My Chemistry teacher 'Raksa Alkuna'
Sinopsis
Tags :
#Chemistry #Teacher #Raksa #Alkuna #Guru #Gurukimia #Gurubaru #Guruganteng #Bioetanol #TTG #Expokimia #Kisahcinta #SMA #Remaja #hijaber #Gurusangar #Bully #laboratorium #Distilasi #Limbah #Tambunsu
<!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Cambria Math"; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:1; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;} @font-face {font-family:Calibri; panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-469750017 -1073732485 9 0 511 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; margin-top:0cm; margin-right:0cm; margin-bottom:8.0pt; margin-left:0cm; line-height:107%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoPapDefault {mso-style-type:export-only; margin-bottom:8.0pt; line-height:107%;} @page WordSection1 {size:595.3pt 841.9pt; margin:72.0pt 72.0pt 72.0pt 72.0pt; mso-header-margin:35.4pt; mso-footer-margin:35.4pt; mso-paper-source:0;} div.WordSection1 {page:WordSection1;} -->
Prolog
Seorang siswa SMA mengintip di balik jendela, melihat teman-temannya belajar. Jendela itu terlalu tinggi baginya sehingga berdiri di atas sebuah pot bunga yang ada di depan kelas. Bunga kuping gajah yang tumbuh di pot itu patah karena terinjak gadis delapan belas tahun itu. Lelah mengintip akhirnya ia turun dari pot bunga tanpa menyadari bahwa bunga itu sudah patah dan rusak.
Ia kemudian beralih ke depan pintu, masih mengintip temannya yang sedang menyanyi menghafalkan nama-nama unsur kimia, Andhara mengikuti dengan cuek dan namun pelan.
“Andhara! Menjauh dari pintu, kamu tidak boleh ikut belajar!” Guru yang mengajar kembali mengusir Andhara untuk yang ke sekian kalinya. Bentakan sang guru membuat ia ketakutan sehingga gadis berseragam putih abu syar-i itu mundur dan duduk di balik pilar di depan kelasnya.
Andhara itulah namanya, ia tidak membuat tugas karena lupa, ibunya sedang dinas luar dan hanya bersama ayah di rumah. Ayah dan Andhara sama-sama tidak berdaya ketika Salma wanita yang menjadi ratu di rumah mereka tidak ada. Tidak ada yang selalu menjerit mengingatkan Andhara untuk membuat PR. Seharian Andhara hanya bergelut dengan laptopnya di kamar ia asyik update novelnya di sebuah platform menulis online sedangkan Ayah masih di lokasi proyek dan sangat lelah saat pulang ke rumah.
Andhara masih melamun sedih di balik pilar, hingga teriakan kembali ia dengar.
“Siapa yang merusak bunga ini?” tanya ibu guru penuh amarah, membuat siapa saja yang mendengar pasti akan gemetaran.
“Tadi Andhara mengintip dari jendela Bu,” kata salah seorang siswa laki-laki.
“Andhara! Sini kamu, benar tadi kamu mengintip di jendela dan menginjak pot ini?” tanya Ibu guru.
“Iya Bu,” jawab Andhara ketakutan, ia hanya menunduk sambil menghitung semut yang berjalan di lantai. Semut itu seolah memberi kekuatan kepada Andhara yang sedang dimarahi di depan semua orang. Banyak teman yang mengejek namun ada juga yang merasa kasihan kepadanya.
“Dasar anak bandel kamu! Sudah gadis tapi malas, kamu tidak mengerjakan PR yang saya berikan, sekarang kamu merusak tanaman, ikut saya ke kantor!” perintah Ibu guru seraya menarik tangan siswi berkerudung putih yang sudah gemetaran itu ke kantor. Sebenarnya Andhara bukan siswi malas, ia siswi berprestasi hanya saja ia benar-benar lupa mengerjakan pekerjaan rumah karena terlalu asyik menulis.
Kantor itu juga merupakan ruang guru, saat istirahat begini semua guru ada di sana untuk beristirahat sehingga jika ada satu siswa yang dimarah maka guru lain akan ikut-ikutan mendakwah.
Ruang kepala sekolah dan ruang wakil kepala sekolah ada di ruang tata usaha di sebelah ruang guru itu. Mendengar keributan di ruang guru Ibu Wahyuni kepala sekolah SMA ini berdiri dari duduknya, ia meninggalkan sejenak berkas-berkas yang sedang dikerjakan dan berjalan ke ruang guru.
“Andhara, kenapa sayang?” tanya Wahyuni yang kaget melihat Andhara sedang diinterogasi beramai-ramai oleh guru.
“Saya tidak membuat tugas Bu, jawab Andhara menunduk.
“Mengapa kamu tidak membuat tugas?” tanya kepala sekolah yang masih muda itu dengan lemah lembut.
“Ibu saya sedang tugas ke Jakarta, jadi tidak ada yang mengingatkan untuk mengerjakan tugas kimia dan saya malah menulis novel seharian,” jawab Andhara sedih ia menahan tangis, ketakutan yang dari tadi ia rasakan saat ini sedikit berkurang, sebenarnya Andhara tidak takut ia hanya merasa menyesal karena tidak membuat tugas untuk pertama kalinya. Dan karena kesalahan itu ia dibuli guru. Apakah Andhara malu pada teman-temannya? Tidak, tentu saja tidak, Andhara adalah siswi berhijab yang jagoan dan cerdas iya juga cuek dan dikagumi oleh banyak adik kelasnya. Andhara sendiri memiliki banyak penggemar yang selalu menunggu apdetan novelnya.
“O jadi Andhara lupa mengerjakan tugas, lalu dihukum apa?” tanya Wahyuni lagi.
“Diusir keluar kelas Bu, saya tidak boleh ikut belajar, tapi saya mau belajar jadi saya mengintip dari jendela naik ke atas pot bunga dan bunganya rusak karena terinjak Bu,” jawab Andhara jujur.
“Oke, jangan diulangi ya, utamakan mengerjakan tugas sekolah terlebih dahulu sebelum kamu mengerjakan aktivitas lainnya termasuk menulis novel, sekarang Andhara masuk kelas dan nanti sudah boleh ikut belajar ya,” kata kepala sekolah.
“Tapi saya takut Bu,” jawab Andhara.
“Kenapa takut?”
“Nanti dimarah, Bu Salma kalau marah seram seperti zombi.” Andhara mengangkat kedua pundaknya pertanda takut. Seketika raut wajahnya pun ditekuk.
“He he, Ibu Salma marah karena ia sayang sama Andhara, beliau mau Andhara jadi anak yang disiplin,” jawab Wahyuni.
***
Andhara masih berdiri di parkiran, ia mengunci motor matic besarnya dan melangkah memasuki gedung sekolahnya dengan lesu. Andhara tidak bersemangat karena hari ini ada mata pelajaran kimia selama tiga jam pelajaran. Andhara masih belum siap untuk bertemu dengan Bu Salma, masih terngiang di telinganya suara petir guru tua itu yang menggelegar bagaikan petir di siang hari.
Bu Salma memang sudah berumur, masa tugasnya tinggal satu tahun lagi menjelang pensiun. Tubuhnya besar tinggi wajahnya tegas rahangnya keras walaupun pipinya sudah kendor tapi kecantikan dan ketegasan masih terlihat jelas di wajahnya.
Selama ini Andhara aman-aman saja belajar dengan Bu Salma, bahkan beberapa kali Andhara pernah mengikuti perlombaan teknologi tepat guna untuk mata pelajaran Kimia. Tapi sepertinya semua itu tidak membuat Bu Salma mau memberikan sedikit dispensasi untuk Andhara.
<!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Cambria Math"; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:1; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;} @font-face {font-family:Calibri; panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-469750017 -1073732485 9 0 511 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; margin-top:0cm; margin-right:0cm; margin-bottom:8.0pt; margin-left:0cm; line-height:107%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} p.MsoListParagraph, li.MsoListParagraph, div.MsoListParagraph {mso-style-priority:34; mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; margin-top:0cm; margin-right:0cm; margin-bottom:8.0pt; margin-left:36.0pt; mso-add-space:auto; line-height:106%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} p.MsoListParagraphCxSpFirst, li.MsoListParagraphCxSpFirst, div.MsoListParagraphCxSpFirst {mso-style-priority:34; mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-type:export-only; margin-top:0cm; margin-right:0cm; margin-bottom:0cm; margin-left:36.0pt; margin-bottom:.0001pt; mso-add-space:auto; line-height:106%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} p.MsoListParagraphCxSpMiddle, li.MsoListParagraphCxSpMiddle, div.MsoListParagraphCxSpMiddle {mso-style-priority:34; mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-type:export-only; margin-top:0cm; margin-right:0cm; margin-bottom:0cm; margin-left:36.0pt; margin-bottom:.0001pt; mso-add-space:auto; line-height:106%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} p.MsoListParagraphCxSpLast, li.MsoListParagraphCxSpLast, div.MsoListParagraphCxSpLast {mso-style-priority:34; mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-type:export-only; margin-top:0cm; margin-right:0cm; margin-bottom:8.0pt; margin-left:36.0pt; mso-add-space:auto; line-height:106%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoPapDefault {mso-style-type:export-only; margin-bottom:8.0pt; line-height:107%;} @page WordSection1 {size:595.3pt 841.9pt; margin:72.0pt 72.0pt 72.0pt 72.0pt; mso-header-margin:35.4pt; mso-footer-margin:35.4pt; mso-paper-source:0;} div.WordSection1 {page:WordSection1;} -->
#Sarapankata
#KMOIndonesia
#KMOBatch45
#Kelompok15
#Dandelion
#Jumlahkata1031
#Day2
#Sarkatjadibuku
PJ: Haz
Neng jaga: Steffi Diego
Ketua Kelas: Ayls
Penulis: Titien Suprihatien
Novel Remaja
Judul: My Chemistry Teacher
Bab 1
Guru Baru
“Andhara! Heeeei!” seru Dhira seraya mengibas-ngibaskan tangan kanannya tepat di depan wajah Andhara yang baru akan beranjak dari parkiran, seketika Andhara memasang mulut monyong dan mengambangkan lobang hidungnya sebagai respon dari ulah Dhira. Dhira sendiri sudah lima menit menunggu kedatangan Andhara karena ada info penting yang akan ia sampaikan, namun begitu Andhara datang, orangnya malah terlihat letoi seletoi letoinya. Dhira belum pernah melihat bestinya itu tidak bersemangat seperti pagi ini.
“Masih trauma dengan kejadian kemarin?” tanya Dhira, dan hanya dijawab dengan dengan anggukan kecil oleh Andhara masih dengan mulut monyong dan lobang hidung yang sengaja dimekarkan.
“Belum siap mental gue ketemu Bu Salma, hancur reputasi gue sebagi preman hijaber terkece di sekolah ini, semua yang sudah gue pertahankan selama hampir tiga tahun bablas dihempaskan beliau hanya gara-gara gue lupa membuat tugas alkana, alkena dan alkuna,” jawab Andhara dengan wajah sedih berbalut kecewa.
“Kemarin di ruang guru diapain?” tanya Dhira kepo.
“Memang lo nggak mengintip?”
“Takut gue ngintip,” jawab Dhira.
“Gue dimaki, dan dimarahi bahkan guru yang lain ikut marah-marah juga, padahal gue nggak ada salah sama mereka, pokoknya nggak ada harga diri lagi gue kemarin di ruang guru, gue jadi seperti Shirley di kartun Shoun the sheep yang baru dicukur habis bulunya, dikuliti!” Andhara mengusap wajah dengan kedua tangannya perlahan sambil menarik napas dalam dan menghembuskannya dengan sangat lepas.
“He he, sesekali guru juga butuh membuli siswa keleeees, buat hiburan, agar otak mereka sedikit kendor,” ujar Dhira, dan dibalas dengan jitakkan sayang dari Andhara.
“Nggak semangat gue masuk jam kimia, masih eneg sama Bu Salma.” Andhara melangkah lesu dan kembali memonyongkan mulutnya mendahului langkah Dhira. Dhira mengejar Andhara dan menahan tangan kiri bestinya itu.
“Hei tunggu, kondisikan mulut dong, monyong terus! Bu Salma nggak ngajar hari ini!” kata Dhira mengagetkan Andhara.
“Serius lo?” tanya Andhara terkejut, reflek ia membalikkan badannya dan memegang kedua pundak Dhira sambil menggoyong-goyong bahu itu dengan kuat.
“Serius?” tanyAndhara lagi, karena Dhira tak kunjung menjawab.
“Iya, Bu Salma sakit, jadi ada guru baru yang mengantikan, cowoook,” bisik Dhira tepat di telinga Andhara yang tertutup jilbab.
“Husttt jangan ganjen, memang kenapa kalau guru cowok?” sahut Andhara.
“Yeee, elo belum lihat, ganteng! Sebelas dua belas sama Refalhady!” seru Dhira bersemangat.
“Ngadi-ngadi lo, sudah yuk kita ke kelas, aku piket.” Andhara baru sadar kalau hari ini ia piket kelas, beruntung belum jam tujuh, masih ada waktu untuk menyapu dan menyiram tanaman.
“Eh ngiming-ngiming Bu Salma sakit apa?” tanya Andhara seraya melangkah.
“Katanya sih semalam kena stoke ringan dan sekarang sedang dirawat di rumah sakit stoke,” jawab Dhira.
“Tahu banget lo, info dari mana?” tanya Andhara.
“Tadi pagi pas gue nguping obrolan guru pas piket kantor, nah tadi juga gue melihat guru penggantinya itu,” ujar Dhira.
“Ooh,” jawab Andhara seadanya seraya melangkah menuju kelas mereka.
“Ais kita lewat ruang guru sambil mengintip pak guru baru, tadi aku baru lihat sekilas.” Dhira menyeret Andhara ke arah ruang guru, padahal kelas mereka akan semakin jauh jika harus memutar ke ruang guru. Tapi demi Dhira, Andhara ikut saja dengan pasrah. Namun harapan tidak seperti kenyataan, mereka tidak melihat wajah baru di ruang guru yang terlihat hanya wajah-wajah lama yang seram dan menakutkan.
“Itu ‘kan lo ngadi-ngadi sih, gue jadi telat piket kelas.” Andhara berlari menuju kelas, mengangkat sedikit rok hingga celana training berwarna abunya terlihat, ia memang selalu melapisi rok sekolah dengan celana training, selain untuk menutupi aurat juga agar lebih leluasa dalam bergerak. Sementara Dhira yang ditinggal masih bengong dengan raut kecewa karena pak guru baru yang ia cari tidak ada di sana.
***
“Assalamualaikum teman-teman semua, karena saya mau piket, silahkan kalian tinggalkan kelas sekarang juga,” kata Andhara mengusir teman-temannya dengan santai. Sebenarnya bukan mengusisr, ia hanya meminta teman-temannya untuk keluar kelas agar tidak menghirup debu saat ia menyapu.
Tidak sampai sepuluh menit kelas sudah bersih, Andhara tidak piket sendiri, mereka piket berlima tapi karena ia datang lebih awal maka Andhara selalu menyapu kelas sendiri, dan empat temannya lagi mengerjakan tugas yang lain seperti mengisi spidol, memanggil guru, mengantarkan buku ke kantor, mengambil buku, menghapus papan tulis, memasang proyektor, mengantar teman yang sakit ke UKS dan tugas dadakan lainnya.
Andhara baru saja selesai menyiram bunga-bunga yang ditanam di depan kelasnya. Bunga kuping gajah yang terinjak kemarin sudah ia ganti, dengan bunga kuping gajah yang dibawa dari rumahnya sore kemarin. Ada dua belas pot besar di depan kelas 12 IPA-1. Semua tumbuh subur dan terawat. Tidak ada lagi pot yang diletakkan di bawah jendela, semua pot sudah dipindahkan ke tepi sejajar dengan pilar penyangga.
“Tingtong ...” suara mikrofon berbunyi.
“Berita pangkurang warasn untuk Andhara kelas 12 IPA-1 ditunggu di sumber suara, sekali lagi Andhara siswa kelas 12 IPA-1 ditunggu di sumber suara sekarang juga, terima kasih.” Mikrofon kembali mati, Andhara yang baru selesai menyapu dan menyiram tanaman segera berlali kecil menuju sumber suara, sumber suaranya dari mana lagi jika bukan dari ruang guru. Dan itu adalah suara Ibu Yose guru Biologi yang juga kepala laboratorium.
“Assalamualaikum,” Andhara mengucapkan salam ketika tiba di ruang guru.
“Waalaikum salam, masuk Andhara,” jawab Bu Yose sembari mendekati Andhara yang berdiri di depan pintu.
“Ada apa, Bu?” tanya Andhara.
“Kamu sudah piket kelas?” tanya bu Yose.
“Sudah, Bu, saya sudah menyapu dan menyiram tanaman,” jawab Andhara.
“Alhamdulillah, sekarang kamu ke laboratorium, dan bantu bersih-bersih di sana karena jam sepuluh ini akan ada tamu dari Dinas Pendidikan yang akan meninjau laboratorium, tepatnya akan melihat-lihat perkembangan praktik baik pembelajaran kimia di laboratorium.
“Tapi ini sudah mau masuk pelajaran pertama, Bu, bagaimana jika saya dimarah karena terlambat masuk kelas?” tanya Andhara pada Bu Yose.
“Nggak apa-apa, Ibu sudah bilang sama Pak Raksa bahwa kamu akan terlambat masuk karena membersihkan laboratorium, lagi pula pak Raksa nanti juga akan ke laboratorium untuk menemani tamu, anak kamu yang akan mendampingi pak Raksa karena orang dinas akan banyak bertanya tentang praktik kimia yang kalian lakukan di laboratorium, jadi kamu nanti sekalian mewakili siswa yang lain mendampingi kepala sekolah dan guru kimia.” Bu Yose menyerahkan kunci laboratorium pada Andhara.
“Baik, Bu, saya langsung ke laboratorium,” kata Andhara pamit. Dalam hati ia bertanya-tanya tentang Pak Raksa yang tadi disebut-sebut Bu Yose, apakah ia guru baru yang tadi diceritakan Dhira? Jika benar tentu ia akan senang sekali. Betapa tidak ia akan bisa manas-manasin Dhira bestinya.
<!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Cambria Math"; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:1; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;} @font-face {font-family:Calibri; panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-469750017 -1073732485 9 0 511 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; margin-top:0cm; margin-right:0cm; margin-bottom:8.0pt; margin-left:0cm; line-height:107%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoPapDefault {mso-style-type:export-only; margin-bottom:8.0pt; line-height:107%;} @page WordSection1 {size:595.3pt 841.9pt; margin:3.0cm 3.0cm 3.0cm 3.0cm; mso-header-margin:35.45pt; mso-footer-margin:35.45pt; mso-paper-source:0;} div.WordSection1 {page:WordSection1;} -->
Andhara membersihkan laboratorium seorang diri, beruntung masker selalu setia menemani hari-harinya. Walaupun presiden sudah membolehkan masyarakat melepas masker di ruang terbuka tapi Andhara masih setia memakai masker di ruangan maupun di luar ruangan, ia merasa lebih aman.
Semenjak Ramadan laboratorium nyaris tidak dikunjungi dan dalam minggu pertama pasca lebaran ini pun laboratorium belum digunakan. Baru hari ini laboratorium dibuka setelah lebih satu bulan tutup.
Bayangkan setebal apa debu di laboratorium itu, dan Bu Yose hanya menyuruh Andhara membersihkan seorang diri? Tega banget, Tapi ini tu Andhara, ia tidak pernah menolak perintah gurunya, selama perintah itu masuk akan dan mampu ia lakukan.
Andhara memulai dengan sapu panjang untuk membersihkan sarang spider yang bergelantungan di sudut-sudut plafon, di belakang pintu dan di antara pajangan-pajangan laboratorium. Setelah membersihkan bagian atas, Andhara membersihkan jendela dan meja-meja percobaan menggunakan kemoceng. Setelah semuanya bersih ia baru menyapu lantai.
Ada empat ruang di laboratorium itu, ruang alat fisika dan ruang alat biologi yang satu ruangan dengan alat-alat dan bahan kimia, ruang persiapan dan ruang percobaan. Ruang percobaan adalah ruang yang paling besar, lebih besar dari ruang kelas. Andhara sudah menyapu semua ruangan, saat ini ia tinggal mengarahkan debu dan kotoran yang menumpuk di lantai itu ke arah pintu keluar. Andhara mendorong sampah itu dengan kuat agar tugasnya segera selesai dan ia bisa mencuci tangan. Membersihkan laboratorium ini membuat Andhara kehilangan kesegaran dan kecantikannya, tangannya kotor dan tubuhnya sudah berkeringat.
“Uppsss, maaf,” kata Andhara pada seseorang yang tiba-tiba muncul di depan pintu laboratorium. Seorang laki-laki yang keren menewen, dengan penampilan seperti seorang guru.
“Nggak apa-apa, saya yang harus minta maaf,” kata lelaki itu.
“Jadi kamu Andhara? Saya Raksa Alkuna guru kimia yang mengantikan Ibu Salma sementara,” ujar lelaki yang ternyata adalah guru kimia yang dimaksud Dhira.
“Iya, Pak, saya Andhara, maaf saya tidak tahu jika bapak ada di depan pintu, maaf celana dan sepatu bapak sampai kena debu, biar saya bersihkan.” Andhara berniat membersihkan sepatu dan kaki celana guru baru itu dengan tisu, tapi bapak guru itu mengelak dengan sigap.
“Tidak usah, saya bisa bersihkan sendiri, lagi pula memang saya yang salah bukan kamu Andhara.” Raksa Alkuna mengambil tisu yang ada di meja demontrasi dan membersihkan sepatu serta kaki celananya sendiri, sementara Andhara melanjutkan menyapu.
Ruangan laboratorium sudah bersih, Andhara bergegas masuk ke ruang persiapan dan mencuci tangannya dengan handsoap dan air mengalir yang tersedia di ruang itu. Setelah bersih ia permisi untuk kembali ke kelasnya pada Raksa Alkuna.
“Pak, tugas saya sudah selesai, saya izin masuk kelas,” ujar Andhara minta izin.
“Di kelas sedang belajar kimia dengan saya, mereka saat ini tengah mengerjakan beberapa soal dan saya tinggal ke sini karena sebentar lagi akan ada tamu yang akan meninjau laboratorium kimia sekolah kita. Makanya saya ke sini, saya ingin mengenali kondisi laboratorium ini terlebih dahulu agar nanti saat tamu datang saya bisa memberikan respon yang tepat pada mereka. Jadi tolong kamu tunjukkan pada saya, apa saja isi laboratorium ini, karena kata Ibu Salma kamu adalah Siswa yang paling mengenali laboratorium,” tutur Raksa Alkuna panjang lebar.
Dengan malu-malu Andhara menjelaskan setiap bagian laboratorium pada guru kimia baru itu. Jujur Andhara sangat terganggu dengan ketampanan Pak Raksa, seperti kata Dhira Pak Raksa sebelas, dua belas dengan Refal hady.
Cukup lama mereka bersama di laboratorium, dan ini adalah pengalaman pertama Andhara berdua-duaan dengan laki-laki, sebenarnya ia merasa risih tapi Andhara berusaha bersikap biasa, ia tidak ingin gurunya itu tahu bahwa ia tengah grogi dan risih. Lagi pula semua ruangan di sekolah itu dilengkapi dengan cctv termasuk di laboratorium, sehingga Andhara merasa aman, ia membuang jauh-jauh perasaan takut karena tidak mungkin pak guru itu akan macam-macam.
***
Tamu yang ditunggu-tunggu akhirnya datang, ternyata mereka ingin melihat alat distilasi sederhana yang dibuat Andhara untuk menyuling bioetanol dari hasil fermentasi limbah kulit buah-buahan.
Andhara memang suka pelajaran kimia karena pada pembelajaran ini ia bisa berinovasi dan langsung mempraktekkan banyak teori yang ada di buku. Selama ini Andhara adalah siswa kesayangan Ibu Salma guru Kimia senior di sekolah itu, namun entah mengapa kemarin Ibu Salma sangat emosi karena Andhara tidak membuat pekerjaan rumah. Mungkin Bu Salma kecewa karena siswa kesayangannya bisa lalai, padahal siswa lain juga sering tidak membuat PR tapi beliau tidak pernah semurka itu.
“Kami sudah survei ke beberapa sekolah dan akhirnya kami memilih sekolah ini untuk ikut lomba teknologi tepat guna di Jakarta, kita diminta mengutus seorang siswa dan seorang guru pendamping.” Kepala dinas menjelaskan maksud dan tujuan serta harapannya kepada kepala sekolah dan Pak Raksa Alkuna, mereka terlihat sangat serius.
Setelah berdiskusi dan melihat setiap sudut laboratorium serta bertanya tentang banyak hal pada Andhara akhirnya rombonga itu meninggalkan laboratorium menuju ruang kepala sekolah, sementara Andhara tinggal sendiri, ia kembali merapikan dan membersihkan laboratorium dan kemudian menguncinya.
“Bu, ini kunci laboratoriumnya.” Andhara menyerahkan kunci laboratorium kepada Ibu Yose dan diterima Bu Yose dengan ucapan terima kasih.
“Terima kasih Andhara, setelah ini kamu langsung ke ruang kepala sekolah ya, Ibu Wahyuni dan Pak Raksa sudah menunggu,” kata Bu Yose.
“Baik Bu, saya izin ke ruang kepala sekolah.” Andhara meninggalkan ruang guru yang masih sepi karena semua guru sedang berada di kelas masing-masing.
Di ruang guru tidak ada lagi tamu, mereka sudah pulang, dan yang ada hanya Ibu Wahyuni dan Pak Raksa Alkuna saja.
“Assalamualaikum,” Andhara mengucap salam.
“Waalaikum salam,” jawab Bu Wahyuni dan Pak Raksa Alkuna berbarengan. Kemudian Bu Wahyuni meminta Andhara duduk di sampingnya.
“Andhara, kamu akan mewakili sekolah untuk kegiatan Pekan Expo Kimia SMA Nasional di Jakarta, acaranya besok lusa, kamu akan didampingi oleh Bapak Raksa Alkuna, saya harap kamu bisa berangkat ya,” kata kepala sekolah dengan tegas.
“Maaf, Bu, saya harus izin sama orang tua terlebih dahulu, apalagi guru pendampingnya laki-laki,” jawab Andhara.
“Memangnya kenapa jika guru pendampingnya laki-laki? Nanti di sana kamarnya juga sendiri-sendiri sesuai protokol kesehatan,” jelas Bu Wahyuni
“Tapi Bu,” kata Andhara yang langsung dipotong oleh Bu Wahyuni.
“Andhara, ini adalah kesempatan terakhir kamu untuk memberikan yang terbaik di sekolah ini sebelum ujian akhir, lagi pula Pak Raksa adalah guru, beliau akan menjaga kamu, benarkan pak Raksa?” tanya Bu Wahyuni pada Raksa Alkuna.
“Insyaallah, Bu, saya akan mendamping dan menjaga Andhara dengan baik,” jawab Raksa Alkuna pasti.
“Nanti saya yang akan menelepon Mama kamu untuk minta izin, jadi tugas Andhara sekarang adalah menyiapkan diri dan menyiapkan segala sesuatu yang akan dibawa besok lusa.” Wahyuni mengambil ponselnya dan menelepon orang tua Andhara untuk meminta izin. Abdul Hanif Ayah Andhara dan Deswita Ibu Andhara memberikan izin kepada Andhara untuk mengikuti Pekan Expo Kimia SMA Nasional di Jakarta.
***
Rencana keberangkatan Andhara ke Jakarta besok sudah menjadi berita utama di grup-grup Wa kelas di sekolah itu. Berita itu menjadi tren bukan karena Pekan Expo Kimianya tapi karena keberangkatan Andhara berdua dengan Raksa Alkuna, secara guru baru itu saat ini menjadi cowok terganteng di ekosistem sekolah mereka, semua ingin mengantikan posisi Andhara.
Berbeda dengan Andhara, ia merasa tidak aman berangkat berdua Pak Raksa Alkuna, Andhara takut jatuh cinta pada guru baru itu. Sudah kelas dua belas Andhara memang belum pernah jatuh cinta apalagi berpacaran. Ia adalah muslimah yang taat. Jilbabnya adalah jilbab panjang yang menutupi dada dan pinggul. Namun sebagai remaja normal ia juga memiliki rasa dan getar-getar aneh saat melihat Raksa Alkuna.
“Dhira, gue deg-degan mau ke Jakarta sama Pak Raksa,” kata Andhara pada Dhira bestinya saat mereka makan di kantin.
“Wajar, itu tandanya elo wanita norma,” sahur Dhira sambil menyuap nasi sotonya.
“Kalau gue jatuh cinta bagaimana?”tanya Andhara.
“Gila lo, doi guru, kita sekedar pengagum saja, cukup jangan ngadi-ngadi,” omel Dhira.
“Elehhh padahal kamu juga suka ‘kan?”
“Ha ha, iya sih, tadi beliau saat lo beberes di laboratorium beliau ngajar di kelas, cara ngajarnya beda banget sama Bu Salma, keren, jadi semangat gue belajar kimia.” Dhira berdiri dan membayar makanannya, sementara Andhara masih termenung memikirkan perjalanan ke Jakarta berdua dengan Raksa Alkuna.
***
<!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Cambria Math"; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:1; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;} @font-face {font-family:Calibri; panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-469750017 -1073732485 9 0 511 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; margin-top:0cm; margin-right:0cm; margin-bottom:8.0pt; margin-left:0cm; line-height:107%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoPapDefault {mso-style-type:export-only; margin-bottom:8.0pt; line-height:107%;} @page WordSection1 {size:595.3pt 841.9pt; margin:72.0pt 72.0pt 72.0pt 72.0pt; mso-header-margin:35.4pt; mso-footer-margin:35.4pt; mso-paper-source:0;} div.WordSection1 {page:WordSection1;} -->
Bab 2
Prepare
“Tadi kepala sekolah Andhara menelepon Ibu, beliau minta izin untuk mengutus Andhara ke pekan expo kimia SMA di Jakarta hari Senin sampai Sabtu di dampingi oleh guru Kimia dan Ibu sudah izinkan.” Deswita duduk di kursi makan, koper besar dan satu koper sedang yang tadi Ia seret diletakkan di samping kursi itu.
“Iya, Bu, tapi Andhara masih ragu untuk berangkat,” jawab Andhara sambil menyuap nasi ke mulutnya.
“Kenapa? Ini kesempatan ‘kan? kesempatan untuk meraih prestasi di tingkat nasional sebelum tamat SMA,” kata Deswita pada anak semata wayangnya.
“Iya, Bu, tapi guru kimianya laki-laki, Pak Raksa Alkuna, Andhara risih pergi dengan guru laki-laki,” kata Andhara mengungkapkan isi hatinya.
“Jadi bagaimana? Andhara nggak mau berangkat?” tanya Deswita seraya mengangkat ponselnya yang berdering. Ternyata telepon dari sopir grab yang akan mengantar Deswita ke bandara.
“Sayang, Ibu dan Ayah ke Jakarta juga hari ini, Ibu ada TOT, insyaallah pulangnya hari Kamis, Ayah juga ada survei ke Bandung, kami berangkatnya bareng dan pulangnya juga bareng,” kata Deswita, setelah menjawab telepon.
“Baru pulang kemarin sudah pergi lagi.” Andhara tidak menjawab, Ia hanya bergumam seraya berdiri dan menyeret koper Ibunya ke luar.
“Sayang namanya juga pekerjaan, Andhara nggak apa-apa ‘kan? Ajak Dhira tidur di sini ya.” Deswita mengikuti anaknya keluar untung di luar grab belum menunggu.
“Andhara sendiri saja, Bu, sekalian mau menyiapkan segala sesuatu untuk pekan expo, mau merakit alatnya, kalau ngajak Dhira nanti malah banyak ngobrol dari pada belajar,” jawab Andhara.
“Oke lah, jangan lupa kunci semua pintu dan hati-hati, Ibu sudah titip sama Uwak sebelah dan juga sama keamanan kompleks, bahan makanan semua lengkap, baik-baik ya, jika Ibu usahakan untuk ketemu di Jakarta, Andhara harus semangat,” kata Deswita pamit dan memberikan semangat pada anaknya. Wanita itu sangat anggun dengan stelan rok blisket dan baju dengan ikat pinggang mutiara yang melingkari pinggangnya dipadu dengan jilbab berwarna senada yang dililit ke leher, berbeda dengan anaknya Andhara yang berbusaha lebih syar’i.
Andhara sudah menyampaikan pada Ibunya untuk memakai jilbab yang lebih besar dan dibiarkan menutup dada serta pinggulnya, namun Deswita belum mau, katanya ia masih ingin tampil modis dan gaya. Deswita sendiri belum lama berjilbab, paling baru setahun. Itupun karena dipaksa oleh Andhara dan Abdul Hanif suaminya.
Andhara menjadi lebih syar’i dari Ibunya karena ia sekolah di sekolah Islam Terpadu, setelah itu ia melanjutkan ke pesantren hingga tamat SMP. Andhara tidak melanjutkan pesantren untuk jenjang SMA karena Ia ingin lebih dekat dengan kedua orang tuanya. Itulah makanya Andhira memilih SMA yang tidak jauh dari rumah, hanya lima menit naik motor sudah sampai, bahkan tidak jarang Andhara berjalan kaki ke sekolah.
***
Deswita turun dari grab, ternyata Abdul Hanif sudah menunggu di bandara, suaminya itu tidak lagi mampir ke rumah agar lebih efisien waktu. Sebagai gantinya Ia melakukan video call dengan Andhara untuk pamit dan memberikan dukungan agar anaknya itu sukses.
“Mas, sudah pamit ke Andhara?” tanya Deswita setelah Abdul Hanif meletakkan kedua koper mereka di troli dan mulai mendorong menuju pintu keberangkatan.
“Sudah, tadinya dia nga mau berangkat karena guru pendampingnya laki-laki, katanya bukan mahrom, terus aku bilang agar jaga jarak sama Pak Gurunya,” jawab Abdul Hanif.
