pamit dulu.”
“Eit, salam dulu. Udah ditraktir main pergi aja!” kaat Edo yang mencegat tangan Togar yang sudah berbalik badan hendak pergi.
“Hehe... iya lupa. Assalamu’alaykum Pak Ustad, Kang Edo.”
“Wa’alaykumsalam.”
***
Malam merambat naik. Jalanan depan komplek perumahan tempat Ilham tinggal, mulai sepi. Ilham mulai mengetuk pintu dan nmemberi salam. Tak lama terdengar jawaban salam dari seorang wanita di dalam rumah.
“Kok, telat pulangnya.”
Ilham tersenyum melihat Humayra, isterinya yang cemberut. Sontak ia mencubit hidung bangir wanita berkulit putih itu, gemas.
“Sakit, Bang!”
“Isteri abang makin cantik, deh, kalau cemberut gitu. Maaf, Sayang. Ini abang bawain kesukaan kamu.” Ilham memperlihatkan kantong plastik hitam di depan wajah isterinya.
“Apa?”
“Cilok cinta.”
Lelaki dengan baju koko putih itu segera menghambur ke dalam, membiarkan Humayra yang masih terheran-heran.
“Tadi ada yang datang ke sini, May?” tanya Iham yang melihat dua gelas berisi air teh yang tinggal setengahnya di atas meja ruang tamu.
“Bapak sama Ibu tadi sore ke sini. Nunggu abang pulang lama, jadi tadi abis maghrib mereka balik.”
“Ya, tadi abang isi pengajian rutin di SMA. Pulangnya mampir ke mushalla depan gang. Nungguin sampe abis isya, tapi gak ada yang dateng. Ya udah abang pulang. Maaf, ya, nunggu lama.”
Humayra mengangguk. Ia mengerti dengan pekerjaan suaminya sebagai guru mengaji di sekolah serta di beberapa tempat komplek perumahan.
“Bapak sama ibu nyuruh kita datang ke arisan keluarga, besok,” ucap wanita yang akrab dipanggil May itu seraya menyandarkan kepalanya di bahu Ilham.
Pria berjanggut tipis itu menghela, ada rasa sesak di dadanya saat mengingat kejadian arisan keluarga beberap bulan yang lalu. Ia beserta isterinya selalu dijadikan bahan omongan karena belum juga mempunyai anak.
“Kamu aja yang dateng, ya! Besok abang ada panggilan ngisi ceramah gantiin uUtad Rasyid di SMA.” Jawaban dari Ilham sontak membuat May segera duduk tegak menghadap suaminya.
“Lho! Abang, kok gitu. May, gak mau kalau datang sendiri. May malu, Bang. Nanti kalau May ditanya tentang ....” ucapan May terhenti. Ia tak mau melanjutkan karena akan menyakiti hati mereka berdua.
“Ya sudah, gak usah datang. Mending May, nemenin abang besok di sekolah. Lihatin gimana abang ceramah. Biar May tahu, kalau suamimu ini jadi idola para wanita di sana.” Ilham menjawil dagu isterinya.
"Ish, abang kali yang genit.”
“Gak lah. Ngapain abang genit kalau udah dapet yang halal. Cantik lagi.”
Wajah May merona, ia malu dengan rayuan suaminya. Meski belum diberi anak, ia bahagia mendapat suami yang sangat pengertian. Setia mendampingi dan mebela disaat orang lain selalu menekannya dengan tuntutan keturunan. Wanita berwajah oval itu tidak bisa membayangkan jika dirinya nanti harus berpisah dengan Ilham, seperti keinginan dari kedua rangtuanya tadi.
“Bang, May pingin punya bayi,” ucap May, lirih yang kini sudah dalam pelukan Ilham.
“Iya, abang juga. Menikah itu tujuannya untuk ibadah. Punya keturunan atau tidak itu urusan Allah. Yang penting kita terus berusaha dan berdoa.” Ilham menatap kosong ke depan sambil tangan kanannya membelai lembut pucuk kepala isterinya.
Ucapan itu sebenarnya untuk menasihati dirinya sendiri, menguatkan hati kala diri merasa lelah dengan keadaan.
“Sekarang aja, yuk, bikin anaknya!”
“Apa? Abang ngomong apaan, seh?” May terkejut dan berlaku selah tidak mengerti.
“Ayo, Bidadariku. Kita buat malam ini menjadi malam ibadah yang paling syahdu.” Tatapan sendu penuh cinta dari Ilham menusuk hingga ke jantung May. Ia terpesona dengan pria berwajah tampan di depannya. Pria itu selalu memperlakukannya dengan baik.
Seketika tubuh May melayang. Ia tak bisa menolak kala Ilham mengangkat tubuhnya dan membawanya ke kamar.
(Bersambung)
Terima kasih yang sudah baca ceritaku. Semoga suka. Ambil manfaatnya dan buang yang buruk! Tinggalkan jejak kalian di kolom komentar dan tap love, ya! Terima kasih.
Semoga kebaikan kalian dibalas oleh Allah. Aamiin.


JJPS 3
“Pak Ustad, saya mau bertanya,” ucap salah seorang peserta yang hadir seraya mengangkat tangan.
Ilham yang baru saja menyelesaikan ceramahnya, langsung menoleh ke arah sumber suara. Didapatinya seorang pria muda memakai kacamata. Sepertinya lelaki itu bukan seorang murid, dari tampangnya terlihat dewasa. Tapi kenapa ia menunjuk tangan, pikirnya dalam hati.
“Baik. Silakan ada yang ingin disampaikan. Insya Allah, saya siap membantu.”
Pria berkacamata itu pun berdiri, tangan kanannya memegang mikcrofon.
“Saya baru masuk islam, Pak Ustad. Tetapi, keluarga saya menentangnya terutama ibu. Sedangkan ayah sudah meninggal. Bagaimana sikap saya seharusnya menyikapi masalah ini, Pak Ustad. Jujur, saya sangat sedih, ibu saya marah bahkan memusuhi saya. Hati saya menolak kalau saya balik ke agama yang dulu. tetapi saya sangat menyayangi ibu saya, Pak Ustad. Mohon pencerahannya,” ungkap pria itu panjang lebar. Nampak bibirnya gemetar dan matanya sendu. Ada kesedihan yang mendalam di hatinya.
Ilham tersenyum, menatap pemuda itu. Ia pun beranjak mendekati pria berkacamata itu lalu berujar. “Maasya Allah, Allahu akbar. Allah telah memberikan rahmat dan hidayah padamu, Anak Muda. Kau ibarat bayi yang baru lahir. Suci dan bersih. Jangan kau sia-siakan harta berharga yang baru saja kau genggam itu.” Ilham memeluk erat pemuda di depannya, membuat pria berkacamata itu terisak.
Sunyi.
Suasana menjadi syahdu, para peserta yang hadir dalam acara Peringatan Maulid Nabi, seakan terbius dengan pertunjukan yang ada di depan mereka.
“Gak apa-apa. Lelaki menangis itu bukan kelemahan, melainkan emosi jiwa yang keluar. Keadaan hati pun menjadi lebih tenang,” terang Ilham setelah melerai pelukan beberapa saat tadi.
“Oke, saya akan mencoba menjawab pertanyaan dari ....”
“Lee Young Dae, Pak Ustad.’’ Pria itu membetulkan ucapan Ilham.
“Saya sebutnya Lee aja, ya. Biar lebih mudah. Jadi, tentang sikap kita terhadap orangtua yang tidak menyukai keputusan kita adalah tetaplah berbuat baik meskipun kita dicaci dimaki bahkan dimusuhi. Karena mereka tidak atau belum tahu dengan kebaikan Islam. Bagi kita yang sudah memeluk agama Islam, tunjukkan bahwa islam itu indah. Mencintai keindahan, kebaikan, kedamaian.
Ibarat sebuah batu yang ditetesi air. Lama kelamaan batu yang ditetesi air itu akan bolong. Apalagi hati manusi yang tidak keras seperti batu. Maka berdoalah pada Allah yang Maha membolak-balikkan hati. Pinta kepadaNya untuk melebutkan hati orang tua kita.”
Penjelasan dari Ilahm yang panjang lebar embuat Lee semakin mengerti dan yakin bahwa keputusannya untuk tetap memegang teguh agama Islam adalah pilihan terbaik. Ia hanya butuh banyak belaajr dan dukungan dari orang-orang yang mengarahkannya pada jalan kebaikan.
Serangkaian acara memperingati hari lahir Nabi Muhammad di SMA Karya Anak Bangsa pun selesai. Ilham pamit pada panitia karena ia memiliki acara lain yakni engisi pengajian rutin di kampus merah.
“Ustad Ilham, tunggu!”
Langkah Ilham terhenti karena panggilan seseorang. Ia pun menoleh dan melihat Lee sedang berjalan mendekat.
“Ustad, saya boleh main ke tempat Ustad? Saya mau lebih banyak belajar lagi tentang Islam.”
“Boleh. Boleh banget malah. Rumah saya juga deket dari sini. Mushalla Al-Falah, saya biasa ada di sana sore sampai maghrib.”
“Baik, Ustad, terima kasih.”
Setelah mengucap slam, Ilham kembali berjalan menuju lahan parkir sepeda motor. Baru saja ia akan memakai helm, getaran ponsel di saku celananya, menghentikan aksinya itu.
[Bang, jemput May di rumah mamah, ya. May pingin pulang sekarang.]
Pesan dari Humayra.
Tadi pagi, isterinya itu memang meminta ijin untuk pergi ke acara arisan keluarga. Walau wanita itu sudah pasti tahu, risiko jika ia datang ke acara itu. Ratna –ibu mertua Ilham, memaksa May untuk tetap datang.
Ilham mulai melajukan kendaraan roda duanya dengan perasaan was was. Menurutnya, pesan May tadi tertangkap bahwa wanita itu sedang tidak baik-baik saja. Saat ini matahari masih tinggi di atas kepala. Bisanya acara arisan keluarga itu akan berakhir ketika langit mulai senja.
Ada apa sebenarnya? Apa yang terjadi dengan isterinya di acara keluarga itu?
Kurang lebih satu jam, Ilham sampai di rumah ibu mertuanya. Bangunan mewah berlantai tiga itu terlihat sangat megah dengan barisan kendaraan mewah yang menghiasi tempat parkir di samping rumah yang didominasi oleh warna putih dan gold.
Baru saja Ilham ingin mengucap salam dan mengetuk pintu, samar-samar ia mendengar obrolan tak sedap tentang dirinya dari ibu mertua serta kakak iparnya.