“Terus?”
“Ya, setelah debat berbagai argumen akhirnya Dia mau dengan syarat pas di Jakarta kita harus melihat ke hotel tempat mereka berkegiatan,” sambung Abdul Hanif.
***
Andhara mengunci pintu rumahnya, ia benar-benar sendiri, mereka memang tidak memakai asisten rumah tangga. Setelah mengunci pintu Andhara berjalan menuju ruang makan, diatas meja ada beberapa buah pisang yang sudah mulai menghitam dan dihinggapi serangga-serangga kecil. Ia akan memanfaatkan buah pisang itu untuk sampel percobaan yang akan dipamerkan pada pekan expo kimia SMA nanti.
Andhara mengambil dua buah botol bekas air mineral ukutan satu setengah liter. Setelah itu ia menimbang buah pisang yang sudah kematangan itu menggunakan timbangan digital yang sengaja ia beli untuk menimbang bahan-bahan makanan saat membuat kue. Andhara memang suka mencobakan resep-resep makanan kekinian yang ia lihat di media sosial.
Setelah pisang ditimbang, ia kemudian mencatatnya ke dalam agenda yang baru saja ia buat dari kertas hvs salah print. Ayahnya Abdul Hanif sering ceroboh saat nge-print file dan Andharalah yang menjadi pahlawan penyelamat kertas-kertas itu. Ia melipat kertas sama besar dengan posisi bagian yang kosong berada di luar. Andhara mengumpulkan sekitar dua puluh lembar lipatan kertas dan melubangi sisi kertas yang tidak menyatu. Ia melubanginya seperti binder menggunakan pelubang kertas, kemudian menggabungkan kertas itu dengan benang bekas jahitan karung beras. Andhara memasukkan ujung benang ke dalam lubang dan menjalin hingga ujung kemudian membalasnya hingga ujung benang bertemu di lubang awal. Hasilnya seperti di jahit dengan motif silang.
Andhara kurang puas dengan karyanya. Ia teringat dengan kotak kemasan biskuit yang ada di lemari makanan. Andhara akan menjadikan kotak kemasan itu sebagai cover bukunya itu.
Benang sudah dilepas dan Andhara sudah mengunting karton kemasan biskuit seukuran kertas hvs yang dilipat dua. Ia kemudian membuat lubang di posisi yang sama dengan lubang di kertas hvs dan kembali menjalinnya membentuk buku.
“Tara, sudah jadi,” kata Andhara senang. Ia bicara untuk dirinya sendiri karena tidak ada siapapun di rumahnya.
“Tinggal lukis covernya!” Ia kembali teriak sendiri. Andhara membuat cover dengan menempelkan kertas hvs berbentuk oval di atas kertas kemasan biskuit yang sekarang sudah menjadi cover depan dan belakang bukunya.
Di kertas oval itu Ia tulis, Cara membuat bioetanol dari limbah buah-buahan, di bawahnya judul itu Ia tulis namanya, Andhara.
Buku yang ia buat sendiri dari kertas bekas itu nantinya akan dijadikan sebagai jurnal penelitian, di sana Andhara akan menuliskan apa saja yang ia butuhkan dalam percobaannya, desain alatnya, cara melakukan dan hasilnya.
Ia kembali menimbang pisang yang sudah hampir busuk itu, kulitnya ikut ditimbang karena juga akan ikut diolah menjadi bioetanol. Andhara sengaja menimbang kembali untuk ketelitian dan memastikan massanya, karena ia akan membandingkan jumlah bioetanol yang dihasilkan dari buah pisang busuk dengan kulit pisang. Setelah itu pisang dipotong dan di blender. Saat diblender Andhara menambahkan seratus mililiter air. Kemudian pisang yang sudah halus itu dimasukkan ke dalam botol. Botol diisi tiga perempat bagian saja, jadi ada seperempat bagian yang kosong. Bagian yang kosong ini akan menjadi ruang untuk gas yang terbentuk selama fermentasi.
<!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Cambria Math"; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:1; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;} @font-face {font-family:Calibri; panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-469750017 -1073732485 9 0 511 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; margin-top:0cm; margin-right:0cm; margin-bottom:8.0pt; margin-left:0cm; line-height:107%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoPapDefault {mso-style-type:export-only; margin-bottom:8.0pt; line-height:107%;} @page WordSection1 {size:595.3pt 841.9pt; margin:72.0pt 72.0pt 72.0pt 72.0pt; mso-header-margin:35.4pt; mso-footer-margin:35.4pt; mso-paper-source:0;} div.WordSection1 {page:WordSection1;} -->
Bab 3
Ganteng Tapi Galak
Andhara membuka pintu laboratorium IPA, ia sudah seperti penjaga sekolah saja karena datang paling pagi. Ini semua karena Raksa Alkuna yang mengirimkan perintah melalui pesan suara agar Andhara datang pagi-pagi karena guru kimia itu akan melihat persiapan Andhara.
Pintu laboratorium sudah terbuka, Andhara kemudian mengambil dua kantong besar bawaannya yang masih digantung di motor dan ranselnya yang diletakkan di dalam jok. Di bawah ransel ada box makanan, Andhara membawa bekal untuk makan siang. Ia memasak sendiri, karena memang sudah terbiasa mandiri. Di kulkas sudah ada syok ayam ungkep yang tinggal di goreng, ada timun yang tinggal di potong dan membuat sambal terasi adalah hal yang paling menyenangkan bagi Andhara.
Andhara punya cara sendiri untuk membuat sambal terasi. Caranya sangat praktis, lima buah cabai merah dan satu buah tomat yang sudah dicuci diletakkan di dalam penanak nasi tepat saat nasi mulai kering airnya. Ketika nasi matang, cabai dan tomat siap diangkat dan diletakkan diatas cobek, andhara mengoreng sebuah terasi yang mirip permen, setelah mengeluarkan aroma wangi Andhara mengangkat terasi itu. Selanjutnya ia mengiling cabai dan tomat yang ditambah tiga buah bawang merah mentah, setelah semua halus baru terasi dimasukkan ke dalam cobek dan digiling agar halus dan tercampur rata dengan sambal.
Sambal itu dimasukkan ke dalam wadah lalu disiram dengan sedikit minyak panas yang tadi digunakan untuk menggoreng terasi.
Jadi jangan ditanya isi box makanannya, karena isinya pastilah nasi, ayam goreng, timun dan sambal terasi.
Ransel dan makanan sudah Ia letakkan ditempat yang aman, sekarang Andhara mengeluarkan semua peralatan yang kemarin sudah disiapkan. Botol bekas air mineral berisi fermentasi pisang busuk, botol bekar air mineral berisi fermentasi kulit pisang serta sebuah alat yang ia namakan postol two in one, alah ini adalah sebuah komposter yang digunakan untuk mengolah limbah sisa pembuatan bioetanol menjadi kompos dan pupuk organik cair.
Andhara mengeluarkan dua buah botol UC 1000 dari kantong kiri dan kantong kanan ranselnya. Satu botol sudah kosong karena sudah ia minum tadi malam, sementara yang satu lagi masih utuh belum dibuka. Andhara akan mengunakan botol UC 1000 sebagai penganti labu erlemeyer atau sebagai pengganti labu destilasi.
Andhara sudah mencoba berbagai botol untuk mengantikan labu destilasi tapi hasilnya botol-botol itu pecah kecuali botol UC 1000, makanya Andhara menggunakan botol itu.
“Bagaimana persiapan kamu?” tanya seseorang yang tiba-tiba masuk ke laboratorium, Andhara kaget, untung saja jantungnya tidak copot.
“Oh Bapak, maaf pak saya sampai kaget, persiapan saya baru seperti ini, Pak.” Andhara menata semua peralatan yang sudah ia bawa dari rumah.
“Ini apa sih? Kayak sampah semua?” Raksa Alkuna memegang botol-botol yang baru saja dikeluarkan Andhara.
“Maksud, Bapak?” tanya Andhara kaget, ia tidak menyangka kalimat seperti itu akan keluar dari mulut guru gantengnya itu.
“Kamu itu akan ikut pekan expo kimia SMA nasional! Bukan mau jadi pekan pemulung nasional,” cecar Raksa meremehkan.
“Maaf, Bapak Raksa Alkuna, bukan saya yang ingin ikut kegiatan ini, ‘kan Bapak sendiri tahu, jika menurut Bapak karya saya hanya sampah maka dengan senang hati saya mengundurkan diri,” sahut Andhara, Ia tidak bisa meredam emosinya. Baru satu hari ia memiliki harapan baru dengan kedatangan Raksa Alkuna, tapi ternyata harapan itu hanyalah harapan yang sirna. Raksa Alkuna dan Ibu Salma sama saja.
“Terus mau mempermalukan sekolah?” tanyanya cuek. Andhara tidak menjawab, ia sibuk memasukkan semua peralatannya yang sudah ditata di meja labor ke dalam kantong plastik kembali. Andhara sudah memutuskan untuk tidak mau berangkat ke Jakarta bersama Raksa Alkuna.
“Sebaiknya bapak cari siswa yang lebih baik, maaf, Pak saya permisi.” Andhara menggantung ransel di punggungnya, membawa kedua kantongnya plastik besarnya serta box makanan semua sudah ia bawa menuju motor. Ransel dan box makanan sudah dimasukkan ke dalam box motor dan kantong plastik berisi botol-botol dan semua peralatan percobaan sudah digantung di gantungan motor. Andhara mengendarai motornya menuju rumah dengan emosi. Memang semenjak kejadian itu Andhara menjadi lebih mudah tersinggung.
Di laboratorium, Raksa Alkuna senyum-senyum sendiri melihat siswanya merajuk dan pergi. Ia sengaja menghina Andhara karena ingin menjahili gadis itu. Kedatangan Raksa Alkuna ke sekolah ini bukan tanpa maksud, Raksa Alkuna sebenarnya adalah anak Ibu Salma, Ia baru saja menyelesaikan studi S2 teknik kimia di Amerika. Raksa Alkuna baru saja diterima menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi ternama di Indonesia, namun ia masih memiliki waktu dua bulan sebelum mulai aktif di kampus. Makanya ketika Bu Salma kena stroke ringan, Raksa Alkuna yang menggantikan.
***
Flashback
“Salma, sebaiknya kamu ke berobat ke Jakarta, insyaallah jika ditangani dengan tepat bisa sembuh dan kembali seperti sedia kala,” kata Deswita memberikan saran kepada sahabatnya Salma. Deswita dan Salma sudah bersahabat semenjak SMP dan terus berlanjut sampai mereka kuliah. Apalagi mereka sama-sama kuliah keguruan. Begitu juga dengan Abdul Hanif dan Fadhillah suami Salma yang sudah meninggal satu tahun yang lalu, mereka adalah teman dekat.
“Iya, tapi bagaimana dengan tugas ku di sekolah?” tanya Salma mengeluh.
“Raksa ‘kan bisa gantikan kamu sementara,” jawab Deswita.
“Terus yang mengantar aku ke Jakarta siapa?” tanya Salma lagi.
“Aku dan Mas Hanif yang akan mengurusnya, Raksa biar di sini mengantikan tugas kamu di sekolah sekaligus menjada Andhara, ya, biar mereka pendekatan dan saling kenal, nanti setelah tamat SMA dan kuliah, biar langsung kita nikahkan saja,” jawab Deswita. Mereka memang sudah sepakat untuk menjodohkan anak-anak mereka, Raksa Alkuna berusia dua puluh enam tahun dan Andhara delapan belas tahun.
“Raksa bagaimana?” tanya Salma pada anak satu-satunya.
“Raksa setuju, Ibu berobat diantar sama tante Deswita dan Om Hanif, biar Raksa mengantikan jam mengajar Ibu di sekolah,” jawab Raksa Alkuna.
“Minggu ini Andhara juga akan mewakili kabupaten untuk ikut pekan expo kimia SMA di Jakarta, jadi Ibu akan minta kamu yang mendampingi Andhara ke Bu Wahyuni, agar bisa sekalian ke rumah sakit,” terang Salma. Salma memang terkena stroke ringan setelah jatuh di kamar mandi, untung saja cepat mendapat penangganan sehingga ia masih bisa berjalan dan bicara, hanya gerakan saja yang sedikit berat.
“Om, Tante, ini serius Raksa mau dijodohin dengan Andhara?” tanya Raksa pada sahabat ibunya itu.
“Bagaimana Salma?” tanya Deswita pada Salma, bukan menjawab sendiri ia malah melempar pertanyaan itu pada Ibu Raksa Alkuna.
<!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Cambria Math"; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:1; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;} @font-face {font-family:Calibri; panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-469750017 -1073732485 9 0 511 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; margin-top:0cm; margin-right:0cm; margin-bottom:8.0pt; margin-left:0cm; line-height:107%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoPapDefault {mso-style-type:export-only; margin-bottom:8.0pt; line-height:107%;} @page WordSection1 {size:612.0pt 792.0pt; margin:72.0pt 72.0pt 72.0pt 72.0pt; mso-header-margin:36.0pt; mso-footer-margin:36.0pt; mso-paper-source:0;} div.WordSection1 {page:WordSection1;} -->
Bab 4
Perjalanan
Andhara kembali melihat tiket pesawat yang sudah dikirimkan sekolah ke ponselnya, Andhara berangkat pada penerbangan jam sepuluh lewat lima puluh besok. Semua persiapan sudah disiapkan Andhara. Pakaian dan segala peralatan sudah siap dibawa kecuali sampel yang dalam proses fermentasi. Andhara belum bisa mengemasnya malam ini, karena takut dalam semalam botol itu akan menggembung dan bisa-bisa meledak. Jadi rencananya Andhara akan menyiapkannya besok pagi. Kedua botol berisi fermentasi buah pisang busuk dan kulit pisang itu akan dibuka dulu tutupnya sesaat sebelum dipeking, agar tidak meledak selama dalam penerbangan.
Andhara ragu dan takut apakah cairan yang sedang dalam proses fermentasi seperti ini bisa lolos atau tidak, ia juga malas untuk bertanya atau search di google. Yang jelas kedua botol sampel itu tidak akan dimasukkan bagasi, karena andhara takut jika masuk bagasi botolnya akan terguncang, terbentuk gas lebih cepat dan meledak. Ia berencana akan membawa kedua botol itu ke kabin pesawat, seperti membawa dua botol sirup, toh ia tidak membawa narkoba.
***
Sudah jam sepuluh malam, Andhara baru selesai salat isya dan siap-siap untuk tidur agar besok pagi bisa fresh saat bangun. Seperti biasa Andhara akan tidur dengan miring ke kanan, sebelum tidur ia rutin membaca ayat kursi dan surah trikul, yaitu Al ikhlas, Al falaq dan Annas. Baru saja selesai membaca surah Annas, ponselnya berbunyi dan Andhara langsung mengangkatnya karena ternyata itu adalah panggilan video dari Deswita Ibunya.
[Assalamualaikum, Sayang, sudah mau tidur?]
[Waalaikumsalam, Bu, Iya, Andhara baru selesai salat dan zikir, ini baru mau tidur]
[Besok berangkat jam berapa?]
[Jam sepuluh lima puluh, Bu dan dari bandara langsung ke hotel]
[Oke, dari rumah naik grab saja ya, hati-hati, oh ya guru pendamping ganteng itu sudah menghubungi?]
[What? Ganteng? Ganteng dari mana, Bu? Galak iya, judes iya, amit-amit punya guru seperti itu]
[Sayang nga boleh begitu, kita harus hormat pada guru, memang Andhara diapain sama pak guru itu?]
[Nggak diapa-apain, Bu, Cuma dihina saja sama dia yang sok pintar, mentang-mentang master tamatan luar negeri]
[Dihina bagaimana?]
[Dia bilang kalau karya Andhara sampah semua, nggak cocok untuk tampil di expo kimia SMA]
[Haha, terus bagaimana?]
[Andhara tinggal pulang dan sampai sekarang belum dihubungi lagi oleh si judes itu]
[Ya, Andhara dong yang bertanya pada beliau, coba di whatsaap dan tanyain tentang keberangkatan besok, bareng atau berangkat sendiri jangan diam saja]
[Ogah, Bu, Andhara berangkat sendiri saja, lebih nyaman sendiri sih sepertinya dari pada dengan guru judes]
[Nggak baik begitu pada guru, sayang, walaupun bagaimana dia ‘kan bertugas mendampingi Andhara, jadi kamu harus hormat]
[Ibu, Ibu nggak tahu sih orangnya bagaimana, nyebelin bangets, ya sudah ya, Andhara mau tidur dulu, assalamualaikum]
[Waalaikum salam, besok saat mau naik pesawat telepon Ibu dan saat sudah sampai juga telepon ya]
[Iya, Ibuku sayang]
***
Video call sudah berakhir, Andhara meletakkan ponselnya di atas nakas. Ia merebahkan diri mencari posisi nyaman untuk meluruskan badan menghilangkan kepenatan. Setelah meluruskan badan, kemudian ia mulai mengatur posisi miring ke kanan dan menarik selimut sampai menutup pinggang.
Netranya belum terpejam, baru akan mau terpejam tapi ponselnya kembali berbunyi. Dengan menghembuskan napas, Andhara meraih ponsel yang diletakkan di atas nakas itu. Ia melihat notifikasi baru dari Raksa Alkuna.
[Jangan lupa istirahat dan besok kita berangkat jam sepuluh lewat lima puluh, kamu saya tunggu di bandara, jangan terlambat]
Pesan sudah dibaca, namun tidak dibalas oleh andhara. Gadis itu masih kesal sama guru baru tersebut. Sehingga ponsel kembali ia letakkan di nakas.
Seperti biasa habis salat subuh Andhara menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri. Setelah sarapan Andhara mengintip kondisi botol sampelnya. Benar saja dalam satu malam botol yang sudah dikempesin kemarin saat ini sudah penuh lagi. Dengan perlahan Andhara membuka botol untuk mengeluarkan gas dari botol itu. Setelah semua gas keluar, Andhara kembali menutup botol itu dan akan membukanya sesaat sebelum ke bandara.
***
“Makasih,Om, kata Andhara pada supir grab yang sudah mengantarkannya ke bandara. Setelah membayar sejumlah uang, Andhara mengambil troli dan menaikkan koper berisi pakaian serta box berisi alat dan bahan. Sementara di dalam tas ada laptop dan peralatan penunjang yang lain. Untuk botol sampel sendiri akan dimasukkan ke dalam kardus dan kardusnya di masukkan ke dalam tas biasa, dan akan dibawa ke kabin oleh Andhara.
Andhara sudab masuk pintu keberangkatan, semua bawaan sudah di scan. Kemudian Andhara berjalan menuju petugas karena ia tidak melakukan cek-in pribadi, Andhara membawa koper besar dan box peralatan yang harus masuk bagasi pesawat<!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Cambria Math"; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:1; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;} @font-face {font-family:Calibri; panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-469750017 -1073732485 9 0 511 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; margin-top:0cm; margin-right:0cm; margin-bottom:8.0pt; margin-left:0cm; line-height:107%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoPapDefault {mso-style-type:export-only; margin-bottom:8.0pt; line-height:107%;} @page WordSection1 {size:595.3pt 841.9pt; margin:72.0pt 72.0pt 72.0pt 72.0pt; mso-header-margin:35.4pt; mso-footer-margin:35.4pt; mso-paper-source:0;} div.WordSection1 {page:WordSection1;} -->
Seorang lelaki berjalan cepat dengan menyeret tas miliknya, terlihat ia berusaha memanggil seseorang yang berada di depan di barisan orang-orang yang sedang antri untuk cek in.
“Andhara!” panggil lelaki, yang ternyata Raksa Alkuna guru pendampingnya. Orang yang dipanggil menoleh ke belakang dengan santai tanpa rasa bersalah karena tidak menuruti perintah gurunya yang di kirim lewat pesan di whatsapp tadi malam.
Andhara bergeming, ia masih antri dan tidak menyadari raut wajah marah Raksa Alkuna. Itu membuat Raksa Alkuna diabaikan. Iya menarik tangan Andhara dan membawanya ke belakang. Beruntung tas Andhara bersedia mengantikan dirinya untuk antri.
“Maaf, Pak, ada apa?” tanya Andhara seraya berusaha melepaskan tangan Raksa Alkuna yang masih memegang tangannya.
“Maaf.” Raksa tersadar dan segera melepaskan tangan Andhara.
“Siapa yang suruh kamu cek in sendiri? Mau berangkat sendiri? Tidah mau saya dampingi? Jika tidak kamu tinggal sampaikan ke Ibu Wahyuni agar mencabut surat tugas saya.” Raksa Alkuna bicara tegas, ia kemudian menyeret tas nya dan meletakkan tas itu di samping tas Andhara.
“Sini KTP kamu.” Raksa Alkuna merebut KTP yang dipegang Andhara dengan tangan kanannya. Lalu ia berdiri antri, Andhara hanya diam, ia takut melihat gurunya emosi. Andhara juga merasa bersalah karena tidak membalas pesan whatsapp dari Raksa dan tidak menunggu gurunya itu.
Antrian terus bergilir, saat ini Raksa berada di antrian depan, ia sudah melihatkan KTP miliknya dan milik Andhara. Petugas minta dilihatkan aplikasi peduli lindungi untuk melihat status vaksinasi Raksa dan Andhara. Lagi-lagi guru muda itu kesal karena siswanya tidak berada di dekatnya, setelah menyapu pandang, ia melihat Andhara berdiri di sebelah kanan agak jauh dari dirinya. Raksa Alkuna memberikan kode dengan tangan kanan agar Andhara mendekat.
Andhara melihatkan aplikasi peduli lindungi dari ponselnya.
“Itu tas kecil tidak masuk bagasi?” tanya Raksa Alkuna.
“Tidak pak, saya bawa ke kabin saja, Pak,” kata Andhara dengan sopan dan sedikit mengangguk. Ia mulai menjaga sikap, karena walau bagaimanapun Raksa Alkuna adalah guru pendampingnya.
“Oke,” kata Raksa Alkuna.
“Apa isinya?” tanya Raksa.
“Sampel fermentasi, Pak, bahaya jika dimasukkan bagasi. Biar saya pegang saja, nanti di tarok di kaki biar aman,” kata Andhara.
“Kalau meledak di pesawat bagaimana?”
“Tadi sebelum masuk bandara, saat masih di dalam grab ke dua botol sudah saya kendorkan, gasnya sudah keluar semua, Pak, Insya Allah aman menjelang Jakarta.
***
Mereka berjalan menuju ruang tunggu, melewati walkhtorugh metal detector dengan santai karena memang tidak membawa logam berbahaya apapun. Satu-satunya bawaan yang membuat Andhara deg-degan adalah sampel penelitiannya. Fermentasi buah pisang busuk dan fermentasi kulit pisang yang berada dalam botol. Botol itu di letakkan dalam tas yang sedang melewati detector mengendarai baskom kotak besar yang sering digunakan sebagai tempat pasir kucing.
Semua aman, mereka berdua sudah duduk di ruang tunggu. Andhara sudah duduk, tidak berapa lama Raksa menyusul. Guru ganteng itu duduk di sebelah Andhara dengan santai. Berbeda dengan Andhara, ia bersusah payah mengkondisikan wajah dan tingkahnya agar tidak kentara bahwa ia sedang salah tingkah.
“Andhara, maafkan ucapan saya tempo hari, saya tidak bermaksud menghina kamu lo, saya hanya kaget saja melihat kamu bisa merakit peralatan dari barang bekas.” Raksa Alkuna sedikit mendekat pada Andhara karena ada dua orang bapak-bapak yang mengambil posisi di sebelahnya.
“Ngga apa-apa, Pak, memang karya saya semuanya hasil mulung, semua dari sampah, jadi wajar saja jika bapak memberikan umpan balik seperti itu,” jawab Andhara. Ia memang sudah tidak marah pada Raksa Alkuna. Andhara berusaha menjaga kebesaran hatinya untuk melupakan kata-kata Raksa Alkuna kemarin.
“Serius? Kamu tidak benci saya?” tanya Raksa.
“Tidak,” jawab Andhara.
“Syukurlah jika kamu tidak benci saya, saya menyadari jika saya keliru dalam memilih kata-kata ketika mengomentari karya kamu, yang bahkan tidak pernah terpikirkan oleh saya, intinya saya minta maaf,” kata Raksa Alkuna, ia menyadari kekeliruannya. Andhara menanggapinya dengan tersenyum, ia tidak tahu harus berkata apa pada Raksa Alkuna.
***
“Keduanya duduk dalam satu baris di dalam pesawat, Andhara duduk di samping jendela dan Raksa duduk di tengah, tepat di samping Andhara, di sebelah kiri Raksa duduk seorang lelaki seusia ayahnya yang tersenyum pada Raksa Alkuna.
Andhara memasang seatbelt dan mengencangkannya, Ia berdoa untuk keselamatan penerbangan mereka. Sepanjang penerbangan tidak sepatah katapun yang ia ucapkan kepada Raksa Alkuna, bibirnya hanya basah dengan doa, karena cuaca di atas dihiasi dengan hujan lebat, angin dan petir.
Siapa yang tidak akan cemas dengan penerbangan seperti itu, bahkan semua penumpang dan awak pesawat juga gelisah. Raksa Alkuna mengamati kegelisahan Andhara, reflek ia merangkul pundak gadis itu dan membawa kepala gadis itu ke bahunya.
“Maaf, Pak, saya tidak apa-apa,” tolak Andhara sopan, Andhara kaget dengan perlakuan Raksa yang ingin memberikan penguatan kepadanya. Tapi Andhara menyadari bahwa ada batas antara laki-laki dan perempuan, mereka sama-sama sudah dewasa dan bukan mahrom. Gadis itu beristifar pelan, meminta ampun kepada Allah dan berusaha menata hatinya yang kocar-kacir karena perlakuan manis Raksa Alkuna.
<!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Cambria Math"; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:1; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;} @font-face {font-family:Calibri; panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-469750017 -1073732485 9 0 511 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; margin-top:0cm; margin-right:0cm; margin-bottom:8.0pt; margin-left:0cm; line-height:107%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoPapDefault {mso-style-type:export-only; margin-bottom:8.0pt; line-height:107%;} @page WordSection1 {size:595.3pt 841.9pt; margin:72.0pt 72.0pt 72.0pt 72.0pt; mso-header-margin:35.4pt; mso-footer-margin:35.4pt; mso-paper-source:0;} div.WordSection1 {page:WordSection1;} -->
Bab 5
Pekan Expo Kimia
Hari pertama
Andhara dan Raksa Alkuna sudah berada di hotel tempat kegiatan berlangsung. Semua peserta di beri kamar sendiri-sendiri tidak berdua, seperti kegiatan sebelum pandemi. Andhara menginap di lantai tujuh sementara Raksa Alkuna menempati kamar yang berada di lantai tiga.
Mereka sudah di dalam lift, Raksa Alkuna menekan tombol tujuh tanpa menekan angka tiga.
“Pak, bukannya, bapak di lantai tiga?” tanya Andhara heran.
“Ia, tapi saya akan mengantarkan Kamu dulu,” jawab Raksa tanpa menoleh sedikit pun pada siswanya. Ia berusaha menjaga sikap, apa lagi setelah penolakan Andhara di dalam pesawat tadi, Raksa sekarang tahu bahwa siswinya itu adalah gadis terhormat yang pandai menjaga diri.
“Ok, Pak,” jawab Andhara. Ia tidak mau banyak berkomunikasi dengan guru pendampingnya itu, apalagi di dalam lift yang hanya berisi mereka berdua. Lagi pula Andhara bukan sedang baik-baik saja, aroma parfum guru muda itu semerbak, mengedar-gedor, ingin masuk ke lubang hidungnya yang di tutupi masker. Ia punya banyak teman cowok di sekolah dan mereka dekat, tapi tidak pernah merasa panas dingin begini ketika bersama.
Andhara berdoa supaya lift segera berhenti dan ia bisa keluar dari rasa canggung ini. Andhara risih berdua-duaan dengan lelaki di dalam lift, iya, ia memang risih, tapi Andhara sering kok berada dalam satu lift dengan laki-laki sebelumnya. Ini bukan risih, yang Andhara rasakan bukan canggung, tapi Ia panas dingin, demam karena pesona tampan Raksa Alkuna.
“Alhamdulillah,” kata Andhara ketika lift terbuka. Ia segera keluar menyeret koper dan menggangkat box berisi alat percobaannya. Sementara ransel yang dari tadi menempel di punggungnya juga masih betah di sana.
“Pak, saya duluan,” kata Andhara pada Raksa yang ternyata juga keluar dari lift.
“Bapak ‘kan di lantai tiga,” kata Andhara heran melihat Raksa juga menyeret koper bersamanya.
“Iya, say tahu, tapi saya inikan guru pendamping kamu, saya harus pastikan kamu sudah aman dulu masuk kamar, baru saya akan ke kamar saya sendiri, ayo kamar kamu nomor berapa?” Raksa merebut access card yang dipegang Andhara dan langsung berjalan sambil menyeret kopernya dengan tangan kiri dan mengambil box alat percobaan Andhara dengan tangan kanan, ia melihat koper di punggung Andhara lalu melepaskan koper dan box yang tadi sudah ia pegang, access card yang diselipkan di jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannnya dimasukkan ke dalam kantong kaos polo merah yang ia pakai. Ransel Andhara sudah menempel di punggung Raksa, Ia sama sekali tidak menyangka jika ransel yang dari tadi dibawa siswinya itu seberat ini.
“Ini ransel isinya apa sih? Berat banget!” Raksa menggangkat kedua bahunya untuk menempatkan ransel itu di posisi nyaman.
“Sampel fermentasi dan laptop, pak,” jawab Andhara.
“Lah! Laptop dengan botol sampel kamu gabung?” tanya Raksa.
“Iya, tapi sampelnya sudah dibungkus, Pak, baru dimasukkin ke tas yang bagian depan,” jawab Andhara.
“Ya, tetap saja beresiko, jika botol sampelnya meledak atau bocor bagaimana? Laptop kamu bisa basah dan rusak! Jangan ceroboh!” Raksa ngomel pada siswinya.
“Iya, Pak,” jawab Andhara menunduk sambil melihat keindahan bulu-bulu karpet berwarna coklat emas yang ia injak. Memang lantai hotel ini dilapisi golden karpet. Andhara membayangkan, andai saja lantai kamarnya dilapisi karpet seindah dan semewah ini, tentu Ibu nya Deswita akan semakin sering ngomel menyuruh Andhara bersih-bersih setiap saat. Andhara senyum-senyum sendiri membayangkan wajah Deswita yang sadis kalau ngomel, mulut Ibunya itu akan monyong dan hidungnya kembang kempis.
“Memang di lantai ada apa sih?” tanya Raksa yang merasa diabaikan.
“Oh, Maaf, Pak,” kata Andhara sadar dari khayalannya. Lalu ia berjalan mengikuti Raksa yang tengah repot menyeret koper milik sendiri, membawa box alat percobaan dan mengendong ransel Andhara di punggung, sedangkan access card sudah kembali terselip di jari telunjuk dan jari tengah tangan kanan guru kimia itu. Andhara sendiri melenggang senang ia hanya menyeret koper pakaian saja.
“Nah ini kamar kamu,” kata Raksa ketika melihat pintu kamar hotel yang di tempeli dengan angka tujuh.
“Kamar nomor tujuh di lantai tujuh,” gumam Raksa seraya menempelkan access card di gagang pintu. Setelah pintu terbuka Raksa masuk membawa barang bawaan Andhara, dan memeriksa kondisi kamar setelah memastikan semua aman dan nyaman Raksa langsung keluar.
“Masuklah dan istirahat, lihat jadwal yang diberikan panitia, malam ini kita pembukaan kamu harus siap-siap! jam setengah delapan kita ke ballroom berdua, jangan sendiri, paham ‘kan?” cecar Raksa Alkuna pada siswi yang sudah dijodohkan dengan dirinya oleh orang tua meraka. Beruntung Andhara tidak tahu perjodohan itu, karena memang baru Raksa Alkuna yang diberi tahu dan diberi kesempatan untuk mengenal Andhara lebih baik. Jika Raksa Alkuna menerima perjodohan tersebut baru Andhara akan diberi tahu.
“Siap, paham, Pak, jam setengah delapan saya sudah siap,” jawab Andhara. Setelah itu Andhara masuk kamar dan menutup pintu, Raksa Alkuna tersenyum sendiri, baru beberapa jam mendampingi siswinya ia sudah hafal raut wajah cantik milik Andhara calon istrinya itu.
***
Andhara mengeluarkan semua pakaian dari kopernya, mengantung beberapa kostum yang akan digunakan saat kegiatan nanti, Andhara tidak mau jika bekas lipatan di pakaiannya nanti terlalu tajam karena lama terlipat di dalam koper.
Semua pakaian sudah dirapikan dan diletakkan dalam lemari yang tersedia di kamar hotel, alat-alat percobaannyapun sudah berada di posisi yang aman, tinggal sampel percobaan yang harus segera ia keluarkan dan segera ia kendorkan agar tidak meledak di kamar hotel.
[Maaf, Pak, saya mau membuka tutup botol sampel karena sudah sangat kencang, tapi nggak tahu mau membukanya dimana] Andhara mengirimkan pesan whatsapp ke gurunya.
[Tunggu, biar saya yang lakukan di bawah] balas Raksa, yang baru saja membuka kaos polo merahnya. Ia keluar kamar sambil menyorongkan kembali kaos itu.
<!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Cambria Math"; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:1; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;} @font-face {font-family:Calibri; panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-469750017 -1073732485 9 0 511 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; margin-top:0cm; margin-right:0cm; margin-bottom:8.0pt; margin-left:0cm; line-height:107%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoPapDefault {mso-style-type:export-only; margin-bottom:8.0pt; line-height:107%;} @page WordSection1 {size:595.3pt 841.9pt; margin:72.0pt 72.0pt 72.0pt 72.0pt; mso-header-margin:35.4pt; mso-footer-margin:35.4pt; mso-paper-source:0;} div.WordSection1 {page:WordSection1;} -->
Tok tok tok, Raksa Alkuna mengetuk pintu kamar yang ditempati Andhara dengan tergesa-gesa dan panik.
“Iya, Pak, sebentar,” sahut Andhara seraya menyambar jilbabnya yang diletakkan sandaran kursi.
“Mana sampelnya?” tanya Raksa Alkuna panik begitu wajah Andhara terlihat di pintu.
“Ada di kamar mandi, Pak,” jawab Andhara, ia membuka pintu, memberi akses kepada Raksa Alkuna untuk masuk. Raksa langsung membuka pintu kamar mandi dan membawa kedua botol itu keluar kamar.
“Biar saya yang urus sampel ini,” kata Raksa Alkuna sambil berlalu meninggalkan kamar Andhara. Ia bergegas menuju lift dan turun ke lobi. Sampai di lobi hotel Raksa menuju resepsionis dan menyampaikan informasi tentang sampel fermentasi yang akan digunakan siswanya untuk pekan expo kimia, Raksa minta izin untuk membuka tutp botol sampel itu di luar.
Raksa di temani, security membuka tutup botol perlahan, seorang security yang lain merekam videonya menggunakan kamera di ponsel Raksa Alkuna.
“Duarrrr,” terdengar ledakan yang cukup mengagetkan, botol yang kedua akan dibuka oleh security. Security itu memegang botol dengan takut-takut, padahal yang ia pegang hanyalah botol berisi fermentasi pisang busuk, bukan bom.
“Bismillah,” kata security, ia berusaha membuka tutup botol dengan memejamkan mata. Usaha pertama meleset, gagal, tutup botol tidak terbuka malah botolnya jatuh. Masih untung botol itu tidak meledak, tapi terlihat jelas cairan yang ada di dalamnya mengeluarkan gelembung gas yang bergerak cepat membuat botol semakin menggembung.
“Bisa, Mas?” tanya Raksa Alkuna.
“Takut, Pak, Saya nggak berani,” jawab security itu seraya menyerahkan botol sampel tersebut kepada Raksa Alkuna. Raksa menerima botol itu, tepat seperti dugaan Raksa, bahwa botol itu sudah semakin kencang dan menggembung, jika pun tidak dibuka tutupnya sebentar lagi tutup itu akan terbuka sendiri karena tekanan yang berasal dari gas yang ada di dalamnya.
“Bismillah,” Raksa Alkuna menggangkat botol dengan tangan kiri, mulut botol di arahkan ke depan, dan tangan kanannya membuka tutup botol dengan cara memutar ke arah yang berlawanan dengan jarum jam.
“Duuuuuuar!” terdengar ledakan yang lebih kuat, gas beraroma buah masam keluar daru mulut botol disertai asap putih yang mengepil. Setelah semua gas yang ada di dalam botol keluar, Raksa kembali memasang tutupnya.
“Mas, botol ini saya titip di pos security ya, ini adalah sampel untuk percobaan siswa saya pada pekan expo kimia SMA yang berlangsung di hotel ini, nanti malam pembukaannya.
“Baik, Pak, taruk saja di sini,” kata security.
“Terima kasih, Mas, saya tidak berani meletakkan di dalam kamar, berabe jadinya kalau meledak di kamar, bakalan kotor semua, muncrat.” Raksa Alkuna meletakkan kedua botol itu di salah satu sudut pos security.
“Mas, Saya titip ya, jangan sampai hilang, besok saat mau percobaan saya akan ambil lagi botolnya,” kata Raksa Alkuna.
“Siap, Pak,” jawab security.
“kalau begitu saya pamit ya, oh ya, kenalkan, saya Raksa Alkuna,saya menginap di lantai 3 kamar nomor 303,” kata Raksa mengenalkan dirinya. Dan Raksa sendiri sudah tahu nama kedua orang security itu dari tulisan yang ada di seragamnya, nama security itu Joko Susanto dan waskito mulyo.
***
Raka kembali ke kamar setelah ia memberikan informasi kepada resepsionis bahwa, Ia menitipkan botol sampel di pos security. Resepsionis muda itu mengangguk dan tersenyum mendengarkan informasi dari Raksa Alkuna.
Raksa Alkuna sudah berada di kamarnya, ia langsung masuk kamar mandi, mandi dengan air hangat untuk menyegarkan tubuhnya yang gerah, apalagi setelah mengurusi sampel fermentasi pisang busuk dan kulit pisang milik Andhara. Raksa Alkuna tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jikabotol itu meledak di kamar 707 yang di tempati Andhara, bisa-bisa seluruh kamar akan terkena semburannya, dan Raksa harus membayar biaya renovasi yang besar. Untung saja semua itu tidak terjadi.
Selesai mandi Raksa Alkuna menikmati kasur empuk yang dilapisi cover serba putih, warna favorit Raksa Alkuna. Ia suka warna hitam dan warna putih. Belum lama berbaring, matanya pun belum terpejam, ketika ponselnya berbunyi. Raksa mengabaikan bunyi ponselnya itu, berusaha menutup mata, namun walaupun mata sudah tertutup ternyata bunyi panggilan ponsel itu tetap menganggu, karena indera pendengar adalah telinga bukan mata.
Akhirnya Raksa meraih ponsel dan melihat nama tante Deswita di layar, Raksa tersenyum sendiri dan langsung menerima panggilan itu.
[Assalamualaikum]
[Waalaikum salam tante, apa kabar Tan? Ibu bagaimana?] tanya Raksa Alkuna.
[Alhamdulillah, Ibu kamu baik, sudah banyak kemajuan tinggal terapi-terapi saja dalam seminggu ini, kamu jangan khawatir Tante akan menjaga Ibu kamu menjelang Nadya datang] kata Deswita menjelaskan bahwa Ia akan menjaga Salma hingga kakak Raksa Alkuna yang bernama Nadya datang dari Manado.
<!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Cambria Math"; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:1; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;} @font-face {font-family:Calibri; panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-469750017 -1073732485 9 0 511 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; margin-top:0cm; margin-right:0cm; margin-bottom:8.0pt; margin-left:0cm; line-height:107%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoPapDefault {mso-style-type:export-only; margin-bottom:8.0pt; line-height:107%;} @page WordSection1 {size:595.3pt 841.9pt; margin:3.0cm 3.0cm 3.0cm 3.0cm; mso-header-margin:35.45pt; mso-footer-margin:35.45pt; mso-paper-source:0;} div.WordSection1 {page:WordSection1;} -->
[Alhamdulillah, terima kasih ya, Tante, besok Kak Nadya datang] sahut Raksa Alkuna.
[Tante titip Andhara, ingat jangan nakalin calon istri kamu] ujar Deswita mengingatkan Raksa.
[Jangan sampai Andhara tahu bahwa dia sudah dijodohkan dengan kamu, takutnya dia marah dan ilfil sama Kamu] sambung Deswita.
[Siap, Tante, Raksa tidak akan ceritakan perjodohan ini, dan Insyaallah anak tante aman bersama saya]
[Baik, sudah dulu ya Raksa, Tante mau antar Mama kamu ke ruang terapi]
[Baik, Tante] jawab Raksa, setelah Deswita menutup teleponnya Raksa langsung memejamkan mata berusaha meraih tidurnya.
***
Raksa bolak-balik mencari posisi ternyaman, miring ke kanan, miring ke kiri, menelungkup, menelentang, meringkuk duduk bersandar di kepala tempat tidur, semua posisi sudah Raksa coba, tapi matanya tidak mau diajak kerjasama untuk closing. Bayangan Andhara mutar-mutar terus di pelupuk mata.
Awalnya raksa tidak menerima perjodohan ini dengan senang hari, karena merasa kekebasannya untuk memilih direnggut. Tapi setelah bertemu Andhara beberapa kali Raksa mulai tertarik dengan gadis berhijab itu. Kecerdasannya, kreativitasnya, kepeduliannya terhadap kelestarian alam, merontokkan ego dan obrak-abrik hatinya.
“Ya, Allah, apa aku jatuh cinta sama anak SMA? Kok wajah dia seperti hadir di dinding-dinding kamar ini? Astagfirullah, masa sih anak SMA?” Raksa bergumam sendiri, lalu reflek berguling-guling di tempat tidur seperti orang kesurupan hingga bunyi ponsel menghentikannya.
Raksa Alkuna menyambar ponselnya, ada nama Andhara yang muncul di layar, Raksa tersenyum dan menerima panggilan itu.
[Assalamualaikum, Pak Raksa, maaf]
[Waalaikum salam, Andhara, ada apa? Kamu kenapa?]
[Perut saya, Pak]
[Kamu sakit perut? Tunggu saya ke sana sekarang] tanpa menunggu jawaban Andhara, Raksa menutup sambungan ponsel dan ingin segera ke kamar Andhara. Sekilas ia melihat bayangan dirinya yang kacau balau di depan cermin,
“Gara-gara kamu, Andhara, aku bisa kacau begini,” gumam Raksa ketika melihat wajah kusutnya. Dalam bayangan cermin ia juga melihat tempat tidurnya yang berantakan akibat berguling-guling.
Raksa merapikan sedikit tempat tidur itu, ia menarik ujung-ujung bed cover agar kembali rapi, lalu ia mencuci muka dan melakukan sedikit senam wajah agar kembali fresh. Senam wajah setengah menit membuat ketampanan Raksa Alkuna kembali ke moda aktif, setelah tadi sempat ambruk ke moda manyun beberapa saat. Ia, tersenyum, tidak mau terlihat galau di depan siswanya itu.
***
Di kamarnya Andhara merasa bingung, karena Raksa Alkuna mematikan sambungan teleponnya.
“Pak Raksa marah kali, aku telepon, tapi aku laper banget, ya Allah, bagaimana cacing-cacing di perutku sudah demo dari tadi, apa aku keluar sendiri saja kali ya?” gumam Andhara pada dirinya sendiri.
“Okeh, aku cari makanan sendiri saja, kembung dari tadi Cuma minum, nga perlulah lapor Pak Raksa.” Gadis itu bangun dari duduknya, mengambil jilbab yang di letakkan di sandaran kursi, di kamar itu memang ada sebuah kursi merah yang mewah yang di letakkan di tepi jendela. Ketika Andhara mencoba duduk di sana, ia bisa melihat pemandangan ke bawah. Dari lantai tujuh ia bisa melihat aktivitas security bahkan lalu lalang kendaraan di bawah sana, jika melihat keluar searah pandangan mata, yang ia lihat adalah kemegahan bangunan-bangunan pencakar langit.
Setelah mengambil dompet yang ada di ransel Andhara segera keluar kamar, ia membuka handle pintu dan melangkah keluar setelah memastikan access card ada di dalam dompetnya. Belum sempat melihat ke sana ke mari, karena pandangannya masih pada handle pintu, ia langsung berjalan dan menabrak sesuatu yang besar.
“Astagfirullah, semut!” ucap Andhara spontan ketika menabrak Raksa Alkuna yang tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu kamarnya.
“Semut?” tanya Raksa, ia memegang kedua lengan gadis itu, karena tadi hampir jatuh saat menabraknya.
“Maaf, Pak, saya spontan, kirain semut, ternyata Pak Raksa,” jawan Andhara setelah melepaskan kedua lengannya dari tangan Raksa. Hati gadis kelas dua belas itu tidak aman, berdegub dan serasa mengetuk-gentuk mau keluar dari tempatnya.
“It’a okay, kamu kenapa? Perutnya sakit?ayo kita ke klinik,” kata Raksa khawatir.
“Saya nga sakit perut, Pak, saya lapar, cacingnya sudah konser ini dari tadi.” Andhara memegang perutnya yang kembali berbunyi.
“Astaga, Andhara kamu kenapa nga bilang dari tadi, saya sampai panik begini, saya pikir kamu sakit perut, lo,” protes Raksa.
“Ya, tadi, Bapak langsung putusin teleponnya,” jawab Andhara membela diri.
“Baik, saya salah, hm, kamu mau makan apa? Ayo kita keluar karena hari ini hotel baru menyediakan makan malam,” kata Raksa mengajak Andhara makan. Ia segera berjalan menuju lift setalah Andhara menjawab ingin makan nasi karena memang ia lapar sekali dan belum makan apa-apa setelah tadi sarapan di rumah.
Mereka sudah di dalam lift, kembali hanya berdua saja. Andhara menatap lurus ke pintu lift dan terlihat bayangan mereka berdua, karena pintu lift itu terbuat dari metal yang mengkilat dan memantulkan bayangan seperti cermin, sementara sisi kiri-kanan dan belakang lift memang ada cerminnya, so, bayangan mereka berdua memang tidak bisa di tolak.
“Kamu kenapa? Grogi ya? Berdua saja dengan saya begini?” tanya Raksa menjahili Andhara.
“Ya, bapak, saya bukan grogi, tapi risih, Bapak ganteng banget,” jawab Andhara jutek, dengan ekspesi yang bikin Raksa eneg, Andhara membesarkan matanya, mengangkat kedua alis dan mendowerkan bibir bawahnya.
“Beneran?” tanya Raksa singkat.
“Beneran apa? Pak?” Andhara balik bertanya.
“Iya, itu tadi,” sahut Raksa.
“Ganteng?” tanya Andhara dan dijawab dengan anggukan oleh Raksa. Guru kimia itu sudah memang moda senyum.
“Iya, bapak ganteng jika dilihat pakai sedotan,” jawab Andhara terkekeh, kejahilannya sudah normal.
“Issss, boleh begitu ya? Sama guru?” komentar Raksa, ia pura-pura kesal padahal dalam hati Raksa senang sekali bisa melihat senyum san sikap alami dari calon istrinya itu.
“Maaf-maaf, Pak, saya bercanda, habis bete ‘kan?, nga ada teman nga seru sendirian di kamar,” kata Andhara curhat.
“Ya, ‘kan bisa teleponan dengan teman-teman kamu, toh?”
“Iya, tapi mereka sekarang sedang senang-senang, mereka lagi berenang main-main air rame-rame melepas kepergian saya,” jawab Andhara kesal membayangkan keseruan teman-temannya.
“He he, jadi kamu iri?”
“Bukan Iri, Pak, saya eneg dikirimin video mereka yang seru-seruan,”
“Ya sudah, nanti balas kirimin juga video kamu, gampangkan?”
“Masa video lagi di lift berdua dengan bapak? Ntar malah jadi gosip, ha ha,” jawab Andhara.
Pintu lift terbuka, mereka sudah di bawah dan segera melangkah keluar mencari tempat makan terdekat.
<!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Cambria Math"; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:1; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;} @font-face {font-family:Calibri; panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-469750017 -1073732485 9 0 511 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; margin-top:0cm; margin-right:0cm; margin-bottom:8.0pt; margin-left:0cm; line-height:107%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoPapDefault {mso-style-type:export-only; margin-bottom:8.0pt; line-height:107%;} @page WordSection1 {size:612.0pt 792.0pt; margin:72.0pt 72.0pt 72.0pt 72.0pt; mso-header-margin:36.0pt; mso-footer-margin:36.0pt; mso-paper-source:0;} div.WordSection1 {page:WordSection1;} -->
Satu hal yang paling disukai oleh Andhara pada rumah makan padang adalah, penyajian yang cepat. Begitu duduk, maka hidangan segera datang, Uda-Uda ganteng akan menyajikan semua menu dalam piring-piring kecil. Mereka melakukannya dengan tangan kosong alias tanpa alat bantu. Cukup kedua tangan saja yang beraksi, di tangan kanan akan ditata sepuluh piring dan di tangan kanan lima dampai enam piring, lalu dihidangkan di meja makan lengkap dengan nasi yang masih mengepul asapnya.
Berbeda dengan restoran cepat saji, di sana kita harus menunggu atau mengantri dahulu, berjam-jam baru makanan datang. Perut yang tadi keroncongan sudah kembung karena makan angin. Untuk menu juga beragam. Siapa yang tidak tahu menu di rumah makan padang? Mulai dari tambunsu, gulai otak sampai dendeng balado.
Raksa sangat bersemangat melihat gajeboh dan gulai babad, kedua lauk itu tentu sangat nikmat.
“Pak, cobain, ini tambunsu, ini gajeboh dan ini dendeng balado.” Andhara menawarkan menu pada Raksa.
“Iya, Iya, saya bingung mau pilih yang mana lauknya? Sepertinya enak semua ini.” Cakra mengangkat sepotong tambunsu dan melahapnya dengan penuh penghayatan.
“Pak Raksa, serius banget makan tambunsunya, memang seenak itu?” tanya Andhara.
“He’eh, enak banget, nggak ketemu yang begini di USA.
“Yang begini mana ada di Amerika, Pak,” Andhara menaikkan suaranya.
“Jangan nge-gas dong,” sahut Raksa Alkuna.
“Siapa yang nge-gas Pak, saya Cuma bilang tambunsu mana ada di Amerika,” cecar Andhara.
“Kata siapa? Ada kok, di Amerika juga ada rumah makan padang, Cuma saya saja yang tidak pernah mampir,” kata Raksa mempertahankan harga dirinya.
“Ya sudah, makan, Pak, habisin,” sahut Andhara. Ia menyuruh Raksa untuk menghabisakan Tambunsu besar itu.
“Kamu pengen saya meninggoi?”
“Meninggoi? Apa hubungannya dengan makan tambunsu?” tanya Andhara heran
“Hubungannya, kolesterol, tahu nggak kolesterol?”
“Tapi nggak mungkin langsung bikin meninggoikan? Paling stroke dulu.” Andhara memasukkan semua babat ke dalam mulutnya, kemudian mulutnya yang ngembung kepenuhan itu ditutup dengan masker menjelang selesai di kunyah.
“Jadi begitu ya, cara akhwat memamahbiak?” sindir Raksa melihat tingkah Andhara.
“Dari pada mulut dipakai untuk debat sama bapak, mending dipakai untuk memamahbiak,” jawab Andhara dengan mulut penuh.
“Uhukk,” belum selesai bicara Andhara sudah tersedak. Raksa segera mencuci tangannya dan menepuk-nepuk punggung Andhara, memberikan segelas air dan kembali mengusap punggung Andhara,
“Makanya kalau sedang makan, tidak boleh sambil bicara, jadinya tersedakkan? Epiglotis kamu jadi bingung mau buka-tutup yang mana, tenggorokan atau kerongkongan?”
Setelah beberapa saat, Andhara kembali menikmati makanannya dengan penuh semangat. Ia sudah lupa jika baru saja tersedak gulai babad.
“Andhara, kamu bisa masak nggak?” tanya Raksa Alkuna.
“Masak apa dulu pak?” Andhara menyelidik.
“Ya itu tadi, gulai kepala ikan, rendang, dendeng, lambal, sayur bening, bisa nggak?” tanya Raksa menantang.
“Itu saja, Pak?” tantang Andhara.
“Iya tahap pertama itu dulu, jawab dong,”
“He....He....Bisa banget Pak, mudah dan saya bisa memasak masakan lebih enak dari yang ini.” Andhara menjawab dengan setengah berbisik.
“Ya, nanti kita coba, kamu harus buktikan dan perlihatkan kemampuan memasaknya di hadapan saya.” Raksa menumpahkan isi piring berisi rendang ke atas nasinya sambil menantang Andhara.
“Buat apa, Pak? Bapak guru kimia bukan guru tata boga ‘kan?”
“Buat pelajaran kehidupan, siapa tahu kamu jadi istri saya, ‘kan harus lulus ujian memasak,” sahut Raksa sengaja menjahili Andhara.
“Whatttttts? Jadi istri, Pak Raksa? Oh no, oh no, bapak menghayalnya ke jauhan, yang dekat-dekat saja pak, ke Mars, atau venus saja jangan sampai ke pluto.
“Kalau jodoh siapa yang bisa menebak Andhara? Siapa yang bisa menolak?” tanya Raksa, senyum-senyum.
“Hadeh, iya deh, Pak suka-suka bapak saja deh, nanti saya masakin kalau sudah pulang,” jawab Andhara mendinginkan suasana.
“He, begitu dong,”
“Yuk, ah, balik ke hotel, istirahat.” Raksa berdiri dan berjalan menuju kasir. Setelah membayar makanan iya mengajak Andhara kembali ke hotel.
***
“Pak Raksa,”
“Hem, ada apa?”
“Pelan-pelan dong jalannya,”
“Oke, saya sudah pelan,” jawab Raksa.
***
Mereka sudah sampai di hotel, dan kembali ke kamar masing-masing. Andhara ke kamar 707 dan Raksa kamar 303. Di kamar Raksa memandangi telapak tangan yang tadi ia gunakan untuk menggosok punggung Andhara. Ia mencium telapak tangan itu. Kini Raksa sadar ia mulai bucin pada.
Sementara di kamarnya Andhara sedang berdiri di depan cermin. Mengamati apakah gadis seusianya sudah pantas menikah? Apakah pak Raksa benar-benar ingin menikahinya?” Andhara bertanya pada diri sendiri. Andhara semakin terancam, perasaannya juga mulai aneh, ada getar-getar yang sulit untuk diterjemahkan ketika Raksa berada di ceritanya,
<!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Cambria Math"; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:1; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;} @font-face {font-family:Calibri; panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-469750017 -1073732485 9 0 511 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; margin-top:0cm; margin-right:0cm; margin-bottom:8.0pt; margin-left:0cm; line-height:107%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoPapDefault {mso-style-type:export-only; margin-bottom:8.0pt; line-height:107%;} @page WordSection1 {size:595.3pt 841.9pt; margin:72.0pt 72.0pt 72.0pt 72.0pt; mso-header-margin:35.4pt; mso-footer-margin:35.4pt; mso-paper-source:0;} div.WordSection1 {page:WordSection1;} -->
Jam lima sore, Andhara yakin teman-temannya sudah pada santai di rumah masing-masing. Gadis itu tersenyum, ia tidak sabar untuk menggibahi Raksa Alkuna. Andhara melakukan panggilan video dengan Dhira lalu mebambahkan, Farena, Fazila, Ratih dan Metty.
[Tiiiiiit] panggilan berdering
Wajah Dhira muncul di layar ponsel, wajah Fazila muncul, Wajah Mety muncul dan wajah Ratih juga muncul, hanya Farena yang tidak tersambung, sepertinya gadis itu kehabisan kuota internet.
[Maaf gaes, gue lagi masak ini, dengan nyokap, ntar ya gue gabung] Fazila mengundurkan diri, karena takut diomeli Mamanya.
[Andharaaaaaa! Apa kabar Pak Raksa Alkuna? Awas lo ya, kalau berani jahilin guru idola gue]
[Gue bukan siswa durhaka!] jawab Andhara.
[Terus-terus, sudah apa saja?] Dhira kepo [Beda kamar ‘kan?] tanyanya, dan disambut gelak cekikikan oleh yang lain.
[Ya bedalah, beda lantai malah, gue lantai tujuh, Pak Raksa lantai tiga, tapi.....]
[Tapi, apa?]
[Kepo banget sih lo pada]
[Tapi apa? Awas lo gue aduin Bu Salma]
[Ha ha ha, tapi pas masuk hotel, pak Raksa ngantarin gue ke kamar 707, habis itu dia baru ke kamarnya sendiri di lantai tiga kamar nomor tiga]
[Huffff, amaaaan, gue pikir kalian....]
[Memang gue cewek apaan!]
[Kirain, siapa tahu ‘kan, elo tergoda ketampanan seorang Raksa Alkuna] cecar Mety [Secara ‘kan lo jomblo akut]
[Gue jomblo bukan karena ngga ada yang naksir ya, ingat tu.... banyak yang naksir gue, hanya saja gue ngga mau pacaran! Catat gaes, gue nggak mau pacaran, maunya langsung dilamar dan menikah] Andhara membela dirinya.
[Ehem, santai saja kaleeees] celetuk Ratih.
[Kira-kira, Pak Raksa mau nggak melamar elo?] tanya Fazila.
[Kalau mau bagaimana? Kalian rela?]
[Rela tak rela lah] sahut Dhira.
[He he, sudah ah, ganti topik]
[Eh, lihatin kamar kamu dong] kemudian Andhara mengarahkan kamera ke seluruh kamarnya]
[Kamar mandinya sekalian] Andhara menuruti permintaan temannya.
[Buka lemarinya!]
[Ngapain?]
[Ya, siapa tahu ‘kan]
[Siapa tahu apa?]
[Siapa tahu, Pak Raksa elo umpetin di sana] tuduh Dhira sadis.
[Tega elo, nuduh gue] Andhara membuka lemari di kamar hotel itu, bahkan membuka laci-laci meja sampai kolong-kolong ranjang dan kursi.
[Puas! Sudah puas ‘kan?]
[Apalagi yang mau kalian lihat] tanya Andhara kesal.
[Yeeee, jangan nge-gas dong]
[Eh, tadi siang makan apa? Dimana]
[Makan nasi Padang]
[Pak, Raksa makan pakai tambunsu dan rendang]
[Wah eman-emanan, jauh-jauh ke Jakarta Cuma makan nasi Padang]
[Ya, elo belum tahu rasanya makan di depan Pak Raksa Alkuna, hampir meninggoi gue karena grogi, tahu nggak?]
[Lebai elo!, meninggoi kenapa? ‘kan justru harus bahagia bisa makan bersama guru idola]
[Meninggoi bahagia, gaes... Pak Raksa menantang gue untuk memasak masakan Padang, sepulang dari Jakarta, ntar kita atur rencana ya]
[Wah, serius?]
[Iya, sepertinya doi mulai menyadari kecantikan gue dan akan menambah daftar cowok-cowok yang akan gue tolak] umbar Andhara memanasi teman-temannya.
[Is...kepedean]
[Jangan tolak, langsung sikat saja dong]
[Ha, ha kalo dia melamar gue jadi istri, baru langsung gue sikat, tapi kalau jadi pacar, ogah!]
[Haluuuu]
[Sudah-sudah, stop, ganti topik] teriak Fazila.
[Eh, gaes, sudah jam enam, aku mau mandi dan siap-siap setelah magrib sudah harus ke ballroom bersama Pak Raksa untuk pembukaan, ntar malam kita sambung ya, gue takut dia marah kalau terlambat]
[Okeh, elo hutang foto, ntar fotoin ya, gue kangen senyum Pak Raksa]
[Siap! Ntar gue foto-foto, kalau perlu gue bikin video, ok, by...Assalamualaikum] Andhara memutuskan sambungan video bersama teman-temannya. Gadis itu segera menuju kamar mandi dan bersiap-siap untuk menghadiri acara pembukaan Pekan Expo Kimia SMA Nasional.
***
Andhara sudah selesai salat dan sudah rapi dengan rok, kemeja batik dan jilbab yang semuanya berwarna abu-abu. Hanya saja warna abu-abu kemejanya lebih tua dari pada jilbab dan rok.
Setelah mengantongi ID Card peserta, dan memasukkan ponsel ke dalam kantong rok, Andhara keluar kamar. Andhara kaget karena kejadian tadi siang kembali terulang, Pak Raksa ternyata sudah berdiri tepat di depan pintu kamarnya.
“Sudah lama, Pak?” tanya Andhara basa-basi untuk menutupi grogi.
“Baru saja akan mengetuk pintu kamar kamu,” jawab Raksa Alkuna.
“Oh, Alhamdulillah,” sahut Andhara.
“Ayo, jangan sampai kita terlambat.” Raksa Alkuna langsung melangkah menuju lift dengan penuh wibawa, berbeda dengan sikapnya tadi siang, mungkin karena saat ini mereka akan mengikuti kegiatan resmi.
***
Ballroom, mulai didatangi semua peserta yang berasal dari seluruh Indonesia. Andhara memasuki ballroom dengan berdebar, bukan karena ada Raksa Alkuna yang berjalan di depannya, tetapi karena ballroom itu sangat megah dan besar.
“Ayo, kita duduk di sana.” Raksa Alkuna mengambil posisi duduk di meja bulat bagian depan. Satu meja itu di kelilingi dengan empat buah kursi. Raksa duduk di sebelah Andhara sementara dua kursi yang lain masih kosong.
Acara di mulai semua peserta dan guru pendamping sudah mengambil posisi, di depan Raksa dan Andhara duduk guru dan siswa yang berasal dari Papua.
<!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Cambria Math"; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:1; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;} @font-face {font-family:Calibri; panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-469750017 -1073732485 9 0 511 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; margin-top:0cm; margin-right:0cm; margin-bottom:8.0pt; margin-left:0cm; line-height:107%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoPapDefault {mso-style-type:export-only; margin-bottom:8.0pt; line-height:107%;} @page WordSection1 {size:595.3pt 841.9pt; margin:3.0cm 3.0cm 3.0cm 3.0cm; mso-header-margin:35.45pt; mso-footer-margin:35.45pt; mso-paper-source:0;} div.WordSection1 {page:WordSection1;} -->
Hari ini, Andhara akan menampilkan karyanya, ia akan merakit alat distilasi sederhana yang dibuat dari barang bekas. Alat distilasi itu akan digunakan untuk menyuling sampel, hingga dapat memisahkan bioetanol yang bisa digunakan untuk bahan bakar.
Andhara sudah siap dengan semua peralatannya, Box peralatan sudah siap dibawa turun ke ruang showcase. Ia sendiri sudah tampil rapi dengan seragam SMA. Andhara memberikan sebuah senyum manis untuk dirinya sendiri ketika berdiri di depan cermin. Ia merapikan lengkungan jilbabnya dan menambahkan sebuah jarum pentul di jilbab bagian depan agar tidak mudah tersingkap ketika beraktivitas.
Pagi ini tidak seperti biasanya, biasanya Raksa Alkuna akan selalu mengontrol Andhara melalui whatsapp, tapi semenjak tadi malam Raksa sama sekali tidak mengirimkan pesan apa-apa. Padahal jelas sekali kegiatan hari ini sangat penting, bisa dikatakan bahwa hari ini adalah puncak dari penampilan Andhara. Beberapa hari sebelumnya Andhara mengikuti debat kimia, menulis artikel kimia hingga menulis cerita pendek dengan tema kimia. Semua sudah ia lalui dengan nilai sempurna.
Andhara tidak ingin penampilannya hari ini mengecewakan, karena hal ini tentu akan berpengaruh pada nilai total yang Andhara akan peroleh nanti. Penilaian akhir Pekan Expo Kimia SMA ini adalah nilai total dari semua kegiatan.
Andhara sudah memegang ponsel, ia ingin menelepon Raksa Alkuna, tapi Andhara ragu, mau ditelepon atau tidak, akhirnya ia memilih tidak menelepon Raksa Alkuna. Jikapun guru pendampingnya itu tidak datang, Andhara tidak akan gentar, ia akan tampil sendiri dengan percaya diri walaupun tidak didampingi.
Andhara keluar kamar, ia menggangkat box peralatan seorang diri dan dipunggungnya tergayut ransel berisi laptop dan alat tulis. Ia bukan satu-satunya siswa SMA yang keluar kamar, rata-rata semua keluar kamar pada waktu yang sama yaitu jam tujuh tepat. Semua teman-teman sesama peserta tersenyum pada Andhara, mereka berjalan berdua dengan pendamping masing-masing dan berdua juga membawa peralatan untuk showcase.
Andhara menyapa semua teman barunya dengan senyuman manis, termasuk Beta dari Papua, si Beta sudah di dampingi Ibu gurunya yang baik hati. Betapa tidak Ibu Fielda mau membantu Andhara yang keteteran saat meletakkan box peralatan di meja presentasi. Memang semenjak malam pembukaan Andhara sudah kenal dengan Beta dan Ibu Fielda, karena mereka duduk di satu meja.
Selain baik hati, Fielda juga cantik. Rambutnya keriting, kulitnya hitam manis, tubuhnya munggil, gaya bahasanya asyik benar-benar sefrekuensi dengan anak generasi terakhir.
“Andhara, Pak, Bara Alkuna kemana? Sebentar lagi guru pendamping harus bergabung di sebelah sana lo,” beritahu Fielda.
“Andhara nggak tahu, Bu, memang sejak semalam tidak ada kabar hingga saat ini,” jawab Andhara.
“Oke, nanti jika kamu butuh bantuan bilang ke saya saja, ya.” Fielda menggosok pundak Andhara memberikan penguatan. “Kenapa? Kok bingung?” tanya Fielda melihat Andhara kebingungan karena mengingat sesuatu.
“Sampel percobaan saya, Pak Raksa yang simpan, Bu, bagaimana ini?” Andhara kebingungan.
“Ya, sudah, kamu tenang ya, biar saya telepon Pak Raksa Alkuna.” Lalu Fielda menghubungi Raksa namun tidak tersambung.
“Bagaimana, Bu?” tanya Andhara.
“Tidak tersambung, sepertinya, ponsel Pak Bara mati,” jawab Fielda.
“Ya, ampun bagaimana ini?”
“Tapi seingat saya tempo hari, Pak Raksa cerita bahwa Sampel kamu dititipkan ke pos security,” kata Fielda.
“Iya, benar, Bu, di pos security, saya baru ingat, saya izin ke sana dulu, Bu.” Andhara pamit dan berlari menuju pos security yang ada di bawah.
***
“Terima kasih, Om, sampelnya saya bawa ya,” kata Andhara pada security yang ada di pos jaga.
“Iya, kembali kasih, dek, sebaiknya kendoorkan dulu dek, itu sudah sangat gembung, takutnya meledak pas di buka di dalam sana.” Security memberi saran pada Andhara dan Andhara setuju. Ia membuka tutup botol perlahan. Seperti biasa saat tutup botol dibuka akan keluar suara ledakan yang besar, bahkan saat tutup botol kedua di buka tidak hanya suara ledakannya kuat, tapi cairannya juga muncrat mengenai pakaian Andhara. Gadis berkerudung putih itu kaget dan bingung karena saat ini ia sudah beraroma asam khas aroma bioetanol. Yakin jika disulut api Andhara akan menyala.
***
Tidak ada waktu lagi, Andhara tidak peduli jika dia bau fermentasi kulit pisang, ia langsung saja masuk ke ruang showcase karena acara sudah dimulai. Semua lubang hidung sepertinya mengendus aroma fresh bioetanol dari tubuh Andhara tidak terkecuali Mas Menteri yang sudah berada di ruangan itu untuk melihat jalannya showcase.