“Seharusnya May itu nikah sama temenku, Mah. Dia pengusaha sukses. Pasti May udah bahagia dan punya anak. Iya kan, Mas?” cetus Wulan, anak pertama dari keluarga Surya Diningrat –Ayah Humayra. Di sampingnya, Rudi yang sedang duduk sambil memainkan ponsel, mengangguk lalu berujar. “ Iya. Namanya Fathir. Dia sholeh juga tapi berasal dari keluarga terpandang kayak kita.”
“Betul itu, Rudi? Kalau begitu boleh kamu kenalkan mamah sama dia. Habis, mamah juga bingung sama May, kenapa dia masih aja nempel sama Ilham. Kerjanya apa coba, cuma guru ngaji. Berapa gajinya? Gak bakalan cukup buat menghidupi May.” Ratna yang sedang mengemil kacang almond, merasa tertarik dengan ucapan menantu pertamanya itu.
“Aku jadi curiga sama ilham, Mah. Mamah kan subur. Aku dan Raya juga subur. Masa May gak subur. Jangan-jangan si Ilham yang mandul.”
‘Astaghfirullah,’ Ilham berucap istighar sambil menutup mata. Hatinya begitu sakit mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh kakak iparnya. Ingin sekali ia segera pergi dari rumah itu tetapi ia ingat Humayra, isteri yang ia cintai berada di dalam rumah itu.
“Mamah dan Mba Wulan gak berhak vonis Bang Ilham seperti itu. Perihal punya anak itu ketentuan Allah. Saya dan Bang Ilham saja tidak begitu mempermasalahkan. Rumah tangga kami baik-baik saja,” ucap May lantang, yang baru saja datang dari arah dapur. Ia tahu kalau kakak pertamanya dan ibunya sedang membicarakan Ilham. Dan ia sebagai seorang isteri, wajib membela harga diri suaminya.
“May, maksud mba itu baik. Itu juga buat masa depan keluarga kita.”
“Maaf, Mba Wulan. Saya tidak suka kalau mba Wulan mencampuri urusan rumah tangga May. Lebih baik, Mba Wulan urus keluarga Mba Wulan aja sendiri.”
Wulan dan Ratna terdiam sambil memandang Humayra yang masih terlihat kesal. Tak lama kemudian, Terdengar suara salam dari pintu utama. Terlihat di sana, pria bertubuh tinggi sedang yang memakai baju koko biru langit, berdiri sambil tersenyum.
“Bang Ilham.” May mendekat dan mencium takzim, punggung tangan pria itu.
“Panjang umur, ya, kamu. Baru aja diomongin. Eh, udah datang,” sindir Ratna pada menantunya.
“Alhamdulillah kalau saya panjang umur. Berarti saya masih bisa menjaga May, anak mama yang baik hati ini.” Humayra memaksakan senyum di depan suaminya meski suasana hatinya masih terbilang kacau.
Terlihat tatapan sinis dari Wulan yang tidak suka dengan kedatangan Ilham.
(Bersambung)

JJPS 4
Langit mulai menjingga tetapi panas mentari masih menyengat kulit. Asap kendaraan bermotor terlihat sesekali mengepul di udara, membuat polusi di jalanan ibukota semakin bertambah.
Togar duduk di becak miliknya sambil mengipas-ngipas menggunakan topi berwarna hitam yang nampak usang. Helaan nafas yang keluar dari mulutnya terdengar kasar. Raut wajahnya antara memelas dan pasrah.
Betapa tidak. Sejak tadi pagi, ia hanya mendapat satu orang penumpang. Apalagi persaingan mendapat pelanggan kini semakin ketat dengan hadirnya ojek online.
Beruntung ia masih bisa menarik becak di daerah kelurahan Penjagalan, tempat yang masih diperbolehkan oleh pemerintah setempat sebagai lahan untuk pelestarian kendaraan roda tiga itu.
Andai saja ia punya sepeda motor, pasti dirinya bisa lebih giat mencari rezeki, pikirnya.
Terlintas bayangan para debt collector yang terus mengejarnya serta tuntutan sang isteri akan biaya-biaya sekolah anak yang terus membengkak, menari di kepalanya.
“Bang, permisi. Mau tanya.” Suara dari seseorang membuatnya terkejut dari rasa kantuk yang mulai menyerang.
“Ya, kenapa?” jawab Togar.
“Mau tanya alamat, Bang. Kalau mushalla Al-Falah di mana,ya, Bang?” lanjut pemuda yang menggunakan kemeja biru dan celana hitam itu setelah melihat layar ponselnya.
“Ooh. Itu di sana, gang H. Makmun.” Togar menunjuk sebuah pertigaan di depannya.
Ia menatap pemuda berkacamata itu lekat lekat. Memindai dari ujung kepala sampai alas kaki yang dipakainya. Sangat rapi seperti pekerja kantoran. Yang membuat Togar heran kenapa pemuda ini menanyakan alamat mushalla yang tempatnya sangat terpencil dan terbilang kumuh.
Tidak ada tanggapan dari yang bertanya tadi, membuat Togar kembali bertanya.
“Emangnya lo mau ketemu siapa di sana?”
“Saya mau ketemu Ustad Ilham. Abang kenal?”
“Oo ... Ustad Ilham. Gue kenal. Dia orang baik. Ya udah gue anterin. Buruan naik!”
“Makasih, Bang.”
Pemuda itu pun naik ke atas becak yang dikayuh oleh Togar. Terjadi percakapan antara mereka yang saling bertanya tentang nama dan di mana mereka bisa mengenal sosok Ustad Ilham.
Hanya butuh sepuluh menit, kendaraan roda tiga itu sampai di depan mushalla yang hanya dicat warna putih. Seulas senyum terbit di wajah lelaki bertubuh kekar dan bertato kala melihat sepasang sandal jepit di teras depan mushalla.
“Kayaknya Ustad Ilham ada di dalam. Ayo!”
Lee mengangguk dan segera berjalan mengikuti langkah Togar di depannya.
“Assalamu’alaykum, Ustad Ilham,” ucap Togar dengan suaranya yang khas, lantang dan tegas.
“Wa’alaykumsalam. Maasya Allah Bang Togar. Eh, ada tamu. Kamu Lee yang kemarin itu, kan?”
“Iya, Pak Ustad. Saya ke sini mau ketemu Ustad Ilham.”
“Ayo masuk!”
Lee mulai melepas sepatu yang dipakainya dan memasuki ruangan mushalla yang biasa dipakai untuk tempat shalat.
Sadar kalau Togar tidak ikut masuk, Ilham pun berujar, "Bang Togar, ayo masuk juga! Apa masih ada keperluan di luar?”
“Engg... gak ada seh. Saya boleh, ikut gabung, Pak Ustad?”
“Boleh. Ayo!”
Dengan binar, Togar segera masuk dan ikut duduk melingkar bersama mereka. Dari pada ia duduk di becak, melamun tidak jelas, lebih baik ia duduk bersama orang sholeh. Siapa tahu kecipratan pahala, tebaknya dalam hati.
“Jadi begitu, Ustad. Ibu saya masih memusuhi saya. Bahkan saya diusir, tidak boleh pulang." Lee mengakhiri ceritanya. Wajahnya nampak sendu dengan kedua mata yang berkaca-kaca.
“Sudah, gak apa-apa. Ini ujian. Allah sedang mengujimu, menilai kadar keimananmu yang baru kau pilih. Allah tidak mungkin diam saja melihat hamba yang dicintainya tanpa diberi ujian. Akan tetapi, Allah pula yang akan memberikan kemudahan bagi hambanya yang mau berusaha untuk bersabar dan bertawakkal.”
Togar hanya diam sejak tadi, mencoba merenungi penjelasan dari Ilham tentang curhatan dari pemuda yang baru ia kenal, Lee.
Ia mulai bercermin diri tentang masalah yang sedang dihadapinya. Selalu masalah uang dan uang. Sedangkan Lee tentang keimanan.
Lebih berat yang manakah dari dua masalah tersebut? Togar tidak tahu tetapi ia yakin bahwa Allah tidak akan memberikan ujian melebihi batas kemampuan hambaNya. Sesuai dengan apa yang baru saja dijelaskan oleh Ustad Ilham tadi.
***
“Ustad Ilham! Buka pintunya, Ustad. Cepat Ustad!” terdengar teriakan dari arah pintu depan diiringi gedoran pintu yang keras, membuat Ilham dan isterinya terkejut. Segera ditinggalkannya aktifitas makan malam yang baru saja dikerjakan. Lalu, ia bergegas menuju ke pintu utama.
“Ada apa, Kang Edo? Teriak-teriak begitu. Kan semua bisa dibicarakan baik-baik," ucap Ilham yang mencoba tenang tidak terpancing dengan keadaan.
“Maaf, Ustad. Gak ada waktu lagi. Ayo Pak Ustad buruan ikut saya!” ucap Edo, sangat panik. Ia bersama kedua temannya celingak celinguk, tidak tenang.
“Ada apa, Kang Edo? Ikut ke mana?”
“Ke rumah Pak RT, Ustad. Itu! Isteri Bang Togar mau bunuh diri.”
‘”Astaghfirullah, kenapa bisa gitu?”
“Gak tahu, Ustad. Bang Togarnya juga sekarang kalap, Ustad. Dia mau bacok diri sendiri juga. Ayo Pak Ustad kita ke sana!” rengek Edo gregetan dan tangis yang menyatu.
"Iya, sebentar. May, abang ke rumah Pak RT, dulu, ya! Kamu jangan ke mana-mana. Kunci pintu aja!” pesan Ilham pada Humayra yang telah berdiri di sisinya.
“Iya, Bang.”
Ilham dan ketiga orang yang menjemputnya tadi, berjalan cepat agar segera tiba di rumah Pak RT.
Bersambung.

JJPS 5
‘T-tahan, Bang, tahan! Se-semua bisa dibicarakan baik-baik,” ucap Pak RT gugup, antara takut dan ngeri melihat Togar yang mengacungkan sebuah golok. Kilatan dari senjata tajam itu sangat berkilau di udara, membuat malam ini semakin mencekam.
Kerumunan warga yang ingin melihat kejadian, tidak bisa dihindari. Togar berdiri tegak di depan kontrakannya yang bersebelahan dengan rumah Pak RT. Tatapan matanya menghunus tajam dengan dada yang membusung, menandakan ada segunung amarah dalam dirinya.