Mas Menteri berjalan ke arah Andhara, gadis itu gelisah, ia takut dimarah karena membuat ulah. Mas Menteri sudah di depan meja presentasi Andhara, beliau sangat tertarik melihat rangkaian alat sederhana yang dibuat Andhara dari limbah.
<!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Cambria Math"; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:1; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;} @font-face {font-family:Calibri; panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-469750017 -1073732485 9 0 511 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; margin-top:0cm; margin-right:0cm; margin-bottom:8.0pt; margin-left:0cm; line-height:107%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoPapDefault {mso-style-type:export-only; margin-bottom:8.0pt; line-height:107%;} @page WordSection1 {size:595.3pt 841.9pt; margin:3.0cm 3.0cm 3.0cm 3.0cm; mso-header-margin:35.45pt; mso-footer-margin:35.45pt; mso-paper-source:0;} div.WordSection1 {page:WordSection1;} -->
Tidak ada waktu lagi, Andhara tidak peduli jika dia bau fermentasi kulit pisang, ia langsung saja masuk ke ruang showcase karena acara sudah dimulai. Semua lubang hidung sepertinya mengendus aroma fresh bioetanol dari tubuh Andhara tidak terkecuali Mas Menteri yang sudah berada di ruangan itu untuk melihat jalannya showcase.
Mas Menteri berjalan ke arah Andhara, gadis itu gelisah, ia takut dimarah karena membuat ulah. Mas Menteri sudah di depan meja presentasi Andhara, beliau sangat tertarik melihat rangkaian alat sederhana yang dibuat Andhara dari limbah.
***
Mas Menteri senyum-senyum melihat Andhara gelisah. Ia sudah bisa mendeteksi aroma fermentasi yang tadi meledak dan menyembur ke pakaian Andhara.
“Aroma bioetanol yang sangat khas, tapi jika kamu tidak nyaman lebih baik diganti dulu pakaiannya.” Mas Menteri memberi kesempatan kepada Andhara untuk mengganti seragam. Andhara tidak yakin, bagaimana mungkin ia meninggalkan kegiatan yang sedang berlangsung.
“Benar, ganti seragam kamu, saya akan keliling dulu, nanti saya ke sini lagi, pergilah.” Mas Menteri memastikan kepada Andhara bahwa ia akan kembali mengunjungi stand Andhara.
Gadis itu sangat senang, ia bergegas meninggalkan ballroom dan setengah berlari menuju lift dan menekan tombol tujuh. Setelah sampai di kamar ia langsung mengganti seragam, namun setelah membuka seragam tetap saja aroma bioetanol dari kulit pisang itu masih melekat. Mau tidak mau ia menuju kamar mandi, Andhara mandi secepat kilat, keramas dengan sampo yang banyak dan juga sabun cair yang melimpah agar bau bioetanol bisa hilang.
Segar, memang tidak nyaman menahan aroma fermentasi kulit pisang. Apalagi semburannya sangat kuat. Andhara beruntung, masih ada seragam putih abu-abu yang bisa ia gunakan, mau tidak mau nanti ia harus loundry semua seragamnya karena masih dua hari mereka di sini.
Andhara sudah segar, ia siap untuk kembali ke ballroom, sejenak ia melihat ke arah jendela, berada di lantai tujuh membuat ia senang sekali menatap pemandangan di luar. Ia melihat ke bawah, banyak mobil lalu lalang memadati jalanan Ibu Kota.
Netra Andhara membesar melihat sebuah mobil yang berhenti di tepi jalan tepat di depan hotel, lima detik Ia memastikan apa yang ia lihat. Tidak salah lagi yang turun itu benar Raksa Alkuna, ia turun dari pintu pengemudi dan seorang wanita turun dari pintu belakang. Wanita itu berjalan ke arah pintu kemudi, ia memeluk Raksa Alkuna dan dibalas lelaki itu. Kemudian wanita itu masuk mobil, dan Raksa melambaikan tangan. Setelah mobil itu berlalu Raksa berjalan menuju hotel.
***
Andhara sudah kembali ke meja presentasinya dan Mas Menteri juga sudah ada di sana menyambut kedatangan gadis itu. Kemudian Andhara menjelaskan semua hal dengan rinci, bagaimana ia mengumpulkaan alat dari botol bekas, mendesainnya, bagaimana cara menyiapkan sampelnya. Mas Menteri menanyakan bagaimana cara Andhara membawa sampel itu ke Jakarta. Dan apa yang ia lakukan untuk mengantisipasinya hingga tidak meledak di dalam pesawat.
Andhara menjawab semua pertanyaan Mas Menteri dengan percaya diri. Ia bisa menjelaskan dengan lancar karena memang semua adalah murni hasil percobaannya, sehingga semua pertanyaan bisa dijawab. Andhara bisa memberikan penjelasan yang mengalir tanpa mengada-ada.
“Jadi setelah sampel difilter, ekstaknya disuling, lalu residunya untuk apa? Dibuang?” tanya mas Menteri.
“Residunya, tidak dibuang, Pak, semua akan diolah menjadi pupuk organik cair juga postol two in one. sehingga tidak ada yang terbuang.” Andhara menjawab pertanyaan Mas Menteri dengan rinci.
“Postol? Apa itu postol two in one?” tanya Mas Menteri, beliau tertarik dengan postol two in one.
Andhara memperagakan sebuah komposter yang ia buat dari dua botol bekas yang digabungkan kedua tutupnya. Di dalam komposter itu ada sampel limbah yang terletak di botol bagian atas yang berukuran lebih besar. Sementara botol bagian bawah yang berukuraan lebih kecil berfungsi untuk menampung pupuk organik cair yang menetes dari proses pengomposan. Cairan yang berada di botol bawah itu berwarna coklat tua kehitaman.
“Jadi, postol two in one itu akan menghasilkan dua produk, Pak, yaitu kompos yang dipanen dari botol bagian atas dan produk kedua adalah pupuk organik cair pada botol yang bawah.” Andhara menjelaskan bagaimana konsep pemanfaatan residu sampel fermentasi itu dengan sangat rinci.
“Oke, luar biasa, ini sangat konsen ke pengolahan limbah dan enargi alternatif yang juga menghasilkan nutrisi untuk tanaman serta media tanam. Ini luar biasa. Semoga praktik baik yang Andhara lakukan bisa diadopsi dan diadaptasi oleh seluruh siswa-siswi Indonesia. Ini luar biasa.” Mas Menteri memberikan tepuk tangan meriah untuk Andhara. Gadis itu lega dan Bahagia, ia bisa mempresentasikan karyanya dengan baik.
***
Mas Menteri sudah meninggalkan meja presentasi Andhara, beliau berlalu dan selanjutnya meninggalkan ballroom tempat pelaksanaan showcase. Andhara tersenyum, sekilat ia melihat Raksa Alkuna berdiri di kejauhan, gurunya itu memberikan senyum paling manis dan mengangkat dua jempol untuk Andhara.
<!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Cambria Math"; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:1; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;} @font-face {font-family:Calibri; panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-469750017 -1073732485 9 0 511 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; margin-top:0cm; margin-right:0cm; margin-bottom:8.0pt; margin-left:0cm; line-height:107%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoPapDefault {mso-style-type:export-only; margin-bottom:8.0pt; line-height:107%;} @page WordSection1 {size:595.3pt 841.9pt; margin:3.0cm 3.0cm 3.0cm 3.0cm; mso-header-margin:35.45pt; mso-footer-margin:35.45pt; mso-paper-source:0;} div.WordSection1 {page:WordSection1;} -->
Andhara lega, sesi presentasi sudah ia lalui, ini adalah sesi paling mendebarkan bagi semua peserta Pekan Expo Kimia SMA, walaupun sebenarnya masih ada satu kegiatan lagi yaitu Debat Kimia, tapi bagi Andhara itu tidak terlalu menjadi beban. Yang menjadi beban baginya saat ini adalah bagaimana ia akan bersikap dengan guru pendampingnya Raksa Alkuna. Guru pendamping yang tidak mendamping di momen paling penting. Andhara berjuang sendiri dari pagi, menyiapkan alat dan bahan sendiri. Andhara harus bolak balik berkali-kali dari kamar ke ballroom belum lagi ketika ia panik karena sampel fermentasinya tidak ada.
***
Raksa Alkuna berjalan mendekat menuju Andhara, sementara Andhara masih sibuk melayani banyak pengunjung stand presentasinya. Memang setelah sesi presentasi di depan para juri dan Mas Menteri masih ada waktu untuk menggelar showcase hingga jam empat sore.
“Proses fermentasinya berapa lama?” tanya seorang pengunjung yang sepertinya adalah guru pendamping dari salah satu peserta.
“Ini saya fermentasi enam hari yang lalu,” jawab Andhara.
“Berarti dibawa dari daerah?” tanya guru itu lagi.
“Iya, Pak, saya menyiapkannya dua hari sebelum berangkat dan cukup berdebar-debar juga saat di pesawat,” ujar Andhara.
“Pasti, bagaimana kalau meledak di pesawat, pasti bikin panik,” komentar guru itu.
“Tapi, kok bisa lolos,Bagaimana?” Guru itu penasaran, ia mengerutkan kening dan mengangkat kedua tangan dan pundaknya dengan ekspresi yang manis. Guru itu memang tidak kalah ganteng dari Raksa Alkuna, cara bicaranya juga sopan membuat Andhara tersenyum senang karena merasa dihargai.
“Jadi sebelum masuk bandara kedua botol saya buka dulu tutupnya agar tidak ada gas yang tersimpan, lalu kedua botolnya saya masukkan ke dalam plastik dan plastiknya saya masukkan ke ransel laptop dan saya bawa ke kabin pesawat,” jawab Andhara disertai senyum lucu mengingat perjuangannya membawa botol berisi pisang busuk dan kulit pisang itu.
“Oke, saya boleh foto-foto ya, siapa tahu nanti saya bisa adopsi dan adaptasikan di sekolah. Ini inovasi luar biasa dan bahkan tanpa harus mengeluarkan banyak biaya, tanpa alat dan bahan yang susah di dapat.” Guru itu mencekrak-cekrek kamera ponselnya. Ia juga minta difoto berdua dengan Andhara.
“Boleh berfoto berdua dengan kamu? Siapa? Andhara ya? Nanti sekalian dengan siswa saya juga, dia masih menunggu stand di sana,” kata guru ganteng itu. Andhara melihat ke arah yang ditunjuknya dan ia melihat seorang siswa yang sedang menjawab beberapa pertanyaan pengunjung standnya.
“Boleh, Pak,” jawab Andhara, kemudian pak guru itu minta tolong pada pengunjung lain untuk memfoto mereka berdua di depan stand Andhara.
“Terima kasih, Andhara nanti saya akan mengajak Hasan siswa saya ke sini untuk mempelajari konsep yang kamu peragakan ini.” Guru yang belun Andhara ketahui nama dan asalnya itu kemudian berjalan menuju stand siswanya.
***
Raksa Alkuna dari tadi hanya diam menyaksikan Andhara melayani para tamu pengunjung standnya yang banyak. Ia baru mendekati siswinya itu setelah sepi.
“Andhara selamat, kamu luar biasa, maaf saya malah tidak mendampingi di saat yang penting begini,” kata Raksa Alkuna dengan nada yang sedih. Andhara tidak menanggapi dengan serius ia hanya sekedar berbasa-basi saja, Andhara memang masih tidak percaya dengan pemandangan yang ia lihat dari kaca jendela kamarnya tadi.
“Nggak masalah Pak, semua berjalan baik,” jawab Andhara datar pada guru pendampingnya itu.
Sebenarnya Andhara ingin marah dan ingin minta penjelasan pada Raksa Alkuna, tapi ia sadar, ia sama sekali tidak berhak menginterogasi gurunya. Jujur Andhara merasa terganggu dengan kejadian itu, tapi Andhara juga sadar bahwa itu adalah hak Raksa Alkuna dan mereka hanyalah guru dan siswa. Mana mungkin Guru dewasa dan sekeren Raksa Alkuna bisa ia kepoin seperti ngepoin teman-teman cowok di kelas.
Raksa merasakan dinginnya sikap Andhara, siswinya itu melayani semua pengunjung stand yang mulai ramai lagi tanpa menghiraukan perasaan Raka. Raka menahan marah ketika Andhara menjawab pertanyaan-pertanyaan pengunjung laki-laki dengan manis, apalagi saat Andhara berfoto dengan mereka. Raksa berusaha menahan diri, tidak sewajarnya ia marah, ia merasa menarik napas panjang dan membuangnya perlahan, berusaha menetralkan perasaan.
Raksa sudah berdiri mendampingi Andhara, mereka berdua melayani para pengunjung yang sangat antusias bertanya atau sekedar berswafoto di showcace Andhara.
***
Jam empat sore, showcase berakhir, semua peserta mulai membereskan alat peraga mereka. Termasuk Andhara, gadis itu mulai melepaskan sambungan selang infus dari botol-botol. Raksa tidak tinggal diam, ia memegang lengan kiri siswinya itu dan meminta Andhara untuk istirahat.
“Kamu pasti lelah, sekarang gantian, biar saya yang membereskan semuanya, kamu boleh ke kamar, istirahat ya,” kata Raksa dengan sungguh-sungguh.
“Nggak masalah, Pak, biar saya kerjakan sendiri, saya tidak lelah, sebaiknya bapak yang istirahat.” Andhara melanjutkan kerjanya. Alkuna merasa diabaikan, ia yakin ada sesuatu yang terjadi hingga Andhara menjadi bersikap sangat formal kepadanya, “Pasti Andhara marah,” batin Raksa. Tidak peduli penolakkan Andhara, Raksa dengan sigap membersihkan semuanya. Dan Andhara gadis itu hanya melihat dengan pandangan datar tanpa ekspresi. Ia masih kecewa.
“Selamat ya, Andhara,” kata Bu Fielda dan beta berbarengan. Bu Fielda memeluk gadis berhijab itu dan Beta merapatkan kedua tangannya sambil tersenyum manis pada Andhara.
“Terima kasih, Bu, terima kasih Beta, selamat juga buat Ibu dan Beta,” jawab Andhara. Kemudian mereka terlibat pembicaraan yang kocak dan lucu. Raksa iri melihat siswinya itu bisa berinteraksi sehangat itu dengan orang lain sementara dengan dirinya jelas-jelas Andhara membangun tembok pemisah.
“Ehem,” Raksa menghentikan canda tawa mereka bertiga.
“Wah, ini dia orang yang membuat Andhara stres,” kata Bu Fielda kocak sambil menunjuk-nunjuk kecil ke arah Raksa.
“Maksudnya?” tanya Raksa pura-pura tidak tahu.
“Nah, ini.” Fielda menggeleng-gelengkan kepalanya dan tanpa penjelasan lebih lanjut mereka pamit karena sudah lelah dan ingin segera istirahat.
“Ayo kita istirahat,” ajak Raksa. Ia membawa box peralatan Andhara dan berjalan beriringan dengan siswinya yang diam seribu bahasa.
Mereka sudah di lantai tujuh, Raksa Alkuna berjalan menuju kamar Andhara diikuti gadis itu dari belakang. Tapi Raksa berhenti di lobi yang ada di lantai tujuh itu, ia meletakkan box peralatan dan mengajak Andhara duduk di kursi.
“Andhara, saya merasakan banget perubahan sikap kamu, pasti kamu marah pada saya, saya minta maaf dan kamu wajib mendengarkan penjelasan saya. Jadi Ibu saya sedang dirawat di rumah sakit yang ada di Jakarta, tadi malam saya ditelepon untuk ke sana karena ibu saya tidak ada di kamarnya. Saya panik sehingga tidak sempat menghubungi kamu untuk pamit, Alhamdulillah Ibu saya tidak apa-apa, beliau malah sedang jalan-jalan di taman rumah sakit seorang diri untuk melatih kakinya. Nah hari ini beliau boleh pulang, syukurnya kakak saya semalam sudah datang dari Manado, jadi Ibu sudah bisa ikut Kakak saya ke rumahnya di Jakarta selatan. Makanya saya terlambaut mendampingi kamu, karena tadi macet dan harus mengurus administrasi juga,” papar Raksa Alkuna panjang lebar. Dalam hatinya Andhara merasa senang karena wanita yang tadi ia lihat memeluk Raksa adalah kakaknya.
“Jadi, Bu Salma sudah sembuh?” tanya Andhara memastikan.
“Alhamdulillah, sudah membaik dan sudah bisa beraktivitas seperti semula, tinggal menjaga perasaan beliau saja agar selalu bahagia,” Jawab Raksa Alkuna.
“Alhamdulillah,” kata Andhara seraya menghiasi wajahnya dengan senyuman yang Raksa rindukan.
“Maaf, ya, kamu jangan dingin banget sama saya, sakit tahu nga dicuekin.” Raksa berdiri dan berjalan menuju kamar Andhara, wajahnya dihiasi senyuman lega karena Andhara sudah tidak marah padanya.
“Kamu Istirahat, malam ini tidak ada kegiatan, hanya persiapan untuk debat kimia besok, karena kamu sudah siap untuk debat dan tidak perlu lagi latihan, maka saya mau ajak kamu jalan-jalan malam ini, bagaimana? Mau? Sebagai tanda permohonan maaf, dari seorang Raksa Alkuna bukan dari seorang guru,”
“Maksud Bapak?”tanya Andhara bingung.
“Malam ini kita jalan sebagai teman, bukan sebagai guru dan siswa, jadi jangan panggil saya Bapak,” jawab Raksa.
“Saya panggil apa?”
“Panggil apa saja, selain Bapak atau Pak,”
“Saya panggil Bro, boleh nga Pak?”
“Boleh,” jawab Raksa Alkuna.
<!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Cambria Math"; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:1; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;} @font-face {font-family:Calibri; panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-469750017 -1073732485 9 0 511 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; margin-top:0cm; margin-right:0cm; margin-bottom:8.0pt; margin-left:0cm; line-height:107%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoPapDefault {mso-style-type:export-only; margin-bottom:8.0pt; line-height:107%;} @page WordSection1 {size:595.3pt 841.9pt; margin:3.0cm 3.0cm 3.0cm 3.0cm; mso-header-margin:35.45pt; mso-footer-margin:35.45pt; mso-paper-source:0;} div.WordSection1 {page:WordSection1;} -->
Andhara baru selesai salat magrib dan zikir setelah salat fardu, sebelum bangkit dari sajadah ia menyambar ponselnya dan membuka aplikasi Al-Qur’an dan membacanya beberapa slide. Setelah selesai mengaji dan berdoa gadis itu kemudian berjalan menuju salah satu cermin yang ada di kamar hotel itu. Ia menatap bayangan wajahnya yang ada di cermin, menyisir rambut dan memain-mainkan bibir dan hidungnya, Andhara memang mahir memonyongkan bibir dan memekarkan lobang hidung.
“Kring,” ponsel Andhara berdering.
[Assalamualaikum, Andhara lima menit lagi saya tunggu di depan pintu kamar kamu]
[Pak, Raksa? Mau kemana?] tanya Andhara belagak lupa
[Nah, tadikan kita sudah sepakat, saya akan ajak kamu jalan]
[Tapi, Pak]
[Tapi kenapa? Tenang saya tidak akan macam-macam]
[Saya harus minta izin orang tua dulu, Pak]
[Andhara, kok mesti minta izin orang tua sih? Kan saya guru pendamping kamu?]
[Tetap saja, Pak, saya harus bilang Ibu dulu]
[Oke, langsung saya tambahin ya]
[Memang, Pak Raksa punya nomor ponsel Ibu saya?]
[Punya]
Tidak berapa lama, Deswita sudah bergabung dipanggilan telepon itu.
[Assalamualaikum, Ibu] sapa Raksa dan Andhara berbarengan.
[Waalaikum salam, ada apa ini?] tanya Deswita heran, ini pertama kalinya Andhara menelepon bersama dengan Raksa.
[Begini, Bu, saya berencana mengajak Andhara jalan-jalan malam ini, melepas penat, dan sebagai ucapan terima kasih atas kesuksesan showcase tadi, jadi Andhara mau minta izin dulu sama, Ibu] jelas Raksa Alkuna pada Deswita.
[Alhamdulillah, selamat ya sayang, dan memangnya kalian mau jalan ke mana, malam-malam begini?]
[Paling ke mall di depan hotel, Bu, mencari makan malam dan saya ingin memberikan hadiah spesial untuk Andhara] jawab Raksa Alkuna.
[Pak, Raksa, Andhara itu belum pernah keluar malam, apalagi dengan laki-laki, jadi sebaiknya nga usah jalan ke mall, makan di hotel saja dan kalau mau ngobrol kan bisa di lobi]
[Tapi, kalau besok kan ada outbond, Nah Andhara boleh ikut] Raksa Alkuna langsung lesu mendengarkan jawaban dari Deswita.
[Baik, Bu, kami makan di hotel dan ngobrol di lobi saja] jawab Raksa. Dalam hati ia kecewa karena Deswita tidak mengizinkan, tapi itukan memang seharusnya begitu, Raksa jadi malu pada dirinya sendiri yang sudah mengajak Andhara jalan berdua, padahal itu bukanlah hal yang baik.
Deswita sudah memutuskan sambungan teleponnya, selanjutnya Raksa menyampaikan kepada Andhara bahwa ia akan tetap menunggu di depan pintu kamar untuk berbarengan menuju restauran hotel. Setelah mengiyakan, akhirnya Andhara memutuskan sambungan telepon dan segera bersiap-siap.
Tidak lebih dari lima menit, gadis itu sudah cantik dengan rok kodok berwarna coksu lengkap dengan kaos dan jilbab dengan warna senada. Andhara tidak pernah keluar rumah menggunakan celana panjang, kecuali kulot yang longgar dan lebar. Pakaian favoritnya selain gamis adalah rok kodok, tetapi jangan salah ia selalu memakai celana panjang di dalam rok atau gamisnya.
“Ayo,” kata Raksa Alkuna mengajak siswanya itu. Dan Andhara mengikutinya dari belakang, Raksa menghentikan langkahnya untuk menyamakan posisi, ia ingin Andhara berjalan di sampingnya, untung saja Andhara tidak berjalan tepat di belakang Raksa Alkuna sehingga tidak terjadi tabrak belakang.
“Pak, jangan ngerem mendadak dong,” seru Andhara protes.
“Tadikan sudah sepakat tidak memanggil saja dengan panggilan Bapak atau Pak,” kata Raksa balas protes. Dan hanya dijawab dengan senyuman oleh Andhara.
Andhara sudah duduk berhadapan dengan Raksa di restaurant hotel, di sini tersedia lebih dari seratus macam menu makanan. Andhara jadi sulit untuk memilih mau mengambil makanan yang mana? dan bagaimana dengan Raksa apakah makanannya harus diambilkan oleh Andharanya?
“Ayo kita ambil masing- masing makanannya,” seru Raksa mengajak Andhara bangkit dari duduk dan berjalan menuju prasmanan utama. Di sana sudah tersaji berbagai menu makanan. Rakna mengambil nasi dan lauk yang sudah tersedia, ia memilih nasi merah dan gurami bakar. Sementara Andhara memilih nasi goreng kampung dengan sosis daging yang merupakan kesukaannya. Jadi Andhara memang tidak mau ribet untuk urusan makan, toh bisa tambah juga.
Andhara dan Raksa sudah selesai makan, mereka bergegas meninggalkan restaurant, dan berjalan menuju lobi di lantai dasar. Ada beberapa hal yang akan Raksa sampaikan kepada Andhara. Tentang rencana Andhara untuk melanjutkan kuliah ke MIT, Raksa mendukung dan memberikan beberapa tips agar Andhara bisa menyiapkan segala sesuatunya.
“Jadi kamu harus perbanyak membaca buku, saat outbond lusa aku akan mengajak kamu membeli buku-buku yang inspiratif.
“Pak, saya, boleh kuliah di sana jika sudah tamat SMA dan menikah, itu persyaratan pentingnya,” kata Andhara.
“Itu persyaratan mudahkan? Tamat SMA, menikah dan kuliah di Amerika di dampingi suami, saya rasa itu cita-cita semua orang,” jawab Raksa.
“Iya, tapi saya harus menikah dulu, Pak,” ulang Andhara menekan suaranya.
<!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Cambria Math"; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:1; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;} @font-face {font-family:Calibri; panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-469750017 -1073732485 9 0 511 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; margin-top:0cm; margin-right:0cm; margin-bottom:8.0pt; margin-left:0cm; line-height:107%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoPapDefault {mso-style-type:export-only; margin-bottom:8.0pt; line-height:107%;} @page WordSection1 {size:595.3pt 841.9pt; margin:3.0cm 3.0cm 3.0cm 3.0cm; mso-header-margin:35.45pt; mso-footer-margin:35.45pt; mso-paper-source:0;} div.WordSection1 {page:WordSection1;} -->
Abdul Hanif tertunduk mendengarkan tausiah ustaz yang membahas tentang sifat dayyuts. Ia langsung teringat dengan anak Andhara yang sedang di Jakarta berdua dengan guru pendamping prianya.
“Dayyuts adalah, laki-laki baik itu suami, ayah, abang atau adik laki-laki yang tidak cemburu jika wanita yang menjadi tanggungjawabnya melakukan maksiat.” Ustaz zikri menjelaskan pengertian dayyuts.
“Kita sering mendengar ungkapan, rumahku adalah surgaku, tentu setiap manusia memiliki keinginan ini. Menginginkan kebaikan dan kebahagiaan anggota keluarganya, karena cinta kepada istri dan anak adalah fitrah setiap manusia, yang sudah ditetapkan Allah pada jiwa kita. Namun nikmat keberadaan istri dan anak ini juga merupakan ujian bagi setiap laki-laki yang bisa menjerumuskan seorang ke dalam kebinasaa.” Ustaz menarik napas dan mengatur ritme suaranya. Ia memberikan waktu sejenak kepada semua laki-laki yang ada di mesjid untuk bisa merenung.
“Oleh karena itu seorang seorang suami, seorang ayah, seorang kakak laki-laki yang benar-benar menginginkan kebaikan dalam keluarganya, maka hendaknya ia menyadari kedudukannya sebagai pemimpin dalam rumah tangga. Hingga dia tidak membiarkan terjadi penyimpangan syariat dalam keluarga,” jelas ustaz
“Ada ancaman yang keras bagi orang-orang yang membiarkan perbuatan maksiat dalam keluarga adalah laki-laki dayyuts akan diancam Allah adalah diharamkan baginya surga. Aneh, di zaman sekarang bermunculan suami-suami yang tidak cemburu jika istrinya membuka aurat atau berpakaian ketat, tidak marah, bahkan merasa senang jika istri dan anak-anak perempuannya bisa tampil cantik di depan orang lain yang bukasn mahromnya. Atau ayah yang membiarkan anak gadisnya berpacaran dan dibawa lelaki yang bukan mahro. Padahal kehormatan putrinya harus ia jaga hingga diserahkan kepada suami yang bertanggung jawab, membiarkan putrinya terjerumus pada perbuatan zina dan ia tidak menasehati.” Ustaz menjeda tausiahnya sejenak.
“Contoh yang banyak kita lihat saat ini, seorang laki-laki membiarkan saja istri atau anak perempuannya berfoto dengan gaya yang centil dan genit bahkan membuka aurat di media sosial dan bisa menjadi fitnah dan ujian bagi laki-laki yang melihatnya. Ia tidak cemburu jika ada laki-laki yang puas memandang , bisa degan bebas stalking akun anak perempuan atau istrinya dan menikmati foto-foto bahkan mengkomentari dan menyimpan foto tersebut di ponselnya. Atau membiarkan anak kita jalan-jalan dengan laki-laki yang bukan mahrom,” papar ustaz. Hampir seluruh jamaah laki-laki tertunduk dan merenung.
Abdul Hanif, menyesal karena sudah mengizinkan Andhara berangkat berdua Raksa Alkuna. Kini Abdul Hanif mengingkari perbuatannya dan memohon ampunan pada Allah Ta’ala serta memohon agar Andhara baik-baik saja.
“Setiap suami, sebagai kepala rumah tangga akan ditanya di akhirat kelak, tentang perbuatan anggota keluarga yang menjadi tanggung jawabnya. Jika istri bermaksiat, jika anak perempuan bermaksiat, jika saudara perempuan bermaksiat maka suami, para ayah akan ditanya dan diminta pertanggungjawabbannya di akhirat kelak,” kata ustaz yang juga seorang arsitek ini.
***
Abdul Hanif sudah duduk di kursi makan, Deswita terlihat sedang menghidangkan teh dan cemilan.
“Bu, telepon Andhara,” kata Abdul Hanif. Tidak berapa lama Andhara sudah tersambung dengan panggilan itu.
“Assalamu’alaikum, Bu, kita salah,” kata Abdul Hanif pada istrinya
“Maksud ayah bagaimana?” tanya Deswita pada suaminya.
“Ayah salah sudah membiarkan Andhara sudah berangkat ke Jakarta dengan Raksa Alkuna, gumam demam
“Tapi mereka ‘kan akan kita jodohkan, Ayah” sahut Deswita.
“Betul, mereka akan kita jodohkan,” kata Abdul Hanif tegas.
“Selama ini aku sudah menjadi suami yang dayyuts. Bu, sekarang ku mohon, agar kamu menjadi lebih syar’i dan jika mau posting foto di media sosial harus di pilih dulu foto yang tidak centil, tidak genit dan tidak berdua-duaan dengan orang lain saat beraktivitas di luar sana.” Cecar Abdul Hanif.
“Insya Allah, Ayah bantu doa nya.” Deswita menyajikan makanan kepada suaminya yang memang sudah lapar.
***
Semua kegiatan Andhara di Pekan Expo Kimia sudah selesai, ia baru saja menyelesaikan debat kimia dalam waktu 30 menit. Andhara sudah memasukkan seluruh pakaian ke dalam koper, agar besok ia bisa melenggangnya dengan santai, mengikuti kegiatan outbound.
Keesokkan harinya Andhara langsung menuju resto untuk sarapan, setelah itu ia ikut berkumpul dengan sesama siswa SMA. Mereka bercerita tentang karya dan produk yang ditampilkan di Pekan Expo Kimia kali ini.
Raksa Alkuna juga sudah terlihat, ia berkumpul dengan para guru pendamping yang lain, tentu sesekali pandangan matanya tetap tertuju pada Andhara untuk mengontrol aktivitas siswinya itu. Jujur dalam hati Raksa Alkuna cemburu melihat calon istrinya itu bercerita dengan pelajar laki-laki. Raksa tahu betul tujuan para pelajar pria itu mendekati Andhara, tentu untuk tebar pesona, tukaran nomor whatsapp, atau saling follow media sosial.
<!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Cambria Math"; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:1; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;} @font-face {font-family:Calibri; panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-469750017 -1073732485 9 0 511 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; margin-top:0cm; margin-right:0cm; margin-bottom:8.0pt; margin-left:0cm; line-height:107%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoPapDefault {mso-style-type:export-only; margin-bottom:8.0pt; line-height:107%;} @page WordSection1 {size:595.3pt 841.9pt; margin:72.0pt 72.0pt 72.0pt 72.0pt; mso-header-margin:35.4pt; mso-footer-margin:35.4pt; mso-paper-source:0;} div.WordSection1 {page:WordSection1;} -->
Abdul Hanif dan Deswita sudah berada di sebuah galeri busana muslim yang cukup besar, seperti janjinya Abdul Hanif akan membelikan busana syar’i untuk Deswita.
“Mas, yang pink itu bagus, ya,” kata Deswita meminta persetujuan.
“Dek, sebaiknya kamu pilih busana yang sesuai dengan kriteria pakaian muslimah,” Jawab Abdul Hanif.
“Hm, apa kriterianya?” tanya Deswita.
“Pastinya harus menutup aurat, longgar atau tidak ketat, tebal atau tidak transparan, Tidak menyerupai laki-laki jadi jangan pakai celana panjang lagi ya, kecuali untuk lapisan di dalam, seperti yang dipakai Andhara, pilih warna yang gelap jangan menggunakan warna yang mencolok yang bisa menarik perhatian orang, serta tidak boleh memakai parfum kecuali di depan suami.” Urai Abdul Hanif.
“Whats?? Nga boleh pakai parfum?” protes Deswita.
“Boleh, tapi di rumah saja, di depan Mas, kamu nga boleh lagi pakai parfum keluar rumah, Allah yang melarang bukan Mas,” terang Abdul Hanif.
“Apa hadisnya?” tanya desak Deswita.
“Kata Nabi, perempuan manapun yang memakai parfum, kemudian dia keluar rumah, lalu dia melewati sejumlah orang agar mereka mencium harumnya, berarti dia pezina,” jelas Abdul Hanif. “Dan perempuan manapun yang menggenakan parfum, kemudian ia keluar menuju masjid maka salatnya tidak diterima sampai dia mandi.” Abdul Hanif berjalan mendahului Deswita yang masih terdiam meresapi perkataan Abdul Hanif.
“Mas, tunggu.” Deswita mengejar langkah suaminya.
“Mas, jadi jeans aku yang mahal-mahal itu nga boleh dipakai lagi?” tanya Deswita.
“Nga boleh lagi sayang,” jawab Abdul Hanif.
“Padahal aku baru beli lho kemarin, salahin Mas lah kenapa baru bilang sekarang!” seru Deswita.
“Dek, aku juga baru dapat ilmunya dari Tausiah ustaz tadi sore ‘kan,”
“Terus pakaian yang sebanyak itu mau di kemanakan? Apa di kasihkan ke orang?”
“Ya, yang pantas diberikan ke orang, berikan, tapi yang tidak sesuai kriteria jangan diberikan ke orang,”
“Jadi, diapain?”
“Bisa dirombak, dimodifikasi dan nanti kita serahkan ke ahlinya, dijadikan Tas, atau yang lainnya, nah setelah itu baru kita kasihkan orang-orang, ya, jangan sampai kamunya syar’i orang lain malah memakai pakaian seksi kamu, Dek.” Abdul Hanif tertarik melihat sebuah gamis yang dipajang tidak jauh dari tempat dia berdiri.