Di beranda rumah Pak RT, terlihat Sumi, isteri Togar terduduk lesu dalam pelukan ibu-ibu. Wanita bertubuh tambun itu berhasil diselamatkan setelah nyaris melakukan aksi menggantung diri di dapur rumahnya.
“Bilang sama Sumi. Gue aja yang mati. Gue udah gak kuat! Aargh ....”
“Stop! Berhenti Bang Togar! Istighfar, Bang, istighfar! Astaghfirulahal ‘azhim.” Ilham datang pada waktu yang sangat tepat.
Togar yang sudah mengangkat golok dan ingin dihunuskan ke tubuhnya segera menghentikan aksinya itu karena mendengar suara dari ustad Ilham.
“Tolong jangan hentikan saya, Ustad. Saya sudah gak kuat lagi. Saya bener-bener gak berguna. Hidup hanya menyusahkan. Lebih baik saya mati, Ustad.”
“Sabar, Bang. Allah gak tidur. Dia pasti akan bantu kita asalkan kita tidak putus asa dari rahmatnya. Bunuh diri akan menambah dosa Abang. Jadi tolong, hentikan, Bang!” Lagi, Ilham mencoba merayu agar pria kekar itu luluh dan menjatuhkan benda tajam yang ia genggam.
“Kenapa hidup saya seperti ini, Pak Ustad. kenapa Allah seakan gak peduli sama saya, Ustad ...," lirihnya yang mulai terisak.
Togar menjatuhkan diri dengan kedua lutut sebagai tumpuan, luluh ke tanah. Suasana haru itu berhasil membuat semua penonton merasa terenyuh.
Ilham mulai mendekat. Diambilnya golok yang tergeletak di tanah dan menyingkarkan benda tajam itu ke tempat yang lebih aman agar tidak diambil lagi oleh Togar. Setelahnya, pria berbaju koko putih itu berjongkok di dekat Togar.
“Alhamdulillah. Abang menang, Bang. Abang menang melawan setan-setan yang merayu abang untuk berbuat haram itu,” ucapnya dengan bangga sambil menepuk bahu Togar. Dipeluknya pria berbadan besar itu yang sudah berpeluh keringat. Bergetar badan togar dengan isakan tangisnya.
“Sabar, Bang. Allah sayang sama Bang Togar. Kita semua akan membantu abang.”
Malam merambat naik. Angin yang berhembus kencang di musim penghujan ini membuat suasana yang tadinya sempat panas kini berubah menajdi sejuk.
“Maaf, Bang. Ini ada apa, ya, kok rame?” tanya seorang lelaki setelah menepuk pundak dari salah satu penonton. Rupanya anak muda itu baru saja muncul jadi tidak tahu dengan kejadian heboh ini.
Edo tersadar lalu menoleh ke arah sumber suara.
“Itu ada yang mau bunuh diri!” jawabnya sambil menunjuk ke depan. Lalu, Edo melihat lagi pada pemuda yang bertanya tadi. Ia tidak mengenal orang itu. Mungkin warga baru atau orang yang hanya lewat.
“Astaghfirullah.”
“Lo bukan warga sini, ya, atau ...”
“Iya, Bang. Saya baru pindah ke kos H. Romli tadi sore.”
“Pantesan, gue baru kenal sama muka lo.”
“Itu ... bukannya Ustad Ilham, ya, Bang?” tunjuk pemuda tadi, membuat Edo mengernyitkan dahi.
“Lo kenal Ustad Ilham?”
“Iya, dia suka ngisi pengajian di kampus saya kuliah. Wah, kebetulan. Saya memang pingin berguru dengan beliau.”
“Tapi sekarang waktunya kurang tepat. Ustad ilham lagi sibuk nanganin orang yang maju bunuh diri. Besok aja lo datang ke Mushalla Al-fallah. Dia suka ngajar di situ sore sampe maghrib.”
"Iya, Bang. Makasih. Kalo gitu, saya duluan, Bang.”
“Gak mau lihat lagi, ne, tontonan gratis?”
“Gak, Bang. Serrem. Hehe...”
Pemuda berbaju kemeja kotak-kotak itu pun berlalu meninggalkan kerumunan yang mulai terpecah.
***
“Abang belum tidur?” tanya May yang terbangun di tengah malam dan mendapati suaminya sedang duduk bersimpuh di atas sajadah.
“Eh, May, kok bangun.” Ilham beringdut bangun dan duduk di tepi ranjang.
“Abang lagi ada yang dipikirin? Biasanya kan kalo abang gak bisa tidur, pasti lagi ada yang dipikirin,” tebak May. Ia sudah hafal dengan kebiasaan lelaki yang menikahinya sepuluh tahun ini.
Ilham menghela, seperti mengeluarkan bongkahan kayu di dada yang membuatnya terasa sesak.
“Abang bingung, May.”
“Bingung kenapa, Bang. Cerita sama May! Siapa tahu May bisa bantu.”
“Abang lagi mikirin cari pekerjaan baru yang tepat buat Bang Togar. Kalau Cuma ngandelin dari narik becak kayaknya sulit buat bayar hutang.”
Kini, May yang tediam. Wanita berusia 32 tahun itu ikut memikirkan apa yang disampaikan oleh suamnya tadi.”Tuh, kan. Abang udah bikin kamu bingung. Ya, udah tidur lagi sana. Kasihan isteri abang.” Ilham mengacak pucuk kepala isterinya, yang matanya terlihat sayu karena menahan kantuk.
“Gak, Bang. May inget kalau di kantor tempat May kerja lagi ada lowongan buat jadi satpam. Kayaknya Bang Togar cocok. Tapi harus diseleksi dulu.”
“Maasya Allah. Beneran, May?” tanya Ilham dengan binar.
May mengangguk kuat.
“Alhamdulillah.”
“Besok May kabari lagi. May mau tanya ke bagian SDM dulu. mudah-mudahan masih kosong.”
“Aamin. Makasih, ya, Sayang. Kamu selalu menjadi pelipur hati abang. Penuntun jalan kebuntuan, penyemangat dikala lemah, ehm ... apalagi, ya?”
“Mulai deh, lebay.” May tersipu. Ada semburat merah yang muncul di wajahnya. Apalagi sekarang Ilham mulai mendendangkan lagu bang haji Rhoma yang berjudul Isteri Shaliha.
Setiap keindahan yang tampak oleh mata
Itulah perhiasan, perhisan dunia.
Namun yang paling indah diantara semua
Hanya isteri shaliha, isteri yang shaliha...
***
Selanjutnya, silakan pembaca menafsirkan sendiri apa yang terjadi antara mereka berdua. Hehe...

JJPS 6
"Assalamu’alaikum, Kang Edo. Melamun aja, neh,” ujar Ilham seraya menepuk Edo yang sedang duduk melamun di teras mushalla Al-Fallah. Pria berambut hitam ikal itu tersentak hingga terjungkit dari tempat duduknya, melihat Ilham yang sudah berada di dekatnya.
“Astaghfirullah. Pak Ustad, ngagetin aja, seh. Kayak kang kredit yang tiba-tiba datang ke rumah,” sahut Edo dengan bibir yang dimanyunkan.
“Maaf, Kang. Abis ente bengong aja dipanggil ga nyahut-nyahut. Nanti jodohnya diambil orang lho!”
“ Jangan gitu, dong, Ustad. Jodoh saya udah jauh ntar malah tambah jauh. Bisa brabe urusannya sama emak saya,” keluh Edo yang sambil merengut. Di depannya gerobak cilok yang kini tinggal setengah panci, menggugah selera Ilham untuk mendekat.
“Canda, Kang. Emang si Mimin gimana kabarnya?” lanjutnya sambil memilih-milih makanan berbentuk bulat kecil itu dan dimasukkannya ke dalam plastik putih.
“Jangan bahas si Mimin lagi, Stad. Dia pergi ninggalin saya disaat lagi sayang-sayangnya. Sakit hati saya di posting,” curhat Edo tentang sakit hatinya sambil bertopang dagu.
“Di ghosting, kali,” sahut Ilham, membenarkan ucapan Edo tadi.
“Iya, maksud saya ntu, Pak Ustad. Biarlah hati saya merana, asalkan dia bahagia. Ternyata selama ini, saya tersesat di dalam hatinya. Mungkin, aku dan dia adalah jodoh yang tersesat.”
“Beu, mantap!” jawab Ilham lalu memasukkan sebuah cilok yang sudah dilumuri saos kacang ke dalam mulutnya.
“Bisa aja, Kang Edo kayak penyair,” celetuk Togar yang baru datang dan ikut berkumpul bersama Ilham yang sudah kembali duduk di teras mushalla.
Edo menarik napas panjang. Pandangan matanya masih fokus lurus ke depan.
“Namanya juga jatuh cinta, Bang. Berkali-kali jatuh tapi tetap aja cinta sama si Mimin.”
“Sabar, Kang Edo!” ujar Ilham lalu menawarkan cilok pada Togar. Pria itu pun dengan senag hati mengambil sendiri cilok yang ada di gerobak.
“Ternyata kisah cinta saya, Pak Ustad, cuma sebatas iklan. Numpang lewat doang di hatinya. Sakit hati saya.” Lagi, Edo masih mengelurkan isi hatinya dan berkeluh kesah tentang kisah cintanya dengan wanita yang ia suka sejak kecil. Tanpa memepedulikan Ilham dan Togar yang asik makan cilok dagangannya.
“Hewan qurban aja dikorbanin lehernya jangan sampe putus, ya, Stad. Tapi saya yang udah banyak berkorban sama dia, akhirnya putus juga.”
“Lu nya, aja kali, yang ga bisa perjuangin cinta lo. Makanya si Mimin dijodohin sama cowok di gang sebelah sama Pak RT,” sahut Togar.
“ Ya ampun, Bang Togar. Mengapa kau selalu benar, dan aku selalu salah di matamu. Padahal aku bukan pemain sepak bola asal Mesir.”
“Wah ... ni anak kayaknya udah kesurupan setan bucin. Apa perlu di rukyah, Ustad?”
“Enak aja, gue dibilang kesurupan.”
“Lah, emang udah parah.”
“Kagak!”
Ilham hanya tersenyum melihat tingkah mereka berdua yang saling berceloteh, tidak terima dengan pendapatnya.
“Permisi, Assalamu’alaykum,” sapa seseorang yang baru saja datang. Togar dan Edo yang sedang bercanda, saling memukul lengan tiba-tiba terdiam. Mereka bertiga pun kompak menjawab salam tersebut.
“Wa’alaykum salam.”
“Lee, maasya Allah. Sini gabung!” ucap Ilham yang tak menayngka dengan kehadiran pemuda muallaf itu di sore hari ini.
“Maaf, ganggu. Ini lagi pada kumpul, ustad?”
“Ya, lagi ada senggang aja sambil dengerin ceramah dari Kang Edo.”
“Waduh!” Edo terbelalak hingga kedua alisnya terangkat.
“Ceramah apa, Ustad? boleh saya gabung di sini?” tanya Lee lagi.
“Ceramah orang yang lagi patah hati.” Kali ini yang menjawab Togar. Ia merasa senang dan menang bisa mengerjai temannya itu. Edo makin keki dibuatnya.
Kini, Lee sudah duduk melingkar bersama mereka bertiga. Dan kali ini Ilham yang angkat bicara.
“Ayo, Kang Edo, dilanjut lagi ceramahnya!”
“Pak Ustad bisa aja. Saya kan cuma curhat bukannya lagi ceramah.”
“Iya, kan dari curhatan Kang Edo, ada hikmah yang bisa kita ambil.”
“Apanya Pak Ustad. Hikmah kegalauan yang hakiki? Ada-ada aja, ustad neh.”
“Nah, itu. Himah kegalauan. Kenapa hati Kang Edo bisa galau? Ada yang tahu?”
“Karena ditinggal nikah sama Mimin, Ustad,” celetuk Togar yang dibalas dengan hentakkan siku oleh Edo.
“Bisa jadi itu. Tapi, itu terjadi karena Kang Edo terlalu fokus mengejar cinta si Mimin. Tapi gak fokus ngejar yang lain.”
“Maksudnya apa, Stad? Saya tambah gak ngerti. Maklum, IQ saya di atas rata-rata.”
“Maksudnya, lo harus ngejar cinta Pak RT sama Bu RT, Edo.”
“Idih! Ogah amat. Dari jauh aja udah serem apalagi suruh deketin. Gue kan, suka sama anaknya bukan orang tuaya,” tukas Edo yang tak terima dengan pendapat Togar. Sedang Lee hanya menyimak dengan sesekali tersenyum.
“Bukan, bukan begitu. Maksudnya, kita sebagai manusia pasti lelah jika terus mengejar cinta seseorang karena cinta itu letaknya ada di hati. Tidak ada yang tahu. Makanya, Kejarlah sang Maha Cinta. Pemilik hati dari semua makhluk yang ada di bumi.”
“Ngerti gak, Lo?” tanya Togar lagi pada Edo.
“Kagak.”
“Gini, Bang. Cobalah bang Edo merayu Allah di sepertiga malam. Shalat tahajud, minta dilembutkan hati si Mimin plus hati orang tuanya supaya mau menerima abang. Betul gak, Ustad?” jawab Lee.
“Mantap.” Ilham mengacungkan kedua jempolnya pada Lee, membuat Edo semakin bingung. Tangan kanannya tak henti-henti menggaruk kepala yang memang gatal karena belum mandi. Hihi... kang Edo, mandi atuh! Biar wangi.
“Ya Allah, kalau si Mimin memang jodohku, tolong dekatkanlah. Tapi kalau dia bukan jodohku, tolong suruh minggir. Dia halangin jodohku yang mau masuk,” seru Edo sambil menengadahkan kedua tangnnya ke atas. Mereka yang melihatnya mengucap kata ‘aamiin’ sambil tertawa.
Tak lama berselang, datanglah seorang anak muda yang sedang mencari Ilham.
“Assalamu’alaykum, Ustad Ilham.”
“Wa’alaykumsalam,” jawab mereka berempat dengan serempak.
“Eh, lu warga baru yang kemarin malam nanyain ustad Ilham, ya?” tebak Edo sambil menunjuk pemuda tadi.
“Iya, Bang. Saya Rahman, mahasiswa yang ngekos di kontrakan sebelah.” Rahman memperkenalkan diri dan bersalaman pada mereka semua yang juga menyebutkan nama masing-masing. Setelah itu mengambil duduk di dekat Lee yang masih kosong.
“Baru pulang kuliah, Rahman?” tanya Ilham.
“Iya, Ustad. Alhamdulillah lewat sini lagi rame, jadi saya mampir. Kebetulan saya memang lagi ada perlu sama Ustad.”
“Boleh, silakan. Gak apa-apa bicara di sini. Mereka teman saya, orang baik-baik.”
“Iya, gak apa, Ustad. lagipula, ini bukan masalah pribadi, kok. Jadi gini, kenapa Ustad Ilham gak datang lagi ngisi pengajian kita di kampus? Anak-anak semua merasa kehilangan, Ustad.”
“Lho! bukannya ada Ustad Jamal yang udah pulang umroh. Saya kemarin itu hanya mengganti beliau yang lagi pergi.”
“Iya, Ustad. Tapi Ustad Jamal udah dua bulan gak datang, dihubunigi juga sulit. Jadi kita pada bingung mau ke mana nyari pengganti beliau. Makanya saya mencari Ustad Ilham.”
Terlihat, Ilham manggut-manggut, mencoba mencerna dengan baik semua penjelasan dari Rahman. Sedangkan yang lain menjadi pendengar yang baik.
“Insya Allah, pekan depan, ya. Tapi saya mau nyoba kontak ustad jamall dulu. ingin memastikan saja. Khawatir jika beliau tidak mengijinkan.”
“Baik, ustad.”
“Waduh, ke mana perginya cilok saya, neh. Kok pada menghilang!” pekik Edo yang sudah berdiri di dekat gerobaknya dan melihat isi panci yang tinggal tersisa sedikit cilok.
Ilham, Togar dan Lee yang sedang fokus menyimak Rahman berbicara, terkejut dengan nsuara Edo yang cempreng.
“Tega banget! Gak hanya si Mimin yang montok ninggalin saya. Cilok yang badannya kecil juga tega ninggalin saya,” keluh Edo dengan menggerutu, membuat yang lain jadi tertawa.
(Bersambung)

JJPS 7
Langit jingga kini berganti menjadi gelap, pertanda sang surya telah tenggelam. Waktu shalat maghrib pun segera tiba. Ilham melihat jam yang melingkar di tangannya lalu meminta dari mereka untuk bersiap-siap menunaikan shalat maghrib.
“Kita shalat maghrib di sini aja, ya. Ada yang bisa adzan? Pasti pada bisa. Yang berani, maju. Saya mau wudhu dulu.”
Togar, Edo, Lee dan Rahman saling pandang dan saling mendorong untuk maju.
“Lo aja, Bang, yang senior,” usul Edo.
“Eh, suara gue fals. Yang ada orang bukan mau shalat tapi pada ngacir, ketakutan. Lu aja, anak baru,” tunjuk Togar pada Rahman.
“Saya lagi batuk-batuk, Bang. Beneran!”
“Biara saya aja, Bang. Meski ini pertama kali buat saya, tapi insya Allah saya bisa.” Lee mengajukan diri sendiri menjadi petugas muadzin, membuat mereka bertiga saling pandang, terkesiap dengan ucapan pemuda bermata sipit itu. Antara yakin dan tidak yakin.
Setelah berwudhu, pemudha muallaf itu mengambil posisi untuk melantunkan adzan. Berdiri tegak menghadap kilbat serta tangan kanan diletakkan di dekat telinga. Dengan mengucap bismillah, Lee mulai menyerukan panggilan merdu untuk mereka yang ingin menghadap sang pencipta.
“ALLAHU AKBAR, ALLAHU AKBAR!”
Bergetar tubuh Lee saat mengucapkan kalimat indah itu. Kedua matanya terpejam, jantungnya berdetak hebat, memompa darah dengan cepat ke seluruh sendi-sendinya. Suara lantang dan lugas itu terdengar begitu jelas, menggugah bagi siapa saja yang mendengarnya.
Kalimat demi kalimat Adzan yang didengungkan oleh Lee sunggu sangat merdu. Ilham, Togar, Edo dan Rahman yang berdiri, memandang punggung Lee di depannya dengan takjub dan meremang.
“LAA ILAAHA ILLALLAH.”
Adzan selesai, berganti dengan iqamat yang kembali diserukan oleh Lee. Selanjutnya empat sekawan itu berbaris rapi, membentuk shaf shalat berjama’ah dengan Ilham sebagai imamnya.
***
“May, papa sakit. Cepat kamu pulang ke sini!” Suara Ratna, Ibu kandung Humayra di seberang telpon terdengar lirih, membuat May menghentikan kegiatan mengetik di komputernya. Wanita berusia 32 tahun itu bekerja sebagai manajer keuangan di salah satu perusahaan bonafit di Jakarta.
“Papa sakit apa, Mah?”
“Tadi dokter Rey sudah ke rumah periksa papah. Katanya, serangan jantung ringan. Mama minta papa dirawat tapi papa gak mau, May. Dia minta kamu datang ke sini,” tutur Ratna.
“May coba ijin dulu ke Bang Ilham, ya, Mah. Kalau boleh, nanti pulang kerja, May jenguk papah.”
“Kamu gak usah ijin. Masa ke rumah orang tua aja harus bilang ke suami,” tukas Ratna yang terdengar kesal dan tak setuju dengan ucapan putrinya tadi.
Terdengar ketukan pintu dari ruangan kerjanya kemudian muncul seorang wanita berpakaian rapi membawa beberapa berkas. May mengangguk, memberikan ijin pada sekretarisnya itu.
“Mah, May kan sudah nikah. Udah seharusnya kalau isteri itu harus ijin ke suami jika ingin pergi ke manapun.” May mencoba menjelaskan dengan tenang dan lembut. Akan tetapi, Ratna tidak mengindahkan dan memutuskan sambungan telpon. May bimbang. Ia mulai mengetik pesan pada Ilham, mengabari kalau selepas kerja nanti, ia akan ke rumah orangtuanya.
Wina, sekretaris tadi meletakkan beberapa file di meja yang harus ditandatangani oleh Humayra. May melakukan pekerjaannya, memeriksa laporan dari para staff dan membuat pembukuan di akhir tahun.
Ingin sekali. saat ini juga ia pergi ke rumah untuk menjenguk sang ayah tetapi dirinya masih mempunyai beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan mengingat laporan akhir tahun sudah ditunggu oleh para direksi.
Sambil menunggu balasan dari pesan dari Ilham, May kembali fokus pada layar komputer.