“Nah, itu, Dek, lihat gamis-gamis di sana, ayo ke sana yuk,” ajak Abdul Hanif.
“Coba kamu pilih.” Lalu Abdul Hanif duduk seraya memperhatikan istrinya yang sedang memilih gamis.
“Mas, coba lihat, bagaimana sudah sesuai kriteria nga?” tanya Deswita, ia membawa empat stel baju syar’i.
“Bagus, oke semua, aku suka,” kata Abdul Hanif melihat dua buah gamis hitam, satu gamis gray dan satu gamis coklat susu.
“Cari lagi, Dek, untuk satu minggu masih kurang tiga stel lagi.” Abdul Hanif berdiri dan menunjuk gamis tosca, purple tua dan navi.
“Serius, Mas? Semuanya?” tanya Deswita girang.
“Iya sayang, tujuh stel, jadi biar cukup untuk satu minggu.”
“Makasih, Mas,”
“Sekalian, beli kaos kaki, sama manset tangannya dan celana gamisnya, Dek, biar lengkap,” kata Abdul Hanif sembari berjalan menuju kasir yang ada di ujung dekat tangga.
“Terus parfum mahal aku itu untuk apa, Mas?” tanya Deswita menyamakan langkah, Abdul Hanif berhenti dan mengajak Deswita duduk di bangku yang tersedia.
“Dek, mulai sekarang kamu, dandannya pas di rumah di depan suami, hanya suami yang boleh menikmati kecantikan dan aroma wangi istrinya, jadi kalau beraktivitas diluar rumah, nga usah pakai parfum dan nga usah bersolek juga. Dandan biasa saja,” bujuk Abdul Hanif.
“Mas, masa nga boleh dandan juga?” protes Deswita.
“Boleh, siapa bilang nga boleh, boleh kok, sangat boleh malah, tapi dandannya khusus untuk suami,” sahut Abdul Hanif.
“Nga boleh pakai lipstik dan skin care, dong? Keluar rumah?”
“Boleh lah pakai skin care, tapi lipstiknya, pakai lipgloss saja, ya, biar laki-laki lain tidak memuji kecantikan kamu, aku nga mau lagi jadi suami yang dayyuts, Dek, mau ya, please,” bujuk Abdul Hanif lagi.
“Insya Allah, Mas, aku akan berusaha, tetap bimbing aku ya, Mas, bimbing semua wanita mu ke surga, aku, Andhara, Ibu, dan kakak-kakak. Mas jangan lupakan mereka juga.” Deswita.
“Tentu, sayang, besok kita main ke rumah, Ibu dan kakak-kakak ku ya,”
“Ya, nga perlu perawatan lagi lah ya?”
“Ups, kata siapa? Justru kamu harus lebih rajin perwatan, biar suami semakin sayang, jika niatnya untuk suami, dapat pahala lo, tapi kalau niatnya untuk bergaya diluar sana, untuk selfi dan sosialita, nah jadinya dosa,” terang Abdul Hanif.
“Asyik, nanti kami perawatan bersama, Mas yang bayar,”
“Iya, iya, aku ‘kan bekerja untuk kalian, ajak ibu dan kakak-kakak juga ya.”
“Siap.” Kemuadian mereka berdua kompak menuju kasir.
***
Semua kegiatan Andhara di Pekan Expo Kimia sudah selesai, ia baru saja menyelesaikan debat kimia dalam waktu 30 menit. Andhara sudah memasukkan seluruh pakaian ke dalam koper, agar besok ia bisa melenggangnya dengan santai, mengikuti kegiatan outbound.
Keesokkan harinya Andhara langsung menuju resto untuk sarapan, setelah itu semua peserta dan guru pendamping diajak ke Ancol, awalnya mereka ke seaworld. Andhara ikut berkumpul dengan sesama siswa SMA. Mereka bercerita tentang karya dan produk yang ditampilkan di Pekan Expo Kimia sambil melihat ikan-ikan yang beraneka jenis
Raksa Alkuna juga sudah terlihat di seaworld, ia berdiri di dekat ikan piranha bersama dengan beberapa guru pendamping yang lain, tentu sesekali pandangan matanya tetap tertuju pada Andhara untuk mengontrol aktivitas siswinya itu. Jujur dalam hati Raksa Alkuna cemburu melihat calon istrinya bercerita dengan pelajar laki-laki. Raksa tahu betul tujuan para pelajar pria itu mendekati Andhara, tentu untuk tebar pesona, tukaran nomor whatsapp, atau saling follow media sosial.
“Sepertinya aku sudah jatuh cinta pada gadis itu,” gumam Raksa pelan. Ia berusaha menahan diri untuk tidak menghampiri Andhara.
Puas berkeliling seaworld, mereka kemudian naik gondola, Raksa Alkuna terlihat berjalan mendekati Andhara.
“Andhara, ikut gondola saya.” Raksa Alkuna memegang lengan Andhara dan mengajaknya untuk naik gondola yang akan dinaiki Raksa.
“Berdua, Bapak?, nga mau kalau berdua,” protes Andhara seraya melepaskan lengannya yang masih di pegang Raksa. Gadis itu tidak terima Raksa memegang lengannya.
“Tidak berdua, tapi berempat dengan ibu Fielda dan Beta,” jawab Raksa.
“Oh, oke,” Jawab Andhara judes. Raksa tersenyum melihat kejudesan alami Andhara, ia tahu Andhara marah karena lengannya tadi di pegang dan ditarik. Tapi Raksa tidak peduli, toh dilapisi pakaian, tidak bersentuhan, pikir Raksa seenaknya.
“Ingat, acara perpisahan ntar malam, kamu tidak boleh jauh-jauh dari saya, saya nga suka lihat kamu di dekati cowok-cowok itu.” Raksa mendowerkan bibirnya dan menggerakkan dagunya kearah siswa-siswa SMA yang sedang antri menunggu gondola.
“Ya, Pak, ‘kan kami berteman, semua sopan dan baik-baik kok, nga ada yang berani pegang-pegang lengan saya” jawab Andhara masih judes.
“Pokoknya kamu harus berada di sekitar saya, jangan sampai jauh-jauh, saya tidak mau terjadi sesuatu sama kamu, karena saya bertanggung jawab penuh dengan keselamatan kamu selama kegiatan ini, hingga besok kita pulang, kamu paham ‘kan?” cecar Raksa dengan suara di tekan agar tidak terdengar oleh yang lain.
“Iya, Pak, paham,”
“Bagus.” Raksa meninggalkan Andhara mendekati Fielda dan Beta, sementara Andhara merasa aneh dengan sikap gurunya yang over protektif itu.
***
Deswita dan Abdul Hanif sudah berada di rumah, suami istri itu sedang sibuk membongkar belanjaannya.
“Dek, coba video call Andhara,” perintah Abdul Hanif, dan Deswita langsung melakukan panggilan video pada anaknya.
[Assalamualaikum, Ibu, Ayah, Andhara kangen]
[Wa’alaikum salam, sama, sayang, Ibu dan Ayah juga kangen, bagaimana-bagaimana? Kamu lagi dimana? Bersama siapa? Dan sedang apa?” tanya Deswita beruntun.
[Andhara lagi di atas gondola] jawab Andhara menguatkan suaranya untuk mengalahkan desiran angin yang berhembus.
[Dengan siapa? Coba Ibu lihat!] lalu Andhara menganti kamera belakang dan mengarahkan kamera ke semua penjuru. Beruntung Andhara duduk berdua Fielda dan Raksa berdua Beta.
[Oke, kamu lanjut dulu, nanti sampai di hotel Ibu hubungi lagi, ya, ingat baik-baik, jaga diri ya, sayang]
[InsyaAllah siap, Bu] jawab Andhara. Iya tahu Ibunya khawatir, dan itu membuat Andhara merasa diperhatikan.
Mereka sangat menikmati pemandangan indah teluk Jakarta dan sarana rekreasi lainnya di Ancol dari ketinggian dua puluh satu meter di atas permukaan laut. Keindahan itu sangat menakjubkan. Andhara, Raksa, Fielda dan Beta sibuk dengan kamera ponselnya masing-masing, mereka mendokumentasikan keindahan itu dalam foto dan video.
***
Abdul Hanif dan Deswita, merasa tenang setelah melihat langsung melalui vidoe call, Andhara anak mereka terlihat senang dan yang penting ia duduk di kabin gondola dengan sesama wanita, bukan dengan Raksa.
“Dek, tadi aku sudah telepon Raksa, memastikan perasaannya pada Andhara. Dan katanya ia bersedia dijodohkan dengan anak kita,” kata Abdul Hanif.
“Kapan, Mas menelepon Raksa?”
“Tadi, Pas kamu milih-milih gamis,” jawab Abdul Hanif.
“Jadi bagaimana?”
“Ya, sebaiknya langsung kita nikahkan saja, jika memang Andhara mau kuliah ke Amerika, dan jika ia setuju menikah dengan Raksa, jika tidak setuju ya kita carikan yang lain,” ujar Abdul Hanif.
“Oke lah, intinya kita tidak boleh memaksa harus dengan Raksa ya Mas, tapi yang jelas jika mau kuliah di luar negeri harus dengan suami,”
“Iyes, begitu.” Mereka sepakat.
<!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Cambria Math"; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:1; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;} @font-face {font-family:Calibri; panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-469750017 -1073732485 9 0 511 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; margin-top:0cm; margin-right:0cm; margin-bottom:8.0pt; margin-left:0cm; line-height:107%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoPapDefault {mso-style-type:export-only; margin-bottom:8.0pt; line-height:107%;} @page WordSection1 {size:595.3pt 841.9pt; margin:3.0cm 3.0cm 3.0cm 3.0cm; mso-header-margin:35.45pt; mso-footer-margin:35.45pt; mso-paper-source:0;} div.WordSection1 {page:WordSection1;} -->
Nasihat
Sudah dua hari Andhara pulang dari Jakarta, pagi ini ia akan kembali masuk sekolah dan bertemu dengan teman-teman yang ia rindu, karena seminggu tiada bertemu. Andhara baru saja akan memasang kaos kaki, ketika Deswita memanggil dengan namanya.
“Iya, Ibu, sebentar,”
“Nanti saja pasang kaos kakinya, ayo kamu sarapan dulu.” Deswita menarik lengan anaknya dan membara Andhara menuju meja makan. Terlihat jelas di pelupuk mata Andhara kenikmatan ayam kecap yang terhidang dan sayur bayam merah yang merona. Menu sarapan itu sangat menggoda untuk difoto.
“Makannya pelan-pelan saja, nanti keselek,” kata Deswita.
“Iya, Ibuku yang cantik, ini pelan-pelan kok,” jawab Andhara, ia terlihat menghabiskan suap terakhirnya.
“Sudah, Bu, Andhara sekolah ya.” Andhara pamit.
“Itu oleh-olehnya nga dibawa?” tanya Deswita mengingatkan.
“Oh, iya, Bu , Andhara hampir lupa, ini oleh-oleh untuk guru saja, yang untuk besti nanti, Bu, siang ini mereka ke sini,”Jelas Andhara.
“Okey, pergilah, hati-hati, kamu hampir terlambat,” kata Deswita setengah teriak. Memang pagi sudah berganti siang, nyaris pukul sebelas.
Dengan mengendarai motor Deswita matic, Andhara melaju ke sekolah. Di sekolah Andhara langsung disambut teman-temannya, Dhira, Farena, Fazila, Ratih dan Dedi. Semua sudah berdiri di depan kampus meyambut kedatangan Andhara.
“Andharaaaaaaa!” teriak Dhira mengejar sahabatnya. Dalam sekejap semua sudah berpelukan, kecuali Dedi tentunya.
“Ceritain!”
“Ceritain apa?”
“Ya, pura-pura lupa lagi lo,” ujar Fazila.
“Nggak lupa gue, tapi ntar ya, pulang sekolah kalian ke rumah, ada oleh-oleh dan nanti pasti aku ceritakan, jangan di sekolah, nggak enak kali,” jawab Andhara.
“Ya, wes, oke lah kalau begitu,” kata Farena. Kemudian mereka berjalan menuju kelas.
“Gileeee, ini itu senin yang indah banget,” kata Ratih.
“Indah apanya? Masih begini-begini saja, masih macet,”
“Bukan kondisi sekolah kita yang indah, tapi Pak Raksa, doi ngajar di kelas kita hari ini tiga jam pelajaran, gilee nga tu? Indah banget?” tanya Ratih.
“Serius?” tanya Andhara.
“Iya,”
“Waduh, seminggu ketemu beliau terus, masa hari ini ketemu lagi, butuh penyegaran diriku,” kata Andhara belagu.
“Dasar lo,”
“Eh tahu nga, seminggu lo tinggal di sekolah kita banyak yang jadian,” cerita Ratih.
“Siapa saja? Buat apa sih pacar-pacaran, nga ada manfaatnya, nambah-nambahin dosa saja. Please deh gaes, nga usah mulai pacaran, kalau mau langsung nikah saja.” Kata Andhara.
“Langsung nikah? Memang lo mau tamat SMA nikah?” tanya Farena.
“Mau dong, jika memang sudah ada jodohnya, kenapa enggak?” jawab Andhara.
“Terus lo nga kuliah begitu kah?” tanya Fazila.
“Gaes, aku tetap kuliah dong, menikah tidak menghalangi kita untuk tetap menuntut ilmu, justru jika sudah menikah ‘kan jadi lebih seru ada yang nemenin belajar, nemenin segalanya dan mata kita tidak lagi jelalatan lihat cowgan-cowgan, karena kita sudah punya cowgan pribadi yang bisa diapa-apain saja.” Andhara tausiah sambil melenggang santai mendahului teman-temannya.
“Wah tausiah ustazah Andhara benar juga, tapi memang lo pikir segampang itu, memang orang tua bakalan ngasih izin begitu?” tanya Dhira emosi.
“Nah kalau masakah itu, urusan pribadi dong, he he,” jawab Andhara seraya tertawa.
Memang tidak semua orang tua akan memberi izin kepada anaknya untuk menikah muda. Kebanyakan orang tua tentu akan menyuruh anaknya kuliah dulu, kerja dulu baru kemudian menikah. Membiarkan anak-anak mereka pacaran bertahun-tahun. Tanpa merasa bersalah, karena telah membiarkan anak masuk ke dalam perangkap dosa tanpa disadari.
Andhara merasa bersyukur karena ia mendapatkan banyak ilmu selama di pondok pesantren, ilmu tentang akidah, tauhid, adab-adab dan banyak ilmu agama lainnya. Andhara juga senang dengan perubahan yang terjadi pada orang tuanya. Ayahnya yang sudah memahami tentang tugas dan kewajibannya sebagai kepala keluarga, bukan hanya dalam masalah nafkah dunia, namun juga nafkah akhirat.
Ibunya Deswita juga sudah mulai belajar memperbaiki penampilan menjadi lebih syar’i dan mulai rajin membaca kitab fikih sunnah wanita. Memang hidayah itu datang kepada orang yang Allah kehendaki karena kasih sayangNya. Andhara sendiri tidak protes saat Ayahnya mengatakan bahwa, jika ingin melanjutkan kuliah di luar negeri, maka harus sudah menikah terlebih dahulu. Jadi ada suami yang menemani.
“Lo kalian ‘kan pada tahu, bahwa gue harus menikah dulu, jika mau kuliah di luar negeri, ya, itu, agar gue ada yang menemani, mahromnya, sehingga Ayah gue bisa melepas gue dengan tenang.” Sambung Andhara memecah keheningan sesaat tadi.
“Terus, lo mau?”
“Mau lah,” jawab Andhara.
“Memang kamu punya pacar? Mau menikah dengan siapa?”
“Memangnya menikah harus dengan pacar ya?” tanya Andhara.
“Jadi dengan siapa dong kalau begitu?”
“Gaes, orang tua gue yang mencarikan calon suami buat gue ntar,” jawab Andhara.
“Memang lo mau dijodohin? Bukan zaman Siti Nurbaya kali!”
“Eh kalian jangan salah, jodoh pilihan orang tua itu tentulah yang terbaik, lagian orang tua gue nga memaksa kok, gue masih punya hak untuk menerima atau menolak, ya kalau gue tolak satu calon mereka yang akan cariin calon lain he he he, asyikkan kita nga perlu ribet mikirin calon suami,” papar Andhara seraya masuk kelas bersama teman-temannya.
<!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Cambria Math"; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:1; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;} @font-face {font-family:Calibri; panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-469750017 -1073732485 9 0 511 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; margin-top:0cm; margin-right:0cm; margin-bottom:8.0pt; margin-left:0cm; line-height:107%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoPapDefault {mso-style-type:export-only; margin-bottom:8.0pt; line-height:107%;} @page WordSection1 {size:595.3pt 841.9pt; margin:72.0pt 72.0pt 72.0pt 72.0pt; mso-header-margin:35.4pt; mso-footer-margin:35.4pt; mso-paper-source:0;} div.WordSection1 {page:WordSection1;} -->
“Wah tausiah ustazah Andhara benar juga, tapi memang lo pikir segampang itu, memang orang tua bakalan ngasih izin begitu?” tanya Dhira emosi.
“Nah kalau masakah itu, urusan pribadi dong, he he,” jawab Andhara seraya tertawa.
Memang tidak semua orang tua akan memberi izin kepada anaknya untuk menikah muda. Kebanyakan orang tua tentu akan menyuruh anaknya kuliah dulu, kerja dulu baru kemudian menikah. Membiarkan anak-anak mereka pacaran bertahun-tahun. Tanpa merasa bersalah, karena telah membiarkan anak masuk ke dalam perangkap dosa tanpa disadari.
Andhara merasa bersyukur karena ia mendapatkan banyak ilmu selama di pondok pesantren, ilmu tentang akidah, tauhid, adab-adab dan banyak ilmu agama lainnya. Andhara juga senang dengan perubahan yang terjadi pada orang tuanya. Ayahnya yang sudah memahami tentang tugas dan kewajibannya sebagai kepala keluarga, bukan hanya dalam masalah nafkah dunia, namun juga nafkah akhirat.
Ibunya Deswita juga sudah mulai belajar memperbaiki penampilan menjadi lebih syar’i dan mulai rajin membaca kitab fikih sunnah wanita. Memang hidayah itu datang kepada orang yang Allah kehendaki karena kasih sayangNya. Andhara sendiri tidak protes saat Ayahnya mengatakan bahwa, jika ingin melanjutkan kuliah di luar negeri, maka harus sudah menikah terlebih dahulu. Jadi ada suami yang menemani.
“Lo kalian ‘kan pada tahu, bahwa gue harus menikah dulu, jika mau kuliah di luar negeri, ya, itu, agar gue ada yang menemani, mahromnya, sehingga Ayah gue bisa melepas gue dengan tenang.” Sambung Andhara memecah keheningan sesaat tadi.
“Terus, lo mau?”
“Mau lah,” jawab Andhara.
“Memang kamu punya pacar? Mau menikah dengan siapa?”
“Memangnya menikah harus dengan pacar ya?” tanya Andhara.
“Jadi dengan siapa dong kalau begitu?”
“Gaes, orang tua gue yang mencarikan calon suami buat gue ntar,” jawab Andhara.
“Memang lo mau dijodohin? Bukan zaman Siti Nurbaya kali!”
“Eh kalian jangan salah, jodoh pilihan orang tua itu tentulah yang terbaik, lagian orang tua gue nga memaksa kok, gue masih punya hak untuk menerima atau menolak, ya kalau gue tolak satu calon mereka yang akan cariin calon lain he he he, asyikkan kita nga perlu ribet mikirin calon suami,” papar Andhara seraya masuk kelas bersama teman-temannya.
***
Benar kata teman-temannya, hari ini Andhara harus bertemu lagi dengan Raksa Alkuna. Seperti nama guru mereka, topik pembelajaran hari ini adalah Alkana, Alkena dan Alkuna. Di awal pembelajaran Raksa Alkuna memberikan pertanyaan pemantik kepada siswa-siswinya. Raksa berdiri di space tengah ruang kelas, kedua tangan berada di kantong kanan dan kiri celana kain abu tua lengkap dengan kemeja abu muda yang membuat penampilanya menjadi booster tersendiri bagi siswinya. Dan menjadi ancaman nyata bagi seluruh siswa karena kalah saing dengan kekerenan Raksa Alkuna.
“Siapa yang tahu nama lengkap saya?” tanya Raksa memberikan umpan lewat sebuah pertanyaan. Seluruh siswa mengangkat tangan dengan semangat, dan akhirnya Raksa memberikan kesempatan kepada Mety untuk menjawab.
“Raksa Alkuna, Pak” jawab Mety.
“Bagaimana? Benar nga?” tanya Raksa Alkuna pada seluruh siswanya. Dan dijawab dengan baik oleh mereka secara bersamaan.
“Benaaaaaaaar, Pak Raksa Alkunaaaaa,” jawab siswa dan siswinya berbarengan.
“Coba ada yang punya pengetahuan nga tentang Raksa Alkuna?” tanya Raksa lagi. Tidak ada seorangpun yang mengangkat tangan, kecuali Andhara.
“Andhara silahkan sampaikan pengetahuanmu tentang Raksa Alkuna,” seru Raksa dan gadis itupun langsung berdiri dan bersiap untuk menjawab.
“Baik, Pak, Raksa itu adalah Merkuri, memiliki warna putih keperakan, berupa cairan tidak berbau dan mengkilap. Merkuri termasuk logam berat yang beracun. Keracunan dapat terjadi jika menghirup uap, menelan dalam bentuk senyawa larut atau menyerapnya Merkuri melalui kulit. Tingkat toksisitas Merkuri sangat tinggi.” Jelas Andhara.
“Manfaatnya di zaman modern ini dapat kita lihat di dalam barometer dan manometer. Mercuri banyak digunakan oleh penambang emas untuk mengekstraksi emas dari bijihnya. Tidak hanya itu, mercuri juga terdapat pada produk-produk kecantikan dan ini sangat berbahaya. Merkuri dapat dapat meresap ke dalam kulit dengan cepat. Paparan merkuri yang tinggi nyatanya dapat menyebabkan kerusakan pada saluran pencernaan, sistem saraf dan ginjal bahkan dapat juga menyebabkan kekurangan fungsi otak pada tubuh kita, intinya Merkuri adalah logam berat yang sangat berbahaya,” papar Andhara yang di sampaikan tanpa melihat ke arah Raksa sedikitpun.
“Selanjutnya Alkuna, Alkuna adalah molekul hidrokarbon tak jenuh yang mempunyai ikatan rangkap tiga.” Andhara menyelesaikan penjelas.
“Benar, tepat sekali penjelasan yang sudah disampaikan oleh Andhara, jadi saya ini adalah logam berat yang beracun, kalian harus hati-hati pada pembelajaran saya.” Jelas Raksa.
“Pak, maaf, saya kepo, kenapa Bu Salma memberi bapak nama Raksa Alkuna?” tanya Fazila meletuk dari belakang.
“Kebetulan ayah saya seorang kimiawan, Ia ingin saya mengikuti jejaknya, sampai-sampai memberikan nama yang seram itu,” Jawab Raksa sambil tersenyum lebar. Kemudian guru penganti Bu Salma yang juga anak Bu Salma itu mulai membuat sebuah mapping di whiteboard. Selanjutnya Raksa mulai menyampaikan materi pembelajaran.
“Alkana, Alkena dan Alkuna adalah golongan senyawa hidrokarbon alifatik yang tersusun dari unsur atom karbon (C) dan juga atom Hidrogen (H) yang terikat dan membentuk rantai terbuka, bisa bercabang maupun tidak bercabang.” Raksa Alkuna mulai menyampaikan materi pembelajaran.
“Pak, senyawa alifatik itu apa?” tanya Dedi yang dari tadi hanya diam karena didominasi cewek-cewek
“Ada yang tahu?” Raksa melempar pertanyaan tersebut pada Pesertanya.
“Saya, Pak,” Dhira menunjuk dirinya sendiri.
“Silahkan, silahkan,”
“Senyawa alifatik adalah kelompok senyawa yang memiliki rantas lurus, rantai bercabang, rantai melingkar. Dan senyawa Alifatik dibagi dua kelompok utama, yaitu senyawa alifatik jenuh dan senyawa alifatik tidak jenuh.
<!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Cambria Math"; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:1; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;} @font-face {font-family:Calibri; panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-469750017 -1073732485 9 0 511 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; margin-top:0cm; margin-right:0cm; margin-bottom:8.0pt; margin-left:0cm; line-height:107%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoPapDefault {mso-style-type:export-only; margin-bottom:8.0pt; line-height:107%;} @page WordSection1 {size:612.0pt 792.0pt; margin:72.0pt 72.0pt 72.0pt 72.0pt; mso-header-margin:36.0pt; mso-footer-margin:36.0pt; mso-paper-source:0;} div.WordSection1 {page:WordSection1;} -->
Bab 9
Setia Kawan
“Memangnya kapan lo jadian sama bola basket itu?” tanya Andhara pada Ratih.
“Bukan sama bola basket, tapi sama anaknya,” ledek Dhira.
“Wah, baru tahu gue kalau bola basket beranak, ha ha,” mereka tertawa berbarengan.
“Sudah-sudah, jangan diledek terus, kasihan ntar bertanduk Ratihnya, mereka jadian pas hari lo berangkat ke Jakarta, jadi ceritanya kami main-main air, habis itu jalan ke mall, di sana mereka ketemu dan jadian,” jelas Mety dengan sok bijak. Lalu Ratih menceritakan bahwa sebenarnya sudah lama si Jefri mendekatinya melalui whatsapp, tapi tidak pernah diladeni, beberapa kali juga pernah mau main ke rumah tapi nga gue izinkan. Setiap malam dia menghubungi terus, hingga akhirnya gue respon, dia rajin banget nge-chat gue, hingga gue nga kuasa untuk menolak saat dia nembak gue. Terus kami jadian,” cerita Ratih seraya menghapus air matanya yang mulai merembes.
“Terus kenapa dia malah jalan sama Santi? Selidik Andhara.
“Hari Sabtu, kami pulang bareng, terus dia ngajak gue makan bakso setelah makan bakso kami duduk-duduk di taman kota, pas itu dia mau cium gue dan gue nga mau, e dia marah dan besoknya dia sengaja manas-manasin gue, dia jalan sama Santi sambil gandengan tangan,” cerita Ratih dan direspon dengan raut wajah mewek oleh Andhara.
“Terus, lo sedih? Patah hati? Ya, baguslah, cowok seperti itu berarti niatnya buat mempermainkan wanita saja. Jika dia memang cinta elo, maka dia nga bakalan mau menyentuh lo sebelum halalan toyiban! Ya nga gaes?” Andhara minta persetujuan pada teman-temannya.
“Iya, cocok! Masak mau nyosor saja, sudah putusin deh, baru juga seminggu pacaran elo sudah galau begini, main-main dengan cinta itu berat tahu nga, bikin otak kita nga waras, wes putusin!” seru Mety.
“Setuju, jika memang itu cowok cinta sama kita, dia akan melamar kita untuk dijadikan istri, jadi ibu dari anak-anaknya, cieee.... manis banget nga sih? Kata Fazila.
“Masya Allah, tumben otak lo benar Fazila!” sambung Farena.
“Iya ‘kan gue meresapi tausiah ustazah Andhara hahaha, tahu nga, gue benar-benar nga bakalan mencoba untuk pacaran, gue mau langsung dilamar saja,” sahut Fazila.
“Umur gaes? Umur kalian berapa?” tanya Andhara.
“Umur gue masuk sembilan belas tahun dong, karena emak gue taat aturan, jadi pas masuk SD memang umur tujuh tahun, makanya tamat SMA gue sudah memenuhi syarat untuk menikah, sembilan belas tahun, he he he,” sahut Mety. Dan ternyata mereka nyaris se usia.
“Jadi bagaimana kalau kita kerjain si Jefri, uji kadar cintanya, dia serius atau main-main, nah jika dia bilang serius, maka kita suruh dia untuk melamar elo Ratih, lihat keberaniannya, he he he, bagaimana? Keren nga ide gue?” Tanya Andhara.
“Jika dianya mau, guenya yang nga mau, gue masih mau kuliah!” cecar Ratih.
“Ya, norak lo, menikah ya menikah, kuliah, ya kuliah keduanya bisa jalan berbarengan kok,” ujar Andhara.
“Tapi ‘kan belum tahu orang tua kita kasih izin, lagian kalau menikah dengan Jefri gue mau makan apa? Dia ‘kan belum kerja,” tanya Ratih.
“Nah, lo lupa atau memang nga tahu, kalau si Jefri adalah atlet basket profesional, dia juga selegram, banyak duitnya, setidaknya cukuplah untuk menghidupi kamu dan anak-anak kalian nanti,” kata Andhara menegaskan nada bicaranya.
“Ya, ile, sudah lah gaes, kita nga usah menghayal di siang bolong.” Andhara berdiri dan melihat Santi masuk ke kantin. gadis itu seorang diri, tidak terlihat ada yang menemani.
“Itu?” tanya Andhara seraya mengarahkan mulutnya ke arah Santi yang duduk tidak jauh dari tempat kami.
“Sendirian, bagaimana kalau kita datangi?” usul Andhara lagi. Dan tanpa menunggu persetujuan yang lain ia sudah berjalan dengan elegan menuju Santi yang baru menyadari kalau di kantin ini ada Ratih dan teman-temannya.
“Assalamualaikum?” Tanya Andhara dan langsung duduk di hadapan Santi.
“Wa’alaikum salam, Kak Andhara,” jawab Santi gugup.
“Eh, jangan takut, gue, nga jahat kok, dek,” sahut Andhara. Dan dibalas dengan senyuman oleh Santi.
“Kamu kemarin mesra banget dengan Jefri, kemana?” tanya Andhara, ia membesarkan bola matanya untuk menekan Santi anak ekstra kurikuler cheerleader itu agar menjawab jujur.
“Kami, belanja kak, aku ‘kan mau belanja atk sekolah jadi Bang Jefri yang menemani, karena aku nga boleh ke mall sendiri,” jawab Santi.
“Memang Jefri siapa lo?”
“Bang Jefri itu, kakak aku satu-satunya,” jawab Santi.
“Serius?”
“Beneran kak, serius, kemarin pas ketemu dengan Kak Ratih memang Bang Jefri, sengaja mengandeng tangan aku, untuk ngomporin kak Ratih. Biar cemburu,” sambung Santi.
“Gue pegang kata-kata, lo, ya,”
“Pasti, kak.” Santi langsung mengeksekusi es campurnya untuk mendinginkan suasana.
<!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Cambria Math"; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:1; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;} @font-face {font-family:Calibri; panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-469750017 -1073732485 9 0 511 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; margin-top:0cm; margin-right:0cm; margin-bottom:8.0pt; margin-left:0cm; line-height:107%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoPapDefault {mso-style-type:export-only; margin-bottom:8.0pt; line-height:107%;} @page WordSection1 {size:595.3pt 841.9pt; margin:72.0pt 72.0pt 72.0pt 72.0pt; mso-header-margin:35.4pt; mso-footer-margin:35.4pt; mso-paper-source:0;} div.WordSection1 {page:WordSection1;} -->
Bab 10
Konselor
Setelah semua drama Ratih-Jefri yang melibatkan Andhara dan para bestinya selesai, hari ini mereka bisa melangkah dengan ringan ke sekolah. Tadi mereka janjian untuk bertemu di parkiran, untuk sama-sama berjalan menuju kelas. Andhara mengira ia akan datang paling awal dari yang lain, ternyata salah. Di parkiran sudah ada Mety, Ratih, Dhira, Farena dan Fazila yang menunggu. Reflek ia mengeluarkan ponsel untuk melihat jam, masih pukul setengah tujuh, dan konco-konconya sudah nongkrong di parkiran.
“Assalamualaikum,” sapa Andhara setengah teriak, begitu masuk lokasi parkiran, teman-temannya duduk di bagian tengah di bawah pohon ketapang dan Andhara langsung memarkirkan motor maticnya di sana.
“Waalaikum salam,” jawab mereka kompak.
“Masya Allah, gue nga salah lihat ‘kan? Ini benaran manusia?” tanya Andhara, belum pernah kejadian kedatangannya didahului yang lain seperti ini.
“Isseh, cubit itu pipi sendiri!” seru Dhira disertai tawa oleh teman-temannya.
“Kenapa? Kenapa? Kok kompak banget subuh sudah datang?” tanya Andhara masih penasaran.
“Ada kabar burung,”
“Kabar burung apa?”
“Pak Raksa Alkuna kemarin pulang bareng bu Faiza.” Dhira mulai menyulut cerita.
“Ya, barang kali mereka searah dan ada keperluan bersama, ya, ‘kan? Kenapa kalian pada sewot?” sahut Andhara menganggakat kedua bahu dan membesarkan bola matanya sampai hampir loncat keluar lensa.
“Ye, bukan begitu, gue lihat banget kalau Bu Faiza yang nyosor minta antar ke Pak Raksa, gue pas berdiri di depan ruang guru dan gue dengar semua, alasannya sakit perut jadi deh Pak Raksa ngantar ibu konselor itu,” jelas Dhira menceritakan kronologi kejadian kemarin siang. Dhira dan beberapa teman yang lain memang pulang belakangan karena harus menyapu kelas, agar pagi ini tidak sibuk piket.
“Bahaya latin gaes, pokoknya jangan sampai Pak Raksa jatuh ke tangan Bu Faiza! Nga rela gue,” kata Fazila geram
“Jagi apa rencana kita?”
“Hadeh ini pasti gara-gara kasus kita, ‘kan mereka jadi akrab karena sering kontak saat menangani kasus kita,” sahut Ratih yang dari tadi diam.
“Oke, nanti kita pikirkan langkah selanjutnya, hari ini kita pantau dulu dan ambil data, alhamdulillahnya kita nanti siang ada jam kimia, jadi kita bisa gunakan kesempatan itu untuk mencari info langsung dari pak Raksa,” usul Mety sembari mengajak teman-temannya berjalan menuju kelas.