Tak terasa, jam pulang kantor sudah berakhir. May bersiap-siap untuk langsung pergi ke rumahnya yang dulu pernah ia tempati. Dengan setengah berlari menuju tempat parkiran motor, May sesekali melirik pada jam diponselnya. Beberapa sapaan dari teman kantornya yang berpapasan hanya ia jawab lewat senyuman. Itu karena, Ratna kembali menelpon dan mangabarkan kalau Surya, suaminya telah dilarikan ke UGD rumah sakit terdekat.
Akhirnya, sampailah May pada pelataran rumah sakit Bunda Harapan dan langsung bergegas menuju ruang UGD. Terlihat di sana, ibunya beserta kedua kakaknya Wulan dan Raya tengah menangis.
“Mah, papa mana?” lirih Humayra sambil berjalan mendekat ke arah Ratna yang sedang terduduk lemas dalam pelukan Wulan.
“Papamu udah gak ada, Nak,” jawab Ratna dengan serak.
May tersentak hingga kedua matanya membola. Seketika, dalam dadanya bergemuruh seperti ada lonjakan emosi yang membuncah. Bulir air mata tanpa disadari sudah berjatuhan di kedua pipinya.
“Astaghfirullah. Innalillahi, Papa!” Tangan kanan May menutup mulut agar tidak terdengar suara isak tangisnya.
“Ini semua gara-gara kamu, May!” suara lantang dan tegas mengejutkan May dari lamunannya akan sosok mendiang ayah yang begitu lembut dan bijaksana.
Ia pun menoleh pada kakak sulung yang sedang menatapnya tajam.
“Mba Wulan? Kenapa Mba bicara begitu?” tanya May yang tidak mengerti dengan ucapan kakaknya tadi.
“Gara-gara mikirin kamu, Papa jadi sakit. Dasar anak tidak tahu diuntung!” sarkas Wulan dengan dada bergemuruh.
“Sudah, Mba. Ini rumah sakit, tolong jaga sikap!” ucap Raya, kakak kedua yang mencoba menengahi sebelum terjadi perdebatan yang lebih tajam.
Wulan tersadar lalu menutup mulutnya rapat-rapat. Tatapan tajamnya masih mengarah pada adik bungsunya yang kini terduduk di ujung bangku.
***
“May, ayo!” Ilham menepuk bahu May, pelan, mengajak wanita itu untuk segera pergi meninggalkan pemakaman. May segera menyusut air mata yang masih saja turun. Sekali lagi, ia mengelus papan nisan bertuliskan ‘Surya Diningrat’ nama sang ayah tercinta.
Petang tadi jenazah tiba di rumah duka dan langsung dilakukan proses pemakaman tanpa menunggu sang fajar. Permintaan dari keluarga dan tentu saja sesuai syariat Islam yang mengisyaratkan agar jangan terlalu lama menunda si mayit untuk mendapatkan haknya.
Rinai hujan masih menyisakan bekas-bekas bau tanah yang basah. Desau angin yang berhembus, membuat udara malam ini terasa lebih menggigit. Ilham meletakkan jaket pada tubuh isterinya. Wanita itu belum sempat mengganti pakaian selepas pulang kerja. Peristiwa memilukan ini terjadi sangat tiba-tiba bahkan Ilham harus meninggalkan jadwal mengajarnya di kampus tempat Rahman kuliah.
“Istirahat saja, May. Mukamu sangat pucat. Aku ambilkan minum, ya!” ucap Ilham ketika mereka berdua kembali tiba di rumah duka. Terlihat beberapa pelayat yang hadir, meninggalkan tempat dan pamit pada Ilham dan May di halaman depan rumah bertingkat tiga itu.
“Masih betah di sini? Kenapa gak langsung pulang?” hardik Wulan yang melihat May dan Ilham memasuki ruang tamu. May tersentak. Ia tak menyangka kakak sulungnya akann kembali menyerangnya. Apalagi di tempat ini masih ada keluarga dan kerabat dekat seperti kakak dan adik almarhum.
“Mba, ini rumah Papa berarti aku berhak untuk datang ke tempat ini. Kenapa emangnya, Mba?” Ilham segera mengelus pundak May agar isterinya itu tetap tenang dan tidak terpancing emosi.
“May, seharusnya kamu tanya diri kamu sendiri, kenapa papa bisa kena serangan jantung. Dan suami kamu yang miskin ini adalah penyebabnya.”
“Astghfirullah!” ujar May dan Ilham bersamaan.
(Bersambung)

JJPS 8
“May, seharusnya kamu tanya diri kamu sendiri, kenapa papa bisa kena serangan jantung. Dan suami kamu yang miskin ini adalah penyebabnya.”
“Astghfirullah!” ujar May dan Ilham bersamaan.
Suasana di ruang tamu yang luasnya mencapai setengah dari lapangan sepak bola itu kini menjadi semakin tegang. Pertengkaran itu terdengar hingga ke kamar utama tempat Ratna sedang beristirahat. Raya yang sedang menemani ibunya, merasa harus segera keluar untuk melerai kedua saudaranya.
“Maksud Mba, apa, bawa-bawa suami saya? Mba kalau bicara hati-hati! Mba udah menyinggung harga diri suami saya,” tegas May, tak terima dengan sikap Wulan yang mempermalukan suaminya di depan banyak orang.
“Kalau saja kamu tidak menikah dengan pria miskin itu, papa tidak akan malu untuk menghadiri pertemuan para pengusaha tingkat international. Dan asal kamu tahu, papa di coret dalam penghargaan pengusaha terbaik tahun ini. Itu semua gara-gara kamu dan suami kamu. Paham!”
Bergetar tubuh May mendengar ucapan Wulan yang tak pernah ia duga sebelumnya. ‘Benarkah papa seperti itu?’ Apakah papa mempunyai kebencian terhadap suamiku?’batin May bergejolak. Kedua matanya mulai mengembun. Pertahanan yang sejak tadi ia bangun, kini mulai goyah. Segera May menggeleng cepat, menghalau segala prasangka dan penjelasan dari kakak sulungnya tadi.
“Papa gak mungkin berpikir kolot kayak gitu, Mba. May tahu bagaimana papa merestui hubungan kami dulu. papa juga yang menjadi wali nikah May.”
“Sudahlah, May, lebih baik kita duduk,” ajak Ilham yang sedikit menarik tangan isterinya untuk segera duduk di atas karpet tebal seperti permadani berwarna merah. May menangkis ajakan Ilham dan kembali berbicara lantang.
“Nggak, Bang. Dari dulu isterimu ini diam melihat mereka mengejek abang. Sekarang kita tidak boleh diam terus.”
“May! Dengarkan abang! Kita tidak akan rendah dimata Allah hanya karena ejekan orang. Kau jangan lawan kakakmu. Mengeti?” tegas Ilham dengan tetap tenang. May luluh, ia paling tidak bisa melawan perintah sang suami. Meski kesal, akhirnya wanita berjilbab hitam itu ikut duduk bersama yang hadir di sana.
Rudi, suami Wulan juga mencoba menenangkan isterinya. Kehilangan ayah yang dicintai membuatnya emosi wanita itu menjadi tidak stabil. Akan tetapi usahanya sia-sia. Wulan masih terlihat kesal. Ia ingin kembali menyerang tapi kini ditahan oleh Raya. Baru saja ia ingin duduk, terlihat tiga orang laki-laki yang baru saja datang dan mengucap salam. Mereka menyebut diri mereka adalah teman dari ustad Ilham itulah yang membuat Wulan kembali berang.
Ilham yang mengetahui Togar, Edo dan Rahman datang, segera berdiri menyambut kedatangan mereka di bibir pintu.
“Ustad, mohon maaf, kami baru dapat kabar. Kami turut berduka cita atas meninggalnya bapak mertua ustad,” ucap Edo yang mengawali percakapan.
“Oo... jadi mereka teman kamu, Ilham.” Suara keras itu kembali berasal dari Wulan. Ilham yang ingin menjawab ucapan Edo, terkejut dengan sikap kakak iparnya yang kembali menyerangnya.
“Bagus. Orang rendahan itu temennya sama orang miskin.”
“Astaghfirullahal ‘azhim!” Ilham kembali berucap istighfar dan harus menelan pil pahit atas hujatan yang dilakukan oleh kakak iparnya. begitu juga dengan Togar, Edo dan Rahman. Mereka pun saling pandang, bingung dengan sikap tuan rumah yang memperlakukan Rahman seperti bukan keluarga sendiri.
“Mau apa kalian ke mari? Di sini bukan tempat kalian!” hardik Wulan pada mereka bertiga yang masih berdiri di ambang pintu.
“Ki-kita mau ikut tahlilan, Nyonya,” jawab Edo dengan terbata.
“Hah! Tahlilan? Bilang aja kalau kalian mau makan gratis. Maaf, kami sekeluarga tidak mengadakan tahlilan. Lagipula tahlilan itu bid’ah. Ya, kan, ustad Ilham?” tanya Wulan lebih tepatnya menyindir dan mengetes wawasan pada Ilham yang memang seorang ustad.
“Em, memang benar. Tahlilan pada orang yang meninggal itu bid’ah tetapi itu termasuk bidah hasanah artinya bid’ah yang baik dan boleh dilakukan.” Ilham menjawab dengan tenang dan terampil tanpa menyudutkan siapapun. Di sampingnya, May berdiri dengan rasa khawatir jika kakaknya itu akan kembali menyerang suaminya.
“Denger, kan, kalian bertiga. Buat apa masih berdiri di situ. Apa perlu saya panggil security untuk mengantar kalian sampai ke pintu gerbang?”
“Mba Wulan!” bentak May yang begitu terkejut dan tak percaya. Begitu juga dengan yang lainnya.
“I-iya. Pak Ustad, kita pamit dulu. Assalamu’alaykum.”
“Sebentar, saya juga ikut. May, abang balik duluan, ya! Kamu di sini saja, temani mamah. Gak enak kalo kamu juga ikut pulang.”
“Tapi, Bang.”
Ilham menggeleng lalu membelai lembut kepala isterinya yang terbalut dengan jilbab. Lelaki itu segera melangkah pergi meninggalkan rumah megah nan mewah tetapi gersang akan ketenangan dan kedamaian.
Dengan rasa pilu, sedih dan bimbang yang memenuhi hati, Ilham berjalan beriringan bersama Togar, Edo dan Rahman. Tak henti-hentinya, hati dan pikirannya melafalkan zikir agar ia tetap tenang.
“Bang Ilham, tunggu!”
Langkah pria berkalung sorban putih hitam itu terhenti kala namanya dipanggil oleh seseorang yang ia hafal.
“May?”
Wanita itu berjalan cepat, menyusul jejak suaminya yang hampir sampai di pintu gerbang. Togar, Edo dan Rahman yang mengerti keadaan, segera melipir ke kanan agar tidak mengganggu pasangan sejati itu.
“Biarkan May ikut abang pulang. May gak mau jika berada di sana sendirian tanpa abang.”
“Kamu udah pamit sama mamah?” tanya Ilham yang khawatir dengan keputusan isterinya disaat keluarganya sedang berduka atas meninggalnya ayah mertua.
“Mamah lagi istirahat di kamar tadi tapi May udah pamit sama Mba Raya.”
Ilham tersenyum tipis sambil mengangguk. Mereka pun bergegas pergi karena langit malam semakin kelam.
Tak disangka, di dekat pintu gerbang mereka berpapasan dengan Lee yang baru saja tiba. Pemuda yang sudah lengkap memakai baju koko dan kain sarung itu nampak bingung karena bertemu ustad Ilham dan yang lainnya, berjalan ke luar pagar.
“Eh, udah selesai, ya? Kok pada balik? Maaf ustad, saya terlambat.”
“Selesai apaan? Mulai aja belum,” jawab Edo, kesal, membuat pemuda bermata sipit itu heran. Togar langsung menarik tangan Lee untuk ikut keluar dari pelataran rumah bergaya modern itu.
“Ayo, pulang! Pulang! Udah bubar!”
“I-iya, Bang.” Meski tak mengerti, Lee mengikuti langkah teman-temannya menuju sepeda motor yang terparkir di luar pagar besi itu.
(Bersambung)
Bagaimana, gaes, ceritanya? Ditunggu komen dan krisannya. Makasih...

JJPS 9
“Eh, ada Bu Ustadzah. Tumben beli sayuran,” celetuk Rika yang baru saja datang ke warung Surti yang menjajakan berbagai macam sayur dan lauk pauk.
Humayra yang terkejut dan menoleh pada bu RT itu, hanya menjawab dengan senyum. Wanita itu kembali fokus memilih sayuran dan ikan. Minggu pagi biasanya warung Surti memang dipenuhi oleh ibu-ibu yang tinggal di daerah Kelurahan Pejagalan, khususnya RT 5 dan 6.
Rika yang ucapannya tidak ditanggapi, sedikit mencibir.
“Bu Sur, minta udangnya satu kilo,” pinta Rika, ketus sambil melirik ke arah May.
“Mau masak apa, Bu Ustadzah? Kok banyak bener belinya. Kan, cuma berdua, kecuali punya anak cucu kayak saya.”
Mendadak tangan May terhenti saat ingin mengambil tempe di depannya. Ucapan dengan nada lembut tadi mampu menusuk hati dan jantungnya.
Ibu-ibu yang mendengar sindiran dari bu RT itu pun sontak terdiam dan menoleh pada Humayra. Antara kasihan atau merendahkan.
“Gak apa-apa, Bu RT. Ini buat stok seminggu, bisa di simpan di kulkas.” May mencoba tersenyum walau hatinya terasa tercubit.
“Eh, Sumi. Nanti sore kamu ke rumah saya, ya. Bantu-bantu. Nanti malam mau ada syukuran aqiqah cucu pertama saya,” seru Rika kali ini pada Sumi, isteri Togar yang sedang memilih ikan asin. Wanita bertubuh gempal itu menjawab iya sambil mengangguk.
Kini, kembali Rika mengarahkan perhatiannya pada May yang belanjaannya sedang dihitung oleh Surti. “Berhubung ada Ustazah di sini, tolong bilang ke Ustad Ilham. Nanti malam datang ke rumah buat syukuran aqiqah, ya, Bu Ustadzah. Jangan lupa!”
Sebenarnya, May tidak suka jika dipanggil dengan sebutan Ustadzah. Ia memang isteri dari seorang ustad tetapi ilmu agamanya tidak cukup luas. Gadis berlesung pipi itu bukan lulusan pesantren seperti Ilham yang notabene jenjang pendidikannya berada di lingkungan pesantren.
Sebutang ‘Ustadzah’ terkadang menjadi sindiran bagi dirinya, yang kerap kali memakai celana panjang ketika kerja di kantor. Akan tetapi, di saat bersaman pula bisa menjadi doa dan pengingat diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
“Insya Allah, Bu RT. Mari, saya duluan. Assalamu’alaykum,” ucap May setelah membayar belanjaannya yang dijawab salam juga oleh ibu-ibu yang masih berada di warung Bu Surti.
***
Sejak siang tadi, suasana di rumah Pak RT nampak ramai dengan mereka yang ingin membantu melancarkan acara aqiqahan. Dua ekor kambing sudah hadir dan siap disembelih. Terlihat Ustad Ilham sedang berbincang dengan Bayu, ketua RT sekaligus pemilik hajat. Ditangan ustad itu tergenggam sebuah pisau panjang yang sangat tajam yang nanti digunakan untuk menyembelih kambing.
Di sudut lain, dapur umum dadakan yang dibuat oleh panitia, nampak ibu-ibu sedang sibuk mengurusi berbagai macam masakan untuk acara nanti malam. Terlihat juga Humayra diantara ibu-ibu tadi.
Matahari seakan bergerak sangat cepat. Acara aqiqah kini sedang berlangsung. Warga RT 5 dan beberapa tamu undangan dari luar RT tersebut, hadir memenuhi ruangan hingga tumpah ruah di pelataran rumah ketua RT.
“Selanjutnya, kita akan mendengarkan tausiah dari Ustad Ilham tentang hikmah dilaksanakannya aqiqah ini. Silakan, Ustad!” Setelah acara pembukaan, kini sang pemandu acara mempersilakan pada Ilham untuk ceramah.
Awalnya, ustad muda itu menolak untuk berceramah karena ia merasa tak pantas untuk menyampaikan materi atau nasihat tentang aqiqah anak. Khawatir, para jamah yang hadir akan kecewa karena dirinya belum pernah melaksanakan ibadah mulia itu. Apalagi di sana juga ada Kiyai Husni yang lebih berkompeten dan mumpuni ilmu keagamaannya.
Akhirnya, dengan ikhlas dan keberanian yang ia kumpulkan, Ilham maju untuk menyampaikan beberapa untaian hikamh tentangg disyariatkannya ibadah aqiqah dalam Islam.
“Hadirin yang berbahagia, peristiwa aqiqah sudah terjadi sejak zaman Jahiliyah. Dulu, masyarakat di sana menyembelih kambing ketika isteri mereka melahirkan. Lalu darah kambing itu dilimuri ke kepala bayi tersebut. Na’udzubillah. Lalu datanglah syariat Islam dan merubah adat dan kebiasaan jahat itu. Nabi memerintahkan -dalam haditsnya, jika anak kalian lahir, sembelihlah kambing lalu cukurlah rambut bayi itu dan lumuri kepala bayi dengan minyak zaitun. Lalu, berilah nama.”
Terlihat semua jama’ah yang hadir di rumah Pak RT itu terdiam, mendengarkan ceramah dari ustad Ilham secara seksama.
“Bapak ibu yang dirahmati Allah, anak adalah amanah dari Allah, titipan yang harus dijaga baik-baik dan sewaktu waktu bisa diambil lagi sama pemiliknya. Tujuan orangtua melaksanakan aqiqah untuk anaknya yaitu selain menghidupkan sunnah Nabi, anak akan terlindung dari gangguan setan. Karena kata Nabi –dalam haditsnya, setiap anak yang terlahir itu tergadai oleh aqiqahnya. Jadi, jika anak sudah diaqiqah, maka insya Allah lebih terlindung dari gangguan setan.”
Terdengar bisik-bisik dari jamaah ibu-ibu.
“Ustad Ilham pinter ngomong. Sendirinya aja belum punya anak. Gimana mau laksanain perintah Nabi.”
“Iya, juga, ya, Bu.”
“Pasti dia gak tahu gimana capeknya ngurus anak.”
“Betul, itu. Aku aja kelimpungan tiap hari, anakku susah diatur.”
“Ustad ganteng tapi sayang, mandul. Jadi kasihan.”
“Hush! Jangan ngomong gitu. Kita kan gak tahu masalah keluarga mereka apa. Siapa tahu isterinya yang mandul. Ya, kan?”
“Mending Ustad Ilham nikah lagi. Siapa tahu dapet anak.”
“Kalo gitu, aku mau daftarin buat anakku. Hihi....”
May menunduk dan beristighfar. Ia mendengar semua ocehan dari mereka yang bergunjing tentang keluarga kecilnya. Hatinya menangis bahkan ingin menjerit. Namun, ia berusaha tetap duduk tenang di acara ini hingga selesai.
Acara berakhir ketika malam mulai beranjak naik. Terlihat di sana Togar dan Edo yang menjadi panitia nampak sibuk wara-wiri menjamu para tamu untuk menikmati hidangan yang telah disediakan. Ada juga yang beberapa dari mereka ,pamit pulang dan membawa besek atau berkat.
***
“Kenapa, May? Kok wajahnya dilipet, gitu?” tanya ilham ketika mereka sudah berada di rumah. Kegiatan pillow talk menjadi aktivitas yang tak pernah mereka tinggalkan sebelum tidur.
May menarik selimut hingga menutupi pinggang. Selanjutnya, ia duduk menyandar di bahu Ilham, manja.
“Gak, Bang. May cuma pingin deket abang.” Ingin sekali Humayra bercerita perihal omongan ibu-ibu tadi, mengungkapkan kegundahan hatinya tetapi ia tidak bisa. Takut kalau orang yang dicintai tersebut merasa kecewa dan sakit hati.
“Lho! Kalo udah kayak gini, pasti ada maunya. Ayo, cerita sama abang!” Ilham mencubit hidung bangir isterinya, gemas.
“Bang, Abang kenapa gak poligami aja? Siapa tahu kalau abang nikah lagi bisa punya anak,” ujar May dengan tatapan sendu. Ilham mengerti dengan kegundahan isterinya. Ditangkupnya wajah cantik itu dengan kedua tangannya. Ilham menatap lamat-lamat isterinya dengan sendu.
“May, dengerin abang. Poligami bukan satu-satunya jalan agar kita bisa punya anak. Bisa jadi itu akan menambah masalah keluarga kita. Poligami tidak hanya adil dalam hal materi tetapi juga harus adil dalam hal perhatian, cinta, kasih sayang dan nafkah batin. May siap menerima itu?”
Kedua manik milik May kini memburam. Dadanya terasa sesak ketika harus membayangkan ada wanita lain dalam kehidupan keluarganya.
Ia menggeleng lemah, tak kuat bicara.