Pelajaran jam masih berlangsung ketika terdengan azan salat zuhur di masjid sekolah, Andhara bersiap untuk izin salat. Di sekolah ini siswa boleh izin selama sepuluh menit untuk salat ketika waktu zuhur masuk. Tapi izinnya bergantian, siswa keluar kelas bergiliran, sepuluh orang-sepuluh orang, jadi sepuluh orang izin, ketika mereka masuk maka yang giliran yang lain pula selanjutnya.
“Buk, saya izin salat.” Andhara minta izin sambil mengangkat tangan kanan dan menundukkan sedikit kepalanya kepada Bu Kartika yang sedang mengajar geografi. Setelah Bu Kartika menggangkukkan kelapa Andhara dan beberapa siswa bergegas keluar, agar bisa memanfaatkan waktu dengan maksimal.
***
Andhara masuk tempat berwudu wanita berbarengan dengan Bu Faiza konselor sekolah mereka, Andhara memberikan senyum dan menyapa guru itu dengan ramah.
“Buk,” sapa Andhara, namun dijawab dengan wajah rata oleh Bu Faiza. Melihat wajah dingin gurunya Andhara kembali tersenyum dan menyegerakan diri untuk berwudhu.
Di dalam masjid Andhara mengambil posisi di pojok kanan depan dekat dengan lemari mukena, ia sengaja memilih di depan agar tidak perlu memberi sutroh karena sudah ada pembatas kain antara jamaah laki-laki dan wanita. Selesai salat Andhara melipat kembali sarung yang digunakan dan mengembalikan ke dalam lemari, Andhara tidak menggunakan mukenah karena hijab putih yang ia kenakan sudah menutupi selayaknya mukena. Andhara hanya memakai kain sarung karena ia ragu dengan kesucian kaos kakinya.
“Andhara, istirahat kedua saya tunggu di ruang bimbingan konseling!” seru Bu Faiza yang tiba-tiba berdiri di belakangnya.
“Iya, Bu, ada apa Bu? Saya ‘kan tidak melakukan pelanggaran?” tanya Andhara heran namun tetap dengan nada yang ramah.
“Ada yang mau saya bicarakan dengan kamu,” jawab guru bimbingan konseling muda itu sembari berjalan keluar masjid. Dalam hatinya Andhara membatin “Ada apa dengan dirinya sampai dijutekin guru bimbingan konseling, perasaan dia tidak melakukan pelanggaran apapun sementak kasus panjat tembok tempo hari selesai dengan damai dan penuh suka cita,”
Beberapa detik menatap punggung Bu Faiza, Andhara sabar bahwa ia harus segera kembali ke kelas. Benar saja sampai di kelas sudah ada teman-teman lain yang bersiap untuk izin salat dan Bu Kartika juga mau salat setelah menampilkan sebuah topik yang harus didiskusikan siswa selama ia ke masjid.
***
Pembelajaran usai, saatnya istirahat, Andhara tidak terlalu lapar untuk buru-buru ke kantin, ia sengaja keluar duluan untuk menghindar dari para bestinya. Andhara ingin segera menemui Bu Faiza untuk menjawab teka-teki yang tadi.
“Silahkan masuk,” jawab Bu Faiza setelah Andhara mengetok pintu dan mengucapkan salam. Andhara di suruh duduk di kursi yang ada di depan meja konseling. Setelah duduk dengan nyaman Andhara bertanya pada konselor itu.
“Maaf, ada apa, Bu?”
“Tolong ceritakan seberapa dekat kamu dengan Pak Raksa Alkuna!” perintahnya.
“Maksud Ibu bagaimana?” Andhara minta penjelasan.
“Maksud saya, kamu silahkan ceritakan dengan lengkap seperti apa kedekatan kamu dengan Pak Raksa Alkuna, terutama ketika ke Pekan Expo Kimia SMA tempo hari,” terang Faiza tegas.
“Ya, saya cukup dekat, tetapi selayak guru dan siswa, Pak Raksa selalu mendampingi saya, membantu dan memberi masukan serta membimbing dan melatih saya,”
“Hanya seperti itu? Tidak ada yang lain? Jujur saja Andhara, saya guru bimbingan konseling dan kamu wajib jujur,” cecer Faiza.
“Ya, secara garis besarnya seperti itu, Bu. Ada juga sih saatnya saya kesal sama Pak Raksa dan ada juga kalanya Pak Raksa baik banget.” Jelas Andhara mulai curiga.
“Kamu jatuh cinta sama Pak Raksa? Hati-hati, Pak Raksa itu laki-laki dewasa yang mencari istri bukan mencari pacar, saya hanya khawatir kamu nanti akan kecewa dan berpengaruh pada prestasi belajarmu.” Faiza menasehati Andhara namun di telingan Andhara terdengar sebagai peringata keras bahwa ia tidak boleh menganggu Pak Raksa karena Bu Faiza takut kalah saing.
“He he, saya belum berpikir untuk jatuh cinta Bu, saya tidak mau pacaran, saya mau langsung dilamar dan menikah,” jawab Andhara apa adanya.
“Maksudnya setelah tamat SMA kamu mau langsung menikah?”
“Iya, Bu, itu menjadi syarat dari orang tua saya, jadi saya boleh kuliah di luar negeri jika ada suami yang mendampingi, jika saya tidak mau, maka saya kuliah di Indonesia.” Andhara menjawab seraya membetulkan bentuk jilbabnya.
“Dan pilihan kamu?”
“Opsi pertama, karena kuliah di Amerika adalah impian saya,”
“Kamu nekat menikah muda? Ingat menikah itu ada aturannya,”
“Insya Allah tamat SMA nanti saya sudah sembilan belas tahun, Bu, jadi sah-sah saja. Lagi pula saya akan merasa lebih aman karena terhindar dari berbagai perzinahan.” Ujar Andhara.
“Maksud kamu perzinahan seperti apa?”
“Ya, pegangan tangan, mojok, ciuman dan entah lah bu, saya yakin Ibu pasti memahami maksud saya. Intinya saya ingin menjaga diri, makanya saya setuju dengan syarat dari orang tua.” Papar Andhara.
“Calonnya siapa?” tanya Bu Faiza kepo.
“Orang tua saya yang pilih, Bu, tapi tetap meminta persetujuan, saya cocok atau tidak dengan calon suami,” jawab Andhara jujur.
“Siapa calonnya?” Bu Faiza semakin kepo.
“Nah ini saya juga belum tahu, kata ayah saya akan diberi tahu setelah ujian akhir saat ini saya harus fokus belajar,”
“Baiklah, silahkan keluar,” kata Faiza dengan nada tidak bersahabat.
“Maaf, Bu, apa Ibu marah pada saya? Apa Ibu naksir sama Pak Raksa Alkuna?” tanya Andhara ikutan kepo.
“Itu bukan urusan kamu!” lalu Bi Faiza berdiri dari duduknya dan mendahuli Andhara keluar dari ruang bimbingan konseling.
Andhara bergegas keluar ruangan BK, dan tiba-tiba di depannya sudah berdiri Raksa Alkuna.
“Andhara sini, duduk di sini sebentar.” Raksa Alkuna mengambil posisi duduk di teras baca di depan ruang guru.
“Kamu ada masalah apa lagi? Kenapa masih berurusan dengan guru BK?” tanya Raksa sambil membuka majalah trubus yang dipajang di rak teras baca itu.
“Wah panjang ceritanya Pak, yang jelas tentang Bapak,” jawab Andhara jujur.
“Oh, oke, nanti saya telepon sepulang sekolah, kamu sampaikan semua pada saya, sekarang silahkan ke kelas atau ke kantin, di kantin geng kamu sedang gaduh kehilangan induk kambing.” Raksa meletakkan majalah trubus dan langsung berjalan masuk ruang guru. Di kejauhan terlihat Faiza mengawasi mereka.
<!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Cambria Math"; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:1; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;} @font-face {font-family:Calibri; panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-469750017 -1073732485 9 0 511 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; margin-top:0cm; margin-right:0cm; margin-bottom:8.0pt; margin-left:0cm; line-height:107%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoPapDefault {mso-style-type:export-only; margin-bottom:8.0pt; line-height:107%;} @page WordSection1 {size:595.3pt 841.9pt; margin:3.0cm 3.0cm 3.0cm 3.0cm; mso-header-margin:35.45pt; mso-footer-margin:35.45pt; mso-paper-source:0;} div.WordSection1 {page:WordSection1;} -->
Bab 11
VCO
Andhara dan teman-temannya sedang berunding di grup WA, untuk persiapan praktikum besok. Sesuai jadwal mereka akan besok akan membuat virgin coconut oil dari buah kelapa.
“Kita list daftar bawaan ya, siapa yang membawa kelapa, penyaring santan, baskom 3, plastik ukuran dua kilogram sepuluh buah, tali rapia, gayung, karet gelang, corong, teko bening atau botol bening, kapas, tisu, ember, air. Apalagi gaes?” tanya Andhara.
“Sepertinya sudah cukup, deh,” kata Mety.
“Sudah dek kayaknya, gue bawa kelapa sepuluh buah dan langsung parut,” kata Andhara.
“Lah kenapa nga beli santan saja?” tanya Ratih.
“Kalau beli santan, potensi gagalnya besar gaes, mending kita beli kelapa, biar seru,” kata Andhara menimpali.
“Ya, oke, terus perlengkapan lain bagaimana? Aku bagi ya,” usul Andhara dan disetujui oleh teman-temannya.
“Ratih, membawa tiga buah baskom, ingat kelapanya sepuluh buah, lo kira-kira saja ukuran baskomnya dan karet gelang sepuluh buah,” ujar Andhara.
“Mety, membawa penyaring santan, plastik ukuran dua kilogram sepuluh buah, tali rapia, gayung dan sendok,” sambung Andhara.
“Fazila, membawa gelas bening ukuran besar dua buah beserta tutupnya, botol bening dua buah beserta tutupnya.” Andhara menjelaskan tugas Fazila, setelah itu ia memberikan tugas Farena.
“Farena, membawa kapas steril dan tissu non parfum, corong plastik ukuran sedang serta cangkir plastik dan Dhira, membawa satu galon air,” lanjut Andhara.
“Bagaimana? Setuju nga?” tanya Andhara, dan dijawab dengan jelpol oleh teman-temannya.
“Besok jangan lupa pakai jas Lab ya gaes,” kata Dhira mengingatkan.
“Eh, memang harus pakai jas lab, ya? Jas lab gue hilang, setelah praktikum dua minggu yang lalu nga kelihatan lagi, sepertinya tinggal di Lab,” ujar Farena memelas.
“Eman jas Lab lo, sudah gue selamatin saat disuruh beberes lab sebelum ke Jakarta minggu lalu,” beritahu Andhara pada Farena.
“Eh, lo kok diam saja, nga ngabari gue? Gue sampai stres mikirin jas lab gue,” protes Farena.
“Maaf, lo tahu sendiri gue sibuk banget saat itu, ribet dengan persiapan ke Jakarta, ingat nga?” jas lab lo, sudah gue cuci, tenang besok gue bawa,” jelas Andhara.
“Alhamdulillah, okeh, makasih Andhara sayang,” sahut Farena.
“Gaes, sudah dulu ya, mau persiapan buat besok ini,” kata Ratih.
“Oke, sampai jumpa besok ya, assalamualaikum,” sahut yang lain sambil memutus sambungan video call.
***
Andhara lega karena persiapan untuk praktikum pembuatan VCO besok sudah didiskusikan, ia juga sudah memesan sepuluh kelapa dengan cara menelepon penjual kelapa yang ada di dekat sekolahnya.
Saatnya ia membaca informasi dari internet tentang virgin coconut oil, sebagai bekalnya untuk belajar besok. Andhara memang disiplin menutrisinya dirinya dengan membaca.
Andhara sudah mencetak beberapa artikel yang ia unduh dari internet ketika ponselnya berbunyi. Di layar ponsel tertera nama Pak Raksa Alkuna, dan Andhara langsung menerima panggilan itu.
[Assalamualaikum]
[Wa’alaikum salam]
[Andhara, tolong kamu ceritakan apa yang terjadi di ruang bimbingan dan konseling tadi, apa kamu punya kasus lagi?]
[Saya tidak bikin kasus, Pak, jadi tadi saya bertemu Bu Faiza ketika salat duhur, setelah selesai salat ia menyuruh saya ke ruangan bimbingan konseling dan tidak boleh terlambat]
[Lalu?]
[Lalu, Bu Faiza, menginterogasi saya, menanyakan bagaimana kedekatan saya dengan Pak Raksa terutama saat kita ke Pekan Expo Kimia SMA di Jakarta minggu lalu]
[Terus, kamu jawab bagaimana?]
[Ya, saya jawab apa adanya, bahwa saya cukup dekat dengan Bapak selayaknya guru dan siswa, saya sampaikan bahwa Bapak selalu mendampingi, membantu, membimbing dan melatih saya]
[Begitu saja?]
[Bu Faiza tidak percaya, beliau meragukan kejujuran saya, dia minta saya jujur karena beliau adalah guru bimbingan dan konseling, dia mengingatkan saya agar tidak jatuh cinta sama Pak Raksa, karena Pak Raksa adalah lelaki dewasa yang mencari istri dan bukan mencari pacar, dia bilang saya tidak boleh mengganggu Bapak]
[He he, kamu jawab bagaimana?]
[Saya bilang bahwa saya tidak pernah ada keinginan untuk pacaran, saya mau langsung dilamar]
[Kamu bilang begitu?]
[Iya, Pak]
[Terus responnya bagaimana?]
[Bu, Faiza jutek sama saya, dan menasehati saya agar tidak nikah muda, kuliah dulu]
[Kamu serius mau menikah setelah tamat SMA?]
[Iya, jika saya mau kuliah di Amerika, karena kata ayah, saya harus didampingi suami jika mau kuliah di luar negeri]
[Calonnya siapa?]
[Ayah yang cari]
[Masya Allah, memang mau dijodohin? Inikan ban bukan zaman Siti Nurbaya]
[Bagi saya, jodoh pilihan orang tua itu, pasti baik, nga mungkin ‘kan orang tua mencarikan jodoh anaknya seorang laki-laki tidak baik]
[Wah luar biasa]
[Pak Raksa kenapa nanyain Bu Faiza? Apa Pak Raksa naksir Bu Faiza]
[He he, nga lah, Bu Faiza bukan tipe saya]
[terus kenapa kepo dengan pertemuan kami tadi]
[Ya, saya takut saja jika Bu Faiza marahin kamu, karena]
[Kenapa Pak?]
[Emmm, karena kemarin pernyataan cinta beliau saya tolak]
[Serius Pak? Kenapa di tolak?]
[Karena bukan tipe saya, saya tidak cinta sama dia, bagi saya beliau hanyalah rekan kerja dan yang pasti saya sudah punya calon istri]
[Whats? Bapak sudah punya calon istri?]
[Iya, lah, apa kamu pikir saya terlalu jelek sampai tidak laku? Heh?]
[Bukan begitu Pak, pasti banyak yang akan patah hati]
[He he, oke, terima kasih ya, sudah malam, kamu cepat tidur, tapi jangan lupa salat isya dulu, ya]
[Siap, Pak, makasih] Andhata menutup telepon.
Andhara langsung lemas setelah menutup telepon, kerena mengetahui bahwa Raksa Alkuna sudah punya calon istri. Ia terdiam beberapa saat hingga akhirnya sadar bahwa Raksa Alkuna adalah gurunya, bukan pacarnya, jadi Andhara tidak berhak untuk cemburu.
***
Praktikum Kimia akan dimulai pada jam pertama, karena itu semua siswa yang satu kelas dengan Andhara langsung menuju ke laboratorium. Mereka langsung memposisikan diri di tempat yang sudah ditentukan.
Raksa Alkuna, sudah menyapa siswanya, ia kemudian memulai praktikum, mendemontrasikan sebuah teknik yang bisa digunakan untuk memisahkan virgin coconut oil dari santan kelapa. Raksa Alkuna memperagakan teknik guncang gantung yang disingkat dengan istilah TGG oleh Raksa Alkuna.
“Anak-anak, saya sudah mendemokan cara saya memisahkan virgin coconut oil dari santan kelapa, sekarang silahkan kalian diskusikan dengan anggota kelompok bagaimana cara mu, memisahkan VCO dari sampel yang kalian bawa, saya lihat ada yang membawa kelapa yang masih bulat, ada yang membawa kelapa parut dan ada juga yang membawa santan, tidak mengapa, yang penting kalian harus mendesain rancangan percobaan yang cocok dan mencatat setiap data yang di dapat serta menganalisa data dan membuat laporan percobaannya, lengkap dengan dokumentasi berupa foto dan video, jadi silahkan bekerja sama,” papar Raksa Alkuna dan kemudian membolehkan siswa-siswinya memulai percobaan.
Raksa Alkuna, berkeliling ke tiap-tiap kelompok, ia mengamati dan memberikan masukan serta menjawab beberapa pertanyaan siswa yang sedang mendesain langkah percobaan. Tidak ada format khusus yang diwajibkan Raksa pada siswanya dalam membuat rancangan percobaan, ada yang mendesain dengan membuat step by step menggunaman penomoran, ada yang mendeskripsikan dan ada pula yang membuat desain percobaan dengan cara membuat sket berupa rancangan gambar, semua siswa merdeka dalam berkreasi.
Raksa keluar laboratorium karena ada kelompok yang harus mengupas kelapa karena mereka membawa kelapa tua yang belum dikupas. Dengan cekatan Raksa memperagakan cara mengupak kelapa menggunakan parang. Beruntung kelompok itu hanya membawa tiga butir buah kelapa, jadi tidak terlalu lama mengupasnya, bayangkan jika membawa sepuluh kelapa.
Berpindah ke kelompok Andhara, terlihat mereka membagi kelapa parut menjadi tiga baskom dengan massa yang sama, mereka ingin memvariasikan lama waktu pengguncangan, lama penggantungan dan hubungannya dengan jumlah VCO yang dihasilkan.
Setelah kelapa dibagi ke dalam tiga baskom dengan massa yang sama kemudian Andhara dan teman-temannya menambahkan air ke dalam setiap baskom juga dengan volume yang sama. Selanjutnya mereka memeras kelapa dan melakukan penyaringan hingga didapat filtrat di masing-masing baskom. Filtrat santan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tiga plastik yang sudah disiapkan.
Ketiga plastik itu di ikat kuat dengan karet gelang, mereka tidak bisa mengikat dengan erat beruntung Raksa melihat dan langsung membantu.
“Nah setelah diikat sekarang plastik ini diberi tali untuk mengantungnya nanti, statifnya sudah ready?” tanya Raksa memastikan.
“Sudah, Pak, statif sudah dipasang,”
“Oke, saatnya mengguncang, berapa waktu yang digunakan?” tanya Raksa.
“Plastik pertama, sepuluh menit, platik kedua, dua puluh menit dan plastik ketiga, tiga puluh menit, Pak,” papar Andhara.
“Okeh, sekarang, jika semua sudah ready, kalian boleh mulai mengguncang, dengan frekuensi yang stabil ya.” Raksa Alkuna meninggalkan kelompok Andhara dan berjalan menuju kelompok lain.
Semua kelompok sibuk dengan tugas masing-masing, ada yang mencatat, ada yang memfoto dan memvideokan kegiatan, ada yang melakukan kegiatan.
Semua kelompok, sudah menggantung plastik berisi santan yang telas diguncang dengan berbagai variasi waktu.
“Anak-anak, untuk hari ini kegiatan cukup sampai di sini, besok kalian kembali mengamati setelah dua puluh empat jam. Untuk langkah selanjutnya besok akan saya peragakan, sekarang silahkan bersihkan sisa percobaannya setelah bersih boleh kembali ke kelas,” kata Raka menutup pembelajaran.
***
Keesokan harinya, semua kelompok menyerbu laboratorium untuk mengamati hasil percobaan pemisahan VCO. Ada yang santannya masih utuh tidak terpisah, ada yang terpisah sedikit, ada yang berhasil memisahkan VCO cukup banyak seperti kelompok Andhara.
Semua plastik yang kemarin berisi santan, saat ini sudah beruhan menjadi tiga lapisan, lapisan paling bawah adalah lapisan air, selanjutnya VCO dan galendo.
Raksa Alkuna memperagakan cara memisahkan air yang ada di dalam plastik. Ia membuat dua lubang di bagian bawah plastik dan membiarkan air keluar hingga habis. Setelah semua air terpisah, saatnya menampung campuran galendo dan VCO. VCO yang masih bercampur galendo itu kemudian di saring menggunakan corong yang sudah diberi kapas dan dilapisi kertas tisu.
Virgin coconut oil terlihat turun setetes demi setetes dan proses ini berlangsung cukup lama hingga semua minyak terpisah turun dan galendo tertinggal menjadi residu yang ada di atas kertas tisu.
Semua kelompok yang berhasil menisahkan VCO sudah mengukur volume VCO yang dihasilkan. Mereka membangdingkan perbedaan hasil berdasarkan variasi lama waktu guncangan.
Di kelompok Andhara, dihasilkan VCO yang lebih banyak pada plastik yang diguncang selama tiga puluh menit. Hingga mereka bisa menyimpulkan bahwa lama waktu guncang mempengaruhi jumlah virgin coconut oil yang dihasilkan. Semakin lama waktu guncang volume VCO yang dipisahkan semakin banyak.
VCO itu kemudian dimasukkan ke dalam botol plastik yang bening, setelah itu mereka diberi waktu untuk mempresentasikan hasil percobaannya, menulis laporan dan mempublikasikannya di dunia digital dalam bentuk foto dan video.
<!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Cambria Math"; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:1; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;} @font-face {font-family:Calibri; panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-469750017 -1073732485 9 0 511 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; margin-top:0cm; margin-right:0cm; margin-bottom:8.0pt; margin-left:0cm; line-height:107%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} p {mso-style-noshow:yes; mso-style-priority:99; mso-margin-top-alt:auto; margin-right:0cm; mso-margin-bottom-alt:auto; margin-left:0cm; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman",serif; mso-fareast-font-family:"Times New Roman";} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoPapDefault {mso-style-type:export-only; margin-bottom:8.0pt; line-height:107%;} @page WordSection1 {size:612.0pt 792.0pt; margin:72.0pt 72.0pt 72.0pt 72.0pt; mso-header-margin:36.0pt; mso-footer-margin:36.0pt; mso-paper-source:0;} div.WordSection1 {page:WordSection1;} -->
Bab 12
Voli
Andhara duduk di kursi suporter dengan sejuta rasa, apalagi melihat teman-temanya dengan kostum voli serba biru. Keenam pemain semua tampil berkerudung, dengan balutan celana panjang yang ditumpuk dengan celana club biru lebih tua. Andhara senang sekali karena berhasil membujuk teman-temannya untuk tetap turun lapangan dengan berhijab. Tadinya Dhira dan Fazila mau buka jilbab agar bisa tampil maksimal beruntung Andhara berhasil membujuk mereka untuk tetap menutup aurat.
“Untung saja gue nga terlambat,” kata Andhara pada Mety yang duduk di sebelahnya.
“Maksud lo?” tanya Mety.
“Itu tadi, si Dhira dan Fazila mau lepas jilbab, biar bisa main lebih leluasa,” sahut Andhara.
“Sumpe lo?” tanya Mety nga percaya.
“Nga mungkin lah gue bohong,” ujar Andhara.
“Ya, syukur deh, masa Cuma gara-gara turnamen voli sekolah mereka mau lepas jilbab,” komentar Mety.
“Btw, lo ntar turun nga?” tanya Mety.
“Ya, kalau mendesak pasti lah gue turun, tapi kalau aman nga perlukan,” jawab Andhara, ia nampak memperhatikan teman-temannya di lapangan ada Dhira, Fazila, Farena, Ratih, Fatimah dan Salma, yang sedang bersiap-siap sambil melakukan pemanasan kecil.
Ini adalah final turnamen voli sekolah yang merupakan agenda tahunan. Kelas Andhara di final ini berhadapan dengan kelas sebelas tujuh yang memiliki pemain-pemain hebat, bahkan beberapa diantaranya adalah pemain pelatnas.
“Priiiitt!” tanda pertandingan dimulai sudah terdengar,semua atlet sudah masuk ke lapangan. Sebenarnya Andhara juga masuk tim voli kelasnya, bahkan ia adalah spiker, hanya saja di pertandingan final ini ia hanya menjadi cadangan karena ingin memberikan kesempatan pada Salma yang juga punya smash hebat. Lagi pula Andhara tempo hari sibuk dengan persiapan Pekan Expo Kimia SMA di awal kegiatan sehingga ia tidak bisa turun bermain.
“Gue ngebayangin Lo, pakai gamis sporty dengan hijab syar’i dilapisi jersey club biru begitu keren banget tauk, pokoknya lo harus turun, lihat itu di seberang ada Bu Faiza yang dari tadi memperhatikan kita,” Bisik Mety. Mety tidak bisa main voli Ia jagonya main ping pong.
“Memang kenapa jika ada Bu Faiza?” tanya Andhara juga berbisik.
“Ya, dia ngawasin lo lah, secara, dia ‘kan menganggap lo itu saingan beratnya,” jawab Mety.
“Maksud lo?”
“Hadeh lama banget loading lo, itu lihat di pojok kiri, siapa itu?”
“Wah, ada Pak Raksa, apa dia ikutan nonton?” tanya Andhara heran.
“Ya wajarlah dia ikutan nonton, ini ‘kan sesi final, lagian semua guru juga nonton ‘kan?”
“Iya, sih,” kata Andhara. Lalu mereka mulai fokus ke lapangan.
***
Dua babak sudah berlalu, kekuatan 1-1, ini adalah babak ketiga, skor 9-14 untuk kelas sebelas tujuh. Andhara, Mety dan semua teman temannya sedang deg-degan tidak tenang menyaksikan pertandingan yang penuh cucuran keringat itu, stamina kedua belah pihak mulai menurun, tapi semangat mereka masih menyala.
Sorak sorai penonton tidak kalah seru dengan spike-spike yang ditepuk sang atlet. Gor sekolah ini riuh dengan suara sporter, membuat keseruan dan semangat pemain tetap membara.
“Priiit,” salah seorang pemain cedera, dan ternyata Salma spiker tim kelas Andhara yang terpeleset dan sepertinya kaki Salma terkilir. Pertandingan berhenti sejenak, Salma ditandu keluar lapangan dan ditangani tim kesehatan.
“Sana turun lo, seru Mety pada Andhara yang sudah bersiap-siap,”
“Iya-iya, bawel amat lo,” omel Andhara sambil berlari masuk lapangan.
Semua mata tertuju pada Andhara, tidak terkecuali Raksa Alkuna yang dari tadi menyaksikan jalannya pertandingan. Betapa tidak, Andhara tampil berbeda, iya tampil dengan gamis biru sporty yang dilapisi jersey tim kelas mereka, di dalam gamis sporty yang ia kenakan tentu saja ada celana training. Jika teman-temannya memakai jilbab kaos minimalis Andhara tetap memakai jilbab maksimalis, hanya saja tidak berkibar karena ditimpa jersey biru longgar yang baru ia sorongkan. Namun penampilannya tidak menghalangi permainan Andhara.
“Itu Andhara?” tanya Raksa Alkuna setengah menjerit, begitu pindah ke dekat Mety.
“Eh, Pak Raksa, iya Pak,” jawab Mety gugup, mimpi apa dia guru idola satu sekolah tiba-tiba duduk di sampingnya.
“Wah, hebat, permainannya bagus, Atlet juga ternyata,” sahut Raksa Alkuna dengan mata tak berkedip dari sosok Andhara yang dengan perkasa melepaskan spike demi spike.
Gamis sporty biru dan hijab kaos biru jumbo yang dikenakan tidak menghambat gerakan Andhara, tetap gesit, jilbab panjang itu berkibar di bagian bawah, karena bagian atas tertahan oleh jersey, keringat Andhara bercucuran, lebih sebulan ini dia tidak memegang si kulit bundar, tapi hari ini dia harus turun membantu timnya untuk menang di final, untung saja tadi Andhara sudah melakukan pemanasan.
Set kelima segera dimulai, set penentuan dengan posisi 2-2, tim sebelas tujuh tidak bisa ditaklukkan dengan mudah. Para Atlet turun minum sejenak sambil menyeka keringat yang bercucuran, Andhara tak sengaja melihat ke arah Mety. Seketika darah Andhara mengalir deras melihat sosok Raksa Alkuna yang duduk di sebelah sahabatnya itu. Andhara grogi, tapi tidak menurunkan semangatnya.
“Priiit!” pertandingan set terakhir dimulai, Andhara mengerahkan semua kemampuannya, memukul setiap bola dengan keras dan berakhir dengan skor untuk timnya. Raksa Alkuna tidak rela melepas momen ini berlalu begitu saja, semenjak set kelima, Raksa merekam pertandingan dengan ponselnya.
“Masya Allah, jago banget Andhara,” gumam Raksa Alkuna, tapi tak terdengar oleh siapapun, karena GOR itu sangat riuh.
Pertandingan semakin memanas, 2 angka lagi tim Andhara akan menang, dan spike Andhara masuk, telak menghajar wajah kapten tim sebelas tujuh. Belum habis tepuk tangan dan histeris penonton satu spike dengan loncatan tinggi kembali dipukul Andhara dan masuk.
“Priiit!” pertandingan berakhir dengan kemenangan Tim kelas Andhara.
Suasana GOR panas dan riuh, tapi sportivitas tetap terjaga, kedua tim saling bersalaman.
Andhara dan kawan-kawan sangat senang, tak sabar menunggu momen selebrasi. Setelah selebrasi, Andhara dan teman-teman keluar lapangan dan beristirahat. Mereka belum terlihat meninggalkan GOR, karena semua pasti ingin melihat final voli putra, dan klo bagi para cewek-cewek sudah pasti ingin melihat spike dan loncatan cowgan-cowgan idola mereka.
***
Pertandingan telah usai, semua siswa dan guru bersiap-siap meninggalkan GOR termasuk tim Andhara.
“Eh, Salma bagaimana?” tanya Andhara kepada Mety.
“Salma sudah diurut tadi, kakinya terkilir, sekarang ada di UKS,” jawab Mety.
“Sendiri?” tanya Andhara.
“Nga lah, ditemani zahra dan Sarah, Papanya juga sedang otw buat menjemput,” papar Mety pada Andhara yang mengkhawatirkan kondisi teman satu kelasnya itu. Walaupun beda kelompok belajar tapi Andhara tetap kompak dengan teman-temannya yang lain, hanya saja teman satu kelompoknya menjadi lebih spesial karena mereka sering menghabiskan diskusi bersama.
“Ayo ke UKS,” ajak Andhara.
Kemudian mereka, semua siswi satu kelas berjalan menuju UKS, sampai di UKS Om Wilson Papa Salma ternyata sudah ada di sana dan sedang berbincang-bincang dengan Pak Raksa Alkuna. Entah kapan guru kimia itu meninggalkan GOR.
“Terima kasih ya, pak Raksa, saya izin membawa Salma pulang,” pamit Wilson.
“Silahkan, Pak, semoga Salma cepat pulih,” kata Raksa Alkuna.
“Amin,” jawab Wilson sambil memapah Salma.
***
“Andhara, tunggu!” seru Raksa Alkuna yang melihat Andhara berjalan menuju motornya yang menunggu dengan sabar di parkiran.
“Iya, Pak, ada apa?” jawab Andhara.
“Sebentar,” pinta Raksa dan Andhara menunggu di samping motornnya.
“Selamat ya, saya tidak menyangka kamu jago banget main voli,” puji Raksa.
“Terima kasih, Pak, semua berkat kerja sama tim,” jawab Andhara senang, karena Raksa Alkuna memujinya. Entah apa yang terjadi pada diri Andhara, karena setiap melihat Raksa jantungnya pasti berdetak lebih kencang.
“Luar biasa, spike kamu tidak kalah kuat dengan spikenya Manganang,” kata Raksa lagi.
“Manganang pemain voli putri idola saya, Pak, tapi sekarang tidak lagi semenjak ia sudah menemukan jati dirinya.” Jawab Andhara.
“Idola kamu sekarang siapa?” tanya Raksa.
“Idola saya sekarang, teh Kiwil,” sahut Andhara seraya membuka jok motornya untuk meletakkan tumbler dan box makanan.
“Kiwil juga hebat, oke hati-hati, saya pamit dulu ya.” Raksa berjalan menuju mobilnya yang diparkir di area khusus guru dan tenaga kependidikan.
***
Raksa sudah berada di dalam mobil, ia sengaja belum meninggalkan sekolah, Raksa menunggu Andhara melaju dengan motor matic yang ia kendarai. Raksa tersenyum sendiri, ia baru mengetahui bahwa calon istrinya itu juga jago main voli, Raksa Alkuna tidak menyangka gadis hijaber itu bisa meloncat tinggi untuk memukul bola.
Rumah Andhara tidak jauh dari sekolah, sebelum sampai di rumah ia berhenti di sebuah mini market untuk membeli beberapa cemilan untuk menemaninya menulis novel di platform digital besok. Andhara memang rutin update tulisan setiap Ahad dan tanggah merah.
Andhara sedang memilih-milih kripik kentang ketika seseorang menyenggolnya hingga membuat beberapa snack jatuh dari rak. Andhara buru-buru menyusun kembali snack itu dengan rapi seraya minta maaf pada orang yang menyenggolnya.
“Maaf,” kata Andhara kaget, ternyata orang itu guru BK nya, Ibu Faiza.
“Bu, Faiza, maaf,” sambung Andhara.
“Andhara, saya sudah peringati kamu untuk tidak dekat-dekat dengan Pak Raksa Alkuna, tapi nyatanya kamu masih dekat dengan dia, kenapa?”
“Buk, saya juga tidak tahu, Bu, tadi Pak Raksa yang memanggil saya di parkiran,” jawab Andhara.
“Ya, seharusnya kamu menghindar dan tidak menanggapi Pak Raksa,” ujar Faiza.
“Maaf, Bu, mengapa begitu? Saya rasa Ibu punya alasan pribadi, di luar profesi Ibu sebagai guru Bimbingan Konseling,” sahut Andhara, ia merasa ada yang tidak wajar dengan tingkah guru BK nya itu.