Spontan, Ilham menarik tubuh isterinya dalam dekapan, mencoba memberikan ketenangan pada May yang semakin terisak.
“Sudah, jangan kau dengarkan omongan mereka. Allah punya cara sendiri untuk membantu menyelesaikan masalah keluarga kita.”
(Bersambung)

JJPS 10
Sinar mentari pagi masuk lewat ventilasi jendela. Cahaya hangatnya mampu menyapu ruangan yang malam tadi terasa dingin menggigit.
“Iya, insya Allah nanti saya akan jenguk. Kau temani saja ibumu.” Suara Ilham yang sedang berbicara lewat telpon, terdengar oleh May di dapur. Wanita bertubuh tinggi semampai itu sedang meracik bumbu nasi goreng sebagai menu sarapan.
Ilham mendekat dan duduk di bangku meja makan. Tatapannya tak lepas dari gerakan isteri yang begitu cekatan memasak pagi ini.
May tersenyum, merasa risih jika pekerjaannya harus dimandori oleh suami.
“Abang kenapa, seh, lihatin May terus. Bukannya bantuin!” cibir May, kesal tapi tetap tersenyum.
“Abis kamu tambah cantik kalo lagi masak.”
“Ish, pagi-pagi udah ngegombal.”
“Gak papa. Gombal sama isteri malah dapat pahala, lho!” May mencubit pinggang suaminya, gemas. Karena pria itu hanya mengganggu bukan membantu.
Tak lama berselang, dua piring nasi goreng seafood sudah siap di atas meja makan, lengkap dengan teh tawar hangat serta buah-buahan sebagai pembuka.
“Abang mau jenguk siapa, tadi di telpon?” tanya May di sela-sela suapan makanannya.
Ilham mengambil segelas teh yang ada di depannya lalu minum. Barulah ia menjawab pertanyaan isterinya.
“Ibunya Lee, lagi dirawat. Kasihan.”
“Lee yang muallaf itu?”
“Iya. Ibunya masih belum nerima keputusan Lee pindah agama. Sekarang paman dan bibinya juga memusuhi Lee. Katanya, Lee jadi penyebab ibunya sakit keras.”
May mengangguk, mencoba mencerna permasalahan yang dialami pemuda muallaf itu. Tidak gampang memang jika dalam satu keluarga ada yang memusuhi. Itu sangat berat. May mengalaminya sendiri. Sesaat, ia jadi teringat Wulan dan Ratna. Kakak sulung dan ibu kandungnya yang tidak menyukai Ilham.
***
“Terima kasih, Ustad, sudah menyempatkan waktunya mengisi kajian di sini,” ujar Rahman setelah beberapa peserta kajian tadi sudah meninggalkan tempat. Tinggal beberapa orang saja yang masih menempati mushalla yang berada di belakang gedung rektorat kampus.
“Saya yang harusnya minta maaf. Baru sekarang bisa datang. Kemarin-kemarin terhalang jadwal. Ohya, saya duluan, ya. Mau ke rumah sakit jenguk ibunya Lee.”
“Maksud Ustad, Lee young Dae? Yang muallaf itu”
“Iya, ibunya sakit jantung dan sekarang di rumah sakit harapan sehat.”
“Saya boleh ikut, Ustad? Soalnya saya juga udah kenal dekat sama Lee, suka tukar pendapat juga.”
“Boleh, saya malah seneng ada teman.”
Mereka berjalan keluar dari mushalla. Langkah Rahman terhenti ketika berada di depan gedung rektorat. Pandangannya tertuju pada seorang gadis berjilbab merah muda yang sedang berjalan bersama temannya.
Ilham yang tersadar dengan sikap muridnya itu segera menegur.
“Ghadul bashar, Rahman,” ucapnya menyuruh Rahman untuk menundukkan pandangan.
“Astaghfirullah. Iya, Ustad. Maaf.” Rahman salah tingkah seraya menggaruk-garuk kepala.
“Sepertinya, kamu menyukai gadis itu?” tebak Ilham.
“Ustad bisa aja.”
“Siapapun akan bicara kayak gitu kalo lihat cara kamu memandang cewek tadi.”
“Saya dari kampung, Ustad. mana mungkin bisa dapetin puteri kampus itu. Dia dari keluarga terpandang. Prestasi akademik dan non akademiknya juga banyak. Sedangkan saya ... mungkin hanya debu baginya,” ujar Rahman memelas, mengingat keadaan dirinya yang jauh berbeda dengan perempuan tadi, seperti bumi dan langit.
“Bisa aja, kamu. Saya jadi ingat waktu muda. Nasibmu sama seperti saya, menyukai putri kampus, idola semua mahasiswa. Tapi bedanya, saya berjuang mati-matian buat dapetin perempuan itu. Hasilnya, dia sekarang jadi isteri saya.”
“Maasya Allah, Ustad. Boleh dong, minta ilmunya, Ustad.”
“Ha ha ha ....”
***
Detak jarum jam mengiringi kesyahduan seorang pemuda yang sedang melantunkan ayat-ayat cinta. Dengan tertatih-tatih menapaki rangkaian huruf demi huruf tak menyurutkan semangat pria berumur 30 tahun itu demi sang ibu yang sedang terbaring lemah di depannya.
Selang infus dan oksigen menempel pada tubuh wanita berkulit putih dan rambut dengan warna yang hampir sama.
Lee pernah membaca di internet tentang kejaiban Al-quran sebagai obat dari segala macam penyakit. Ditambah dengan ceramah dari beberapa ustad termasuk ustad Ilham yang ia kenal, membuat pemuda bertubuh tinggi itu makin yakin dengan mukjizat kitab suci itu.
"IYYAKANA'BUDU WA IYYAKANASTA'IIN... "
Pada ayat ke lima surat Al-fatihah, Lee berhenti dan mengusap sudut matanya yang berair.
Bergetar hatinya tatkala membaca arti dari ayat tersebut. Perintah untuk menyembah Allah terlebih dahulu baru meminta pertolongan.
Dadanya makin terasa sesak saat mengingat masa lalu yang begitu kelam. Masa di mana ketika ia belum bersaksi bahwa 'Tidak ada tuhan selain Allah'. Hidup bebas semaunya tanpa arah tujuan.
Lee bersyukur ketika hidayah datang menyapanya, saat raga hampir tak bernyawa.
Kini, bolehkah ia memohon untuk kesembuhan ibunya yg sedang sakit?
Apakah doanya akan diterima jika ia memohon untuk orang yang belum taat padaNya?
Aka tetapi, Lee yakin bahwa Allah akan memperkenankan doa seorang hamba yg begitu tulus untuk kebaikan seseorang.
"Mau apa kalian datang ke mari?" Samar-samar Lee mendengar suara pamannya dari arah luar kamar ICU, ruangan intensif yang hanya boleh satu orang yg menunggui pasien.
Dari balik kaca, pemuda itu melihat ada Ustad Ilham bersama Rahman sedang berhadapan dengan Marvell, pamannya. Mereka seperti sedang beradu debat.
Lee memutuskan untuk ke luar ruangan untuk menghampiri mereka.
"Paman, mereka teman saya."
Marvell segera menoleh, begitu juga dengan Ilham dan Rahman.
"Rupanya orang ini yang telah membuat kamu berubah? Lee, kamu sudah paman beritahu jangan bawa teman-temanmu ke hadapan ibumu. Kamu tidak mengerti, hah!” Pria bertubuh tinggi besar itu tak kuasa menahan amarah. Hampir saja ia ingin memukul keponakan sendiri tetapi ia tahan karena sadar bahwa di sini adalah rumah sakit.
“Maaf, Paman. Mereka hanya ingin menjenguk ibu. Itu saja.” Lee berkata pelan dan tenang, berharap sang paman mau menghargai kehadiran teman-temannya.
Ilham yang tak enak hati, merasa harus segera ambil sikap.
“Maaf, perkenalkan saya Ilham, teman Lee. Jika kehadiran kami mengganggu, kami mohon maaf. Lebih baik kami undur diri saja.”
“Ustad, maafin paman saya, Ustad.”
“Tidak apa. Saya doakan semoga ibu kamu lekas sembuh, ya.
“Pak Marvel, Pak Lee, ibu anda mengalami kritis. Saya akan segera memanggil dokter!” ucap seoang yang berjaga di ruang ICU tempat ibu Lee dirawat.
Lee serta pamannya terkejut dan langsung bergegas masuk ke ruangan itu. Ilham dan Rahman yang berniat ingin undur diri, juga ikut masuk ke kamar ICU. Dilihatnya Maria, ibu Lee seperti sesak napas dengan mata terbuka.
Lee mendekat lalu memegang jemari wanita tua itu.
“Lee, anakku. ma-mafkan ibu, Nak.” Dengan tertatih, Maria mengucap kata maaf dan cukup terdengar di telinga mereka.
“Ibu ga bersalah, ibu hanya belum tahu dan belum mengerti. Maafin Lee, Bu.” Lee terisak, air matanya tak kuasa berjatuhan.
“Lee, bimbing ibu, Nak. I-Ibu mau masuk Islam seperti kamu.”
Tercengang semua yang hadir di sana mendengar pengakuan Maria.
“Apa-apaan, Kau, Maria. Ingat agama leluhurmu! Aku tidak setuju!” hardik Marvel, tak terima dengan keputusan adiknya.
“Ini keputusanku, Kak. Aku sudah memikirkannya sebelum aku sakit.”
“Ibu ....”
Lee mencium tangan ibunya berkali-kali, rasa senang di hatinya begitu membuncah.
“Pak Ustad, tolong bimbing ibu saya, ustad!” ucap Lee pada Ilham dengan binar kebahagiaan. Baru saja Ilham melangkah, suara Marvel yang begitu lantang menghentikannya.
“Berhenti! Tidak akan kubiarkan siapapun diatara kalian mendekati Maria. Jangan harap kalian bisa melewatiku!” Marvel berdiri di depan Ilham dan Rahman yang sejak tadi mematung di dekat pintu.
Keadaan Maria makin mengkhawatirkan, napasnya semakin tercekak di tenggorokan. Melihat ibunya terbaring seperti sedang meregang nyawa, jantung Lee bedetak hebat. Ia begitu panik dan takut jika sesuatu yang menakutkan terjadi pada ibunya.
“Ibu! Ibu!”
(Bersambung)
Bagaimana kesan kalian baca sampai part ini? semoga menginspirasi. Lanjut part berikutnya, ya!
JJPS 11 Mantan Pacar
JJPS 11
“ASYHADU ALLAA ILAAHA ILLALLAH”
“....”
“WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAR RASULULLAH.”
“....”
Ilham, Rahman dan Marvel tercengang mendengar dua kalimat syahadat yang di serukan oleh Lee. Mereka pun mendengar suara ibu Lee yang mengikuti bacaan itu meski kurang jelas. Dan seketika itu pula, Marvel segera memasuki ruangan.
Terlihat di sana Lee yang sedang memeluk ibunya sambil menangis kencang. Wanita tua itu telah menutup mata sambil tersenyum.
***
“Cilok cilok!” teriak Edo sambil membunyikan klenteng sebagai bunyi khas tukang cilok. Gerobak cilok yang ia dorong kini berhenti di depan rumah Pak RT. Di sana, di teras depan rumah terlihat dua orang, laki-laki dan perempuan yang sedang berbincang hangat.
Edo terus menatap pasangan muda itu dengan gelisah, galau dan merana. Hatinya memanas tatkala tangan pria itu memegang jemari wanita yang masih ia cintai yang kini tersipu malu.
“Kau yang mulai kau yang mengakhiri. Kau yang berjanji kau yang mengingkari.” Edo sengaja mengeraskan suaranya agar terdengar ke mereka berdua yang hanya berjarak kurang dari lima meter.
Tak dapat tanggapan dari Mimin, Edo membunyikan kembali klenteng dengan kencang.
“Woi! Berisik!”
Tersentak Edo mendapati Pak RT yang berdiri di depan pintu dan berteriak kencang padanya. Edo pun lari tunggang langgang setelah sempat meminta maaf.
“Apes banget gue! Karir gak melonjak, jodoh pun lompat.” Edo terduduk dalam teras mushala yang nampak sepi.
“Maafin Edo, ya, Mak. Belum bisa kasih menantu. Mimin malah pergi ninggalin gue. Andaikan jodoh itu kayak cilok. Gampang banget dicari. Tiap gang ada yang jual. Eh, jangan deh! Enak aja, cewek disamain ama cilok! Dipegang-pegang sama orang. Hii ... geli gue bekas orang!” Edo mulai meracau. Bertanya dan menjawab sendiri.
Siang ini matahari terasa begitu terik. Semilir angin yang menerpa wajah membuat tubuh Edo seakan ingin terbang dalam peraduan.
“Do! Edo! Bangun Do!”
Edo mengguratkan senyum ketika ia merasa ada sentuhan di pipinya. Di peganginya jemari tangan itu dengan mata yang masih terpejam. Dahinya mengernyit, merasa aneh dengan tekstur kulit tangan yang ia pegang. Merasa aneh, ia pun segera membuka mata.
“Astaghfiullah! Bang Togar! Ngapain gue megang-megang tangan nlo! Jijay gue! Untung belum gue cium!”
“Dasar omes! Ngapain lo siang-siang tidur di mushalla? Mimpi aneh lo, ya! Ngaku lo!”
“Kagak! Tadi gue cuma ....” Edo menggantungkan kalimatnya karena tersadar melihat penampilan Togar yang baru.
“Widih ... keren abnget lo, Bang! Tumben. Dapat dari mana neh seragam?”
Togar berdiri dan bergaya seperti model, putar ke kiri dan ke kanan, memamerkan baju seragam berwarna putih, khas yang sering dipakai oleh security.
“Gue udah keterima kerja, Do! Jadi satpam,” jawab Togar dengan senyum sumringah yang tak henti dari wajahnya sejak tadi.
“Idih, jadi satpam komplek aja, belagu, lo! Paling ntar jagain emak-emak rempong,” cibir Edo.
“Ye,, ini bukan satpam biasa, Bro! Gue jadi satpam perusahaan besar, tempat isteri Ustad Ilham kerja di sana. Keren kan.”
“Kok lo bisa diterima. Curiga gue! Gue juga mau dong kerja di sana.”
“Lo bisa apa? Badan lo aja kurus kering begitu. Kebanyakan mikirin si Mimin seh! Neh, otot gue gede. Cocok jadi sekuriti.” Togar memarekan otot-otot lengangnya seperti binaragawan.
“Assalamu’alaykum,” sapa Ilham yang mengagetkan mereka berdua yang masih berdebat.
“Eh, Ustad. Wa’alaykumsalam.”
“Maasya Allah, keren banget Bang Togar.”
“Iya, Ustad. ini juga berkat Ustad Ilham dan juga isteri, saya bisa keterima kerja jadi satpam,” jawab Togar.
“Itu rezeki dari Allah. Allah sudah mengatur semua. Saya dan isteri hanya sebagai perantara. Semoga Bang Togar bisa bekerja dengan baik dan amanah.”
“Iya, Ustad. Aamin.”
“Saya juga mau, dong, Ustad cariin kerjaan. Saya capek jadi tukang cilok terus!” Edo memasang muka memelas, berharap Ilham akan meresponnya dengan baik.
“Kang Edo, semua pekerjaan itu baik asalkan halal. Apalagi kang Edo jualan cilok. Kang Edo lupa, ya! Sembilan dari sepuluh pintu rezeki itu berasal dari pedagang. Nabi aja seorang pedagang. Jadi kita sebagai umatnya jangan malu kalo berprofesi sebagai pendangang atau penjual.”
“Tuh! Dengerin, Edo!” Togar menyentil teliga Edo agar pria berkulit hitam itu tersadar.
“Hehe ... iaya, Ustad.”
Ilham menggeleng, melihat aksi Togar dan Edo yang tak henti-henti saling berargumen mengenai pekerjaan.
“Bentar lagi adzan Zuhur. Abis shalat, kita takziah ke ruamh Lee. Ibunya meninggal kemarin sore.”
“Innalillahi. I-iya, Ustad. saya ikut.” Edo dan Togar menjawab hampir berbarengan.
***
Rapat Dewan Direksi kali ini berbeda dengan sebelumnya. Kini dihadiri oleh sebagian besar para pemegang saham yaitu dewan komisaris.
Humayra merasa tak pantas duduk di tengah-tengah orang penting di perusahaan. Ia hanyalah seorang manager keuangan biasa, bukan direktur ataupun salah satu pemilik saham di perusahaan bonafit di bidang makanan ini. akan tetapi, ia ditunjuk sebagai pemandu atau pembawa acara dalam rapat tahunan ini.
Ternyata, pertemuan itu mempunyai agenda besar yaitu memperkenalkan presiden direktur baru yang menggantikan presdir sebelumnya dikarenakan telah pensiun.
Humayra membuka rapat dengan lancar. Publik speaking-nya begitu baik ditambah dengan penampilannya, walaupun berjilbab tapi ia terlihat modis atau kekinian. Itulah yang membuat para petinggi perusahaan itu menyukai dirinya selain kinerjanya selama ini memuaskan.
Namun, wanita itu merasa ada salah seorang peserta rapat yang terus memandanginya secara intens. Tatapan pria itu sangat lekat dan tak lepas dari dirinya. Humayra merasa risih, tetapi ia berusaha bersifat profesional. Kali ini acara diambil alih oleh Pak Mustafa, presiden direktur yang akan memperenalkan penggantinya.
“Seseorang yang akan menggantikan saya adalah orang yang profesional. Dia sangat ulet, pekerja kera, dan terkenal disiplin. Tetapi ia masih muda dan singel. Mari kita sambut Muhammad Fathir Bramantha.”
Tepuk tangan bergemuruh dan menggema memenuhi ruangan seluas seratus meter pesegi. Pria yang disebut namanya itu, bangkit dari tempat duduknya dan berjaln ke depan. Humayra sedikit terkejut ketika orang itulah yang tadi sempat menatapnya tajam. Ternyata dialah yang akan menjadi pimpinanya di perusahaan ini.
Berita mengenai presdir baru itu pun tersiar dengan cepat. Seluruh staff, dan karyawan yang bekerja di gedung berlantai 30 itu langsung mengetahuinya. Setelah rapat direksi itu selesai, semua kembali bekerja karena presiden direktur yang sekarang menjabat, sangat displin dan profeional.
Presdir baru itu juga langsung memanggil para manager, bawahannya langsung di perusahaan ini. May, bergegas mengumpulkan berkas-berkas yang mungkin diperlukan dalam rapat internal itu. Ia tak ingin di hari pertama bekerja dengan bos baru mendapat kesan yang negatif.
Semua manager sudah hadir diruangan rapat pribadi yang letakknya masih satu tempat dengan ruangan presdir, hanya dibatasi dengan kaca.
Fathir, sudah duduk berhadapan dengan para manager dan tepat di depannya Humayra. Pri aitu tersenyum manis saat beradu tatap dengan May, membuat wanita itu menjadi salah tingkah.
“Rapat kita selesai. Semua boleh pergi dan langsung kerjakan apa yang saya intruksikan tadi. Kecuali Nona Humayra, kamu tetap di sini karena ... masih ada beberapa hal mengenai laporan keuangan yang ingin saya diskusikan. Terima kasih,” ungkap Fathir dengan tenang tetapi terdengar tegas.
Satu per satu manager pergi dan kini hanya Humayra dan Fathir yang berdua dalam ruangan itu.
Jantung May tiba-tiba berdetak hebat. Sebelumnya ia tak pernah berada dalam situasi sesulit ini. apalagi atasannya itu adalah lelaki yang ia taksir usianya tak beda jauh dengan dirinya. Berdua di tempat sepi seperti ini, membuat setan-setan berlomba-lomba ingin menguasai nafsunya.
Fathir kembali menatap May lamat-lamat. Pria itu seperti memindai tubuh wanita di depannya.
“Benar kata Rudi, kakak iparmu. Kau sekarang tambah cantik,” aku Fathir seraya tersenyum hingga terlihat dua lesung pipinya.
“Apa? Bapak kenal Mas Rudi, kakak ipar saya?” May terkejut dengan penuturan pria di depannya yang mengangguk, membenarkan.
“Iya. Dia temanku waktu kuliah. May, kau tak mengenalku? Aku ini Fathir, mantan pacarmu waktu SMP. Apa kau ingat?”
Kedua mata Humayra terbelalak. Wanita berjilbab peach itu tak menyangka dengan pengakuan bos barunya. Sekejap, ingatan mengenai masa putih biru itu terulang dalam benaknya.
“Aku masih mencintaimu, May.”
(Bersambung)
Bagaimana dengan kisah cinta May dan Ilham? Apakah May akan tergoda dengan kehadiran mantan kekasihnya?
Saksikan terus kelanjutannya, ya..
Terima kasih..