“Betul, saya suka Pak Raksa, dan sedang memperjuangkan perasaan saya,” jawab Faiza jujur. Mereka berdua tidak tahu bahwa dibalik rak ada sepasang telinga yang mendengarkan. Telinga itu milik Raksa Alkuna. Ia tadi melihat Faiza menyusul masuk mini market setelah Andhara masuk ke mini market itu. Dan benar saja, ternyata lagi-lagi Faiza mengintimidasi Andhara.
Raksa menahan diri, ia tidak ingin membuat keributan di mini market, Raksa sudah cukup tahu keadaan yang terjadi, ia sudah mendengarnya sendiri. Dan mau tidak mau ia harus melakukan sesuatu, mungkin ia akan berbicara dengan Faiza dan menegaskan bahwa ia sudah memiliki calon istri yang sangat ia cintai.
Raksa bergegas keluar mini market, dan kembali ke dalam mobilnya, dari dalam mobil ia melihat Andhara berjalan keluar dan kembali mengendarai motor menuju rumah.
Tidak lama setelah Andhara pergi, Faiza juga keluar dari mini market. Raksa Alkuna turun dari mobil dan segera menemui Faiza.
“Assalamualaikum, Bu, Faiza, bisa bicara sebentar,” kata Raksa kepada Faiza.
“Pak, Raksa, tentu saja, dengan senang hati,” sahut Faiza.
“Kita duduk di sana.” Raksa berjalan menuju kios boba yang ada di depan mini market itu.
“Bu, Faiza, saya mendengar semua yang Ibu sampaikan kepada Andhara di dalam mini market tadi,” kata Raksa membuka pembicaraan.
“Pak Raksa nguping?”
“Iya, tadi saya melihat Ibu menguntit Andhara ke dalam mini market,” sahut Raksa tegas.
“Maaf Bu, Ibu adalah guru bimbingan konseling, saya rasa lebih tahu, sepertinya tidak tepat jika Ibu melakukan intimidasi seperti itu kepada siswa,”
“Ya, saya hanya memperingati Andhara saja, tidak lebih,” jawab Faiza membela diri.
“Oke, dan maaf jika saya harus kembali mengatakan bahwa saya sudah punya calon istri, saya tidak bisa membalas perasaan Ibu, maaf,” ujar Raksa sambil menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada.
“Pak Raksa, saya rasa kita tidak berhak mengatur perasaan seseorang, bapak tahu jika saya suka sama bapak, biarkan saya berjuang untuk mendapatkan cinta bapak, walaupun saya tahu bapak sudah memiliki calon istri, saya akan mundur jika bapak sudah mengenalkan calon istri bapak, jangan harap saya percaya jika belum ada bukti.” Sahut Faiza berkobar.
“Sepertinya ibu perlu ke konselor, bahkan ke psikiater,” sahut Raksa seraya berdiri, ia membayar es boba yang tadi dipesan dan kemudian berlalu meninggalkan Faiza yang masih duduk dengan menahan emosi. Ia tidak terima dengan kalimat terakhir yang diucapkan Raksa Alkuna.
***
Andhara sudah berada di kamarnya, ia sudah mandi, sudah makan dan sekarang santai sambil melihat-lihat ponselnya. Sendiri di rumah membuat Andhara kesepian, Ibu dan Ayahnya belum pulang dari kantor masing-masing.
“Ting,” ponsel Andhira menerima notifikasi. Ia melihat nama Pak Raksa di layar ponselnya. Benar sekali, Raksa mengirimkan sebuah video ke Andhara. Vdeo itu adalah video yang diambil Raksa ketika menonton pertandingan voli di GOR tadi.
Andhara fokus melihat video yang dikirim Raksa, ia baru sadar bahwa permainannya sangat bagus, tepat seperti pujian pak Raksa. Andhara sampai tidak percaya bahwa pemain itu adalah dirinya.
Tak berapa lama beberapa video menyusul dikirim Raksa, nyaris semua permainan Andhara di record oleh Raksa Alkuna, bahkan ada beberapa foto Andhara yang sedang meloncat tinggi saat mau memukul bola.
“Masya Allah, keren banget video dan foto-foto ini, pak Raksa fotografer keren ternyata,” gumam Andhara seorang diri.
[Makasih Pak] Andhara mengucapkan terima kasih dengan voice note.
[kembali kasih] balas Raksa juga dengan voice note. Dan itu sukses membuat Andhara klepek-klepek.
Raksa masih di jalan menuju rumahnya, ia senyum-senyum sendiri mengingat voice note yang ia kirim. Jujur ia sudah tidak sabar untuk bisa melamar siswinya itu.
[Jerseynya dilelang nga?] tanya Raksa masih dengan voice note.
[He he, memang saya atlet proliga yang jerseynya bisa laku jutaan?] balas Andhara kembali dengan voice note.
[Lima juta, dilepas nga? Lagian kamu ‘kan kamu sudah mau ujian akhir, tidak akan ada lagi pertandingan voli hingga kelulusan] papar Raksa.
[Pak, jangan bercanda dong]
[Serius, saya mau beli jersey kamu lima juta]
[Pak, nga usah dibeli, besok saya kasih free setelah saya cuci]
[Nga usah dicuci, saya mau yang beraroma keringat atletnya]
[Buat apa pak?]
[Ya, ‘kan biasanya memang begitu, penggemar mau jersey yang bekas dipakai idolanya main]
[Tapi ‘kan saya bukan idola, Pak Raksa]
[Kata siapa?] tanya Raksa.
[Ya ‘kan memang begitu, saya siswa dan bapak guru saya]
[He he, iya, ya, maaf keceplosan saya, ini gara-gara sering kontak dengan bocah SMA]
[Oke, selamat istirahat, ingat jerseynya lupa]
[Dicuci nga, Pak?]
[Iya, masa bau keringat kamu he he he] jawab Raksa disertai tawanya yang khas.
[Siap, Pak, oh ya Pak agenda kemping Minggu depan jadi ‘kan?]
[Insya Allah, jadi, tadi sudah ditanda tangani oleh ibu Wahyuni]
[Asyik, nga sabaran mau kemping, hitung-hitung healing sebelum ujian akhir]
[Sabar dong, satu minggu lagi, besok akan ada pengumuman resminya di grup sekolah]
[Oke, Pak, makasih]
[Kembali kasih] jawab Raksa lagi.
[Ha ha ha] balas Andhara dengan tawa lepas. Kemudian balas-balasan voice note itu berakhir.
Di dalam mobilnya Raksa kembali tersenyum, ia ingin segera menyampaikan kepada Faiza bahwa calon istrinya adalah Andhara, tapi itu tidak mungkin. Karena Abdul Hanif dan Deswita juga Ibunya Salma sudah mengatakan bahwa Andhara akan diberitahu ketika sudah kelulusan. Bahkan Raksa merasa waktu dua bulan lagi terasa s<!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Cambria Math"; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:1; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;} @font-face {font-family:Calibri; panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-469750017 -1073732485 9 0 511 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; margin-top:0cm; margin-right:0cm; margin-bottom:8.0pt; margin-left:0cm; line-height:107%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoPapDefault {mso-style-type:export-only; margin-bottom:8.0pt; line-height:107%;} @page WordSection1 {size:595.3pt 841.9pt; margin:3.0cm 3.0cm 3.0cm 3.0cm; mso-header-margin:35.45pt; mso-footer-margin:35.45pt; mso-paper-source:0;} div.WordSection1 {page:WordSection1;} -->
Bab 13
Pengabdian
Berbeda dengan tahun sebelumnya, tahun ini sekolah Andhara merancang kegiatan kokurikuler yang berbeda. Kegiatannya adalah kegiatan pengabdian masyarakat yang akan dilaksanakan minggu depan selama 3 hari, ditambah survei lokasi yang akan dilakukan hari ini. Kegiatan pengabdian masyarakat ini akan diikuti oleh siswa kelas dua belas.
Hari ini tim survei turun ke lokasi yang dipilih, sebuah desa pasang surut di tepi hutan mangrove. Tim survei itu terdiri dari Ibu Wahyuni kepala sekolah, Ibu Yose kepala Laboratorium, Mister Dedi pembina OSIS, Pak Raksa Alkuna ketua panitia dan tiga orang siswa yaitu Andhara, Jefri dan Ratih.
Perjalanan ke Desa Endah Lestari bisa ditempuh dalam waktu dua jam menggunakan mobil, dilanjutkan dengan naik motor selama tiga puluh menit. Perjalanan dengan motor bisa diganti dengan perjalanan air menggunakan pompong.
Rombongan sudah sampai di Desa Endah Lestari dan disambut oleh kepala desa. Setelah menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan kepada kepala desa, selanjutnya mereka berkeliling desa dengan berjalan kaki. Mereka melakukan observasi untuk merancang program yang akan dilaksanakan sebagai pengabdian di desa itu.
Hampir dua jam mereka berkeliling, mendata setiap potensi yang bisa dikembangkan berdasarkan sudut pandang masing-masing. Selesai berkeliling mereka melakukan diskusi di aula balai desa.
Diskusi dipimpin oleh Wahyuni kepala sekolah, didampingi kepala desa dan Raksa Alkuna. Seluruh tim survei menyampaikan hasil observasinya secara bergantian. Termasuk Andhara ia menyampaikan hasil bincang-bincang dengan ibu-ibu yang tadi berkumpul di posyandu.
“Tadi saya berbincang-bincang dengan banyak warga desa terutama Ibu-Ibu, mereka mengeluh dengan kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng, itu poin yang saya temukan. Dan saya menanyakan mengapa mereka tidak membuat minyak goreng sendiri, padahal di desa ini banyak sekali pohon kelapa. Alasan mereka adalah, membuat minyak kelapa sendiri membutuhkan waktu dan bahan bakar serta tenaga yang banyak, tidak seimbang dengan hasilnya, mereka butuh waktu berjam-jam untuk mengodok santan menjadi minyak kelapa. Nah saya rasa kita bisa memberikan solusi dalam hal ini, saya ingin membuat program pelatihan membuat minyak kepala yang mudah dan efisien kepada Ibu-Ibu, mulai dari pengolahan sampai peking dan penjualannya nanti, sepertinya saya akan fokus pada hal ini,” papar Andhara.
“Luar biasa, saya rasa ini sangat bagus dan Andhara langsung saya tunjuk untuk koordinatornya didampingi Pak Raksa Alkuna. Bagaimana dengan Ratih dan Jefri? Apa yang kalian temukan?” tanya Wahyuni pada dua siswa yang lain.
“Saya tadi fokus pada aktivitas remaja putri di desa ini, Bu, di sini banyak sekali pohon nipah, saya rasa mereka bisa memanfaatkan daun nipah untuk kemasan wajik, tadi saya mencicipi wajik produksi remaja yang dikemas dengan kertas minyak, nah saya punya ide untuk mengemas wajik itu dengan daun Nipah sehingga lebih unik dan dalam pengolahannya nanti akan dibuat beberapa varian. Nanti akan dibekali juga hingga cara penjualan dan promosi di media sosial dan online shop, dari saya seperti itu, Bu,” papar Ratih.
“Wah, ide yang bagus, Ratih yang bertanggungjawab mendesain kegiatannya di dampingi Ibu Yose ya, sekarang giliran Jefri. Silahkan,” kata Wahyuni.
“Terima kasih, Bu, saya tadi juga mendengarkan keluhan warga dengan kualitas air yang ada, air di sini adalah air gambut yang berwarna coklat kehitaman, dan relatif tidak bisa digunakan untuk kebutuhan sehari-hari warga selama ini mengandalkan air hujan untuk kebutuhan minum dan memasak sedangkan untuk mandi cusi kakus mereka menggunakan air sumur yang tidak bisa dikatakan bening dan tawar. Nah dari hasil temuan ini saya ingin membuat program penjernihan air, agar warga bisa mengolah air gambut sehingga bisa digunakan untuk kehidupan sehari-hari,” kata Jefri dengan penuh semangat, apalagi saat matanya beradu pandang dengan Ratih, Jefri semakin bersemangat, karena Jefri masih mengharapkan cinta Ratih.
“Oke, tidak salah kami memasukkan Andhara, Ratih dan Jefri dalam tim survei ini, ternyata kalian memiliki kemampuan observasi yang luar biasa, saya setuju, memang di daerah gambut dan pasang surut seperti ini, air menjadi permasalahan utama. Oke, Jefri kamu yang handle ya didampingi Mister Dedi, tapi prinsipnya setiap kita tetap saling membantu.” Wahyuni kemudian meminta pendapat dari kepala desa terhadap tiga rencana program yang akan mereka lakukan selama tiga hari di desa Endah Lestari.
Kepala desa sangat terharu dengan program yang akan mereka lakukan di desa yang ia pimpin dan kepala desa berjanji akan membantu memfasilitasi kerja sama warga dan beliau sangat mendukung kegiatan pengabdian masyarakat ini.
***
Andhara sudah berada di rumah, perjalanan hari ini cukup melekahkan, mereka berangkat jam tujuh pagi dan sampai di rumah jam lima sore. Beruntung saat tiba di rumah Deswita dan Abdul hanif sudah menyambutnya dengan penuh kasih sayang. Ibunya sudah menyiapkan tumis cumi cabe hijau yang di mix dengan gurita. Sedangkan Ayahnya Abdul hanif sedang menikmati kopi dan goreng pisang.
“Sudah salat?” tanya Deswita.
“Sudah, Bu, sekarang lapar banget ini,” adu Andhara dengan memegang perutnya yang dari tadi keroncongan. Mereka tadi makan siang di balai desa, hanya saja Andhara tidak berselera makan, ia hanya makan sedikit, karena lidahnya mendeteksi penyedap yang berlebihan pada masakan. Andhara tidak terbiasa memasak mengunakan monosodium glutamat merek apa saja.
“Memang tadi tidak makan?” tanya Deswita.
“Makan Bu, tapi sedikit, masakannya pakai penyedap jadi Andhara nga selera makan.” Andhara langsung menuju meja makan.
“Bersih-bersih dulu dong, mandi gih, baru makan, dari jauh begitu langsung menuju meja makan saja, bagaimana sih, anak gadis? Protes Deswita.
“Iya, Bu, siap,” jawab Andhara seraya bergegas menuju kamarnya. Tidak berapa lama ia sudah keluar lagi.
“Waduh, belum lima menit sudah selesai saja mandinya?” tanya Deswita.
“Mandi Kambing dulu, Bu, habis makan nanti baru mandi benaran, lapar banget ini,” sahut Andhara.
“Hadeh, yo wes, makan gih,” suruh Deswita.
“Siap.” Andhara menyerbu meja makan. Ia mengambil tiga sendok nasi dan dihiasi dengan tumis cumi gurita asam manis, mengambil segelas air dan berjalan menuju Deswita yang sedang membaca majalah di sebelah Abdul Hanif.
“Idih, kok makannya di sini?” tanya Abdul Hanif.
“Kangen, sama Ayah,” jawab Andhara sambil menawarkan sesendok nasi pada Ayahnya.
“Ayah sudah makan, kamu makan yang kenyang dan setelah itu istirahat,” kata Abdul Hanif.
“Siap, ndan,” jawab Andhara, ia mulai melahap kelezatan seafood masakan Ibunya Deswita.
“Aneh, katanya dari Desa Endah Lestari, e malah makan seafoodnya di rumah,” kata Andhara setelah selesai makan.
“Memang guru-guru nga ngajak makan?” tanya Deswita.
“Ngajak, Bu, tapi ya, itu tadi masakannya pakai penyedap,” jawab Andhara.
“Nah, besok kamu bisa sekalian edukasi warga tentang zat aditif pada makanan, sampaikan bahayanya dan beri solusi dengan pemakaian zat aditif alami, beri contoh-contohnya kalau perlu Andhara demoin cara memasak tanpa penyedap buatan,” tutur Deswita.
“Wah ide bagus, Bu. Support dana ya,” bujuk Andhara.
“Kalau dana urusannya dengan Ayah,” jawab Deswita seraya melirik suaminya.
“Iya-iya, buat dulu program dan proposalnya, nanti Ayah support, memangnya program kalian apa saja?” tanya Abdul Hanif.
“Ada tiga, program besarnya, yaitu: pembuatan minyak kelapa, wajik nipah dan penjernihan air, nah nati untuk masakan sehat akan kami hadirkan di hari terakhir saat jamuan makan perpisahan, rencananya begitu, Ayah,” jawab Andhara.
“Okeh, itu yakin bisa dilaksanakan dalam tiga hari?” tanya Abdul Hanif.
“Jadi malam ini Andhara akan buat proposal untuk pembuatan minyak kelapa, Ratih membuat proposal pembuatan Wajik Nipah dan Jefri mambuat proposal penjernihan air. Nanti Andhara sekalian buat proposal jamuan makan sembari mengedukasi cara membuat masakan sehat tanpa zat aditif buatan kepada warga. Nah besok, kami akan briefing tentang pelaksanaan, sumber dana dan lain sebagainya.” Jelas Andhara dengan penuh semangat, wajar saja ia baru saja makan dua piring nasi dengan cumi dan gurita.
“Biar manfaat, sebaiknya kalian langsung menyiapkan peralatan yang nanti dijadikan inventaris desa, jadi buat kelompok yang akan bertanggung jawab mengelola pembuatan minyak kelapa, Wajik Nipah dan Penjernihan air. Siapkan alat dan bahannya, kalian bisa sokongan atau cari dana dari sponsor,” usul Abdul Hanif.
“Andhara mau lelang jersey voli, ada yang mau beli lima juta,” kata Andhara spontan.
“Lima juta? Siapa yang mau beli jersey voli kamu liam juta? Ha ha ngeyel,” sahut Deswita tidak percaya.
“Ya, Ibu, nga percaya, ada kok yang mau beli,” jawab Andhara.
“Siapa?” tanya Deswita kepo.
“Ha ha, itu, pak Raksa Alkuna, beliau mau beli jersey Andhara lima juta, bagaimana? Lepas nga? Bu?” tanya Andhara minta pendapat.
“Raksa Alkuna? Serius?” tanya Deswita dan Abdul Hanif berbarengan.
“Iya, Bu serius, kata Pak Raksa, ia ngefans sama Andhara, gara-gara tempo hari melihat Andhara main voli di final turnamen sekolah,” jawab Andhara.
“Ya, jual saja, uangnya bisa untuk kegiatan itu, seperti membeli mesin parut kelapa, beli tungku baja yang besar, kuali besar, box transparan untuk wadah santai, kemasan minyaknya, mesin pres plastik kemasan, labelnya, jadi sampai disana tinggal eksekusi, siapkan semua alat dan bahan dari sini, begitu juga untuk pembuatan Wajik Nipah dan Penjernihan air, siapkan drum-drum plastik dari sini, pompa air dan semuanya saat kalian berangkat sudah harus sekalian dibawa, sehingga waktu tiga hari cukup untuk melaksanakan semuanya.” Abdul Hanif memberi masukan kepada Andhara panjang lebar. Sebagai orang proyek tentulah Ayah Andhara itu paham betul teknik bekerja efisien, tepat waktu, tepat mutu dan tepat biaya.
“Makasih, Ayah, besok akan Andhara sampaikan ke teman-teman, dan kami juga akan mencari donatur dari orang tua siswa, kami akan mengirimkan link donasi di grup wa yang disertai nomor rekening donasi. Nah Ayah dan Ibu bantu yang banyak ya,” bujuk Andhara.
“Iya-iya, Ayah donasi satu juta,” kata Abdul Hanif.
“Ibu lima ratus deh,” jawab Deswita.
“Makasih Ayah Ibu, dan dari Pak Raksa lima juta, Masya Allah sudah bisa untuk beli-beli peralatan produksi minyak kelapa,” kata Andhara senang.
***
Jersey birunya sudah disetrika dan difoto, kemudian foto itu dikirimkan Andhara ke Raksa Alkuna dengan caption, lelang for donasi desa Endah Lestari.
Ting! Notifikasi masuk di ponsel Raksa Alkuna yang baru saja membaringkan tubuhnya di kasur. Ia bergegas meraih ponsel yang ada di nakas. Melihat ada pesan dari Andhara, Raksa tersenyum dan segera membuka pesan itu. Raksa tersenyum lebih lebar melihat foto jersey biru dan caption yang dikirim calon istrinya itu. Dalam hati ia memuji sikap Andhara.
[Siap, saya ambil jerseynya, kirim nomor rekening kamu, ya] balas Raksa Alkuna.
[Serius, Pak?]
[Iya, lah]
[Oke, besok saya bawa jerseynya dan sekalian belanja peralatan untuk memproduksi miyak kelapa di Desa Endah Lestari]
Lalu Raksa mengubah cara komunikasi menjadi panggilan telepon, ia menanyakan rencana Andhara.
[Saya sudah selesai membuat proposal untuk program pembuatan minyak kelapa dan rencananya semua alat yang dibutuhkan harus langsung dibawa kelokasi agar kita bisa memanfaatkan waktu dengan efektif dan efisien]
[Nah, ini baru keren, saya akan temani kamu belanja besok, jangan lupa kirim nomor rekening, saya akan transfer]
[Besok saja, Pak]
[Jangan, saya takut kamu berubah pikiran]
[Baiklah, saya kirim ya]
Pembicaraan ditelepon selesai, ponsel Andhara kembali berbunyi, ternyata Raksa sudah mentransfer uang sebanyak sepuluh juta rupiah. Melihat angka yang tidak sesuai akhirnya Andhara menelepon Raksa.
[Assalamualaikum, Pak, sepertinya bapak salah kirim]
[Nga salah, lima juta untuk donasi Desa Endah Lestari dan lima juta untuk kamu, terserah mau digunakan untuk apa]
[Serius, Pak?]
[Iya]
[Saya beli buku-buku bacaan dan membuat pojok baca di Desa Endah Lestari boleh?]
[Aneh ya, kok kamu bisa punya ide-ide dadakan yang hebat begitu ya?’ puji Raksa heran.
[Saya kasihan saja melihat minimnya sarana literasi di desa itu Pak, jadi nanti kita buat perpustakaan mini, agar warga bisa membaca buku di sela aktivitasnya]
[Oke, saya dukung, luar biasa, sekarang kamu tidur, jangan lupa salat isya dulu]
[Makasih, Pak] jawab Andhara.
***
Sama dengan Andhara Jefri juga sudah selesai membuat proposal penjernihan air, bedanya adalah jika Andhara diskusi dengan Raksa Alkuna, maka Jefri diskusi dengan Ratih. Kegiatan ini mengakrabkan mereka. Walaupun Ratih sudah menyampaikan bahwa ia tidak mau pacaran lagi, tetap saja Jefri tidak bisa melupakan Ratih begitu saja. Ia sudah nekat akan melamar gadis itu setelah kelulusan.
Ratih sebenarnya juga suka dan cinta dengan Jefri, tapi Ratih bisa menata hatinya, ia tidak ingin lagi sengaja melanggar aturan Allah, ia tidak mau lagi berdua-duaan, dan sepertinya Ratih setuju dengan opsi menikah setelah tamat SMA. Namun bagaimana dengan orang tuanya? Tentu Ratih berharap agar kedua orang tuanya setuju.
[Ratih, menurut kamu bagaimana?]
[Aku setuju, jadi memang sebaiknya drum yang digunakan adalah drum plastik yang besar, karena jika memakai drup besi, tentu nanti akan berkarat ‘kan,” jawab Ratih.
[Oke, kita diskusi lagi besok ya, assalamualaikm] Jefri memutuskan sambungan teleponnya.
Di kamarnya Ratih, tersenyum sendiri, pengalaman pacaran selama satu minggu tempo hari membuat Ratih merasa lucu, mengapa ia mau maunya ditembak Jefri. Tapi apapun itu, saat ini Ratoh akan berpegang teguh pada perintah Allah, Allah menyuruh manusia untuk menjauhi zina, karena zina adalah perbuatan keji yang nyata. Makanya ia bertekad untuk tidak pacaran untuk mendapatkan jodoh, ia ingin pacaran setelah menikah. Dan kalau bisa jodohnya adalah Jefri.
<!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Cambria Math"; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:1; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;} @font-face {font-family:Calibri; panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-469750017 -1073732485 9 0 511 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; margin-top:0cm; margin-right:0cm; margin-bottom:8.0pt; margin-left:0cm; line-height:107%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoPapDefault {mso-style-type:export-only; margin-bottom:8.0pt; line-height:107%;} @page WordSection1 {size:595.3pt 841.9pt; margin:3.0cm 3.0cm 3.0cm 3.0cm; mso-header-margin:35.45pt; mso-footer-margin:35.45pt; mso-paper-source:0;} div.WordSection1 {page:WordSection1;} -->
Bab 14
Endah Lestari
Hari ini seluruh siswa kelas dua belas sibuk prepare untuk kegiatan pengabdian masyarakat di Desa Endah Lestari. Semua kelas dibagi ke dalam kelompok dusun-dusun, satu kelas akan mengabdi di satu dusun. Programnya sama, yaitu pembuatan minyak kelapa, pembuatan wajik nipah dan penjernihan air.
Di ruang osis semua perangkat kelas dua belas tengah briefing, Andhara, Ratih, Jefri dan Raksa Alkuna yang memandu kegiatan itu. Mereka menyampaikan bahwa ada sepuluh buah dusun yang ada di Desa Endah Lestari, semua kegiatan pelatihan rencananya akan dilakukan secara gabungan di hari pertama di kantor balai desa. Agendanya adalah demontrasi.
Pada hari kedua kelas-kelas bertanggungjawab untuk mendampingi setiap dusun dalam implementasi program yang sudah disampaikan dihari pertama. Dengan rincian: untuk Kelompok ibu-ibu akan membuat minyak kelapa, untuk remaja putri membuat wajik nipah dan untuk bapak-bapak dan pemuda akan melakukan penjernihan air.
***
Setelah briefing semua pengurus kelas kembali ke kelas masing untuk menyampaikan informasi tersebut kepada anggota kelasnya dan mendiskusikan persiapan lanjutan. Salah satunya adalah persiapan tempat menginap. Desa tidak memiliki gedung untuk menampung seluruh siswa, maka disepakati untuk siswa laki-laki akan membuat kemah mereka tidur di tenda sedangkan untuk siswa akan tidur di rumah warga sedangkan panitia inti diberi tempat di kantor balai desa, untuk kemudahan koordinasi kegiatan.
Sementara itu tim inti sedang mengkalkulasikan pengeluaran, mereka akan membeli sepuluh mesin parut kelapa, sepuluh kuali besar, sepuluh tungku baja, sepuluh alat press kemasan, sepuluh pack plastik kemasan, dua puluh baskom besar, dua puluh buah box plastik bening ukuran besar, untuk program membuat minyak kelapa. Jadi setiap dusun akan mendapatkan bantuan satu set alat yang lengkap.
Program pembuatan wajik nipah, juga akan belanja, namun tidak terlalu banyak yang harus dibeli karena lebih ke kemasan dan varian rasa. Berbeda dengan program penjernihan air, mereka akan memberi dua puluh drum plastik, sepuluh mesin air, pipa-pipa dan segala pernak-pernik, pH meter dan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk menjernihkan air seperti tawas dan kaporit serta alat-alat untuk filtrasinya.
Andhara menyampaikan laporan keuangan, semua donasi dan sumbangan yang diterima sudah lebih dari cukup untuk belanja semua peralatan itu. Dan Andhara juga menyampaikan bahwa ia ingin membuat perpustakaan sederhana di desa Endah Lestari dan menyediakan uang sebesar lima juta rupiah untuk pembelian buku-buku dan bahan literasi yang lain.
Semua menyambut baik rencana Andhara dan malah ada tambahan donasi berupa buku-buku yang akan disumbangkan oleh para siswa secara suka rela.
***
Semua peralatan sudah dibeli dan siap diantar besok ke Desa Endah Lestari. Bersama dengan kedatangan rombongan. Ada tiga ratus dua puluh orang siswa yang berangkat ke Desa Endah Lestari, sebagiannya adalah laki-laki, sebanyak seratus lima puluh orang. Mereka akan tidur di dalam tiga puluh tenda. Setiap kelas akan membangun tiga tenda, sehingga satu tenda akan dihuni lima orang. Tiga puluh tenda sudah ada, dan lokasi tapak tenda juga sudah ditentukan , tenda akan dibangun di tebing tepi sungai sehingga ketika air pasang tenda tetap aman. Beruntung di desa itu ada tebing seperti perbukitan kecil yang dibentuk dari lapisan tanah gambut.
Setiap siswa yang menginap ditenda wajib membawa air minum untuk kebutuha pribadi sebagai antisipasi kesulitan air minum, sedangkan untuk mandi mereka akan memanfaatkan sungai, masalah yang belum tersolusikan adalah kurangnya Toilet atau kakus, sehingga menjelang keberangkatan kepala desa berjanji akan menyiapkan beberapa toilet dengan biaya yang disiapkan dari donasi yang ada, selanjutnya toilet itu akan menjadi inventaris Desa.
***
Siswa tidak dibebankan untuk mengeluarkan sumbangan dengan jumlah tertentu, semua bebas berdonasi sesuai kemampuan masing-masing. Beruntung di sekolah tersebut banyak anak pengusaha yang memberikan donasi cukup besar sehingga bisa menutupi semua kebutuhan.
Persiapan sudah oke, besok rombongan akan berangkat dengan beberapa buah bus. Peralatan dibawa mengunakan truk dan di perbatasan desa mereka ditunggu oleh beberapa pompong besar untuk mengangkat semua perlengkapan dan juga rombongan.
Setelah beberapa jam perjalanan dengan segala kendala dan tantangan yang ada akhirnya mereka sudah sampai di Desa Endah Lestari. Semua peralatan langsung diturunkan di kantor balai desa. Seluruh siswa langsung membangun tenda di lokasi yang sudah ditentukan begitu juga para siswa sudah berada di rumah penduduk yang ditunjuk. Sedangkan panitia inti yang terdiri dari Bu Wahyuni, Bu Yose, Mister Dedi, Pak Raksa Alkuna, Andhara, Ratih dan Jefri menginap di kantor balai desa. Ada dua buah kamar yang mereka tempati, satu kamar untuk laki-laki dan satu kamar untuk wanita.
<!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Cambria Math"; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:1; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;} @font-face {font-family:Calibri; panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-469750017 -1073732485 9 0 511 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; margin-top:0cm; margin-right:0cm; margin-bottom:8.0pt; margin-left:0cm; line-height:107%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoPapDefault {mso-style-type:export-only; margin-bottom:8.0pt; line-height:107%;} @page WordSection1 {size:595.3pt 841.9pt; margin:3.0cm 3.0cm 3.0cm 3.0cm; mso-header-margin:35.45pt; mso-footer-margin:35.45pt; mso-paper-source:0;} div.WordSection1 {page:WordSection1;} -->
Dari jendela kamar Raksa Alkuna melihat Andhara dan Ratih yang sedang berinteraksi dengan beberapa pemuda yang tengah menyusun kursi, terlihat juga ada Jefri dan Mister Dedi. Raksa ingin segera menyusul mereka yang sudah berbaur dengan para pemuda, saling berkenalan dan memulai cerita, tapi matanya tak lepas dari kursi-kursi yang sudah ditata.
Semua kursi telah tersusun rapi, jumlahnya lumayan banyak sekitar lima ratus buah. Raksa mengerutkan keningnya, apa kegiatan yang dipusatkan di satu desa ini efektif? Karena semua siswa berkumpul di desa ini.
“Huffff.” Raksa menghembuskan napas lepas setelah menghirup udara sebanyak-banyaknya.
“Tapi ‘kan nanti mereka akan fokus ke masing-masing dusun,” gumam Raksa pada dirinya sendiri. Ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa program ini tidak salah desain. Lagi pula nanti akan ada refleksi dan evaluasi kegiatan untuk perbaikan di masa yang akan datang.
“Optimis, semangat seribu persen!” teriak Raksa seorang diri dan hanya di dengar oleh dirinya sendiri. Dengan langkah pasti Raksa keluar kamar dan berbaur dengan yang lain. Hanya Bu Wahyuni dan Bu Yose yang masih istirahat di kamar, maklum saja guru-guru senior itu sudah berumur, jadi memang labih baik beliau istirahat.
Tidak berapa lama terdengan suara azan dari masjid yang ada di depan kantor balai desa. Tanpa menunggu ketiga laki-laki itu melangkah menuju masjid begitu juga dengan warga desa yang ada di sana.
Raksa Alkuna merinding melihat air yang digunakan untuk berwudhu, airnya berwarna coklat hitam, nah air inilah yang nantinya akan dijernihkan agar standar dan aman digunakan. Tidak hanya Raksa, Jefri sampai memejamkan mata saat berwudhu, ia tidak tega membasahi wajahnya dengan air itu.
***
Setelah makan siang dari bekal yang dibawa, siswa siswi mulai berkumpul, mereka duduk berdampingan dengan pasukan dari dusun masing-masing. Sudah jam dua, Andhara masih bingung mencari gas butana portable yang sudah dibeli untuk bahan bagas kompor gas yang sengaja ia bawa.
“Ratih, bagaimana dong? Warga sudah berkumpul semua sambutan-sambutan pejabat sudah, tapi gas butana malah nga ketemu? Bagaimana dong?” tanya Andhara panik.
“Jangan panik, masih ada waktu, kamu bisa jelaskan yang lain dulu sembari aku cari gas butana,” jawab Ratih.
“Oke, aku mulai kegiatan ya, kamu cari gas nya, atau tanyain sama pak Raksa, siapa tahu ia melihat.” Andhara bergegas keluar kamar, keluar kantor balai desa dan langsung menuju tenda. Di depannya duduk Bu Wahyuni, Bu Yose, Pak Raksa, Mister Dedi, kepala desa dan para kepala dusun.
“Assalamu’alaikum,” selamat siang bapak Ibu?” sapa Andhara seraya menyampaikan pengantar dan berbasa-basi, serta perkenalan dengan semua panitia dan perangkat desa.
“Waalaikum salam,”
“Bapak-ibu mohon perhatikan, dalam waktu tiga hari bapak ibu akan belajar cara mengolah buah kelapa menjadi minyak sayur dengan cara yang mudah. Kemudian belajar membuat wajik nipah dengan aneka varian dan kita juga akan mengadakan pelatihan penjernihan air,” kata Andhara memulai kegiatan.
“Kita mulai dengan mendemokan cara membuat minyak goreng dari kelapa, prinsipnya sama santan kelapa akan dipanaskan tapi tidak membutuhkan waktu yang lama. Dan hasilnya juga lebih awet alias tidak tengik,” jelas Andhara.
“Ini adalah kelapa parut yang berasal dari sepuluh buah kelapa, sama, kelapa ini kemudian kita peras hingga menghasilkan santan yang kental,” sambung Andhara.
“Apa masalah terbesar yang bapak ibu alami saat membuat minyak goreng dari kelapa? Tanya Andhara pada warga.
“Lama, Mbak, butuh kayu banyak,” kata salah seorang warga.
“Kenapa bisa lama?” pancing Andhara.
“Karena ‘kan harus sampai jadi minyak,” sahut yang lain.
“Karena tidak seimbang antara modal dan pemasukan,”
“Oke, sepertinya warga desa ini mengalami masalah yang sama, yaitu sama-sama merasa bosan, lelah, capek membuat minyak goreng, memanfaatkan buah kelapa yang melimpah dan membanjiri desa ini. Baik karena itu kami hadir untuk membantu bapak ibu.”
“Sekarang lihat toples kerupuk besar ini.” Andhara mengangkat toples plastik bening yang sudah berisi santan, Andhara sengaja juga membawa santan yang sudah diendapkan.
“Bapak ibu, lihat apa yang ada di dalam toples ini,” tanya Andhara setelah toples besar dan bening itu diletakkan diatas meja demontrasi.
“Ya, betul, ini adalah santan kelapa yang sudah terpisah menjadi dua lapisan. Lapisan pertama atau paling bawah adalah air dan lapisan atasnya galendo yang kental. Sekarang tugas kita adalah membuang lapisan air sehingga yang tersisa adalah galendo.” Andhara memperagakan toplesnya.
“Bagaimana? Terlihat nga? Beda lapisannya?” tanya Andhara.
“Terlihat!” jawab semua.
“Nah kelapa yang sudah saya peras, saya diamkan terlebih dahulu, hingga terbentuk dua lapisan, yaitu lapisan air dan lapisan galendo yang mengandung minyak. Biasanya ibu-ibu langsung menggodok santan ‘kan? Makanya butuh waktu yang lama untuk menggodok, karena harus menguapkan semua air terlebih dahulu. Nah sekarang sebelum digodok airnya kita buang terlebih dahulu, sehingga yang kita godok adalah galendo, jadi sebentar saja minyak sudah terbentuk, tidak perlu menunggu lama tidak perlu bahan bakar yang banyak.” Papar Andhara.
“Oke, lihat ini, di bagian bawah toples ini sudah saya beri kran untuk membuang lapisan air. Oke, kita coba ya.” Lalu Andhara mulai membuang lapisan air yang terdapat dibagian bawah toples sampai semua air terpisah dan hanya galendo yang tertinggal di toples. Setelah itu ia memasukkan galendo ke dalam kuali besar untuk digodok.
“Ibu, selanjutnya galendo ini kita godok dengan api kecil, karena airnya sudah terpisah maka galendo akan langsung berubah menjadi minyak goreng dan cikmiak, tanpa harus menunggu berjam-jam.” Andhara mulai mengaduk dan ibu-ibu mulai mendekat karena penasaran.
Tidak sampai setengah jam minyak sudah benar-benar terbentuk dan galendo kering nya sudah berwarna coklat keemasan.
“Ibu-ibu, sekarang kita tinggal saring, ya,” kata Andhara. Lalu siswi berhijab syar’i itu menyaring minyak menggunakan saringan.
“Bagaimana ibu-ibu?” tanya Andhara minta pendapat.
“Masyaallah, luar biasa ya, cepat prosesnya, hasilnya banyak, bening warnanya juga kuning keemasan,” komentar seorang warga.
“Iya, InsyaAllah juga tidak mudah tengik karena pemanasannya menggunakan api kecil, jadi antioksidannya terjaga.” Andhara memperagakan minyak goreng hasil karyanya yang masih panas.
“Kalau panas seperti ini jangan langsung dimasukkan ke dalam botol plastik, langsung meleyot botolnya, makanya saya masukkan ke dalam teko kaca ini terlebih dahulu, setelah dingin baru kita pindahkan,” jelas Andhara.
“Mau tanya mbak,” kata seorang ibu sambil mengangkat tangan.
“Ya, silahkan, Bu,”
“Kelapa yang digunakan apakah harus yang tua kering atau bagaimana?”
“Kalau untuk kelapa, bebas saja ya ibu-ibu, tapi yang lebih bagus tentu kelapa yang sudah tua, agar hasil minyaknya lebih banyak. Jadi mulai saat ini ibu-ibu bisa memproduksi minyak goreng sendiri, disinikan banyak kelapa, saya lihat kurang dimanfaatkan. Nah sekarang ibu-ibu bisa manfaatkan buah kelapa itu untuk memproduksi minyak goreng dan bisa dipasarkan juga di KUD atau di onlineshop,” terang Andhara.
“Jadi ini bagaimana kelanjutannya mbak?” tanya ibu kadus.
“Nah, ibu-ibu, untuk penjelasan itu, nanti akan disampaikan oleh guru kami, nanti, karena sekarang kita akan melihat demo wajik nipah, yang akan disampaikan oleh teman kami Ratih, silahkan,” kata Andhara sembari menyerahkan pengeras suara kepada Ratih.
Kemudan Ratih mulai menjelaskan bahwa mereka akan membantu warga khususnya remaja putri untuk memodifikasi kemasan dan variasi rasa.
“Kakak-kakak, saya lihat di desa ini banyak pohon nipah, nah kita akan memanfaatkan daun kering nipah ini untuk kemasan wajik, sehingga lebih organik, unik dan tradisional,” jelas Ratih.
Kemudian Ratih memperagakan cara mengemas wajik menggunakan daun nipah dan juga cara pemasarannya melalui media sosial.
***
Saatnya giliran Jefri, ia akan mendemokan cara menjernihkan air, menjelaskan alat dan bahan yang dibutuhkan.
“Bapak-bapak, abang-abang untuk menjernihkan air kita butuh wadah yang besar, kali ini kita akan menggunakan drum plastik. Kita butuh dua drum, yang satu berfungsi untuk menampung bahan baku air dan drum satu lagi untuk menampung air hasil saringan,” jelas Jefri.
“Kita akan menyedot air dari sungai, menggunakan pompa air dan langsung dimasukkan ke dalam drum. Drum ini kita letakkan di tempat yang lebih tinggi, nah kami sudah menyiapkan mini towernya.” Jefri melihatkan mini tower yang ia maksud.
“Nah, air ini bisa kita tambahkan dengan bahan kimia, yaitu tawas, kaporit atau kapur gamping. Untuk takarannya, kita butuh tiga sendok makan tawas untuk seribu liter air untuk kekeruhan sedang. Untuk air yang sangat keruh jumlah tawas bisa ditambahkan maksimal sampai enam sendok,” jelas Jefri.
“Jika ingin menggunakan kaporit takarannya adalah satu sampai tiga sendok makan untuk seribu liter air sedangkan untuk batu kapur gamping sama dengan tawas kita butuh tiga sampai enam sendok makan untuk seribu liter air.,” jelas Jefri yang didengar dan diperhatikan dengan sangat antusias oleh semua warga desa.
“Untuk kali ini kita akan menggunakan tawas untuk menjernihkan air ini. Fungsi tawas ini adalah untuk mengendapkan kotoran-kotoran atau partikel-partikel air. Sehingga setelah enam jam air yang keruh akan menjadi jernih, oke sekarang kita coba caranya,” kata Jefri.
“Bapak-bapak dan abang-abang, bagaimana cara menambahkan tawas ke dalam air kotor? Ada yang tahu nga?” tanya Jefri.
“Dicampurkan, Bang, dan diaduk,” jawab seorang pemuda.
“Betul, dicampurkan dan diaduk,” kata yang lain.
“Nah, oke, betul ya bapak dan abang-abang, tawas akan kita campur ke dalam air, tapi tidak langsung dimasukkan ke dalam drum.” Jelas Jefri. Kemudian Jefri langsung mendemokannya. Ia melarutkan tiga sendok makan tawas ke dalam seember air, kemudian air yang sudah ditambahkan tawas itu dituangkan ke dalam air keruh dan di aduk.
“Nah, setelah air tawas dituangkan ke dalam drum, kita tinggal menunggu, selama enam jam, setelah enam jam air akan mulai jernih dan setelah seharian akan semakin jernih, jadi jika kita tambahkan tawas di sore hari, maka besok pagi air sudah jernih,” kata Jefri.
Kemudian terlihat terjadi interaksi dan tanya jawab, Jefri menjelaskan dan memberikan tanggapan atas semua respon warga yang sangat antusias. Setelah beberapa waktu, akhirnya Jefri menutup sesi yang ia sampaikan dan menyerahkan pengeras suara kepada Andhara.
“Bapak ibu, sekarang kita akan mendengarkan penjelasan program ini dengan lebih rinci, nah untuk ini akan disampaikan oleh Bapak Raksa Alkuna.
***
Raksa Alkuna menyapa warga dan ia mulai menjelaskan bahwa, setiap dusun akan didampingi oleh satu kelas siswa yang nantinya akan dibagi ke dalam kelompok siswa dan siswi, siswa akan mendampingi program penjernihan air dan siswi akan mendampingi program pembuatan minyak goreng dan wajik nipah.
“Jadi bapa-ibu, setiap dusun akan mendapatkan bantuan alat untuk pembuatan minyak kelapa, mesin parut kelapa, tungku, toples besar, kuali besar, ember, mesin press kemasan, kemasannya dan labelnya. Begitu juga untuk pembuatan wajik dan penjernihan air semua alat dan bahan akan kami berikan satu set untuk satu dusun,” kata Raksa Alkuna yang disambut sorak sorai tepuk tangan meriah oleh seluruh warga.
Setelah Raksa Alkuna menyampaikan penjelasan, dilanjutkan oleh Ibu Wahyuni dan di tutup oleh kepala desa. Selanjutnya mereka akan memulai kegiatan besok pagi pada jam delapan pagi.
Para siswa sudah kembali ke tenda masing-masing, tenda yang dibangun di atas tebing gambut di tepi sungai. Tebing itu bukan lah tebing seperti pada umumnya, hanya gundukan tanah gambut yang lebih tinggi dari dataran yang lain. Dan saat pasang tebing itu tidak terendam air, makanya kemah di buat di sana.
Hari mulai petang, siswa SMA itu mulai membuat api ungun di depan tenda masing-masing, sebagian dari mereka ada yang ngemil, bercanda, ada yang mandi ke sungai dan ada yang berbaring di dalam tenda, semua melakukan aktivitas dengan suka cita, sebelum terdengar jeritan dari arah sungai.
“Tolong, Ari tenggelam!” teriah salah seorang siswa dari arah sungai. Para siswa langsung berlarian ke arah sungai, beberapa orang langsung meloncat ke air pasang berwarna coklat itu. Semua yang berkumpul deg-deg an dan cemas, wajah mereka tegang tidak ada yang tersenyum sedikitpun. Beberpa waktu berlalu dan Alhamdulillah ada yang bisa meraih tangan ari. Ari sudah tertolong dan pemuda berkaca mata tebal itu sudah dibawa ke tepi.
Jefri dan Raksa Alkuna sudah berada di TKP, mereka berusaha memberikan pertolongan pada Ari. Beruntung Ari tidak mengalami cidera apapun. Setelah kejadian itu Raksa mengingatkan agar para siswa yang mandi di sungai harus lebih hati-hati. Apalagi saat air sedang pasang.
***
<!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Cambria Math"; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:1; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;} @font-face {font-family:Calibri; panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-469750017 -1073732485 9 0 511 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; margin-top:0cm; margin-right:0cm; margin-bottom:8.0pt; margin-left:0cm; line-height:107%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoPapDefault {mso-style-type:export-only; margin-bottom:8.0pt; line-height:107%;} @page WordSection1 {size:612.0pt 792.0pt; margin:72.0pt 72.0pt 72.0pt 72.0pt; mso-header-margin:36.0pt; mso-footer-margin:36.0pt; mso-paper-source:0;} div.WordSection1 {page:WordSection1;} -->
Tidak sampai setengah jam minyak sudah benar-benar terbentuk dan galendo kering nya sudah berwarna coklat keemasan.
“Ibu-ibu, sekarang kita tinggal saring, ya,” kata Andhara. Lalu siswi berhijab syar’i itu menyaring minyak menggunakan saringan.
“Bagaimana ibu-ibu?” tanya Andhara minta pendapat.
“Masyaallah, luar biasa ya, cepat prosesnya, hasilnya banyak, bening warnanya juga kuning keemasan,” komentar seorang warga.
“Iya, InsyaAllah juga tidak mudah tengik karena pemanasannya menggunakan api kecil, jadi antioksidannya terjaga.” Andhara memperagakan minyak goreng hasil karyanya yang masih panas.
“Kalau panas seperti ini jangan langsung dimasukkan ke dalam botol plastik, langsung meleyot botolnya, makanya saya masukkan ke dalam teko kaca ini terlebih dahulu, setelah dingin baru kita pindahkan,” jelas Andhara.
“Mau tanya mbak,” kata seorang ibu sambil mengangkat tangan.
“Ya, silahkan, Bu,”
“Kelapa yang digunakan apakah harus yang tua kering atau bagaimana?”
“Kalau untuk kelapa, bebas saja ya ibu-ibu, tapi yang lebih bagus tentu kelapa yang sudah tua, agar hasil minyaknya lebih banyak. Jadi mulai saat ini ibu-ibu bisa memproduksi minyak goreng sendiri, disinikan banyak kelapa, saya lihat kurang dimanfaatkan. Nah sekarang ibu-ibu bisa manfaatkan buah kelapa itu untuk memproduksi minyak goreng dan bisa dipasarkan juga di KUD atau di onlineshop,” terang Andhara.
“Jadi ini bagaimana kelanjutannya mbak?” tanya ibu kadus.
“Nah, ibu-ibu, untuk penjelasan itu, nanti akan disampaikan oleh guru kami, nanti, karena sekarang kita akan melihat demo wajik nipah, yang akan disampaikan oleh teman kami Ratih, silahkan,” kata Andhara sembari menyerahkan pengeras suara kepada Ratih.
Kemudan Ratih mulai menjelaskan bahwa mereka akan membantu warga khususnya remaja putri untuk memodifikasi kemasan dan variasi rasa.
“Kakak-kakak, saya lihat di desa ini banyak pohon nipah, nah kita akan memanfaatkan daun kering nipah ini untuk kemasan wajik, sehingga lebih organik, unik dan tradisional,” jelas Ratih.
Kemudian Ratih memperagakan cara mengemas wajik menggunakan daun nipah dan juga cara pemasarannya melalui media sosial.
***
Saatnya giliran Jefri, ia akan mendemokan cara menjernihkan air, menjelaskan alat dan bahan yang dibutuhkan.
“Bapak-bapak, abang-abang untuk menjernihkan air kita butuh wadah yang besar, kali ini kita akan menggunakan drum plastik. Kita butuh dua drum, yang satu berfungsi untuk menampung bahan baku air dan drum satu lagi untuk menampung air hasil saringan,” jelas Jefri.
“Kita akan menyedot air dari sungai, menggunakan pompa air dan langsung dimasukkan ke dalam drum. Drum ini kita letakkan di tempat yang lebih tinggi, nah kami sudah menyiapkan mini towernya.” Jefri melihatkan mini tower yang ia maksud.
“Nah, air ini bisa kita tambahkan dengan bahan kimia, yaitu tawas, kaporit atau kapur gamping. Untuk takarannya, kita butuh tiga sendok makan tawas untuk seribu liter air untuk kekeruhan sedang. Untuk air yang sangat keruh jumlah tawas bisa ditambahkan maksimal sampai enam sendok,” jelas Jefri.
“Jika ingin menggunakan kaporit takarannya adalah satu sampai tiga sendok makan untuk seribu liter air sedangkan untuk batu kapur gamping sama dengan tawas kita butuh tiga sampai enam sendok makan untuk seribu liter air.,” jelas Jefri yang didengar dan diperhatikan dengan sangat antusias oleh semua warga desa.
“Untuk kali ini kita akan menggunakan tawas untuk menjernihkan air ini. Fungsi tawas ini adalah untuk mengendapkan kotoran-kotoran atau partikel-partikel air. Sehingga setelah enam jam air yang keruh akan menjadi jernih, oke sekarang kita coba caranya,” kata Jefri.
“Bapak-bapak dan abang-abang, bagaimana cara menambahkan tawas ke dalam air kotor? Ada yang tahu nga?” tanya Jefri.
“Dicampurkan, Bang, dan diaduk,” jawab seorang pemuda.
“Betul, dicampurkan dan diaduk,” kata yang lain.
“Nah, oke, betul ya bapak dan abang-abang, tawas akan kita campur ke dalam air, tapi tidak langsung dimasukkan ke dalam drum.” Jelas Jefri. Kemudian Jefri langsung mendemokannya. Ia melarutkan tiga sendok makan tawas ke dalam seember air, kemudian air yang sudah ditambahkan tawas itu dituangkan ke dalam air keruh dan di aduk.
“Nah, setelah air tawas dituangkan ke dalam drum, kita tinggal menunggu, selama enam jam, setelah enam jam air akan mulai jernih dan setelah seharian akan semakin jernih, jadi jika kita tambahkan tawas di sore hari, maka besok pagi air sudah jernih,” kata Jefri.
Kemudian terlihat terjadi interaksi dan tanya jawab, Jefri menjelaskan dan memberikan tanggapan atas semua respon warga yang sangat antusias. Setelah beberapa waktu, akhirnya Jefri menutup sesi yang ia sampaikan dan menyerahkan pengeras suara kepada Andhara.
“Bapak ibu, sekarang kita akan mendengarkan penjelasan program ini dengan lebih rinci, nah untuk ini akan disampaikan oleh Bapak Raksa Alkuna.
***
Raksa Alkuna menyapa warga dan ia mulai menjelaskan bahwa, setiap dusun akan didampingi oleh satu kelas siswa yang nantinya akan dibagi ke dalam kelompok siswa dan siswi, siswa akan mendampingi program penjernihan air dan siswi akan mendampingi program pembuatan minyak goreng dan wajik nipah.
“Jadi bapa-ibu, setiap dusun akan mendapatkan bantuan alat untuk pembuatan minyak kelapa, mesin parut kelapa, tungku, toples besar, kuali besar, ember, mesin press kemasan, kemasannya dan labelnya. Begitu juga untuk pembuatan wajik dan penjernihan air semua alat dan bahan akan kami berikan satu set untuk satu dusun,” kata Raksa Alkuna yang disambut sorak sorai tepuk tangan meriah oleh seluruh warga.
Setelah Raksa Alkuna menyampaikan penjelasan, dilanjutkan oleh Ibu Wahyuni dan di tutup oleh kepala desa. Selanjutnya mereka akan memulai kegiatan besok pagi pada jam delapan pagi.
Para siswa sudah kembali ke tenda masing-masing, tenda yang dibangun di atas tebing gambut di tepi sungai. Tebing itu bukan lah tebing seperti pada umumnya, hanya gundukan tanah gambut yang lebih tinggi dari dataran yang lain. Dan saat pasang tebing itu tidak terendam air, makanya kemah di buat di sana.
Hari mulai petang, siswa SMA itu mulai membuat api ungun di depan tenda masing-masing, sebagian dari mereka ada yang ngemil, bercanda, ada yang mandi ke sungai dan ada yang berbaring di dalam tenda, semua melakukan aktivitas dengan suka cita, sebelum terdengar jeritan dari arah sungai.
“Tolong, Ari tenggelam!” teriah salah seorang siswa dari arah sungai. Para siswa langsung berlarian ke arah sungai, beberapa orang langsung meloncat ke air pasang berwarna coklat itu. Semua yang berkumpul deg-deg an dan cemas, wajah mereka tegang tidak ada yang tersenyum sedikitpun. Beberpa waktu berlalu dan Alhamdulillah ada yang bisa meraih tangan ari. Ari sudah tertolong dan pemuda berkaca mata tebal itu sudah dibawa ke tepi.
Jefri dan Raksa Alkuna sudah berada di TKP, mereka berusaha memberikan pertolongan pada Ari. Beruntung Ari tidak mengalami cidera apapun. Setelah kejadian itu Raksa mengingatkan agar para siswa yang mandi di sungai harus lebih hati-hati. Apalagi saat air sedang pasang.
***
<!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Cambria Math"; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:1; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;} @font-face {font-family:Calibri; panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-469750017 -1073732485 9 0 511 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; margin-top:0cm; margin-right:0cm; margin-bottom:8.0pt; margin-left:0cm; line-height:107%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoPapDefault {mso-style-type:export-only; margin-bottom:8.0pt; line-height:107%;} @page WordSection1 {size:595.3pt 841.9pt; margin:3.0cm 3.0cm 3.0cm 3.0cm; mso-header-margin:35.45pt; mso-footer-margin:35.45pt; mso-paper-source:0;} div.WordSection1 {page:WordSection1;} -->
Bab 15
Berbuat
Malam pertama di Desa Endah Lestari, semua perangkat kelas berkumpul di balai desa, mereka mengadakan briefing untuk kegiatan besok. Briefing dipimpin oleh Mister Dedi, beliau menjelaskan bahwa kegiatan besok akan dilakukan di setiap dusun dan akan dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: kelompok minyak goreng, kelompok wajik nipah dan kelompok penjernihan air.
Mister Dedi meminta data penanggung jawab setiap kelompok kepada masing-masing ketua kelas. Mister Dedi juga menyampaikan bahwa setiap kelompok harus bertanggung jawab dengan program masing-masing, mencatat semua peristiwa, mendata, mendokumentasikan dalam bentuk foto dan video. Setiap kelompok juga akan membuat laporan kegiatan. Serta secara individu akan membuat laporan deskriptif.
“Jadi dalam laporan kegiatan nanti, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yang jelas harus terlihat kolaborasi antar mata pelajaran, misalnya mata pelajaran bahasa Indonesia, bahasa Inggris, matematika, ekonomi, kimia atau mata pelajaran lain dalam pembahasannya, ya seperti yang sudah kita bahas sebelum keberangkatan. Karena ini memang tugas kokurikuler, jadi anak-anak jangan lengah dengan data dan dokumentasi,” papar Mister Dedi sambil menaikkan bahu dan mendowerkan bibirnya.
“Ada yang meragukan?” tanya Mister Dedi.
“Untuk laporan kelompok, berarti satu untuk semua ya, Mister? Maksudnya satu kelompok, misal kelompok minyak goreng ada sepuluh orang maka laporannya cukup satu ‘kan?” tanya Mety minta penguatan.
“Iya, benar sekali Mety, jadi untuk laporan kelompok cukup satu saja, tetapi setiap siswa wajib membuat laporan individu dengan cara mendeskripsikan, dari awal sampai akhir kegiatan, langkah demi langkahnya, so, tentu ini akan berbeda untuk setiap orang, karena sifatnya individual sesuai pengalaman pribadi dan gunakan bahasa sendiri,” jawab Mister Dedi tegas dan pasti.
“Dalam bentuk digital atau manual mister?” tanya Dhira.
“Oh, ya, saya hampir lupa, laporan kelompok dibuat dengan format ilmiah ya, kumpulkan di website sekolah dan juga laporan cetaknya. Sedangkan untuk laporan deskriptif yang untuk individu itu harus ditulis tangan dengan tulisan yang panjang, rapi dan jelas,” jawab mister Dedi yang disahut dengan kegalauan oleh semua hadirin.
“Mister, nga salah? Tahun 2022 harus membuat laporan tulis tangan?” protes Dhira
“Kenapa?” tanya mister Dedi.
“Ya, sudah jarang menulis mister,” jawab Dhira.
“Nah, maka dari itu, untuk laporan indivudu harus ditulis tangan,” jawab mister Dedi menekan ucapannya.
“Oke, saya rasa untuk laporan sudah jelas, sekarang kita perlu bahas tentang distribusi peralatan. Malam ini kita akan bagi perkelompok, namun semua masih di kantor balai desa, besok pagi jam enam, ketua kelompok yang akan menjempit ke sini dan membawa peralatan itu ke dusun masing-masing,” jelas mister Dedi.
“Bisa dipahami ya?” tanya mister Dedi memastikan.
“Paham, mister,” jawab para siswa.
“Oke, jangan lupa untuk piket yang berugas menyiapkan makanan per kelompok, jangan sampai ada yang tidak makan, dan bagi yang putra tolong hati-hati, apalagi saat di sungai, jangan sampai kejadian tadi sore terulang. Tolong hati-hati. Termasuk saat membuat api ungun di depan tenda, ingat tanah di sini adalah tanah gambut, mudah terbakar jadi pastikan lokasi kalian membuat api aman, tempo hari sudah kita bicarakan bahwa harus di alas seng bagian bawah tungku agar api tidak merayap ke gambut. So, tolong di cek lagi di tenda masing-masing,” pesan mister Dedi.
“Pak, Raksa, ada tambahan?” tanya mister Dedi pada Raksa Alkuna.
“Iya, hanya mengingatkan saja, tolong jaga sikap, hormati warga, jangan lakukan hal-hal yang melanggar norma-norma, tunjukkan bahwa kalian adalah pelajar yang berakhlak, itu saja,” ucap Raksa.
“Baik, briefing cukup sampai di sini, kalian kembali ke posko, ke tenda masing-masing, tolong yang laki-laki antar dulu teman perempuan satu kelas kalian sampai ke poskonya, selamat istirahat, kita besok butuh tenaga yang banyak.” Mister Dedi menutup briefing dan semua perangkat kelas kembali ke posko masing-masing.
Pagi hari di desa Endah Lestari berbeda dengan pagi di kota, di sini kemunculan mentari disambut kicauan burung yang bersautan, menjadi energi tersendiri gabi para siswa yang sedang antri mengambil peralatan yang menjadi jatah kelompoknya.
Tidak hanya siswa, mereka juga dibantu muda-mudi bahkan orang dewasa, ada yang membawa mesin parut kelapa, tungku baja, drum, pipa dan banyak lagi yang lain.
Ibu Wahyuni, mengontrol program pembuatan minyak goreng, beliau berkeliling dari satu dusun ke dusun yang lain didampingi Andhara. Hampir di semua dusun kegiatan berlangsung lancar, paling ada kendala-kendala kecil yang biasa ditemukan saat memarut atau memeras kelapa.
Pada dasarnya ibu-ibu sudah mahir membuat minyak kelapa hanya saja tanpa proses pengendapan, sehingga membutuhkan waktu yang lama, namun setelah mengetahui teknik pengendapan dan memisahkan air dan galendo, maka semua menjadi bersemangat, terbukti belum satu jam mereka sudah bisa membuat beberapa liter minyak kelapa.
“Target hari ini,seratus buah kelapa,” kata ibu kadus.
“Siap,” kata ibu-ibu yang lain.
“Wah nanti, minyak yang sudah dingin langsung kita masukkan ke dalam kemasan dan langsung kita beli label,” kata Andhara.
“Tapi ini baru label biasa ya, ibu-ibu, nanti jika sudah lancar produksinya, desa akan membantu mengurus izin nya ke dinas terkait,” jelas Andhara.
“Semangat!” kata ibu kadus dan dijawab “Semangat seribu persen!” jawab ibu-ibu yang lain.
<!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Cambria Math"; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:1; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;} @font-face {font-family:Calibri; panose-1:2 15 5 2 2 2 4 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-469750017 -1073732485 9 0 511 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; margin-top:0cm; margin-right:0cm; margin-bottom:8.0pt; margin-left:0cm; line-height:107%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; font-family:"Calibri",sans-serif; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:Calibri; mso-fareast-theme-font:minor-latin; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoPapDefault {mso-style-type:export-only; margin-bottom:8.0pt; line-height:107%;} @page WordSection1 {size:612.0pt 792.0pt; margin:72.0pt 72.0pt 72.0pt 72.0pt; mso-header-margin:36.0pt; mso-footer-margin:36.0pt; mso-paper-source:0;} div.WordSection1 {page:WordSection1;} -->
Di sisi tempat lain bersama remaja putri, Ibu Yose dan ratih juga berkeliling dari dusun ke dusun, memantau kegiatan pembuatan wajik nipah dengan variasi rasa. Biasanya warga membuat hanya satu rasa yaitu rasa original dari ketan dan gula merah.
Saat ini mereka mulai memodivikasi wajik dengan berbagai varian, ada wajik ketan hitam, wajik pandan, wajik nanas, dan ada juga yang ekstra pedada. Semua wajik yang nantinya akan dibungkus dengan daun nipah kering.
“Bagaimana kakak-kakak ada kendala nga?” tanya Ratih.
“Alhamdulillah aman, kak, paling kami ingin tahu tips pemasarannya saja, bagaimana cara promonya agar produk ini nantinya bisa diterima di masyarakat,” kata salah seorang remaja putri.
“Oke, jadi setiap kelompok harus membuat akun instragram, akun facebook, akun shopee dan akun onlineshop lainnya dibantu oleh panitia, nah nanti setelah produknya jadi, kita take foto, take video langsung deh posting, setiap anggota harus ikut promo di media sosial masing masing. Sekarang kelompok produsen wajik ini sudah ada pengurusnya?”
“Sudah kakak, saya ketuanya,” jawab salah seorang remaja putri yang berhijap toska.
“Oke, nanti silahkan diskusi lagi dengan tim dari SMA ya kak, selamat dan semangat seribu persen,” pesan Ratih. Lalu Ratih melanjutkan kegiatan dokumentasi, dan pengambilan data. Ratih juga mengingatkan kepada semua teman-temannya agar jangan lupa mengambil data yang akurat. Berapa ketan yang digunakan, berapa gula yang digunakan, berapa hasilnya dan banyak hal lain, semua harus didata.
“Teman-teman jangan lupa mencatat data yang ada ya, bahannya, prosesnya, hasilnya semua, agar nanti tidak ada kendala saat membuat laporan. Karena laporan kita nantinya harus nyantel ke banyak mata pelajaran seperti yang sudah dijelaskan Pak Raksa Alkuna tempo hari,” ujar Ratih mengingatkan.
“Oh ya, dokumentasi, juga jangan lupa, foto-foto dan video,” sambung Ratih sebelum meninggalkan dusun itu untuk lanjut ke kelompok dari dusun lain.
***
Sama halnya dengan Andhara dan Ratih Jefri juga tidak kalah sibuknya. Walaupun didampingi oleh Pak raksa Alkuna dan Mister Dedi tetap saja Jefri harus terbang ke sana ke sini.
Mereka berkeliling dari dusun ke dusun, mengamati bagaimana pemuda itu menyambung pipa, memasang pompa air dan banyak hal lainnya.
“Bapak dan abang, bagaimana? Mesinya sudah berfungsi?” tanya Jefri.
“Sudah, ini air sumur sudah bisa naik ke drum penampungan,” jawab ketua kelompok.
“Oke, tower mininya pas ‘kan?” Jefri memeriksa tower baja yang dibuat untuk dudukan drum agar lebih tinggi. Tingginya tower itu hanya satu meter, agar tidak terlalu sulit ketika akan memasukkan kapur atau tawas ke dalam drum.
“Wah, ini airnya sudah diberi kapur?” tanya Raksa.
“Sudah Pak, pH nya netral,” jawab ketua kelompok.
“Oke, sekarang tawasnya dilarutkan dulu, dan setelah itu baru dimasukkan ke dalam drum ini ya,” kata Raksa.
“Iya, Pak,”
“Oke, silahkan dilanjut, jangan lupa catat semua datanya, berapa volume air, berapa, kapur, berapa tawas, berapa pH awal, pH akhir, waktu yang dibutuhkan dan semua. Silahkan data dicatat dengan teliti,” sambung Pak Raksa.
“Siap Pak,”
“Dan dokumentasi, foto, video ambil yang banyak agar nanti memudahkan saat kalian membuat laporan,” kata Raksa lagi.
Lalu bapak-bapak dan para pemuda melanjutkan aktivitas mereka. Menyambungkan pipa-pipa dan membuat tempat atau posisi yang tepat agar saat mengambil air warga tidak kesulitan, mereka juga membuat bok tempat warga bisa mandi di sana.
***
Tidak hanya satu dusun yang mereka amati, tapi berkeliling ke sepuluh dusun di desa Endah Lestari. Capek? Tentu saja, Andhara, Ratih dan Jefri sangat lelah. Begitu juga dengan Ibu Wahyuni dan Ibu Yose, kedua guru senior itu hanya sanggup berkeliling di dua dusun, selanjutnya beliau memilih keliling naik becak diantar pemuda desa.
Andhara dan ratih kembali ke balai desa, setelah dari dusun keenam, masih ada empat dusun lagi yang belum mereka datangi. Tapi waktu zuhur hampir tiba, mereka memilih istirahat, salat dan makan dulu.
“Eh, kasihan tu si Jefri,” kata Andhara melihat jefri yang terkapar di sofa balai desa.
“Iya, lelah banget kelihatannya, sama gue juga lelah!” teriah Ratih sambil membuka pintu kamar dan masuk diikuti Andhara.
“Bu Wahyuni dan Bu Yose dimana?” tanya Ratih.
“Paling di rumah Bu Kadus,” jawab Andhara.
“Terus kita makan di mana?” tanya Ratih, tangannya sudah memegang perut yang keroncongan. Ia benar-benar lapar dan lelah.
“Wah, seharusnya kita makan di dusun Seruni, berarti habis salat zuhur kita ke sana,” jawab Andhara.
“Sumpe lo? Kita harus jalan lagi ke sana? Dalam perut selapar ini?” tanya Ratih yang merobohkan tubuh di atas tikar pandan tempat tidurnya.
“Ya, namanya juga pengabdian,” jawab Andhara sambil berlalu masuk kamar mandi.